BAB 9 Sejarah Ekonomi Indonesia
BAB 9 Sejarah Ekonomi Indonesia
-999) woasy “TEI ‘eAETEW — Weosk ued 397ex ungey wep oey weungoyiog eped sympozg yeu wep UEMeUL, sen] “$6 TEAVLPemerintah dan Industri Karet 28 mulai kegiatannya pada tahun 1940 (Rubber Research Institute a 0). a ane hen terakhir dasawarsa 1920-an, perkembangan baru dalam teknologi makin meningkat diterapkan oleh pihak perusahaan perkebunan di kedua tanah Jajahan itu. Menjelan tahun 1940 sampai 36% dari areal perkebunan di Indonesia telah ditanami dengan bibit cangkokan, dan separuh dari areal itu mulaj berproduksi (McFadyean 1944). Di Malaya, 20% dari areal perke. bunan ditanami bibit cangkokan itu pula. Besar selisih antara kedua angka itu merupakan petunjuk tentang taraf inovasi yang di- capai di masing-masing jajahan itu. Sebaliknya, hanya 1 — 2% dari kebun tani kecil yang ditanami dengan varietas jenis unggul; dan bagian itu terdapat pada kebun yang relatif besar dan merupakan akibat dari keadaan yang luar biasa. Namun lambat-laun teknik produktif kaum tani kebun karet itu membaik juga, terutama di daerah yang berdekatan dengan perkebunan di Sumatera Utara dan Malaya Barat. Pengaturan, ‘Yelah kita saksikan bahwa pengaturan peng. adaan karet dengan tujuan mengukuhkan harganya, telah men- dapat perhatian dari semula, namun hal ini lebih dilaksanakan oleh pihak Inggeris daripada oleh pihak Belanda. Rencana Ste- venson tersebut menerapkan kuota produksi di Malaya dan di Ceylon (sekarang Sri Lanka), yang keduanya menyumbangkan kira-kira 70% dari produksi sedunia pada tahun 1921 (Rowe 1931; Whittlesey 1931). Rencana Stevenson itu dipatuhi secara sukarela pula olch perkebunan karet milik Inggeris di Indonesia. Ada beberapa alasan yang menyebabkan pemerintah jajahan di Indonesia tidak mengikuti peraturan Stevenson itu. Pertama adalah anggapan resmi mengenai laisses faire, yang juga dianut oleh sejumlah pengusaha perkebunan Belanda. Selain itu terdapat pula Keraguan berkenaan dengan pembatasan terhadap kebun karet tani yang cukup luas, karena tidak tersedianya catatan m hgenal pengusahaan kebun itu, scrta juga mengingat bertambé Sentingnya perlawanan politik terhadap pemerintah jajahan. Ke - alasan tersebut tidak berlaku di Malaya, di mana kuota untuk Kebun ‘ani ditetapkan sangat rendah secara kurang wajat betbat™ ME dengan produksi sebelumnya (Lim 1977), Suatu pertimbanéfa Sejorah Ekonomi Indonesia an lain ialah bahwa makna produksi karet jauh lebih besar bagi perckonomian Malaya daripada untuk Perckonomian Indonesia, sehingga di Malaya kekacauan yang timbul karenanya jauh lebih wat. Dalam keadaan itu Indonesia menarik manfaat besar dari pem- batasan produksi karet oleh pihak Inggeris, lalu ketika permintaan pasaran pulih dalam dasawarsa 1920-an (Gambar 9.1) tanah ja- jahan Belanda dapat mengisi kekurangan perscdiaannya, karena produksi dan areal perkebunan karet telah bertambah. Kebun karet tani kecil di luar Jawa banyak digairahkan olch keadaan tersebut, dan luasnya berlipat ganda tujuh kali antara tahun 1920 dan 1930 (Tabel 9.1). Sclama bebcrapa tahun dilaksanakannya rencana Stevenson itu, produksi Indoncsia mendckati jumlah pro- duksi (yang dibatasi) dari Malaya (Tabel 9.5), dan menjelang tahun 1928 areal produksi karct di dacrah jajahan Inggeris telah merosot menjadi hanya 56% dari produksi karet sedunia. Zaman Depresi Besar (1929-1932) serta kejatuhan harga karet secara drastis mendorong perubahan dalam sikap Belanda me- ngenai pembatasan produksi karet. Baik pihak pembesar maupun penguasa Belanda menyadari bahwa kapasitas produksi terlam- pau tinggi, dan akan makin tinggi bila tanaman baru menjadi ma- tang, dan bahwa perluasan produksi akan lebih menggawatkan kesulitannya. Dalam hubungan ini scktor kebun karet tani kecil yang amat rendah biaya produksinya, harus dipandang scbagai saingan yang berbahaya bagi pihak perkebunan, terutama bila di- Pandang dalam kescluruhannya (en masse) dengan kapasitas nyata yang tak dapat diketahui pasti. Pada kenyataannya sektor kebun karet tani kecil itu, yang rendah biaya tetapnya dan yang ditanami tumpangsari dengan tanaman pangan, tclah dapat mengurangi Produksinya lebih banyak daripada perkebunan besar di Sumatera ‘mur, yang dibebani biaya administrasi yang cukup tinggi (Tabel nae ne Perusahaan perkebunan itu sulit untuk menekan biaya hah, nant Walaupun besar biayanya jika kaum buruhnya dita ae besar juga biaya memulangkan mereka ke Jawa. negars, cane harga karet agak pulih, pihak pembesar pemerintah janjian pe jajahan akhirnya setuju ikut serta dalam suatu Per- ngaturan Karet Internasional. Oleh Perjanjian itu pro-Pemerintah dan Industri Karet _ . i arus dibatasi sesuai dengan kuota se. tN ne veal baru dilarang keeuali untuk megs ra dalam tahun 1939-1940, dan peremajaan tanaman dengan ketat dibatasi berdasarkan perjanjian yang mencakupi kira-kira 98% dari seluruh kapasitas produksi sedunia (McFadyean 1944), Kuota untuk kebun karet tani kecil — yang pada mulanya terlam. pau rendah — kemudian disesuaikan, namun tidak disangsikan lagi bahwa pajak ekspor yang didasarkan pada nilai karet ekspor (ad valorem export tax) diperlukan untuk menekan produksi dari kebun karet tani keeil pada'tingkat kuota yang sudah dinaikkan, dan dengan demikian sangat membebani sektor kebun karet kecil dibanding dengan pembebanan terhadap sektor perkebunan (Bauer 1948). Selain Jarangan terhadap penanaman baru, perluasan tanaman berbiaya rendah bagi kaum tani kecil yang akan merupa- kan sumber penghasilannya untuk masa depan dihentikan pula, Sekalipun produksi karet perkebunan tidak ditekan sebanyak itu, dengan praktis dibekukannya produksi berdasarkan kuota masing. masing dapatlah dipertahankan kedudukan relatif antara produsen yang berbiaya rendah dan produsen berbiaya tinggi, serta kemaju- an teknis dihambat. Oleh Perjanjian itu juga digairahkan awal produksi karet sintetis di negara-negara industri maju. Di Malaya perspektif dasar dalam menggunakan pengendalian dalam menanggulangi kapasitas, masih tetap dipertahankan juga, sehabis berakhirnya Rencana Stevenson itu, terutama mengingat terus membengkaknya luas kebun-kebun karet tani kecil di Indo- nesia. Juga ada keresahan karena bertambah Juasnya kebun karet tani kecil itu di dalam negeri, dan kecenderungan-ini didorong pula oleh kesadaran mengenai perbedaan antara produksi karet dengan produki tanaman pangan (Whitford 1931), Dengan adanya depresi besar, maka pandangan Pemerintah bahwa tanaman karet sudah eulap luas, tercermin dalam Jarangan yang diadakannya pada tahun 1930 terhadap Pengalihan tanah untuk ditanami karet. Di negara induk jajahannya, piha seri a aktif berikhtiar meyakink ya, pihak pengusaha Inggeris secar ‘an pihak Belanda yang bersikap enggan, #%* pada a alan Perjanjian Internasional tersebut. Maka sewaktl sekali | umya mulai dilaksanakan Ppembatasan_ produksi karel, 86! Produksi dari kebun karet tani keeil dalam neget dibetiFs Sejarah Ekonomi Indonesia ta terlalu rendah dibanding dengan Produksi_perkeb: itaier 1948, hal. 209-213; Lim 1970). Di Malaya, eae berlakunya pembatasan produksi karet yang lebih lama itu memper- . jambat pemulihan ckonomi dibanding dengan di Indonesia, dian untuk sebagian hal ini menyebabkan kurangnya kemajuan teknis perkebunan di Malaya itu. ; Perpajakan. Perbedaan lainnya dalam sikap kedua pemerintah jajahan itu tampak juga pada kcbijaksanaan perpajakan masing- masing. Di Indonesia, pajak utama yang dibebankan pada produ- sen karet adalah pajak atas laba dari perseroan bersangkutan. Sckalipun pajak ini hanya berjumlah sckitar 10%, namun ia masih dipandang cukup berat, baik dibanding dengan pajak perseroan yang dipungut dari perusahaan lain pada waktu yang sama mau- pun dalam perbandingan dengan pajak yang dipungut di negara- negara penghasil karet lainnya (Figart 1925). Juga masih terdapat berbagai pajak kecil lainnya yang dipungut atas pembelian tanah untuk perkebunan. Sebaliknya sumber pendapatan negara yang potensial dari tani kecil tidak dimanfaatkan sebelum bagian per- tengahan dasawarsa 1930-an, karena sebelum itu belum dipungut bea ckspor atas karet. Pemungutan pajak dari tanah kaum tani kecil itu tidak mungkin dilaksanakan karena tidak tersedia data kadaster. Pada dasawarsa 1930-an, pemcrintah yang dihadapkan dengan kesulitan keuangan yang makin parah, mulai memungut Pajak ckspor karet ad valorem scbesar 5%. Sclama tiga tahun permulaan berlakunya Perjanjian Pengaturan Karet Internasional tahun 1934-1936 diadakan "pajak istimewa” yang berkisar sam- pai pada 50% dari harga karet rata-rata di dacrah produksi karet, yang juga dipungut dari kebun karet tani kecil, dalam suatu ikhtiar yang sia-sia untuk menckan produksi itu pada tingkat kuota yang resmi (Bauer 1948, hal. 113). Dengan tarif pajak yang sctinggi iM yang banyak meningkatkan pendapatan negara, hampir-hampir tidak ada belanja negara yang diarahkan kepada sektor kebun karet tani kecil itu. Di Malaya, 3,0% sew. dari semula dipungut bea ekspor sebanyak 2,5 — dari seluruh ekspor karet. Digabungkan dengan premi dan tanah yang dipungut dari kaum tani kebun karet, pajak ini “erupakan sumber pendapatan negara yang kian penting. DiPemerintak dan Industri Karet 285 Malaya tidak pernah dipungut pajak perseroan dari perusahaan perkebunan, walaupun perusahaan bermodal sterling dibebanj pajak ‘perseroan di tanah Inggeris. Rupanya pemerintah Jajahan di Malaya kuat kedudukan anggarannya sampai pada permulaan Perang Dunia 1, dan sekalipun setelah itu dialami kesulitan, tiada dipungut pajak selain dari satu retribusi (cess) kecil-kecilan untuk sckedar menutupi biaya pembelian fasilitas baru untuk Lembaga Penelitian Karet di Malaya. Dengan terdapatnya pengendaliin yang ketat terhadap kebun karet tani kecil, sehingga tidak diper- lukan pajak sebagai alat pengendalian produksi, maka hanya sejum- lah kecil dari belanja pemerintah yang khusus diarahkan secara langsung terhadap scktor ini, kecuali dengan dibentuknya suatu dinas penyuluhan kecil-kecilan menjelang bagian akhir dasawarsa 1930-an. Kesimpulan Munculnya industri karet di Indonesia dan Malaya merupakan perkembangan ekonomi yang penting dalam dunia internasional, dan pemerintah di masing-masing tanah jajahan itu_memegang peranan yang penting namun berlain-lainan. Suatu ciri khas pen- ting di kedua negara itu ialah timbulnya dua sektor terpisah - yaitu sektor perkebunan dan sektor kebun karet tani kecil. Sejak bagian awal dasawarsa 1900-an, kedua pemerintah je jahan mendekati pengembangan industri karet dengan kecende- rungan ke arah perusahaan perkebunan sebagai cara yang majt Sekalipun pemerintah jajahan di Indonesia lebih condong pat pendekatan laisses faire terhadap industri tersebut, ia tetap ber tindak positif baik berkenaan usaha pembatasan produksi mar pun dalam usaha melancarkan pengembangan perkebunan, hu susnya dalam hal pengadaan tanah dan tenaga kerja dan dalam usaha membina teknologi tepat guna. Selain itu juga diutamakan eee Eropa dan Peranan pengusaha Cina yang seharst (ine embang lebih Tuas dikekang. Pada zaman depress dak sccara tegas lain pemerintah jajahan di Indonesia ber! a alipun dengan rasa enggan, dalam melaksan@ Pembatasan produksi karet berdasarkan Perjanjian Pengatura®Sejarah Ekonomi Indonesia 286 sional, _khususnya berkenaan dengan kebun karet Karet Interna y mengalami tindakan pemerintah yang dapat di- kaum tar natif dengan peranannya sebagai "pengawas” dalam sebut dis! a ertahankan status quo, Pada umumnya pihak pe- La Indonesia scmata-mata mengabaikan kebun karet ngusaha, ; i pada dasawarsa 1930-an, selain daripada ber- eae Hales dari dacrah di dekat kongkol dalam usaha menyingkirkannya ari aeral at 7 rkebunan. Kebun karet tani kecil itu tidak diberi bantuan dan vida pula dipunguti pajak dan tindakan diskriminatif selama dasa- warsa 1930-an dapat dipandang scbagai tindakan nekad meng- hadapi peningkatan produksi karet yang tidak kosong. Di Malaya, pemerintah lebih bayak mengadakan campur ta- ngan. Karena mempunyai sumber dana yang lebih besar daripada Indonesia, pemerintah Malaya bergerak dengan giat untuk me- nunjang kemajuan perkebunan karet, dengan menyediakan pra- sarana yang diperlukan dan dengan menyelenggarakan sebagian besar usaha penelitian di lembaga-lembaga pemerintah. Peme- tintah Malaya lebih cepat pula bertindak membatasi produksi karet, dan dalam upaya ini didukung oleh Pengusaha swasta. Pemerintah Malaya hanya sedikit sekali memberi bantuan Positif kepada kaum tani ‘karet; mereka dib. i mula, dan produksi mereka dinilai jauh lebih kurang dalam mene- fapkan kuota semasa berlaku Pembatasan produksi karet. Namun di sejumlah daerah. Karena tradisi ” Sarana khusus bagi kaum tani Melayu, ™encegah mereka bertanam karet. Di Indonesia, sekalipun ter- dapat Politik Etika”, dilaksanakan tindakan serupa itu berke- naan dengan kaum tani di Dacrah Luar Jawa. Kebijaksanaan yang dilaksanakan oleh kedua P » terutama di Malaya, namun Pada jangka lama ber sikap ”perwalian” dalam ae Pembatasan produksi. Tindakan pembatasan yang It ‘akan selama dasawarsa 1920-an berakibat mengurbankan per- ‘san keuntungan dan kemajuan teknis, yang membawa manfaatPemerintah dan Industri Karet oe bagi produsen di Indonesia yang tidak dikenakan tindakan pen batasan produksi itu. Selain itu, kebijaksanaan Malaya yang ine. ngembangkan penelitian di bawah pengawasan pemerintah Kurang berhasil dibanding dengan metode pengusaha swasta yang lebih i an di Indonesia. on seberapa jauhkah kebijaksanaan pemermtah mem. pengaruhi Kemajuan ckonommi kawm tani karet. Kebijaksanaan yang dilaksanakan di Indonesia lebih jelas menonjolkan perbedaan antara kedua sektor yang timbul, di mana perkebunan di Suna. tera Timur merupakan enklave perkebunan moderen, dinamis serta bericknologi maju. Thee (1977) meneatat, bahwa perke- bunan itu mengirim pendapatannya yang berjumlah besar itu ke luar negeri, dan bahwa kurang sekali kaitannya dengan industi- industri. Enklave perkebunan Barat itu sangat konwas dengan keadaan kebun karet kaum tani kecil yang bertempat jauh dari lokasi perkebunan dan menyesuaikan potensi dari benih karet yang baru dengan sumberdaya yang dimifikinys serta cara bercocok tanam yang tradisional. Pemisahan itu tidak menonjol seperti di Malaya. Di Malaya kebijaksanaan pemerintah mengenai tanah dan perpajakan, serta peran-serta kau tani dalam usaha perkebunan dan dalam kegiatan lain yang tidak ber- kaitan dengan budaya pangan, digabung dengan keadaan geogtali yang jauh kurang Iuas, menghasilkan kaitan antara kedua sektor tersebut, serta kaitan dengan perekonomian seluruh 1 Namun, harus juga dipertanyakan apakah kebi merintah di Indonesia dalam menpadak: maga og tran member tunjangan it sesunggubnya me nolgiipelok yan amy ae Agaimana telah dinyatakan o i 8 diterapk. segera dimanfaatkan juga ol 1940 memperoleh h Jika pun tidak Iebi biaya produksi yar Daerah Luar Jaw: terbatas, an pemisahan itu, dan ang. Tek an oleh pihak perusahaan perkebunat u ch kaum tani, yang sampai pada tahun asil produksi setiap hektar yang sama banyaks h banyak dari Perusahaan perkebunan, dens"? ng lebih rendah pula. Kebun karet tani keel & meluas secara dinamis pada waktuny’ tetap meluas setelah di sfah dihapuskan pembatasa ksi at dan Perang Dunia: It berakhir. pa dn darswana 198020, : SS naman kebutn Karet tani kecil di Indonesia dan: Mo ns 1930-8 an Malaya dapat bersaing denSejarah Ekonomi Indonesia aan perkebunan. finyatakan olch Bauer (1948), ne . ta” jurang pemisah antara’kap’ » Scbagaimana dengan meyakinkan Dan sungguhpun mcmang terdapat § asing” dengan dunia ”primitif sional” di Indonesia sebagaimana dilukiskan olch Boeke (1983), termasuk juga industri karet, Boke keliru dalam menge- mukakan pandangannya scolah. itu bersikap statis, sebagain tokoh penulis 1 Pokok dalam perbant yang menda: ahan ini sebagian terletak pada teknologi yang selama masa sebelum tahun 1940 ter- wama mencakup penggunaan bibit karet yang tidak diselcksi atas dasar keinggulan, yang dengan mudah dapat disesuaikan dengan keadaan pada kebun karet tani kecil tanpa skala ekonomi (econo- mies of scale) dalam produksi, Namun Segera sctelah diperkenal- kan benih_ pohon yang besar hasiInya, mulai diperlukan modal tambahan dan pengelolaan secara ahli, dan segera pula keadaan Sangat berubah, Pada taraf ini hirarki manajerial pada perke- bunan besar-besaran Serta tersedianya mod: > mulai memberi ke- tnggulan kepada perkebunan, Lal perkebunan di Indonesia, dan sedikit banyak juga di Malaya mulai bergerak ke arah teknologi Penghasilan tinggi pada tahun 1940, tetapi dampak ckonominya masih belum terlalu menonjol, Namun, bila kita menolch iis Perspektitnya sungeuh berbeda. Dam bara itu pada perkebun pada kebun karet tj kebun karet t da rinya, ke belakang dari dasawarsa 1980- pak ckonomi teknologi an di Malaya, serta juga mulai mengesankan; pada a, yang letaknya berjauhan dari tani tidak mampu mengadakan penye- an bantuan pemerintah terlalu tinggi biaya- n mereka diingkari (Barlow & Muhaminto 1982). Adalah. persoalan Politik mengenai kaum tani kecil di Indonesia, apakah Dunya peranan untuk hari depannya (Mubyar- to 1983). Secara kontras, telah dicapai penyesuaian yang lebih qiiPurna di scktor kebun karet tani kecil di dalam perekonomian Malaya yang bersifat lebih terpadu, namun kurang sekalikema- ivan yang diperolch di dacrah cadangan tanah Malaya, di mana ‘emajuan telah terhambat karena pembatasan terhadap pemilikan andi Indonesia d: i keeil di Malaya, ani kecil di Indonesi perkebunan, kaum Suaian secara mandiri d; nya, maka keberhasilanerintah dan Industri Karet 289 Pem ABEL 9.5. Produksi Karet di Indonesia dan Malaya 1922-1952 (000-an ton), : Indonesia Mate Tahun Sumatera Timur Perkeb.* Kebun pk. Junta? Fumtan 1922 na. na, 89 216 1928 na. na. 18. 187 1924 na, na, 147, 155 1925 55 15 192 213 1926 55 14 202 201 1927 62 7 231 6G 1928, 68 19 232 _ 304 1929 2 22 263 im 1930 72 16 246 456 1931 84 16 261° 9 1932 82 9 ah 422 88 21 287 465 1933 1988 T a Ekspor dan buka produksi karet. b Termasuk produksi dari seluruh perkebunan dan kebun tani kecil, di Indonesia (termasuk juga di Jawa). SUMBER: Data Sumatera Timur: Thee (1977). Jumlah Indonesia: CEL Jilid 1, Tabel 10, Data Malaya: Malaya (1922-1941). tanah yang diadakan sejak tahun 1 Jajahan tidak dapat sepenuhnya dipersalahkan atas adan mi itu, tindakan dan kelalaian merekalah yang meng’ bertambah sulitnya masalah pembinaan karet masa kini. 913. Sekalipun pemerintah ya dikoto- akibatkan