Anda di halaman 1dari 4

Nama : Rizal Dwi Setiawan

Kelas : H
NPM : 19300116

Contoh Kasus :
Pada bulan April ini kita dikejutkan dengan dua dua kasus kecelakaan mobil “rem blong” yang
terjadi di Puncak Bogor yang menimbulkan korban belasan orang tewas. Kasus pertama terjadi
pada tanggal 22 April 2017 yaitu sebuah bus pariwisata di Jalan Raya Puncak Mega Mendung,
sebanyak 13 kendaraan menjadi korban dan enam orang dinyatakan tewas. Kasus kedua terjadi
pada tanggal 30 April 2017 di Jalur Puncak, Desa Ciloto Bogor. Ada 12 kendaraan yang menjadi
korban 11 orang meninggal dunia dan belasan lainnya luka-luka. Ada beberapa pendapat
bermunculan terkait kasus kecelakaan ini. Kepolisian berpendapat bahwa bus pariwisata yang
menabrak disebabkan tidak berfungsinya rem atau terminologi yang biasanya digunakan
masyarakat adalah “rem blong”.

Vicarious Liability

Vicarious liability merupakan satu doktrin untuk menyeimbangkan sekaligus untuk melengkapi
asas tiada pidana tanpa kesalahann (geen straft zonder schuld). Doktrin vicarious liability
banyak dikembangkan dalam kasus-kasus yang dilakukan oleh korporasi, namun doktrin ini juga
dapat digunakan dalam konteks pertanggungjawaban pidana individu. Doktrin maka vicarious
liability digunakan dalam kasus yang melibatkan pelaku lain dalam suatu delik (meski pelaku
lain ini tidak mewujudkan delik tersebut). Dengan kata lain ada pelaku jamak yang terlibat dalam
tindak pidana ini.

Vicarious liability menurut Romli Atmasasmita merupakan pertanggungjawaban pidana yang


dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang lain (the legal responsibility of one person for
the wrongful acts of another). Menurut Barda Nawawi Arief, vicarious liability adalah suatu
konsep pertanggungjawaban seseorang atas kesalahan yang dilakukan orang lain, seperti
tindakan yang dilakukan yang masih berada dalam ruang lingkup pekerjaannya (the legal
responsibility of one person for wrongful acts of another, as for example, when the acts are done
within scope of employment).
Menurutnya Barda, dalam pelaksanaan vicarious liability memiliki beberapa batasan, dimana
seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain
apabila; (1) tidak masuk lingkup pekerjaan atau kewenangannya; (2) yang dilakukan employee
merupakan perbuatan bantuan/ pembantuan (aiding and abetting ); dan (3) yang dilakukan
employee adalah percobaan tindak pidana (attempt to commit an offence)

Dalam sejarah, ada satu putusan pengadilan yang terkenal yang terjadi di Belanda yang dinilai
sebagai peletak awal doktrin vicarious liability, yaitu “arrest susu”. Arresst ini terjadi di
Amsterdam, dimana seorang pengusaha susu menjual susu dengan menyebutkan label “susu
murni” pada kemasannya. Padahal, susu yang dijual tidak murni karena sudah dicampur dengan
air, yang mana perbuatan mencampur air ini dilakukan oleh pegawai dari penjual susu.
Kemudian, kasus susu ini dibawa ke pengadilan. Pada putusan tingkat pertama, hakim
menghukum si majikan, namun majikan melakukan kasasi karena yang melakukan pencampuran
air dengan susu adalah pegawainya sehingga si majikan merasa dirinya tidak mengetahui.
Namun, pada putusan kasasi hakim tetap menghukum si majikan dengan pertimbangan bahwa
kesalahan atas mencampur susu dengan air dapat dibebankan pada majikan. Meski sang majikan
tidak memiliki kesalahan namun kesalahan tersebut tetap dapat dibebankan kepada majikan
karena para pegawai bekerja untuk majikan dan memiliki hubungan kerja dengan majikan.

Doktrin vicarious liability mendapat banyak kritikan karena memperluas tanggung jawab pidana
kepada orang yang tidak bersalah. Doktrin ini juga dinilai menyebabkan terjadi disparitas antara
yang melakukan tindak pidana dengan pertanggungjawaban pidana. Meski doktrin vicarious
liability mendapat kritikan yang tajam, namun pendukung doktrin ini berpendapat bahwa
kontributor suatu delik tidak bisa berlindung dibalik doktrin “tiada pidana tanpa kesalahan”.
Alasannya, doktrin tiada pidana tanpa kesalahan acapkali menghilangkan atribusi
pertanggungjawaban pidana terhadap kontributor suatu tindak pidana.

Dalam konteks kecelakaan bus yang disebabkan oleh rem blong, maka doktrin vicarious libaility
dapat digunakan kepada pemilik bus pariwisata. Pemiliki bus memang tidak mengoperasionalkan
bus secara langsung, namun pemilik bus memiliki beban kewajiban untuk mengeluarkan
anggaran perbaikan bus miliknya secara berkala. Pemilik bus juga bertanggung jawab atas
kelayakan bus miliknya untuk dioperasikan. Dalam kaitannya pengemudi bus, pemilik bus
tentunya memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa pengemudinya sehat secara
jasmani, karena akan membahayakan penumpang bus dan orang lain jika pengemudi tidak dalam
keadaan sehat mengemudikan bus. Berangkat dari penjelasan di atas, maka hakim dapat
menggunakan doktrin vicarious liablity untuk mempertimbangkan kontribusi yang dilakukan
oleh pemilik bus terhadap munculnya kasus kecelakaan yang disebabkan rem blong.

Contoh Kasus:
kebakaran hutan atau lahan yang terjadi karena kegiatan atau perbuatan masyarakat atau oknum
tertentu yang menggunakan “kelonggaran” yang diberikan Penjelasan Pasal 69 ayat (2) dan Pasal
88 UU No. 32 Tahun 2009 (melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare
per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar
sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya), yang kemudian dipersalahkan dan
dibebankan berdasarkan pertanggungjawaban mutlak (strict liability) terhadap perusahaan-
perusahaan yang areal kegiatannya menjadi rembetan kebakaran hutan dan lahan tersebut.

Strict Liability

Dikaitkan dengan kebakaran hutan dan lahan yang mencemari lingkungan, maka dalam ranah
teori dan juga sebenarnya telah diadopsi dalam berbagai undang-undang, tindak pidana korporasi
dipandang ada jika:
a. Terbukti bahwa kebakaran hutan atau lahan tersebut terjadi karena perbuatan orang-orang
dalam suatu korporasi (pengurus atau pegawai), baik berdasarkan hubungan kerja atau
berdasarkan hukungan lainnya. Dalam hal kebakaran hutan atau lahan tersebut umumnya terjadi
justru karena kegiatan masyarakat atau oknum tertentu yang tidak ada hubungannya dengan
koporasi, maka sebenarnya akibat dari hal itu tidak dapat dipertanggungjawabkan terhdap
korporasi;
b. Terbukti bahwa kebakaraan hutan atau lahan tersebut terjadi karena untuk pencapaian tujuan
korporasi yang ternyata dalam Anggaran Dasar. Dalam hal kebakaran hutan atau lahan yang
terjadi justru karena serangkaian tindakan okupasi lahan oknum atau masyarajat tertentu
terhadap areal kegiatan korporasi, atau justru tidak diketahui sama sekali apa penyebabknya yang
pasti, maka hal inipun tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada korporasi itu;
c. Terbukti bahwa kebakaran hutan atau lahan tersebut menyebabkan korporasi mendapat
keuntungan. Disini motivasi yang melatarbelakangi peristiwa itu menjadi sangat penting. Dalam
hal kebakaran hutan atau lahan tersebut bukan karena kegiatan koporasi yang
menguntungkannya, atau bahkan justru merugikan korporasi secara finansial yang tidak sedikit,
karena kehilangan aset berupa tanaman, biaya penanaman ulang, dan biaya pengendalian
kebakaran hutan dan lahan, serta biaya investasi aset baru, maka hal inipun tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada korporasi itu;.

Anda mungkin juga menyukai