Anda di halaman 1dari 2

Meskipun situasi ideal untuk menggabungkan praktik ekonomi dan etika untuk situasi

menang-menang adalah mungkin, tantangannya terletak pada bagaimana perusahaan


menafsirkan tanggung jawab etis mereka kepada masyarakat. Satu perusahaan mungkin
menganggap aktivitas CSR etis memiliki nilai filantropi strategis dengan tujuan pengembalian
investasi, sementara yang lain mungkin menganggap program etis sebagai kewajiban bisnis
sebagai peserta dalam masyarakat. Ada banyak teori, pendekatan dan istilah di bidang Tanggung
Jawab Sosial Perusahaan. Di antara teori-teori ini ada banyak tumpang tindih. Untuk
mengidentifikasi komponen etika CSR diperlukan pemahaman tentang berbagai dimensi CSR.
Model Tiga Domain CSR Carroll akan berfungsi sebagai alat untuk mengidentifikasi dan
memahami dimensi etika CSR dalam laporan tahunan.  
Model Carroll mengidentifikasi tiga bidang tanggung jawab yang dapat dilakukan
perusahaan:  ekonomi, hukum, dan etika. Dimensi ini mengkategorikan motivasi yang berbeda
di balik kegiatan CSR perusahaan. 
Ranah ekonomi mengacu pada tanggung jawab perusahaan sebagai penyedia ekonomi
di masyarakat. Satu-satunya tujuan penerapan CSR dengan model ekonomi adalah untuk
meningkatkan keuntungan atau performa finansial perusahaan. Program CSR dalam model ini
memiliki dasar kepentingan pribadi. Meskipun kurangnya data empiris yang menunjukkan
kinerja keuangan yang lebih tinggi, bisnis memiliki insentif ekonomis untuk berinvestasi dalam
CSR. Nilai tidak dapat diukur dan sifatnya tidak berwujud. Manfaat CSR ekonomis ialah
peningkatan daya saing, peluang pasar baru, pengenalan merek dan reputasi yang lebih baik,
hubungan antara pemangku kepentingan yang lebih kuat, dan strategi kepentingan jangka
panjang yang lebih baik. Penerapan model CSR ekonomi menuntut perusahaan untuk
mengintegrasikan perspektif sosial ke dalam kerangka inti yang sudah digunakan untuk
memahami persaingan dan memandu strategi bisnisnya sehingga dapat mewujudkan tujuan
strategis.
Domain kedua, legal, mengacu pada respons bisnis untuk mematuhi undang-undang
wajib dan ekspektasi hukum dari masyarakat dimana perusahaan tersebut berada. Perusahaan
yang melaksanakan kegiatan CSR dengan model hukum memiliki beberapa motif, diantaranya
ialah keputusan untuk menerapkan praktik bisnis yang transparan dan terbuka untuk mematuhi
peraturan pemerintah yang baru; untuk menghindari litigasi; atau bahkan untuk mengantisipasi
undang-undang di masa mendatang. Namun, mengintegrasikan kepatuhan hukum antisipatif ke
dalam strategi perusahaan tidak selalu merupakan pendekatan yang disukai untuk CSR karena
teori ekonomi klasik mengadvokasi sedikit peraturan dan ketentuan pemerintah untuk bisnis.
Regulasi pemerintah dianggap oleh para ekonom klasik dapat mengganggu pasar bebas dan
menghambat persaingan perusahaan di pasar global.
Domain etis model Carroll menandakan "tanggung jawab etis bisnis seperti yang
diharapkan oleh masyarakat umum dan pemangku kepentingan yang relevan." Aktivitas etis
perusahaan juga merupakan aktivitas yang melampaui model ekonomi dan kepatuhan hukum.  
Ketiga dimensi tersebut berfungsi sebagai kerangka kerja untuk memahami CSR.
Namun, aspek etika CSR yang menjadi perhatian penelitian ini oleh karena itu penting untuk
menyajikan pendekatan etika yang berbeda dalam domain etika.  
Carroll mengidentifikasi tiga standar etika dalam domain etika: konvensional,
konsekuensialis, dan deontologis. Standar konvensional didasarkan pada filosofi moral
relativisme; apa yang dibutuhkan oleh bisnis ditentukan oleh norma-norma masyarakat. Batasan
standar ini adalah bahwa norma akan berbeda antara masyarakat dan kelompok masyarakat.
Dalam kasus bisnis CSR etis, ini berarti bahwa pemangku kepentingan yang terlibat dalam
masyarakat tertentu perlu menetapkan norma untuk menentukan apa yang dapat diterima secara
etis. Seperti yang penulis katakan, "konteks penting ketika memutuskan apa yang benar dan
salah." Contoh penggunaan relativisme dalam etika CSR adalah kode formal, seperti kode etik
6

atau kode etik, yang ada dalam organisasi yang menunjukkan niat etis mereka.  
Standar kedua disebut konsekuensialis yang berfokus pada "akhir atau konsekuensi" dari
praktik etis. Untuk penggunaan CSR, standar ini melibatkan tanggung jawab moral untuk
7

mempromosikan “kebaikan orang.” Lebih khusus lagi, fokusnya adalah pada hasil aktivitas etis.
Apakah aktivitas etis mempromosikan kebaikan masyarakat dan apakah masyarakat menerima
manfaat terbesar? Dalam standar ini utilitarianisme etika dipahami. Dengan demikian, kegiatan
etis konsekuensialis yang dilaksanakan seharusnya dapat meningkatkan kesejahteraan umum dan
kebaikan bersama.  
Istilah terakhir disebut deontologis . Standar ini adalah kebalikan dari pendekatan
konsekuensialis yang mewujudkan "kegiatan-kegiatan yang mencerminkan pertimbangan tugas
atau kewajiban seseorang." Dengan demikian, hasil atau akibat dari aktivitas etis bukanlah
8

fokus, melainkan aktivitas etis yang didasarkan pada moralitas, keadilan, dan hak bawaan. Ini
adalah tugas organisasi untuk terlibat dalam kegiatan etis terlepas dari hasilnya.  
Ketiga istilah tersebut mencerminkan kompleksitas dimensi etika CSR. Bergantung pada
sudut pandang, seperti relativisme atau utilitarianisme etika, interpretasi tentang apa yang
merupakan aktivitas etis bervariasi. 

Anda mungkin juga menyukai