Anda di halaman 1dari 2

Berilah CONTOH kesalahan dalam penulisan bidang hukum (bebas) yang saudara

temui, dimana letak kesalahannya (beserta alasan) dan bagaimana perbaikannya.

JAWABAN :

Salah rujuk pasal

Para perancang peraturan perlu membaca kembali struktur rancangan mereka sebelum
disahkan untuk menghindari kesalahan rujukan. Dinamika pembahasan acapkali mengubah
posisi norma dari pasal tertentu ke pasal lain. Kesalahan rujukan bisa membuat pasal
tertentu tidak bisa dijalankan.

Contoh konkrit kasus semacam ini ditemukan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Norma pidana dalam pasal 116 ayat (4) merujuk
pada pasal 83. Pasal rujukan ini jelas salah. Pasal 116 ayat (4) memuat ancaman sanksi bagi
pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri dan kepada desa
yang mengabil tindakan menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama
masa kampanye seperti diatur padal 83. Rujukan salah karena pasal 83 mengatur dana
kampanye. Tindakan pejabat yang merugikan calon kepada daerah justru diatur dalam pasal
80.

Para perancang UU Pemda akhirnya mengakui kesalahan rujukan itu, dan mendukung
langkah Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal rujukan yang salah.

Salah Memilih Kata

Pilihan kata dalam peraturan sangat penting. Lema yang dipilih adalah penentu segala
tindakan subjek yang diatur. Sebab, bahasa peraturan adalah bahasa hukum yang
cenderung tunggal dan tidak multitafsir. Semakin lentur tafsir kata yang dipilih semakin
besar potensi aturan itu tidak bisa dijalankan. Apalagi kalau kata yang dipilih salah.

Kesalahan semacam ini pernah dilakukan penyusun Undang-Undang No. 5 Tahun 2004
tentang Mahkamah Agung. Para perancang tampaknya sulit membedakan lema ‘penetapan’
dan ‘putusan’. Undang-Undang ini mengatur pembatasan kasasi. Pasal 45 A ayat (3)
menyebutkan jika masih ada permohonan kasasi yang formal tidak memenuhi syarat maka
permohonan itu harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Menurut Undang-Undang ini, pernyataan tidak dapat diterima dituangkan dalam bentuk
‘penetapan’ Ketua Pengadilan Negeri.

Penggunaan kata ‘penetapan’ dalam Undang-Undang ini jelas salah. Yang benar adalah
‘putusan’. Sesuai hukum acara, pernyataan tidak dapat diterima suatu perkara dituangkan
dalam bentuk putusan hakim, bukan penetapan. Mahkamah Agung akhirnya mengoreksi
kekeliruan para perancang melalui Surat Edaran No. 6 dan No. 7 Tahun 2005. MA
menyatakan kata penetapan Ketua PN harus dibaca sebagai surat keterangan Ketua PN.
Maka apabila terdapat kesalahan dalam sebuah UU maka kesalahan tersebut hanya dapat
dirubah dengan Perpu maupun UU (Yang levelnya setara), atau dicabut oleh MK dalam
Judicial Review.

Anda mungkin juga menyukai