Anda di halaman 1dari 22

UPAYA PENCEGAHAN GRATIFIKASI PADA SEKRETARIAT

JENDERAL KPU, SEKRETARIAT KPU PROVINSI DAN SEKRETARIAT


KPU KABUPATEN/KOTA

Nama : Bryan Roberttho Okta Hindom

Nip : 198810022019031009
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami panjatkan

puji syukur atas kehadirat-nya, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada kami,

sehingga kami dapat menyelesaikan karya tulis tentang pencegahan gratifikasi.

Adapun karya tulis tentang pencegahan gratifikasi ini telah kami usahakan semaksimal mungkin

dan tentunya dengan bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar pembuatan karya tulis

ini. Untuk itu saya tidak lupa menyampaikan banyak terimakasih kepada semua pihak yanga telah

membatu saya dalam pembuatan karya tulis ini.

Nmaun, tidak lepas dari semua itu saya menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik dari

segi penyusunan Bahasa maupun yang lainnya. Oleh karena itu, dengan lapang dada dan tangan

terbuka saya membuka selebar-lebarnya bagi pembaca yang ingin memberikan saran dan kritik

kepada saya sehingga saya dapat memperbaiki karya tulis pencegahan gratifikasi ini.

i
DAFTAR ISI

Kata pengantar ...................................................................................................................... i

Daftar isi ................................................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................... 1

A. Latar belakang ....................................................................................................... 1

B. Identifikasi masalah .............................................................................................. 2

C. Metode penulisan................................................................................................... 2

D. Sistematika penulisan............................................................................................ 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................... 4

BAB III PEMBAHASAN / ANALISIS ................................................................................ 10

BAB IV PENUTUPAN .......................................................................................................... 18

A. Kesimpulan ................................................................................................................. 18

B. Saran ........................................................................................................................... 18

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Salah satu faktor pendorong terjadinya tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme

yaitu adanya benturan kepentingan (conflict of interest). Benturan kepentingan ini terjadi

apabila pertimbangan pribadi mempengaruhi dan/atau mengesampingkan profesionalitas

seorang penyelenggara negara dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya.

Pertimbangan pribadi dapat berasal dari kepentingan pribadi, kerabat, dan/atau

kelompok yang kemudian mendesak, mempengaruhi, dan mereduksi kebijakan yang

sedang dibangun, sehingga mengakibatkan adanya suatu kebijakan atau keputusan yang

menyimpang dari orisinalitas keprofesionalannya. Kebijakan atau keputusan tersebut

berakibat kepada penyelenggaraan negara, khususnya di bidang pelayanan publik yang

diterima masyarakat, serta menghasilkan kebijakan yang tidak efektif dan efisien.

Sementara itu, pemahaman penyelenggara negara, khususnya di lingkungan Komisi

Pemilihan Umum, terkait perilaku dan potensi benturan kepentingan masih belum

seragam, sehingga menimbulkan penafsiran yang beragam. Hal tersebut dapat

mempengaruhi kinerja penyelenggara negara. Kesungguhan dan konsistensi pelaksanaan

dari penanganan benturan kepentingan, serta selalu berusaha menerapkan prinsip

transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban dan keadilan akan

memperkuat tata kelola pemerintahan yang bersih dan baik, serta bebas dari korupsi,

kolusi, dan nepotisme. Berdasarkan uraian tersebut, perlu adanya suatu pedoman

1
penanganan benturan kepentingan di lingkungan Komisi Pemilihan Umum yang wajib

dipatuhi oleh seluruh penyelenggara negara di lingkungan Komisi Pemilihan Umum.

B. Identifikasi Masalah

1. Mengapa Gratifikasi sangat dilarang dalam Sekretariat Jenderal KPU, Sekretariat

KPU Provinsi dan Sekretariat KPU Kabupaten/Kota ?

2. Apakah semua pemberian dapat dikategorikan Gratifikasi ?

3. Bagaimana tata cara pelaporan Gratifikasi ?

C. Metode Penulisan

Metode penulisan yang di pakai dalam penulisan karya tulis tentang upaya pencegahan

gratifikasi pada Sekretariat Jenderal Komisi Pemilihan Umum, Sekretariat Komisi

Pemilihan Umum Provinsi dan Sekretariat Komisi Pemilihan Umum kabupaten/kota

menggunakan metode kualitatif dan metode penelitian deskriptif.

Metode kualitatif adalah kebalikan dari metode kuantitatif. Hasil dari metode ini adalah

data yang sifatnya narasi dan bukan angka.

Metode penelitian deskriptif dilakukan dengan membuat gambaran keadaan suatu subjek

atau objek dengan rinci. Deskripsi difokuskan pada masalah yang akan dibahas.

Kemampuan mendeskripsikan sesuatu sangat berperan penting untuk membuat data

semakin akurat.

D. Sistematika Penulisan

Pada sistematika penulisan karya tulis yang bertemakan upaya pencegahan gratifikasi

pada Sekretariat Jenderal Komisi Pemilihan Umum, Sekretariat Komisi Pemilihan

2
Umum Provinsi dan Sekretariat Komisi Pemilihan Umum kabupaten/kota pada Bab I di

latar belakangi salah satu faktor pendorong terjadinya tindak pidana korupsi, kolusi, dan

nepotisme yaitu adanya benturan kepentingan. Maka dari pada itu perlu adanya suatu

pedoman penanganan benturan kepentingan di lingkungan Komisi Pemilihan Umum

yang wajib dipatuhi oleh seluruh penyelenggara negara di lingkungan Komisi Pemilihan

Umum. Adapun identifikasi masalah terkait mengapa gratifikasi sangat dilarang dalam

Sekretariat Jenderal KPU, Sekretariat KPU Provinsi dan Sekretariat KPU

Kabupaten/Kota, membedakan pemeberian yang dapat dikatagorikan graifikasi dan tata

cara pelaporan gratifikasi. Dalam penulisan karyaa tulis ini metode yang di gunakan ada

dua yaitu metode kualitatif dan metode penelitian deskriptif. Pada Bab II menjelaskan

tentang pengertian gratifikasi yang menjadi pokok pada bahasan karya tulis dan ada

pun kutipan narasumber sekaligus penulis buku dan peraturan undang-undang. Pada

Bab III membahaas/menganalisa masalah yang sering terjadi di lingkungan kerja. Selain

itu juga menjelaskan identifikasi masalah yang sudah di sebutkan dalam bab

sebelumnya. Pada Bab IV di bagian penutup penulis memberikan kesimpulan dan saran

terkait pencegahan gratifikasi pada Sekretariat Jenderal Komisi Pemilihan Umum,

Sekretariat Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Sekretariat Komisi Pemilihan Umum

kabupaten/kota.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Mengetahui arti dari suatu hal adalah penting, demikian halnya dengan gratifikasi yang

menjadi pokok bahasan karya tulis. Seiring dengan berkembangnya zaman yang diikuti

dengan perkembangan kejahatan, dahulu gratifikasi hanyalah berupa tindakan memberi

dan diberi yang tidak bertentangan dengan hukum, namun saat ini tindak gratifikasi

dimaknai sebagai tindakan yang melanggar hukum karena adanya suatu kepentingan

pribadi didalamnya. Awalnya, gratifikasi merupakan pemberian yang biasa diberikan dan

diterima masyarakat, namun kemudian berkembang menjadi suatu tindakan memberi dan

diberi yang bertentangan dengan kepentingan umum. Sehingga makna awal gratifikasi

yang bersifat sosial bergeser menjadi kegiatan terlarang dan menjadi suatu bentuk tindak

pidana. Sehingga gratifikasi dianggap bertentangan dengan rasa keadilan.

Berdasarkan pendapat Topo Santoso diatas, dapat diketahui awal mula terjadinya

gratifikasi, yang dimulai dari tindakan tidak melanggar norma, yakni hanya sebatas

kegiatan memberi dan diberi, namun kemudian gratifikasi dinilai bertentangan dengan nilai

keadilan karena berkembang menjadi tindakan yang berlatar belakang suatu kepentingan.

Kutipan ini mendukung penjelasan terkait tindak gratifikasi dalam pembahasan karya tulis.

Gratifikasi berasal dari kata gratificatie (dalam bahasa Belanda) ,yang sama sama memiliki

arti sebagai “hadiah”. (muncul di negara-negara Anglo Saxon dan Eropa kontinental).

Gratifikasi muncul karena sulitnya pembuktian mengenai suap (bribery). Penjelasan makna

gratifkasi dari segi bahasa diatas menegaskan arti dari gratifikasi itu sendiri, yakni sebagai

bentuk “hadiah”. Serta diketahui bahwa di negara-negara Anglo Saxon dan Eropa

4
kontinental, gratifikasi muncul karena sulitnya pembuktian terhadap tindak pidana suap.

Tinjauan pengertian gratifikasi dari segi bahasa diatas memperkuat dan mempertegas

analisa penulis terkait gratifikasi seksual di Indonesia, dengan meninjau gratifikasi secara

umum, dapat diketahui karakteristik, makna dan sifat dari tindak gratifikasi yang disebut

sebagai hadiah namun mengandung makna yang buruk dan tercela sebagaimana pada

tindak pidana korupsi. Sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi yang selama ini

banyak terjadi dalam birokrasi pegawai negeri dan penyelenggara Negara, selain

memahaminya dari segi bahasa, perlu ditinjau pula bagamaina hukum positif di Indonesia

mengatur dan memaknai tindak pidana gratifikasi itu sendiri. Yang mana hal ini dapat

ditinjau dari penjelasan pasal 12 B ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang

mengartikan gratifikasi sebagai: “Pemberian dalam arti luas yaitu meliputi pemberian

uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas

penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma - cuma dan fasilitas lainnya”

Berkaca dari tinjauan penjelasan pasal diatas, dapat diketahui bahwa dalam peraturan

hukum di Indonesia, khususnya undang-undang nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang

Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, gratifikasi

dimaknai secara luas dan cenderung tidak terbatas. Sehingga hal ini dapat menunjang

pembahasan penulis terkait gratifikasi seksual di Indonesia. Sejalan dengan makna

gratifikasi menurut Undang-undang yang tertuang dalam penjelasan pasal 12 B ayat (1)

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam Pasal 12 B mengatur secara khusus

dan menjadi dasar hukum tindak pidana gratifikasi yang berbunyi:

5
 Setiap Gratifikasi kepada pegawai negeri dan penyelenggara negara dianggap

pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan

kewajiban atau tugasnya dengan ketentuan sebagai berikut :

a. Yang nilainya Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian

bahwa gratifikasi tersebut bukn merupakan suap dilakukan oleh penerima

gratifikasi;

b. Yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) ,pembuktian

bahwa gratifikasi tersebut merupakan suap dilakukan oleh Penuntut Umum.

 Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4

(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun , dan pidana denda paling sedikit

Rp. 200.000.000 ( dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu

miliar rupiah).

Kutipan pasal diatas menegaskan bahwa tindak pidana gratfikasi yang diatur dalam

Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang- Undang Nomor

31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengandung unsur

pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban

atau tugas dari pegawai negeri dan penyelenggara negara. Sedangkan ayat selanjutnya

menegaskan tentang ancaman denda dan pidana penjara terhadapnya. Pasal ini

mendukung terjawabnya rumusan masalah pertama penulis terkait dengan pengaturan

gratifikasi menurut Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas

Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

6
Undang-undang 20 Tahun 2001 Jo. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mulai mengatur gratifikasi secara khusus untuk

pertama kalinya. Namun sebenarnya larangan terhadap menerima dan/atau memberi

hadiah sudah muncul sejak beberapa tahun lalu, hal ini dapat dilihat pada PERPU No. 24

Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi,

khususnya Pasal 17 yang dari pasal tersebut dapat diketahui bahwa PERPU No. 24 Tahun

1960 tidak mengatur larangan menerima hadiah, namun mengatur tentang larangan

memberi hadiah bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara. Hingga Undang-undang

Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, belum diatur

ketentuan mengenai larangan bagi pegawai negeri menerima hadiah atau janji. Barulah

pada Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31

Tahun 1999, menggunakan nomenklatur ‘gratifikasi’. Hal ini dimuat dalam Pasal 12 B

dan Pasal 12 C. Pasal 12 B menjabarkan rumusan pidana terhadap perbuatan gratifikasi

yang dikategorikan sebagai suap, sedangkan Pasal 12 C menjabarkan prosedur pelaporan

penerimaan gratifikasi. Tinjauan tentang pengaturan gratifikasi diatas mendukung

pembahasan untuk terjawabnya rumusan masalah penulis terkait dengan pengaturan

gratifikasi dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 Jo. Undang-undang Nomor 20

tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan menjelaskan awal

mula digunakannya nomenklatur gratifikasi dalam peraturan perundang-undangan di

Indonesia.

Ditinjau dari segi Filosofis, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Undang-undang

Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberikan

penjelasan umum bahwa maksud dari penyisipan pasal 12 B adalah bertujuan untuk

7
menghilangkan rasa ketidakadilan bagi pelaku tindak pidana korupsi dalam nilai korup

yang relatif kecil. Tinjauan dari segi filosofis diatas dapat menunjang pembahasan penulis

terkait pengaturan tindak pidana gratifikasi dalam peraturan perundangundangan di

Indonesia. Tinjauan ini memberikan penjelasan bahwa penyisipan pasal 12 B ini berperan

penting untuk menjadi salah satu pilar pemberantasan korupsi, khususnya dalam hal

gratifikasi. Sehingga diketahui pula maksud dan tujuan penyisipan pasal 12 B dalam

Undang-undang ini.

Ditinjau dari segi Sosiologis, adanya fenomena dalam masyarakat tentang masalah

pemberian hadiah, khususnya yang berkaitan dengan janji hubungan kerja, kedinasan,

karena jabatan atau kedudukan pegawai negeri yang dewasa ini telah menjadi masalah

sosial, maka dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi perlu mengatur mengenai gratifikasi yang dalam Undang-undang

Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebelumnya belum

diatur. Tinjauan dari segi sosiologis diatas dapat menunjang pembahasan penulis terkait

pengaturan tindak pidana gratifikasi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia

serta dasar pembenar pengaturan gratifikasis seksual dalam tindak pidana korupsi di

Indonesia. Dengan diketahuinya latar belakang dan tujuan diaturnya gratifikasi dalam

Undangundang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang sangat erat kaitannya dengan

fenomena dan masalah sosial dalam masyarakat.

Ditinjau dari segi Yuridis, Poin penting dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah disisipkannya beberapa pasal baru,

khususnya pasal 12 B yang mengatur secara khusus tentang gratifikasi yang dalam

8
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebelumnya belum diatur. Hal ini menunjukkan bahwa sifat hukum yang dinamis yang

oleh sebabnya pengaturan tentang gratifikasi haruslah selalu berkembang mengikuti

perilaku dan perkembangan kejahatan yang ada.

9
BAB III

PEMBAHASAN / ANALISA

Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2015 tentang Pengendalian

Gratifikasi di lingkungan Komisi Pemilihan Umum. Bahwa tujuan dari adanya Peraturan

Komisi Pemilihan Umum ini adalah untuk mencegah, mengendalikan peredaran gratifikasi

serta meningkatkan kesadaran baik Sekretariat maupun Komisioner KPU untuk bekerja

secara lebih transparan dan akuntabel. Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara

Pemilu sangat rentan terhadap pemberian gratifikasi terutama saat Tahapan Pemilu.

Dibutuhkan Ketegasan sikap dari penyelenggara untuk menolak pemberian gratifikasi ini.

Penyelenggaraan pemilu harus dilaksanakan dengan berintegritas, tugas itu perlu dilakukan

oleh semua pihak, tak hanya Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara. Untuk itu,

Komisi Pemilihan Umum dan Komisi Pemberantasan Korupsi akan melakukan langkah-

langkah bersama, guna mewujudkan pemilu yang bebas dari gratifikasi maupun praktek

korupsi. Percepatan pemberantasan korupsi bisa terjadi ketika sistem politik kita sudah

berintegritas, dan masyarakat sudah paham integritas. Komisi Pemilihan Umum percaya

bahwa penyelenggaraan pemilu berintegritas bukan hanya tugas penyelenggara pemilu,

tetapi menjadi tanggung jawab seluruh stake holder terkait. Dalam pemilu, tidak hanya

penyelenggara yang perlu integritas, karena penyelenggara hanya salah satu dari faktor-

faktor yang mendukung pemilu berintegritas. Ada tiga pihak yang harus berintegritas,

seperti bakal pasangan calon, masyarakat, dan penyelenggara. Untuk itu Komisi Pemilihan

Umum dan Komisi Pemberantasan Korupsi harus menggelar kegiatan induksi bakal

10
pasangan calon dan induksi penyelenggara pemilu yang bersih dan berintegritas, serta

deklarasi dan sosialisasi pemilu bersih berintegritas.

Dari berbagai jenis korupsi yang diatur dalam undang-undang, gratifikasi merupakan suatu

hal yang relatif baru dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia.

Gratifikasi diatur dalam Undang-undang No.20 tahun 2001 pasal 12B dalam penjelasan

pasal tersebut, gratifikasi didefinisikan sebagai suatu pemberian dalam arti luas, yakni

meliputi pemberian uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan,

fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya, yang

diterima di dalam negeri maupun yang di luar negeri dan yang dilakukan dengan

menggunakan sarana elektronika maupun tanpa sarana elektronika. Meskipun sudah

diterangkan di dalam undangundang, ternyata masih banyak masyarakat Indonesia yang

belum memahami definisi gratifikasi, bahkan para pakar pun masih memperdebatkan hal

ini. Dengan latar belakang rendahnya pemahaman masyarakat Indonesia atas gratifikasi

yang dianggap suap sebagai salah satu jenis tindak pidana korupsi. Gratifikasi dapat

diartikan positif atau negatif. Gratifikasi positif adalah pemberian hadiah dilakukan dengan

niat yang tulus dari seseorang kepada orang lain tanpa pamrih artinya pemberian dalam

bentuk “tanda kasih” tanpa mengharapkan balasan apapun. Gratifikasi negatif adalah

pemberian hadiah dilakukan dengan tujuan pamrih, pemberian jenis ini yang telah

membudaya dikalangan birokrat maupun pengusaha karena adanya interaksi kepentingan,

misalnya dalam mengurus pajak, seseorang memberikan uang tips pada salah satu petugas

agar pengurusan pajaknya dapat diurus dengan segera. Hal ini juga sangat merugikan bagi

orang lain dan perpektif dan nilai-nilai keadilan dalam hal ini terasa dikesampingkan hanya

karena kepentingan sesorang yang tidak taat pada tata cara yang telah ditetapkan. Dengan

11
demikian secara perspektif gratifikasi tidak selalu mempunyai arti jelek, namun harus

dilihat dari kepentingan gratifikasi. Di negara-negara maju, pemberian gratifikasi bagi

kalangan birokrat dilarang keras. Karena hal tersebut dapat mengakibatkan bocornya

keuangan negara yang diakibatkan dari pembuatan kebijakan ataupun keputusan yang

independen. Bahkan dikalangan swasta pun gratifikasi dilarang keras dan diberikan sanksi

yang tegas bagi pelanggarnya. Sehingga, pelarangan gratifikasi dalam ruang lingkup

Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggara sangat dilarang dapat menimbulkan rasa tidak

percaya di kalangan masyarat terhadap pihak penyelenggara dan Pasangan Calon terpilih.

Penerimaan gratifikasi yang di atur dalam PKPU Nomor 15 Tahun 2015 terdiri dari dua

hal penerimaan gratifikasi yang dianggap suap dan penerimaan gratifikasi yang tidak

dianggap suap. Penerimaan gratifikasi yang di anggap suap sebagaimana dimaksud dalam:

 Pengadaan barang dan jasa;

 Seluruh kegiatan tahapan Pemilu dan Pemilihan;

 Tugas penyusunan anggaran;

 Tugas pemeriksaan atau klarifikasi, audit, monitoring dan evaluasi;

 Pelaksanaan perjalanan dinas;

 Proses penerimaan, promosi, atau mutase pegawai sekretariat;

 Perjanjian Kerjasama, kontrak, atau kesepakatan dengan pihak lain;

 Pelaksanan pekerjaan yang terkait dengan jabatan;

 Proses komunikasi, negosiasi, dan pelaksanaan kegiatan dengan pihak lain terkait

dengan pelaksanaan tugas dan kewenangannya.

Penerimaan Gratifikasi Yang Tidak Dianggap Suap meliputi:

 Penerimaan Gratifikasi Dalam Kedinasan;

12
 Penerimaan Gratifikasi Tidak Terkait Kedinasan.

Penerimaan gartifikasi dalam kedinasan sebagaimana yang tidak wajib dilaporkan

meliputi :

 Seminar kit, plakat, vandal, goody bag/gimmick, souvenir, konsumsi/perjamuan

dan/atau barang lainnya yang diperoleh dari seminar, lokakarya, workshop,

konferensi, pelatihan atau kegiatan dinas lainnya sepanjang nilainya tidak melebihi

dari Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah);

 Kompensasi yang diterima terkait kegiatan Kedinasan, seperti honorarium,

transportasi, akomodasi dan pembiayaan serta materi seminar, simposium,

workshop, konferensi, pelatihan atau kegiatan lain sejenis yang telah ditetapkan

dalam standar biaya yang berlaku di instansi penerima Gratifikasi, sepanjang tidak

terdapat pembiayaan ganda, tidak terdapat benturan kepentingan atau melanggar

ketentuan yang berlaku di instansi penerima.

Penerimaan gratifikasi dalam kedinasan sebagaimana yang wajib di laporkan kepada

UPG meliputi :

 Seminar kit, plakat, vandal, goody bag/gimmick, souvenir, konsumsi/perjamuan

dan/atau barang lainnya yang diperoleh dari seminar, lokakarya, workshop,

konferensi, pelatihan atau kegiatan dinas lainnya yang nilainya melebihi dari

Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah);

 penerimaan honorarium, transportasi dan akomodasi yang melebihi dari standar

biaya yang berlaku atau telah dibiayai dari KPU.

Penerimaan Gratifikasi Yang Tidak Dianggap Suap dan Tidak Terkait Kedinasan

sebagaimana yang tidak wajib dilaporkan kepada UPG meliputi:

13
 Pemberian karena hubungan Keluarga Inti sepanjang tidak memiliki konflik

kepentingan;

 Hadiah dalam bentuk barang yang memiliki nilai jual dalam rangka pesta pernikahan,

kelahiran, aqiqah, baptis, khitanan, potong gigi atau upacara adat/agama lainnya

dengan batasan nilai per pemberian paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah)

per orang;

 Pemberian uang atau barang terkait musibah atau bencana yang dialami oleh

Penerima dan Keluarga Inti per pemberian paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta

rupiah) per orang;

 Pemberian sesama Pegawai Sekretariat dalam acara pisah sambut, pensiun, promosi

jabatan, dan ulang tahun yang tidak dalam bentuk uang atau setara uang per

pemberian paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) per orang;

 Kompensasi yang diperoleh atas profesi di luar kedinasan yang tidak terkait dengan

tugas pokok dan fungsi, tidak memiliki konflik kepentingan dan tidak melanggar

aturan internal di Lingkungan KPU, PPK, PPS, PPLN, KPPS, dan KPPSLN,

misalnya www.peraturan.go.id 2015, No.1695 -11- sebagai pembicara atas nama

pribadi dalam kegiatan di luar Lingkungan KPU;

 Keuntungan/manfaat yang berlaku umum bagi masyarakat atas penempatan dana

atau kepemilikan saham secara pribadi oleh setiap Jajaran KPU, PPK, PPS, PPLN,

KPPS, dan KPPSLN;

 Keuntungan dari undian, kontes, kompetisi yang dilakukan secara terbuka bagi

masyarakat dan diperoleh di luar rangkaian kegiatan kedinasan;

14
 Manfaat yang berlaku umum bagi seluruh anggota koperasi pegawai di Lingkungan

KPU berdasarkan keanggotaannya dalam koperasi pegawai negeri sipil;

 Sertifikat yang diperoleh dalam suatu pelatihan, seminar, lokakarya di luar rangkaian

kedinasan;

 Pemberian penghargaan hasil dari prestasi akademik maupun non akademik yang

diperoleh di luar rangkaian kegiatan kedinasan;

 Penerimaan parcel pada hari raya yang bukan berasal dari Pihak Ketiga yang

mempunyai hubungan dengan Jajaran KPU, PPK, PPS, PPLN, KPPS, dan KPPSLN;

dan l. pemberian sesama rekan kerja di Lingkungan KPU, PPK, PPS, PPLN, KPPS,

dan KPPSLN paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) per pemberian

per orang dengan total pemberian Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dalam satu tahun

dari pemberi yang sama.

Penerimaan Gratifikasi yang Tidak Dianggap Suap dan Tidak Terkait Dengan Kedinasan

sebagaimana yang wajib dilaporkan kepada UPG meliputi:

 Pemberian pihak ketiga, sesama rekan kerja di Lingkungan KPU, PPK, PPS, PPLN,

KPPS, dan KPPSLN terkait hadiah dalam bentuk uang, barang dan jasa yang

memiliki nilai jual dalam rangka pesta pernikahan, kelahiran, aqiqah, baptis,

khitanan, potong gigi atau upacara adat/agama lainnya dengan batasan nilai melebihi

Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per orang;

 Pemberian uang atau barang terkait musibah atau bencana yang dialami oleh

Penerima dan Keluarga Inti per pemberian melebihi Rp1.000.000,00 (satu juta

rupiah) per orang;

15
 Pemberian sesama Pegawai Sekretariat dalam acara pisah sambut, pensiun, promosi

jabatan, dan ulang tahun yang tidak dalam bentuk uang atau setara uang per

pemberian paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) per orang;

 Pemberian sesama rekan kerja di Lingkungan KPU, PPK, PPS, PPLN, KPPS, dan

KPPSLN paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) per pemberian per

orang dengan total pemberian Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dalam satu tahun

dari pemberi yang sama;

 Penerimaan hadiah yang ada kaitannya dengan peningkatan prestasi kerja, baik yang

diberikan oleh pemerintah maupun pihak mitra dengan kesepakatan maupun

persetujuan tertulis melebihi Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).

Prosedur penanganan laporan Gratifikasi meliputi:

 Penerima dan Penolak Gratifikasi harus melaporkan kepada Unit Pengendali

Gratifikasi paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal penerimaan atau

penolakan Gratifikasi;

 Unit Pengendali Gratifikasi melakukan reviu laporan penerimaan atau penolakan

Gratifikasi dan menyampaikan usulan penanganan laporan Gratifikasi kepada

Sekretaris Jenderal KPU paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak laporan penerimaan

atau penolakan Gratifikasi diterima;

 Unit Pengendali Gratifikasi melalui Sekretaris Jenderal KPU menyampaikan kepada

Komisi Pemberantasan Korupsi:

1) Lembar Penyerahan Penanganan Atas Pelaporan Penerimaan Gratifikasi dan

Lembar Rekapitulasi Penanganan;

16
2) Tindak Lanjut Pelaporan Penerimaan yang dikelola Unit Pengendali

Gratifikasi setiap bulan.

 Sekretaris Jenderal KPU menyampaikan hasil reviu laporan penerimaan atau

penolakan Gratifikasi, dan usulan Unit Pengendali Gratifikasi kepada Komisi

Pemberantasan Korupsi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal penerimaan

laporan.

Unit Pengendali Gratifikasi menyampaikan kepada Sekretaris Jenderal KPU secara

berkala setiap 3 (tiga) bulan:

 Laporan Rekapitulasi Penanganan;

 Tindak lanjut pelaporan penerimaan, penolakan, dan pemberian Gratifikasi .

Inspektorat Sekretariat Jenderal KPU menyampaikan laporan pengendalian Gratifikasi

terkait proses audit/pemeriksaan yang menjadi tugas fungsinya kepada Sekretaris

Jenderal KPU secara berkala setiap 6 (enam) bulan.

17
BAB IV

PENUTUPAN

A. Kesimpulan

Penulis dapat menyimpulkan dari keseluruhan karya tulis yang telah di jelaskan dan di

uraikan mengenai pencegahan gratifikasi pada bab sebelumnya bahwa suatu gratifikasi

atau pemberian hadiah berubah menjadi suatu yang perbuatan pidana suap khususnya

pada seorang Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri adalah pada saat

Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri tersebut melakukan tindakan menerima

suatu gratifikasi atau pemberian hadiah dari pihak manapun sepanjang pemberian

tersebut diberikan berhubungan dengan jabatan ataupun pekerjaannya. Pedoman ini

ditetapkan sebagaimana pedoman bagi seluruh penyelenggara negara dan pegawai di

lingkungan Komisi Pemilihan Umum dalam menangani situasi benturan kepentingan di

lingkungan Komisi Pemilihan Umum, sehingga pelayanan public dan penyelenggaraan

negara dapat terlaksana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

B. Sarana

Sebagai rangkaian efektifitas karya tulis ini, penuis akan menyampaikan saran yang

kiranya dapat memberikan kontribusi pemikiran, yaitu sebagai berikut:

 Masyarakat adalah bagian terpenting dari negara yang menggunakan system

demokrasi karna dianggap masyarakatlah ketentuan itu diperoleh. Oleh sebab itu

sangatlah penting bagi masyarakat luas agar memahami apa itu tindak pidana

korupsi yang bukan hanya sebuah tindakan yang merugikan keuangan negara saja,

tetapi korupsi merupakan kumpulan tindak pidana, salah satunya adalah

18
garatifikasi. Karena perbuatan gratifikasi ini dapat mengganggu penyelenggaraan

negara yang bersih dan dapat merugikan keuangan masyarakat pada umumnya.

Sehingga masyarakat ikut berpartisipasi dalam pemberantasannya tersebut dengan

melaporkannya kepada KPK.

 Institusi pengadilan, semakin banyaknya kasus tindak pidana gratifikasi yang

terjadi diharapkan kontribusi dari pengadilan terkait penyelesaian kasus dan

pemberian hukuman atau sanksi agar memiliki efek jerah terhadap pelaku agar tidak

mengulanginya lagi.

 Pemerintah diharapkan dalam penyelenggaraan negara yang bersih pemerintah atau

pejabat negara haruslah memiliki kinerja yang baik dan juga jujur dalam

menjalankan amanah dari masyarakat, sehingga kasus garatifikasi tidak terjadi juga

agar kesejahteraan rakyat dapat terpenuhi.

19

Anda mungkin juga menyukai