27
28
Menurut Alice dalam Worm for Bait or Waste Processing (2010), reaktor
continuous flow bin merupakan reaktor cacing yang paling menguntungkan jika
diterapkan untuk kepentingan komersial. Beberapa factor yang menyebabkan reaktor
continuous flow dipilih dalam komersial antara lain karena murah, mudah dalam
perawatannya karena vermicast dapat dipanen dengan mudah, dan juga cacing jarang /
tidak pernah keluar dari reaktor.
Pada penelitian ini, sampah yang digunakan adalah tomat busuk, dan sampah
sayuran (heterogen) mengacu pada referensi yang telah disebutkan di bab 3.
Diberlakukan feeding 1,25 kg setiap 3 hari sekali pada reaktor 1, 1,5 kg setiap 3 hari
sekali pada reaktor 2, dan 1,75 kg setiap 3 hari sekali pada reaktor 3.
Penelitian yang lain dilakukan oleh Umi Fadilah, dkk., (2017) mengenai
efektivitas cacing Lumbricuss rubellus dalam mendekomposisi sampah sayuran
di Pasar Tanjung Jember. Dalam penelitian tersebut, peneliti menggunakan
reaktor Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari dua taraf perlakuan
yaitu pemberian sampah organic pasar sayur kubis 140 gr / minggu dan 280 gr
/ minggu. Setiap perlakuan dilakukan dengan menggunakan 20 gram cacing,
yang berarti perbandingan antara cacing dengan substrat adalah 1 : 7 dan 1 : 14
artinya setiap 1 gram cacing diharapkan mampu mendokomposisi sampah
sayuran sebanyak 70 hingga 140 gram setiap minggu.
Keterangan : a A.E., Clive, et.al. Vermiculture Technology : Earthworm, Organik Wastes, and Environmental
b
Management. 2011 Fadilah, U., dkk. (2017). Efektivitas Cacing Tanah (Lumbricuss rubellus Hoff.)
dalam Degradasi Karbon Organik Sampah Sayur Pasar Tanjung Jember. Berkala Saintek ,vol.V, pp, 1-6.
c
Rahmatullah, F., dkk. (2013). Potensi Vermikompos Dalam Meningkatkan Kadar N dan P Pada Limbah
IPAL PT. Djarum. Indonesian Journal of Chemical Science 2(2):142-147, d Kondisi penelitian eksisting
yang sedang dijalankan oleh penulis
Reaktor continuous flow bin yang dirancang dengan konsep high rate
vermicomposting mampu mempercepat dalam reduksi sampah organik.
Perbandingan penelitian yang dilakukan oleh penulis dengan yang lain dapat
dilihat dalam grafik di bawah ini.
2000
1800
1600
1400
1200
gram
1000
800
600
400
200
0
Sumber Peneliti 1 Peneliti 2 Penelitian
Literatur Eksisting
(Penulis)
nama peneliti
1800
1600
1400
1200
gram
1000
800
600
400
200
0
Sumber Peneliti 1 Peneliti 2 Penelitian
Literatur Eksisting
(Penulis)
Nama peneliti
10
8
6
hari ke -
4
2
0
Sumber Peneliti 1 Peneliti 2 Penelitian
Literatur Eksisting
(Penulis)
Nama peneliti
Dari ketiga grafik diatas dapat diambil kesimpulan bahwa reaktor yang
dipakai oleh penulis mampu mereduksi sampah organik lebih cepat
dibandingkan dengan yang lainnya. Percepatan dekomposisi sampah organik
pasar dapat dicapai yaitu dengan penebaran populasi cacing yang lebih tinggi
dibandingkan dengan yang lainnya. Tahap aklimatisasi di dalam penelitian ini
dikatakan berhasil karena setelah cacing dimasukan ke dalam reaktor selama
2x24 jam tidak ada perubahan signifikan terhadap populasi cacing. Pada
penelitian ini cacing dimasukan pukul 16.00 dan malam harinya beberapa
individu cacing memang ada yang keluar (11 ekor). Keluarnya cacing ini adalah
pengaruh dari temperatur kotoran sapi yang masih segar. Suhu terukur pada
ketiga reaktor adalah lebih dari 30°C pada siang hari namun tidak melebihi
40°C (lihat pada tabel 4.2). Dan setelah hari pertama, suhu mulai stabil
dikarenakan adanya lubang aerasi pada ketiga reaktor yang menyebabkan
proses aerasi terjadi di dalam reaktor sehingga temperatur menjadi lebih stabil
dihari – hari selanjutnya hingga pengomposan selesai.
Seperti yang telah dijelaskan pada bab 3 yaitu rasio feeding dengan
vermibed pada penelitian ini adalah 1,25 : 7, 1,5 : 7, dan 1,75 : 7. Pada gambar
4.4 hingga 4.6 tersaji grafik peningkatan biomasa cacing selama pemberian
sampah organik pasar pada ketiga reaktor :
3
Biomassa Cacing (kg)
2,5
2
1,5
1
0,5
0
0 5 10 15 20 25 30 35
Hari ke-
3,5
Biomassa Cacing (kg)
3
2,5
2
1,5
1
0,5
0
0 5 10 15 20 25 30 35
Hari ke-
Berikut pada tabel 4.2 disajikan secara sederhana mengenai rekapitulasi hasil
pencatatan reduksi masa sampah organik pasar pada awal kondisi (sebelum masuk
reaktor) dan akhir (setelah 3 hari), serta peningkatan biomasa cacing.
Berikut pada tabel 4.3 disajikan secara sederhana mengenai adalah rekapitulasi
hasil pencatatan reduksi masa sampah organik pasar pada awal kondisi (sebelum masuk
reaktor) dan akhir (setelah 3 hari), serta peningkatan biomasa cacing.
Berikut pada tabel 4.4 disajikan secara sederhana mengenai adalah rekapitulasi
hasil pencatatan reduksi masa sampah organik pasar pada awal kondisi (sebelum masuk
reaktor) dan akhir (setelah 3 hari), serta peningkatan biomasa cacing.
25
Temperatur (°C)
20
15 Pagi
10 Siang
Malam
5
0
0 5 10 15 20
Hari ke-
Grafik 4.9 Grafik Hubungan Temperatur dengan Waktu pada saat Proses
Vermikompos (Reaktor 1)
42
25
Temperatur (°C)
20
15 Pagi
10 Siang
5 Malam
0
0 5 10 15 20
Hari ke-
Grafik 4.10 Grafik Hubungan Temperatur dengan Waktu pada saat Proses
Vermikompos (Reaktor 2)
43
25
Temperatur (°C)
20
15 Pagi
10 Siang
Malam
5
0
0 5 10 15 20
Hari ke-
Grafik 4.11 Grafik Hubungan Temperatur dengan Waktu pada saat Proses
Vermikompos (Reaktor 3)
44
Pada gambar 4.12 dan 4.13 adalah beberapa dokumentasi yang berhasil penulis
ambil terkait dengan proses dekomposisi sampah organik pasar oleh cacing
Lumbricuss rubelus.
Gambar 4.13 Sisa Sampah Organik Pasar setelah 3 Hari di Dekomposisi oleh
Cacing Lumbircus rubellus
45
No. Parameter Satuan Minimum Maksimum Data Awal Reaktor Reaktor Reaktor
1 2 3
1 Bau Bau Tanah Bau Bau Bau Bau
Menyengat Tanah Tanah Tanah
Kotoran
2 Suhu °C Suhu Air 34°C 21°C 23°C 23°C
Tanah
3 Warna Hitam Hijau Hitam Hitam Hitam
Tanah Lumut Tanah Tanah Tanah
Kecokelatan
4 C/N % 10 20 26,3 10,2 16,6 11,54
Dalam melakukan penelitian penulis mengacu pada SNI tersebut diatas dalam
mengetahui tingkat kematangan kompos, dan pada gambar 4.14 hingga 4.16 disajikan
mengenai proses justifikasi tingkat kematangan kompos yaitu sebelum dan sesudah.
Gambar 4.14 Komparasi Kotoran Sapi setelah 16 Hari di Dekomposisi oleh Cacing
Lumbricus rubellus di Reaktor 1
Gambar 4.15 Komparasi Kotoran Sapi setelah 16 Hari di Dekomposisi oleh Cacing
Lumbricus rubellus di Reaktor 2
47
Gambar 4.16 Komparasi Kotoran Sapi setelah 16 Hari di Dekomposisi oleh Cacing
Lumbricus rubellus di Reaktor 3
Sifat fisik pada kompos yang telah matang jika dilihat dari pedoman
teknis yaitu SNI 19-7030-2004 adalah berwarna hitam tanah dan berbau tanah.
Terlihat dari foto sampel yaitu baik sampel 1, 2, maupun 3 terlihat berbeda warna
dengan data awal. Data awal pada foto adalah kotoran sapi yang berumur 4 hari
(masih segar), sedangkan sampel 1, 2, dan 3 berturut-turut adalah vermikas dari
reaktor 3, 2, dan 1. Perbedaan sangat kontras dimana pada data awal dapat dilihat
warna masih berwarna hijau lumut cenderung kecokelatan sedangkan dari
sampel 1,2,dan 3 berwarna hitam tanah. Selain warna, perbedaan juga jelas
terlihat pada kondisi bau dan kepadatan kotoran sapi. Pada data awal terlihat
bahwa sampel memiliki tekstur seperti adonan yaitu kalis (benyek), sedangkan
pada sampel vermikas yaitu 1,2,dan 3 bertekstur seperti tanah. Selain itu, bau
substrat juga berbeda dikarenakan kandungan metana yang berbeda. Data awal
yang merupakan kotoran sapi yang masih segar yaitu berumur 4 tahun berbau
sangat menyengat dibandingkan sampel 1, 2, dan 3 yang memiliki bau seperti
tanah. Warna serta tekstur dari substrat sangat berkaitan dengan kadar C/N
48
karena kompos yang belum matang memiliki C/N yang tinggi yaitu lebih dari
20%.
Kadar atau rasio C/N adalah salah satu indikator kematangan kompos
(Suthar, 2009). Proses vermikompos menurut Nigussie (2017) lebih efektif
dalam menurunkan kadar amoniak (penyebab bau pada pengomposan)
dibandingkan dengan proses pengomposan konvensional karena proses
vermikompos mampu mereduksi kadar DOC (Dissolved Organic Carbon).
Dalam penelitian ini kadar C/N setiap reaktor berbeda – beda hal tersebut
dikarenakan dalam proses pemberian feeding diberikan bermacam – macam
sampah organik. Sampah organik atau feeding pada umumnya memberikan
karakteristik pada hasil akhir vermikas. Pada tabel 4.9 tersaji secara ringkas
mengenai hasil vermikas dengan parameter uji C/N.
30 26,3
25
16,6
Kadar C/N (%)
20
15 11,54
10,2
10
0 Data
Awal R1 R2 R3
Pada hasil pengukuran terlihat bahwa nilai atau kadar C/N berbeda-beda
disetiap reaktor, pada prinsipnya nilai C/N diketahui memang bervariatif
dikarenakan feeding yang diberikan juga berbeda – beda komposisinya. Maksud
dalam hal ini adalah ketika feeding yang diberikan dominan sayur dan buah yang
masih sangat segar tentu C- Organik akan lebih tinggi dibandingkan dengan
sampah organik yang telah layu. Dikarenakan pada saat pengambilan maupun
pemberian feeding tidak disortir, maka nilai C/N tiap reaktor pun berbeda-beda.
Menurut Huang (20114), nilai C/N terukur dalam proses vermikompos adalah
14,1 %. Pada tabel 4.10 ini tersaji secara ringkas mengenai hasil C/N penulis
dengan peneliti lain.
a)
Parameter K. Huang (2014) Reaktor 1 Reaktor 2 Reaktor 3
C/N 14,1 10,2 16,6 11,54
(Keterangan : a Huang, K., dkk (2014). Biores.Tech : Elsevier Journal, vol. 170, pp.45-52)
16,6
18
16 14,1
14 11,54
10,2
12
Kadar C/N (%)
10
8
6
4
2
0
Huang,K (2014) R1 R2 R3
Selain C/N konsentrasi unsur makro laininya yang sangat penting adalah
nilai Fosfor (P2O4) dan Kalium (K2O). Menurut Yuwono (2002) fosfor berfungi
dalam pembelahan dan pembuahan sel, serta untuk fungsi pembungaan dan
pembuahan. Pada tabel 4.11 disajikan secara ringkas terkait hasil uji kadar P pada
vermikas.
Tabel 4.11 Komparasi Kadar Fosfor (P) pada Data Awal dengan Sampel
16,6
0,32 0,33
0,35
0,3
0,25
Kadar P (%)
0,2 0,16
0,15
0,1
0,05
0
Data Awal R1 R2 R3
Tabel 4.12 Komparasi Kadar Kalium (K) pada Data Awal dengan Sampel
0,67
0,7
0,58
0,6
0,43
0,5
Kdar K (%)
0,4
0,26
0,3
0,2
0,1
0
Data Awal R1 R2 R3
Diketahui :
Perhitungan :
= 5,8 %
Permintaan yang masuk dari BPTPB Sleman adalah 100 kg per minggu, akan
tetapi karena penulis awalnya memang hanya melakukan penelitian dan tidak menilik
aspek bisnis maka kauntitas yang dapat dilayani pun tidak 100% dipenuhi. Penulis
dalam perjalanannya baru dapat memenuhi 10 hingga 30 kg / minggu dikarenakan
keterbatasan lahan yang dimiliki untuk saat ini. Akan tetapi, jika pada suatu ketika
dilakukan pengembangan lebih lanjut dari beberapa pihak maka penulis dapat
memberikan saran dan masukan berupa analisis usaha untuk pemasaran cacing LR ini.
Analisis ekonomi yang berhasil penulis rangkum adalah sebagai berikut disajikan pada
tabel 4.13 hingga 4.16.
54
Tabel 4.13 Pengeluran dalam Usaha Penjualan Cacing Lumbricus rubellus skala
penelitian
Point A dan B hanya dilakukan sekali dalam 2 tahun karena merupakan sarana
tetap (biaya tidak tetap) yang dimana masa atau umur nya adalah 2 tahun. Namun,
dihitung biaya penyusutannya setiap bulan yaitu 5-15 % dari biaya tidak tetap (A+B)
sedangkan untuk mengetahui keuntungan adalah pengurangan dari hasil penjualan
(omset) dikurangi dengan biaya operasional (C) yang dimana sudah termasuk biaya
penyusutan.
55
= Rp. 630.900