Anda di halaman 1dari 12

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA


FAKULTAS TEKNIK
DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI
LABORATORIUM GEOLOGI TATA LINGKUNGAN

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM GEOLOGI TEKNIK

ACARA XI : PENYUSUNAN PETA INTENSITAS CURAH HUJAN

DISUSUN OLEH:
GREGORIUS BRIAN ANDIN
19/439667/TK/48397

ASISTEN ACARA:
FATIMA AZZAHRA AYUNINGTYAS
AFRA GHAIDA F

ASISTEN KELOMPOK:
BAIQUNI RACHMANSYAH

YOGYAKARTA

JUNI

2022
A. Langkah Pembuatan Peta Curah Hujan dan Hasilnya

1. Masukkan layer area kerja DEMNAS yang sudah ada kedalam arcmap.

2. Mencari data curah hujan melalui sumber yang terpercaya, seperti pada Sumber data
BMKG.

3. Masukkan data curah hujan dalam format excel ke arcmap dengan menggunakan tools
Excel to Table. Arctoolbox → conversion tools → excel → excel to table.
Di bawah ini adalah data curah hujan yang akan digunakan

4. Export data excel yang telah diinput menjadi shapefile pada table of contents.

5. Add data XY untuk koordinat dan Z value diisi dengan curah hujan, pada kesempatan kali
ini saya menggunakan nilai curah hujan dalam mm/hari.
6. Dilanjutkan dengan menggunakan features IDW dengan nilai Z value adalah intensitas
curah hujan dalam mm/hari. Tetapkan processing extent terbatas pada area kerja.
Kemudian dilakukan simbolisasi pada hasil process IDW dan membagi menjadi 5 kelas
dan mengganti warna symbol menjadi warna biru.

7. Setelah selesai lakukan layouting agar peta dapat lebih mudah dipahami.
Peta Curah Hujan Kawasan X
Universitas Gadjah Mada Kabupaten Kebumen - Purworejo - Wonosobo
Provinsi Jawa Tengah

365000 370000 375000 380000 385000

LEGENDA
Kec. Kaliwiro
! Kec.
Sapuran
9170000

9170000
Kec.
!
Kec. Sadang Kalibawang
! Stasiun Pengamatan
Kec. Kepil
Area Kerja
!
Batas Kecamatan
! Kec.
9165000

9165000
Wadaslintang
Intensitas Curah Hujan (mm/hari)
8.12 - 9.75
! Kec. Bruno

9.76 - 11.39

11.40 - 13.02
Kec.
Kepil
13.03 - 14.66
9160000

9160000
Kec.
Karangsambung

14.67 - 16.30

Kec.
Alian

Kec. Padureso
Kec. Pituruh
Ü SKALA
1:100,000
9155000

9155000
Kec. Gebang
! Km
Kec. Kemiri 0 1 2 4 6 8
Kec. ! !
Poncowarno

PETA INDEKS
Kab. Pekalongan Kab. Batang Kab.
Kendal Kab. Kendal

Kab.
! Kab.
Semarang

Temanggung
9150000

9150000
Kab.
Kec. Banjarnegara
Kutowinangun
Kab. Wonosobo
Kec. Bayan
Kec. Kutoarjo Kec.
Kec. Prembun ! ! Purworejo
Kab. Magelang

Kec. Butuh
9145000

9145000

! Kec. Banyu
Kec. Ambal Kab. Kebumen
Kec. Mirit Urip Kab.
Kec. Bonorowo Purworejo
! Kab. Kulon
Progo
Kab. Sleman

365000 370000 375000 380000 385000

Sistem proyeksi : WGS 1984 UTM Zone 49S


Sumber data : Badan Informasi Geospasial, berupa data:
1. DEMNAS 1408-14
2. Peta Per Wilayah Kab. Kebumen, Kab. Wonosobo, dan Kab. Purworejo tahun 2019
Badan Pusat Statistik, berupa data:
1. Data curah hujan Kab. Kebumen, Kab. Wonosobo, dan Kab. Purworejo tahun 2018

Peta Curah Hujan Kawasan X


Kabupaten Kebumen - Purworejo - Wonosobo
Provinsi Jawa Tengah
disusun oleh
GREGORIUS BRIAN ANDIN
19/439667/TK/48397
2022
Interpretasi Peta Intensitas Curah Hujan
Curah hujan merupakan butiran air atau kristal es yang jatuh keluar dari awan. Bila
curahan tersebut mencapai permukaan bumi, maka kemudian disebut sebagai hujan (Tjasyono
dalam Fadholi, 2013). Indonesia sebagai negara dengan iklim tropis memiliki mekanisme
pembentukan hujan yang cukup kompleks untuk dimodelkan karena beberapa faktor yang
memengaruhinya. Terdapat variasi yang besar terhadap nilai intensitas curah hujan antara satu
tempat dengan tempat lainnya yang menyebabkan pola sebaran hujan cenderung tidak merata
akibat perbedaan faktor geografis, topografis, orografis, struktur, dan orientasi kepulauan.
(Kartasapoetra dalam Fadholi, 2013). Mengingat bahwa hujan memiliki peranan besar yang
berpengaruh terhadap keseharian manusia, pengolahan data dan penyusunan peta intensitas
curah hujan dirasa perlu karena berbagai kegunaan yang ditawarkannya seperti dalam konteks
perencanaan bangunan air dan drainase, pengendalian banjir, penunjang dalam perencanaan
produktivitas pertanian, dan penilaian terhadap erosivitas lahan maupun bahaya longsor.
Terdapat beberapa metode untuk menganalisis data curah hujan, salah satunya ialah
metode isohyet. Metode ini digunakan apabila penyebaran stasiun hujan di daerah tangkapan
hujan tidak merata. Melalui cara ini, garis-garis kontur digambarkan berdasarkan tinggi hujan
yang sama (BPSDM, 2018). Metode ini digunakan dengan ketentuan:
1. Dapat digunakan pada daerah datar maupun pegunungan.
2. Jumlah stasiun pengamatan harus banyak.
3. Bermanfaat untuk hujan yang sangat singkat.
Setelah data curah hujan diperoleh dan diolah pada ArcMap, maka dibuatlah suatu Peta
Intensitas Curah Hujan. Analisis terhadap peta tersebut akan berfokus terhadap dampak yang
ditimbulkan dari besarnya intensitas curah hujan dalam kaitannya dengan tingkat kemiringan
lereng, jenis litologi penyusun, keberadaan struktur, serta penggunaan lahan di masing-masing
wilayah yang tercakup dalam area penelitian.

A. Kemiringan Lereng
Secara umum, area penelitian memiliki intensitas curah hujan yang tergolong ringan
menurut klasifikasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, yakni dalam
jangkauan 5 – 20 mm/hari. Karena seluruh daerah yang dipetakan tergolong dalam satu
kelompok yang sama, pembagian intensitas curah hujan kawasan tersebut kemudian
diperinci kembali dengan menggunakan angka-angka eksak. Dalam kaitannya dengan
kemiringan lereng, kedua aspek ini saling mendukung satu sama lain sebagai faktor-faktor
yang dapat memicu terjadinya gerakan massa. Kerentanan gerakan massa tanah
dipengaruhi oleh kestabilan lereng rendah dan tingkat curah hujan tinggi. Tingkat curah
hujan yang tinggi disertai dengan kemiringan lereng yang tinggi dapat mengakibatkan suatu
kerusakan pada tebing berupa bencana longsoran. Curah hujan yang tinggi tersebut secara
langsung dapat mengakibatkan penjenuhan pada tanah permukaan sehingga mempengaruhi
drainase permukaan tanah. Kenaikan limpasan permukaan akan meningkat seiring dengan
meningkatnya intensitas curah hujan dan juga dipengaruhi oleh kemiringan lereng.
Kenaikan jumlah limpasan permukaan disebabkan karena faktor infiltrasi atau daya serap
yang tak merata akibat pemadatan terjadi secara manual (Ramlan dan Widjaya, 2020).

Dengan dibantu oleh peta kemiringan lereng yang telah disusun pada kesempatan
sebelumnya, maka dapat dilakukan penerkaan terhadap daerah-daerah rawan longsor.
Berdasarkan peta tersebut, dapat dilihat bahwa kawasan yang memiliki tingkat kemiringan
lereng relatif tinggi berada di sebelah utara area penelitian. Hal ini kemudian didukung oleh
hasil peta curah hujan yang telah dibuat. Pada peta curah hujan tersebut, bisa diamati bahwa
sisi utara area penelitian memiliki intensitas curah hujan yang lebih tinggi dibandingkan
sebelah selatannya. Secara khusus, intensitas curah hujan paling besar berada di sekitaran
Kecamatan Bruno. Maka berdasarkan data-data ini, dapat disimpulkan bahwa bagian utara
area penelitian memiliki risiko bencana longsor yang lebih tinggi dibandingkan sisi
sebelah selatannya. Hal ini dapat dibuktikan dengan mengambil perbandingan kejadian
bencana longsor di Kabupaten Purworejo, dengan Kecamatan Bruno yang memiliki
intensitas curah hujan paling besar dan tingkat kemiringan lereng relatif tinggi mewakili
sisi utara area penelitian, dan Kecamatan Bayan yang memiliki intensitas curah hujan paling
rendah dan tingkat kemiringan lereng relatif rendah mewakili sisi selatan area penelitian.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik, tercatat adanya kejadian
bencana longsor sebanyak 18 kali di Kecamatan Bruno dalam kurun waktu 2018 – 2020.
Sedangkan dalam kurun waktu yang sama, tercatat hanya terjadi sebanyak 1 kali kejadian
bencana longsor di Kecamatan Bayan.
B. Jenis Litologi Penyusun
Dalam konteks kaitannya dengan litologi penyusun area penelitian, besarnya intensitas
curah hujan ini bisa dikaitkan dengan letak keberadaan akuifer. Besarnya curah hujan di
suatu daerah dan air yang meresap ke dalam tanah akan mempengaruhi keberadaan air
tanah. Akan tetapi, hal ini juga diiringi oleh material penyusunnya. Litologi batuan dapat
memengaruhi baik kualitas maupun kuantitas air tanah, serta menentukan tingkat kesulitan
dalam mengidentifikasi akuifer di bawah permukaan.

Melalui peta geologi di atas, bisa diketahui bahwa bagian selatan area penelitian
dominan tersusun atas litologi berupa aluvium. Karena aluvium sebagian besar tersusun atas
endapan yang belum terkonsolidasi, ia memiliki karakteristik porositas dan permeabilitas
yang baik. Kedua faktor tersebut akan berimplikasi pada kondisi hidrogeologi berupa nilai
transmisivitas (T) dan konduktivitas hidraulika (K) yang tinggi. Dengan begitu, air akan
mudah bergerak melaluinya. Bila diamati kembali peta curah hujan yang telah disusun,
bagian ini memiliki intensitas curah hujan yang paling kecil. Tentunya hal ini tidak akan
menjadi masalah besar sebab kekurangannya telah ditanggulangi oleh faktor litologinya
seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya. Dan dengan begitu, keberadaan air tanah
akan mudah didapati pada bagian selatan area penelitian.
Di lain sisi, bagian utara area penelitian dominan tersusun atas dua formasi utama yakni
Formasi Halang dan Formasi Peniron. Formasi Halang tersusun atas perselingan batupasir,
batugamping, napal, dan tuf dengan sisipan breksi, sedangkan Formasi Peniron tersusun
atas breksi aneka bahan dengan komponen andesit, batulempung, batugamping dan masa
dasar berupa batupasir tufan bersisipan dengan tuf. Terdapat catatan penting yang perlu
diperhatikan terkait keberadaan kedua formasi ini. Kandungan batugamping yang terdapat
pada Formasi Halang sangat mampu mempengaruhi letak keberadaan akuifer. Hal ini
disebabkan karena pada litologi batugamping yang intens dengan pelarutan, sebaran air
tanah terjadi secara setempat saja. Pengaruh porositas sekunder sangatlah besar terhadap
letak keberadaan air tanahnya, yang membuatnya sulit ditemukan karena hanya akan berada
di titik-titik tertentu saja. Air tanah akan mengalir sesuai dengan keberadaan rongga-rongga
pada batuan, entah itu yang terbentuk karena pelarutan maupun akibat adanya struktur
patahan. Berangkat dari hal tersebut, eksplorasi air tanah pada lokasi ini harus dilakukan
secara lebih terperinci guna menentukan titik yang tepat untuk membangun sumur produksi.
Selain itu, litologi polymict breccia dengan kemas matrix-supported pada Formasi Peniron
juga dapat mempengaruhi keberadaan akuifer pada bagian utara area penelitian. Diketahui
bahwasannya matriks penyusun batuan ini berupa tuf. Hal yang perlu diperhatikan dari
keberadaan tuf ialah umumnya litologi ini bersifat akuiklud, yang mana batuannya mampu
menyimpan air tetapi tidak dapat melalukannya dalam jumlah yang berarti, sehingga
kandungan airnya tidak dapat dipompa keluar dari bawah permukaan. Bila diamati kembali
peta curah hujan yang telah disusun, kawasan ini memiliki intensitas curah hujan yang
tinggi hingga paling tinggi. Akan tetapi karena litologi penyusunnya kurang mendukung,
keberadaan air tanah pada area utara diinterpretasikan cukup sulit untuk ditemukan.

C. Keberadaan Struktur
Pembahasan selanjutnya akan berfokus kepada korelasi antara intensitas curah hujan
dengan keberadaan struktur geologi di area penelitian. Dalam kaitannya dengan struktur
geologi, analisa akan dilakukan untuk mencari pengaruhnya terhadap kerentanan bencana
longsor dan letak keberadaan air tanah sebab struktur geologi dapat berperan sebagai jalur
infiltrasi air permukaan untuk masuk ke dalam tanah dan/atau batuan. Kedua hal tersebut
sebenarnya sudah dibahas pada poin pembahasan korelasi peta curah hujan dengan kondisi
kemiringan lereng, dan juga pada bagian korelasi peta curah hujan dengan jenis litologi
penyusun. Walau begitu, pembahasan terkait korelasi antara peta curah hujan dengan
keberadaan struktur geologi dirasa perlu juga untuk dilakukan guna memberikan analisa
komprehensif terhadap segala faktor yang mempengaruhinya.
Melalui peta jarak dari struktur di atas, dapat kita ketahui bahwa daerah imbuhan utama
akibat pengaruh struktur geologi berada di sebelah utara area penelitian, secara khusus pada
bagian barat laut. Intensitas curah hujan yang tinggi ditambah dengan keberadaan struktur
patahan ini membuat bagian utara area penelitian menjadi sangat rentan terhadap
bencana longsor, yang mana hipotesa ini sudah divalidasi dengan data yang disediakan
pada saat pembahasan korelasi antara peta curah hujan dengan kondisi kemiringan lereng.
Informasi tambahan yang dapat diberikan berdasarkan keterdapatan struktur ini ialah terkait
keberadaan akuifer di area penelitian, secara khusus pada bagian utaranya. Pada
pembahasan sebelumnya, telah disebutkan bahwa keberadaan air tanah sulit untuk
ditemukan pada bagian utara area penelitian. Akan tetapi dengan mengamati peta struktur
patahan di atas, pemetaan terhadap potensi keterdapatan air tanah dapat lebih mudah untuk
dilakukan. Pembentukan celah pada batuan atau fisure zone yang disebabkan oleh pengaruh
struktur geologi merupakan jalur utama pergerakan air pada area ini. Dengan begitu,
potensi keberadaan akuifer yang paling besar di kawasan ini terletak di daerah-
daerah yang berada dekat atau di sepanjang struktur patahan tersebut.

D. Penggunaan Lahan
Memasuki pembahasan terakhir, yakni pembahasan mengenai korelasi antara peta curah
hujan dengan tata guna lahan area penelitian. Sebenarnya, keduanya memiliki hubungan
yang tidak terlalu mengikat. Walaupun begitu, beberapa indikasinya dapat kita lihat dengan
mengamati peta tata guna lahan area penelitian.
Melalui peta di atas, persebaran umum penggunaan lahan di area penelitian terbagi
menjadi dua. Pertama di bagian utaranya yang didominasi oleh perkebunan, hutan, dan dan
semak belukar. Ketiga penggunaan lahan yang diasumsikan memiliki vegetasi lebat ini
dapat tumbuh di area tersebut karena besarnya intensitas curah hujan di kawasan utara area
penelitian. Namun lain halnya yang dijumpai pada area selatan penelitian, yang secara garis
besar didominasi oleh sawah. Intensitas curah hujan bagian selatan area penelitian tidak
sebesar bagian utaranya. Akan tetapi bukan berarti bahwa produktivitas sawah menjadi
rendah di daerah tersebut. Hal ini kemudian hanya menunjukkan bahwa sistem irigasi di
bagian selatan area penelitian diduga lebih dikontrol oleh pengairan yang bersumber dari
sumur bor, sedangkan intensitas curah hujannya memiliki signifikansi yang rendah.
DAFTAR PUSTAKA
Alhakim, E. E., dan Santosa, L. W. (2013). Pengaruh Kestabilan Lereng terhadap Kerentanan
Gerakan Massa Tanah di sub DAS Progo Hulu Kabupaten Temanggung. Jurnal Bumi
Indonesia, 2(4).
Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia. (2018). Hidrologi dan Neraca Air. Diakses pada
2 juni 2022 dari https://bpsdm.pu.go.id/center/pelatihan/uploads/edok/2018/04/700a4_
BT_05_Hidrologi _dan_Neraca_Air.pdf
Badan Pusat Statistik. Kejadian Bencana Alam* 2018-2020 Kabupaten Purworejo. Diakses
pada 2 Juni 2022 dari https://purworejokab.bps.go.id/indicator/153/179/1/bencana-alam-
.html
Fadholi, A. (2013). Pemanfaatan Suhu Udara dan Kelembapan Udara dalam Persamaan Regresi
untuk Simulasi Prediksi Total Hujan Bulanan di Pangkalpinang. Jurnal CAUCHY, 3(1),
hal. 1-9
Mohamad, F., Mardiana, U., Yuniardi, Y., Nur, A. A., dan Alfadli, M. K. (2017). Potensi
Akuifer Kampus Arjasari Berdasarkan Pengamatan Nilai Tahanan Jenis Batuan. Bulletin
of Scientific Contribution, 15(2), hal. 129-138.
Ramlan dan Widjaya, M. T. (2020). Hubungan Kemiringan Lereng dan Intensitas Curah Hujan
terhadap Besarnya Limpasan. Program Studi Teknik Pengairan Fakultas Teknik
Universitas Muhammadiyah Makassar.
Rusdianti, K., dan Hartantyo, E. (2019). Identifikasi Lapisan Batuan Dasar Geoteknik dan
Akuifer dengan Menggunakan Geolistrik Schlumberger untuk Pengembangan
Peternakan Closed House Pt. Maju Makmur di Desa Surjo, Kecamatan Bawang,
Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Gadjah Mada.
Saputro, D. R. S. (2009). Memprediksi Curah Hujan (Data Spatio-Temporal) dengan Metode
Bayesian Networks. Solo: Jurusan Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret.

Anda mungkin juga menyukai