Anda di halaman 1dari 84

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/352519199

Pemetaan Geologi Daerah Godan dan Sekitarnya, Kecamatan Grobogan,


Kabupaten Grobogan, Provinsi Jawa Tengah

Book · March 2021

CITATIONS READS

0 1,000

1 author:

Fx Anjar Tri Laksono


University of Pécs
38 PUBLICATIONS   33 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Earthquake on Southern Java View project

Pemetaan Geologi Grobogan View project

All content following this page was uploaded by Fx Anjar Tri Laksono on 18 June 2021.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PEMETAAN GEOLOGI
DAERAH GODAN DAN SEKITARNYA,
KECAMATAN GROBOGAN,
KABUPATEN GROBOGAN,
PROVINSI JAWA TENGAH

Oleh:
FX Anjar Tri Laksono

Penerbit
Universitas Jenderal Soedirman
2021
Monograf

PEMETAAN GEOLOGI DAERAH GODAN DAN SEKITARNYA,


KECAMATAN GROBOGAN, KABUPATEN GROBOGAN,
PROVINSI JAWA TENGAH
© 2021 Universitas Jenderal Soedirman

Cetakan Kesatu, Maret 2021


Hak Cipta dilindungi Undang-undang
All Right Reserved

Penulis:
FX Anjar Tri Laksono

Editor Isi:
Dr. Ir. Asmoro Widagdo, S.T., M.T., IPP.

Editor Bahasa:
Erwita Nurdiyanto, S.S., M.A.

Diterbitkan oleh:
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
Gd. BPU Percetakan dan Penerbitan (UNSOED Press)
Telp. (0281) 626070
Email: unsoedpresspwt@gmail.com

Anggota
Asosiasi Penerbit Perguruan Tinggi Indonesia
Nomor : 003.027.1.03.2018

viii + 74 hal., 15 x 23 cm

ISBN : 978-623-6783-45-0

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari penerbit,


sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak,
photoprint, microfilm dan sebagainya.
PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa


karena atas berkat dan limpahanNya penulis dapat menyelesaikan buku
monograf dengan judul “Pemetaan Geologi Daerah Godan dan
Sekitarnya, Kecamatan Grobogan, Kabupaten Grobogan, Provinsi Jawa
Tengah”. Buku ini berisi informasi mengenai penyebaran litologi,
struktur geologi, dan potensi sumber daya alam yang ada di daerah
Godan. Penyebaran litologi dan struktur geologi dapat digunakan oleh
pemerintah daerah sebagai data eksekutif dalam pembuatan kebijakan
pembangunan infrastruktur. Sementara itu kajian potensi sumber daya
alam dapat dijadikan referensi bagi industri untuk berinvestasi di
Grobogan. Hasil penelitian ini juga berkontribusi untuk pengembangan
peta geologi Grobogan yang terbaru secara lebih detail. Penulis juga
mengucapkan terima kasih pada:
1. Prof. Dr. Ir. Suwarto, MP. selaku rektor Universitas Jenderal
Soedirman yang telah memberikan fasilitas dalam penyusunan
buku monograf ini.
2. Prof. Dr. Rifda Naufalin, SP., M.Si. selaku ketua LPPM
Universitas Jenderal Soedirman yang telah memberikan dukungan
melalui penyelenggaran klinik penulisan buku monograf.
3. Tim pendamping klinik penulisan buku monograf yang telah
memberikan bimbingan kepada penulis.
4. Daniel Kristanto yang telah membantu sebagai porter dan teman
pada saat pemetaan berlangsung.
5. Kepala Desa Grobogan yang telah menyediakan akomodasi selama
di lapangan.
Penulis menerima kritik dan saran yang membangun agar kedepan
pemetaan geologi skala besar dapat diperluas hingga seluruh Kabupaten
Grobogan.

Purwokerto, 27 November 2020

FX Anjar Tri Laksono

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................... i


PRAKATA ................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................ v
DAFTAR GAMBAR ................................................................... vi
DAFTAR TABEL ........................................................................ viii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Permasalahan ........................................................... 1
1.2 Metode Pemecahan Masalah ................................... 1
1.3 Temuan Keterbaruan ............................................... 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Geologi Regional ..................................................... 3
2.2 Penelitian Terdahulu................................................ 10
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1 Metodologi .............................................................. 11
3.2 Lokasi dan Kesampaian Daerah Pemetaan.............. 12
3.3 Geografi, Demografi, Sosial, dan Lingkungan ........ 13
3.4 Diagram Alir Pemetaan ........................................... 16
3.5 Alat dan Bahan ........................................................ 16
BAB 4 PEMBAHASAN
4.1 Geologi Daerah Penelitian....................................... 19
4.2 Potensi Geologi ....................................................... 55
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan.............................................................. 67
5.2 Saran ........................................................................ 67
DAFTAR PUSTAKA ................................................................... 69

v
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Peta fisiografi daerah Jawa Tengah ..................... 3


Gambar 3.1 Batas Kecamatan pada Kabupaten Grobogan ...... 13
Gambar 3.2 Diagram alir penelitian ........................................ 16
Gambar 4.1 Peta Geomorfologi Daerah Pemetaan .................. 19
Gambar 4.2 Kondisi Aliran Sungai Plosorejo ......................... 21
Gambar 4.3 Morfologi Sungai STA 37 Desa Carat, Putatsari .. 22
Gambar 4.4 Gerakan Tanah pada Batulempung STA 35 Desa
Putatsari ............................................................... 25
Gambar 4.5 Longsoran Material Rombakan Batulempung
STA 32 ................................................................. 25
Gambar 4.6 Penamaan Batuan Karbonat dengan Klasifikasi
Dunham ................................................................ 27
Gambar 4.7 Klasifikasi Fasies Batuan Karbonat Menurut
James .................................................................... 28
Gambar 4.8 Satuan Batulempung karbonatan di Sungai
Godan ................................................................... 29
Gambar 4.9 Perlapisan batupasir karbonatan dengan
batulempung ........................................................ 29
Gambar 4.10 Batulempung karbonatan Formasi STA 27 Desa
Godan ................................................................... 30
Gambar 4.11 Orbulina universa (kiri) dan Orbulina bilobata
(kanan) ................................................................. 30
Gambar 4.12 Penamaan Batuan Karbonat dengan Klasifikasi
Dunham ................................................................ 34
Gambar 4.13 Klasifikasi Fasies Batuan Karbonat Menurut
James .................................................................... 35
Gambar 4.14 Peta Lintasan yang Menunjukkan Lokasi STA ... 36
Gambar 4.15 Hastigerina aequilateralis dan Globorotalia
acostaensis ........................................................... 37
Gambar 4.16 Morfologi batulempung karbonatan STA 1 Desa
Plosorejo .............................................................. 40
Gambar 4.17 Sayatan Batugamping STA 1 Nikol Sejajar ......... 42
Gambar 4.18 Sayatan Batugamping STA 1 Nikol Bersilang .... 42
Gambar 4.19 Sayatan Batugamping STA 22 Nikol Sejajar ....... 44
Gambar 4.20 Sayatan Batugamping STA 22 Nikol Bersilang .. 44
Gambar 4.21 Penamaan Batuan Karbonat dengan Klasifikasi
Dunham ................................................................ 45
Gambar 4.22 Klasifikasi Fasies Batuan Karbonat Menurut
James .................................................................... 46
Gambar 4.23 Cibicidoides crebbsi dan Dimorphina striata ...... 47
Gambar 4.24 Batugamping STA 10 Desa Tarub ....................... 48

vi Pemetaan Geologi Daerah Godan dan Sekitarnya


Gambar 4.25 Kekar yang terbentuk akibat gaya kompresi ........ 49
Gambar 4.26 Kekar berpasangan yang terbentuk akibat gaya
kompresi .............................................................. 49
Gambar 4.27 Peta Geologi Daerah Godan dan Sekitarnya ........ 51
Gambar 4.28 Analisis Kekar Penentuan Arah Tegasan Utama .. 52
Gambar 4.29 Diagram Rose Analisis Kekar .............................. 52
Gambar 4.30 Lahan Pertanian Sawah di Desa Tarub ................ 56
Gambar 4.31 Ladang Jagung di Desa Godan ............................ 56
Gambar 4.32 Telaga Bidadari Sumber Mataair di Desa
Plosorejo ............................................................... 57
Gambar 4.33 Gambar 4.33 Kontur Muka Airtanah ................... 59
Gambar 4.34 Kontur 3D ............................................................. 59
Gambar 4.35 Arah Aliran ........................................................... 60
Gambar 4.36 Overlay 1 .............................................................. 60
Gambar 4.37 Overlay 2 .............................................................. 61
Gambar 4.38 Sungai Tarub ......................................................... 62
Gambar 4.39 Ancaman Tanah Longsor di Desa
Tanggungharjo ..................................................... 65

FX Anjar Tri Laksono vii


DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Data strike dip kekar gerus Desa Putatsari STA 35 ... 50
Tabel 4.2 Perhitungan MAT ...................................................... 57
Tabel 4.2 Data Hasil Perhitungan Debit Sungai Tarub .............. 63

viii Pemetaan Geologi Daerah Godan dan Sekitarnya


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Permasalahan
Berdasarkan letak geografisnya Kota Purwodadi terletak di
Provinsi Jawa Tengah bagian timur, yaitu di jalur lalu lintas alternatif dari
Semarang-Surabaya dan menjadi jalur penghubung atau kota transit dari
kota-kota di pantura timur yaitu Kudus, Pati, Jepara, Rembang, dan Blora
menuju ke Kota Solo. Kota ini secara topografi berbentuk lembah yang
diapit oleh dua pegunungan kapur yaitu Pegunungan Kendeng atau
Pegunungan Kapur Selatan di bagian selatan dan Pegunungan Kapur
Utara di bagian utara, yang dibatasi oleh Sungai Lusi di sisi timur dan
utara kota yang selanjutnya bergabung dengan Sungai Serang mengalir ke
Laut Jawa. Bagian tengah wilayahnya adalah dataran rendah.
Kajian ini fokus pada pemetaan geologi yang meliputi Desa
Kemandonbatur, Tarub, Godan, Tanggungharjo, Lebak, dan Plosorejo,
Kecamatan Grobogan, Purwodadi Jawa Tengah. Daerah-daerah tersebut
sampai saat ini masih belum terpetakan secara detail/rinci, sehingga
dengan pemetaan geologi ini diharapkan dapat melengkapi data-data
kondisi geologi daerah setempat dari pemetaan geologi sebelumnya.
Selain itu adanya kajian ini juga diharapkan dapat memecahkan persoalan
tentang ketersediaan dan keterjangkauan air bersih pada daerah tersebut
terutama dalam pertimbangan aspek geologi yang ada.
Maksud dari kegiatan pemetaan geologi ini adalah menganalisis
geomorfologi, litologi, struktur geologi, dan potensi sumberdaya alam
positif daerah Godan dan sekitarnya. Sedangkan Tujuan dari pemetaan
geologi ini adalah membuat peta geomorfologi, peta geologi, rekonstruksi
sejarah geologi daerah, dan mengetahui potensi sumberdaya alam positif
yang dapat dikembangkan dengan baik pada daerah studi kasus.

1.2 Metode Pemecahan Masalah


Metodologi yang digunakan dalam kajian ini adalah studi pustaka
dan studi lapangan. Teknik pelaksanaan untuk studi pustaka adalah
mempelajari geologi regional zona rembang, menganalisis peta geologi
regional zona rembang guna mengetahui nama-nama formasi dan
karakteristiknya pada studi kasus, serta menganalisis Peta DEM daerah
studi kasus untuk mengetahui elevasinya. Selanjutnya, untuk metode
studi lapangan adalah dengan melakukan pemetaan geologi di daerah
studi kasus untuk mengetahui dan mendapatkan informasi secara
langsung mengenai kondisi geomorfologi, litologi, struktur geologi, tata

1
guna lahan, maupun potensi sumberdaya alam. Setelah itu, langkah
selanjutnya adalah dengan melakukan proses pengolahan data yaitu
analisis terhadap data topografi, petrologi, petrografi, strike-dip bidang
perlapisan dan struktur geologi sehingga dapat dibuat peta geomorfologi,
geologi, tata guna lahan, dan rekonstruksi sejarah geologi.

1.3 Temuan Keterbaruan


Dalam kajian ini kebaruan yang didapatkan adalah peta geologi
dengan pembagian satuan litologi skala 1:25.000. Peta ini akan
melengkapi informasi yang ada di peta geologi regional lembar Salatiga
dan Ngawi dengan skala 1:100.000. Pada peta geologi regional hanya
menggambarkan persebaran formasi batuan beserta struktur geologi
regional. Selain itu, terdapat temuan potensi sumber daya positif
berkaitan dengan sumber daya air tanah. Daerah penelitian yang
didominasi batugamping mengalami kesulitan air terutama pada musim
kemarau. Hasil pemetaan ini akan menjadi data awal untuk melakukan
eksplorasi air tanah menggunakan metode geolistrik. Litologi pada
permukaan digunakan untuk menentukan titik-titik pemetaan bawah
permukaan.

2 Pemetaan Geologi Daerah Godan dan Sekitarnya


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geologi Regional


2.1.1 Fisiografi
Menurut (B. W. Nugroho et al., 2020), Kabupaten Grobogan
terletak pada suatu cekungan antara Perbukitan Rembang dan
Pegunungan Kendeng. Secara fisiografi daerah Grobogan dapat dibagi
menjadi tiga daerah, yaitu daerah Perbukitan Rembang (di bagian utara),
Perbukitan Kendeng (di selatan), dan daerah dataran yang dikenal sebagai
Depresi Randublatung di bagian tengah. Berdasarkan atas Fisografi
Regional oleh (Bachri, 2014), maka daerah penelitian terletak di daerah
Zona Rembang Barat (gambar 2.1).

Gambar 2.1 Kabupaten Grobogan termasuk kedalam Zona Rembang pada peta
fisiografi daerah Jawa Tengah (Prihanto et al., 2018).

Zona Rembang adalah zona yang meliputi pantai utara Jawa yang
membentang dari Tuban ke arah timur melalui Lamongan, Gresik, dan
hampir keseluruhan Pulau Madura. Zona Rembang merupakan daerah
dataran yang berundulasi dengan jajaran perbukitan yang berarah barat-
timur dan berselingan dengan dataran aluvial. Lebar rata-rata zona ini
adalah 50 km2 dengan puncak tertinggi 515 meter (Gading) dan 491
meter (Tungangan). Litologi Karbonat mendominasi zona ini.
Aksesibilitas cukup mudah dan karakter tanah keras (Indranadi et al.,
2010).

3
Jalur Rembang terdiri dari Pegunungan Lipatan berbentuk
Antiklinorium yang memanjang dari arah barat ke timur, dari Kota
Purwodadi melalui Blora, Jatirogo, Tuban sampai Pulau Madura.
Morfologi di daerah tersebut dapat dibagi menjadi 3 satuan, yaitu Satuan
Morfologi dataran rendah, perbukitan bergelombang dan Satuan
Morfologi perbukitan terjal, dengan punggung perbukitan tersebut
umumnya memanjang berarah Barat-Timur, sehingga pola aliran sungai
umumnya hampir sejajar (sub-parallel) dan sebagian berpola mencabang
(dendritik) (Pulunggono & Martodjojo, 1994). Bagian utara
Antiklinorium Rembang mengandung formasi batuan berumur Miosen
Awal. Suatu kelompok antiklin yang terdapat di bagian selatan dikenal
sebagai Zona Rembang Tengah dan Selatan (Cepu Trend). Pada bagian
utara terdapat 2 gunungapi Pleistosen yakni Gunung Muria dan Gunung
Lasem. Selain itu Zona Rembang sendiri merupakan bagian dari
cekungan sedimentasi Jawa Timur bagian utara (East Java Geosynclin).
Cekungan ini terbentuk pada Oligosen Akhir yang berarah Timur- Barat
hampir sejajar dengan Pulau Jawa (Purasongka et al., 2015).
Secara geografis, cekungan Jawa Timur bagian utara terletak di
bagian utara jawa, memanjang dengan arah barat-timur kurang lebih 250
km, meliputi Kota Semarang sampai Kota Surabaya dengan lebar 60 km
sampai 70 km. Berubah secara berangsur-angsur ke arah utara menjadi
Cekungan Laut Jawa Utara, ke barat berhubungan dengan Cekungan
Jawa Barat Utara, ke selatan menerus hingga Cekungan Kendeng dan
berlanjut ke timur meliputi Pulau Madura (Kusumayudha et al., 2019).
Cekungan Jawa Timur bagian utara dapat dibagi menjadi beberapa unsur
struktur (Pramono, 2017) dalam hal ini penamaan unsur-unsur struktur
tersebut sepadan dengan penamaan dan pembagian fisiografi dari
(Romario, 2016), yaitu dari utara ke selatan: Zona rembang, Depresi
Kujung-Solo, Depresi Pati-Semarang, dan Zona Randublatung.
Secara fisiografi (Kuncoro et al., 2019) membagi Daerah Jawa
Timur menjadi tujuh zona fisiografi mulai dari selatan ke utara yaitu:
1. Pegunungan Selatan jawa
2. Vulkanik Kuarter
3. Dome dan Pematang pada jalur Central Deposit Jawa
4. Antiklinorium Kendeng
5. Depresi Randublatung
6. Dataran Alluvial Jawa Utara
7. Antiklinorium Rembang-Madura (Daerah Pemetaan)

2.1.2 Stratigrafi
Secara regional daerah Kabupaten Grobogan dan sekitarnya telah
dipetakan dalam peta geologi skala 1:100.000 yang dibuat oleh Pusat
Survei Geologi Bandung (PSG) yang tergambarkan dalam lembar peta

4 Pemetaan Geologi Daerah Godan dan Sekitarnya


geologi Salatiga menurut (Laksono, Ramadhan, et al., 2020). Stratigrafi
yang cukup lengkap pernah dibuat oleh (Pameco & Amijaya, 2015)
dalam kolom stratigrafi mandala rembang.
Selain itu konsep geologi Kabupaten Grobogan pada umumnya
dapat dijelaskan dengan mengkaji Pegunungan Kapur Utara yang tentu
saja memiliki korelasi yang erat.

A. Pegunungan Kapur Utara


Pegunungan kapur Utara Membentuk deretan pegunungan lipatan
berupa antiklinorium di daerah Rembang sampai bagian utara wilayah
Kabupaten Grobogan.Terdiri dari endapan sedimen berumur Miosen
hingga Recent. Menurut (Burhannudinnur et al., 2012) Formasi dari tua
ke muda adalah:
1. Formasi Tuban: napal pasiran dan batugamping pasiran, tebal
200 meter, berumur Miosen awal.
2. Formasi Tawun-Anggota Ngrayong: batupasir kuarsa berselingan
batugamping orbitoid dan batulempung tebal 400 meter, berumur
Miosen Tengah.
3. Formasi Bulu: batugamping pasiran dengan sisipan napal pasiran,
tebal 50 - 200 meter, berumur Miosen Tengah.
4. Formasi Wonocolo: napal paisran dengan foram globigerina
berselingan batugamping pasiran, tebal 300 meter, berumur
Miosen Akhir
5. Formasi Ledok: Batupasir glouconitan berlapis berselingan
batugamping paisran, tebal 60 meter, berumur Miosen Akhir.
6. Formasi Mundu: napal abu-abu kehijauan dan batugamping, tebal
40 - 60 meter, berumur Pliosen.
7. Formasi Paciran: batugamping pejal, batugamping dolomitan,
berumur Pliosen.
8. Lava andesit Gunung Lasem: produk lelehan andesit, berumur
Plio Plistosen.

B. Stratigrafi Zona Rembang


Menurut (Ilahi, 2018), secara fisiografi Zona Rembang
merupakan bagian dari cekungan sedimentasi Jawa Timur bagian Utara
(East Java Geosyncline). Cekungan ini terbentuk pada Oligosen Akhir
yang berarah Timur-Barat hampir sejajar dengan Pulau Jawa (Prasetyadi,
2007). Menurut (Indrarini Wulandari & Setiawan, 2017), cekungan Jawa
Timur bagian Utara merupakan geosinklin dengan ketebalan sedimen
Tersier lebih dari 6000 meter. Cekungan Jawa Timur bagian Utara
berarah Timur-Barat dan merupakan gejala tektonik Tersier Muda. Tiga
tahapan orogenesa telah dikenal berpengaruh terhadap pengendapan seri
batuan Kenozoikum di Indonesia (Wicaksana, 2018). Yang pertama

FX Anjar Tri Laksono 5


terjadi di antara interval Kapur Akhir-Eosen Tengah, kedua pada Eosen
Tengah (Intramiocene Orogeny), dan ketiga terjadi pada Pliosen-
Pleistosen. Orogenesa yang terjadi pada Miosen Tengah ditandai oleh
peristiwa yang penting di dalam distribusi sedimen dan penyebaran flora
dan fauna, terutama di daerah Indonesia bagian Barat yang juga
menyebabkan terjadinya fase regresi (susut laut) yang terjadi dalam
waktu singkat di Jawa dan daerah Laut Jawa. Fase orogenesa Miosen
Tengah ditandai juga oleh hiatus di daerah Cepu dan dicirikan oleh
perubahan fasies yaitu dari fasies transgresi menjadi fasies regresi di
seluruh Zona Rembang. Selain hal tersebut, fase orogenesa ini ditandai
oleh munculnya beberapa batuan dasar Pra-Tersier di daerah pulau Jawa
Utara (Noerwidi & Siswanto, 2015).
Perbedaan yang mencolok perihal sifat litologi dari endapan-
endapan yang berada pada Mandala Kendeng, Mandala Rembang, dan
Paparan laut Jawa yaitu sedimen. Mandala Kendeng pada umumnya terisi
oleh endapan arus turbidit yang selalu mengandung batuan piroklastik
dengan selingan napal dan batuan karbonat serta merupakan endapan laut
dalam. Umumnya sedimen-sedimen tersebut terlipat kuat dan tersesar
sungkup ke arah Utara, sedangkan Mandala Rembang memperlihatkan
batuan dengan kadar pasir yang tinggi di samping meningkatnya kadar
karbonat serta menghilangnya endapan piroklastik. Sedimen-sedimen
Mandala Rembang memberi kesan berupa endapan laut dangkal yang
tidak jauh dari pantai dengan kedalaman dasar laut yang tidak seragam
(Laksono, Ramadhan, et al., 2020). Hal ini disebabkan oleh adanya sesar-
sesar bongkah (Block faulting) yang mengakibatkan perubahan-
perubahan fasies serta membentuk daerah tinggian atau rendahan. Daerah
lepas pantai laut Jawa pada umumnya ditempati oleh endapan paparan
yang hampir seluruhnya terdiri dari endapan karbonat (Laksono,
Permanajati, et al., 2020).
Mandala Rembang menurut sistem Tektonik dapat digolongkan
ke dalam cekungan belakang busur (retro arc back arc) (Sarmili, 2016)
yang terisi oleh sedimen-sedimen berumur Kenozoikum yang tebal dan
menerus mulai dari Eosen hingga Pleistosen. Endapan berumur Eosen
dapat diketahui dari data sumur bor (Hersenanto & Hermansyah, 2010).
Litostratigrafi Tersier di Cekungan Jawa Timur bagian Utara
banyak diteliti oleh para pakar geologi diantaranya adalah (Usman et al.,
2010), (Wacana et al., 2014), (Kurnianto, 2019), (Ariati et al., 2019),
(Setiadi et al., 2019), dan (Panjaitan & Subagio, 2016) serta telah banyak
mengalami perkembangan dalam susunan stratigrafinya. Kerancauan tata
nama satuan Litostratigrafi telah dibahas secara rinci oleh (Jihan et al.,
2010) dalam hal ini susunan endapan sedimen di Cekungan Jawa Timur
bagian Utara dimasukkan ke dalam stratigrafi Mandala Rembang dengan
urutan dari tua ke muda yaitu Formasi Ngimbang, Formasi Kujung,

6 Pemetaan Geologi Daerah Godan dan Sekitarnya


Formasi Prupuh, Formasi Tuban, Formasi Tawun, Formasi Bulu, Formasi
Ledok, Formasi Mundu, Formasi Lidah dan endapan yang termuda
disebut sebagai endapan Undak Solo. Anggota Ngrayong Formasi Tawun
dari (Asbella et al., 2017) statusnya ditingkatkan menjadi Formasi
Ngrayong oleh Pringgoprawiro, 1983. Anggota Selorejo Formasi Mundu
(Dhamayanti & Hartati, 2016) statusnya ditingkatkan menjadi Formasi
Selorejo oleh (Widjaja & Noeradi, 2016) serta (Nurwidyanto et al.,
2005). Selanjutnya, Formasi Lidah mempunyai tiga anggota yaitu
Anggota Tambakromo, Anggota Malo (Panjaitan, 2010) dan Anggota
Turi (Santoso, 2016).
Rincian stratigrafi Cekungan Jawa Timur bagian Utara dari Zona
Rembang yang disusun oleh (Adha & Sapiie, 2019) terbagi menjadi 15
(lima belas) satuan yaitu Batuan Pra-Tersier, Formasi Ngimbang,
Formasi Kujung, Formasi Prupuh, Formasi Tuban, Formasi Tawun,
Formasi Ngrayong, Formasi Bulu, Formasi Wonocolo, Formasi Ledok,
Formasi Mundu, Formasi Selorejo, Formasi Paciran, Formasi Lidah dan
Undak Solo. Pembahasan masing-masing satuan dari tua ke muda adalah
sebagai berikut :
1. Formasi Tawun
Formasi Tawun mempunyai kedudukan selaras di atas
Formasi Tuban, dengan batas Formasi Tawun yang dicirikan oleh
batuan lunak (batulempung dan napal). Bagian bawah dari Formasi
Tawun, terdiri dari batulempung, batugamping pasiran, batupasir dan
lignit, sedangkan pada bagian atasnya (Anggota Ngrayong) terdiri dari
batupasir yang kaya akan moluska, lignit dan makin ke atas dijumpai
pasir kuarsa yang mengandung mika dan oksida besi. Penamaan
Formasi Tawun diambil dari desa Tawun, yang dipakai pertama kali
oleh (Praptisih, 2016). Formasi Tawun memiliki penyebaran luas di
Mandala Rembang Barat, dari lokasi tipe hingga ke Timur sampai
Tuban dan Rengel, sedangkan ke Barat satuan batuan masih dapat
ditemukan di Selatan Pati. Lingkungan pengendapan Formasi Tawun
adalah paparan dangkal yang terlindung, tidak terlalu jauh dari pantai
dengan kedalaman 0-50 meter di daerah tropis. Formasi Tawun
merupakan reservoir minyak utama pada Zona Rembang. Berdasarkan
kandungan fosil yang ada, Formasi Tawun diperkirakan berumur
Miosen Awal bagian Atas sampai Miosen Tengah.
2. Formasi Ngrayong
Formasi Ngrayong mempunyai kedudukan selaras di atas
Formasi Tawun. Formasi Ngrayong disusun oleh batupasir kuarsa
dengan perselingan batulempung, lanau, lignit, dan batugamping
bioklastik. Pada batupasir kuarsanya kadang-kadang terdapat
cangkang moluska laut. Lingkungan pengendapan Formasi Ngrayong
di daerah dangkal dekat pantai yang makin ke atas lingkungannya

FX Anjar Tri Laksono 7


menjadi litoral, lagoon, hingga sublittoral pinggir. Tebal dari Formasi
Tawun mencapai 90 meter. Karena terdiri dari pasir kuarsa maka
Formasi Tawun merupakan batuan reservoir minyak yang berpotensi
pada cekungan Jawa Timur bagian Utara. Berdasarkan keterdapatan
fosil yang ada, Formasi Ngrayong diperkirakan berumur Miosen
Tengah.
3. Formasi Bulu
Formasi Bulu secara selaras berada di atas Formasi Ngrayong.
Formasi Bulu semula dikenal dengan nama ‘Platen Complex’ dengan
posisi stratigrafi terletak selaras di atas Formasi Tawun dan Formasi
Ngrayong. Ciri litologi dari Formasi Bulu terdiri dari perselingan
antara batugamping dengan kalkarenit, kadang- kadang dijumpai
adanya sisipan batulempung. Pada batugamping pasiran berlapis tipis
kadang-kadang memperlihatkan struktur silang siur skala besar dan
memperlihatkan adanya sisipan napal. Pada batugamping pasiran
memperlihatkan kandungan mineral kwarsa mencapai 30%,
foraminifera besar, ganggang, bryozoa dan echinoid. Formasi ini
diendapkan pada lingkungan laut dangkal antara 50-100 meter. Tebal
dari formasi ini mencapai 248 meter. Formasi Bulu diperkirakan
berumur Miosen Tengah bagian atas.
4. Formasi Wonocolo
Lokasi tipe Formasi Wonocolo tidak dinyatakan oleh
(Prihutama et al., 2018), kemungkinan berasal dari desa Wonocolo, 20
km Timur Laut Cepu. Formasi Wonocolo terletak selaras di atas
Formasi Bulu, terdiri dari napal pasiran dengan sisipan kalkarenit dan
kadang-kadang batulempung. Pada napal pasiran sering
memperlihatkan struktur parallel laminasi. Formasi Wonocolo
diendapkan pada kondisi laut terbuka dengan kedalaman antara 100-
500 meter. Tebal dari formasi ini antara 89 meter sampai 339 meter.
Formasi Wonocolo diperkirakan berumur Miosen Akhir bagian bawah
sampai Miosen Akhir bagian tengah.
5. Formasi Ledok
Formasi ledok terdiri dari batugamping dan batugamping
galukonitan. Di bagian bawah perselingan batugamping yang keras
dengan yang lebih lunak dan di bagian atas berkembang batugamping
glaukonit. Batugamping yang adamemiliki karakteristik warna putih
kecokelatan, bersifat keras sampai agak lunak, dan berlapis.
Batugamping glaukonit memiliki karakteristik warna putih kehijauan,
berlapis, dan banyak terdapat foraminifera. Umur formasi ini miosen
akhir bagian atas (N16-N18). Lingkungan pengendapan berada di
neritik dangkal, dan menindih secara selaras di atas Formasi
Wonocolo.

8 Pemetaan Geologi Daerah Godan dan Sekitarnya


2.1.3 Struktur Geologi
Pada masa sekarang (Neogen-Resen), pola tektonik yang
berkembang di Pulau Jawa dan sekitarnya, khususnya Cekungan Jawa
Timur bagian Utara merupakan zona penunjaman (convergent zone),
antara lempeng Eurasia dengan lempeng Hindia – Australia (Alkatiri &
Hermansyah, 2017; Astuti et al., 2010; Patria & Aulia, 2020). Evolusi
tektonik di Jawa Timur bisa diikuti mulai dari Jaman Akhir Kapur (85-65
juta tahun yang lalu) sampai sekarang (Laksono, Ramadhan, et al., 2020).
Secara ringkasnya, pada cekungan Jawa Timur mengalami dua periode
waktu yang menyebabkan arah relatif jalur magmatik atau pola
tektoniknya berubah, yaitu pada jaman Paleogen (Eosen – Oligosen),
yang berorientasi Timur Laut – Barat Daya (searah dengan pola Meratus).
Pola ini menyebabkan Cekungan Jawa Timur bagian Utara, yang
merupakan cekungan belakang busur, mengalami rejim tektonik regangan
yang diindikasikan oleh litologi batuan dasar berumur Pra-Tersier
menunjukkan pola akresi berarah Timur Laut-Barat Daya, yang
ditunjukkan oleh orientasi sesar-sesar di batuan dasar, horst atau sesar-
sesar anjak dan graben atau sesar tangga. Dan pada jaman Neogen
(Miosen-Pliosen) berubah menjadi relatif Timur-Barat (searah dengan
memanjangnya Pulau Jawa), yang merupakan rejim tektonik kompresi,
sehingga menghasilkan struktur geologi lipatan, sesar-sesar anjak dan
menyebabkan cekungan Jawa Timur Utara terangkat (Orogonesa Pliosen-
Pleistosen) (Laksono, Santoso, et al., 2020). Khusus di Cekungan Jawa
Timur bagian Utara, data yang mendukung kedua pola tektonik bisa
dilihat dari data seismik dan dari data struktur yang tersingkap.
Menurut (Nainggolan et al., 2018; Sarmili & Troa, 2016),
Cekungan Jawa Timur bagian Utara (North East Java Basin) yaitu Zona
Kendeng, Zona Rembang-Madura, Zona Paparan Laut Jawa (Stable
Platform) dan Zona Depresi Randublatung. Keadaan struktur perlipatan
pada Cekungan Jawa Timur bagian Utara pada umumnya berarah Barat-
Timur, sedangkan struktur patahannya umumnya berarah Timurlaut-
Baratdaya dan ada beberapa sesar naik berarah Timur-Barat. Zona
pegunungan Rembang-Madura (Northern Java Hinge Belt) dapat
dibedakan menjadi 2 bagian yaitu bagian Utara (Northern Rembang
Anticlinorium) dan bagian Selatan (Middle Rembang Anticlinorium).
Bagian Utara pernah mengalami pengangkatan yang lebih kuat
dibandingkan dengan di bagian selatan sehingga terjadi erosi sampai
Formasi Tawun, bahkan kadang- kadang sampai Kujung Bawah. Di
bagian selatan dari daerah ini terletak antara lain struktur-struktur
Banyubang, Mojokerep dan Ngrayong.
Bagian Selatan (Middle Rembang Anticlinorium) ditandai oleh
dua jalur positif yang jelas berdekatan dengan Cepu. Di jalur positif
sebelah Utara terdapat lapangan-lapangan minyak yang penting di Jawa

FX Anjar Tri Laksono 9


Timur, yaitu lapangan : Kawengan, Ledok, Nglobo Semanggi, dan
termasuk juga antiklin-antiklin Ngronggah, Banyuasin, Metes, Kedewaan
dan Tambakromo. Di dalam jalur positif sebelah selatan terdapat
antiklinal-antiklinal/struktur-struktur Gabus, Trembes, Kluweh,
Kedinding-Mundu, Balun, Tobo, Ngasem-Dander, dan Ngimbang High.
Sepanjang jalur Zona Rembang membentuk struktur perlipatan
yang dapat dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu:
1. Bagian Timur, dengan arah umum poros antiklin membujur dari
Baratlaut- Timur Tenggara.
2. Bagian Barat, yang masing-masing porosnya mempunyai arah
Barat-timur dan secara umum antiklin-antiklin tersebut
menunjam baik ke arah barat ataupun ke arah timur.

2.2 Peneliti Terdahulu


Pada daerah pemetaan, diketahui belum ada penelitian terdahulu
yang pernah melaksanakan pemetaan geologi. Akan tetapi jika secara
regional telah ada yang melakukan pemetaan geologi zona rembang
barat. Seperti yang pernah dilakukan oleh (Sarmili & Hermansyah, 2016)
yang membuat peta geologi regional lembar Salatiga dan (N. E. Nugroho
& Kristanto, 2020; Setyawan et al., 2020) yang membuat peta geologi
regional lembar Ngawi. Menurut penelitian mereka bahwa formasi tertua
pada daerah pemetaan ini adalah Formasi Ngrayong yang litologinya
terdiri dari batulempung pasiran, batupasir kuarsa, napal, dan
batugamping. Di atas Formasi Ngrayong terendapkan secara selaras
Formasi Wonocolo yang litologinya terdiri dari napal dan batugamping.
Di atas Formasi Wonocolo kemudian terendapkan secara selaras Formasi
Ledok yang litologinya terdiri dari batugamping dan batugamping
glaukonitan. Menurut (Nurjazuli et al., 2018; Rasi Prasetio, 2015) pada
lembar peta geologi regional Ngawi menjelaskan bahwa terdapat sesar
mayor di antara Formasi Ledok dengan Formasi Wonocolo. Formasi
Ledok mengalami penurunan sedangkan Formasi Wonocolo bagian yang
mengalami pengangkatan. Tetapi mereka belum memastikan batas arah
zona sesarnya sehingga sebagian berupa garis tegas yang menandakan
telah pasti sedangkan setengah bagian yang lainnya masih dibuat garis
putus-putus yang menandakan bahwa masih berupa indikasi (belum
pasti).

10 Pemetaan Geologi Daerah Godan dan Sekitarnya


BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Metodologi
Dalam pelaksanaan kegiatan pemetaan geologi, dilakukan
beberapa metode-metode pemetaan dengan mempergunakan beberapa
peralatan dan bahan hingga disusunnya laporan dan poster geologi.
Berikut ini adalah metode-metode dan peralatan yang digunakan, yaitu:

3.1.1 Metode Survei


Metode survei merupakan metode awal yang digunakan dalam
pemetaan geologi ini dengan cara langsung turun ke lapangan untuk
mendapatkan data-data yang diperlukan yang kemudian dianalisis lebih
lanjut. Metode Survei ini dibagi menjadi 2 tahap pengerjaan, yaitu:
 Tahap Persiapan
Tahap persiapan ini merupakan tahapan awal dalam
melakukan Pemetaan Geologi. Pada tahap ini kegiatan yang
dilakukan adalah mencari data-data sekunder yang dapat
membantu kita pada saat di Lapangan seperti, Peta Topografi
skala 1 : 25.000, Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1 :
25.000, studi literatur pendukung daerah pemetaan, surat
perizinan, peminjaman alat lapangan, hingga persiapan fisik dan
mental.
 Tahap Pelaksanaan
Tahap pelaksanaan merupakan tahapan inti dari pemetaan
ini. Tahap pelaksanaan dibagi menjadi 3, yaitu tinjauan awal,
kegiatan pemetaan, dan checking lapangan dengan dosen
pembimbing.
Tinjauan awal merupakan kegiatan pengenalan medan
lapangan. Kegiatan ini meliputi penelusuran daerah pemetaan
secara umum, mencari akses jalan menuju singkapan,
menentukan metode geologi lapangan yang paling tepat sesuai
kesampaian daerah. Pada kegiatan tinjauan awal ini dilakukan
selama 1 hari.
Selanjutnya adalah kegiatan pemetaan, kegiatan ini
hampir sama dengan tinjauan awal, hanya saja yang dilakukan
lebih detail, seperti pencatatan data-data geologi yang ada di
lapangan.Dapat berupa data morfologi, litologi, stratigrafi,
struktur geologi, tatagunalahan, potensi sumberdaya alam,

11
pengambilan sampel, dan dokumentasi berupa foto-foto keadaan
lapangan, pada tahap ini kegiatan dilakukan selama 8 hari.
Selanjutnya terakhir adalah checking lapangan bersama
dosen pembimbing untuk lebih memperjelas data-data dari hasil
pemetaan yang masih diragukan, kegiatan checking lapangan
dilakukan selama 2 hari.

3.1.2 Metode Deskriptif


Metode deskriptif meliputi studi pustaka, merupakan tahapan
pencarian informasi pendukung untuk membantu dalam analisis lanjut
data pemetaan geologi. Pencarian informasi dapat melalui perpustakaan
kampus, internet, bahkan laporan pemetaan terdahulu di wilayah sekitar
daerah pemetaan.

3.1.3 Metode Analisis


Metode analisis merupakan tahapan analisis lanjut dari data
lapangan yang telah didapat. Metode analisis meliputi analisis kualitatif
dan analisis kuantitatif (diagram alir pada gambar 1.3). Analisis kualitatif
digunakan dalam interpretasi Peta Topografi skala 1:25.000 dan Peta
Geologi Regional skala 1:100.000, sedangkan analisis kuantitatif
digunakan dalam menganalisis sayatan tipis batuan dan mikrofosil
menggunakan mikroskop polarisasi dan mikroskop binokuler. Analisis ini
juga digunakan dalam menganalisis struktur geologi pada daerah
pemetaan. Pada tahapan ini merupakan tahapan akhir yaitu penyusunan
poster geologi dan laporan dengan menggunakan bantuan software
komputer.

3.2 Lokasi dan Kesampaian Daerah Pemetaan


3.2.1 Lokasi Daerah Pemetaan
Daerah pemetaan berada di Kecamatan Grobogan dan sekitarnya,
Kabupaten Grobogan, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia dengan luas
wilayah pemetaan 25 km2. Daerah pemetaan termasuk kedalam lembar
Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) Purwodadi, dengan skala 1:25.000, dan
lembar nomor 1408-644. Berdasarkan letak geografisnya, wilayah
Kabupaten Grobogan terletak di antara 110o15’ BT-111o25’ BT dan 7o
LS-7o30’ LS dengan kondisi tanah berupa daerah pegunungan kapur,
perbukitan, dan dataran rendah di bagian tengahnya. Wilayah Kabupaten
Grobogan berada di antara dua Pegunungan Kendeng yang membujur
dari arah barat ke timur, yang dibatasi oleh:
 Sebelah Barat : Kabupaten Semarang dan Demak.
 Sebelah Utara : Kabupaten Kudus, Pati, dan Blora.
 Sebelah Timur : Kabupaten Blora.

12 Pemetaan Geologi Daerah Godan dan Sekitarnya


 Sebelah Selatan : Kabupaten Ngawi, Sragen, Boyolali, dan
Kabupaten Semarang.

3.2.2 Lokasi Pemetaan


Waktu tempuh daerah pemetaan dari Kota Semarang kurang
lebih 120 menit perjalanan dengan menggunakan sepeda motor, apabila
menggunakan mobil akan ditempuh selama 180 menit perjalanan
(gambar 3.1). Akses jalan menuju Daerah Pemetaan cukup bagus tapi
sempit karena hanya terdiri dari 2 lajur, jalan berupa aspal dan
merupakan jalan nasional.

Daerah pemetaan
U

Gambar 3.1 Batas kecamatan pada Kabupaten Grobogan

3.3 Geografi, Demografi, Sosial, dan Lingkungan


3.3.1 Geografi
Berdasarkan hasil Evaluasi Penggunaan Tanah (EPT) tahun 1983
Kabupaten Grobogan memiliki luas 1.975,86 km2 dan merupakan
kabupaten terluas Nomor 2 (dua) di Jawa Tengah setelah Kabupaten
Cilacap. Jarak dari utara ke selatan ± 37 km dan jarak dari barat ke timur
± 83 km.
Kabupaten Grobogan yang memiliki relief daerah pegunungan
kapur dan perbukitan serta dataran rendah di bagian tengahnya, secara
topografi terbagi kedalam 3 kelompok yaitu :

FX Anjar Tri Laksono 13


1. Daerah dataran rendah berada pada ketinggian sampai 50 meter
diatas permukaan air laut dengan kelerengan 0o-8o meliputi 6
kecamatan yaitu Kecamatan Gubug, Tegowanu, Godong,
Purwodadi, Grobogan sebelah selatan, dan Wirosari sebelah
selatan.
2. Daerah perbukitan berada pada ketinggian antara 50 - 100 meter
diatas permukaan air laut dengan kelerengan 8o-15o meliputi 4
kecamatan yaitu Kecamatan Klambu, Brati, Grobogan sebelah
utara, dan Wirosari sebelah utara.
3. Daerah dataran tinggi berada pada ketinggian 100 - 500 meter
diatas permukaan air laut dengan kelerengan lebih dari 15o,
meliputi wilayah kecamatan yang berada di sebelah selatan dari
wilayah Kabupaten Grobogan.
Godan adalah Desa di Kecamatan Grobogan, Kabupaten
Grobogan, Provinsi Jawa Tengah. Secara Geografis, Kecamatan
Grobogan terletak di dataran rendah Zona Rembang Barat. Kecamatan
Grobogan merupakan daerah yang berupa dataran rendah hingga berbukit
bergelombang berdasarkan klasifikasi Van Zuidam 1983, yang berada
pada ketinggian 37,5 meter sampai 112 meter di atas permukaan air laut.
Dilihat dari Peta Kabupaten Grobogan, Kecamatan Grobogan terletak dan
berbatasan langsung dengan Kota Purwodadi di bagian selatan. Jarak
ibukota kecamatan dengan Kota Purwodadi adalah 4 km. Aksesibilitas
Kecamatan ini tergolong baik, karena berbatasan langsung dengan Kota
Purwodadi serta memiliki akses jalan yang cukup bagus. Kecamatan ini
terletak di antara Pati dan Purwodadi.

3.3.2 Demografi
Jumlah penduduk di kabupaten Grobogan pada tahun 2010
adalah sebesar 1.413.328 jiwa, yang terdiri dari 680.376 jiwa penduduk
laki – laki dan 732.952 jiwa penduduk perempuan. Dengan demikian,
jumlah penduduk perempuan lebih banyak dari pada penduduk laki - laki.
Laju pertumbuham penduduk di Kabupaten Grobogan berkisar 1,3%.
Meskipun memiliki kecenderungan menurun, namun masih belum
mencapai target laju pertumbuhan penduduk ideal yaitu laju pertumbuhan
nol (zero population growth) (Susanto, 2017).

3.3.3 Sosial
Pekerjaan penduduk di Kabupaten Grobogan diperinci per
kecamatan berdasarkan penduduk 10 tahun keatas, yang bekerja selama
seminggu. Menurut lapangan pekerjaan pada tahun 2008 penduduk yang
bekerja pada sektor pertanian adalah yang terbesar mencapai 69,72 %,
pengusaha 3,20 %, buruh industri/konstruksi 8,06%, pedagang 6,06%,
pegawai negeri sipil /TNI/POLRI 3,1 %, pensiunan 0,99 %, lainnya 8,87

14 Pemetaan Geologi Daerah Godan dan Sekitarnya


%. Dari jumlah total penduduk yang ada, yang bekerja sebesar 740.708
jiwa. Penduduk yang bekerja dibanding dengan jumlah penduduk usia
produktif memiliki presentase sebesar 76,69%.
Di Kecamatan Grobogan, sektor pertanian masih menjadi andalan
kecamatan ini. Produksi pertanian terbesar di kecamatan ini tahun 2008
adalah komoditas jagung yang mencapai kurang lebih 85.583 ton, di
antara produksi pertanian yang lain. Produksi jagung mencapai 11,67 %
dari total produksi jagung di kabupaten Grobogan yang mencapai kurang
lebih 732.747 ton.

3.3.4 Lingkungan
Secara umum di Kabupaten Grobogan tidak terdapat kawasan
khusus, sementara ini yang ada adalah kawasan lindung yang hal tersebut
telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Grobogan Nomor 10
Tahun 1994 tentang Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RUTRW)
Kabupaten Daerah Tingkat II Grobogan. Alokasi pemanfaatan
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Derah Nomor 10 Tahun 1994
adalah kawasan Lindung terdiri dari :
1. Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan di bawahnya
yang meliputi: (1) Kawasan yang mempunyai kelerengan di atas
40% berada di Kecamatan Grobogan, Brati, Tawangharjo dan
Wirosari dengan luas kawasan sebesar 448,50 Ha. (2) Kawasan
resapan air yang berada di 30 Desa yang tersebar di Kecamatan
Tanggungharjo, Kedungjati, Karangrayung, Penawangan, Toroh,
Geyer, Pulokulon, Kradenan, Gabus, Klambu dan Grobogan.
2. Kawasan Perlindungan setempat yang meliputi: kawasan
Sempadan Sungai seluas 7.265 Ha, kawasan Sempadan Waduk
(Waduk Gambrengan, Sanggeh, Butak, Simo, Nglangon,
Kenteng) dengan luas total 149 Ha, kawasan sempadan mata air
dengan luas total 1.382 Ha.
3. Kawasan Suaka Alam dan Cagar Budaya, yang meliputi:
kawasan Bledug Kuwu seluas 168,75 Ha, kawasan Mrapen,
kawasan Makam Ki Ageng Tarub, kawasan Makam Ki Ageng
Selo, kawasan Gua Lawa, Gua Macan dan kawasan Gua Urang
seluas 12,56 Ha.

FX Anjar Tri Laksono 15


3.4 Diagram Alir Pemetaan

Gambar 3.2 Diagram alir penelitian pemetaan geologi di Daerah Godan dan
sekitarnya.

3.5 Alat dan Bahan


Alat dan bahan yang digunakan dalam melakukan pemetaan
geologi hingga penyusunan poster geologi dan laporan adalah sebagai
berikut:
3.5.1 Alat
a. Kompas Geologi Brunton
b. Palu Geologi
c. Larutan HCl 0.1 M

16 Pemetaan Geologi Daerah Godan dan Sekitarnya


d. Lup (perbesaran 40x)
e. Buku Catatan Lapangan
f. Kamera Digital
g. Clipboard
h. Penggaris
i. Busur Derajat
j. Pensil Warna dan Marker

3.5.2 Bahan
a. Peta Topografi
b. Peta Rupa bumi Digital Indonesia (RBI) Daerah Grobogan
dengan skala 1:25.000, lembar No. 1408-644 (Srijono & Nadia,
2013).
c. Peta Geologi Regional Skala 1 : 100.000 Lembar Salatiga
(Fauzih et al., 2019)
d. Kantong Sampel
e. Stereonet
f. Software Corel Draw X5
g. Software Mapinfo
h. Software MS.Word
i. Software DIPS
j. Software Global Mapper

FX Anjar Tri Laksono 17


BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Geologi Daerah Penelitian


4.1.1 Geomorfologi
Pada daerah Pemetaan Geologi, yaitu Kecamatan Grobogan dan
sekitarnya, Geomorfologi daerah pemetaan dapat dibagi menjadi 2 (dua)
satuan berdasarkan kontrol gaya endogen dan eksogen atau kontrol
geomorfik serta perbedaan elevasi tiap satuan unit bentuklahan serta
satuan topografi sebagai berikut (gambar 4.1):

Gambar 4.1 Peta geomorfologi daerah Godan dan sekitarnya terdiri dari 2
satuan yaitu bentuklahan denudasional bergelombang landai dan fluvial
bergelombang landai (EC00202016398).

1. Satuan Bentuklahan Fluvial Bergelombang Landai


Penentuan satuan geomorfologi ini didasarkan pada proses
fluviatil yang terjadi pada daerah pemetaan. Pada daerah pemetaan,
bentuk lahan fluvial terdapat pada daerah yang dialiri oleh sungai utama.
Proses fluviatil yang bekerja yaitu proses erosi, transportasi, dan
sedimentasi oleh air sungai. Satuan geomorfologi ini memiliki
pelamparan luas sekitar 20% dari luas keseluruhan daerah pemetaan.
Pada pengukuran morfometri, satuan ini memiliki persen kelerengan
sebesar 5,53%. Bila dikomparasikan dengan beda tingginya yaitu sekitar

19
37,5 meter, maka menurut van Zuidam (1983) satuan ini diklasifikasikan
sebagai satuan bentuklahan fluvial bergelombang landai.
Perhitungan morfometri satuan bentuklahan ini hingga
mendapatkan angka persen kelerengan sebesar 5,53% dan beda tinggi
37,5 meter adalah sebagai berikut:
% lereng = ∆h/d x 100%
IK = 1/2000 x 25000 = 12,5 m
∆h = n kontur x IK = 3 x 12,5 = 37,5 m
d = panjang sayatan x skala peta
Sayatan 1
d = 2 x 25.000 = 50.000 cm = 500 m
% lereng = 37,5/500 x 100% = 7,5 %
Sayatan 2
d = 4 x 25.000 = 100.000 cm = 1000 m
% lereng = 37,5/1000 x 100% = 3,75 %
Sayatan 3
d = 2,8 x 25.000 = 70.000 cm = 700 m
% lereng = 37,5/700 x 100% = 5,35 %
Rata-rata lereng fluvial = (7,5% + 3,75% + 5,35%)/3 = 5,53%
Beda tinggi = Tophill - Lowhill = 87,5 - 50 = 37,5 m. Jadi berdasarkan
klasifikasi relief Van Zuidam (1983) satuan bentuklahan fluvial ini
tergolong bergelombang landai.
Pola penyaluran dendritik berkembang pada satuan geomorfologi
ini. Pola penyaluran ini menunjukkan ciri khas alirannya bercabangan
seperti cabang – cabang pohon. Seperti pola dendritik pada umumnya,
pada daerah ini pola dendritik juga memiliki sungai utama yang
bercabang menjadi beberapa anak sungai atau anak-anak sungai
bergabung jadi satu aliran pada sungai utama. Sungai utama pada satuan
bentuklahan fluvial ini yaitu Sungai Kemandonbatur, sedangkan anak-
anak sungainya yaitu Sungai Godan dan Sungai Tarub yang terletak pada
satuan bentuklahan denudasional. Selain sungai yang memiliki pola
pengaliran dendritik, terdapat pula sungai yang memiliki pola multi
basinal artinya pola pengalirannya tidak sempurna, kadang tampak dan
kadang hilang atau yang disebut sungai bawah tanah. Pola ini
berkembang pada derah yang didominasi batugamping tepatnya pada
pemetaan ini berada di Desa Plosorejo. Akan tetapi antara sungai yang
memiliki pola pengaliran dendritik dengan sungai yang memiliki pola
multi basinal merupakan sungai yang bersifat periodik karena hanya
aktif/terdapat aliran air ketika musim penghujan atau ada suplai air yang
besar dari daerah lain (gambar 4.2).

20 Pemetaan Geologi Daerah Godan dan Sekitarnya


Arah
aliran

Gambar 4.2 Kondisi Aliran Sungai Plosorejo STA 15 Saat Musim kemarau

Stadia sungai yang berkembang pada Sungai Kemandonbatur


adalah jenis stadia dewasa menuju tua. Stadia ini ditandai dengan erosi
sungai yang cenderung lateral (“U” shaped), terbentuk point bar deposit
dan meander, serta arus air sungai mulai tenang. Sedangkan anak-anak
sungai tadi termasuk dalam klasifikasi sungai stadia muda karena masih
terjadi erosi vertikal (“V” shaped), lebar sungai hanya berkisar 2-3 meter,
dan arus sungai cukup deras.
Proses eksogenik yang bekerja meliputi proses pelapukan, erosi,
transportasi, dan sedimentasi. Proses pelapukan disebabkan oleh panas
matahari dan pengaruh air permukaan yang mengubah sifat fisik dan
kimia dari batuan, sedangkan proses erosi yang mungkin berkembang
adalah erosi percik dan erosi dinding sungai (river bank erosion). Erosi
percik disebabkan oleh tenaga kinetis jatuhnya butir hujan ke permukaan
tanah. Erosi ini dapat menghancurkan porositas tanah karena pori-pori
tanah menjadi lebih kecil atau terjadi penyumbatan pori-pori, sehingga
daya infiltrasinya berkurang, maka terjadilah perlumpuran yang
mengakibatkan penurunan daya infiltrasi yang lebih drastis lagi. Dengan
demikian akan mengakibatkan terjadinya penggenangan pada topografi
datar atau terjadi aliran permukaan pada topografi bergelombang.
Sedangkan erosi dinding sungai (river bank erosion) diakibatkan oleh
arus sungai yang menggerus dinding-dinding atau tebing sungai pada
batuan yang memiliki substrat mudah lepas, sehingga terjadi erosi secara
lateral yang mengakibatkan pelebaran sungai secara lateral membentuk
“U”shaped. Kenampakan erosi dinding sungai pada saat di lapangan
adalah terlihatnya pola seperti pola aliran air pada dinding sungai akibat

FX Anjar Tri Laksono 21


gerusan.Warga sekitar memanfaatkan DAS (daerah aliran sungai) sebagai
sarana irigasi persawahan mereka. Di sekitar sungai didirikan beberapa
sumur yang digunakan untuk menampung air sehingga saat musim
kemarau dapat digunakan untuk mengairi sawah. Selain itu, pemompaan
air sungai juga dilakukan warga untuk mempercepat debit air guna
mengairi sawah.

Channel

Meander
Point bar

Gambar 4.3 Morfologi Sungai STA 37 Desa Carat, Putatsari

Pada gambar 4.3 dapat dilihat bahwa untuk morfologi sungai


sebagai salah satu penciri dari bentuklahan fluvial yaitu adanya point bar,
channel, dan meander. Point bar adalah endapan material sedimen hasil
transportasi oleh arus sungai yang berada di tepi sungai. Endapan ini
secara umum masih berupa material sedimen yang belum terkompaksikan
karena umurnya yang masih muda dan belum mengalami proses
diagenesis. Selanjutnya, channel adalah bagian dari morfologi sungai
yang merupakan jalur bergeraknya air sungai. Pada chennel inilah
material sedimen tertransport dan tempat terjadinya proses erosi yang
intensif oleh arus air yang selain itu juga terdapat proses sedimentasi
material sedimen yang tertransport, mengalami pengendapan karena
berkurangnya energi transportasi dari arus sungai itu sendiri. Sedangkan
meander adalah kelokan sungai dimana pada bagian ini arus air bergerak
dalam kecepatan yang minimum akibat adanya penghalang berupa
kelokan itu sendiri. Oleh karena kecepatan yang minimum inilah material
sedimen banyak yang terendapkan di bagian ini, dan jika kelokan
semakin tajam, suatu saat arus sungai akan memotong kelokan tersebut
untuk dapat mengalir secara lurus sehingga terbentuk oxbow lake.

22 Pemetaan Geologi Daerah Godan dan Sekitarnya


2. Satuan Bentuklahan Denudasional Bergelombang Landai
Penentuan satuan geomorfologi ini didasarkan pada proses
eksogenik yang terjadi pada deerah pemetaan. Pada daerah pemetaan,
bentuklahan denudasional terdapat pada daerah dataran yang memiliki
kontur sangat renggang pada peta topografi. Di lapangan, pada daerah ini
dijumpai erosi alami maupun erosi buatan. Pada satuan bentuklahan ini
proses utama yang terjadi adalah degradasi, pelapukan, dan pelepasan
material. Pelapukan material permukaan bumi disebabkan oleh berbagai
proses erosi dan gerakan tanah. Pada satuan bentuk lahan ini proses erosi
merupakan proses yang paling dominan, terutama disebabkan oleh
adanya air permukaan yang dipercepat dengan adanya aktivitas manusia.
Jenis erosi yang berkembang adalah erosi lembar yaitu pengangkutan
lapisan tanah yang merata tebalnya dari suatu permukaan bidang tanah.
Kekuatan jatuh butir dan aliran di permukaan merupakan penyebab utama
erosi ini.
Selain erosi, proses gerakan tanah juga adalah proses yang paling
dominan terjadi pada satuan bentuklahan ini terutama dalam bentuk
longsoran. Longsoran yang paling umum berupa longsoran bahan
rombakan yaitu gerakan massa tanah atau hasil pelapukan batuan melalui
bidang longsor yang relatif turun secara meluncur atau menggelinding.
Hal ini karena sebagian besar batuan yang berada di satuan bentuklahan
ini telah banyak yang mengalami proses pelapukan dan erosi sehingga
material bahan rombakan lebih dominan kuantitasnya dibandingkan
dengan material batuan. Selain itu yang mempengaruhi adanya gerakan
tanah berupa longsoran karena litologi yang dominan pada satuan
bentuklahan ini adalah batulempung, yang memiliki karakteristik akan
mudah mengembang jika banyak terakumulasi air terutama pada musim
penghujan karena permeabilitasnya yang rendah sehingga tidak dapat
mengalirkan fluida. Serta pada musim kemarau batulempung akan
kembali mengkerut, karena kehilangan fluida. Proses kembang-kempis
inilah yang menyebabkan terjadinya longsoran (gambar 4.4 dan 4.5).
Satuan geomorfologi bentuklahan denudasional bergelombang
landai memiliki pelamparan luas sekitar 80% dari luas keseluruhan
daerah pemetaan. Pada pengukuran morfometri, satuan ini memiliki
persen kelerengan sebesar 4,44%. Bila dikomparasikan dengan beda
tingginya yaitu sekitar 50 meter, maka menurut van Zuidam (1983)
satuan ini dapat diklasifikasikan sebagai satuan bentuk lahan
denudasional bergelombang landai.
Perhitungan morfometri satuan bentuklahan ini hingga mendapatkan
angka persen kelerengan sebesar 4,44% dan beda tinggi 50 meter adalah
sebagai berikut:
% lereng = ∆h/d x 100%
IK = 1/2000 x 25000 = 12,5 m

FX Anjar Tri Laksono 23


∆h = n kontur x IK = 3 x 12,5 = 37,5 m
d = panjang sayatan x skala peta
Sayatan 1
d = 2 x 25.000 = 50.000 cm = 500 m
% lereng = 37,5/500 x 100% = 7,5 %
Sayatan 2
d = 6 x 25.000 = 150.000 cm = 1500 m
% lereng = 37,5/1500 x 100% = 2,5 %
Sayatan 3
d = 4,5 x 25.000 = 112.500 cm = 1125 m
% lereng = 37,5/1125 x 100% = 3,33 %
Rata-rata lereng fluvial = (7,5% + 2,5% + 3,33%)/3 = 4,44%
Beda tinggi = Tophill - Lowhill = 100 - 50 = 50 m. Jadi berdasarkan
klasifikasi relief Van Zuidam (1983) satuan bentuklahan denudasional
ini tergolong bergelombang landai.
Pada bentuk lahan ini dijumpai sungai dengan pola penyaluran
dendritik dan multi basinal. Pola pengaliran dendritik membentuk seperti
pohon dan terdapat cabang-cabangnya yang memiliki arah tidak
beraturan. Pola ini mengindikasikan bahwa daerah tersebut didominasi
oleh batuan yang memiliki resistensi seragam. Hal ini dibuktikan dengan
persen kelerengan dan beda tinggi yang kecil dan litologi yang
didominasi oleh batulempung yang memiliki resistensi rendah. Sungai
dengan pola ini dan pada bentuk lahan ini diantaranya Sungai Tarub.
Sungai Tarub ini merupakan sungai yang cukup besar yang selalu ada
airnya kendati di musim kemarau sehingga sungai ini termasuk sungai
yang bersifat permanen. Stadia sungai ini dewasa sampai tua yang
dibuktikan dengan kecepatan alirannya yang sudah mulai berkurang,
sudah mulai didominasi sedimentasi daripada erosi, serta mulai
ditemukan beberapa meander. Sementara untuk pola penyaluran multi
basinal banyak dijumpai pada daerah yang didominasi batugamping
misalnya beberapa sungai di Plosorejo dan sungai di Tarub timur.
Dikatakan multi basinal karena pola pengalirannya tidak sempurna
kadang tampak dan kadang hilang. Tampak jika musim penghujan, dan
akan kering atau hilang saat musim kemarau. Sehingga disebut sungai
periodik.

24 Pemetaan Geologi Daerah Godan dan Sekitarnya


Batulempung
Bidang
longsoran

Gambar 4.4 Gerakan Tanah pada Batulempung STA 35 Desa Putatsari

Bidang
longsoran

Gambar 4.5 Longsoran Material Rombakan Batulempung STA 32 Desa


Putatsari

4.1.2 Stratigrafi
Stratigrafi dalam arti luas adalah ilmu yang membahas aturan,
hubungan, dan kejadian atau genesa macam-macam batuan di Alam
dengan ruang dan waktu, menurut Sandi Stratigrafi Indonesia, sedangkan
pengertian Stratigrafi secara harfiah adalah studi mengenai sejarah,
komposisi, dan umur relatif serta distribusi perlapisan batuan dan
interpretasi lapisan-lapisan batuan untuk menjelaskan sejarah Bumi.
Dalam penentuan Stratigrafi, kita tidak boleh terlepas dari
hukum-hukum Stratigrafi yang telah ada, seperti :

FX Anjar Tri Laksono 25


 Horizontalitas: pada awalnya batuan terendapkan secara
horizontal, apabila keadaan batuan tersebut miring maka batuan
tersebut telah mengalami proses deformasi.
 Superposisi: batuan yang berumur lebih tua akan terendapkan
pada bagian bawah.
 Hubungan saling potong memotong: batuan yang dipotong oleh
batuan lainnya memiliki umur yang lebih tua dibandingkan
dengan batuan yang memotongnya.
 Penyebaran lateral: lapisan batuan akan melampar secara lateral,
dan pada ujung dari pelamparan tersebut akan mengkerucut/
menipis.
Stratigrafi daerah pemetaan terbagi menjadi tiga satuan litologi,
dari paling tua ke yang paling muda yaitu satuan batulempung
karbonatan, lalu diatasnya terdapat satuan batulempung karbonatan
sisipan batugamping, dan yang paling muda adalah satuan batugamping.
Penentuan satuan litologi pada daerah pemetaan berdasarkan sifat
fisik batuan melalui pengamatan megaskopis maupun petrografi dan
berdasarkan penyebaran atau pelamparan batuan yang dilihat dari
kesamaan fisik maupun keterdapatan fosil di dalam suatu batuan sehingga
dapat dikorelasikan antara hubungan suatu batuan yang ditemukan pada
lokasi tertentu dengan batuan yang ditemukan di tempat lain pada daerah
pemetaan. Berikut adalah karakteristik dari masing-masing satuan
litologi:

1. Satuan Batulempung Karbonatan


Satuan batulempung karbonatan dijumpai pada kavling bagian
utara dan mencakup 60% daerah pemetaan. Satuan litologi ini dijumpai di
Desa Kemandonbatur, Desa Tanggungharjo, Desa Putatsari, Desa Lebak,
Desa Plosorejo bagian utara, dan Desa Godan. Berdasarkan deskripsi
megaskopis, batulempung karbonatan ini memiliki warna abu-abu
kehitaman, strukturnya berupa non struktur karena pada komponen yang
turut membentuk batuan tersebut tidak memiliki pola struktur yang
spesifik, hanya terdapat beberapa fragmen kecil cangkang mollusca yang
menempel secara acak dan tidak beraturan pada mikrit yang merupakan
lumpur karbonat yang tersusun oleh interlocking anhedral kalsit atau
aragonit yang berukuran halus (lumpur), tekstur dari batuan ini adalah
mud supported karena lebih banyak dipengaruhi oleh butiran-butiran
kecil yang padat atau sering disebut dengan lumpur karbonat dengan
ukuran sekitar kurang dari 1/256 mm yang mana menyusun batuan
tersebut lebih dari 90%, sementara butiran-butiran yang lebih besar
seperti fragmen atau grain adalah konstituen batuan yang jumlahnya
kurang dari 10%, tingkat pelapukan rendah sampai completely
weathering (pelapukan tingkat 2-5) dengan karakteristik terjadi

26 Pemetaan Geologi Daerah Godan dan Sekitarnya


perubahan warna, tingkat kekerasannya menjadi lebih lunak, bahkan
banyak pula yang sudah mengalami dekomposisi dan disintegrasi
konstituennya hingga beberapa konstituen menjadi soil. Komposisi dari
sampel batuan yang ada menunjukkan allochemnya terdiri dari skeletal
grain, karena fragmen yang ada berasal dari cangkang/bagian keras suatu
organisme yaitu cangkang Molluska kelas pelecypoda dan gastropoda
dengan kondisi hampir 100% berupa pecahan. Dari penyebaran yang ada,
sekitar 70% dari luasan satuan litologi batulempung karbonatan pada
daerah pemetaan telah mengalami pelapukan yang intensif dengan
persentase tingkat pelapukan sekitar 20% sampai 90%, sedangkan
orthocemnya berupa mikrit.
Berdasarkan sifat fisik dan komposisi secara megaskopis, maka
dapat diketahui penamaan batulempung karbonat tersebut secara lebih
spesifik. Berdasarkan klasifikasi Dunham disebut dengan mudstone
(gambar 4.6).

Gambar 4.6 Penamaan Batuan Karbonat dengan Klasifikasi Dunham

Berdasarkan penamaan tersebut dapat diperkirakan lingkungan


pengendapannya. Selanjutnya, mudstone merupakan batuan yang
tersusun oleh material sedimen yang kecil dan ringan maka ia hanya akan
terendapkan jika arus air yang merupakan sebagai media transport
memiliki energi pengendapan yang tinggi dibandingkan dengan energi
kinetiknya atau energi untuk mentransportasikan material sedimen
tersebut. Selain itu, yang juga perlu dipertimbangkan adalah adanya fosil
molluska seperti pelecypoda dan gastropoda serta beberapa foraminifera
planktonik saat diamati dengan mikroskop binokuler seperti Orbulina
universa dan Orbulina bilobata, maka yang sangat memungkinkan untuk
ia terendapkan dan mengalami diagenesis menjadi endapan batuan
sedimen karbonatan seperti sekarang ini adalah pada zona backreef atau

FX Anjar Tri Laksono 27


termasuk fasies belakang terumbu (berdasarkan klasifikasi zonasi batuan
karbonat James (gambar 4.7).

Gambar 4.7 Klasifikasi Fasies Batuan Karbonat Menurut James

Dari hasil uji reaksi kimia saat di lapangan dengan menggunakan


larutan HCL 0.1 M sebagian besar menunjukkan reaksi yang positif
terkecuali di STA 8 yang terletak pada koordinat Latitude 497731 dan
Longitude 9224357 tepatnya berada di Desa Lebak STA ujung baratlaut
dari daerah pemetaan (gambar 4.8), STA 45, STA 46, STA 47, STA 48,
dan STA 49 yang semuanya berada di Desa Plosorejo, adanya reaksi
positif terhadap HCl semakin kuat menunjukkan bahwa batulempung
tersebut mengandung unsur-unsur karbonatan yang kemungkinan dapat
berupa semen diantara konstituen-konstituen penyusun yang ada, maupun
karbonatan yang berasal dari pecahan atau fragmen cangkang mikrofosil
yang turut serta menyusun batuan tersebut. Selanjutnya, yang tidak
bereaksi positif terhadap larutan HCl mengindikasikan bahwa batuan
tersebut bersifat non karbonatan dan tentu saja ini akan mengindikasikan
proses pembentukan atau genesa yang berbeda. Kenampakan di lapangan
menunjukkan bahwa satuan litologi batulempung karbonatan ada yang
dijumpai dalam bentuk struktur perlapisan dengan batupasir karbonatan
seperti yang ada Desa Lebak (gambar 4.9) pada area tambang
batulempung terbuka dengan arah kedudukan perlapisan N335oE / 69o
dan pada STA 24 di Desa Godan dengan arah perlapisan N155oE / 28o.
Selain itu banyak pula yang tersingkap dalam bentuk struktur non-
struktur artinya tidak dijumpai adanya bidang perlapisan, contoh STA ini
adalah STA 44 di Desa Lebak, STA 45, STA 46 di Desa Tanggungharjo.
Terdapat pula batulempung karbonatan yang disertai dengan sisipan pasir
tepatnya di Desa Putatsari STA 34 dan 35. Batulempung karbonatan yang
ditemukan memiliki ciri khas yaitu dapat menyimpan cukup banyak air.

28 Pemetaan Geologi Daerah Godan dan Sekitarnya


Sehingga saat musim kemarau, batulempung karbonatan ini tampak tidak
begitu kering sehingga timbul banyak rekahan akibat keluarnya air dari
dalam tubuh batuan oleh karena perubahan temperatur, tetapi
batulempung karbonatan tersebut menunjukkan kondisi yang relatif selalu
basah dan saat dipegang dengan tangan terasa lengket dan halus (gambar
4.8 dan 4.10).
Di STA 49 yang terletak di Desa Plosorejo dijumpai kontak
batuan antara satuan lapisan batulempung karbonatan dengan satuan
batulempung karbonatan sisipan batugamping. Jurus dan kemiringan
lapisan batuan tersebut adalah N3oE/80o. Selain di STA 49.

Batulempung

Gambar 4.8 Satuan Batulempung karbonatan di Sungai Godan, Desa Godan,


STA 9 yang dapat menyimpan air cukup baik

Batulempung

Batupasir
karbonatan

Gambar 4.9 Perlapisan batupasir karbonatan dengan batulempung STA 8 Desa


Lebak.

FX Anjar Tri Laksono 29


Batulempung

Gambar 4.10 Batulempung karbonatan Formasi STA 27 Desa Godan

Untuk korelasinya terhadap formasi yang ada di daerah


pemetaan, berdasarkan hasil analisis terhadap keterdapatan mikrofosil
terutama foram planktonik, pada batulempung karbonatan ini ditemukan
dominan fosil Orbulina universa dan Orbulina bilobata yang mencirikan
umur Miosen Tengah hingga Kuarter (N9- N23), akan tetapi setelah
dikomparasikan dengan adanya keterdapatan fosil foraminifera yang lain
yang mana terdapat beberapa fosil foraminifera planktonik seperti
Globorotalia mayeri dan Globorotalia fohsi, maka dapat diperkirakan
bahwa satuan batulempung karbonatan ini merupakan anggota dari
Formasi Ngrayong yang merupakan formasi berumur antara Miosen
Awal hingga Miosen Tengah (N8-N12).

Suture Kamar

Gambar 4.11 Orbulina universa (kiri) dan Orbulina bilobata (kanan)


Sampel STA 37 Desa Lebak

30 Pemetaan Geologi Daerah Godan dan Sekitarnya


Ciri-ciri yang dimiliki oleh Orbulina bilobata adalah saat
dilakukan pengamatan dengan mikroskop binokuler perbesaran 40 kali
terlihat bagian morfologinya terdapat kamar-kamar yang dibatasi oleh
sekat-sekat berupa septa. Kamar-kamar ini merupakan tempat dimana
protoplasma atau zat-zat penting foraminifera berada. Kamar-kamar ini
dibatasi oleh sekat yang disebut dengan septa. Sementara sekat yang
memisahkan antara dua kamar yang berdekatan disebut suture seperti
yang ditunjukkan garis putus-putus berwarna merah pada gambar 4.11,
dan kamar yang terkecil dan merupakan kamar yang terbentuk paling
awal adalah proloculus. Dari hasil pengamatan tampak jumlah kamar
sebanyak 2, ini dilihat dari septanya yang merupakan batas antar kamar-
kamar yang berjumlah 2 juga. Maka dari itu dapat dikatakan bahwa
jumlah kamar dari fosil ini tergolong polythalamus. Susunan kamar dari
fosil sayatan ini berupa uniserial karena kamar-kamar tersusun dalam satu
deret. Sementara berdasarkan kedudukan kamar-kamarnya terhadap
bidang putar maka dapat digolongkan ke dalam planispiral. Hal ini karena
seluruh putaran hanya terletak pada satu bidang putar saja dan semua
kamar terlihat, selain itu jumlah kamar ventral dan dorsal terlihat sama.
Pengamatan selanjutnya adalah pada cangkangnya (test) yang
merupakan lapisan terluar dari cangkang Foraminifera yang berfungsi
melindungi bagian dalam tubuhnya. Bentuk cangkang dari Foraminifera
ini adalah Globular karena berbentuk seperti peluru. Komposisi yang
menyusun cangkang ini berupa hyaline karena terlihat transparan, jernih,
agak melalukan cahaya, dan berpori. Kemungkinan besar penyusunnya
berupa zat-zat gampingan. Sementara letak aperture atau lubang utama
yang berfungsi sebagai mulut atau juga jalan keluarnya protoplasma dari
foraminifera ini adalah tergolong apertural face karena aperture terletak
pada permukaan kamar yang terakhir. Bentuk aperturenya melingkar
dengan oranamen kasar dan terdapat titik-titik tonjolan halus.
Berdasarkan morfologi di atas maka dapat ditentukan
taksonominya. Sub Spesies dan Spesies yang sesuai dengan ciri-ciri
tersebut adalah Orbulina bilobata (D’ORBIGNY). Spesies ini termasuk
kedalam Genus Orbulina, Famili Orbulinidae, Super Famili
Globigerinacea, Sub Ordo Rotaliina, Ordo Foraminifera, Kelas
Sarcodina, Filum Protozoa, dan Kingdom Protista.
Spesies jenis Orbulina bilobata (D’ORBIGNY) diperkirakan
berumur antara Miosen Tengah sampai Kuarter (N9-N23). Seperti yang
telah disebutkan di bagian atas bahwa penyusun test dari fosil ini adalah
hyaline atau calcareous imperforate. Hyaline sendiri terdiri dari zat-zat
gampingan transparan, jernih, dan agak melalukan cahaya. Zat-zat
gampingan ini merupakan suatu bentukan hasil penyusunan unsur-unsur
karbonatan. Lingkungan yang kaya akan kandungan unsur-unsur
karbonatan dan sering disebut carbonate factory adalah laut dangkal.

FX Anjar Tri Laksono 31


Laut dangkal merupakan zona CCD yang kaya unsur-unsur karbonatan.
Selain itu berdasarkan jenis foraminiferanya yang berupa Foraminifera
Planktonik maka ia memiliki cara hidup dengan mengambang di
permukaan air laut dan bersifat pasif mengikuti gelombang air laut. Dari
komposisi penyusun test dan jenis Foraminifera yang merepresentasikan
cara hidupnya maka dapat disimpulkan bahwa lingkungan hidup Fosil
Orbulina bilobata (D’ORBIGNY) adalah Laut Dangkal.
Sementara ciri-ciri yang dimiliki oleh Orbulina universa adalah
saat dilakukan pengamatan dengan mikroskop binokuler perbesaran 40
kali terlihat bagian morfologinya berupa kamar-kamar yang dibatasi oleh
sekat-sekat berupa septa. Kamar-kamar ini merupakan tempat dimana
protoplasma atau zat-zat penting Foraminifera berada. Kamar-kamar ini
dibatasi oleh sekat yang disebut dengan septa. Sementara sekat yang
memisahkan antara dua kamar yang berdekatan disebut suture. Dari hasil
pengamatan tampak jumlah kamar hanya satu, ini dilihat dari septanya
yang tampak tidak ada. Maka dari itu dapat dikatakan bahwa jumlah
kamar dari fosil ini tergolong monothalamus. Susunan kamar dari fosil
sayatan ini berupa uniserial karena kamar-kamar tersusun dalam satu
deret. Sementara berdasarkan kedudukan kamar-kamarnya terhadap
bidang putar maka dapat digolongkan ke dalam planispiral. Hal ini karena
seluruh putaran hanya terletak pada satu bidang putar saja dan semua
kamar terlihat, selain itu jumlah kamar ventral dan dorsal terlihat sama.
Pengamatan selanjutnya adalah pada cangkangnya (test) yang
merupakan lapisan terluar dari cangkang Foraminifera yang berfungsi
melindungi bagian dalam tubuhnya. Bentuk cangkang dari Foraminifera
ini adalah Spherical karena berbentuk seperti bola. Komposisi yang
menyusun cangkang ini berupa hyaline karena terlihat transparan, jernih,
dan agak melalukan cahaya. Kemungkinan besar penyusunnya berupa
zat-zat gampingan. Sementara letak aperture atau lubang utama yang
berfungsi sebagai mulut atau juga jalan keluarnya protoplasma dari
Foraminifera ini adalah tergolong apertural face karena aperture terletak
pada permukaan kamar yang terakhir. Bentuk aperturenya melingkar
dengan oranamen halus, licin, dan tanpa hiasan.
Berdasarkan morfologi di atas maka dapat ditentukan
taksonominya. Sub Spesies dan Spesies yang sesuai dengan ciri-ciri
tersebut adalah Orbulina universa (D’ORBIGNY). Spesies ini termasuk
kedalam Genus Orbulina, Famili Orbulinidae, Super Famili
Globigerinacea, Sub Ordo Rotaliina, Ordo Foraminifera, Kelas
Sarcodina, Filum Protozoa, dan Kingdom Protista.
Spesies jenis Orbulina universa (D’ORBIGNY) diperkirakan
berumur antara Miosen Tengah sampai Kuarter (N9 – N23). Seperti yang
telah disebutkan di bagian atas bahwa penyusun test dari fosil ini adalah
hyaline atau calcareous imperforate. Hyaline sendiri terdiri dari zat-zat

32 Pemetaan Geologi Daerah Godan dan Sekitarnya


gampingan transparan, jernih, dan agak melalukan cahaya. Zat-zat
gampingan ini merupakan suatu bentukan hasil penyusunan unsur-unsur
karbonatan. Lingkungan yang kaya akan kandungan unsur-unsur
karbonatan dan sering disebut carbonate factory adalah laut dangkal.
Laut dangkal merupakan zona CCD yang kaya unsur-unsur karbonatan.
Selain itu berdasarkan jenis foraminiferanya yang berupa Foraminifera
Planktonik maka ia memiliki cara hidup dengan mengambang di
permukaan air laut dan bersifat pasif mengikuti gelombang air laut. Dari
komposisi penyusun test dan jenis Foraminifera yang merepresentasikan
cara hidupnya maka dapat disimpulkan bahwa lingkungan hidup Fosil
Orbulina universa (D’ORBIGNY) adalah Laut Dangkal.
Selain itu, karakteristik yang lain yang dapat diketahui bahwa
batulempung yang ditemukan pada Formasi Ngrayong bersifat instabil
dalam arti ia akan mengembang jika suplai fluida berlebih terutama saat
musim kemarau hal ini juga didukung oleh permeabilitasnya yang buruk
sehingga fluida banyak yang disimpan dan sedikit yang dialirkan dan saat
musim kemarau ia akan menyusut dengan cepat sehingga rentan terhadap
gerakan tanah.

2. Satuan Batulempung Karbonatan Sisipan Batugamping


Satuan Batulempung Karbonatan Sisipan Batugamping dijumpai
pada bagian selatan daerah pemetaan. Singkapan yang dijumpai terletak
di sekitar tambang napal dan batugamping yang berupa kubangan-
kubangan kolam serta beberapa ada yang ditemukan di hutan sekitar Desa
Plosorejo. Berdasarkan deskripsi megaskopis, batulempung karbonatan
ini memiliki warna abu-abu kekuningan, mempunyai struktur berupa non-
struktur karena tidak memiliki struktur yang spesifik, memiliki konstituen
berupa butiran berukuran lempung (<1/256 mm) berdasarkan Skala
Wenworth, 1922. Bentuk butir rounded sampai well rounded, sortasi
sangat baik, kemas tertutup, semen karbonatan, memiliki komposisi fosil
cangkang moluska terutama Gastropoda dan Pelecypoda tetapi dalam
bentuk fragmen-fragmen kecil, dan beberapa foraminifera baik
Foraminifera besar, foraminifera planktonik, maupun foraminifera
bentonik. Fosil berupa fragmen-fragmen kecil cangkang mollusca yang
menempel secara acak dan tidak beraturan pada mikrit. Mikrit merupakan
lumpur karbonat yang tersusun oleh interlocking anhedral kalsit atau
aragonit yang berukuran halus (lumpur), tekstur dari batuan ini adalah
mud supported karena lebih banyak dipengaruhi oleh butiran-butiran
kecil yang padat atau sering disebut dengan lumpur karbonat dengan
ukuran sekitar kurang dari 1/256 mm yang mana menyusun batuan
tersebut lebih dari 90%, sementara butiran-butiran yang lebih besar
seperti fragmen atau grain adalah konstituen batuan yang jumlahnya
kurang dari 10%, tingkat pelapukan rendah sampai sedang (pelapukan

FX Anjar Tri Laksono 33


tingkat 2-3) dengan karakteristik terjadi perubahan warna, tingkat
kekerasannya menjadi lebih lunak, sudah mulai mengalami dekomposisi
dan disintegrasi konstituennya hingga beberapa konstituen saling
berpisah yang menyebabkan batuan menjadi tidak kompak. Komposisi
dari sampel batuan yang ada menunjukkan allochemnya terdiri dari
skeletal grain karena fragmen yang ada berasal dari cangkang/bagian
keras suatu organisme yaitu cangkang Molluska kelas pelecypoda dan
gastropoda dengan kondisi sekitar 80% berupa pecahan. Dari penyebaran
yang ada, sekitar 85% dari luasan satuan litologi batulempung karbonatan
sisipan batugamping di daerah pemetaan telah mengalami pelapukan
yang rendah hingga sedang dengan persentase tingkat pelapukan sekitar
20% sampai 40%, sedangkan orthocemnya berupa mikrit yang di dalam
batuan berwarna gelap, tetapi batugamping juga hadir sebagai butir yang
sangat halus. Jika diamati di bawah mikroskop maka akan memiliki
kenampakan cloudy dan translucent, keabu-abuan sampai cokelat.
Kehadiran mikrit yang juga terdapat batugamping menunjukkan bahwa
proses pencucian oleh gelombang dan arus relatif kecil sekali, sehingga
mikrit terbentuk pada kondisi arus yang tenang.
Berdasarkan sifat fisik dan komposisi secara megaskopis, maka
dapat diketahui penamaan batulempung karbonat tersebut secara lebih
spesifik. Berdasarkan klasifikasi Dunham disebut dengan mudstone
(gambar 4.12).

Gambar 4.12 Penamaan Batuan Karbonat dengan Klasifikasi Dunham

Berdasarkan penamaan di atas yang disesuaikan dengan


klasifikasi Dunham dapat diperkirakan lingkungan pengendapannya.
Karena mudstone merupakan batuan yang tersusun oleh material sedimen
berukuran halus dan memiliki berat jenis ringan maka ia hanya akan
terendapkan jika arus air yang media transport memiliki energi

34 Pemetaan Geologi Daerah Godan dan Sekitarnya


pengendapan yang lebih tinggi dibandingkan dengan energi kinetiknya
atau energi gerak untuk mentransportasikan material sedimen tersebut.
Selain itu yang juga perlu dipertimbangkan adalah adanya fosil molluska
seperti pelecypoda dan gastropoda serta beberapa foraminifera
planktonik saat diamati dengan mikroskop binokuler seperti Globorotalia
acostaensis dan Hastigerina aequilateralis, maka yang sangat
memungkinkan untuk ia terendapkan dan mengalami diagenesis menjadi
endapan batuan sedimen karbonatan seperti sekarang ini adalah pada
zona backreef atau termasuk fasies belakang terumbu (berdasarkan
klasifikasi zonasi batuan karbonat James (gambar 4.13).

Gambar 4.13 Klasifikasi Fasies Batuan Karbonat Menurut James

Dari hasil uji HCL 0.1 M terhadap batulempung karbonat yang


ada, sebagian besar menunjukkan reaksi yang positif terkecuali di STA
54 yang terletak pada koordinat Latitude 500751 dan Longitude 9221487
tepatnya berada di Desa Lebak STA ujung baratlaut dari daerah pemetaan
(gambar 4.14), STA 45, STA 46, STA 47, STA 48, dan STA 49 yang
semuanya berada di Desa Plosorejo bagian utara. Adanya reaksi positif
terhadap larutan HCl semakin kuat menunjukkan bahwa batulempung
karbonatan pada satuan ini terdapat unsur-unsur karbonatan yang
kemungkinan berupa semen diantara konstituen penyusun yang ada,
maupun karbonatan yang berasal dari fragmen-fragmen cangkang
mikrofosil yang turut serta dalam menyusun batuan tersebut. Sedangkan
yang tidak menunjukkan reaksi positif terhadap larutan HCl tersebut
mengindikasikan bahwa batuan tersebut bersifat non karbonatan dan
tentu saja ini mengindikasikan proses pembentukan atau genesa yang
berbeda.

FX Anjar Tri Laksono 35


Di STA 15 yang terletak di Desa Plosorejo dijumpai kontak
batuan antara satuan lapisan batulempung karbonatan sisipan
batugamping dengan satuan batugamping. Jurus dan kemiringan lapisan
batuan tersebut adalah N52oE/31o. Selain di STA 15, kontak batuan
antara lapisan batulempung karbonatan sisipan batugamping dengan
satuan batugamping juga dijumpai di STA 55 dengan jurus dan
kemiringan lapisan batuan sebesar N65oE/20o tepatnya berada di Desa
Tarub. Sementara kontak antara satuan batulempung karbonatan sisipan
batugamping dengan satuan batulempung karbonatan dijumpai di STA 1
yang berlokasi di Desa Plosorejo dengan arah jurus dan kemiringan
lapisan batuan sebesar N50oE/30o (gambar 4.14).

Gambar 4.14 Peta Lintasan yang Menunjukkan Lokasi STA

Untuk korelasinya terhadap formasi yang ada di daerah


pemetaan, dari hasil analisis terhadap keterdapatan mikrofosil terutama
foraminifera planktonik, pada batulempung karbonatan ini ditemukan
dominan fosil Globorotalia acostaensis (LEROY) dan Hastigerina
aequilateralis (BRADY) yang mencirikan umur Miosen Tengah bagian
akhir dan Miosen Akhir bagian awal (N14-N16) untuk Globorotalia
acostaensis (LEROY) dan Miosen Tengah hingga Kuarter (N14- N23)
untuk Hastigerina aequilateralis (BRADY), setelah dikomparasikan
dengan keterdapatan fosil foraminifera yang lain seperti Globigerina
praebulloides dan C. inormatus, maka dapat diperkirakan bahwa satuan
batulempung karbonatan ini merupakan anggota dari Formasi Wonocolo
yang merupakan formasi berumur antara Miosen Tengah bagian akhir
hingga Miosen Akhir bagian awal (N14 – N16). Selain itu juga diperkuat
dengan keterdapatan sisipan batugamping yang tentu saja hal ini berbeda
dengan batulempung karbonatan pada Formasi Ngrayong.

36 Pemetaan Geologi Daerah Godan dan Sekitarnya


Suture

Kamar

Gambar 4.15 Hastigerina aequilateralis (BRADY) (kiri) dan Globorotalia


acostaensis (kanan) Sampel STA 1 Desa Plosorejo

Fosil Foraminifera Planktonik yang ditemukan di STA 1 Desa


Plosorejo saat dilakukan pengamatan dengan mikroskop binokuler
perbesaran 40 kali terlihat bagian morfologinya berupa kamar-kamar
yang dibatasi oleh sekat-sekat berupa septa. Kamar-kamar ini merupakan
tempat dimana protoplasma atau zat-zat penting Foraminifera berada.
Kamar-kamar ini dibatasi oleh sekat yang disebut dengan septa.
Sementara sekat yang memisahkan antara dua kamar yang berdekatan
disebut suture (gambar 4.15), dan kamar yang terkecil dan merupakan
kamar yang terbentuk paling awal adalah proloculus. Dari hasil
pengamatan tampak jumlah kamar sebanyak 5, ini dilihat dari septanya
yang merupakan batas antar kamar-kamar yang berjumlah 5 juga. Maka
dari itu, dapat dikatakan bahwa jumlah kamar dari fosil ini tergolong
polythalamus. Susunan kamar dari fosil sayatan ini berupa uniserial
karena kamar-kamar tersusun dalam satu deret. Sementara berdasarkan
kedudukan kamar-kamarnya terhadap bidang putar maka dapat
digolongkan ke dalam planispiral. Hal ini karena seluruh putaran hanya
terletak pada satu bidang putar saja dan semua kamar terlihat, selain itu
jumlah kamar ventral dan dorsal terlihat sama.
Pengamatan selanjutnya adalah pada cangkangnya (test) yang
merupakan lapisan terluar dari cangkang Foraminifera yang berfungsi
melindungi bagian dalam tubuhnya. Bentuk cangkang dari Foraminifera
ini adalah biumbilicate yang memiliki ciri-ciri terdapat 2 umbilicus.
Komposisi yang menyusun cangkang ini berupa hyaline karena terlihat
transparan, jernih, agak melalukan cahaya, dan berpori. Kemungkinan
besar penyusunnya berupa zat-zat gampingan. Sementara letak aperture
atau lubang utama yang berfungsi sebagai mulut atau juga jalan
keluarnya protoplasma dari Foraminifera ini adalah tergolong apertural
face karena aperture terletak pada permukaan kamar yang terakhir.
Bentuk aperturenya berupa parabola dengan oranamen kasar dan terdapat
titik-titik tonjolan halus.

FX Anjar Tri Laksono 37


Berdasarkan morfologi di atas maka dapat ditentukan
taksonominya. Sub Spesies dan Spesies yang sesuai dengan ciri-ciri
tersebut adalah Hastigerina acquilateralis (BRADY). Spesies ini
termasuk kedalam Genus Hastigerina, Famili Hastigeriniidae, Super
Famili Globigerinacea, Sub Ordo Rotaliina, Ordo Foraminifera, Kelas
Sarcodina, Filum Protozoa, dan Kingdom Protista.
Spesies jenis Hastigerina acquilateralis (BRADY) diperkirakan
berumur antara Miosen Tengah sampai Kuarter (N14-N23). Seperti yang
telah disebutkan di bagian atas bahwa penyusun test dari fosil ini adalah
hyaline atau calcareous imperforate. Hyaline sendiri terdiri dari zat-zat
gampingan transparan, jernih, dan agak melalukan cahaya. Zat-zat
gampingan ini merupakan suatu bentukan hasil penyusunan unsur-unsur
karbonatan. Lingkungan yang kaya akan kandungan unsur-unsur
karbonatan dan sering disebut carbonate factory adalah laut dangkal.
Laut dangkal merupakan zona CCD yang kaya unsur-unsur karbonatan.
Selain itu berdasarkan jenis Foraminiferanya yang berupa Foraminifera
Planktonik maka ia memiliki cara hidup dengan mengambang di
permukaan air laut dan bersifat pasif mengikuti gelombang air laut. Dari
komposisi penyusun test dan jenis Foraminifera yang merepresentasikan
cara hidupnya maka dapat disimpulkan bahwa lingkungan hidup Fosil
Hastigerina acquilateralis (BRADY) adalah Laut Dangkal.
Sementara fosil Foraminifera Planktonik lain yang juga
ditemukan di STA 1 Desa Plosorejo saat dilakukan pengamatan dengan
mikroskop binokuler perbesaran 40 kali terlihat bagian morfologinya
berupa kamar-kamar yang dibatasi oleh sekat-sekat berupa septa. Kamar-
kamar ini merupakan tempat dimana protoplasma atau zat-zat penting
Foraminifera berada. Kamar-kamar ini dibatasi oleh sekat yang disebut
dengan septa. Sementara sekat yang memisahkan antara dua kamar yang
berdekatan disebut suture (gambar 4.15), dan kamar yang terkecil dan
merupakan kamar yang terbentuk paling awal adalah proloculus. Dari
hasil pengamatan tampak jumlah kamar sebanyak 3, ini dilihat dari
septanya yang merupakan batas antar kamar-kamar yang berjumlah 3
juga. Maka dari itu dapat dikatakan bahwa jumlah kamar dari fosil ini
tergolong polythalamus. Susunan kamar dari fosil sayatan ini berupa
uniserial karena kamar-kamar tersusun dalam satu deret. Sementara
berdasarkan kedudukan kamar-kamarnya terhadap bidang putar maka
dapat digolongkan ke dalam trochospiral. Hal ini karena putaran tidak
terletak pada satu bidang putar, dari sisi dorsal tampak evolut sementara
dari sisi ventral tampak involut. Selain itu disebut trochospiral karena
tidak semua kamar dapat terlihat dan pandangan antara sisi ventral dan
dorsal tidak sama.
Pengamatan selanjutnya adalah pada cangkangnya (test) yang
merupakan lapisan terluar dari cangkang Foraminifera yang berfungsi

38 Pemetaan Geologi Daerah Godan dan Sekitarnya


melindungi bagian dalam tubuhnya. Bentuk cangkang dari Foraminifera
ini adalah Globular karena berbentuk seperti peluru. Komposisi yang
menyusun cangkang ini berupa hyaline karena terlihat transparan, jernih,
agak melalukan cahaya, dan berpori. Kemungkinan besar penyusunnya
berupa zat-zat gampingan. Sementara letak aperture atau lubang utama
yang berfungsi sebagai mulut atau juga jalan keluarnya protoplasma dari
Foraminifera ini adalah tergolong apertural face karena aperture terletak
pada permukaan kamar yang terakhir. Bentuk aperturenya berupa
parabola dengan oranamen kasar dan terdapat titik-titik tonjolan halus.
Berdasarkan morfologi di atas maka dapat ditentukan
taksonominya. Sub Spesies dan Spesies yang sesuai dengan ciri-ciri
tersebut adalah Globorotalia acostaensis (BLOW). Spesies ini termasuk
kedalam Genus Globorotalia, Famili Globigeriniidae, Super Famili
Globigerinacea, Sub Ordo Rotaliina, Ordo Foraminifera, Kelas
Sarcodina, Filum Protozoa, dan Kingdom Protista.
Spesies jenis Globorotalia acostaensis (BLOW) diperkirakan
berumur antara Miosen Tengah bagian akhir sampai Miosen Akhir bagian
awal (N14-N16). Seperti yang telah disebutkan di bagian atas bahwa
penyusun test dari fosil ini adalah hyaline atau calcareous imperforate.
Hyaline sendiri terdiri dari zat-zat gampingan transparan, jernih, dan agak
melalukan cahaya. Zat-zat gampingan ini merupakan suatu bentukan hasil
penyusunan unsur-unsur karbonatan. Lingkungan yang kaya akan
kandungan unsur-unsur karbonatan dan sering disebut carbonate factory
adalah laut dangkal. Laut dangkal merupakan zona CCD yang kaya
unsur-unsur karbonatan. Selain itu berdasarkan jenis Foraminiferanya
yang berupa Foraminifera Planktonik maka ia memiliki cara hidup
dengan mengambang di permukaan air laut dan bersifat pasif mengikuti
gelombang air laut. Dari komposisi penyusun test dan jenis Foraminifera
yang merepresentasikan cara hidupnya maka dapat disimpulkan bahwa
lingkungan hidup Fosil Globorotalia acostaensis (BLOW) adalah Laut
Dangkal.
Di lapangan kenampakan batulempung karbonatan dijumpai
dengan kehadiran sisipan batugamping yang memiliki karakteristik warna
abu-abu kekuningan, ukuran butir pasir sedang (1/4-½ mm) – kasar (1/2-
1 mm), terdapat beberapa fosil foraminifera molluska seperti Gastropoda
dan Pelecypoda, memiliki kilap kaca atau tanah, goresan berwarna putih
sampai putih keabu-abuan, pecahan uneven, dan kekerasan 2,7-3,4 Skala
Mohs karena mulai dapat tergores dengan kawat. Salah satu dari
batulempung karbonatan dengan sisipan batugamping yang ditemukan
berada di STA 1 yaitu di jalan menujur hutan Desa Plosorejo (gambar
4.16).

FX Anjar Tri Laksono 39


Gambar 4.16 Morfologi batulempung karbonatan STA 1 Desa Plosorejo

Ternyata setelah ditelusuri secara detail batulempung karbonatan


sisipan batugamping juga dijumpai kembali di Desa Tarub yang mana
sebelumnya menghilang dan hanya dijumpai satuan batugamping. Dari
megaskopis sifat fisik batuan ini memiliki karakteristik yang sama jika
dikomparasikan dengan batulempung karbonat sisipan batugamping yang
ditemukan sebelumnya. Ini yang kemungkinan disebut dengan repeat
section atau perulangan yang diperkirakan karena adanya struktur
geologi.
Selain menggunakan metode deskripsi megaskopis, juga
dilakukan analisis petrografis yaitu pengamatan sayatan batuan yang
dianggap mewakili dari satuan litologi yang telah dideliniasi. dengan
menggunakan mikroskop polar. Dalam hal ini sayatan batuan yang
digunakan adalah dari batugamping sebagai sisipan dari batulempung
karbonatan. Dari hasil pengamatan petrografis pada sayatan batugamping
STA 1 (gambar 4.17 dan 4.18) dapat diketahui karakteristiknya yaitu
saat diamati dengan nikol sejajar kenampakan umumnya berwarna keabu-
abuan seperti lumpur. Sedangkan pada pengamatan nikol bersilang
tampak sayatan tipis memiliki warna cokelat keabu-abuan. Sayatan ini
tersusun oleh butiran-butiran yang berupa cangkang-cangkang organisme
(skeletal grain) hal ini yang mengindikasikan bahwa batuan ini adalah
batuan karbonat. Sedangkan dengan menggunakan nikol bersilang
memiliki warna kecokelatan.
Berdasarkan pengamatan terhadap beberapa fragmen yang
terdapat dalam sayatan tipis tersebut maka dapat diketahui tekstur
batuannya. Ukuran butir terhadap salah satu fragmen yang dianggap
cukup mewakili dari sayatan tipis tersebut adalah 1,25 mm dengan

40 Pemetaan Geologi Daerah Godan dan Sekitarnya


menggunakan perbesaran 40x. Kebundaran terhadap butiran-butiran yang
ada termasuk kedalam kategori rounded karena pada umumnya memiliki
permukaan bundar dengan ujung-ujung dan tepi-tepi yang juga
membundar. Butiran-butiran yang memiliki kebundaran rounded tersebut
antara satu dengan lainnya sebagian saling bersentuhan dan sebagian lagi
tidak, sehingga kemasnya diinterpretasikan terbuka . Selanjutnya, antara
butiran-butiran tersebut memiliki ukuran yang tidak seragam maka
pemilahan pada batuan ini termasuk buruk. Hal ini memperlihatkan
bahwa hubungan antar butirannya hanya bersentuhan pada salah satu atau
beberapa bagian sisi saja maka dapat dikatakan kontak antar butirnya
berupa point of contact.
Pada pengamatan komposisi penyusun batuan dengan metode
petrografis ini didapatkan data bahwa terdapat komposisi butir skeletal
grain berupa Foraminifera 20%. Foraminifera bentuknya cembung di
bagian tengah sedangkan ujungnya agak lancip serta terdapat seperti
serat-serat pada bagin dalam sisinya. Sementara skeletal grain yang
paling dominan dari sayatan ini adalah algae dengan bentuk memanjang
seperti tabung (tabular) dan berserat-serat di dalamnya serta membentuk
cabang-cabang. Algae ini menyusun sayatan tersebut sebesar 50%.
Pengamatan selanjutnya dilakukan pada adanya matriks yang
merupakan butiran-butiran kecil lebih kecil daripada fragmen. Matriks
pada sayatan tipis ini terdiri dari mikrit sebanyak 30% yang dicirikan
dengan warnanya yang keabu-abuan seperti lumpur, berukuran kecil
kurang dari 0,0125 mm atau ukuran lempung dan translucent.
Pengamatan komposisi penyusun yang terakhir adalah semen,
semen ini merupakan material pengisi rongga antar butir atau biasanya
mengelilingi suatu grain pada tepi-tepinya. Akan tetapi selain perekat
antar grain, semen pada batuan karbonat juga ada yang berada di dalam
grain itu sendiri. Semen ini ini berupa kalsit karena saat diamati
menggunakan metode staining red berwarna merah.
Untuk porositas dari sayatan tipis tersebut berupa intergrain yaitu
rongga diantara grain dan vug yang merupakan porositas lubang yang
terbentuk sebagai akibat proses pelarutan.
Penamaan batuan karbonat ini menggunakan klasifikasi Dunham
(1962) dan Embry & Klovan (1971). Berdasarkan klasifikasi Dunham
nama batuan ini adalah packstone karena grain lebih dominan dari pada
mud, tetapi mud nya masih ada yaitu sebesar 10%. Sementara
berdasarkan klasifikasi Embry & Klovan termasuk Rudstone karena
grain yang berukuran lebih dari 2 mm di atas 10% tetapi component
supported.

FX Anjar Tri Laksono 41


Foram planktonik

Algae

Gambar 4.17 Sayatan Batugamping STA 1 Nikol Sejajar

porositas

Algae

Gambar 4.18 Sayatan Batugamping STA 1 Nikol Bersilang dengan Baji Kuarsa

Kemudian dari hasil pengamatan petrografis pada sayatan


batugamping yang juga sebagai sisipan pada batulempung karbonatan
STA 22 dapat diketahui karakteristiknya yaitu saat diamati dengan nikol
sejajar kenampakan umumnya berwarna cokelat keabu-abuan (gambar
4.19). Selanjutnya, pada pengamatan nikol bersilang tampak sayatan tipis
memiliki warna kecokelatan (gambar 4.20). Sayatan ini tersusun oleh
butiran-butiran yang berupa cangkang-cangkang organisme (skeletal
grain) hal ini yang mengindikasikan bahwa batuan ini adalah batuan
karbonat.
Berdasarkan pengamatan terhadap beberapa fragmen yang
terdapat dalam sayatan tipis tersebut maka dapat diketahui tekstur
batuannya. Ukuran butir terhadap salah satu fragmen yang dianggap

42 Pemetaan Geologi Daerah Godan dan Sekitarnya


cukup mewakili dari sayatan tipis tersebut adalah 0,75 mm dengan
menggunakan perbesaran 40x. Kebundaran terhadap butiran-butiran yang
ada termasuk kedalam kategori rounded, karena pada umumnya memiliki
permukaan bundar dengan ujung-ujung dan tepi-tepi yang juga
membundar. Butiran-butiran yang memiliki kebundaran rounded tersebut
antara satu dengan lainnya sebagian saling bersentuhan dan sebagian lagi
tidak sehingga kemasnya diinterpretasikan terbuka . Di antara butiran-
butiran tersebut memiliki ukuran yang tidak seragam maka pemilahan
pada batuan ini termasuk buruk, karena hubungan antar butirannya hanya
bersentuhan pada salah satu atau beberapa bagian sisi saja maka dapat
dikatakan kontak antar butirnya berupa point of contact.
Pada pengamatan komposisi penyusun batuan dengan metode
petrografis ini didapatkan data bahwa terdapat komposisi butir skeletal
grain berupa Foraminifera 30%. Foraminifera bentuknya cembung di
bagian tengah sedangkan ujungnya agak lancip serta terdapat seperti
serat-serat pada bagin dalam sisinya. Sementara skeletal grain yang
paling dominan dari sayatan ini adalah fragmen cangkang mollusca,
terutama Gastropoda yang menyusun sekitar 40%. Selain itu juga
terdapat spora yang berbentuk oval atau biji kacang dengan persentase
5%.
Pengamatan selanjutnya dilakukan pada adanya matriks yang
merupakan butiran-butiran kecil lebih kecil daripada fragmen. Matriks
pada sayatan tipis ini terdiri dari mikrit sebanyak 25% yang dicirikan
dengan warnanya yang keabu-abuan seperti lumpur, berukuran kecil
kurang dari 0,0125 mm atau ukuran lempung dan translucent.
Pengamatan komposisi penyusun yang terakhir adalah semen ,
semen ini merupakan material pengisi rongga antar butir atau biasanya
mengelilingi suatu grain pada tepi-tepinya. Akan tetapi selain perekat
antar grain, semen pada batuan karbonat juga ada yang berada di dalam
grain itu sendiri. Semen ini ini berupa kalsit karena saat diamati
menggunakan metode staining red berwarna merah.
Untuk porositas dari sayatan tipis tersebut berupa intergrain yaitu
rongga diantara grain dan vug yang merupakan porositas lubang yang
terbentuk sebagai akibat proses pelarutan.
Penamaan batuan karbonat ini menggunakan klasifikasi Dunham
(1962) dan Embry & Klovan (1971). Berdasarkan klasifikasi Dunham
nama batuan ini adalah Wackestone karena grain-nya lebih dari 10%,
tetapi mud sayatan cenderung mud supported. Sementara berdasarkan
klasifikasi Embry & Klovan termasuk Floatstone karena cenderung
matrix supported.

FX Anjar Tri Laksono 43


Fragmen
Molluska

Matrik
s

Gambar 4.19 Sayatan Batugamping STA 22 Nikol Sejajar

Spora

Gambar 4.20 Sayatan Batugamping STA 22 Nikol Bersilang

3. Satuan Batugamping
Penyebaran dari satuan batugamping yaitu di Desa Tarub
tepatnya terdapat di STA 10, 12, 16, 20, 52, dan 53. Karakteristik
batugamping yang ditemukan pada daerah satuan batuan tersebut adalah
berwarna putih kecokelatan, ukuran butir pasir sedang (1/4-½ mm) –
kasar (1/2-1 mm), terdapat beberapa fosil foraminifera dan molluska
seperti Gastropoda dan Pelecypoda, memiliki kilap tanah, goresan
berwarna putih sampai putih keabu-abuan, pecahan uneven, dan
kekerasan antara 2,9-3,2 Skala Mohs karena mulai dapat tergores dengan
kawat. Batugamping yang ditemukan memiliki tingkat pelapukan
tergolong tinggi sampai completely weathering karena telah mengalami

44 Pemetaan Geologi Daerah Godan dan Sekitarnya


perubahan warna, kekerasan menjadi lunak sehingga mudah hancur atau
patah, telah terjadi dekomposisi yang intensif disertai dengan disintegrasi,
bahkan banyak pula pada STA-STA di satuan batuan ini yang telah
berubah menjadi soil. Batugamping yang ada pada satuan litologi ini
dijumpai dalam bentuk berlapis sehingga dapat disebut juga sebagai
batugamping berlapis. Komposisi mineral yang terdapat pada
batugamping ini adalah kalsit yang memiliki ciri-ciri warnanya bening
atau putih, cerat berwarna putih, dan kekerasannya sekitar 3 karena mulai
tercerat dengan menggunakan kawat.
Berdasarkan komposisi mineralnya yang tersusun oleh kalsit
mengindikasikan bahwa lingkungan tempat terbentuknya batugamping
pada satuan batuan ini adalah di sekitar laut dangkal. Hal ini karena laut
dangkal merupakan carbonate factory yang memungkinkan berbagai
jenis organisme bercangkang karbonatan tumbuh. Selain itu di zona
tersebut memungkinkan terjadinya presipitasi larutan karbonat yang
kemudian membentuk kalsit melalui reaksi kimia sehingga dapat menjadi
konstituen batuan seperti yang tersingkap. Berdarkan ciri-ciri yang telah
disebutkan di atas, maka penamaan batugamping ini yang sesuai adalah
Grainstone berdasarkan penamaan Dunham (1962). Hal ini karena
konstituen grain lebih dominan dibanding mud maupun matrix (gambar
4.21). Sehingga dari penamaan tersebut dapat ditentukan prakiraan
fasiesnya yaitu berada di zona Reef flat berdasarkan klasifikasi James,
1984 (gambar 4.22).

Gambar 4.21 Penamaan Batuan Karbonat dengan Klasifikasi Dunham

FX Anjar Tri Laksono 45


Gambar 4.22 Klasifikasi Fasies Batuan Karbonat Menurut James

Pada contoh sampel batuan ini ditemukan beberapa fosil bentonik


seperti Cibicidoides crebbsi, Opperculina ammonoides, Bulimina, dan
Dimorphina striata serta foraminifera planktonik seperti Globorotalia
acostaensis dan Globigerinoides extremus. selain itu juga ditemukan fosil
Molluska terutama dari golongan Pelecypoda dan Gastropoda. Adanya
foram bentonik menandakan bahwa dahulu lingkungan ini pernah
terendam air laut hingga zona bathyal yaitu pada saat fase transgresi
Miosen Akhir, karena batugamping itu sangat eligible terbentuk pada
zona neritik tetapi pada kenyataannya ditemukan cukup banyak
foraminifera bentonik, padahal foraminifera bentonik merupakan penciri
dari lingkungan bathyal sampai abysal dan sangat jarang ditemukan pada
lingkungan neritik. Hal ini diakibatkan oleh foraminifera bentonik lebih
suka hidup di tempat yang memiliki energi arus cukup tenang dan bathyal
sampai abysal merupakan zona yang cocok dibandingkan dengan zona
neritik.
Ciri-ciri dari beberapa fosil yang ditemukan pada batugamping
adalah yang pertama tentang Cibicidoides crebbsi termasuk Filum
Protozoa, Kelas Sarcodina, Ordo Foraminifera, Sub Ordo Miliolina,
Famili Nonionidae, dan Genus Cibicidoides. Spesies ini memiliki jumlah
kamar sebanyak 10 (polythalamus) yang kenampakan putarannya
evolute. Kedudukan putar test berupa planispiral karena hanya terdiri dari
satu bidang putar saja dengan komposisi berupa porselen yang memiliki
bentuk cenderung sirkuler. Letak aperture-nya berada di ujung kamar
terakhir (terminal) dengan bentuk melingkar dan memiliki ornamen
punctate. Kisaran umurnya Early Miosen (N5)-Late Miosen (N16) dengan
lingkungan hidupnya di sekitar Upper-Middle Bathyal. Selanjutnya,
kedua adalah Dimorphina striata dimana ia termasuk kedalam Filum
Protozoa, Kelas Sarcodina, Ordo Foraminifera, Sub Ordo Miliolina,
Famili Buliminidae, dan Genus Dimorphina. Spesies ini punya jumlah
kamar 8 (polythalamus) yang tersusun secara triserial. Komposisi dinding

46 Pemetaan Geologi Daerah Godan dan Sekitarnya


test-nya terdiri dari porselen, bentuk test berupa tabular atau memanjang
seperti tabung. Letak aperture yaitu pada ujung kamar terakhir (terminal)
dengan bentuk melingkar serta memiliki ornamen halus, licin, dan tanpa
hiasan. Kisaran umurnya sekitar Pliosen (Late Tersier) dan lingkungan
hidupnya di Laut Zona Bathyal (gambar 4.23).

Gambar 4.23 Cibicidoides crebbsi (kiri) dan Dimorphina striata (kanan)


Sampel STA 12 Desa Tarub

Sementara foram planktonik dapat dijadikan acuan untuk


memasukkan satuan batuan ini ke dalam suatu formasi dengan
mengetahui umur relatifnya kendati tetap tanpa mengabaikan
karakteristik fisik dan komposisi batuannya. Fosil Globigerinoides
extremus (BOLLI) adalah termasuk kedalam Filum protozoa, Kelas
Sarcodina, Ordo Foraminifera, Sub Ordo Rotaliina, Super Famili
Globigerinacea, Famili Globigeriniidae, dan Genus Globigerinoides.
Spesies ini memiliki jumlah kamar polythalamus sebanyak 3 yang
tersusun secara uniserial. Kedudukan putar test-nya berupa trochospiral
dengan arah perputarannya dekstral. Bentuk test globular dengan
komposisinya berupa hyaline. Letak aperture berada di permukaan kamar
terakhir. Bentuk apertur-nya parabola dengan ornamen kasar dan terdapat
titik-titik tonjolan halus. Umur dari fosil ini diperkirakan sekitar Miosen
Akhir bagian atas (N16-N18). Sehingga jika dikomparasikan juga dengan
fosil foraminifera planktonik Globorotalia acostaensis maka penarikan
dari satuan ini adalah termasuk kedalam Formasi Ledok yang berumur
sekitar Miosen Akhir bagian awal (N16-N18).
Pada satuan litologi ini banyak ditemukan sumber mataair seperti
yang berada di Telaga Bidadari. Hal ini menandakan bahwa satuan
batugamping ini memiliki porositas dan permeabilitas yang baik.
Batugamping yang dijumpai pada satuan batuan ini memiliki struktur
berupa non-struktur (gambar 4.24). Selain mengetahui zona

FX Anjar Tri Laksono 47


terbentuknya lapisan batugamping ini, juga perlu dilakukan analisis
terhadap paleobathymetrinya. Hal ini untuk mengetahui system track- nya
yaitu saat keadaan muka airlaut berada pada fase transgresi atau regresi.
Karena pada sampel batulempung karbonatan ditemukan fosil
foraminifera bentonik Cibicidoides crebbsi HEDBERG, 1937 dan
Dimorphina striata SCHWARGER, 1866 yang mana jumlahnya cukup
banyak dan dominan maka ada kemungkinan zona terendapkannya
lapisan batuan ini ada di upper bathyal-middle bathyal artinya kondisi
paleobathymetri saat terendapkannya lapisan batuan ini berada pada
upper bathyal-middle bathyal.

Gambar 4.24 Batugamping STA 10 Desa Tarub

4.1.3 Struktur Geologi Daerah Pemetaan


Struktur Geologi merupakan faktor utama yang mengontrol
bentuk roman muka Bumi. Pada daerah pemetaan, terdapat beberapa jenis
struktur geologi yang berkembang, yaitu:

1. Kekar
Secara harfiah kekar memiliki pengertian rekahan pada batuan
yang belum mengalami pergeseran, namun pengertian tersebut akan
berubah sesuai proses pembentukan kekar itu sendiri. Pada daerah
pemetaan, kekar-kekar yang dominan berkembang merupakam kekar-
kekar yang terbentuk akibat hilangnya pembebanan batuan di atasnya dan
akibat adanya gaya kompresi yang mengenai tubuh batuan. Pada
umumnya kekar yang terbentuk akibat hilangnya pembebanan batuan
diatasnya yang tidak memiliki pola teratur atau rekahan yang terbentuk
memiliki orientasi yang acak.

48 Pemetaan Geologi Daerah Godan dan Sekitarnya


Gambar 4.25 Kekar yang terbentuk akibat gaya kompresi. Lokasi : Desa Lebak
STA 8

Kekar yang terbentuk akibat adanya gaya kompresi yang


mengenai tubuh batuan akan memiliki pola kekar yang berpasangan
(gambar 4.25 dan 4.26) dan pada umumnya akan membentuk sudut
lancip ± 55-70o. Pola kekar yang seperti inilah yang digunakan sebagai
dasar penentu arah gaya kompresi utama pada daerah pemetaan.Setelah
data kekar dianalisis dengan software dips maka akan dihasilkan bahwa:
gaya kompresi utama berarah barat-timur.

Gambar 4.26 Kekar berpasangan yang terbentuk akibat gaya kompresi. Lokasi :
Desa Putatsari STA 35

FX Anjar Tri Laksono 49


Data kekar yang dihitung sebanyak 25 pasang dengan salah
satunya diambil dari pengukuran shear fracture di Desa Putatsari pada
STA 35. Data hasil pengukuran disajikan dalam tabel seperti di bawah
ini:
Tabel 4.1 Data strike dip kekar gerus Desa Putatsari STA 35

*Catatan: strike dalam N...oE dan dip dalam o

2. Sesar
Secara harfiah sesar memiliki pengertian rekahan pada batuan
yang telah mengalami pergeseran. Pada daerah pemetaan dijumpai
indikasi sesar berdasarkan persebaran litologi. Dalam hal ini terjadi
perulangan atau repeat section litologi yang sama yaitu batulempung
karbonatan sisipan batugamping. Seharusnya Batulempung karbonatan
sisipan batugamping secara stratigrafi letaknya berada di bawah satuan
batuagamping dan di atas satuan batulempung karbonatan. Akan tetapi

50 Pemetaan Geologi Daerah Godan dan Sekitarnya


pada daerah pemetaan satuan batlempung karbonatan sisipan
batugamping juga ditemukan lagi dengan posisi yang semakin ke arah dip
di atas satuan batugamping. Selanjutnya, jika dilihat dari indikasi-indikasi
sesar minor sangat sulit untuk diketahui mengingat area satuan ini telah
mengalami pelapukan yang sangat intensif, sehingga batuan yang masih
terlihat segar dan dapat diamati pergerakan sesarnya susah ditemui.
Kemudian, berdasarkan persebaran litologi dan analisis kekar yang ada
menunjukkan bahwa satuan batugamping merupakan bagian yang
bergerak relatif turun, sedangkan satuan batulempung karbonatan sisipan
batugamping merupakan bagian yang relatif naik terhadap satuan
batugamping Formasi Ledok (gambar 4.27). Ada indikasi juga bahwa
jenis sesar yang ada adalah sesar strike dalam hal ini arah pergerakan
sesar sejajar dengan kontak antara satuan batugamping dengan satuan
batulempung karbonat sisipan batugamping.

Gambar 4.27 Peta Geologi Daerah Godan dan Sekitarnya

3. Analisis Pembentukan Struktur dan Keterkaitan dengan Geologi


Regional
Berdasarkan hasil pengukuran data kekar berpasangan yang
dilakukan di Desa Putatsari (STA 35), menunjukkan arah gaya utama
pada daerah pemetaan berarah barat-timur setelah dilakukan analisis
dengan menggunakan software dips gambar 4.28 dan 4.29.

FX Anjar Tri Laksono 51


Sigma 2 Sigma 1

Sigma 3

Gambar 4.28 Analisis Kekar Penentuan Arah Tegasan Utama

Gambar 4.29 Diagram Rose Analisis Kekar

52 Pemetaan Geologi Daerah Godan dan Sekitarnya


Berdasarkan hasil analisis arah tegasan utama menggunakan
software dips yang didapat, yaitu bahwa daerah pemetaan mendapatkan
banyak pengaruh dari pola struktur jawa yang memiliki arah tegasan
utama barat-timur, maka pada daerah pemetaan dipengaruhi oleh
kompresi pola struktur jawa yang berarah barat-timur. Hal ini juga sesuai
dengan prakiraan umur relatif batuan yang diketahui yaitu sekitar Miosen
Awal hingga Miosen Akhir. Pada kala ini pula, pola struktur jawa
cenderung dominan mempengaruhi beberapa struktur geologi yang
berada di Zona Rembang pada khususnya. Pola struktur jawa sendiri
berkembang pada Zaman Neogen yaitu antara Miosen hingga Pliosen.

4. Sejarah Geologi
Sejarah geologi daerah pemetaan dimulai pada saat Kala Miosen
Awal hingga Miosen Tengah (N8-N12) yaitu dimulai dengan
terendapkannya material sedimen halus berukuran lempung pada zona
laut dangkal/neritik yang dibuktikan dengan batulempung karbonatan
banyak terdapat fosil molluska terutama Gastropoda, Pelecypoda, dan
Foraminifera planktonik, sedangkan beberapa suplai batulempung non
karbonatan yang juga dijumpai dimungkinkan berasal dari sedimen halus
terestrial pada zona supratidal yang mengendapkan material tersebut di
lingkungan laut dangkal. Terendapkannya material sedimen halus
tersebut di zona neritik menyebabkan banyak organisme bercangkang
karbonatan mati dan terendapkan di material sedimen halus yang belum
terkompaksikan, setelah itu saat mengalami proses diagenesis cetakan
fosil bercangkang karbonatan tersebut juga akan ikut mengalami proses
diagenesis, arah pelamparan dari lapisan ini semakin mengarah ke zona
litoral dan akan semakin menipis dan kemudian menghilang. Hal ini
dibuktikan dengan semakin sedikitnya fosil cangkang karbonatan yang
dijumpai, karena pada zona terestrial organisme bercangkang karbonatan
semakin sedikit yang hidup. Selama waktu geologi tersebut material
sedimen halus berukuran lempung (< 1/256 mm) berdasarkan skala
wentworth mengalami proses diagenesis sehingga membentuk suatu
lapisan batuan yang kompak atau masif. Pada Miosen Tengah bagian atas
hingga Miosen Akhir bagian awal (N14-N16) terjadi pembentukan
lapisan batulempung karbonat yang berasal dari material sedimen laut
dangkal yang mengandung banyak organisme bercangkang karbonatan.
Pembentukan lapisan batulempung karbonat ini dengan adanya sisipan
batugamping yang berasal dari organisme laut dangkal selaras
menumpang di atas batulempung karbonatan yang telah terbentuk
sebelumnya. Pembentukan batulempung karbonatan ini dimungkinkan
karena suplai dari organisme laut dangkal yang bercangkang karbonatan
lebih dominan dibandingkan dengan suplai material sedimen non
karbonatan yang kemungkinan besar berasal dari material sedimen

FX Anjar Tri Laksono 53


terestrial maupun laut dalam. Banyaknya unsur-unsur karbonatan yang
ada pada zona neritik mengakibatkan kondisi yang sangat eligible untuk
pembentukan batugamping. Batugamping sendiri adalah batuan yang
memiliki unsur karbonatan lebih dari 90%. Pembentukan batugamping ini
juga dipengaruhi oleh adanya fase regresi selama Miosen yang
memungkinkan organisme yang biasa hidup di neritik mati dan
terakumulasi dan kemudian terendapkan. Zona yang sebelumnya
merupakan zona neritik pada fase regresi berubah menjadi zona yang
lebih dangkal dan menjadi lebih dekat ke arah terestrial bahkan dapat
pula menjadi zona litoral, sehingga banyak organisme zona neritik yang
mati. Akumulasi dari organisme yang mati tersebut menjadi konstituen
dalam pembentukan batugamping. Oleh karena itu, pembentukan
batugamping tidak begitu intensif yang diakibatkan oleh berbagai sebab
misalnya waktu diagenesis yang singkat serta akumulasi material yang
tidak begitu besar maka batugamping tersebut hanya sebagai sisipan
diantara batulempung karbonat yang jumlahnya lebih banyak karena
lebih eligible untuk proses pembentukannya. Selain hasil akumulasi dari
berbagai organisme, batugamping juga dapat terbentuk dari hasil
presipitasi larutan karbonat yang nantinya mengendap membentuk
mineral kalsit. Batugamping juga dapat terbentuk dari hasil erosi dan
pengakumulasian kembali batugamping non-klastik yang telah terbentuk
sebelumnya. Satuan batulempung karbonatan sisipan batugamping
menumpang tak selaras di atas satuan batulempung karbonatan, hal ini
diakibatkan oleh jeda pengendapan yang cukup lama yang dibuktikan
dengan adanya bidang erosional.
Pada Miosen Tengah bagian akhir hingga Miosen Akhir bagian
awal (N16 – N18) terjadi suplai unsur-unsur karbonatan yang intensif
sehingga mempengaruhi banyaknya produk batugamping yang
dihasilkan. Pada kala ini pula pembentukan batugamping lebih intensif
dibandingkan dengan pembentukan batulempung karbonatan. Hal ini
karena konsentrasi ion karbonatan tersedia dalam jumlah yang cukup
besar sehingga saat suatu materi sedimen mengalami diagenesisi maka
dapat membentuk batuan yang memiliki konsentrasi karbonat lebih dari
90%.
Sejarah geologi daerah pemetaan juga dipengarihi oleh adanya
setting tektonik yang ada. Setting tektonik ini pula yang menjadi salah
satu penyebab perubahan fase regresi dan transgresi. Ini seperti yang
terjadi pada satuan batugamping dimana ia sebenarnya terbentuk pada
zona neritik, akan tetapi karena terjadi perubahan dari fase regresi
menjadi transgresi maka terjadi perubahan bathymetri permukaan airlaut
dari zona neritik menjadi bathyal. Hal ini juga kemungkinan diikuti
dengan adanya sesar sehingga terjadi repeat section atau perulangan
satuan batulempung karbonat sisipan batugamping di atas satuan

54 Pemetaan Geologi Daerah Godan dan Sekitarnya


batugamping. Padahal jika ditinjau secara stratigrafi nya seharusnya letak
satuan batulempung karbonat sisipan batugamping berada di bawah
satuan batugamping. Hal ini kemungkinan besar diakibatkan oleh adanya
kompresi berdasarkan pola struktur jawa yang berarah barat-timur yang
terjadi selama zaman neogen (Miosen – Pliosen).

4.2 Potensi Geologi


4.2.1 Sumberdaya Geologi
Kabupaten Grobogan yang berada di antara dua Pegunungan
Kendeng memiliki sumber bahan tambang dan galian yang cukup dapat
diandalkan, meskipun sumbangan dari sektor pertambangan dan
penggalian dalam pembentukan Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) hingga saat ini masih relatif kecil. Hal tersebut disebabkan
adanya beberapa kendala seperti cara penambangan, cara pengolahan
hasil, dan sumber daya manusianya. Kondisi seperti ini sangat
memungkinkan terbukanya kesempatan bagi pihak swasta, baik dari
dalam negeri maupun asing untuk menanamkan modalnya guna
mengelola bahan tambang dan galian secara optimal.Bahan
tambang/galian yang dimiliki dan mungkin dapat dikembangkan di
Kabupaten Grobogan meliputi: kapur, tanah liat, garam, gips, dan lain-
lain.
Untuk Kecamatan Grobogan sendiri dan sekitarnya memiliki
beberapa potensi sesumber yang sangat baik bila dimanfaatkan dan
dikelola warga dengan baik. Potensi-potensi tersebut diantaranya, yaitu:

1. Hutan, Ladang, Perkebunan, dan Persawahan


Litologi bersifat kerbonatan yang terdapat pada bentuklahan
fluvial bergelombang landai dan bentuklahan denudasional bergelombang
landai sangat mendukung tumbuhnya pohon jati. Hampir 60% dari
bentuklahan denudasional terutama ini sudah ditanami pohon jati oleh
warga dan PERHUTANI, sekitar 40% ditanami berbagai macam tanaman
oleh warga seperti jagung dan pohon pisang dan digunakan untuk lahan
pertanian berupa sawah gambar 4.30 dan 4.31.

FX Anjar Tri Laksono 55


Gambar 4.30 Lahan Pertanian Sawah di Desa Tarub

Gambar 4.31 Ladang Jagung di Desa Godan

2. Mata Air
Terdapat beberapa sumber mataair di daerah pemetaan, yaitu di
Desa Plosorejo. Mataair ini dapat keluar dipermukaan bisa disebabkan
oleh adanya rekahan pada zona akuifer yang berada pada daerah tersebut,
ataupun dapat disebabkan oleh topografi yang terpotong. Mataair ini
dimanfaatkan oleh warga sebagai sarana penyedian air untuk kegiatan
sehari-hari bahkan beberapa ada yang digunakan sebagai tempat
pemandian wisata desa walaupun belum begitu terkenal namanya adalah
kawasan wisata telaga bidadari gambar 4.32..

56 Pemetaan Geologi Daerah Godan dan Sekitarnya


Gambar 4.32 Telaga Bidadari Sumber Mataair di Desa Plosorejo

Pada bagian ini pula dilakukan proses pembuatan pemodelan


airtanah (gambar 4.33, 4.34, 4.35, dan 4.36) berdasarkan data elevasi
yang dikurangi dengan kedalaman muka airtanah (tabel 4.2). Hasilnya
adalah sebagai berikut:

Tabel 4.2 Perhitungan MAT


Koordinat X Koordinat Y Kedalaman MAT
499815 9223416 30
498097 9220219 47,5
499111 9220146 39
500914 9219967 74
499016 9223169 31,5
498468 9223379 41,5
499318 9222339 35
498411 9221344 40
500433 9224331 10
501455 9224161 25
501367 9223401 16
498203 9222394 26
500204 9223412 30
501822 9223029 6
501997 9221926 7
499786 9222093 6
498776 9224122 6
501824 9222182 12

FX Anjar Tri Laksono 57


Koordinat X Koordinat Y Kedalaman MAT
497841 9221139 12
498868 9223177 12
499962 9224066 12,5
499950 9222036 12
499849 9223063 7
498886 9222745 12
499747 9221631 25
499755 9220638 28
498468 9220037 42,5
498433 9223952 35
501459 9222570 44
498363 9222339 8
498739 9224208 24,5
498141 9223884 13,5
499023 9221914 8
498225 9222904 8
500247 9222918 8
501335 9221868 14,5
499338 9222871 14,5
498392 9223796 8
500324 9220799 14,5
501311 9223796 11,5
500264 9221748 41,5
498261 9220745 39,5
499153 9223845 23
499166 9223837 23
501290 9223824 22
500345 9223782 9
501592 9224107 11,5
501384 9224235 20
500288 9222469 17
498283 9221460 17

58 Pemetaan Geologi Daerah Godan dan Sekitarnya


Skala 1:25.000
Gambar 4.33 Kontur Muka Airtanah

Skala 1:25.000
Gambar 4.34 Kontur 3D

FX Anjar Tri Laksono 59


Skala 1:25.000
Gambar 4.35 Arah Aliran

Skala 1:25.000
Gambar 4.36 Overlay 1

60 Pemetaan Geologi Daerah Godan dan Sekitarnya


Arah aliran

Skala 1:25.000
Gambar 4.37 Overlay 2 menunjukkan arah aliran air tanah cenderung menuju
ke cekungan yang berada di zona berwarna hijau

Pada pemetaan hidrogeologi di Daerah Godan dan sekitarnya


didapatkan data kedalaman muka air tanah yang rata-rata berkisar 34,26
meter. Tetapi dari data yang ada terdapat anomali pada data sumur 4 di
koordinat X = 500914 dan Y = 9219967 yang memiliki kedalaman muka
airtanah sebesar 74 meter. Sedangkan data sumur lainnya menunjukkan
kedalaman muka airtanah yang selisihnya tidak terlalu jauh antara sumur
1 dengan sumur lainnya. Sehingga dari data tersebut dapat diambil suatu
hipotesa bahwa kedalaman muka airtanah dangkal di Godan dan
sekitarnya berkisar 34,26 meter. Adanya muka airtanah dengan
kedalaman sebesar itu, menunjukkan bahwa faktor curah hujan masih
mempengaruhi kualitas airtanah yang ada. Misalnya jika dalam kondisi
musim kemarau, volume airtanah cenderung akan berkurang tetapi
menunjukkan kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan saat musim
penghujan yang memiliki volume airtanah lebih besar tetapi cenderung
kualitasnya menurun atau keruh karena adanya partikel-partikel sedimen
yang dibawa airhujan dan genangan air yang meresap ke dalam tanah dan
mengkontaminasi airtanah yang letaknya relatif dangkal.
Sementara data sumur dangkal di Daerah Plosorejo dan
sekitarnya menunjukkan kedalaman muka airtanah yang jauh lebih
dangkal dibandingkan dengan Daerah Godan dan sekitarnya, karena dari
dari data yang ada kedalaman muka airtanah di Desa Plosorejo hanya
kurang lebih 7,25 meter. Ini menunjukkan bahwa di Daerah Plosorejo dan
sekitarnya kualitas airtanah cenderung buruk. Hal ini memperlihatkan

FX Anjar Tri Laksono 61


letaknya yang terlalu dangkal menyebabkan faktor curah hujan,
genangan, atau limpasan air menjadi sangat berpengaruh terhadap
kualitas airtanah yang ada. Misalnya, saat musim penghujan dan terjadi
genangan air yang kemudian diikuti adanya infiltrasi dari limpasan air
tersebut maka saat sampai ke muka airtanah akan mengendapkan
partikel-partikel sedimen yang dibawa sehingga akan mengotori atau
memnbuat keruh airtanah di Desa Plosorejo dan sekitarnya. Tetapi saat
musim kemarau volume airtanah menjadi berkurang bahkan terjadi
kekeringan dan kekurangan air bersih, karena tidak ada supply air yang
meresap ke dalam tanah.
Jadi semakin dalam muka airtanah dipastikan kualitas airtanah
cenderung akan lebih baik, karena infiltrasi air dari permukaan ke dalam
tanah akan disaring terlebih dahulu oleh lapisan-lapisan tanah yang ada,
sehingga saat sampai ke muka airtanah partikel-partikel sedimen yang
dibawa cenderung berkurang atau hanya ada dalam jumlah yang sangat
kecil sekali.
Berdasarkan hasil pemodelan arah aliran muka airtanah, arah
aliaran muka airtanah cenderung menuju ke daerah cekungan yang
berwarna hijau yang pada gambar 4.37 ditunjukkan dengan garis panah
berwarna merah. Dari stratigrafi juga dapat diketahui jenis akuifernya
yaitu rata-rata akuifernya berupa akuifer tertekan dengan posisi di antara
lapisan yang impermeabel yaitu berupa batulempung karbonatan.
Alangkah baiknya jika ingin membuat sumur dalam paling tidak harus
memiliki kedalaman di atas 74 meter sehingga bisa mendapatkan akuifer
tertekan yang memiliki kualitas airtanah cenderung baik. Perhitungan
debit aliran air permukaan pada Sungai Tarub (gambar 4.38) dapat
ditunjukkan dalam tabel 4.3.

Gambar 4.38 Sungai Tarub

62 Pemetaan Geologi Daerah Godan dan Sekitarnya


Tabel 4.3 Data Hasil Perhitungan Debit Sungai Tarub
waktu (s) rata-rata Laju
segmen
1 2 3 waktu (m/s)
I 11.41 11.45 11.45 3.81 0.762
II 7.41 7.38 7.40 7.39 1.478
III 11.38 11.39 11.38 3.79 0,759

Sketsa Penampang Sungai Tarub

1,48 m
5m
4,9 m

a. Segmen 1

p
t
s s

Volume segmen = volume prisma segiempat


= luas alas x tinggi
= luas trapesium x panjang daerah
= [jumlah sisi sejajar x ( x t)] x panjang daerah
= [1,4+1,5) x ( x 1,1)] x 5
= 7,975 m3
Debit air sungai (Q) =
= = 2,093 ⁄

FX Anjar Tri Laksono 63


b. Segmen 2

Volume segmen = volume balok


= luas alas x tinggi
= luas persegi panjang x panjang daerah
= 2,1 x 5 x 1,48
= 15,54 m3
Debit air sungai (Q) =
= = 10,51 ⁄

c. Segmen 3

Volume segmen = volume prisma segiempat


= luas alas x tinggi
= luas trapesium x panjang daerah
= [jumlah sisi sejajar x ( x t)] x panjang daerah
= [1,4+1,5) x ( x 1,15)] x 5
= 8,337 m3
Debit air sungai (Q) =
= = 2,2 ⁄
Debit rata-rata daerah pengamatan (Q) =
=
= 4,93 ⁄

64 Pemetaan Geologi Daerah Godan dan Sekitarnya


Berdasarkan hasil perhitungan debit air permukaan dengan
mengambil contoh pada Sungai Tarub didapatkan hasil 4,93 m3/s yang
berarti kecepatannya tergolong rendah sampai sedang. Maka dari itu jika
membutuhkan debit yang lebih cepat maka diperlukan pompa untuk
menaikkan kecepatan debit terutama untuk mengairi sawah atau sebagai
irigasi. Rendahnya debit air dipengaruhi oleh adanya pendangkalan
sungai, rendahnya ketersediaan air terutama saat musim kemarau, dan
banyaknya sampah yang menjadi penghalang aliran.

4.2.2 Sumber Bencana Geologi


1. Gerakan Tanah
Kecamatan Grobogan dan sekitarnya memiliki potensi negatif
yang bila menimbulkan korban jiwa dan atau korban harta akan menjadi
sebuah bencana geologi. Potensi negatif yang harus diwaspadai oleh
warga Kecamatan Grobogan dan sekitarnya yaitu gerakan tanah berupa
tanah longsor.
Gerakan tanah berupa longsor yang menjadi ancaman pada
daerah ini adalah disebabkan oleh litologinya. Salah satunya
batulempung. Batulempung ini memilki sifat mudah menyimpan air
tetapi tidak dapat meneruskannya. Oleh sebab itu saat fluida berlebih ia
mampu menyimpan air sebanyak-banyaknya sehingga batulempung
mengembang, tetapi saat volume fluida menyusut dengan cepat
batulempung juga akan menyusut. Faktor inilah yang menyebabkan pada
daerah dengan satuan batulempung harus mempertimbangkan secara
matang sebelum mendirikan bangunan di atasnya gambar 4.39.

Gambar 4.39 Ancaman Tanah Longsor di Desa Tanggungharjo

FX Anjar Tri Laksono 65


BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
a. Geomorfologi daerah pemetaan dibagi kedalam 2 (dua) satuan
bentuklahan, yaitu bentuklahan fluvial bergelombang landai dan
bentuklahan denudasional bergelombang landai.
b. Stratigrafi daerah pemetaan terdiri dari satuan batulempung
karbonatan yang berumur Miosen Awal hingga Miosen Tengah.
Di atas satuan batulempung karbonatan terendapkan secara tak
selaras batulempung karbonatan sisipan batugamping yang
berumur Miosen Tengah bagian Akhir hingga Miosen Akhir
bagian awal. Di atas Satuan batulempung karbonat sisipan
batugamping terendapkan secara selaras satuan batugamping.
c. Struktur geologi yang terdapat pada daerah pemetaan yaitu kekar
berpasangan dengan arah tegasan utama barat-timur mengikuti
pola struktur jawa.
d. Sejarah geologi daerah pemetaan dimulai saat Miosen Awal –
Miosen Tengah terjadi pengendapan dan pembentukan
batulempung karbonatan yang terjadi di zona neritik atau laut
dangkal. Setelah itu terjadi pembentukan lapisan batulempung
karbonat sisipan batugamping pada Miosen Tengah bagian akhir
hingga Miosen Akhir bagian awal yang terbentuk pada zona
neritik. Setelah itu terjadi pembentukan batugamping pada
Miosen Akhir di Zona Bathyal. Kemudian mengalami kompresi
yang diikuti dengan sesar sehingga satuan batulempung
karbonatan sisipan batugamping bergerak relatif naik terhadap
satuan batugamping.
e. Sumberdaya geologi daerah pemetaan yaitu sebagai tambang
batulempung karbonatan/napal, hutan, kebun, persawahan, dan
mataair. Selanjutnya, potensi sumber bencana geologi yang ada
yaitu gerakan tanah berupa tanah longsor.

5.2 Saran
a. Formasi Ledok sangat potensial menyimpan cadangan airtanah
yang baik sehingga cocok untuk dibuat sumur dalam untuk
mendapatkan air dengan kualitas yang baik.
b. Formasi Ngrayong untuk daerah dengan dominan batulempung
tidak disarankan untuk membuat suatu bangunan fisik tanpa
dengan mempertimbangkan kondisi litologi dan konstruksi

67
bangunan yang tepat, karena potensi gerakan tanah dari
batulempung yang perlu diwaspadai.
c. Satuan litologi batulempung karbonatan pada Formasi Ngrayong
dan Wonocolo cocok digunakan untuk lahan pertanian karena
tanahnya yang subur.

68 Pemetaan Geologi Daerah Godan dan Sekitarnya


DAFTAR PUSTAKA

Adha, I., & Sapiie, B. (2019). Rekonstruksi Struktur Geologi Kali Lutut
dan Sekitarnya, Temanggung, Jawa Tengah. Jurnal Geosains Dan
Teknologi. https://doi.org/10.14710/jgt.2.2.2019.61-68
Alkatiri, F., & Hermansyah. (2017). Dinamika Sedimentasi Formasi
Prupuh dan Paciran daerah Solokuro dan Paciran, Lamongan, Jawa
Timur. Proseding Seminar Nasional XI Rekayasa Teknologi
Industri Dan Informasi 2016.
Ariati, V. R., Fahrudin, F., Hidayatillah, A. S., & Widiartha, R. (2019).
Pemetaan Bawah Permukaan dan Analisis Tektonostratigrafi, Blok
Ariati, Cekungan Jawa Timur. Jurnal Geosains Dan Teknologi.
https://doi.org/10.14710/jgt.2.1.2019.1-12
Asbella, K. A., Amijaya, D. H., Anggara, F. A., Melkybudiantoro, D., &
Rotinsulu, L. F. (2017). Pengelompokan Geokimia Minyak Bumi
Mengggunakan Metode Chemometric di Cekungan Jawa Timur
Utara. Seminar Nasional Kebumian Ke-10 Peran Penelitian Ilmu
Kebumian Dalam Pembangunan Infrastruktur Di Indonesia.
Astuti, B. S., Rahardjo, W., & Husein, S. (2010). Pengaruh Struktur
Anjakan Terhadap Stratigrafi Neogen Cekungan Serayu Utara. The
39th IAGI Annual Convention and Exhibition.
Bachri, S. (2014). Pengaruh Tektonik Regional Terhadap Pola Struktur
dan Tektonik Pulau Jawa. Geologi Dan Sumberdaya Mineral.
Burhannudinnur, M., Noeradi, D., Sapiie, B., & Abdassah, D. (2012).
Karakater Mud Volcano di Jawa Timur. Proceeding PIT IAGI
Yogyakarta 2012 The 41st IAGI Annual Convention and Exhibition.
Dhamayanti, E., & Hartati, I. M. (2016). Dinamika Sedimentasi
Singkapan Formasi Ngrayong Dengan Analogi Lingkungan
Pengendapan Modern, Studi Kasus Singkapan Polaman Dan
Braholo Dengan Analogi Pesisir Pantai. Proceeding, Seminar
Nasional Kebumian Ke-9.
Fauzih, R. A., Najib, N., & Santi, N. (2019). Analisis Daya Dukung
Bored Pile Pada Pembangunan Pondasi Jembatan Kali Kenteng dan
Kali Serang Segmen Susukan di Ruas Jalan Tol Salatiga-Kartasura,
PT. Waskita Karya (Persero), Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa
Tengah. Jurnal Geosains Dan Teknologi.
https://doi.org/10.14710/jgt.2.2.2019.87-97

69
Hersenanto, C., & Hermansyah. (2010). Potensi Mineral Logam Nikel
Pada Sedimen Dasar Laut Perairan. The 39th IAGI Annual
Convention and Exhibition.
Ilahi, R. (2018). Analisis Deformasi Stasiun CORS BIG di Sekitar Sesar
Baribis dan Anjak Kendeng Berdasarkan Data Pengamatan Multi
Tahun (2015, 2016, 2017). In Skripsi.
Indranadi, V. B., Prasetyadi, C., & Toha, B. (2010). Pemodelan Geologi
Sub-Cekungan Yogyakarta. The 39th IAGI Annual Convention and
Exhibition.
Indrarini Wulandari, F., & Setiawan, A. (2017). Pemodelan Struktur
Bawah Permukaan 3D Purwokerto dan Sekitarnya Berdasarkan
Data Anomali Gravitasi Bouguer Lengkap. Jurnal Fisika Indonesia.
https://doi.org/10.22146/jfi.27089
Jihan, A., Setijadji, L. D., & Sutawidjaja, I. S. (2010). Evolusi Magmatik
Kenozoik Daerah Banyuwangi - Lumajang Provinsi Jawa Timur.
The 39th IAGI Annual Convention and Exhibition.
Kuncoro, H., Kartini, G. A. J., Meilano, I., & Susilo, S. (2019).
Identifikasi Mekanisme Sesar di Bagian Timur Pulau Jawa dengan
Menggunakan Data GNSS Kontinyu 2010-2016. Seminar Nasional
Geomatika. https://doi.org/10.24895/sng.2018.3-0.1069
Kurnianto, F. A. (2019). Proses-Proses Geomorfologi pada Bentuk Lahan
Lipatan. Majalah Pembelajaran Geografi.
Kusumayudha, S. B., Kaesmetan, D., & Purwanto, H. S. (2019).
Hubungan Batu Gamping Formasi Sentolo dan Breksi Vulkanik
Kulon Progo: Sebuah Koreksi Stratigrafi Studi Kasus di Daerah
Wonotopo, Kecamatan Gebang, Kabupaten Purworejo, Jawa
Tengah. Jurnal Mineral, Energi, Dan Lingkungan.
https://doi.org/10.31315/jmel.v3i1.2102
Laksono, F. A. T., Permanajati, I., & Mualim, R. (2020). Analisis
Kualitas Air Di Lahan Reklamasi Pertambangan Nikel Desa
Mohoni, Petasia Timur, Morowali Utara. JURNAL SAINS
TEKNOLOGI & LINGKUNGAN.
https://doi.org/10.29303/jstl.v6i1.142
Laksono, F. A. T., Ramadhan, G., Nurmajid, R. W., Paramita, L. A. G.,
& Tsai, L. L.-Y. (2020). Analisis Zona Resapan dan Keluaran Air
Tanah di Desa Kutayu, Kabupaten Brebes. Dinamika Rekayasa.
https://doi.org/10.20884/1.dr.2020.16.2.321

70 Pemetaan Geologi Daerah Godan dan Sekitarnya


Laksono, F. A. T., Santoso, P. B., & Permanajati, I. (2020). Peningkatan
Nilai Tambah Curug Bandung, Desa Sumingkir, Kecamatan
Kutasari, Kabupaten Purbalingga Sebagai Destinasi Geowisata
Baru. Dinamika Journal : Pengabdian Masyarakat.
https://doi.org/10.20884/1.dj.2020.2.1.933.
Laksono, F.A.T., Zaenurrohman, J.A., Widagdo, A., & Waluyo, S.
(2020). Peta Geologi Daerah Godan dan Sekitarnya Kecamatan
Grobogan Kabupaten Grobogan Provinsi Jawa Tengah. Hak Cipta
Kementerian Hukum dan HAM RI EC00202016398.
Nainggolan, T. B., Manai, M. N. I., & Subarsyah, S. (2018). Spectral
Decomposition with Continuous Wavelet Transform for
Hydrocarbon Zone Detection of North Bali Waters. Bulletin of the
Marine Geology. https://doi.org/10.32693/bomg.33.2.2018.556
Noerwidi, S., & Siswanto. (2015). Perbandingan Data Geologi,
Paleontologi Dan Arkeologi Situs Patiayam Dan Semedo
Comparison of Geological, Paleontological, and Archaeological
Data From the Sites of Patiayam and Semedo. Berkala Arkeologi
Sangkhakala.
Nugroho, B. W., Suparjono, S., & Pratama, R. (2020). Rekayasa
Geoteknik untuk Penanganan Squeezing Failure dan Penembusan
Area Ambrukan 1. Prosiding Temu Profesi Tahunan PERHAPI.
https://doi.org/10.36986/ptptp.v1i1.98
Nugroho, N. E., & Kristanto, W. A. D. (2020). Karakter dan Potensi
Risiko Kerusakan Ekosistem Karst Cekungan Air Tanah Watuputih
Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Ilmiah
Lingkungan Kebumian (JILK).
https://doi.org/10.31315/jilk.v2i1.3288
Nurjazuli, N., Dangiran, H. L., & Bari’ah, A. A. (2018). Analisis Spasial
Kejadian Filariasi di Kabupaten Demak Jawa Tengah. Jurnal
Kesehatan Lingkungan Indonesia.
https://doi.org/10.14710/jkli.17.1.46-51
Nurwidyanto, M., Noviyanti, I., & Widodo, S. (2005). Estimasi
Hubungan Porositas dan Permeabilitas pada Batupasir (Study Kasus
Formasi Kerek, Ledok,Selorejo). Berkala Fisika.
Pameco, P. A., & Amijaya, D. H. (2015). Pengaruh Struktur Geologi
Terhadap Munculnya Rembesan Minyak Dan Gas Di Daerah Boto ,
Kecamatan Bancak , Kabupaten. Proceeding, Seminar Nasional
Kebumian Ke-8.

FX Anjar Tri Laksono 71


Panjaitan, S. (2010). Prospek Migas Pada Cekungan Jawa Timur dengan
Pengamatan Metode Gayaberat. Buletin Sumber Daya Geologi.
https://doi.org/10.47599/bsdg.v5i3.266
Panjaitan, S., & Subagio, S. (2016). Prospek Sumber Daya Energi
Berdasarkan Analisis Pola Anomali Gaya Berat di Daerah Biak dan
Sekitarnya, Papua. Jurnal Geologi Kelautan.
https://doi.org/10.32693/jgk.13.2.2015.264
Patria, A., & Aulia, A. N. (2020). Structural And Earthquake Evaluations
along Java Subduction Zone, Indonesia. RISET Geologi Dan
Pertambangan. https://doi.org/10.14203/risetgeotam2020.v30.1072
Pramono, H. (2017). Fisiografi Parangtritis Dan Sekitarnya. Geomedia:
Majalah Ilmiah Dan Informasi Kegeografian.
https://doi.org/10.21831/gm.v5i1.14202
Praptisih, P. (2016). Karakteristik Batuan Induk Hidrokarbon dan
Hubungannya dengan Rembesan Minyak di Lapangan Minyak
Cipluk, Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa Tengah. Buletin Sumber
Daya Geologi. https://doi.org/10.47599/bsdg.v11i2.26
Prasetyadi, C. (2007). Evolusitektonik Paleogen Jawa bagian timur. In
Dissertation.
Prihanto, Y., Koestoer, R. H., Sutjiningsih, D., & Darmajanti, L. (2018).
Rain harvesting patterns for a dynamic secondary city: A case study
of Semarang City. IOP Conference Series: Earth and
Environmental Science. https://doi.org/10.1088/1755-
1315/202/1/012065
Prihutama, F. A., Danistya, A., & Ir. Sugeng Widada, M. S. (2018).
Karakteristik Geologi dan Skenario Reservoir Hidrokarbon sebagai
Rencana Pengembangan Zona Prospek Lapangan “Tesseract”
Cekungan Jawa Timur Utara pada Zona Rembang, Jawa Timur.
Proceeding Seminar Nasional Kebumian Ke-11, Perspektif Ilmu
Kebumian Dalam Kajian Bencana Geologi Di Indonesia.
Pulunggono, A., & Martodjojo, S. (1994). Perubahan Tektonik Paleogen -
Neogen Merupakan Peristiwa Terpenting di Jawa. Proceedings
Geologi Dan Geotektonik Pulau Jawa.
Purasongka, N. W., Syafri, I., & Jurnaliah, L. (2015). Karakteristik
Batuan Sedimen Berdasarkan Analisis Petrografi Pada Formasi
Kalibeng Anggota Banyak. Bulletin of Scientific Contribution.

72 Pemetaan Geologi Daerah Godan dan Sekitarnya


Rasi Prasetio, S. (2015). Aplikasi Teknik Isotop Alam 18O dan 2H Untuk
Studi Air Tanah Pada Cekungan Airtanah Semarang, Jawa Tengah.
Prosiding Pertemuan Dan Presentasi Ilmiah - Penelitian Dasar
Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi Nuklir.
Romario, I. F. B. (2016). Studi Paleogeografi Neogen Batas Cekungan
Kendeng-Serayu Utara: Tantangan Dan Implikasi Pada Konsep
Eksplorasi Minyak Dan Gas Bumi Di Tinggian Semarang Regional
Jawa Tengah Bagian Utara. Proceeding, Seminar Nasional
Kebumian Ke-9.
Santoso, B. (2016). Penerapan Metode Geolistrik-2duntuk Identifikasi
Amblasan Tanah dan Longsoran di Jalan Tol Semarang – Solo Km
5+400 – Km 5+800. Spektra: Jurnal Fisika Dan Aplikasinya.
https://doi.org/10.21009/spektra.012.13
Sarmili, L. (2016). Hydrothermal Mineralization in Jailolo Waters, West
Halmahera, North Maluku Province. Bulletin of the Marine
Geology. https://doi.org/10.32693/bomg.30.1.2015.73
Sarmili, L., & Hermansyah, G. (2016). Pembentukan Undak
Batugamping dan Hubungannya dengan Struktur Diapir Di Perairan
Tanjung Awar-Awar Paciran Jawa Timur. Jurnal Geologi Kelautan.
https://doi.org/10.32693/jgk.8.3.2010.193
Sarmili, L., & Troa, R. A. (2016). Keberadaan Sesar dan Hubungannya
dengan Pembentukan Gunung Bawah Laut di Busur Belakang
Perairan Komba, Nusa Tenggara. Jurnal Geologi Kelautan.
https://doi.org/10.32693/jgk.12.1.2014.246
Setiadi, I., Setyanta, B., Nainggolan, T. B., & Widodo, J. (2019).
Delineation of Sedimentary Subbasin and Subsurface Interpretation
East Java Basin in the Madura Strait and Surrounding Area Based
on Gravity Data Analysis. Bulletin Of The Marine Geology.
https://doi.org/10.32693/bomg.34.1.2019.621
Setyawan, R., Hakim, A., Sulestianson, A., Bagaskara, A. A. S., Febyani,
F., Sutandiono, H. A.-S., Napitupulu, K. J., & Nurjayanti, N.
(2020). Variasi dan Sebaran Litologi Batugamping di Kecamatan
Todanan, Kabupaten Blora, Jwa Tengah. Jurnal Geosains Dan
Teknologi. https://doi.org/10.14710/jgt.3.1.2020.42-51
Srijono, S., & Nadia, N. (2013). Urang Cave Karst Environmental
Development, as Tourism Object. Forum Geografi.
https://doi.org/10.23917/forgeo.v27i2.2369

FX Anjar Tri Laksono 73


Susanto, A. (2017). Implementasi Metode K-Nearest Neighbor dalam
Peramalan Jumlah Penduduk pada Kabupaten Grobogan, Demak
dan Sragen. Program Studi Teknik Informatika FTI-UKSW.
Usman, E., Sudradjat, A., Suparka, E. R., & Syafri, I. (2010).
Pembentukan Jalur Vulkanik Busur Belakang Muria-Bawean dan
Pengaruhnya Terhadap Pembentukan Cekungan Pati. The 39th IAGI
Annual Convention and Exhibition.
Wacana, P., Irfanianto, & Abe Rodhialfalah. (2014). Kajian Potensi
Kawasan Karst Kendeng Utara Pegunungan Rembang Madura
Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Prosiding Seminar Nasional
Kebumian Ke-7 UGM, 30-31 Oktober 2014.
Wicaksana, I. (2018). The Problematical Solution Of Shale gas
Explitation As Alternative Energy For National Independent Oil
And Gas. https://doi.org/10.29118/ipa.0.13.se.030
Widjaja, P. H., & Noeradi, D. (2016). 3D Properties Modeling to Support
Reservoir Characteristics of W-ITB Field In Madura Strait Area.
Bulletin of the Marine Geology.
https://doi.org/10.32693/bomg.25.2.2010.27

74 Pemetaan Geologi Daerah Godan dan Sekitarnya

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai