Anda di halaman 1dari 56

PENGHARGAAN DIRI

(SELF ESTEEM)
PADA PENYALAHGUNA NARKOBA
YANG SEDANG DIREHABILITASI

Cetakan Pertama, Maret 2022


2022 © Pustaka Nayottama Publishing

Penerbit : Pustaka Nayottama Publishing

Penulis &
Penyusun : 1. Dr. Made Dewi Sariyani, S.ST., M.Kes
2. Kadek Sri Ariyanti, S.SiT., M.Kes
3. Dr. dr. Dyah Pradnyaparamita Duarsa, M.Si
4. Ni Komang Ekawati, S.Psi. Psi.MPH

Tata letak &


desain sampul : Pustaka Nayottama Publishing

Cetak dan Jilid : Pustaka Nayottama Publishing


Telp : 08123 78899 07
Email : pustakanayottamabali@gmail.com

ISBN : 978-623-99590-0-5
Cet. 1 Denpasar; Pustaka Nayottama Publishing
vi + 46 hlm 14,8 cm x 21 cm

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa


sehingga buku yang berjudul Penghargaan Diri (Self Esteem)
Pada Penyalahguna Narkoba Yang Sedang Direhabilitasi ini
hadir sebagai penunjang pembelajaran kesehatan penyalahguna
narkoba yang sedang direhabilitasi. Buku ini juga akan
memberikan informasi secara lengkap mengenai pentingnya
penghargaan diri pada penyalahguna narkoba yang sedang
direhabilitasi.

Kami sadar bahwa penulisan buku ini bukan merupakan


buah hasil kerja keras kami sendiri. Ada banyak pihak yang sudah
berjasa dalam membantu kami di dalam menyelesaikan buku ini,
seperti pengambilan data, pemilihan contoh dan lain-lain. Maka
dari itu, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu memberikan wawasan dan
bimbingan kepada kami sebelum maupun ketika menulis buku
panduan ini.

iii
Kami juga sadar bahwa buku yang kami buat masih belum
bisa dikatakan sempurna. Maka dari itu, kami meminta dukungan
dan masukan dari para pembaca, agar ke depannya kami bisa
lebih baik lagi dalam menulis sebuah buku.

Tabanan, Februari 2022

Tim Penulis

iv
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..................................................................... iii


Daftar Isi .............................................................................. v

Kejadian dan Permasalahan Penyalahguna Narkoba ........... 1


Jenis Narkoba dan Efek Samping ........................................ 7
Penghargaan Diri (Self Esteem) ........................................... 8
Pembentukan Self Esteem pada Penyalahguna Narkoba
yang sedang Direhabilitasi ................................................... 16
Rehabilitasi Penyalahguna Narkoba ................................... 18
Daftar Pustaka ...................................................................... 37
Tentang Penulis .................................................................... 46

v
vi
KEJADIAN DAN PERMASALAHAN
PENYALAHGUNA NARKOBA

The United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC)


dalam World Drug Report tahun 2015, menunjukan estimasi
pengguna narkoba pada tahun 2013 yaitu 246 juta orang. Jumlah
kasus narkoba terbanyak terjadi pada penduduk berusia 15-64
tahun. Jumlah penyalahguna meningkat pada tahun 2013 sebesar
6 juta orang bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, namun
tren estimasi prevalensi selama 3 tahun terakhir adalah stabil.
UNODC dalam Rencana Strategis Badan Narkotika Nasional
2015-2019, melaporkan jika angka kematian akibat Over Dosis
(OD) di dunia tahun 2011 sebesar 211 ribu orang.

Hasil proyeksi angka prevalensi penyalahgunaan narkoba


di Indonesia pada tahun 2014 adalah sekitar 4 juta atau setara
dengan 2,2% dari populasi penduduk berusia 10-59 tahun yaitu
184.175.000 orang (BNN, 2014). Hasil Survei Nasional
Penyalahgunaan Narkoba Tahun 2011 (dalam Renstra BNN
2015-2019) menunjukan kelompok rentan penyalahgunaan
narkoba adalah pekerja sekitar 70% dan pelajar sekitar 22%.

Penyalahgunaan narkoba memiliki konsekuensi yang harus


ditanggung seperti risiko terkena berbagai jenis penyakit yang

1
membuat mereka harus pergi untuk berobat ke pusat pengobatan
medis, seperti Rumah Sakit (RS) dan puskesmas sehingga
penyalahguna akan merasa terbebani dengan biaya pengobatan
yang mahal. Perbandingan penyalahguna yang mengalami OD
adalah satu berbanding sepuluh. Sekitar 10% dari total responden
yang mengatakan memiliki niat untuk rehabilitasi dalam kurun
waktu dekat yaitu 1-12 bulan ke depan, 10% responden belum
berpikir untuk berhenti dan 45% dari responden tidak memiliki
niat untuk berhenti sepenuhnya (BNN, 2014).

Jumlah penyalahguna narkoba di Indonesia pada tahun


2015 adalah 5 juta orang. Jumlah kematian akibat narkoba
pertahunnya adalah 15.000 jiwa, di mana setiap harinya sekitar
40 orang yang meninggal dunia akibat penyalahgunaan narkoba
(Ali, 2015). Di Indonesia diketahui sekitar 60 jaringan yang sudah
beroperasi dan kerugian negara akibat narkoba mencapai Rp 63,1
triliun (Budi, 2016).

Pusat rehabilitasi telah didirikan oleh BNN sebagai bentuk


respons penanggulangan kasus penyalahgunaan narkoba, di mana
sistem dari tempat pemulihan ini tidak memenjarakan para
penyalahguna narkoba melainkan memberikan terapi baik medis
maupun non medis. Tujuan dari pusat rehabilitasi adalah
memberikan terapi untuk mengubah perilaku khususnya agar

2
penyalahguna segera pulih dan tidak kembali menggunakan
narkoba (relaps) (BNN, 2013). Hasil penelitian kualitatif yang
dilakukan oleh Hanur, dkk (2015), menunjukan bahwa program
rehabilitasi sangat bermanfaat dalam perubahan perilaku
penyalahguna, karena selama proses rehabilitasi, para
penyalahguna di Balai Rehabilitasi Tanah Merah, Samarinda,
diberikan pengetahuan, pembinaan sikap dan tindakan untuk
menambah pengetahuan serta kepribadian dalam sikap maupun
tindakan yang lebih baik agar siap kembali ke lingkungan
masyarakat. Indonesia sudah memiliki 116 pusat rehabilitasi
penyalahguna narkoba, di mana Bali dan Nusa Tenggara telah
memiliki 4 pusat rehabilitasi untuk penyalahguna narkoba yaitu
di RSJ (Rumah Sakit Jiwa) Bangli, Bali (Jiwa Bina Atma), RSJ
Mataram dan RSJ Ambon (BNN, 2015).

Upaya rehabilitasi para penyalahguna narkoba tidak mudah


karena kebanyakan dari mereka memakai kembali narkoba
setelah kembali ke masyarakat . Ketergantungan obat yang terjadi
tidak hanya dikarenakan masalah fisik saja tetapi juga masalah
psikologis (Tambunan, 2001). Hasil penelitian Szalay, dkk
(1999), menunjukan terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi penggunaan narkoba salah satunya adalah faktor
pribadi individu, di mana faktor pribadi yang berkaitan dengan
penyalahgunaan narkoba seperti pribadi impulsif, agresivitas,

3
depresi, mencari sensasi, rendahnya keterampilan yang dikuasai
dan rendahnya self esteem seseorang. Seseorang yang tidak dapat
menghargai dirinya sendiri tentunya akan sulit untuk dapat
menghargai orang-orang di sekitarnya. Jadi, self esteem
merupakan salah satu elemen penting bagi pembentukan konsep
diri seseorang yang berdampak pada sikap dan perilakunya.
Rosenberg (dalam Guindon, 2010), menyimpulkan bahwa self
esteem merupakan suatu sikap yang mengacu pada objek yang
spesifik yaitu diri (self).

Buckner dan Mandel (1990), mengatakan bahwa salah


satu penyebab penyalahguna narkoba menggunakan obat
terlarang adalah rendahnya self esteem yang menyebabkan
mereka depresi. Hasil penelitian Kim (2011), menunjukan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara self esteem dengan
perilaku berisiko terhadap kesehatan, terutama untuk penggunaan
obat-obatan terlarang. Reqyrizendri (2015), menyatakan tentang
peranan self esteem terhadap perilaku berisiko dengan kesehatan
individu sebesar 6,9%. Hal ini menunjukan bahwa, self esteem
merupakan komponen penting yang ada di dalam diri seseorang
untuk menghindari diri dari perilaku berisiko khususnya dalam
penggunaan narkoba meskipun memiliki persentase yang tidak
terlalu besar.

4
Self esteem berkaitan dengan kesehatan masyarakat, di
mana self esteem dapat mempengaruhi perilaku berisiko dan
kesehatan individu maupun kelompok secara fisik dan psikologis
sehingga berdampak pada derajat kesehatan yang buruk
(Reqyrizendri, 2015). Rosenberg (dalam Srisayekti, 2015),
menyatakan jika individu dengan self esteem tinggi akan
memiliki ketahanan diri (reseliensi) yang baik, di mana mereka
memiliki kemampuan untuk bangkit kembali dengan cara
mengatasi tekanan yang dialami, sedangkan individu dengan self
esteem yang rendah diduga memiliki kecenderungan menjadi
rentan terhadap depresi, penyalahgunaan narkoba dan dekat
dengan kekerasan.

Self esteem penting pada penyalahguna narkoba, seperti


penelitian Smestha (2015) yang menyatakan bahwa salah satu
faktor internal yang mempengaruhi resiliensi adalah self esteem.
Reasoner (1994), menyatakan bahwa self esteem merupakan
faktor penting baik sebagai sumber pencegahan kejahatan dan
elemen penting dari proses rehabilitasi serta perubahan perilaku.
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa self esteem merupakan faktor
penting dalam proses rehabilitasi dan perubahan perilaku dari
para penyalahguna, selain merupakan upaya untuk lepas dari
penyalahgunaan narkoba.

5
Proses rehabilitasi para penyalahguna narkoba dengan
memperhatikan aspek internal dan eksternal sudah banyak
dilakukan di luar negeri, seperti hasil penelitian kualitatif Robert
dan Wolfer (2011) di Amerika Serikat yang menunjukan bahwa
penghargaan diri pada penyalahguna narkoba dengan jenis
kelamin perempuan sangat penting untuk diperhatikan selama
proses rehabilitasi. Penghargaan diri yang dibentuk dari diri
sendiri dan lingkungan sekitar, seperti sikap petugas kesehatan
menjadi faktor pendukung suksesnya program yang diberikan
selama rehabilitasi. Berbeda dengan negara lain, pusat rehabilitasi
narkoba yang ada di Indonesia, sebagian besar hanya
memperhatikan aspek eksternalnya saja, seperti penelitian yang
dilakukan oleh Aztri dan Milla (2013), menunjukan bahwa proses
penyembuhan kecanduan narkoba berkaitan dengan pengaruh
teman sebaya (peer group) yang negatif, dukungan sosial, dan
harapan mereka akan masa depan.

6
JENIS NARKOBA DAN EFEK SAMPING

Jenis narkotika menurut Undang-Undang RI No. 35 tahun


2009 dibagi atas tiga golongan, yaitu Narkotika golongan I
digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan, seperti ganja,
morphine, putau yang merupakan heroin tidak murni berupa
bubuk. Narkotika golongan II memiliki tingkat ketergantungan
(adiktif) yang kuat, tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan
penelitian, seperti petidin dan turunannya, benzetidin,
betametadol. Narkotika golongan III memiliki daya adiktif
ringan, seperti codein dan turunannya.

Darmono (2005), menjelaskan tentang efek narkoba yang


dibedakan menjadi tiga yaitu depresan merupakan kondisi, di
mana narkoba menekan sistem saraf pusat dan mengurangi
aktivitas fungsional tubuh, sehingga pemakai merasa tenang.
Stimulan merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan kegairahan
pada penyalahguna, sedangkan halusinogen membuat
penyalahguna menjadi sering berhalusinasi.

7
PENGHARGAAN DIRI (SELF ESTEEM)

Definisi Self Esteem


Guindon (2010), menyatakan sikap yang terbentuk dalam
self esteem merupakan hasil komponen evaluasi diri yang terdiri
dari perasaan bermanfaat dan penerimaan yang didapatkan dari
umpan balik dunia luar. Schiraldi (2007), mengatakan self esteem
merupakan sebuah kesadaran dan memberikan penghargaan
kepada diri sendiri. Kesadaran merupakan upaya untuk
menghadapi kenyataan dan menyadari kekuatan atau kelebihan,
kelemahan serta sesuatu yang ada di dalam diri. Penghargaan
dimaksudkan agar individu dapat mengelola emosi yang ada di
dalam diri menjadi perasaan yang baik, sehingga segala sesuatu
yang ada di lingkungan sekitar menjadi baik pula.

Brown (2014), menyatakan tentang penilaian terhadap


kemampuan diri baik secara nyata yang dimiliki oleh seseorang
dengan kemampuan ideal yang diharapkan ada pada dirinya,
ditunjukkan melalui sikap menerima atau menolak dirinya
sendiri. Maslow (dalam Guindon. 2010), mengelompokan self
esteem sebagai kebutuhan dasar kedua untuk mencapai
aktualisasi diri. Self esteem sebagai suatu hasrat untuk mencapai
kekuatan dan kemampuan mandiri serta kebebasan. Dari uraian
di atas, dapat disimpulkan bahwa self esteem merupakan evaluasi

8
diri, di mana seseorang dapat menghargai dirinya dengan
menerima kelebihan dan kekurangan mereka.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Self Esteem


Proses terbentuknya self esteem tidak bisa lepas dari faktor
internal dan eksternal dari setiap individu. Coopersmith (1967),
menjelaskan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi self
esteem yaitu internal dan eksternal, di mana faktor internal
merupakan nilai, inspirasi dan upaya seseorang dalam
menginterpretasikan pengalaman hidupnya berdasarkan evaluasi
dan komentar negatif tentang dirinya, sedangkan faktor eksternal
merupakan penghargaan dan penerimaan individu dari orang-
orang sekitar serta kedudukan sosial dari individu tersebut.
Gufron dan Risnawita (2011), menyatakan hasil dari interaksi
individu dengan lingkungan, baik berupa penerimaan,
penghargaan dan pengertian orang lain terhadap individu sangat
mempengaruhi self esteem. Faktor internal yang dapat
mempengaruhi terbentuknya self esteem, yaitu jenis kelamin,
kemampuan atau intelegensi dan keadaan fisik individu,
sedangkan faktor eksternal yaitu lingkungan sosial, sekolah dan
keluarga.

9
a. Keluarga
Peran dari keluarga dalam bentuk dukungan sangat
menentukan pembentukan self esteem khususnya pada
masa anak- anak. Segala sesuatu yang dilakukan oleh
orang tua menjadi dasar seorang anak untuk nantinya
dapat bersosialisasi dengan lingkungan mereka

b. Sekolah
Penilaian lingkungan sekolah saat individu menuntut ilmu
sangat berperan penting dalam pembentukan self esteem.
Individu yang sering mendapat perlakuan yang tidak baik
selama berada di lingkungan sekolah, cenderung memiliki
self esteem yang rendah.

c. Intelegensi
Intelegensi merupakan gambaran lengkap dari kapasitas
fungsional individu yang erat kaitannya dengan
kemampuan dari individu tersebut mencapai prestasi.
Individu dengan intelegensi yang baik cenderung lebih
memiliki self esteem tinggi. Lutan (dalam Hoedaya dan
Budiman, 2010), menjelaskan tentang prestasi yang
dicapai juga merupakan salah satu faktor penting
terbentuknya self esteem. Perasaan tenang yang
diciptakan, keyakinan, dan kemampuan untuk

10
melaksanakan tugas dikatakan sebagaI awal terbentuknya
self esteem.

d. Kondisi Fisik
Coopersmith (dalam Gufron dan Risnawita, 2011),
memaparkan tentang individu yang memiliki kondisi fisik
yang baik dan menarik, seperti tinggi badan membuat
individu memiliki self esteem yang cenderung lebih baik
bila dibandingkan dengan kondisi fisik dari individu yang
kurang menarik.

e. Jenis Kelamin
Ancok, dkk (dalam Gufron dan Risnawita, 2011),
menjelaskan bahwa para wanita memiliki self esteem yang
lebih rendah dibandingkan kaum laki-laki.

f. Lingkungan Sosial
Branden (2013), berpendapat bahwa dalam pembentukan
self esteem di lingkungan pekerjaan merupakan sejumlah
dimensi pekerjaan, seperti kepuasan kerja, penghasilan,
penghargaan dan naik jabatan.

11
Kategori dan Dimensi Self Esteem
Branden (1985), menyebutkan bahwa self esteem dapat
dikategorikan menjadi tiga bagian yaitu self esteem rendah, baik
atau sedang dan tinggi. Self esteem rendah, di mana individu lebih
mudah mengalami depresi dan cemas karena individu merasa
tidak pantas mendapatkan kebahagiaan, kegembiraan dan
penghargaan diri dalam hidupnya. Individu juga akan merasakan
ketidakmampuan dan tidak berharga. Hal ini bisa disebabkan oleh
pengalaman hidup yang menakutkan dan kegagalan. Robson (
dalam Coetzee, 2009), mengatakan individu dengan self esteem
rendah memiliki masalah interpersonal, mengalami kegagalan
akademis, ketergantungan, depresi dan kecemasan. Hasil
penelitian Muhith (2015), menunjukan self esteem yang rendah
sangat rentan terjadi pada usia remaja dan lanjut karena terkait
dengan masalah kesehatan fisik mereka. Penelitian Reqyrizendri
(2015), menyatakan individu dengan self esteem rendah
cenderung memandang diri buruk karena penilaian negatif yang
diberikan oleh orang lain, merasa memiliki lebih banyak
kekurangan dibandingkan dengan orang lain serta menilai diri
secara keseluruhan adalah orang yang gagal.

Kategori self esteem baik atau sedang ditunjukan dengan


individu memiliki self confident dan self respect yang tinggi,
namun masih memiliki ketakutan atau ketidakyakinan terhadap

12
dirinya. Coopersmith (1981), berpendapat jika self esteem sedang
merupakan keadaan individu yang hampir mirip dengan self
esteem yang tinggi, namun individu pada self esteem sedang
masih tergantung pada penerimaan sosial.

Kategori self esteem tinggi ditunjukan dengan individu


memiliki kekuatan yang besar dalam menjalankan hidupnya.
Coopersmith (1981), menjelaskan bahwa individu dengan self
esteem yang tinggi memiliki karakteristik aktif berprestasi dalam
bidang sosial maupun akademik, terbuka dalam mengemukakan
pendapat, tidak terpaku pada kritik dan masalah, merasa diri
berharga, penting dan dihormati, mampu mempengaruhi orang
lain dan menyukai tantangan. Individu tidak sensitif terhadap
kritik dari lingkungan, tetapi mereka menerima masukan verbal
dan non verbal dari orang lain. Individu dengan harga diri tinggi
cenderung memiliki standar diri yang tinggi. Penelitian Brockner,
dkk (dalam Guindon, 2010), menunjukan bahwa individu dengan
self esteem tinggi lebih mandiri dan dapat mengarahkan
hidupnya.

Minchiton (1993), memaparkan tentang dimensi self esteem


dalam tiga hal yaitu perasaan tentang diri sendiri, perasaan
tentang hidup dan perasaan tentang orang lain, di mana pada
setiap dimensi dikaitkan dengan kategori self esteem.

13
Proses Pembentukan Self Esteem
Self esteem pada individu tidak bisa dikatakan faktor
bawaan sejak individu lahir karena mulai dibentuk sejak individu
mulai bisa berinteraksi dengan orang lain. Proses ini dilalui
bertahap melalui interaksi dengan orang tua, orang lain yang
dianggap bermakna dan teman sebaya (Erikson, 1963 dalam
Santrock, 2011). Perasaan berharga pada setiap individu seperti
self esteem, sangat dipengaruhi oleh pengalaman dari setiap
individu (Felker, dalam Sirait, 2002).

Brisset (1972), mengatakan terdapat dua proses yang sangat


mendasar dalam terbentuknya self esteem yaitu proses evaluasi
diri dan proses penghargaan diri. Proses evaluasi diri terdiri atas
tiga komponen yang penting diperhatikan yaitu perbandingan self
image (gambaran dirinya dengan seseorang yang diinginkan),
internalisasi dari sociaty‟s judgement (penilaian diri berdasarkan
evaluasi dari orang lain), dan evaluasi terhadap kesuksesan dan
kegagalan akan sesuatu yang dikerjakan.

Schiraldi (2007), memaparkan tentang sepuluh langkah


untuk membangun self esteem yaitu mengerti tentang
penghargaan diri, memiliki sikap hati-hati terhadap sesuatu,
membersihkan diri dari pikiran negatif, menyadari kelebihan diri,
menggunakan alam bawah sadar dengan baik, menumbuhkan

14
rasa suka cita dalam diri, menghargai tubuh sendiri, merawat
pikiran dengan memperhatikan tubuh sendiri, mengembangkan
karakter dan spiritual dan melihat ke depan.

15
PEMBENTUKAN SELF ESTEEM
PADA PENYALAHGUNA NARKOBA
YANG SEDANG DIREHABILITASI

Penelitian Ambarwati dan Wibowo (2015), mengatakan


bahwa peran komunitas pecandu di dalam rehabilitasi dapat
meningkatkan motivasi penyalahguna untuk sembuh. Lutan
(dalam Hoedaya dan Budiman, 2010), menjelaskan bahwa rekan
sejawat dan teman merupakan orang yang paling dekat memiliki
pengaruh yang besar terhadap terbentuknya self esteem. Mead
(2003, dalam Faulkner, dkk, 2013), memaparkan dukungan dari
komunitas penyalahguna berupa dukungan teman sebaya (peer
group) dapat membantu penyalahguna dalam meningkatkan self
esteem. Brooks (1999), menunjukan tentang dukungan sosial
yang didapat oleh para penyalahguna berasal dari organisasi,
seseorang yang dekat dan sikap dari sumber daya yang berada di
lingkungan sekitar. Glanz, dkk (2008), memaparkan dukungan
sosial dapat berasal dari lingkungan informal, seperti keluarga,
teman, rekan kerja dan atasan, sedangkan dukungan lingkungan
formal berasal dari petugas kesehatan dan pekerja jasa
kemanusiaan.

16
Penelitian Nurhidayati dan Nurdibyanandaru (2014),
menunjukan adanya hubungan antara dukungan sosial keluarga
dengan self esteem pada penyalahguna narkoba yang
direhabilitasi (penyalahguna). Muhith (2015), menjelaskan
bahwa orang tua sebagai faktor utama seorang anak membentuk
self esteem. Sikap orang tua yang terlalu mengatur dan
mengontrol dapat membuat anak merasa tidak berguna.
Penelitian Afriani (2016), menunjukan bahwa faktor terbesar
yang dapat mempengaruhi keberhasilan pengguna narkoba untuk
tidak relaps dengan menumbuhkan niat yang kuat dari dalam diri
dan dukungan keluarga yang positif kepada penyalahguna.
Muhith (2015), menjelaskan bahwa diri sendiri menjadi sumber
utama terbentuknya self esteem, di mana tinggi atau rendahnya
self esteem tergantung dari perasaan diri sendiri. Gangguan pada
pembentukan self esteem cenderung terdapat pada individu yang
memiliki ideal diri yang tidak realistis.

Erif (2011), mengatakan pendekatan melalui agama


menjadi salah satu pilihan penting pada tahap pemulihan dari
jeratan narkoba. Hasil penelitian Iqbal (2011), menunjukan self
esteem dan religiusitas merupakan satu komponen yang tidak
dapat dipisahkan untuk menciptakan resiliensi diri.

17
REHABILITASI
PENYALAHGUNA NARKOBA

Hasil penelitian Setyowati, dkk (2010), mengatakan


rehabilitasi merupakan upaya untuk melepaskan penyalahguna
dari ketergantungan narkoba. Hasil penelitian Risalia (2014),
memaparkan bahwa peyalahguna narkoba bukan hanya dianggap
sebagai pelaku kejahatan, tetapi mereka juga menjadi korban dan
negara memiliki kewajiban untuk memberikan hak perlindungan
hukum, seperti membina dan merehabilitasi mereka. Penelitian
Hawari (2000), memmaparkan bahwa jenis rehabilitasi narkoba
terdiri atas rehabilitasi medis (terapi medis dan rehabilitasi
medis), rehabilitasi psikologis (psikoterapi suportif, re-edukatif,
rekonstruktif atau memperbaiki kembali kepribadian yang telah
mengalami gangguan, kognitif, psiko dinamis, perilaku dan
keluarga) dan rehabilitasi sosial.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun


2009, menjelaskan bahwa rehabilitasi yang dilakukan dengan
sistem medis dalam bentuk pengobatan terpadu bertujuan
membebaskan penyalahguna dari ketergantungan terhadap
narkoba, sedangkan rehabilitasi sosial merupakan proses
pemulihan baik pada fisik, mental maupun sosial, bertujuan agar

18
penyalahguna yang sudah pulih dapat kembali ke masyarakat dan
melakukan fungsinya, seperti orang lain. Proses rehabilitasi
terdiri atas program detoksifikasi dan stabilisasi yang
dilaksanakan satu bulan, program primer dilaksanakan tiga bulan
dan program re-entry, dilaksanakan selama enam bulan.

Standar Pelayanan Rehabilitasi Narkoba


Keberhasilan program rehabilitasi dipengaruhi oleh standar
baku yang digunakan sebagai pedoman pemberian pelayanan
kepada penyalahguna. Penelitian Arief (2008), menunjukan
tentang kuantitas Sumber Daya Manusia (SDM), kualitas
konselor, konselor addict, standarisasi konselor, system
controlling dan sistem rekrutmen penyalahguna merupakan
faktor input internal yang harus diperhatikan dalam standar
pelayanan rehabilitasi, selain uang, metode rehabilitasi dan sarana
prasana seperti bangunan, air serta listrik. Penelitian Hawari
(2009), menunjukan tentang sarana dan prasarana yang memadai
merupakan syarat penting pelayanan rehabilitasi, seperti gedung,
akomodasi, kamar mandi/WC yang higienis, makanan dan
minuman yang bergizi dan halal, ruang kelas, ruang rekreasi,
ruang konsultasi individual maupun kelompok, ruang konsultasi
keluarga, ruang ibadah, ruang olah raga dan ruang keterampilan.
BNN (2003), menjelaskan bahwa aspek yang harus diperhatikan
dalam memberikan pelayanan rehabiltasi yaitu legalitas,

19
pemenuhan kebutuhan penyalahguna, SDM, sistem pelayanan
yang dimulai dari pendekatan awal, penerimaan, asesmen,
bimbingan, resosialisasi sampai terminasi, sarana prasana dan
aksesibilitas.

Yustiana (2000), memaparkan bahwa konseling merupakan


hubungan yang membantu menanggulangi kasus penyalahgunaan
narkoba. Interaksi dalam konseling harus dilandasi kepercayaan,
saling pengertian dan kerja sama. Konseling merupakan proses
belajar dan bertujuan menghasilkan perilaku yang lebih positif,
produktif dan efektif. Konseling dilakukan oleh orang yang
terlatih secara profesional yaitu memiliki bekal pendidikan dan
latihan-latihan keterampilan profesional. Penelitian Amirotul dan
Faizah (2015), menunjukan pelatihan komunikasi dan konseling
yang diberikan pada terapis akupuntur membantu keberhasilan
keterampilan komunikasi antara klien dan terapis.

Penghargaan Diri (Self Esteem) Penyalahguna Selama


Direhabilitasi
Pada tema ini, penyalahguna mengatakan alasan mereka tidak
berharga selama proses. Penghargaan diri pada penyalahguna
merupakan dasar untuk penyalahguna bisa lepas dari
penyalahgunaan narkoba. Setiap penyalahguna memiliki
penghargaan diri yang berbeda. Status sebagai penyalahguna

20
narkoba yang sedang direhabilitasi tentunya membuat psikologi
dari penyalahguna menjadi tidak stabil, sehingga diperlukan
pembentukan kembali penghargaan diri untuk membantu proses
rehabilitasi mereka dan menjadikan diri sebagai benteng terhadap
penyalahgunaan narkoba.

Faktor-Faktor Pembentuk Self Esteem


Data sekunder menunjukan terdapat tiga status
penyalahguna yang mempengaruhi perbedaan faktor internal dan
eksternal terhadap proses pembentukan self esteem, yaitu
penyalahguna dengan status sukarela, tahanan dan putusan
pengadilan. Penyalahguna dengan status sukarela memaparkan
bahwa aspek internal yang dapat membentuk self esteem
penyalahguna yaitu pengalaman hidup dan konsep tentang self
esteem, sedangkan aspek eksternal yaitu dukungan keluarga dan
teman sebaya. Penyalahguna dengan status tahanan memaparkan
bahwa aspek internal yang dapat membentuk self esteem
penyalahguna yaitu pengalaman menggunakan narkoba, konsep
tentang self esteem, keterampilan dan bakat, serta spiritual di
dalam diri, sedangkan aspek eksternal yaitu dukungan keluarga
dan teman sebaya, pola asuh, serta kebijakan. Penyalahguna
dengan status putusan pengadilan memaparkan bahwa aspek yang
dapat membentuk self esteem penyalahguna yaitu pengalaman
menggunakan narkoba, konsep tentang self esteem, keterampilan

21
dan bakat, serta spiritual di dalam diri, sedangkan aspek eksternal
yaitu keluarga, pola asuh dan lingkungan fisik serta sosial.
Penyalahguna dengan status tahanan cenderung memiliki self
esteem yang rendah dibandingkan penyalahguna dengan status
putusan pengadilan. Penyalahguna dengan status sukarela
menunjukan self esteem yang rendah karena penyalahguna masih
memiliki rasa bersalah yang berlebih terhadap dirinya dan
keluarga.

Penelitian Aztri danMilla (2013), menunjukan bahwa


proses penyembuhan kecanduan narkoba berkaitan dengan
pengaruh teman sebaya, dukungan sosial dan harapan masa
depan. Robert dan Wolfer (2011), menjelaskan bahwa aspek
internal seperti penghargaan diri sangat penting diperhatikan
selama proses rehabilitasi, selain faktor eksternal. Hasil penelitian
ini sesuai dengan penelitian sebelumnya, namun pada penelitian
ini ditemukan bahwa bukan faktor internal dan eksternal saja
yang harus diperhatikan, tetapi status penyalahguna menjadi
aspek penting yang harus dipertimbangkan, karena aspek internal
dan eksternal yang membantu penyalahguna dalam membentuk
self esteem selama penyalahguna berada di ruang rehabilitasi
adalah berbeda sesuai dengan status penyalahguna.

22
1. Jenis Kelamin
Penyalahguna mengatakan jika perempuan lebih bisa
menghargai diri dibandingkan laki-laki karena mereka
beranggapan laki-laki adalah sosok yang kuat, namun
tujuh orang penyalahguna mengatakan bahwa laki-laki
juga bisa menghargai diri mereka. Menurut Ancok, dkk
(dalam Gufron dan Risnawita, 2011), para wanita
memiliki self esteem yang lebih rendah dibandingkan
kaum laki-laki. Penelitian ini tidak sesuai dengan teori
yaitu tidak ada kaitan antara jenis kelamin dengan upaya
pembentukan self esteem, hal ini dapat dilihat dari
pemaparan penyalahguna yang menunjukan jika laki-laki
dan perempuan memiliki kemampuan yang sama dalam
membentuk self esteem.

2. Kondisi Fisik
Pendapat penyalahguna tentang pembentukan
kembali self esteem mereka dikaitkan dengan kondisi fisik
dari penyalahguna yang dirasa kurang sempurna sehingga
membuat penyalahguna mengonsumsi obat-obatan
terlarang untuk membangun rasa percaya diri mereka.
Kondisi fisik yang dimaksud oleh peneliti adalah keadaan
fisik dan kesehatan dari penyalahguna. Data hasil
wawancara menunjukan empat orang penyalahguna

23
mengatakan bahwa keadaan fisik mereka akan tampak
lebih sempurna seperti kulit lebih putih saat menggunakan
narkoba.

Coopersmith (dalam Gufron dan Risnawita, 2011),


menjelaskan bahwa individu yang memiliki kondisi fisik
yang baik dan menarik seperti tinggi badan membuat self
esteem individu cenderung baik dibandingkan dengan self
esteem pada individu dengan kondisi fisik kurang
menarik. Dari penelitian ini ditemukan bahwa kondisi
fisik yang menarik memang mempengaruhi self esteem
penyalahguna, hal ini dibuktikan dari pemaparan beberapa
penyalahguna yang merasa lebih percaya diri setelah
menggunakan narkoba.

3. Kemampuan / Riwayat Pendidikan


Penyalahguna memaparkan bahwa pendidikan
merupakan bekal mereka untuk bisa bergaul dengan
masyarakat, namun pada kasus penyalahgunaan narkoba
ini, banyak penyalahguna yang memiliki latar belakang
adalah sarjana, tetapi menggunakan narkoba dan
mengalami kesulitan dalam memahami self esteem.
Beberapa penyalahguna memaparkan jika riwayat
pendidikan mereka menjadi salah satu faktor internal

24
mereka menggunakan narkoba dan sulit memahami self
esteem. Perasaan malu karena tamatan SD, perasaan kesal
karena selalu dimarah akibat nilai ulangan kecil dan
perasaan kurang sabar membuat para penyalahguna
menjadi cepat putus asa dan terjerumus dalam narkoba.

Lutan (dalam Hoedaya dan Budiman, 2010),


menjelaskan bahwa prestasi yang dicapai juga merupakan
salah satu faktor penting terbentuknya self esteem.
Perasaan tenang yang diciptakan, keyakinan dan
kemampuan untuk melaksanakan tugas dikatakan sebagai
awal terbentuknya self esteem. Penelitian ini tidak sesuai
dengan teori karena data menunjukan sebagian besar
penyalahguna yang terlibat penyalahgunaan narkoba
memiliki latar belakang SMA dan sarjana.

4. Pengetahuan/Konsep tentang Self Esteem


Konsep tentang self esteem yang dimaksud oleh
peneliti merupakan pendapat dari penyalahguna mengenai
definisi penghargaan diri dan upaya penyalahguna dalam
menghargai diri mereka seperti, menerima kekurangan
diri, mampu menghadapi kenyataan yang ada dan
mengelola emosi yang timbul pada diri penyalahguna.
Para penyalahguna berpendapat jika penghargaan diri

25
hanya dengan merawat dan menjaga keadaan fisik tubuh
mereka saja.

Yustina (200), menjelaskan bahwa konseling


dilakukan oleh orang yang terlatih secara profesional yaitu
memiliki bekal pendidikan dan latihan-latihan
keterampilan profesional. Bila dikaitkan teori, sebelum
perawat menjadi konselor, sebaiknya mereka mengikuti
pelatihan konseling, karena seorang konselor dalam
menghadapi kliennya tidak hanya memperhatikan fisik,
tetapi mereka juga menekankan kepada psikologis seperti
kepribadian dan emosional dari klien tersebut. Berbeda
dengan tugas pokok seorang perawat yang hanya
memperhatikan keadaan fisik, mereka jarang menekankan
psikologis klien.

5. Umur sebagai Faktor Penghambat Terbentuknya Self


Esteem
Hasil wawancara dengan penyalahguna tentang
umur sebagai faktor penghambat terbentuknya self esteem
menunjukan bahwa dua penyalahguna mengatakan jika
umur sangat penting dalam membangun penghargaan diri,
namun sebagian besar penyalahguna berpendapat bila
umur tidak berpengaruh dalam pembentukan self esteem.

26
Green (dalam Effendi, 2008), menjelaskan tentang
umur merupakan salah satu faktor presdiposisi dalam
seseorang menentukan perilakunya. Penelitian ini tidak
sesuai dengan teori yaitu tidak ada kaitannya antara umur
dan pembentukan self esteem pada penyalahguna yang
sedang direhabilitasi, hal ini dibuktikan dari pemaparan
beberapa penyalahguna yang menyatakan tidak ada
hubungannya umur dengan pembentukan self esteem.

6. Lingkungan Fisik dan Sosial


Keadaan lingkungan sekiar penyalahguna selama
berada di tempat rehabilitasi merupakan faktor penting
yang harus diperhatikan oleh pelaksana kebijakan dalam
proses pembentukan self esteem. Penyalahguna
memaparkan jika lingkungan yang tenang dan bersahabat
membantu penyalahguna dalam membentuk self esteem
mereka, seperti lingkungan di Ruang Darmawangsa RSJ
Bangli tampak bersih dan seluruh petugas yang sangat
bersahabat membuat penyalahguna merasa nyaman.

Penelitian Nur Afni, dkk (2013), menunjukan


bahwa terdapat hubungan positif signifikan di antara
dukungan sosial terhadap kualitas hidup di lingkungan
pecandu narkoba yang sedang mengikuti proses

27
rehabilitasi. Penelitian ini sesuai dengan teori yaitu
lingkungan sosial memiliki peran penting dalam
kehidupan, karena penyalahguna tumbuh dan membentuk
karakter dari lingkungan sosial mereka.

7. Dukungan Keluarga
Keluarga merupakan kerabat terdekat yang dimiliki
oleh penyalahguna sebelum mereka menjalani proses
rehabilitasi. Seluruh penyalahguna mengatakan dukungan
keluarga sangat berperan dalam mereka untuk membentuk
penghargaan diri. Selama menyampaikan pendapat
tentang keluarga, penyalahguna selalu menunduk dan
mata mereka mulai berkaca-kaca menunjukan rasa
penyesalan karena mereka beranggapan mereka telah
mengecewakan keluarga. Hasil observasi menunjukan
pada saat jadwal kunjungan keluarga, penyalahguna
tampak sangat antusias saat dijenguk oleh keluarga
mereka, seperti langsung menggendong anak dan
mengajak istri duduk sambil makan di dapur.

Gufron dan Risnawita (2011), menjelaskan bahwa


hasil dari interaksi antara individu dan lingkungan baik
berupa penerimaan individu, penghargaan serta
pengertian orang lain kepada individu sangat

28
mempengaruhi self esteem. Penelitian ini sesuai dengan
teori di mana penyalahguna memaparkan tentang peran
keluarga yang diharapkan oleh penyalahguna adalah
dukungan yang dapat membantu penyalahguna untuk
lepas dari narkoba.

8. Pola Asuh
Pola asuh yang diterima oleh penyalahguna dari
kecil sampai remaja sangat mempengaruhi proses
pembentukan self esteem. Seluruh penyalahguna
mengatakan merasa kurang nyaman dengan pola asuh dari
orang tua. Pola asuh yang terlalu memanjakan dan terlalu
banyak komentar membuat penyalahguna lebih merasa
nyaman dengan teman mereka.

Muhith (2015), memaparkan bahwa orang tua


sebagai faktor utama seorang anak membentuk self esteem
mereka. Anak merasa tidak nyaman jika orang tua
memiliki kebiasaan yang terlalu mengatur. Penelitian
Oshel (2015), menunjukan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan dan positif antara pola asuh otoritatif
dengan resiliensi pada remaja. Andini (2014),
mengatakan jika pola asuh otoritatif seorang ayah

29
memberikan pengaruh positif kepada perilaku
penyalahgunaan napza.

9. Kebijakan
Setiap program yang dilaksanakan tentunya
berpedoman pada kebijakan yang telah ditentukan oleh
pelaksana program. Para penyalahguna menunjukan rasa
puas mereka dengan kebijakan-kebijakan yang telah
diberikan oleh tempat rehabilitasi, seperti program
kunjungan keluarga dan home leave. Penyalahguna
mengatakan bahwa kebijakan tersebut membantu
penyalahguna merasakan penghargaan yang diberikan
keluarga kepada penyalahguna.

BNN (2003), menjelaskan bahwa aspek yang harus


diperhatikan yaitu legalitas, pemenuhan kebutuhan
penyalahguna, SDM, sistem pelayanan yang dimulai dari
pendekatan awal, penerimaan, asesmen, bimbingan,
resosialisasi sampai terminasi, sarana prasana serta
aksesibilitas. Penelitian ini sesuai dengan teori dari BNN
yaitu dengan pemaran penyalahguna tentang program
home leave dan kunjungan keluarga yang dirasakan
membantu penyalahguna untuk lebih merasa percaya diri.

30
10. Petugas Kesehatan
Petugas kesehatan yang berada di lingkungan rehabilitasi
merupakan keluarga terdekat untuk penyalahguna saat ini.
Brooks (1999), menjelaskan tentang dukungan sosial
yang didapat oleh para penyalahguna berasal dari
organisasi, sesorang yang dekat dan sikap dari sumber
daya yang berada di lingkungan sekitar. Glanz, dkk
(2008), memaparkan dukungan sosial juga bisa berasal
dari faktor lingkungan informal seperti lingkungan
keluarga, teman sekitar, rekan di tempat kerja dan
pimpinan, sedangkan dukungan dari faktor lingkungan
formal berasal dari petugas kesehatan dan para pemberi
jasa kemanusiaan. Penelitian ini sesuai dengan teori dari
Glanz, dkk yang memaparkan dukungan dari lingkungan
formal berasal dari petugas kesehatan, hal ini dibuktikan
dari hasil observasi dan pemaparan dari penyalahguna
tentang sikap petugas kesehatan yang kooperatif dalam
memberikan penyalahguna nasehat.

11. Peer Support / Dukungan Teman Sebaya


Penyalahguna narkoba yang berada dalam satu
tempat rehabilitasi, biasanya akan saling memberikan
dukungan satu sama lain, karena mereka memiliki
perasaan senasib. Penyalahguna mengatakan jika

31
dukungan dari teman sesama pengguna yang sedang
direhabilitasi sangat membantu penyalahguna dalam
membangun rasa penghargaan diri.

Penelitian Aditya Pratiwi ( 2014), menunjukan


bahwa dukungan sosial sangat membantu penyalahguna
dalam menyesuaikan diri selama mengikuti program
rehabilitasi. Mead (2003, dalam Faulkner, dkk, 2013),
memaparkan dukungan dari komunitas penyalahguna
berupa dukungan teman sebaya dapat membantu
penyalahguna dalam meningkatkan self esteem. Penelitian
ini sesuai dengan teori yaitu dukungan teman sebaya
menjadi faktor penting dalam pembentukan self esteem,
karena penyalahguna dapat saling berbagi pengalaman
dan saling mendukung karena adanya perasaan senasib.

12. Spiritual dalam Diri


Keinginan dari penyalahguna untuk mendekatkan
diri ke Tuhan merupakan salah satu bentuk dukungan
mental yang bisa penyalahguna bentuk secara mandiri
sebagai benteng untuk menghindari perbuatan negatif
sebagai bentuk respon bila penyalahguna merasa kecewa
atau tidak puas dengan dirinya.

32
Riyadiningsih (2012), mengungkapkan jika nilai
diri meliputi tingkatan religi atau kecerdasan spiritual
dapat mempengaruhi perilaku baik atau buruk seseorang.
Penelitian Ari, dkk (2013), menunjukan adanya pengaruh
yang positif diantara religiusitas dengan reseliensi pasien
yang sedang mengikuti proses rehabilitasi narkoba di
Yayasan Rumah Damai Semarang. Semakin tinggi tingkat
religius pasien yang sedang direhabilitasi, semakin tinggi
tingkat resiliensinya, begitu juga sebaliknya sebaliknya.

13. Pengalaman Hidup


Pengalaman hidup yang berbeda-beda membuat
penyalahguna memiliki pendapat yang berbeda pula
tentang cara membentuk penghargaan diri. Penyalahguna
berpendapat, jika pengalaman hidup merupakan faktor
internal yang sangat berpengaruh bagi penyalahguna
terhadap pembentukan self esteem selama proses
rehabilitasi. Pengalaman hidup yang berbeda antara
penyalahguna membuat mereka bisa lebih menjaga dan
menghargai diri mereka dengan cara mereka masing-
masing.

Penelitian Setiawan (2009), menunjukan bahwa


pengalaman hidup para pengguna narkoba dapat dijadikan

33
terapi diri untuk mereka bisa lepas dari narkoba dan
membangun hidup seperti orang banyak. Muhith (2015),
menjelaskan diri sendiri menjadi sumber utama
terbentuknya self esteem. Tinggi atau rendahnya self
esteem tergantung dari perasaan diri sendiri. Gangguan
pada pembentukan self esteem cenderung terdapat pada
individu yang memiliki ideal diri yang tidak realistis.

14. Keterampilan dan Bakat


Penghargaan diri akan terbentuk secara spontan,
bila penyalahguna mendapatkan reaksi positif dari
lingkungan sekitar karena kelebihan seperti keterampilan
atau bakat yang dimilikinya. Seluruh penyalahguna
mengatakan bahwa keterampilan dan bakat yang
penyalahguna miliki sangat membantu penyalahguna
dalam pembentukan penghargaan diri. Keterampilan dan
bakat yang dapat ditunjukan oleh penyalahguna kepada
orang lain dan mendapat pujian dari lingkungan sekitar,
membuat penyalahguna merasa dirinya berharga.
Penyalahguna berpendapat dengan mengasah
keterampilan dan bakat yang penyalahguna miliki selama
berada di tempat rehabilitasi merupakan bekal mereka
agar mereka lebih dihargai ketika penyalahguna kembali
ke lingkungan masyarakat

34
Pradhana (2015), mengatakan bahwa self esteem
berhubungan dengan sikap dan perilaku seseorang, di
mana perilaku seseorang dapat mencerminkan self
esteemnya. Penelitian Edhitya (2016), menunjukan
terdapat sebuah hubungan positif cukup signifikan di
antara persepsi dan keterampilan yang dimiliki terhadap
self esteem pada mantan penyalahguna napza di Balai
Rehabilitasi Sosial Pamardi Putera Lembang. Schiraldi
(2007), memaparkan ada sepuluh langkah untuk
membangun self esteem antara lain mengerti tentang
penghargaan diri, memiliki sikap hati-hati terhadap
sesuatu, membersihkan diri dari pikiran negatif,
menyadari kelebihan diri, menggunakan alam bawah
sadar dengan baik, menumbuhkan rasa suka cita dalam
diri, menghargai tubuh sendiri, merawat pikiran dengan
memperhatikan tubuh sendiri, mengembangkan karakter
dan spiritual dan melihat ke depan.

Penelitian ini sesuai dengan teori yaitu keterampilan


dan bakat yang dimiliki penyalahguna dengan
pembentukan self esteem, hal ini ditunjukan dengan
pemaparan dari penyalahguna yaitu semakin positif
persepsi terhadap keterampilan yang dimiliki, maka

35
semakin tinggi tingkat self esteem pada penyalahguna,
begitu pula sebaliknya.

15. Pendidikan Kesehatan


Dalam upaya membentuk self esteem, penyalahguna
sebaiknya mengetahui tentang kesehatan diri mereka,
seperti efek samping narkoba bagi tubuh penyalahguna.
Penyalahguna mengatakan jika dalam proses
pembentukan penghargaan diri mereka memerlukan
pendidikan kesehatan agar penyalahguna dapat lebih
mengerti tentang kesehatan mereka. Hawari (2000),
menjelaskan bahwa jenis rehabilitasi narkoba antara lain
rehabilitasi medis dan psikologis (psikoterapi suportif, re-
edukatif dan rekonstruktif). Penelitian ini sesuai dengan
teori yaitu pendidikan kesehatan merupakan salah satu
dukungan dalam bentuk re-edukatif yang diberikan oleh
petugas kesehatan kepada penyalahguna guna
meningkatkan pengetahuan penyalahguna tentang
kesehatan diri penyalahgun

36
DAFTAR PUSTAKA

Afriani, Mery. 2016. “Proses Pengambilan Keputusan


Untuk Berhenti Menggunakan Narkoba pada
Mantan Pecandu Narkoba di Wilayah
Denpasar”(skripsi). Denpasar: Universitas Udayana.

Ali, Pranaka. 2015. Narkoba Menymbang Kematian


Sebanyak 15.000 jiwa pertahun. Dinkes Riau (online),
4 Maret. Available from: http://dinkesriau.net/berita-
420-narkoba-menyumbang-kematian-sebanyak-
15000-jiwa-pertahun.html

Ambarwati. D., Wibowo, A. Hubungan Peran Keluarga dan


Komunitas Pecandu terhadap Motivasi untuk Sembuh
Pengguna Narkoba Jarum Suntik. Jurnal Biometrika
dan Kependudukan, Vol. 4, No. 1 Juli 2015: 1–6

Anindyajati, M., Karima, C.M. 2004. Peran Harga Diri


Terhadap Asertivitas Remaja Penyalahguna Narkoba
(Penelitian Pada Remaja Penyalahguna Narkoba di
Tempat-Tempat Rehabilitasi Penyalahguna Narkoba).
Jurnal Psikologi Vol. 2 No. 1: 49-73

Arief. R. 2008. “Analisis Proses Internal Rehabilitasi Sosial


Unit Pelaksana Teknis (UPT) Terapi dan Rehabilitasi
BNN” (Tesis). Jakarta: Universitas Indonesia

37
Ariyani, A. 2004. Perbedaan Hope dan Self Esteem antara
Remaja yang Pernah Menggunakan Narkoba dan
Remaja yang tidak Menggunakan Narkoba. Tugas
Akhir Magister Profesi Psikolog Klinis Dewasa.
Depok: Fakultas Psikologi UI

Aztri. S., Milla, M.N. 2013. Rasa Berharga dan


Pembelajaran Hidup Mencegah Kekambuhan Kembali
pada Pecandu Narkoba Studi Kualitatif
Fenomenologis. Jurnal Psikologi. 9(1). P48-63

BNN. 2003. Permasalahan Narkoba di Indonesia dan


Penanggulangannya. http://bnn.go.id.

____ . 2014. Laporan Akhir Survey Nasional Perkembangan


Penyalahguna Narkoba Tahun Anggaran 2014. Jakarta

____ . 2015. Laporan Akhir Survey Nasional Perkembangan


Penyalahguna Narkoba Tahun Anggaran 2014. Jakarta

Branden, N. 2013. My Mission Is To Inspire Readers to


Honor Their Life and Happiness.
http://www.nathanielbranden.com/on-self-esteem

Brisset, D. 1972. The Genesis and Nature of Self esteem.


American Journal of Physicotherapi:225-263

Brooks, J.B. 1999. The process of parenting 5th edition.


London: Mayfield Publishing Company

Brown, J.D. 2014. The Self. New York: Psychology Press

38
Buckner, J.C., Mandel, W. 1990. Risk Faktors for Depressive
Symptomatology in a Drug Using Population. AJPH
May 1990, Vol. 80, No. 5:580-585

Budi, Waseso. 2016. Kerugian Negara Akibat Narkoba


Capai Rp 63,1 Triliyun. Tribun Lampung. (serial
online), 4 Maret. Available from:
http://lampung.tribunnews.com/2016/03/04/kerugian-
negara-akibat-narkoba-capai-rp-631-triliun

Centers for Disease Control and Prevention. (2013).


Methodology of the Youth Risk Behavior Surveillance
System — 2013. Morbidity and Mortality Weekly
Report, 62, 1-18.

Coopersmith, Stanley. 1967. Antecedents of self-esteem. San


Francisco: Freeman

Edhitya. P. 2016. Hubungan Antara Persepsi terhadap


Keterampilan yang Dimiliki dengan Self Esteem Eks
Penyalahguna Napza di Balai Sosial Permadi Putera
Lembang. Bandung. Univesitas Islam; Fakultas
Psikologi

Efendi, N.F. 2008. Pendidikan Dalam Keperawatan.


Yogyakarta: Salemba Medika

Emler, N. 2001. Self esteem: The Costs and Causes of Low


Self Worth. Layerthorpe: Joseph Rowntree Foundation.

Erif. 2011. Terapi Based On Religi. Sinar BNN. Jakarta:


Badan Narkotika Nasional

39
Faulkner, A.et.all. 2013. Mental Health Peer Support in
England: piecing together the jigsaw.
http;//www.mind.org.uk/media/715293/peer-support-
report-peerfest-2013.pdf

Garnis. 2016. Laporan Studi Pendahuluan Perawat Ruang


darmawangsa di RSJ Bangli (unpublished). Bangli

Glanz, K., Barbara, K.R., & Viswanath, K. 2008. Health


behavior and health education. San Frasisco: Jossey
Bass

Griffin, M., Kirby, S. 2007. The Effect of Gender in


Improving Body Image and Self esteem. County of
Essex: University of Essex

Gufron, M.N., Risnawita, R. 2011. Teori-teori Psikologi.


Jogjakarta: Ar-Ruzz Media

Guindon, M.H. 2009. Self esteem Across The Lifespan.


United of America: LLC

____ . 2010. Self esteem Across The Lifespan: Issues and


Intervention. New York: Routledge Tailor and Francis
Group

Hanur, dkk. 2015. Studi Perilaku Pengguna Napza yang


Direhabilitasi di Balai Rehabilitasi Tanah Merah,
Samarinda. Kesmas Wigama Jurnal Kesehatan
Masyarakat Vol 01:14-17

40
Hawari, Dadang. 2000. Penyalahgunaan dan Ketergantungan
Napza. Jakarta: FKUI

Hoedaya, D., Budiman. D. 2010. “Psikologi Anak Dalam


Penjas” (silabus). Jakarta: Unversitas Pendidikan
Indonesia

Jusni .2001. Suport Majalah HIV/ AIDS Nomor 48/V/Januari


2001

Kim, Y. 2011. Adolescent's Health Behaviours and Its


Associations with Psychological Variables. Journal of
Public Health, 19:205–209.

Lisa, J., Sutrisna, N.W. 2013. Narkoba,Psikotropika dan


Gangguan Jiwa Tinjauan Kesehatan dan Hukum.
Yogyakarta: Nuha Medika.

Mansyur. 2016. Laporan Kunjungan Yayasan Dua Hati


Pada Penasun (Unpublished). Denpasar

Martono, L.H., Joewana, S. 2006. Modul Latihan Pemulihan


Pecandu Narkoba Berbasis Masyarakat. Jakarta: Balai
Pustaka

Muhith, A. 2015. Pendidikan Keperawatan Jiwa (Teori dan


Aplikasi).Yogyakarta: Andi

Noviarini. N.A., Dewi. M.P., Prabowo.H. 2013. Hubungan


Antara Dukungan Sosial dengan Kualitas Hidup Pada
Pecandu Narkoba yang sedang Menjalanai
Rehabilitasi. Proceeding PESAT. Vol.5

41
Ngurah. 2016. Laporan Studi Pendahuluan Penyalahguna
Yang Sedang Direhabilitasi diRSJ Bangli
(unpublished). Bangli

Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan.


Jakarta: Rineka Cipta

Nurhidayati, N., Nurdibyanandaru, D. 2014. Hubungan


antara Dukungan Sosial Keluarga dengan Self esteem
pada Penyalahguna Narkoba yang Direhabilitasi.
Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental.Vol.03
No.03 : 52-59
Oshel. L. 2015. Hubungan Antara Pola Asuh Autoritatif
dengan Reseliensi Pada Remaja di Denpasar.
Denpasar: Unud

Reasoner, R.,W. 1994. Self esteem as Antidote to Crime and


Violence. Prepared for National Council for Self-
Esteem.

Reqyrizendri, D. 2015. “Hubungan Antara Harga Diri


Dengan Perilaku Berisiko Terhadap Kesehatan Pada
Remaja” (Naskah Publikasi). Surakarta: Universitas
Muhamadyah Surakarta

Risalia, G. 2014. Pelaksanaan Pembinaan dan Rehabilitasi


Terhadap Narapidana Narkotika Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.
Robert, J.C.,Wolfer, L. 2011. Female Drug Offenders Reflect
on their Experiences with a Country Drug Court
Program. The Qualitative Report Vol.16 No.1:84-102

42
Silvy, Tiara. 2016. Laporan Studi Pendahuluan Waria
Mantan penyalahguna Narkoba (Unpublished).
Denpasar.

Sahrizal, D. 2013. Undang-Undang Narkotika dan


Aplikasinya. Jakarta: Laskar Aksara

Samuels, Donald J. dan Samuels, Mauriel. 1974. Low Self-


Concept as a Cause of Drug Abuse. Journal of Drug
Education. Vol. 4(4): 421-438.

Santrock, J. W. 2011. Life Span Development. 11th Edition.


Mc Graww Hill

Sarosa, S. 2012. Penelitian Kualitatif Dasar- Dasar. Jakarta:


PT. Indeks

Schaeffer, G.M., Schuckit, M.A., Morrisey, E.R. 1976.


Correlation Between Two Measures Of Self esteem and
Drug Use in A Collage Sample. Psychological Reports:
915-919

Schmitt, D.P., Allik, J. 2005. Simultaneous administration of


the Rosenberg Self esteem Scale in 53
nations:exploring the universal and culture specific
features of global self esteem. Journal of Personality
and Social Psychology, 89 94): 623-642.

Setiawan. A. (2016). Pengaruh Religiusitas Terhadap


Reseliensi pada Pasien Narkoba Yayasan Rumah
Damai, Semarang

Setiawan. D. 2009. Hubungan Pengalaman Hidup dengan


Resiliensi Pengguna Narkoba

43
Silvy, Tiara. 2016. Laporan Studi Pendahuluan Waria
Mantan penyalahguna Narkoba (Unpublished).
Denpasar
Sirait, Mirah, M.M. (2002). Hubungan antara Harga Diri
dengan Konformitas dalam Hal Fesyen pada Remaja.
Jakarta: Fakultas Psikologi UI.

Smesetha, B.R. 2015. “Pengaruh Self esteem dan Dukungan


Sosial Terhadap Resiliensi Mantan Pecandu Narkoba”
(Skripsi). Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah

Srisayekti, W. 2015. Harga Diri (Self esteem) Terancam dan


Perilaku Menghindar. Jurnal Psikologi Vol. 42 No
2:141-156

Sutopo. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif.


Surakarta: UNS

Syahrizal, D. 2013. Undang-Undang Narkotika dan


Aplikasinya. Jakarta: Laskar Aksara

Szalay L.B., Strohl, J.B., & Doherty. K.T. (1999).


Psychoenvironmental forces in substance abuse
prevention. New York

Tambunan, Raymond. 2001. Harga Diri Remaja. Informasi


Psikolog (online), Available from: http://www.e-
psikologi.com/remaja/240901-1.htm

44
United Nation Office on Drugs and Crime. 2015. World Drug
Report 2015. Available from: URL:
https://www.unodc.org/documents/wdr2015/World_D
rug_Report_2015_web.pdf. (diakses, 1 Oktober 2016)

Utarini, Adi. 2007. “Metode Penelitian Kualitatif di


Bidang Kesehatan” (Modul Mata Kuliah).
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada

Winkelman, M. 2003. Complementary Therapy for


Addiction: “Drumming Out Drugs”. American Journal
of Public Health Vol.93 No.4:647-651

Yustiana, Y.R. 2000. Modul Pedoman dan Materi Konseling


Individual Penanggulangan Napza. Jawa Barat

45
TENTANG PENULIS

Made Dewi Sariyani adalah


dosen tetap, Ketua STIKES
Advaita Medika Tabanan dan
guru di SMK Kesehatan Bali
Dewata. Penulis menamatkan
pendidikan Diploma 3
Kebidanan di STIKES Bali,
DIV Kebidanan di Poltekkes Kemenkes Denpasar, S2
Kesehatan Masyarakat di Universitas Udayana, dan S3 Ilmu
Kedokteran di Universitas Udayana. Penulis aktif sebagai
narasumber di beberapa seminar nasional. Selain penelitian
dan pengabdian masyarakat, penulis juga aktif menulis di
jurnal nasional dan internasional, serta menjadi reviewer di
beberapa jurnal. Penulis juga aktif memberikan edukasi
kepada masyarakat tentang Public Health melalui media
BaliWake.

Correspondence:
sariyani27@ymail.com

46

Anda mungkin juga menyukai