Anda di halaman 1dari 2

Temuan Piutang Pajak Sudah Jadi Masalah Klasik, Ini Kelemahannya!

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo
mengatakan temuan BPK terkait penagihan piutang pajak merupakan masalah klasik
yang setiap tahun selalu dijumpai. Hal itu terjadi lantaran terdapat sejumlah kelemahan
dalam proses penagihan tersebut. Dari aspek regulasi misalnya, ada beberapa yang belum
jelas dan tegas, sehingga menimbulkan kebingungan di lapangan misalnya daluwarsa dan
penghapusan sanksi. "Ini termasuk aturan-aturan tentang gijzeling, penyitaan, kepailitan yang
saling beririsan tapi tak jelas kewenangan dan solusinya," kata Prastowo kepada Bisnis, Jumat
(6/4/2018).

Menurutnya, administrasi pengawasan memang harus didasarkan pada informasi dan


teknologi sehingga bisa dimonitor sebuah rekam jejak surat ketetapan pajak (SKP) sampai
tindakan penagihan terakhir, misalnya harus ada peringatan secara otomatis jika sudah masuk
pada tahap selanjutnya.

Meski begitu, bagi Prastowo, tunggakan piutang pajak dan berbagai masalah mengenai
penagihan pajak ini sebenarnya muaranya terletak pada kualitas pemeriksaan. Jika
pemeriksaan atau penerbitan surat ketetapan pajak benar dan kuat, tidak ada alasan untuk
tidak ditagih, sebaliknya jika lemah maka akan muncul isu mengenai keadilan.

Salah satu solusinya yakni implementasi konsep delinquency audit artinya saat pemeriksa
memeriksa, mereka sekaligus mengidentifikasi aset atau kekayaan wajib pajak untuk
memastikan utang bisa dibayar.

"Selebihnya ya perbaikan administrasi, peningkatan kompetensi personel, koordinasi


kelembagaan, dan rekonsiliasi saldo tunggakan supaya proses memulainya tak salah,"
tegasnya.

Dalam catatan Bisnis, penagihan piutang pajak memang selalu menjadi persoalan klasik yang
sering ditemukan oleh BPK dalam setiap laporannya. Untuk pemeriksaan yang dilakukan pada
2016 - semester I 2017, masalah yang cukup krusial adalah perbedaan penafsiran PMK
No.24/PMK.03/2008. Bagi BPK, pemerintah perlu mempertegas klausul mengenai waktu
penagihan dalam beleid ini. Pasalnya, dalam proses BPK masih menemukan kelonggaran
yang membuat piutang pajak tak bisa ditagih karena daluwarsa atawa perusahaan
pembayar pajak tak lagi beroperasi di Indonesia.

Sebagai contoh adalah kasus piutang delapan wajib pajak badan usaha tetap (BUT) senilai
Rp5,4 triliun tak dapat tertagih antara lain karena status WP sudah tak bisa melakukan aktivitas
usaha di Indonesia serta piutang pajak telah daluwarsa. Temuan BPK juga menyebutkan
bahwa otoritas pajak belum memaksimalkan tindakan penagihan kepada WP hingga piutang
pajak mengalami daluwarsa senilai Rp1,93 triliun. BPK sendiri memberi catatan, seharusnya
dengan kompleksitas dunia perpajakan saat ini, berbagai masalah teknis terkait penagihan
tersebut sebenarnya bisa diatasi dengan sistem informasi yang mutakhir. Persoalannya, dari
hasil audit ini, sistem informasi di Ditjen Pajak juga belum mendukung proses bisnis bagi
penagihan pajak. Beberapa contohnya yakni karena penerbitan surat teguran belum dilalukan
secara otomatis, kegiatan pemblokiran belum diakomodasi serta notifikasi dan peringatan
terkait dengan jangka waktu penerbitan kegiatan penagihan dan daluwarsa penagihan tidak
ada.

Anda mungkin juga menyukai