Anda di halaman 1dari 10

81

KETERWAKILAN ETNIS DALAM


KEPEMIMPINAN POLITIK PASCA ORDE BARU

Jumadi* dan Mohd. Rizal Yaakop**


*FISIP Universitas Tanjungpura Pontianak, Kalimantan Barat
** Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan Unversiti Kebangsaan Malaysia (UKM)

Abstract: Power Relations in Malay Culture. This article aims to study the ethnic representation
Dayak and Malay in leadership in West Kalimantan Barat post New Order regime by utilizing
qualitative approach. In addition, the data for this study is based on primary and secondary data.
The primary data obtained through in-depth interviews with selected informants. While the
secondary data obtained from books, journals and newspapers. This writing used the conceptual
framework of Lijphart (1984) on consociation democracy, and Gurr (1994) on ethno politic and
instrumentalism approach. The study found some important factors that influence the emergence of
identity politics in West Kalimantan, namely structural factors, political conditions, unbalanced
representation of political and ethnic stereotypes. However, political factors and unbalanced ethnic
representation in power are the main causes of the emergence of identity politics. The results also
show that the occurrence of ethnic identity politics and religion has influence on the shape of
political representation in West Kalimantan.

Abstrak: Keterwakilan Etnis dalam Kepemimpinan Politik Pasca Orde Baru. Tulisan ini ber-
tujuan mengkaji keterwakilan politik etnis Dayak dan Melayu dalam kempemimpinan di Kalimantan
Barat pasca rejim Orde Baru dengan pendekatan kualitatif. Sumber data dalam kajian ini berdasarkan
data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui kaedah wawancara mendalam dengan
informan terpilih. Manakala data sekunder diperoleh melalui buku, jurnal, dan surat kabar. Tulisan
ini menggunakan kerangka konseptual Lijphart (1984) tentang consociational democracy, Gurr
(1994) tentang ethnopolitic dan pendekatan instrumentalism. Kajian ini mengidentifikasi beberapa
faktor penting yang mempengaruhi munculnya politik identitas di Kalimantan Barat antara lain,
faktor struktural, keadaan politik, ketidakberimbangan perwakilan politik, dan stereotip etnik.
Bagai-manapun faktor keadaan politik dan ketidakberimbangan perwakilan etnik dalam kekuasaan
penyebab utama munculnya politik identitas. Hasil kajian ini menunjukkan terjadinya politik
identitas etnis dan agama juga berpengaruh kepada bentuk keterwakilan politik di Kalimantan
Barat.
Kata Kunci: keterwakilan etnis, kepemimpinan politik, politik identitas, reformasi

PENDAHULUAN politik menjadi salah satu kekuatan baru dalam


Penyelenggaraan otonomi daerah pada dinamika politik lokal. Kebijakan desentralisasi
awal-awal reformasi, dalam praktiknya memang dan otonomi daerah yang memberikan kekuasaan
membawa dampak yang cukup signifikan bagi dan kewenangan politik yang begitu besar ke-
dinamika politik di tingkat daerah. Eksistensi pada masyarakat di daerah, dalam realitasnya
masyarakat daerah, peran Dewan Perwakilan juga memunculkan sebuah fenomena politik
Rakyat Daerah (DPRD) dan proses rekruitmen identitas yang berasaskan etnis dan agama.
kepemimpinan di daerah, khususnya dalam Proses rekruitmen kepemimpinan di daerah
pemilihan kepala daerah telah menunjukkan selama masa sepuluh tahun terakhir ini lebih
perkembangan yang berbeda jika dibandingkan cenderung didasarkan pada asal-usul daerah,
dengan masa kekuasaan rezim Orde Baru. etnis, dan agama.
Aktor, institusi, dan budaya lokal pun juga ber- Menguatnya politik identitas etnis dan agama
munculan kembali serta mulai memainkan dalam pemilihan kepala daerah gubernur, bupati,
peranan dalam politik lokal. Aktor-aktor lokal dan walikota telah menjadi fenomena umum
yang terorganisir dalam institusi adat dan partai terjadi di Kalimantan Barat. Dalam persaingan

81
82 Jurnal Demokrasi & Otonomi Daerah, Volume 11, Nomor 2, Desember 2013, hlm. 71-143

politik tersebut, kelompok masyarakat lebih tersebut dalam praktiknya tidak hanya pada
mengedepankan isu-isu etnis dan agama ke- jabatan-jabatan politik saja, akan tetapi juga
timbang visi, misi, dan program pembangunan. meluas pada jabatan-jabatan di birokrasi peme-
Dalam keadaan politik yang semakin terbuka, rintahan. Besar kecilnya kemampuan kelompok
penonjolan entitas-entitas suku dan agama, etnis dalam mendapatkan kekuasaan politik,
merupakan tempat yang subur bagi elit di daerah kepemimpinan kepala daerah dan di birokrasi
untuk mengembangkan politik perbedaan yang pemerintahan dianggap berpengaruh kepada
didasarkan kepada identitas etnis dan agama. keamanan masyarakatnya (community security).
Dampak dari menguatnya politik identitas di Sebagai daerah yang masyarakatnya cukup
Kalimantan Barat tersebut, telah memunculkan majemuk dan seringkali dilanda oleh konflik
kesepakatan politik yang tidak formal di kalangan sosial, fenomena politik identitas dan keterwa-
tokoh, pemimpin etnis dan elit politik Dayak dan kilan politik yang berasas pada etnis dan agama
Melayu untuk membagi kekuasaan berdasarkan dalam proses politik di Kalbar pasca rezim Orba,
kepada komposisi etnis dalam satu wilayah. cukup menarik untuk dikaji. Berkenaan dengan
Proses rekruitmen kepemimpinan di wilayah penjelasan di atas, maka tulisan ini membahas
Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar) pasca rezim pada masalah seberapa pentingkah isu etnis dan
Orba, tidak hanya mengarah pada tuntutan agama menjadi bagian instrumen politik dalam
“putera daerah” akan tapi semakin meluas pada setiap event pemilihan kepala daerah? Faktor-
penggunaan identitas etnis dan agama. Dalam faktor apakah yang menyebabkan munculnya
banyak kasus pemilihan kepala daerah, politik politisasi etnis dan agama? Dan bagaimanakah
identitas yang didasarkan pada etnis dan agama pengaruhnya terhadap keterwakilan politik etnis
merupakan asas legitimasi dalam struktur politik Dayak dan Melayu?
pada level lokal.1 Potensi konflik dalam interaksi Dalam suatu negara yang demokratis, feno-
antar kelompok etnis yang bersaing sangat jelas mena etnis dalam politik tidak hilang, dan
ketika berhubungan dengan masalah kekuasaan biasanya larut dalam berbagai lembaga politik
dan kepimpinan politik. yang ada. Jika ada perlakukan yang tidak adil,
Demokratisasi politik di ranah lokal dalam hak-hak sosial dan politik terabaikan serta
waktu sepuluh tahun ini telah membuat persaingan kepentingan kelompok tidak dapat diakomo-
memperebutkan kekuasaan politik menjadi se- dasi, maka pemimpin-pemimpin kelompok
makin keras. Mobilisasi jaringan kekerabatan, tersebut berjuang untuk memperoleh hak dan
etnis dan keagamaan kemudian diciptakan untuk sumberdaya yang adil, dan pada waktu yang
memenangkan persaingan politik tersebut. Di sama etnis dan etnisitas akan muncul sebagai
Kalimantan Barat, setiap pemilihan kepala dae- instrumen untuk mencapai tujuan sosial, ekonomi
rah seperti gubernur dan bupati/walikota selalu dan politiknya. Oleh karena itu, menurut Gurr
mempertimbangkan keterwakilan etnis dan aga- (1993), mobilisasi dan strategi elit etnis selalu
ma, sehingga power sharing antara kumpulan berdasarkan pada interaksi antara kedua faktor,
etnis dominan selalu mewarnai dalam setiap yaitu reaksi emosional dan merupakan hasil dari
proses pemilihan kepimpinan politik. Per- kalkulasi politik strategis. Menurut Gurr lagi, ada
timbangan-pertimbangan unsur suku dan agama empat faktor yang sangat menentukan intensitas
kekecewaan dan potensi untuk kumpulan etnis
1
Hasil Survey LSI termuat dalam Laporan Kajian LSI melakukan tindakan politik, yaitu; pertama,
edisi 09 Januari 2008 dan 10 Februari 2008 me-
seberapa besar peringkat keterbelakangan atau
nunjukkan, bahwa masih kuatnya sentimen etnis
dalam pemilihan pejabat publik di Kalimantan Barat. penderitaan kolektif kelompok komunal tersebut
Sentimen etnik ini diukur dengan mempertanyakan jika dibandingkan dengan kelompok lain, kedua,
kepada responden, apakah menurut mereka agama kuatnya perasaan identitas kelompok, ketiga,
dan etnik kadindat merupakan faktor yang diutama- derajat kohesi dan mobilisasi kelompok, dan ke-
kan ketika dalam memilih? Sebanyak 56,4% menyata-
empat, kontrol represif oleh kelompok dominan.
kan mempertimbangkan faktor agama dan etnik.
Keterwakilan Etnis dalam Kepemimpinan Politik Pasca Orde Baru (Jumadi dan Mohd. Rizal Yaakop) 83

Pandangan Gurr dalam melihat gerakan teoritis pendekatan ini menjelaskan bahwa per-
politik identitas etnis dan etnisitas pada dasarnya saingan kelompok etnis dalam politik, para
bisa dikategorikan sebagai teori kolonialism pemimpin etnis seringkali menggunakan kelom-
internal seperti Hechter (1975) yang juga me- pok budaya sebagai instrumen untuk memo-
mandang gerakan identitas etnis sebagai suatu bilisasi massa dalam persaingan politik.3 Oleh
bentuk solidaritas kaum pinggiran (periphery) karena itu, penelitian politik identitas di Kalbar
yang muncul sebagai reaksi terhadap adanya juga relevan dijelaskan dengan pendekatan in-
diskriminasi dan kesenjangan, serta muncul se- strumentalis tersebut yang lebih menaruh per-
bagai kesadaran politik untuk melawan ke- hatian pada proses manipulasi dan mobilisasi
lompok dominan yang memiliki privilese ekonomi politik. Pandangan instrumentalis tentang kajian
dan politik. Politik identitas etnis dan etnisiti me- etnisitas seperti yang dijelaskan oleh Barth (1969)4,
rupakan realitas kolektif yang dikonstruksi ber- Banton (1983), Smith dan Hutchinson (1996),
lawanan dengan kumpulan lain. Brass (1996), Hartmann dan Cornell (1998),
Pendekatan yang lebih cenderung pada in- dan Smith (2001), menjadikan masalah yang
strumentalis melihat bahwa kebutuhan akan berhungan dengan kepentingan sosial, politik dan
defenisi identitas etnis dalam politik adalah bersifat sumber budaya sebagai suatu hal yang sangat
material atau untuk mendapatkan kekuasaan. penting, karena hal tersebut berhubungan dengan
Yang terpenting dari pemikiran instrumentalism penguasaan dan status sebuah kelompok etnis.
ini adalah untuk mengetahui mengapa orang Untuk mendapatkan sumberdaya tersebut para
memilih ciri-ciri etnis untuk mengorganisir per- pemimpin dan elit etnis berkompetisi dan me-
saingan dan konflik sosial, ekonomi dan politik. manipulasi simbol dengan menggunakan ke-
Apa yang utama dan menjadi obyek analisisnya lompok budaya sebagai tempat memobilisasi
adalah kenyataan konflik, etnisitas dan identitas massa untuk mendapatkan kekuasaan.
etnis hanya sebagai satu variabel perilaku politik
(political behavioral). Pandangan Brass (1979) METODE
tentang peranan elit dalam kelompok memani- Penelitian ini selain kajian literatur juga
pulasi simbol identitas etnis dan Breuilly (1993)2 menekankan pada penilitian lapangan. Berdasar-
teori politiknya tentang terbentuknya nasiona- kan fakta-fakta lapangan yang terkumpul di buat
lisme, merupakan beberapa contoh pemikiran generalisasi empiris tentang fenomena politik
yang bersifat instrumentalism. Oleh karena itu, identitas etnis dan agama yang mengemuka
dalam upaya untuk memahami munculnya politik
identitas etnis yang ada di Kalimantan Barat pas-
3
ca rezim Orba, maka kajian ini mengguna-kan Smith, Anthoni D. 2001. Nationalism, Theory,
Ideologi, History. Published by Arrangement with
perspektif pandangan yang bersifat instrumen- Blacwell Publishing Ltd, Oxford, UK. Pendekatan
talism. instrumentalis muncul sekitar tahun 1970-an di
Pendekatan instrumentalis ikut menyumbang Amerika Serikat, dalam perdebatan mengenai
dominasi etnis (kulit putih) di negara yang seha-
untuk memahami politik identitas, karena secara
rusnya menjadi negara multietnis. Hal ini memicu
perdebatan sengit sepanjang dekade 1960 dan 1970-
2
Jhon Breuilly (1993). Nationalism and the State, an mengenai sejauh mana kelompok kepentingan atau
edisi kedua. Manchester: Manchester University penekan yang berprilaku instrumental dalam politik.
Press. Breuilly tidak setuju dengan pendapat yang 4
Barth, Fredrik (1996: 36) dalam bukunya Ethnic
menyatakan bahwa identitas budaya merupakan Groups and Boundaries, mengemukakan bahwa
karakteristik bagi penentu nasionalism. Menurutnya, bentuk tatanan kelompok etnis sangat bervariasi,
nationalism boleh jadi juga merupakan argumen yang begitu juga hubungan antara etnis. Dalam konteks
digunakan oleh sub-elit untuk memobilisasi rakyat, kontemporer, kegiatan-kegiatan politik dalam
mengkoordinasikan berbagai kepentingan yang kelompok etnis merupakan cara baru untuk me-
berbeda di antara kelompok sosial dan meng- munculkan perbedaan suku dan budaya, serta untuk
absahkan tindakan mereka dalam rangka mendapat- mengartikulasikan kepentingan kelompok etnis yang
kan atau mempertahankan kekuasaan di negara modern. terdikotomi.
84 Jurnal Demokrasi & Otonomi Daerah, Volume 11, Nomor 2, Desember 2013, hlm. 71-143

dalam setiap pemilihan kepala daerah di Kali- tidak lagi bersifat laten, tetapi sudah sangat
mantan Barat. Jenis penelitian dalam kajian ini terbuka. Simbol-simbol dan isu etnis dan agama
termasuk eksploratory, yaitu penelitian yang menjadi sangat penting dalam setiap pilihan
dilaksanakan untuk mendapatkan data dan pemilihan kepala daerah, penentuan jabatan di
informasi tentang sesuatu yang relatif baru yang birokrasi pemerintahan daerah, penentuan
ditujukan untuk kepentingan pendalaman lanjutan pimpinan partai politik dan hal-hal yang terkait
(Babbie dan Benaquisto, 2010). Kemudian dengan kepentingan politik lainnya, karena
kajian ini juga menggunakan analisis yang bersifat dengan cara yang seperti itulah dianggap mampu
bertema (thematic) mengacu kepada masalah menjamin kepentingan dan masyarakat bisa
yang bersifat spesifik yaitu etnisitas, keterwakilan dimobilisasi untuk memberikan dukungan kepada
politik dan keamanan komunitas. Penelitian ini elitnya guna mendapatkan kekuasaan di daerah.
dilakukan di Kalimantan Barat. Data dalam Keberhasilan beberapa tokoh Dayak men-
penelitian ini meliputi data primer dalam bentuk jadi bupati dan wakil bupati di era reformasi serta
wawancara secara mendalam dan terbuka (open terpilihnya Cornelis sebagai Gubernur Kalimantan
ended interview) dengan informan berkompeten Barat tahun 2007, merupakan sukses besar bagi
dengan penelitian ini. Data sekunder dalam pe- tokoh-tokoh Dayak dalam merajut isu-isu etnis
nelitian ini didapat dari artikel, buku, surat kabar dan agama, ketidakadilan dan marginalisasi se-
serta dokumen. Kaedah penentuan sumber untuk bagai instrumen politik utama membangkitkan
mendapatkan orang yang akan diwawancarai kesadaran sosial dan politik masyarakat Dayak.
tersebut dilakukan secara purposive, yaitu dipilih Jargon politik “bersatu kita menang” yang di-
berdasarkan pada pertimbangan dan tujuan dari jadikan simbol perjuangan politik Cornelis dalam
penelitian ini. Untuk mendapatkan validitas data, pemilihan kepala daerah tahun 2007 memang
dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik menjadi magnet politik yang kuat membangun
triangulasi. kesadaran etnis dalam politik di daerah.
Dalam banyak kasus, kajian-kajian ilmu
HASIL DAN PEMBAHASAN politik yang coba melihat negara-negara yang
Faktor-Faktor Munculnya Politik Identitas Etnis berada dalam tahap menuju demokrasi yang
Pelaksanaan otonomi daerah yang mem- terkonsolidasi (consolidated democracy),
berikan ruang untuk melakukan pembentukan proses restorasi identitas etnis dan agama biasa-
daerah-daerah kabupaten baru, telah mempe- nya bercampur baur dengan masalah-masalah
ngaruhi semakin munculnya politik identitas di yang khusus terjadi di era transisi menuju rezim
Kalbar. Berbagai gerakan yang menginginkan yang demokratis. Menurut Snyder (2000),
pembentukan daerah otonom baru tersebut tidak hampir seluruh konflik etnis yang terjadi selama
hanya sekedar dengan alasan untuk kepentingan tahun 1990-an terjadi di negara-negara demo-
pelayanan publik saja, akan tetapi seringkali krasi baru. Kecenderungan yang terjadi dengan
berhubungan dengan kepentingan elit-elit yang terbukanya jalan demokratisasi secara otomatis
mengatasnamakan identitas kumpulan etnis juga seringkali memberi ruang bagi munculnya
mayoritas yang ada di daerah tersebut. Di era masalah-masalah dasar mengenai identitas.
reformasi saat ini, semua faktor politik seringkali Dalam perspektif liberal, identitas dalam konteks
dihubungkan dengan etnis oleh dua kelompok hubungan antara individu dengan masyarakat
utama, yaitu Melayu dan Dayak. Politik identitas bukanlah suatu hal yang rumit, karena setiap
berdasarkan pada etnis dan agama menjadi individu mempunyai ciri atau sifat yang sama
sebagai faktor determinan bagi elit lokal untuk sehingga menjadikan mereka mempunyai simbol
mendapatkan kekuasaan. Persaingan-persaingan atau identitas sebagai anggota kepada suatu
yang didasarkan pada etnis dan agama dalam kelompok tertentu dalam masyarakat (Rouse
politik lokal antara elit politik yang berada tingkat 1995). Namun dalam perkembangannya, kajian
provinsi, kabupaten dan kota di Kalbar saat ini budaya memberikan pandangan yang berbeda.
Keterwakilan Etnis dalam Kepemimpinan Politik Pasca Orde Baru (Jumadi dan Mohd. Rizal Yaakop) 85

Identitas dilihat sebagai suatu proses pembentu- berasal dari Jawa. Orde Baru pada dasarnya
kan atau konstruksi sosial yang tidak stabil, yang adalah masa gelap dan kontemplasi serta kon-
berlaku dalam suatu jaringan hubungan ke- solidasi bagi Dayak (Amirrachman, 2007). Ke-
kuasaan (Nonini dan Ong, 1997). Oleh karena adaan inipun sebenarnya juga sama dirasakan
itu, identitas tidak harus dilihat sebagai inti yang oleh orang-orang Melayu, walaupun sesungguh-
tidak berubah karena identitas berhubungan nya orang-orang Melayu secara politik sedikit
dengan banyak faktor. lebih “diuntungkan” karena masih ada yang di-
Transisi demokrasi di Indonesia yang diiringi berikan kepercayaan untuk menjadi pemimpin
dengan pemberian desentralisasi dan otonomi dan memegang posisi strategis di birokrasi, baik
yang luas kepada daerah dalam praktiknya juga tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/
menimbulkan masalah politik baru. Dalam masa kota. Oleh karena itu, ekspresi perjuangan po-
yang bersamaan ketika space demokratisasi litik (struggle politics) kelompok etnis Dayak
tersebut dibuka, nilai-nilai sosial dan budaya yang untuk mendapatkan kekuasaan agak lebih ag-
mengedepankan semangat toleransi dan keber- ressive dan assertive jika dibandingkan dengan
samaan yang dipelihara secara artificial oleh masyarakat etnis Melayu.5
rezim Orba seakan tergradasi oleh euforia Berbagai bentuk perjuangan yang aggres-
otonomi dan kebebasan. Konflik sosial yang sive, assertive, pressure dan “ancaman keke-
didasarkan pada perbedaan suku dan agama di rasan” tersebut, dalam banyak kasus memang
tengah masyarakat seakan linier dengan proses membawa kejayaan bagi elit Dayak untuk mem-
demokrasi yang dibangun di era reformasi. perjuangkan kepentingan politiknya. Cornelis
Kebebasan dan keterbukaan yang menjadi pilar Kimha telah berjaya terpilih menjadi Bupati
dalam proses demokratisasi seakan menjadi Kabupaten Pontianak, pada tahun yang sama,
sumber munculnya sentimen kedaerahan dan Yacobus Luna salah seorang birokrat senior dari
kesukuan. Politik identitas yang didasarkan pada etnis Dayak juga berjaya terpilih dalam pemilihan
etnis dan agama dalam setiap proses rekruitmen bupati di Kabupaten Bengkayang, sebuah ka-
kepemimpinan di daerah menjadi bagian yang bupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten
tak terpisahkan dalam dinamika politik lokal, Sambas. Begitu juga di Kabupaten Landak yang
seperti di Kalimantan Barat khususnya. mayoritas penduduknya etnis Dayak, pasangan
Fenomena politik identitas dan tuntutan akan
5
perimbangan keterwakilan politik berdasarkan Salah satu bentuk ekspresi politik kelompok mas-
yarakat Dayak yang bersifat agressive dan assertive
kelompok etnis di Kalbar sesungguhnya mempu- di masa-masa akhir pemerintahan rezim Orba tersebut
nyai sejarah yang panjang, dan hal itu lebih dapat dilihat dalam peristiwa pembakaran bangunan
banyak dipraktikan oleh komunitas Dayak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di Mem-
ketimbang komunitas Melayu yang mempunyai pawah dan proses pemilihan Bupati Sanggau tahun
posisi politik lebih kuat. Fenomena politik iden- 1998. Melalui Majelis Adat Dayak (MAD), elit-elit
kelompok Dayak melakukan gerakan penolakan atas
titas tersebut semakin nampak di era otonomi Kolonel Sumitro (seorang militer yang berasal dari
daerah saat ini. Kalangan elit Dayak menganggap etnik Jawa) yang dicalonkan sebagai bupati yang
inilah waktunya bagi komunitas Dayak untuk pada waktu itu didukung oleh militer dan Gubernur
mempunyai kekuasaan politik dengan memimpin Kalbar. Kelompok etnis Dayak menginginkan agar
berbagai posisi penting di daerah. Mereka ber- Kolonel Mickael Andjioe (seorang militer dari etnis
Dayak) untuk dicalonkan dan dipilih menjadi Bupati
anggapan bahwa pada era rezim Orba tidak Sanggau. Kelompok etnis Melayu pada masa itu juga
memberikan ruang dan kesempatan kepada mencalonkan Setima H. Sudin (seorang birokrat).
masyarakat lokal khususnya kepada orang-orang Namun perjuangan politik kelompok etnik Melayu
Dayak untuk menduduki posisi-posisi strategis tidak se-agressive dan assertive elit Dayak. Dalam
tersebut. Pemerintah pusat membatasi aktivitas pemilihan kepala daerah yang dilakukan anggota
DPRD Kabupaten Sanggau pada November 1998
tokoh Dayak dalam politik dan pemerintahan, tersebut, akhirnya calon dari etnis Dayak Mickael
dan menggantikannya dengan figur militer yang Andjioe terpilih.
86 Jurnal Demokrasi & Otonomi Daerah, Volume 11, Nomor 2, Desember 2013, hlm. 71-143

Cornelis Nikodimus Nehen yang sama berasal keterwakilan kepimpinan politik yang tidak
dari etnis Dayak berjaya terpilih menjadi bupati seimbang. Tidak proporsionalnya keterwakilan
dan wakil bupati. Puncak berjayanya perju- etnis dan agama pada jabatan penting di daerah
angan politik etnis Dayak ialah dengan terpilihnya selama ini, seperti gubernur, bupati, dan di
Cornelis sebagai Gubernur Kalbar tahun 2008. birokrasi menjadikan kelompok elit etnis Dayak
Berbagai gerakan politik elit-elit Dayak yang dan Melayu bersaing untuk menuntut hak yang
bersifat agressive dan assertive tersebut ternyata sama dan ingin mempertahankan posisi politik
juga mendapat reaksi dari elit-elit Melayu yang yang telah mereka peroleh.
merasa eksistensinya sebagai bagian dari pen- Faktor yang ketiga adalah adanya perse-
duduk asli terancam. Oleh karena itu, orang- kongkolan politik elit lokal dan pusat untuk
orang Melayu merasa perlu untuk menandingi membangkitkan isu etnik dan agama. Munculnya
gerakan politik Dayak tersebut (Davidson, politik identitas etnis dan agama dalam kasus
2003). Sikap low profile dan tidak terkesan pemilihan gubernur tahun 2007 misalnya, sangat
frontal yang ditunjukkan oleh elit-elit Melayu berhubungan dengan kemampuan elit politik lokal
yang berhimpun dalam Majlis Adat Budaya dan elit pusat dalam mempergunakan simbol etnis
Melayu (MABM), serta lemahnya solidaritas dan agama untuk meraih dukungan politik.
keetnisan di kalangan elit Melayu dan antar elit Kerjasama elit lokal dan pusat tersebut lebih
dengan masyarakat Melayu, menjadi salah satu banyak memainkan simbol-simbol agama dengan
sumber kemerosotan dan kegagalan elit-elit memperkuat perbedaan antara pemimpin non-
Melayu bersaing dengan elit-elit Dayak dalam muslim dan Islam. Peranan organisasi adat,
memperebutkan kepimpinan di peringkat pro- keagamaan dan NGO sangat menentukan, ter-
vinsi dan kabupaten/kota. Berbeda dengan elit utama atas keberhasilan pasangan daripada etnis
Melayu, elit Dayak mampu menjadikan Majelis Dayak. Selain peran lembaga adat, kekuatan
Adat Dayak (MAD) sebagai wadah untuk mem- Cornelis sebagai simbol kekuatan masyarakat
bangun identitas dan solidaritas etnisnya secara Dayak, dalam pemilukada gubernur juga di-
massif sampai ke akar rumput. Keberanian elit- dukung oleh beberapa aktivis Dayak yang
elit Dayak untuk mengambil akibat dari tinda- berhimpun di beberapa organisasi sosial dan
kannya yang bersifat agressive dan assertive keagamaan, NGO seperti Institut Dayakologi,
tersebut, menjadi sumber kebangkitan dukungan Pergerakan Cendekiawan Dayak, Ikatan Sar-
masyarakat etnis Dayak untuk bertindak lebih jana Katolik, Persatuan Intelegensia Kristien
keras lagi. Indonesia (PIKI), Credit Union, Kepastoran,
Berdasarkan dari hasil penelitian ini, ada Majelis Adat Budaya Tionghoa (MABT) dan
empat faktor yang mempengaruhi munculnya beberapa lembaga sosial dan pembangunan
politik identitas etnik dan agama di Kalbar. masyarakat lainnya. Keadaan ini jauh berbeda
Pertama adalah faktor struktural dan momentum, dengan apa yang terjadi dalam komunitas etnis
yaitu sebagai reaksi terhadap kebijakan peme- Melayu, di mana selain tidak adanya kekuatan
rintah pada era Orba yang cenderung tidak adil NGO dan juga terfragmentasinya kekuatan
dan memarginalkan masyarakat asli serta mun- politik elit-elit Melayu. Penyatuan kekuatan umat
culnya reaksi terhadap kebijakan pembangunan Katholik dan Protestan dalam memberikan
yang tidak seimbang. Momentum kebebasan dukungan kepada pasangan Cornelis-Christi-
politik dan otonomi daerah, menjadikan kelom- yandi Sanjaya, merupakan faktor utama menjadi
pok masyarakat lokal semakin berani untuk simbol perjuangan etnis Dayak dan etnis China
menuntut hak-hak sosial, politik, ekonomi dan di Kalbar.
budaya. Realitasnya, reaksi yang agresif dalam Faktor keempat adalah, munculnya pra-
menuntut hak-hak tersebut lebih banyak dilaku- sangka dan stereotaip etnik. Sebagian besar
kan oleh kelompok etnis Dayak jika diban- orang-orang Dayak berpandangan bahwa jika
dingkan etnis Melayu. Faktor kedua adalah, orang Melayu yang berkuasa dan menjadi
Keterwakilan Etnis dalam Kepemimpinan Politik Pasca Orde Baru (Jumadi dan Mohd. Rizal Yaakop) 87

pemimpin, maka ia lebih mementingkan kelompok persaingan politik berdasarkan etnis dan agama
etnisnya dan orang yang seagama saja. Seba- tersebut telah mengancam keamanan masya-
liknya, bagi orang Melayu juga berpandangan, rakat. Prinsip democratic stability sebagai
jika orang Dayak yang berkuasa dan menjadi sebuah prinsip untuk mencapai suatu keamanan
pemimpin, maka akan terjadi kristienisasi dan kedamaian belum sepenuhnya berlaku.
jabatan-jabatan penting di birokrasi pemerintahan. Dampak dari dinamika politik yang semakin
kompetitif tersebut, dalam prakteknya mewujud-
Keterwakilan Etnis Dayak dan Melayu kan adanya politik power sharing sebagai sebuah
dalam Kepemimpinan Politik konfigurasi politik akomodatif yang merepresen-
Sebagai konsekuensi dari kuatnya persa- tasikan keterwakilan kumpulan etnis dominan
ingan politik antara etnik Dayak dan Melayu dan memfasilitasi terjadinya komunikasi sosial di
tersebut, keamanan komunitas (communiti antara berbagai etnis yang ada di wilayah ke-
security) saat ini selalu dihubungkan dengan kuasaannya. Di Kalimantan Barat, pembagian
besar kecilnya keterwakilan politik etnis dalam kekuasaan kepemimpian di daerah secara pro-
kepimpinan politik dan birokrasi di pemerintahan porsional antara etnis Dayak dan Melayu di
daerah. Dinamika sosial dan politik Pemilukada beberapa kabupaten, seperti Kabupaten Kapuas
Gubernur dan Bupati/Walikota di beberapa Hulu, Ketapang, dan Melawi dapat memunculkan
kabupaten dan kota yang ada di Kalimantan keyakinan masyarakat akan terjaminnya ke-
Barat yang berdasarkan etnis dan agama tersebut amanan komunitas. Keadaan ini berbeda yang
bisa menjadi instrumen politik penting dalam terjadi di Kabupaten Landak, Bengkayang, Sin-
persaingan politik dan keamanan. Persaingan tang dan Sekadau, dimana komunitas Melayu
politik tersebut memang berbeda pengaruhnya tidak mendapat tempat yang signifikan dalam
terhadap aspek keamanan masyarakat. Perbe- kekuasaan menjadikan keamanan komunitasnya
daan itu dipengaruhi oleh beberapa faktor: merasa terancam. Adanya tindakan politik yang
Pertama, seberapa besar perbandingan kom- masih mengakomodasi kelompok etnis dilakukan
posisi penduduk etnik Dayak dan Melayu yang guna meredam berbagai gejolak sosial dan politik
tinggal dalam suatu wilayah kabupaten dan yang dapat mengarah kepada konflik sosial.
kecamatan tersebut. Semakin kecil jumlah ko- Pembagian kekuasaan dalam jabatan politik dan
munitasnya, maka semakin besar potensi an- institusi-institusi lainnya di pemerintahan dalam
caman keamanan yang mereka alami, dan masyarakat yang heterogen, memang merupakan
sebaliknya semakin besar komposisi etniknya, salah satu cara dari pengelolaan konflik dan men-
maka semakin terjamin keamanan komunitasnya. jaga keamanan masyarakat di daerah.
Kedua, faktor karakteristik masyarakatnya. Dalam setiap event politik pemilihan kepala
Masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan daerah, baik Pilkada Gubernur dan Bupati, per-
pedalaman memiliki karakter yang berbeda, dan timbangan untuk mengakomodir dua kelompok
begitu juga halnya dengan masyarakat yang etnis mayoritas menjadi pertimbangan. Sejak
wilayahnya seringkali dilanda konflik sosial dan tahun 1999, pemilihan kepala daerah di Kalbar,
yang tidak pernah dilanda konflik sosial juga pasangan calon yang diusung oleh partai politik
memiliki karakter sosial yang berbeda. dengan untuk dipilih oleh DPRD selalu menggabungkan
Dalam konteks persaingan politik tersebut, ke- pasangan etnis Dayak dan Melayu sebagai bentuk
amanan komunitas kelompok etnis juga dimaknai representasi etnis mayoritas di Kalbar. Pemilihan
jika kepimpinan daerah seperti gubernur, bupati Gubernur Kalbar tahun 2003 yang memunculkan
dan walikota dapat dikuasai, maka akan ber- pasangan Usman Djafar dan Lorensius Herman
pengaruh terhadap wujudnya dominasi sosial, Kader sebagai pemenangnya merupakan repre-
budaya dan politik. Adanya dominasi tersebut sentasi dari duet kepemimpinan tokoh etnis
akan berhubungan langsung dengan terkontrol- Melayu dan Dayak. Perubahan sistem pemilihan
nya keamanan kelompok etnisnya. Kuatnya kepala daerah menjadi sistem pemilihan langsung
88 Jurnal Demokrasi & Otonomi Daerah, Volume 11, Nomor 2, Desember 2013, hlm. 71-143

oleh rakyat tahun 2004, menjadikan politik China dalam memberikan dukungan kepada
representasi yang mencerminkan keterwakilan pasangan Cornelis-Christiyandi Sanjaya, bukan
Melayu dan Dayak dalam kepemimpinan di daerah disebabkan oleh kekuatan figur kedua pasangan
selalu mewarnai dalam setiap event politik Pil- tersebut. Namun yang menjadi faktor utama ada-
kada. lah kedua pasangan ini menjadi simbol perjua-
Selama tahun 2005, dari dua belas kabupa- ngan dan momentum mempersatukan kekuatan
ten dan kota yang ada di Kalbar, kabupaten kelompok umat Katolik dan Protestan, khusus-
yang memiliki komposisi penduduknya berim- nya etnik Dayak dan etnik China dalam melawan
bang dari jumlah etnisnya, dalam mengusung kekuatan etnis Melayu.
calon kepala daerah partai politik pasti meng- Keterwakilan etnis Melayu dan Dayak dalam
gabungkan tokoh etnis Melayu dan Dayak. Dari kepimpinan di partai politik saat inipun juga terjadi
hasil Pilkada tahun 2005 tersebut, yang menarik pergeseran. Di tingkat provinsi, selama masa era
adalah Pilkada yang terjadi di Kabupaten Sin- Orde Baru, hampir tidak ada orang yang berasal
tang, dimana munculnya representasi etnis Jawa daripada etnik Dayak yang bisa menjadi pe-
dan China dalam kepemimpinan daerah. Di mimpin partai politik yang berkuasa saat itu yaitu
Kabupaten Sintang, selain etnis Dayak dan Parti Golkar. Beberapa tokoh Dayak hanya
Melayu, etnis Jawa yang merupakan mayoritas ditempatkan pada kedudukan tidak strategis.
para transmigrasi merupakan etnis terbesar Memasuki era reformasipun sebagian besar yang
ketiga di daerah ini, oleh karena itu atas pertim- memimpin partai-partai politik di tingkat Provinsi
bangan agar adanya keterwakilan orang yang adalah orang-orang yang berasal dari etnis Melayu.
beragama Islam dalam kepemimpinan di Sintang, Tidak ramai elit-elit Dayak memimpin partai-
maka orang-orang Melayu memberikan dukungan partai besar seperti Golkar dan Demokrat. Tum-
kepada pasangan Milton Crosby dan Jarot puan kekuatan politik Dayak adalah kepada
Winarno. PDIP yang dipimpin oleh Cornelis dan beberapa
Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur parti kecil lainnya yang berideologikan nasionalis
Kalbar tahun 2007 tidak hanya mencerminkan dan Kristen, seperti Partai Damai Sejahtera (PDS).
politik representasi dalam pencalonan, akan Namun demikian, untuk di tingkat kabupaten,
tetapi merupakan persaingan politik yang secara partai-partai politik yang nasionalis sebagian besar
vulgar dan frontal antara etnis Dayak dan Melayu dipimpin oleh orang-orang Dayak. Saat ini bisa
serta diikuti oleh etnis China sebagai etnis ma- dikatakan sebagai era kejayaan orang-orang
yoritas ketiga. Dalam persaingan politik tersebut, Dayak menguasai infrastruktur dan supra-
ada tiga pasangan calon yang menggabungkan struktur politik di tingkat kabupaten. Terpilihnya
tokoh etnis Melayu dan Dayak sebagai calon Cornelis sebagai gubernur semakin mengukuh-
gubernur dan wakil gubernur dan satu pasangan kan keterwakilan dan kekuatan politik Dayak.
calon yang mengusung gabungan etnis Dayak dan Keberhasilan elit-elit Dayak menjadi guber-
China. Dari hasil Pilkada Gubernur dan Wakil nur dan bupati di beberapa kabupaten juga
Gubernur tahun 2007 tersebut, yang menarik ada- berpengaruh kepada semakin banyaknya orang-
lah munculnya pasangan calon mereprsentasikan orang Dayak menempati kedudukan penting di
etnis Dayak dan China dalam kepemimpinan birokrasi pemerintahan, seperti kepala dinas,
daerah. Banyaknya pasangan dari etnis Melayu badan dan kantor. Dominasi etnik Jawa dan
yang maju dalam Pilkada tersebut menyebabkan Melayu selama era Orba dalam kepemimpinan
dukungan suara etnis Melayu terpecah kepada birokrasi pemerintahan daerah tidak lagi terjadi.
tiga pasangan calon, yaitu Usman Jafar, Oesman Keberanian Cornelis sebagai Gubernur Kalbar
Sapta, dan Akil Mochtar. Sementara dukungan menempatkan beberapa birokrat Dayak yang
etnis Dayak dan China mengkerucut kepada pa- berasal dari kabupaten untuk menggantikan
sangan Conelis dan Cristiyandi Sanjaya. Pe- kedudukan yang dahulunya dikuasai oleh orang-
nyatuan kekuatan kelompok etnis Dayak dan orang Melayu merupakan dampak dari me-
Keterwakilan Etnis dalam Kepemimpinan Politik Pasca Orde Baru (Jumadi dan Mohd. Rizal Yaakop) 89

nguatnya politik identitas etnis. Oleh karena itu, konsensus dan kedua semua kumpulan etnis
terpilihnya Cornelis sebagai gubernur masa bhakti mayoritas dilibatkan dalam pemerintahan,
2007-2013 telah merubah keadaan keterwakilan terutama kumpulan minoritas dijamin penga-
etnik di birokrasi pemerintahan daerah. Data ta- ruhnya dalam pembuatan kebijakan mengenai
hun 2010 dan 2011 misalnya menunjukkan, isu-isu senstif. Kemudian menurut Timothy lagi,
bahwa sebanyak 44 orang yang dipercayai ada dua pendekatan utama dalam mekanisme
sebagai pemimpin setingkat eselon II di birokrasi pembagian kekuasaan dalam masyarakat multi-
pemerintahan, etnik Dayak berjumlah 23 orang, entik. Pertama, pendekatan fondasi kumpulan,
Melayu 8 orang, Jawa 6 orang, Batak 3 orang, yaitu adanya akomodasi oleh para pemimpin
dan China 1 orang. Banyaknya jumlah orang- etnis di pusat politik dan adanya jaminan otonomi
orang yang berasal dari etnis Dayak menjadi kumpulan dan hak-hak minoritas. Kedua, pen-
pemimpin di birokrasi tersebut menunjukkan dekatan integratif, yaitu pendekatan yang me-
bahwa selama masa kepimpinan Cornelis keter- nolak menggunakan kumpulan etnis sebagai
wakilan orang-orang Dayak jauh lebih besar bahan penyusunan masyarakat bersama.
(52,27%) jika dibandingkan dengan orang-orang Mengacu pada pandangan Timothy dalam
Melayu yang hanya 18%. Harris dan Reilly (2000) tentang demokrasi
Sebagian besar ilmuwan politik berpen- dengan pembagian kekuasaan, maka dalam
dapat, bahwa cara satu-satunya untuk mem- prakteknya, pembagian kekuasaan yang terjadi
pertahankan sebuah masyarakat yang multi-etnis di Kalbar lebih pada pendekatan fondasi ke-
dari keterpecahan diperlukan institusi politik lompok etnis dan tidak dengan fondasi yang
formal yang boleh menjamin kesepakatan dalam integratif. Pendekatan tersebut lebih mampu
proses rekruitmen dan pembagian kekuasaan menimbulkan implikasi politik yang kondusif bagi
secara demokratis, serta dapat mengakomodir membangun integrasi sosial di beberapa kabupaten.
pluralitas dalam masyarakat. Pola pembagian Mengakomodasi keterwakilan kumpulan etnis
kekuasaan di Kalbar memang tidak menerapkan dalam kepemimpinan di daerah menjadi faktor
demokrasi consosiasionalisme seperti konsep- utama dalam menjaga keamanan dan stabilitas
nya Lijphart (1977), karena secara politis yang sosial dan politik masyarakat di Kalbar. Oleh
diakomodasikan bukan kekuatan-kekuatan karena itu, membangun konfigurasi keterwakilan
institusi politik formal seperti partai politik, akan etnis Melayu dan Dayak dalam kepemimpinan
tetapi pada penentuan kepemimpinan daerah dan di daerah di beberapa kabupaten masih selalu
jabatan-jabatan di birokrasi pemerintahan di menjadi pertimbangan utama dalam setiap pe-
peringkat lokal. Politik akomodasi dengan pem- milihan kepala daerah. Pembagian kekuasaan
bagian kekuasaan yang didasarkan pada rep- dalam kepemimpinan di daerah dengan sistem
resentasi kumpulan etnis inilah yang masa ini ada power sharing antara etnis dominan dapat lebih
di beberapa kabupaten dan menjadi kesepa- “memuaskan” dan “meredamkan” ketegangan
katan politik guna membangun integrasi sosial antara kelompok etnis.
masyarakatnya.
Dalam hubungannya dengan keterwakilan SIMPULAN
politik tersebut, Timothy dalam Harris dan Reilly Sejak runtuhnya rezim Orba pada tahun
(2000) juga berpendapat bahwa cara satu- 1998, Indonesia berjuang menerapkan sistem
satunya untuk mempertahankan persatuan multi- demokrasi dan autonomi yang luas kepada
etnis, mencegah keterpecahan adalah dengan daerah. Namun pada saat yang sama, demo-
menciptakan sebuah sistem pemerintahan yang kratisasi tersebut juga memunculkan masalah-
memungkinkan komunitas yang ada untuk ber- masalah sosial dan politik di daerah, di mana
bagi kekuasaan. Sistem politik dengan pemba- persaingan politik di daerah cenderung terfrag-
gian kekuasaan tersebut dilakukan dengan dua mentasi pada sentimen identitas etnis dan agama.
cara, yaitu pembuatan kebijakan idealnya melalui Etnis dan agama dijadikan instrumen oleh elit
90 Jurnal Demokrasi & Otonomi Daerah, Volume 11, Nomor 2, Desember 2013, hlm. 71-143

untuk memobilisasi kekuatan politik kelompok kabupaten yang penduduknya berimbang jumlah
etnisnya. Dinamika politik lokal dalam proses etnisnya lebih mampu menimbulkan dampak
Pilkada Gubernur dan Bupati di beberapa kabu- politik yang kondusif bagi membangun integrasi
paten/kota di Kalbar di era reformasi saat ini sosial dan politik. Mengakomodasi keterwakilan
penuh dengan persaingan identitas etnis dan agama. kumpulan etnis dalam kepemimpinan di daerah
Dampak dari dinamika politik yang semakin sesungguhnya menjadi faktor utama untuk men-
kompetitif tersebut, tidak hanya memunculkan jaga stabilitas sosial dan politik di Kalbar.
politik berbagi kuasa atau power sharing antara
kumpulan etnik dominan sebagai bentuk merep- DAFTAR RUJUKAN
resentasikan komposisi etnis, tetapi juga men-
Amirrachman, Alpha (Editor). 2007. Revitalisasi
jadikan politik identitas sebagai faktor determinan
Kearifan Lokal. Studi Resolusi Konflik di
dalam relasi etnis dan berimplikasi terhadap
Kalimantan Barat, Maluku dan Poso.
bentuk dan perimbangan keterwakilan politik.
International Center for Islama and Pluralist
Konfigurasi kekuatan masyarakat yang (ICIP). Jakarta
heterogen, khususnya antara etnik Dayak dan Brass, Paul (1979). Elite Groups, Symbol
Melayu yang cenderung seimbang, menjadikan Manipulation and Ethnic Identity Among the
persaingan politik untuk mendapatkan kekuasaan Muslim of Nort India, dalam David Taylor
tersebut menjadi lebih tinggi. Dalam persaingan dan Malcolm Yapp (eds). Political Identity
politik tersebut, entis Dayak lebih berhasil jika in South Asia. London and Dublin: Curzon
dibandingkan dengan etnis Melayu. Walaupun Press
elit Melayu masih mendominasi kepimpinan di
Hall, Stuart, 1997. “Who needs identity”, in Hall,
beberapa partai politik dan menjadi anggota S and Du Gay, P (eds), Questions of
parlemen di tingkat provinsi, namun dari aspek Cultural Identity. London: Sage
keterwakilan dalam kepimpinan di daerah seperti
Harris, Peter dan Reilly, Ben. 1998. dalam
gubernur, bupati, dan wakil bupati, dan pimpinan
Democracy and Deep-Rooted Conflict:
birokrasi pemerintahan daerah etnik Dayak lebih
Options for Negotiators, Iternational IDEA
berhasil. Keberhasilan etnis Dayak dalam meraih
kedudukan dan kepimpinan daerah tersebut Pitkin, F. Hanna. 1967. The Concep of
menjadikan kekuasaan Melayu dalam bidang Representation. Berkeley and Los Angeles:
University of Calofornia Press
politik dan pemerintahan menjadi lemah.
Posner, Daniel N. 2005. Institution and Ethnic
Semakin kuatnya sentimen etnis dan agama
Politics in Africa, New York, Cambridge
dalam persaingan politik dan tidak adanya tokoh
University Press
daerah yang mampu menjadi mediator sosial dan
politik menjadikan persaingan politik berdasar- Pfaff, Joanna dan Rajasingham, Darini Czarnecka,
eds. Ethnic Futures The State and Identity
kan etnik menjadi liar dan sulit untuk dikendali-
Politics in Asia. Sage Publication New
kan. Keberadaan organisasi adat seperti Dewan
Delhi Thousand Oaks London
Adat Dayak dan Majelis Adat Budaya Melayu
serta organisasi paguyuban etnis pendatang Shamsul A.B. 1996. Debating About Identity
lainnya belum mampu menjadi kekuatan sosial in Malaysia: A Discourse Analysis.
yang mampu meredam persaingan politik yang Southeast Studies 34 (3)
berdasarkan etnis dan agama tersebut. Mengacu Snyder, Jack. 2000. From Voting to Violence:
pada pandangan Timothy tentang demokrasi Democratization and Nationalist Conflict,
dengan pembagian kekuasaan, maka dalam New York: Norton
implementasinya, pembagian kekuasaan yang Smith, Anthoni D. 2001. Nationalism, Theory,
terjadi lebih pada pendekatan kelompok. Pen- Ideologi, History. Published by Arrangement
dekatan tersebut dalam praktiknya di beberapa with Blacwell Publishing Ltd, Oxford, UK

Anda mungkin juga menyukai