Analisis Mengenai Film “ The Social Dilema” Di Susun Oleh : M. Aprian Saputra (D1A180031) Rizal Kartiwa (D1A180026) Juan Bukit A.A (D1A180008) Mochamad Bhakti (D1a180029)
Hasil Analisis kelompok kami mengenai film “The Social Dilema” :
Film “The Social Dilemma” merupakan sebuah film yang mencerminkan keadaan seputar pengaruh teknologi informasi berupa sisi gelap media sosial terhadap kehidupan manusia yang terdiri dari aspek psikologis, sosiologis, politik, budaya, dan ekonomi. Film ini dibuat dalam format semi-dokumenter, dikarenakan terdiri dari tokoh-tokoh yang merupakan pernah atau sedang bekerja di perusahaan-perusahaan “raksasa” teknologi informasi dunia seperti Tristan Harris yang merupakan mantan pekerja Google, Tim Kendall yang merupakan mantan eksekutif dari Facebook, Roger McNamee yang merupakan investor pada awalawal berkembangnya Facebook, Aza Raskin yang merupakan pekerja dari Firefox & Mozilla Labs, dan masih banyak lagi. Teknologi informasi dalam hal media sosial telah membuat fenomena-fenomena serta kebiasaan-kebiasaan di masyarakat seperti scrolling, menekan tombol like dalam foto- foto, posts, atau contents yang terdapat di Facebook, Instagram, YouTube, Snapchat, dan melakukan tweet di Twitter. Kebiasaan-kebiasaan tersebut terkait dengan persebaran data, dimana seseorang dapat melakukan tindakan-tindakan seperti yang telah disebutkan sebelumnya karena data yang mereka lihat di media sosial, namun sebenarnya mereka juga membuat sebuah data baru, dan hal tersebut berjalan terus-menerus tanpa henti. Data-data tersebut kemudian diolah oleh “raksasa teknologi informasi” yang merupakan penyedia jasa layanan tersebut. “Raksasa” teknologi informasi dan media sosial tersebut cenderung untuk mencari cara untuk menang dalam lomba memperoleh atensi dari para penggunanya dan bagaimana pengguna tersebut menjadi terikat (candu) dengan output output yang dibuatnya, tanpa memikirkan secara lanjut dan lebih mendalam mengenai “bagaimana para penggunanya tidak menjadi terlalu candu” dalam menggunakan output yang mereka ciptakan. Mungkin beberapa dari kita masih kekeliru dimana kita menganggap bahwa kebiasaan surfing maupun tindakan-tindakan seperti membagikan posts, tweets, contents, dan sebagainya dijual oleh “pihak social media” tersebut untuk keperluan pribadi mereka. Namun sebenarnya alurnya bukanlah seperti itu. Ketimbang “menjual data”, para “raksasa teknologi informasi” lebih cenderung pada “mengolah data menjadi suatu hal yang dapat berguna baik pengiklan atau perusahaan lain” dan berujung pada akumulasi kapital dan peningkatan kekayaan dari sang pemilik modal “raksasa-raksasa” teknologi informasi tersebut, Sesuai dengan kata pada film ini “Jika kau tak membayar produknya, Maka kaulah produknya”. Film ini juga memperlihatkan beberapa sisi negatif penggunaan media sosial pada aspek kesehatan mental serta tingkat bunuh diri, dimana film ini menunjukkan bahwa kecenderungan bunuh diri pada anak umur 10-14 tahun di Amerika Serikat pada saat merebaknya teknologi informasi meningkat sangat pesat hingga melebihi 100%. Serta adanya bullying lewat comment dari posts berupa foto maupun video yang diunggah oleh orang-orang yang “dianggap tidak mencapai standart kecantikan” dan dapat menyebabkan lemahnya self-acceptance atau enggan untuk “menyayangi” tubuhnya sendiri. Pada Film ini juga menunjukkan AI atau Artificial Intelligence atau kecerdasan buatan yang sekiranya mempunyai pengaruh yang sangat deterministik pada kehidupan orang-orang dalam bermain media sosial. Seseorang yang telah menggunakan media sosial, cenderung untuk tidak dapat lepas dari pusaran informasi yang terdapat di media sosial. Algoritma yang terdapat dalam “mesin” yang menjalankan media sosial seakan-akan terus- terusan memberikan informasi-informasi yang sekiranya memiliki engagement yang tinggi dan daripadanya menjadikan seseorang untuk terus fokus pada media sosial yang sedang dimainkan. Meskipun sebenarnya pengguna media sosial memiliki pilihan untuk berhenti dari bermain sosial, namun kecerdasan buatan tetap mencari cara dengan mengeksploitasi isu-isu yang sedang memiliki engagement rate yang tinggi dan daripadanya menuntun seseorang untuk sulit menolak informasi-informasi yang memiliki engagement rate tinggi tersebut, karena kebanyakan isu-isu tersebut merupakan isu yang sedang hangat dan seakan- akan ”sangat sayang untuk tidak dibaca atau diketahui”. Kemudian, film ini juga menunujukkan mengenai persebaran-persebaran berita palsu di media sosial, dimana persebaran berita palsu itu memang dapat hadir dari orang yang sekiranya iseng atau tidak mengkaji lebih dalam terhadap suatu isu, akan tetapi ada juga orang yang dengan sengja membuat berita palsu tersebut demi kepentingan politik, meningkatkan keuntungan, hingga hal-hal seperti menjatuhkan orang lain dan sebagainya. Berita-berita palsu tersebut seringkali ditemukan dalam konteks teori konspirasi, dimana teori-teori konspirasi cenderung untuk memberikan suatu pemahaman yang sifatnya anti-mainstream dan terkesan untuk menentang pengetahuan yang telah ada, Mungkin secara dasarnya, teori konspirasi dapat menjadi inspirasi dalam segi “penetangan status quo” terlebih lagi apabila keadaan yang ada berisfat opresif. Tetapi sayangnya, teori konspirasi seringkali dibalut oleh berita-berita palsu yang dikemas dalam bahasa-bahasa yang menarik dan menembus tembok emosional dari setiap pembaca dan pada akhirnya dapat berpengaruh pada kerangka berpikir dari orang-orang yang memlihatnya. Dalam Film ini menyebutkan bahwasannya perkembangan teknologi yang dihasilkan oleh para pencipta teknologi tersebut dengan segala informasi yang semakin cepat dan semakin banyaknya orang yang menggunakan produk-produk mereka makan semakin besar pula akumulasi keuntungan yang didapatkan oleh mereka. Hal ini sejalan dengan akan memasukinya Revolusi Industry 4.0, dalam hal ini film Social Dilemma sungguh mencerminkan adanya Revolusi 4.0 dimana secara keseluruhan, teknologi informasi kian berinovasi untuk menggaet perhatian dari setiap pengguna maupun calon pengguna produk-produknya, dan daripadanya merubah kebiasaan masyarakat, yang mana di satu sisi mungkin terlihat baik namun disatu sisi terdapat dampak-dampak negatif yang ditimbulkan seperti yang dikatakan oleh informan-informan yang terdapat dalam film tersebut. Perubahan paling terasa dari teknologi informasi ini adalah dengan adanya IoT (Internet of Things) dimana segala hal memiliki kesinambungan dengan Internet, dan daripadanya Internet menjadi suatu hal yang sangat berpengaruh pada kehidupan manusia pada era Industri 4.0 Setelah menonton film ini, saya merasa bahwa apa yang terjadi di dalam film ini sangat keterkaitan dengan apa yang terjadi pada saat ini di masyarakat secara luas maupun dilingkungan sekitar saya. Dengan demikian, saya berpikir bahwa media sosial dapat membuat seseorang seakan-akan berada pada suatu gelembung yang selama ini diistilahkan sebagai “Filter Bubble”. Filter Bubble merujuk pada adanya suatu arus data seperti berita maupun unggahan- ungahan dari media sosial dan Internet secara keseluruhan yang “menggelembungi” yang pada akhirnya menuntun seseorang pada ketertarikan pada narasi- narasi tertentu saja dan cenderung untuk tidak peka atau menutup mata pada narasi-narasi lain. Hal ini mungkin menjadi preferensi seseorang untuk tidak terkena arus informasi yang terlalu banyak yang mungkin dapat memperkeruh pikiran, namun hal ini dapat menjadi berbahaya apabila seseorang yang berada dalam filter bubble tersebut menjadi tidak peka terhadap isu penting yang sedang terjadi dan harus diperhatikan dan menjadi tidak peka pula pada realitas. Besar narasi yang dikembangkan oleh politikus-politikus dunia cenderung merujuk pada sekulerisme, dan tetnunya hal tersebut mendapat tentangan dari kelompok agama dan daripadanya menghasilkan sebuah kritikan terhadap dunia masyarakat kontemporer. Survey yang diadakan oleh U.S Secular Survey menunjukkan bahwa sebanyak 14,3% dari total jumlah partisipan survei mengakui diri mereka sebagai sekuler atau tidak terafiliasi pada agama manapun, serta menunjukkan pula bahwa 51,9% dari jumlah total partisipan survei mengatakan bahwa pendidikan yang bernuansa sekuler atau tidak terafiliasi pada agama manapun merupakan prioritas dalam membuat tatanan masyarakat yang terbebas dari masalah-masalah yang terkait dengan stigma keagamaan. Observatoire des Religions et de la Laicite menunjukkan bahwa hanya ada sekitar 1945 mengatakan bahwa «Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa» yang tercerminkan pula pada sila pertama Pancasila dan tertuang dengan masih kuatnya institusi keagamaan di Indonesia seperti pengaruh MUI didalam pengontrolan makanan. Lalu, studi Poushter dan Ratterolf atas nama Pew Research Centre menemukan bahwa sebanyak 83% penduduk Indonesia menganggap bahwa agama memiliki peranan yang penting dalam berjalannya negara dan kehidupan bermasyarakat . Internet dan khususnya media sosial itu sendiri. Dari sini dapat dilihat bahwasannya kosmopolit masih terdapat jiwa nasionalisnya, ditandai dengan harapan nya untuk bangsa Indonesia untuk menjadi lebih baik lagi kedepannya dan terkesan memeluk multikulturalisme. Selain itu, jenis pekerjaan yang dijalankan kosmopolit cenderung menunjukkan adanya sense of boundarylessness, dimana beliau merupakan seorang warga negara Indonesia, namun mempunyai client yang berasal dari Sikap resisten tersebut terjadi karena individu maupun kelompok merasa kosmopolitanisme dapat mengancam komunitasnya, dimana mereka takut narasi-narasi tersebut dapat menggerus sifat-sifat tradisional, terlebih lagi dalam konteks agama, dimana terjadi kekhawatiran yang kuat akan tergerusnya nilai-nilai absolutisme dari agama itu sendiri. oleh para pencipta teknologi informasi seperti mesin pencarian, notifikasi serta pengiklan, dan daripadanya mengacu pada satu cluster sumber yang dianggap mewakili perasaan dan juga pemikiran mereka terhadap suatu hal. Lalu, temuan yang menunjukkan pandangan orang terhadap agama yang terdapat di Amerika Serikat, Uni Bagi beberapa orang, hal tersebut mungkin lumrah, namun tidak bagi para fundamentalisme agama, yang mana mereka akan sangat menentang hal tersebut, dan mengupayakan berbagai cara, dimulai dari meningkatkan literatur-literatur yang bersifat menyanjung agama, dan tindakan-tindakan yang bernuansa mempertahankan agama dalam berbagai macam cara, baik secara langsung, maupun secara virtual dengan memanfaatkan teknologi Internet.