Anda di halaman 1dari 32
9 Pemerintah dan Industri Karet yang Muncul di Indonesia dan Malaysia, 1900-1940 Colin Barlow dan John Drabble Pembangunan yang pesat di dacrah khatulistiwa telah mulai dalam 25 ta- hun terakhir abad ke-19, menanggapi tersedianya sarana angkutan berbi- aya rendah serta industrialisasi di Eropa dan Amerika Utara (Lewis 1970, hal. 13). Pembangunan yang pesat ini didasarkan pada produksi berba- gai komoditi primer, di antaranya karet scbagai salah satu bahan mentah baru Yang besar maknanya bagi perindustrian di dunia Barat. Budidaya karet secara komersial dimulai dalam dasawarsa 1890-an, dan menjelang tahun 1940 Iias lahan budidaya karet di seluruh dunia berjumlah 3,6 juta hektar. Indonesia dan Malaysia! merupakan produsen karet yang terlebih utama, masing-masing dengan areal sekitar 1,4 juta ha (Tabel 9.1). Scbelum Perang Dunia I industri karet di kedua negara terscbut merupakan penyumbang tunggal terbesar untuk penghasilan ekspor. (Tabel 9.2); perkem- bangan ini menimbulkan dampak yang luas bagi perckonomiannya, serta membawa perubahan dalam susunan etnis di negaranya. Se- bagai produsen terlibat investor perseroan Eropa, pendatang dari negara-negara Asia, serta kaum tani pribumi yang menggarap lahantahan yang sangat Iuas untuk ukurannya. Pada tahun 1940, 46% dari luas permukaan tanaman karet di Indonesia dimiliki oleh Perusahaan perkebunan dan 54% dimiliki oleh kaum tani kecil, Susie ee 1 Tanah Semenanjung Melayu sclama masa bersangkutan terbagi dalam daerah Stratis Settlement (SS), Federated Malay States (FMS), dan Unfede- fated Malay States (UMS). Yang bersama-sama discbut "British Malaya” aaupun "Malaya" saja. Sebutan terakhir dipakai dalam makalah kami ini, Pemerintah dan Industri Karet 259 Malaya perusahaan perkebunan memiliki 60% sedangkan di ie kaum tani keeil 40%? a ; Kedua pemerintah kolonial itu semakin terlibat dalam unusan industri karet, maka ada faedahnya membandingkan berbagai segi eu dari peranan masing-masing, lulu menilai peranan nisi terte! u 1 am usaha membina karet di kedua tanah dari pemerintah itu dali jajahan tersebut. Pola Kesejarahan ol Segala peristiwa di sekitar pemasukan tanaman Hevea Bras, liensis dari Amerika Selatan ke Asia Selatan dan Tenggara pada bagian akhir-abad ke-19 didokumentasikan dengan baik (Drabble 1973; Voon 1976). Perkembangannya yang pesat dan bersinam. bungan dimulai di Indonesia dan Malaya pada saat peralihan abad yang lampau, sedangkan Malaya unggul dalam hal luas areal yang ditanami karet (Tabel 9.1). Di Indonesia penanaman karet pada tanah perkebunan meng. ikuti Gontoh dari budidaya ckspor yang sudah mantap (khususnya tebu dan tembakau). Segera pula diterapkan organisasi dari pola perusahaan, yang menarik modal dan pegawai manajerial dari Eropa. Juga terdapat pengalihan sumber di mana perkebunan- perkebunan yang ada mengubah penanamannya dengan karet. Lalu dua pusat kegiatan perkebunan dibangun; yang satu di Su matera Timur, di mana karet memacu perluasan ekonomi diper- baharui kembali, menyusul krisis tembakau pada akhir dasawarsa 1880-an. (Schadee 1918; Thee 1979); yang lainnya di Jawa Perusahaan perkebunan itu merupakan organisasi_ yang relatif besar, dengan manajemen dan tenaga kerja yang terstruktur se cara hirarkis, yang menghasilkan jenis komoditi seragam melalui 2 Di Hindia Timur Belanda (yang di sini kami sebut Indonesia) tidak terdapat suatu garis pemisah tegas antara perkebunan dan kebun karct "bumiputera”. Di Malaya, yang disebut perkebunan ialah unit tanama) yang lebih luas dari 40 hektar, sedangkan yang disebut kebun karetialsh 7 luas unit tanamannya kurang dari itu, Baik perkebunan milik bumipute® maupun kebun karet tani kecil luasnya berkisar antara 1-5 hektary dan pangkal pada keluarga tani tunggal. Sejurah 260 nomi Indonesia rata Pasaran Tunai Pembeli RSSI* |AR 9.1. Harga Rata-rata ae (Buyers’ Spot Price) London, 1900-1940 Shilling per Ib. $ 0 1900 1905 1910 1915 _ 1925 1930 1935 1940 * Sebelum tahun 1906 hanya harga karct biasa, SUMBER: Lembaga Penclitian Karct Srilanka (1971), demerintah dan Industri Karet 26) ‘pabrik. pengolahan’ pusat. Biager ioe ita Sap Penjualannya gj pasaran dunia disclenggarakan melalui jaringan agen dan makelg, broker) karet. © tect A F : ‘Industri karet para petani kecil di Indonesia tampil agak ke. mudian, lalu tumbuh subur ketika terjadi lonjakan harga luar bias, pada tahun-tahun 1909-1912 (‘abel 9.1), di mana harga karet di bursa London mencapai rata-rata f. 8 — f. 9 per lembar (Gam. bar 9.1). Ini merupakan kasvs yang menonjol tentang dampak yang melas, di mana suatu jenis teknologi yang pada dasarnya sederhana saja dan memberi harapan akan penghasilan tinggi, dapat dengan mudah dan murah diterapkan pada rangka suatu sis. tem pertanian tradisional; karena itu teknologi tersebut dengan segera diterapkan. Unsur pokok teknologi itu, yaitu benih tanam. an karet dapat diperoleh dengan mudah dari perkebunan. Kebun karet tani keeil di Indonesia hampir semua terdapat di Daerah Luar Jawa saja, di mana penduduk menaman karet secara tum- pang sari dengan padi gogo dan tanaman palawija lainnya, pada permulaan siklus pergantian yang normal, segera setelah dibuka hutan atau tanaman sckundernya.? Dengan cara demikian, ber- lainan dengan biaya awal yang tinggi, yang ditanggung oleh per: kebuman berbudidaya tunggal, membuka lahan, membuka jalan dan bangunan, penanaman, dan lain-lain, maka untuk membangun jalanan/serta/gedung-gedung, dan lain-lain, biaya awal kaum tani kecil cukup rendah. Setclah dua atau tiga tahun pohon karet men- desak tanaman lain, lalu tanaman karet itu dapat dibiarkan tanpa dirawat selama 8-10 tahun sampai saat disadap. Karet lempengan (slab) mempunyai kadar lengas dan pencemaran yang tinggi, 0 mun mudah dijual melalui jaringan tengkulak Cina, yang sebagai penukar menjual aneka barang konsumsi. Kaum tani lazimnya menanam karet di tepi sungai atau di pinggir jalan raya, dan ke banyakan kebun mereka letaknya berjauhan dari daerah petke — = 3 Sistem pertanian berpi i i dala ce tpindah-pindah di Dacrah Luar Jawa 3 a ae budidaya berpindah-pindah dengan taninya membuka daeral selama 23 Crahnya ditanami padi, Kemudian ditanam tanaman palit pindah ke loka’ en! kesuburan tanah terkuras, Kemudian tani tersebt! lokasi lait i. . . tees jane ‘ain dan hanya kembali ke lokasi lama setelah mast "8 ers 262 Sejarah Ekonomi Indonesia bunan. Lokasi uutama kebun mereka terdapat di dacrah yang kini dikenal scbagai propinsi Jambi dan Sumatera Selatan, dengan dacrah yang kurang besar di Sumatera Utara dan Riau (Tabel 9,3). Lokasi wtama lainnya terdapat di Kalimantan Selatan dea Timur (dulu Borneo): Di schurwh dacrah itu mudah diperoleh Jahan yang masih ditumbuhi hutan belukar liar, Walaupun mereka telah berkebun karet, kaum tani kecil itu tetap juga menggarap tanaman pangan. Sebclum mulai dibudidayakan karct, perekonomian di Malaya jauh kurang mengembangkan bidang pertanian dibanding dengan Indonesia, Pengusaha (lada, tapioka dan gambir) golongan Cina berkedudukan utama sampai dasawarsa 1880-an dan 1890-an. Pada waktu itu kaum perintis bangsa Eropa (yang juga memiliki tanahnya) mulai membudidayakan tebu dan kopi. Namun metode penanaman dan hasil tanaman Cina itu mengakibatkan terkuras- nya kesuburan tanah. Dan sctclah tahun 1894 keadaan ini bertam- bah parah karena merosotnya harga pasaran kopi serta munculnya aneka hama tanaman. Berbagai kesulitan ini mendorong peralihan secara luas ke arah usaha perkebunan karet pada bagian dini dasa- warsa 1900-an (Jackson 1968). Benih pohon karet banyak tersedia pada Kebun Raya (Botanical Gardens) di Singapure, di mana sudah tercapai pencrobosan yang penting dalam hal teknik penya- dapatan karet (Drabble 1973). Dalam dasawarsa awal abad ke-20 terjadi perkembangan pesat pada perkebunan di mana kaum pe- rintis perkebunan orang-orang Eropa, yang sumbcr modalnya terbatas, terpaksa menjual perscroan yang baru saja didirikan de- ngan dana pound sterling dan berkedudukan di Kerajaan Inggeris. Orang-orang Cina juga tertarik untuk mengembangkan perkebun- an, namun kebanyakan mercka itu Iebih menyukai bentuk pemi- Tikan Perusahaan secara persckutuan keluarga atau persekutuan Pribadi, Paling sering perusahaan baru itu dibiayai dengan meng- alihkan hasil laba dari perusahaan lama (pertambangan, toko-toko dan scbagainya), namun ada juga mercka meminjam uang dari Kaum Yentenir (lazimnya orang India). —S—— 4. Antara tahun 1903 dan 1912 didirikan kira-kira 260 perseroan ber- modal sterling yang akan berusaha di Malaya (Drabble 1973). Pemerintah dan Industri Karet 263 ‘Ta9 FeAuuney esuOpUy eq “(1961) PropIyM ‘OST UEP GZ61 261) MeSig :CT6C UEP OL6L “eSauOPUT [>y (UE UNgay [ery ~LZaWAS cemef ned sp poy mer unq>y ey OOF OT xnseULEDL “pay urea ung [ease ysewia qePLL (espassoi yep ¢16T wnuer wep) FLGT UNG eped [eory od ungoy eurggayes ‘ueungayiod seve stpson (¢c6 1 1g) [raze wep og enueq jsuinse uesuaG 3 “(qequiat) ,sreseq,, rare 3 ~-esuyeruint Suesnsyoq une] requie) Sues — (vanayy weyng) sn24y stu>F weUIEUE QOO'ST exTYeRY YRSEULD] “ivrehy + tsuopuy synposd uefunqes depen eXeepy Isynpoid asuaszeg > 99x ques ungay + usunqaqiad deySurs yequint depeysoi ueunqayand isynpord aeniuasieg q “onau sodsya wep wgal og-z EIEETTEL ISyMPOAL & og 9 O6s't es Ses as a8e “1s Over 4g $9 L8z'T lp ors $96 oss $861 so ae 9Fz'T ser $92 6tL oes 62t os6r ss eu +66 566 66s 99r sc st sa6t 69 0te sea wee ess sor set st oz6t zt aes yet ses ot % sist sot st6t ote siz ss 99 28 9 oF pt ost oor tu st - 6t - 1 - 1 oe ee oor ee - z - z - - - - ost % & — (uo-000) (wos we-000) | vorumf —rd-qey — qoyng —“aoted spo yorunl —ungey —“gayseg sympoag anf som yossog onof | unyay (eu w000) ony (04 «000) Par oe wouopup “OFGT-OO6T "RAE(EW WEP eFSUOPUT “I2IEy ISyNPOLY UEP UEureWEL sen “T'6 THEVL i Sejarah Ehonomi Indonesia (26t| gektor karct petani kecil di Malaya dalam pertumbuhan tidak crapa jauh dari perusahaan perkebunan terutama sesudah seberaP'y io (Label 9.1). Orang-orang Cina dan Melayu (termasuk oe pendatang dari Indonesia) merupakan pemeranserta utama, ih menanggapi harapan akan pendapatan yang baik dari harga garet yang tinggi, di samping kemungkinan menjual kebunnya kepada perusahaan perkebunan yang bersedia membeli Jahan mereka dengan harga tinggi, guna memperluas usaha perkebun- amya. Keadaan berdckatan dari areal perusahaanperkebunan dan petani kecil discbagian besar dacrah dapat memperbaiki cara-cara berkebun petani kecil, dan dibuat sebagai contoh, Karena adanya hubungan antara kaum tani Cina dengan usaha perdagang- an, pasti menunjang tercapainya taraf spesialisasi dan kecanggih- an teknik yang lebih tinggi, jika dibanding dengan usaha petani karet di Indonesia. Di Malaya Jahan yang luas-luas dikhususkan untuk perkebunan karet, tanpa disclingi tanaman pangan, sedang- kan pohon karct mencapai tahap penyadapan dalam 5-6 tahun. Hasilnya diolah menjadi Iembaran unsmohked sheet dengan kadar langas yang rendah dan kurang mengandung zat pencemar (Barlow 1978). Budidaya karet di Malaya tersebar amat luas, namun ter- utama berpusat pada bagian Barat tanah semenanjung itu. (Tabel 9.4). Walaupun harga-harga mulai merosot setelah lonjakan harga pasaran pada tahun 1909-1912 (Gambar 9.1), perluasan tanaman karet dilanjutkan, baik di Indonesia maupun di Malaya. Perusa- haan-perusahaan itu telah mengikatkan dana besar pada saat pendiriannya, dan mereka bermaksud memperluas areal penghasil pendapatannya, dengan tujuan menckan biaya modal rata-rata setiap hektar dan membayar dividen yang menarik. Scmentara itu kaum tani kecil mulai memandang karet sebagai sumber pen- dapatan sepanjang tahun yang Icbih mantap dan lebih besar dari- pada pendapatan yang dapat diperolch dari budidaya tahunan yang tradisional (Van Geldercn 1966; Drabble & Drake 1974). Zaman Perang Dunia 1914-1919 ditandai oleh perluasan ta- naman karet, ketika harga karet meningkat karena bertambahnya Permintaan dari Amerika. Karena Belanda tetap netral, tidak ber- laku pembatasan akibat keadaan perang terhadap industri karet di Pemerintah dan Industri Karet 265 “(S61) SuoMmUEG eH HESEINAS, eduniyem eped sent ene eped = ryop sens emf = g5°f uaping emf = “ps f sor 59 osr 9g¢ Sto cee (sv $ wqp) oor 906 00T o6z'r = 0OT o9¢ = 00T 066 = =©90r Fost = oor 129 yopunf ic est 2g soz it sort £88 a SFI urepurey, = - € 98 ¥ 89 § 8 idoy I £ = = § 9% - = ames edzay ISTH 7 = * cr) Ir #1 z6 neyequiay =. = = g oO FL § 4L - 7 = - $ og 0s oss 6% Lat aseg FD up ‘edejay € 1s s or 6 ut 9 nr) zor $ se yesury ‘edoy, 1 .06t#T eet 6% sor 8 rg #6 9 6 yeu, alter = - = at got OL S2t as sil rung yecugy vg 6s 6S 69L 8 8% ze We ae s3s yt 2 wey e ssf & ssf % ssf % Pst % Pat % Pet Le6T ” seer rer Leer zor rer Hipowoy DKmON pisowopuy Leer-ET/cr6r ‘pkppoyy unp msouopus tavp s240y 40054 ION “C6 TAAVL Sejarah Ekonomi Indonesia 266 Jonesia, sebaliknya di Malaya ekspor bahan-bahan mentah Indo} trategis, termasuk karct, harus mengindahkan kewajiban hi izin dari pemerintah Inggeris, sedangkan perseroan yang ealnya berupa dana sterling tidak dapat mengeluarkan saham Te Setelah_mengalami pelonjakan harga selama masa singxat setelah perang, perckonomian negara-negara industri dunia Barat mengalami depresi (1920-1922), dan harga karet jatuh menjadi 7 penny per Ib, pada tahun 1921 (Gambar 9.1). Kesulitan utama yang dialami alah bahwa perluasan areal tanaman yang dilaku- Jon pada saat harga karet melonjak, mulai menghasilkan kejenuh- an pada saat permintaan pasar sedang mcrosot, sedangkan surplus karet bertimbun-timbun di seluruh pasaran dunia. Dalam upaya meningkatkan harga tanpa memperoleh persctu- juan dari pihak Belanda, peraturan pembatasan ckspor berlaku bagi Malaya dan dacrah-dacrah Kerajaan Inggeris lain (yang dise- but Rencana Stevenson) berlaku sclama enam tahun, sampai bulan Oktober 1928. Taraf harga pasaran membaik sampai pada tahun 1925, ketika timbul panik pembelian di pasaran karet, sebagai akibat kurang Iuwesnya pelaksanaan peraturan pembatas- an ekspor tersebut, schingga harga karet didorong naik, mencapai harga rata-rata 3 shilling per Ib. Baik di Indonesia maupun di Ma- laya kenaikan harga itu mengakibatkan melonjaknya perluasan tanaman karct, dengan ciri utama amat luasnya areal yang dita- nami karet olch kaum tani kecil di Sumatera dan Kalimantan (Tabel 9.1; Whitford 1931). Harga karet merosot lagi sclama bagian akhir dasawarsa 1920-an, lalu menjadi nyata bahwa kedu- dukan unggul Malaya dalam industri karet semakin digerogoti oleh Indonesia. Mengingat keadaan ini pemerintah jajahan Inggeris menghapus peraturan pembatasan ckspor pada akhir tahun 1928. Dasawarsa 1920-an menyaksikan akhir perluasan besar arcal perkebunan karet di Indonesia dan Malaya. Menjelang waktu itu dalam industri karet telah dicapai struktur pemilikan luas serta penyebaran regional, yang akan dipertahankan selama kurun ‘masa yang menjadi pembahasan di sini, sampai ke dalam masa Pasca-kemerdekaan (Tabel 9.3 dan 9.4). Di kedua negara itu, dalam sektor perusahaan perkebunan yang berdominasi ialah para pemilik bangsa Eropa, sedangkan dalam scktor perkebunan tani yang Pemerintah dan Industri Karet 267 kecil yang berdominasi ialah kaum tani Pribumi, penduduk Cina relatif kecil peransertanya sebagai p sahaan perkebunan karet, hanya sebanyak 11% tanah perusahaan perkebunan pada tahun 19 Sebab-sebabnya akan dibahas di bawah ini. Boleh dikata tidak ada perkebunan tani kecil di kalangan Cina, dan orang-orang Jawa yang tak begitu besar jumlahnya dalam sek. tor ini, sebagian besar merupakan pendatang-pendatang di Sumate. ra. Di Malayascbaliknya orang-orang Cina merupakan. Pemilik-pemj. lik utama perusahaan perkebunan kecil (kebanyakan antara 40-200 hektar), dan sangat mungkin untuk tingkatan petani kecil me. reka menguasai antara 10-40 hektar. Pertumbuhan industri karet seakan-akan terhenti Pada dasa. warsa 1930-an, ketika Depresi Besar (1929-1932) menimbulkan masalah yang lebih gawat mengenai kapasitas produksi yang ber. lebihan, daripada yang dialami pada awal dasawarsa _1920-an, Harga karet rata-rata di London telah jatuh dari 10 penny per pound pada tahun 1929, dan terus menurun sampai 2 penny per pound pada tahun 1932 (Bauer 1948, hal, 42). Di Indonesia jum- lah seluruh nilai ckspor karet turun dari 587 juta gulden pada tahun 1925 sampai hanya 34 Juta gulden pada tahun 1932 (CKS 161, Tabel 2) dan di Malaya jumlah itu jatuh lebih rendah lagi. Setclah perundingan yang lama, akhirnya Perjanjian Pengaturan Karet Internasional mulai berlaku pada pertengahan tahun 1934, dengan menurankan produksi dari seluruh negara penghasil karet alam di Asia Selatan d: ‘an Tenggara, Perjanjian itu pada mulanya berlaku sampai tahun 1938, kemudian diperbaharui untuk selama lima tahun sampai 1943, namun terputus karena pecah perang dengan Jepang (McFadycan 1944). Di Indonsig Pemilik pen. dari nilai seluny 21 (Cator 1936), Sikap terhadap Pembangunan Sebagaimana t Penting sekali bag umumnya lebih p, bagi Perekononi, angsung berpen clah kami P . ini 7 nyatakan di atas, industri karet # 1 Indon Ih serta bagi Malaya; bahkan ia pad Snting bagi Malaya, namun besar juga maknany! an daerah Sumatera Timur. Maknanya itt ae Saruh pada kaum tani yang menanam karet, tel#P Sejarah Ekonomi Indonesia 268 aruh terhadap segala kegiatan niaga karena ditimbul- jugs oreo kan berancka jasa (pengangkutan, pem- yannya permintaan 2 an a jasa (pengangkutan, p -ayaan, perdagangan barang, dan scbagainya). Karena itu gerakan benaikny@ harga karet besar dampaknya. Pada waktu depresi, era pada tahun 1920-1922 dan 1929-1932 dialami bertim- bun-timbunnya persediaan karct baik di Asia maupun di negara industri maju. Kemerosotan harga karet langsung mengakibatkan terhambatnya arus dana tunai, yang selanjutnya menimbulkan masalah berkenaan dengan berkurangnya kegiatan perdagangan dan ancka masalah (khususnya di kalangan tani kecil) berkenaan dengan pembayaran hutang. Namun scbaliknya, waktu harga karet mnelonjak membawa pula manfaat nyata.’Hasil pendapatan ckspor meningkat, diiringi dengan meningkatnya pendapatan perorangan, pendapatan pemerintah serta kondisi niaga yang membaik.§ Dalam kenyataannya budidaya karet dipandang menguntung- kan oleh pemerintah kolonial di Indonesia dan di Malaya, di mana pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 ini banyak di- dorong olch motivasi dengan tujuan menciptakan peluang niaga yang baik. Pandangan pemerintah mengenai cara bagaimanakah hal ini dapat dicapai masih bersifat relatif simplistik, karena tim- bul dari asumsi bahwa yang diperlukan untuk ”pembangunan” ialah mengeksploitasi sumber daya alam oleh perusahaan kapi- talis berskala besar. Hampir secara definisi, perusahaan ini adalah yang berasal dari Eropa dan khususnya dari negara induk jajahan. Apa yang olch Geertz (1963, hal. 50) discbut ”piranti ekonomi- politik” dari sistem perusahaan perscroan perkebunan sebagai model utama, yang bukan hanya unggul dalam kemampuan me- ngerahkan modal dan keperluan Jain dari luar negeri melainkan unggul pula dalam hal penerapan cara-cara budi daya ilmiah ‘dan teknik-tcknik pemasaran secara efisien. Pertumbuhan pesat dari scktor perkebunan, yang di dalamnya hanya lahan saja yang mempunyai "sifat bumiputera murni” (Van A 5 Suatu taksiran kasar dari Pendapatan Nasional Bruto di FMS menun- jukkan kenaikan nilai ekspor karet dari SS 265 juta pada tahun 1924 menjadi SS 518 juta pada tahun 1926 (Federated Malay States 1932). Pen ntah dan industri Karct win Gelderen 1966, hal. 120), sementara "modal, para manajer, a pegawainya berasal dari Eropa, § angkan pekerjany, ‘@ terdiri at, nm lingkung: ie h an Kesejarahay \jahan itu. Di Indonesia kaum pend: yang berbe ang”, berlangsung, peda di kedua tanah . Selama abad ke-19 kaum penguasa Belanda telah beralih dari Penarikan komoditi_ ekspor berdasarkan_ kebijaksanaan_ paksaan (Sistem ‘Tanam Paksa, 1830-1870) ke arah cara pendekatan laisesarn (Politik Liberal, 1870-1900). Di kedua daerah Jajahan ity pada mulanya terdapat lonjakan dalam pendapatan ckspor, namun laju pertumbuhan itu mulai menurun setelah kira-kira satu dasawarsa, sedangkan ternyata bahwa tidak ada manfaat ekonomi yang se. padan yang merembes ke kalangan kaum tani bumiputera, Laly pada saat perusahaan perkebunan mulai membudidayakan kare, pemerintah jajahan Belanda kembali mengadakan perubahan kebijaksanaan dengan beralih kepada ”politik etika” (1900-1940), yang bertujuan menahan aliran ke arah "Kurang kesejahteraan”™ penduduk bumiputera, terutama di pulau Jawa. Sebagai akibat dari kebijaksanaan baru ini, kaum modal Cina di Indonesia me. ngalami berbagai hambatan resmi, baik berkenaan dengan hal pe- milikan tanah maupun berkenaan dengan kebebasan bergerak di daerah pedesaan, Sebagaimana dinyatakan oleh Williams (1952, hal. 37), "orang-orang Cina serta dana milik mereka, berpusat pada kegiatan ekonomi yang terutama bekait barang, dan bukan deng: mempermudah pengadaan tenaga buruh untuk keperluan perke- bunan di Sumatera Timur dan juga mengadakan usaha untuk awal penelitian karet. Sebagaimana telah kita saksikan bumi di Indonesia dalam industri kurang atau sama sekali tidak dito pemerintah, dan pada kenyataann sung di luar pulau Jawa, di mana kekuasaan pemerintah Beland® itu kurang kuat ataupun kurang mantap, dibanding dengan ke- adaan di pulau Jawa. Di Malaya kebijaksanaan ekonomi es luas berdasarkan Laisses faire (bebas berbuat), dan ketika ane an harga karet berlangsung pada bagian awal vahun 1900-an, ka" modal ropa dan Cina dengan leluasa dapat memperoleh lah an dengan _pertukaran ‘an produksi barang.” Pemerintah juga ikutsertanya penduduk pri Karet sebagai ‘kaum tani kecil pang oleh suatu kebijaksanaan ya hampir seluruhnya berlang: oF Sejarah Ekonomi Indonesia Lalu pemerintah segera mempermudah impor tenaga kerja dari India untuk perkebunan Eropa, sedangkan kaum pengusaha Cina mengatur jaringan pengerahan buruh atas prakarsa sendiri. Peme- rintah di sana pun memperluas prasarana berupa jalan raya, jalan kereta api dan pelabuhan, lalu pada tahun 1905 didirikan Depar- temen Urusan Pertanian yang melakukan penelitian dan membcri naschat teknis kepada para manajer perkebunan (Drabble 1973). Seperti halnya berkenaan dengan kaum tani karet di Indonesia, terlibatnya penduduk Melayu dalam budidaya karet kecil-kecilan terjadi_tanpa dukungan ataupun dorongan pemerintah. Bahkan sebaliknya yang terjadi. Penalaran dasar yang diajukan oleh pihak Inggeris berkenaan dengan kebijaksanaannya ialah kedudukannya sebagai ”perwalian” bagi penduduk Melayu, yang dipandang lebih cocok menyclenggarakan kegiatan ekonomi tradisional, seperti misalnya bertanam padi, daripada menghasilkan budidaya komcr- sial seperti karet. Maka ketika makin banyak orang Melayu me- nyclenggarakan budidaya karet, acapkali dengan tujuan meman- faatkan lahan, lalu menjual hasilnya kepada pengusaha non-pri- bumi, pihak pembcsar merisaukan kalau-kalau kehilangan "tanah pusaka” itu akan menyengsarakan orang-orang Melayu, karena hanya itulah satu-satunya kekayaan miliknya. Maka diadakan ancka tindakan, termasuk peraturan undang-undang, untuk meng- hambat budidaya karet oleh orang Mclayu dan mengalihkan per- hatian mereka kembali kepada budidaya tanaman pangan. Bagi kedua-dua pemerintah jajahan itu depresi scusai Perang Dunia I (1920-1922) menghadapkan mereka kepada dilema, apa- kah harus dibatasi volume ekspor, scbagai upaya menaikkan harga Pasaran, ataukah bersikap Iepas tangan dan membiarkan tenaga Pasaran bebas melaksanakan suatu kontes "survival of the fittest” (kelangsungan hidup bagi yang terkuat) dengan Indonesia dan Malaya sebagai protagonisnya (Drabble 1981). Namun Pemerintah di Malaya dan pemerintah negeri induk Jajahan Inggeris akhirnya terpengaruh oleh anggapan kaum pengusaha, yaitu bahwa karet Kini terlalu vital bagi perekonomian negara untuk dibiarkan meng- hadapi perlombaan semacam itu, dan karena itu dilaksanakan Ren- cana Stevenson (1922-1928). Pihak Belanda enggan untuk ikut ‘serta, namun setelah timbul Depresi Besar (1929-1932), pihak Be- Pemerintah dan Industri Karet on ju menandatangani Perjanjian Pengaturan Karet Interna. tanda (954-1943). Kedua-dua pemerintah itu kini telah bertolay. batik dari sikap awal mengenai pembangunan (khusus mengenaj aan perkebunan) dengan beralih kepada sikap yang oleh perusah ai kedudukan Perwalian Rudner (1981) dikarakterisasikan seba (custodial). Dalam kedudukan itu mereka berusaha memetihara status quo, khususnya untuk menghambat pertumbuhan selanjut. nya dari sektor tani kecil (Bauer 1948, hal. 214-215). Perbandingan Pengalaman Dengan memperbandingkan peranan pemerintah Indonesia dan Malaya agaknya akan berfaedah bila kami soroti berbagai bidang kebijaksanaan penting tertentu, yang akan memungkinkan kita memeriksa persamaan dan perbedaan terpenting antara kedua tanah jajahan itu secara lebih terinci. Tanah, Persediaan Jahan luar dengan syarat-syarat ringan meru- pakan syarat mutlak bagi pengembangan perusahaan perkebunan di kedua daerah jajahan (Voon 1976). Di pulau Jawa banyaknya *tanah kosong”, yang belum dituntut sebagai milik oleh perorang- an ataupun oleh komunitas setempat, berada dibawah jurisdiksi pemerintah berdasarkan Undang-undang Agraria tahun 1870. Lahan kosong itu disediakan khususnya untuk perusahaan perke- bunan Eropa dengan perjanjian sewa jangka lama dengan hanya dibebani biaya sebanyak 1% — 2% dari jumlah biaya pembukaan lahannya ‘(Aken 1923). Di Sumatera Timur, konsesi-konsesi per- kebunan dijamin dengan persetujuan pemerintah, lahgsung dari tajaraja_bumiputera dengan syarat-syarat yang agak lebih berat dan perjanjian yang kurang seragam (Pelzer 1978, hal. 78). Di Malaya pemerintah kolonial membebaskan bidang Jahan yang kup luas dengan perjanjian sewa-menyewa jangka amat panjang pe reer eutan sebanyak 3 — 4%, Di kedua daerah koloni itu ntah kolonial telah memberi kemudahan dengan proscduf cepat dan mengizinkan pembeb; ketika permintaan tinggi, ‘asan Jahan yang Iuas-luas Namun berkenaan den, i t tani kecil sikap kedua pemede ch a Pengembangan kebun kare ntah itu tidak seragam. Di pulau Jawa Sejarah Ekonomi Indonesia a7 naan un karet tani kecil, karena *tanah hampir-hampit as ene paki hanya disediakan bagi peru- osong” yang belum ig; tai Timur permintaan pengusaha kebun staan perkebunan- a dats ng lebih, umumnya disetujui karet bangsa Eropa akan Jahan ya 8 7? iat ada "lahan crintah, schingga kebun tani kecil ter atas p : ] pan” perkebunan yang kurang disukai (Pelzer 1978, hal. iran jengkel dan kerusuhan sporadis di kalangan Pen duduk telah timbul karena "ketidak-adilan selama setengah abad akibat_kebijaksanaan semacam itu (Van Vollenhoven 1932, hal. 83-90). Bagian terbesar pengembangan kebun karct tani kecil ber- langsung di Sumatera Timur, jauh dari tempat perkebunan serta juga di daerah-daerah lain di Sumatera dan di Kalimantan, di mana perluasan perkebunan besar tidak dipertimbangkan (Tabel 9.3). Di daerah itu berlaku sistem adat yang berdasarkan hak usaha lanah pada penempatan dan Penggarapan nyata; adat itu mem- buka Kemungkinan bagi penduduk bumiputera untuk menggarap ‘anah, asal saja mercka bersedia melaksanakan upaya yang diper- lukan. Namun orang Cina tidak diizi ig Cina tidak diizink: a secara demikian, ee eon (nah Sebaliknya, di Mala guna usaha khusus bagi kan Mengusahakan sebit ya pihak penata tanah menyediakan hak penduduk bumiputera yang diperkenan- idang tanah kurang dari 4 hektar dengan njual tanah itu, bahkan juga boleh diguna- 'S Uang pinjaman sewa tanah rendah, mes- Pemerintah dan Industri Karet 273 cump tisieum: (9960) 81a -waawns curiutunpey Buereyas 5 syereg exieums tsurdoig Suereyag > wySueg ynseu2; edueyfue ‘uereiag wseums isuidorg Buerey>g P surdord ureqep SunqeSip Sueeyag 2 sueunqoy2od tynposd yepum! weep weyynseuNp eEnprp TUL T27ey uNgey IEANPoId WeIEqag q srevyay sad uoyod pgp ueySumityiodrp ueSuap uoyod yerumnf eiep LEP TeABuMIIGIadI © 9 cor res be 99 yorunl at a ust = i oe eI se vos we T0z vag yeu or sh ate = = tquef a - - - I wea I st ee = z pSueqmarea a 1 6 Sundureq z g oF a el Te - - 7 I st woy - * st z ‘ ymuedey, I $ ¥% oF est many ‘exa1eumg - = - 6% yor emef (wos uo-900) (24 «»-000) (ont) (403 ue-900) (24 «~000) + g timpoag ayy uoyod ssynposg pay ee ey fuay ungay woungayaag 226r ‘msouopuy juny ungay 3p uop uoungoysag 1p 3240y ssynpoar YO}UN[ UP UDUIOUDL sOnT “66 TAEVL Ye Sejarah Ekonomi Indonesia git dan kemudian pula beberapa hak guna usaha dala Gad (1913), yang men- cal ae Tanah Malaya -undang Cadangan Tani ry: oe Uden r Jahan yang hanya orang Mclayu boleh i sal eae og wire aneka pungutan yang berbeda-beda: eee untuk jenis budidaya selain karet. Undang-undang pena benar berfaedah dalam menyediakan wilayah lahan i kurang berhasil mencegah khusus untuk orang Melayu, namun penanaman karet pada lahan itu, mengingat besar laba yang dapat diperoleh dari karet. Dengan demikian penduduk Melayu akhirnya menguasai kira-kira separuh dari seluruh jumlah kebun karet kecil- kecil dan karena dari separuh untuk scluruh area kebun karct kecil-kecil itu (Malaya, 1954). Timbangan masih lebih memberat kepada orang-orang Cina. Di Indonesia, dan khususnya di beberapa daerah di pulau Su- matera, orang dengan mudah mempcrolch Jahan sampai bagian awal dasawarsa 1930-an, ketika dikeluarkan larangan penanaman karet_ yang baru, berdasarkan Perjanjian Pengaturan Karet Inter- nasional tersebut. Di Malaya pembebasan lahan untuk penanaman karet dilarang mulai tahun 1930, namun untuk sementara bagi eee besar masih diberi peluang lebih lama untuk mendiri- ravage karet di atas lahan cadangan yang belum sempat meee Kerja, Persediaan tenaga kerja juga mutlak diperlukan eae Hi sesnya pengembangan kebun karct, karena karet meru- onde atu budidaya yang Iebih padatkarya di antara aneka jenis se kekal. Kebutuhan akan buruh di perkebunan pada un permulaannya membengkak karena pen, yang sangat tidak efisi i aki i pe ae isien, sebagai akibat dari teknologi primitif en dan sebagian lagi karena perlu disediakan tenaga akibat sea tena mengganti pengurangan tenaga kerja sebagai 1984), Sika. _ itnya penyakit malaria (Barlow & Jayasurya poe) iks ai pulau Jawa perkebunan dapat saja mengerahkan langan penduduk setemp: «di matera dan di Malaya perlu di lempat yang melarat, tapi di Su- pen eeriiee areas iene buruh dari luar, karena creka monovalent Bekerja di perkebunan, Mungkin karena ete ed anyak dari lahannya yang luas- yang dibayar di perkebunan, dan pasti Pemerintah dan Industri Karet 275 kebebasannya lebih besar. Kemudian, tatkala penduduk meng. garap karet pula, penghasilan mereka pasti lebih besar daripada upah buruh perkebunan,gPada mulanya tenaga kerja untuk Su. matera ‘Timur didatangkalY dari Cina, kemudian berangsurangsu, lebih banyak didatangkan dari sumber tenagakerja_yang lebih murah di pulau Jawa. Perkebunan di Malaya lebih mengandalkan buruh pendatang dari India, kemudian dalam jumlah kecil pula didatangkan buruh Cina dan Jawa. Perusahaan kebun karet di pulau Jawa kurang mengalamj campur tangan pemerintah dalam soal pengerahan tenaga kerja, sclain larangan setiap bentuk kontrakan kuli. Upah ditentukan atas dasar tawar-menawar dengan kebanyakan pekerja yang ting. gal di luar lingkungan perkebunan — di desa-desa yang berdckat- an, dan sering mercka menambah pendapatan dengan menggarap lahan sendiri, Keadaan ini sejajar dengan keadaan di perkebunan lainnya di pulau Jawa, dan mencerminkan kebijaksanaan semula yang mengizinkan kaum tani untuk dengan leluasa mengadakan kegiatan dalam lapangan usaha sendiri, serta memanfaatkan se- tiap peluang komersial lainnya. Namun, di campur tange umatera Timur dan juga di Malaya, banyak juga n dari Pemerintah. Di Sumatera Timur berlaku sistem Poenale Sanctie yang kesohor itu, dengan kontrak buruh sampai pada bagian awal dasawarsa 1930-an. Sistem itu mengandung ancaman hukuman terhadap pekerja yang melanggar kontrak kerja dan menimbuikan gelombang protes di negeri Belanda pada bagian awal dasawarsa 1900-an, yang memaksa pemerintah jajahan untuk mengatur syarat-syarat_perburuhan (Figart 1925; Thee 1977). Pada tahun 1907, didirikanlah Inspektorat Perburuhan, dan walau tercapai perbaikan yang progresif, namun keadaannya tetap masih primitif. Tidak memuaskannya_pengerahan tenaga buruh oleh masing-masing perusahaan — yang melazimkan penciutan jumlah tenaga sebelum pekerja memenuhi seluruh kontrak — telah men- dorong pemerintah untuk mengadakan peng pengerahan buruh serta pembentukan Biro (1912) untuk mengkoordinasi usaha Pengerahan buruh dan mem- perbaiki syarat-syarat perburuhan, Biro tersebut juga memberikan bantuan untuk mengurus Pemulangan sejumlah besar tenaga kerja awasan terhadap proses Imigrasi di pulau Jawa ee i Sejarah Ekonomi Indonesia 27 at berkecamuknya depresi pada bagian awal dasawarsa Propan Maka sungguh menyolok bahwa penerince ven meng- ial sistem kuli kontrakan dan. sanksi Pidananya, karena siewatt kalau-kalau ini akan mengatibatkan menciutnya perse- dian tenagakerja. Demikianlah Thee (1977) mengemukakan pan- dangan bahwa tanpa sistem kontrakan itu Pengembangan budidaya karct di Sumatera Timur tidak akan mungkin, karena tidak akon terdapat persediaan pendatang sukarela dalam jumlah yang me- madai..Karena jumlah ”pekerja bebas” itu hanya berjumlah 5% dari seluruh barisan kerja pada bagian awal dasawarsa 1920-an. Di Malaya, buruh Tamil yang akan dipekerjakan di kebun karet didatangkan dari dacrah India Sclatan yang dikuasai Inggeris, sebagian besar diperoleh atas usaha kaum calo atau "Kangani” dalam rangka suatu sistem komite Imigrasi India yang resmi. Sistem ini berjalan dengan memusatkan sejak tahun 1908 dan di- selenggarakan agak serupa dengan Biro Imigrasi Jawa. Namun berlainan dengan Biro di Jawa itu, kaum pendatan di Malaya dalam keadaan "bebas dari hutang”. Sistem P Sanctie itu merajalela pada awal tahun-tahun ketike ia terapkan untuk memperoleh ten, adaan yang amat buruk. Ia dih: g itu mendarat cenale husus di- aga kerja industri gula dengan ke- ‘apuskan pada tahun 1910 karena juga jauh lebih baik daripada nasib "kul kon. Hakan” yang murah di Sumatera Timur, Delon Pada itu, keadaan buruh perkebunan teta p buruk, schingga berbagai Peraturan ke- C h perlu ditetapkan pada tah: 1 rintah Malaya. Bee eee Pemerintah dan Industri Karet o kecil, terutama setelah tindakan penghematan yang dilaksanakan pada zaman Depresi Besar, ketika kepada mereka ditawarkan lahan i dekat perkebunan itu. Tani kebun karet itu banyak berjasa dalam memperbaiki pengolahan usaha kebun karct. Perkembangan yang serupa terdapat di Malaya di mana kaum pekerja Cina yang gelalu lebih suka tinggal di pemukiman sendiri di luar lingkungan perkebunan beramai-ramai beralih_ mengusahakan kebun karet kecil-kecilan. Para pendatang yang mandiri itu, terutama yang ber. asal dari pulau Jawa, juga pindah ke Dacrah Luar Jawa dan ke Malaya untuk membuka kebun kecil-kecil, dan peranan mereka sungguh penting dalam memperluas tanaman karet ‘pada masa boom atau Jonjakan harga karet (Tuanku Shamsul Bahrin 1966). Prasarana, Pembukaan jalan masuk pasar jelaslah mutlak diper- lukan oleh kaum produsen karet dan merupakan faktor penting dalam menentukan lokasi kebun karet di Sumatera dan di Malaya. Di pulau Jawa di mana perhubungan umumnya lebih baik, pemi- lihan lokasi kebun karet lebih banyak ditentukan oleh aneka- ragam syarat-syarat lain, termasuk tersedianya lahan kosong dan kesuburan Jahan. Sejumlah kebun karet masa permulaan di Suma- tera Timur letaknya di dekat sungai yang dapat dilayari oleh kapal- kapal laut, namun dengan perluasan jaringan kereta api swasta di Deli yang mulanya dibangun untuk melayani keperluan perke- bunan tembakau, terjadilah jalur pengangkutan penting ke pela- buhan (Schadee 1918). Sejauh 200 kilometer yang ditanami karct di sepanjang jalur kereta api itu masih nyata pada waktu itu. Jalan yang pertama sebagian besar dibangun olch perusahaan perkebun- an, dan selain jalan raya poros Utara-Selatan, hanya sedikit saja jalan raya yang dibangun oleh pemerintah sampai pada bagian akhir dasawarsa 1920-an. Sejumlah besar dana dibelanjakan oleh kaum pengusaha perintis di Sumatera Timur untuk membangun prasarana, dan kemudian mereka mempcroleh hasil yang besar dari pembangunan itu. Berlainan dengan keadaan perusahaan perkebun- an itu, bagian terbanyak dari kaum tani karet di Daerah Luar Jawa tidak memiliki sarana perhubungan, selain sungai yang dapat d- arungi kapal laut; maka hal inilah yang menentukan pilihat Jokasi_kebun karet, dan keadaan ini masih berlaku sampai s° karang, mae Sejarah Ekonomi Indonerta 278 Di Malaya, baik perusahaan perkebunan maupun ke cecil berlokasi di sepanjang jalan raya dan jalan kereta api, yang die a n untuk melayani tambang-tambang timah, dan yang kenue tae diperluas lagi olch pemerintah, Schingga menjelang tahun 1910 merupakan jaringan luas di scluruh dacrah Malaya Barat (Oci 1963). Dengan demikian tindakan pemerintah dalam pem- bangunan prasarana Icbih luas dan penting di M: Indonesia. Memang tindakan itu dipermudah k: yang lebih tinggi dari industri timah karet, selama masa menjelang tahun 1 kan cara pendckatan jajahan Inggeris d: ban tink alaya daripya: arena | lan kemudian dari indu 915; namun i yang lebih positif pada pihak pemerintah alam membina pembangunan, Teknologi. Kedua pemerintah itu sudah sejak nekankan usaha menyempurnakan teknologi kar hakannya impor benihn ri a menunjuk- awalnya me- et sesudah diusa- ya, namun masing-masing menempuh jalan berlainan dalam meningkatkan pengembang: nesia, upaya awal disclenggarakan sejak dasawares 1890-an dengan mengadakan Cultuurtuin ) di Kebun Raya di Bogor, i Secara komersial » dengan langsung me- lipatgandakan_hasi pai scbclumnya, dan inilah yang sampai langkah kemajuan ter- besar yang dicapai dalam teknologi produksi karet. Upaya yang amat penting namun Sangat terbatas lingkupnya yang di takan pemecrintah, lalu ditingkatkan oleh pencliti sett Mulai tahun 1910, Mulai tahun 1916 ada eksperimen i ian perv ji ma tour Pemerintah.® Kelompok eksperimen ini memelihara kerja Se 6 Yan tera Timur, Pertanian U; aM 8 satu di bawah Himpunan Umum Perkebunan Karet di Suma- (AVROS), berkantor pusat di Medan. Yang lainnya ialah Sindikat imum (ALS) yang berkantor pusat di Buitenzorg (Bogor), Pemerintah dan Industri Karet 215 dan hubungan baik dengan perusahaan perkebunan yang meng sorinya, dan mutu yang tinggi serta penerapan komersial try hasil karyanya telah didokumentasikan oleh Dijkman (i951 Namun boleh dikatakan sama sekali tidak ada interaksi den, 1), sektor tani kebun karet, kecuali penyuluhan yang amat ua oleh pemerintah pada pertengahan dasawarsa 1930-an, cil pengembangan teknik penyadapan karet serty teknologi pengolahan karet pada masa awalnya melalui Kebun Raya di Singapura yang disponsori pemerintah, merupakan pen. dorong besar bagi awal pendirian perusahaan perkebunan ko. mersial (Wycherley 1959), namun kurang dipentingkan oleh per. baikan kapasitas hasilnya, dibanding dengan Indonesia. Perbedaan itu berlanjut sampai pada saat penelitian karet dialihkan kepada Departemen Pertanian dari Negara Federasi Malaya pada tahun 1905. Beberapa perusahaan perkebunan swasta Eropa juga mem- biayai badan penelitian sendiri, yang berupaya ke arah penerap- bertentangan dengan banyak pegawai yang meman- giatan eksperimen yang berlebih-lebihan dari kemajuan yang dicapai dalam Di Malaya, an komersial, dangnya sebagai ke; Departemen. Sebenarnya segala bidang pembiakan tanaman yang teramat penting itu, pada hake- katnya diserahkan serata-mata kepada kelompok-kelompok swasta, dan khususnya kepada seorang tokoh pegawai perkebun- an yang dengan bergairah melanjutkan karya penelitian di Bogor itu (Cough 1927). Pada umumnya, dan terpisah dari permulaat- nya yang bergairah, mutu dan penerapan dari penelitian karet di Malaya jauh kalah dengan yang di Indonesia, dan karya itu diperlambat lagi karena kekurangan tenaga ilmuwan selama masa Perang Dunia I. Sekalipun sebagian besar penelitian yang dispo sori pemerintah dan pihak swasta digabungkan setclah tahun 1926 pada Lembaga Penelitian Karet Malaya, yang dibiayai deng” dana dari pajak istimewa ekspor karet, hal ini kurang sekali kal stitul pak dampaknya sebelum tahun 1940 (Rubber Reseaich Ini of Malaya, 1931-1941), Lalu, sementara Bauer (1948, hal. 27 juga mengecam karya lembaga itu karena terlampau banyak me mentingkan perusahaan perkebunan, suatu staf penaschat kaum tani yang dibantu oleh petugas penyuluhan di pedesaa™ suds Sejarah Ekonomt Indonesta 280 “TZET Unyes vKopOIY snsuag rep yeIoUp vySuL-ejFuL drnySusu Sueé (¢ZGT) WER AIMINNS ‘syyaq uep weyuE]2y Ip Iseyop9q nay yefuoues BueA [ody TRY lungpy seve pio} eXuuNUIN eEnpIp UNUTEU ‘Yse ANSHeISs WEEP ULYYEsIdIp yVpH Sued Ixy QOPI ynseuusy, *> “DALE wep (Jeg Suereqag) Surpurg ‘A>|s9]}9q4 suIdosg ‘Bueuig -g ‘emdesng -p “syaog uep Ueiurjay ‘nueBBusay ‘yepay ‘1oyof > “Buryeg Urp ULTqUIDg HaBaN ‘OSuEIag “yeRIIg -999) woasy “TEI ‘eAETEW — Weosk ued 397ex ungey wep oey weungoyiog eped sympozg yeu wep UEMeUL, sen] “$6 TEAVL Pemerintah dan Industri Karet 28 mulai kegiatannya pada tahun 1940 (Rubber Research Institute a 0). a ane hen terakhir dasawarsa 1920-an, perkembangan baru dalam teknologi makin meningkat diterapkan oleh pihak perusahaan perkebunan di kedua tanah Jajahan itu. Menjelan tahun 1940 sampai 36% dari areal perkebunan di Indonesia telah ditanami dengan bibit cangkokan, dan separuh dari areal itu mulaj berproduksi (McFadyean 1944). Di Malaya, 20% dari areal perke. bunan ditanami bibit cangkokan itu pula. Besar selisih antara kedua angka itu merupakan petunjuk tentang taraf inovasi yang di- capai di masing-masing jajahan itu. Sebaliknya, hanya 1 — 2% dari kebun tani kecil yang ditanami dengan varietas jenis unggul; dan bagian itu terdapat pada kebun yang relatif besar dan merupakan akibat dari keadaan yang luar biasa. Namun lambat-laun teknik produktif kaum tani kebun karet itu membaik juga, terutama di daerah yang berdekatan dengan perkebunan di Sumatera Utara dan Malaya Barat. Pengaturan, ‘Yelah kita saksikan bahwa pengaturan peng. adaan karet dengan tujuan mengukuhkan harganya, telah men- dapat perhatian dari semula, namun hal ini lebih dilaksanakan oleh pihak Inggeris daripada oleh pihak Belanda. Rencana Ste- venson tersebut menerapkan kuota produksi di Malaya dan di Ceylon (sekarang Sri Lanka), yang keduanya menyumbangkan kira-kira 70% dari produksi sedunia pada tahun 1921 (Rowe 1931; Whittlesey 1931). Rencana Stevenson itu dipatuhi secara sukarela pula olch perkebunan karet milik Inggeris di Indonesia. Ada beberapa alasan yang menyebabkan pemerintah jajahan di Indonesia tidak mengikuti peraturan Stevenson itu. Pertama adalah anggapan resmi mengenai laisses faire, yang juga dianut oleh sejumlah pengusaha perkebunan Belanda. Selain itu terdapat pula Keraguan berkenaan dengan pembatasan terhadap kebun karet tani yang cukup luas, karena tidak tersedianya catatan m hgenal pengusahaan kebun itu, scrta juga mengingat bertambé Sentingnya perlawanan politik terhadap pemerintah jajahan. Ke - alasan tersebut tidak berlaku di Malaya, di mana kuota untuk Kebun ‘ani ditetapkan sangat rendah secara kurang wajat betbat™ ME dengan produksi sebelumnya (Lim 1977), Suatu pertimbané fa Sejorah Ekonomi Indonesia an lain ialah bahwa makna produksi karet jauh lebih besar bagi perckonomian Malaya daripada untuk Perckonomian Indonesia, sehingga di Malaya kekacauan yang timbul karenanya jauh lebih wat. Dalam keadaan itu Indonesia menarik manfaat besar dari pem- batasan produksi karet oleh pihak Inggeris, lalu ketika permintaan pasaran pulih dalam dasawarsa 1920-an (Gambar 9.1) tanah ja- jahan Belanda dapat mengisi kekurangan perscdiaannya, karena produksi dan areal perkebunan karet telah bertambah. Kebun karet tani kecil di luar Jawa banyak digairahkan olch keadaan tersebut, dan luasnya berlipat ganda tujuh kali antara tahun 1920 dan 1930 (Tabel 9.1). Sclama bebcrapa tahun dilaksanakannya rencana Stevenson itu, produksi Indoncsia mendckati jumlah pro- duksi (yang dibatasi) dari Malaya (Tabel 9.5), dan menjelang tahun 1928 areal produksi karct di dacrah jajahan Inggeris telah merosot menjadi hanya 56% dari produksi karet sedunia. Zaman Depresi Besar (1929-1932) serta kejatuhan harga karet secara drastis mendorong perubahan dalam sikap Belanda me- ngenai pembatasan produksi karet. Baik pihak pembesar maupun penguasa Belanda menyadari bahwa kapasitas produksi terlam- pau tinggi, dan akan makin tinggi bila tanaman baru menjadi ma- tang, dan bahwa perluasan produksi akan lebih menggawatkan kesulitannya. Dalam hubungan ini scktor kebun karet tani kecil yang amat rendah biaya produksinya, harus dipandang scbagai saingan yang berbahaya bagi pihak perkebunan, terutama bila di- Pandang dalam kescluruhannya (en masse) dengan kapasitas nyata yang tak dapat diketahui pasti. Pada kenyataannya sektor kebun karet tani kecil itu, yang rendah biaya tetapnya dan yang ditanami tumpangsari dengan tanaman pangan, tclah dapat mengurangi Produksinya lebih banyak daripada perkebunan besar di Sumatera ‘mur, yang dibebani biaya administrasi yang cukup tinggi (Tabel nae ne Perusahaan perkebunan itu sulit untuk menekan biaya hah, nant Walaupun besar biayanya jika kaum buruhnya dita ae besar juga biaya memulangkan mereka ke Jawa. negars, cane harga karet agak pulih, pihak pembesar pemerintah janjian pe jajahan akhirnya setuju ikut serta dalam suatu Per- ngaturan Karet Internasional. Oleh Perjanjian itu pro- Pemerintah dan Industri Karet _ . i arus dibatasi sesuai dengan kuota se. tN ne veal baru dilarang keeuali untuk megs ra dalam tahun 1939-1940, dan peremajaan tanaman dengan ketat dibatasi berdasarkan perjanjian yang mencakupi kira-kira 98% dari seluruh kapasitas produksi sedunia (McFadyean 1944), Kuota untuk kebun karet tani kecil — yang pada mulanya terlam. pau rendah — kemudian disesuaikan, namun tidak disangsikan lagi bahwa pajak ekspor yang didasarkan pada nilai karet ekspor (ad valorem export tax) diperlukan untuk menekan produksi dari kebun karet tani keeil pada'tingkat kuota yang sudah dinaikkan, dan dengan demikian sangat membebani sektor kebun karet kecil dibanding dengan pembebanan terhadap sektor perkebunan (Bauer 1948). Selain Jarangan terhadap penanaman baru, perluasan tanaman berbiaya rendah bagi kaum tani kecil yang akan merupa- kan sumber penghasilannya untuk masa depan dihentikan pula, Sekalipun produksi karet perkebunan tidak ditekan sebanyak itu, dengan praktis dibekukannya produksi berdasarkan kuota masing. masing dapatlah dipertahankan kedudukan relatif antara produsen yang berbiaya rendah dan produsen berbiaya tinggi, serta kemaju- an teknis dihambat. Oleh Perjanjian itu juga digairahkan awal produksi karet sintetis di negara-negara industri maju. Di Malaya perspektif dasar dalam menggunakan pengendalian dalam menanggulangi kapasitas, masih tetap dipertahankan juga, sehabis berakhirnya Rencana Stevenson itu, terutama mengingat terus membengkaknya luas kebun-kebun karet tani kecil di Indo- nesia. Juga ada keresahan karena bertambah Juasnya kebun karet tani kecil itu di dalam negeri, dan kecenderungan-ini didorong pula oleh kesadaran mengenai perbedaan antara produksi karet dengan produki tanaman pangan (Whitford 1931), Dengan adanya depresi besar, maka pandangan Pemerintah bahwa tanaman karet sudah eulap luas, tercermin dalam Jarangan yang diadakannya pada tahun 1930 terhadap Pengalihan tanah untuk ditanami karet. Di negara induk jajahannya, piha seri a aktif berikhtiar meyakink ya, pihak pengusaha Inggeris secar ‘an pihak Belanda yang bersikap enggan, #%* pada a alan Perjanjian Internasional tersebut. Maka sewaktl sekali | umya mulai dilaksanakan Ppembatasan_ produksi karel, 86! Produksi dari kebun karet tani keeil dalam neget dibeti Fs Sejarah Ekonomi Indonesia ta terlalu rendah dibanding dengan Produksi_perkeb: itaier 1948, hal. 209-213; Lim 1970). Di Malaya, eae berlakunya pembatasan produksi karet yang lebih lama itu memper- . jambat pemulihan ckonomi dibanding dengan di Indonesia, dian untuk sebagian hal ini menyebabkan kurangnya kemajuan teknis perkebunan di Malaya itu. ; Perpajakan. Perbedaan lainnya dalam sikap kedua pemerintah jajahan itu tampak juga pada kcbijaksanaan perpajakan masing- masing. Di Indonesia, pajak utama yang dibebankan pada produ- sen karet adalah pajak atas laba dari perseroan bersangkutan. Sckalipun pajak ini hanya berjumlah sckitar 10%, namun ia masih dipandang cukup berat, baik dibanding dengan pajak perseroan yang dipungut dari perusahaan lain pada waktu yang sama mau- pun dalam perbandingan dengan pajak yang dipungut di negara- negara penghasil karet lainnya (Figart 1925). Juga masih terdapat berbagai pajak kecil lainnya yang dipungut atas pembelian tanah untuk perkebunan. Sebaliknya sumber pendapatan negara yang potensial dari tani kecil tidak dimanfaatkan sebelum bagian per- tengahan dasawarsa 1930-an, karena sebelum itu belum dipungut bea ckspor atas karet. Pemungutan pajak dari tanah kaum tani kecil itu tidak mungkin dilaksanakan karena tidak tersedia data kadaster. Pada dasawarsa 1930-an, pemcrintah yang dihadapkan dengan kesulitan keuangan yang makin parah, mulai memungut Pajak ckspor karet ad valorem scbesar 5%. Sclama tiga tahun permulaan berlakunya Perjanjian Pengaturan Karet Internasional tahun 1934-1936 diadakan "pajak istimewa” yang berkisar sam- pai pada 50% dari harga karet rata-rata di dacrah produksi karet, yang juga dipungut dari kebun karet tani kecil, dalam suatu ikhtiar yang sia-sia untuk menckan produksi itu pada tingkat kuota yang resmi (Bauer 1948, hal. 113). Dengan tarif pajak yang sctinggi iM yang banyak meningkatkan pendapatan negara, hampir-hampir tidak ada belanja negara yang diarahkan kepada sektor kebun karet tani kecil itu. Di Malaya, 3,0% sew. dari semula dipungut bea ekspor sebanyak 2,5 — dari seluruh ekspor karet. Digabungkan dengan premi dan tanah yang dipungut dari kaum tani kebun karet, pajak ini “erupakan sumber pendapatan negara yang kian penting. Di Pemerintak dan Industri Karet 285 Malaya tidak pernah dipungut pajak perseroan dari perusahaan perkebunan, walaupun perusahaan bermodal sterling dibebanj pajak ‘perseroan di tanah Inggeris. Rupanya pemerintah Jajahan di Malaya kuat kedudukan anggarannya sampai pada permulaan Perang Dunia 1, dan sekalipun setelah itu dialami kesulitan, tiada dipungut pajak selain dari satu retribusi (cess) kecil-kecilan untuk sckedar menutupi biaya pembelian fasilitas baru untuk Lembaga Penelitian Karet di Malaya. Dengan terdapatnya pengendaliin yang ketat terhadap kebun karet tani kecil, sehingga tidak diper- lukan pajak sebagai alat pengendalian produksi, maka hanya sejum- lah kecil dari belanja pemerintah yang khusus diarahkan secara langsung terhadap scktor ini, kecuali dengan dibentuknya suatu dinas penyuluhan kecil-kecilan menjelang bagian akhir dasawarsa 1930-an. Kesimpulan Munculnya industri karet di Indonesia dan Malaya merupakan perkembangan ekonomi yang penting dalam dunia internasional, dan pemerintah di masing-masing tanah jajahan itu_memegang peranan yang penting namun berlain-lainan. Suatu ciri khas pen- ting di kedua negara itu ialah timbulnya dua sektor terpisah - yaitu sektor perkebunan dan sektor kebun karet tani kecil. Sejak bagian awal dasawarsa 1900-an, kedua pemerintah je jahan mendekati pengembangan industri karet dengan kecende- rungan ke arah perusahaan perkebunan sebagai cara yang majt Sekalipun pemerintah jajahan di Indonesia lebih condong pat pendekatan laisses faire terhadap industri tersebut, ia tetap ber tindak positif baik berkenaan usaha pembatasan produksi mar pun dalam usaha melancarkan pengembangan perkebunan, hu susnya dalam hal pengadaan tanah dan tenaga kerja dan dalam usaha membina teknologi tepat guna. Selain itu juga diutamakan eee Eropa dan Peranan pengusaha Cina yang seharst (ine embang lebih Tuas dikekang. Pada zaman depress dak sccara tegas lain pemerintah jajahan di Indonesia ber! a alipun dengan rasa enggan, dalam melaksan@ Pembatasan produksi karet berdasarkan Perjanjian Pengatura® Sejarah Ekonomi Indonesia 286 sional, _khususnya berkenaan dengan kebun karet Karet Interna y mengalami tindakan pemerintah yang dapat di- kaum tar natif dengan peranannya sebagai "pengawas” dalam sebut dis! a ertahankan status quo, Pada umumnya pihak pe- La Indonesia scmata-mata mengabaikan kebun karet ngusaha, ; i pada dasawarsa 1930-an, selain daripada ber- eae Hales dari dacrah di dekat kongkol dalam usaha menyingkirkannya ari aeral at 7 rkebunan. Kebun karet tani kecil itu tidak diberi bantuan dan vida pula dipunguti pajak dan tindakan diskriminatif selama dasa- warsa 1930-an dapat dipandang scbagai tindakan nekad meng- hadapi peningkatan produksi karet yang tidak kosong. Di Malaya, pemerintah lebih bayak mengadakan campur ta- ngan. Karena mempunyai sumber dana yang lebih besar daripada Indonesia, pemerintah Malaya bergerak dengan giat untuk me- nunjang kemajuan perkebunan karet, dengan menyediakan pra- sarana yang diperlukan dan dengan menyelenggarakan sebagian besar usaha penelitian di lembaga-lembaga pemerintah. Peme- tintah Malaya lebih cepat pula bertindak membatasi produksi karet, dan dalam upaya ini didukung oleh Pengusaha swasta. Pemerintah Malaya hanya sedikit sekali memberi bantuan Positif kepada kaum tani ‘karet; mereka dib. i mula, dan produksi mereka dinilai jauh lebih kurang dalam mene- fapkan kuota semasa berlaku Pembatasan produksi karet. Namun di sejumlah daerah. Karena tradisi ” Sarana khusus bagi kaum tani Melayu, ™encegah mereka bertanam karet. Di Indonesia, sekalipun ter- dapat Politik Etika”, dilaksanakan tindakan serupa itu berke- naan dengan kaum tani di Dacrah Luar Jawa. Kebijaksanaan yang dilaksanakan oleh kedua P » terutama di Malaya, namun Pada jangka lama ber sikap ”perwalian” dalam ae Pembatasan produksi. Tindakan pembatasan yang It ‘akan selama dasawarsa 1920-an berakibat mengurbankan per- ‘san keuntungan dan kemajuan teknis, yang membawa manfaat Pemerintah dan Industri Karet oe bagi produsen di Indonesia yang tidak dikenakan tindakan pen batasan produksi itu. Selain itu, kebijaksanaan Malaya yang ine. ngembangkan penelitian di bawah pengawasan pemerintah Kurang berhasil dibanding dengan metode pengusaha swasta yang lebih i an di Indonesia. on seberapa jauhkah kebijaksanaan pemermtah mem. pengaruhi Kemajuan ckonommi kawm tani karet. Kebijaksanaan yang dilaksanakan di Indonesia lebih jelas menonjolkan perbedaan antara kedua sektor yang timbul, di mana perkebunan di Suna. tera Timur merupakan enklave perkebunan moderen, dinamis serta bericknologi maju. Thee (1977) meneatat, bahwa perke- bunan itu mengirim pendapatannya yang berjumlah besar itu ke luar negeri, dan bahwa kurang sekali kaitannya dengan industi- industri. Enklave perkebunan Barat itu sangat konwas dengan keadaan kebun karet kaum tani kecil yang bertempat jauh dari lokasi perkebunan dan menyesuaikan potensi dari benih karet yang baru dengan sumberdaya yang dimifikinys serta cara bercocok tanam yang tradisional. Pemisahan itu tidak menonjol seperti di Malaya. Di Malaya kebijaksanaan pemerintah mengenai tanah dan perpajakan, serta peran-serta kau tani dalam usaha perkebunan dan dalam kegiatan lain yang tidak ber- kaitan dengan budaya pangan, digabung dengan keadaan geogtali yang jauh kurang Iuas, menghasilkan kaitan antara kedua sektor tersebut, serta kaitan dengan perekonomian seluruh 1 Namun, harus juga dipertanyakan apakah kebi merintah di Indonesia dalam menpadak: maga og tran member tunjangan it sesunggubnya me nolgiipelok yan amy ae Agaimana telah dinyatakan o i 8 diterapk. segera dimanfaatkan juga ol 1940 memperoleh h Jika pun tidak Iebi biaya produksi yar Daerah Luar Jaw: terbatas, an pemisahan itu, dan ang. Tek an oleh pihak perusahaan perkebunat u ch kaum tani, yang sampai pada tahun asil produksi setiap hektar yang sama banyaks h banyak dari Perusahaan perkebunan, dens"? ng lebih rendah pula. Kebun karet tani keel & meluas secara dinamis pada waktuny’ tetap meluas setelah di sfah dihapuskan pembatasa ksi at dan Perang Dunia: It berakhir. pa dn darswana 198020, : SS naman kebutn Karet tani kecil di Indonesia dan: Mo ns 1930-8 an Malaya dapat bersaing den Sejarah Ekonomi Indonesia aan perkebunan. finyatakan olch Bauer (1948), ne . ta” jurang pemisah antara’kap’ » Scbagaimana dengan meyakinkan Dan sungguhpun mcmang terdapat § asing” dengan dunia ”primitif sional” di Indonesia sebagaimana dilukiskan olch Boeke (1983), termasuk juga industri karet, Boke keliru dalam menge- mukakan pandangannya scolah. itu bersikap statis, sebagain tokoh penulis 1 Pokok dalam perbant yang menda: ahan ini sebagian terletak pada teknologi yang selama masa sebelum tahun 1940 ter- wama mencakup penggunaan bibit karet yang tidak diselcksi atas dasar keinggulan, yang dengan mudah dapat disesuaikan dengan keadaan pada kebun karet tani kecil tanpa skala ekonomi (econo- mies of scale) dalam produksi, Namun Segera sctelah diperkenal- kan benih_ pohon yang besar hasiInya, mulai diperlukan modal tambahan dan pengelolaan secara ahli, dan segera pula keadaan Sangat berubah, Pada taraf ini hirarki manajerial pada perke- bunan besar-besaran Serta tersedianya mod: > mulai memberi ke- tnggulan kepada perkebunan, Lal perkebunan di Indonesia, dan sedikit banyak juga di Malaya mulai bergerak ke arah teknologi Penghasilan tinggi pada tahun 1940, tetapi dampak ckonominya masih belum terlalu menonjol, Namun, bila kita menolch iis Perspektitnya sungeuh berbeda. Dam bara itu pada perkebun pada kebun karet tj kebun karet t da rinya, ke belakang dari dasawarsa 1980- pak ckonomi teknologi an di Malaya, serta juga mulai mengesankan; pada a, yang letaknya berjauhan dari tani tidak mampu mengadakan penye- an bantuan pemerintah terlalu tinggi biaya- n mereka diingkari (Barlow & Muhaminto 1982). Adalah. persoalan Politik mengenai kaum tani kecil di Indonesia, apakah Dunya peranan untuk hari depannya (Mubyar- to 1983). Secara kontras, telah dicapai penyesuaian yang lebih qiiPurna di scktor kebun karet tani kecil di dalam perekonomian Malaya yang bersifat lebih terpadu, namun kurang sekalikema- ivan yang diperolch di dacrah cadangan tanah Malaya, di mana ‘emajuan telah terhambat karena pembatasan terhadap pemilikan andi Indonesia d: i keeil di Malaya, ani kecil di Indonesi perkebunan, kaum Suaian secara mandiri d; nya, maka keberhasilan erintah dan Industri Karet 289 Pem ABEL 9.5. Produksi Karet di Indonesia dan Malaya 1922-1952 (000-an ton), : Indonesia Mate Tahun Sumatera Timur Perkeb.* Kebun pk. Junta? Fumtan 1922 na. na, 89 216 1928 na. na. 18. 187 1924 na, na, 147, 155 1925 55 15 192 213 1926 55 14 202 201 1927 62 7 231 6G 1928, 68 19 232 _ 304 1929 2 22 263 im 1930 72 16 246 456 1931 84 16 261° 9 1932 82 9 ah 422 88 21 287 465 1933 1988 T a Ekspor dan buka produksi karet. b Termasuk produksi dari seluruh perkebunan dan kebun tani kecil, di Indonesia (termasuk juga di Jawa). SUMBER: Data Sumatera Timur: Thee (1977). Jumlah Indonesia: CEL Jilid 1, Tabel 10, Data Malaya: Malaya (1922-1941). tanah yang diadakan sejak tahun 1 Jajahan tidak dapat sepenuhnya dipersalahkan atas adan mi itu, tindakan dan kelalaian merekalah yang meng’ bertambah sulitnya masalah pembinaan karet masa kini. 913. Sekalipun pemerintah ya dikoto- akibatkan

Anda mungkin juga menyukai