Nip : 198810022019031009
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami panjatkan
puji syukur atas kehadirat-nya, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada kami,
Adapun karya tulis tentang pencegahan gratifikasi ini telah kami usahakan semaksimal mungkin
dan tentunya dengan bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar pembuatan karya tulis
ini. Untuk itu saya tidak lupa menyampaikan banyak terimakasih kepada semua pihak yanga telah
Nmaun, tidak lepas dari semua itu saya menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik dari
segi penyusunan Bahasa maupun yang lainnya. Oleh karena itu, dengan lapang dada dan tangan
terbuka saya membuka selebar-lebarnya bagi pembaca yang ingin memberikan saran dan kritik
kepada saya sehingga saya dapat memperbaiki karya tulis pencegahan gratifikasi ini.
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................... 1
C. Metode penulisan................................................................................................... 2
D. Sistematika penulisan............................................................................................ 2
A. Kesimpulan ................................................................................................................. 18
B. Saran ........................................................................................................................... 18
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Salah satu faktor pendorong terjadinya tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme
yaitu adanya benturan kepentingan (conflict of interest). Benturan kepentingan ini terjadi
sedang dibangun, sehingga mengakibatkan adanya suatu kebijakan atau keputusan yang
diterima masyarakat, serta menghasilkan kebijakan yang tidak efektif dan efisien.
Pemilihan Umum, terkait perilaku dan potensi benturan kepentingan masih belum
memperkuat tata kelola pemerintahan yang bersih dan baik, serta bebas dari korupsi,
kolusi, dan nepotisme. Berdasarkan uraian tersebut, perlu adanya suatu pedoman
1
penanganan benturan kepentingan di lingkungan Komisi Pemilihan Umum yang wajib
B. Identifikasi Masalah
C. Metode Penulisan
Metode penulisan yang di pakai dalam penulisan karya tulis tentang upaya pencegahan
Metode kualitatif adalah kebalikan dari metode kuantitatif. Hasil dari metode ini adalah
Metode penelitian deskriptif dilakukan dengan membuat gambaran keadaan suatu subjek
atau objek dengan rinci. Deskripsi difokuskan pada masalah yang akan dibahas.
semakin akurat.
D. Sistematika Penulisan
Pada sistematika penulisan karya tulis yang bertemakan upaya pencegahan gratifikasi
2
Umum Provinsi dan Sekretariat Komisi Pemilihan Umum kabupaten/kota pada Bab I di
latar belakangi salah satu faktor pendorong terjadinya tindak pidana korupsi, kolusi, dan
nepotisme yaitu adanya benturan kepentingan. Maka dari pada itu perlu adanya suatu
yang wajib dipatuhi oleh seluruh penyelenggara negara di lingkungan Komisi Pemilihan
Umum. Adapun identifikasi masalah terkait mengapa gratifikasi sangat dilarang dalam
cara pelaporan gratifikasi. Dalam penulisan karyaa tulis ini metode yang di gunakan ada
dua yaitu metode kualitatif dan metode penelitian deskriptif. Pada Bab II menjelaskan
tentang pengertian gratifikasi yang menjadi pokok pada bahasan karya tulis dan ada
pun kutipan narasumber sekaligus penulis buku dan peraturan undang-undang. Pada
Bab III membahaas/menganalisa masalah yang sering terjadi di lingkungan kerja. Selain
itu juga menjelaskan identifikasi masalah yang sudah di sebutkan dalam bab
sebelumnya. Pada Bab IV di bagian penutup penulis memberikan kesimpulan dan saran
Sekretariat Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Sekretariat Komisi Pemilihan Umum
kabupaten/kota.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Mengetahui arti dari suatu hal adalah penting, demikian halnya dengan gratifikasi yang
menjadi pokok bahasan karya tulis. Seiring dengan berkembangnya zaman yang diikuti
dan diberi yang tidak bertentangan dengan hukum, namun saat ini tindak gratifikasi
dimaknai sebagai tindakan yang melanggar hukum karena adanya suatu kepentingan
pribadi didalamnya. Awalnya, gratifikasi merupakan pemberian yang biasa diberikan dan
diterima masyarakat, namun kemudian berkembang menjadi suatu tindakan memberi dan
diberi yang bertentangan dengan kepentingan umum. Sehingga makna awal gratifikasi
yang bersifat sosial bergeser menjadi kegiatan terlarang dan menjadi suatu bentuk tindak
Berdasarkan pendapat Topo Santoso diatas, dapat diketahui awal mula terjadinya
gratifikasi, yang dimulai dari tindakan tidak melanggar norma, yakni hanya sebatas
kegiatan memberi dan diberi, namun kemudian gratifikasi dinilai bertentangan dengan nilai
keadilan karena berkembang menjadi tindakan yang berlatar belakang suatu kepentingan.
Kutipan ini mendukung penjelasan terkait tindak gratifikasi dalam pembahasan karya tulis.
Gratifikasi berasal dari kata gratificatie (dalam bahasa Belanda) ,yang sama sama memiliki
arti sebagai “hadiah”. (muncul di negara-negara Anglo Saxon dan Eropa kontinental).
Gratifikasi muncul karena sulitnya pembuktian mengenai suap (bribery). Penjelasan makna
gratifkasi dari segi bahasa diatas menegaskan arti dari gratifikasi itu sendiri, yakni sebagai
bentuk “hadiah”. Serta diketahui bahwa di negara-negara Anglo Saxon dan Eropa
4
kontinental, gratifikasi muncul karena sulitnya pembuktian terhadap tindak pidana suap.
Tinjauan pengertian gratifikasi dari segi bahasa diatas memperkuat dan mempertegas
analisa penulis terkait gratifikasi seksual di Indonesia, dengan meninjau gratifikasi secara
umum, dapat diketahui karakteristik, makna dan sifat dari tindak gratifikasi yang disebut
sebagai hadiah namun mengandung makna yang buruk dan tercela sebagaimana pada
tindak pidana korupsi. Sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi yang selama ini
banyak terjadi dalam birokrasi pegawai negeri dan penyelenggara Negara, selain
memahaminya dari segi bahasa, perlu ditinjau pula bagamaina hukum positif di Indonesia
mengatur dan memaknai tindak pidana gratifikasi itu sendiri. Yang mana hal ini dapat
ditinjau dari penjelasan pasal 12 B ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang
mengartikan gratifikasi sebagai: “Pemberian dalam arti luas yaitu meliputi pemberian
uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
Berkaca dari tinjauan penjelasan pasal diatas, dapat diketahui bahwa dalam peraturan
dimaknai secara luas dan cenderung tidak terbatas. Sehingga hal ini dapat menunjang
gratifikasi menurut Undang-undang yang tertuang dalam penjelasan pasal 12 B ayat (1)
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam Pasal 12 B mengatur secara khusus
5
Setiap Gratifikasi kepada pegawai negeri dan penyelenggara negara dianggap
pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan
a. Yang nilainya Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian
gratifikasi;
b. Yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) ,pembuktian
Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun , dan pidana denda paling sedikit
Rp. 200.000.000 ( dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu
miliar rupiah).
Kutipan pasal diatas menegaskan bahwa tindak pidana gratfikasi yang diatur dalam
Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang- Undang Nomor
pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban
atau tugas dari pegawai negeri dan penyelenggara negara. Sedangkan ayat selanjutnya
menegaskan tentang ancaman denda dan pidana penjara terhadapnya. Pasal ini
gratifikasi menurut Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas
Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
6
Undang-undang 20 Tahun 2001 Jo. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mulai mengatur gratifikasi secara khusus untuk
hadiah sudah muncul sejak beberapa tahun lalu, hal ini dapat dilihat pada PERPU No. 24
Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi,
khususnya Pasal 17 yang dari pasal tersebut dapat diketahui bahwa PERPU No. 24 Tahun
1960 tidak mengatur larangan menerima hadiah, namun mengatur tentang larangan
memberi hadiah bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara. Hingga Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, belum diatur
ketentuan mengenai larangan bagi pegawai negeri menerima hadiah atau janji. Barulah
pada Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31
Tahun 1999, menggunakan nomenklatur ‘gratifikasi’. Hal ini dimuat dalam Pasal 12 B
tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan menjelaskan awal
Indonesia.
Ditinjau dari segi Filosofis, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Undang-undang
penjelasan umum bahwa maksud dari penyisipan pasal 12 B adalah bertujuan untuk
7
menghilangkan rasa ketidakadilan bagi pelaku tindak pidana korupsi dalam nilai korup
yang relatif kecil. Tinjauan dari segi filosofis diatas dapat menunjang pembahasan penulis
Indonesia. Tinjauan ini memberikan penjelasan bahwa penyisipan pasal 12 B ini berperan
penting untuk menjadi salah satu pilar pemberantasan korupsi, khususnya dalam hal
gratifikasi. Sehingga diketahui pula maksud dan tujuan penyisipan pasal 12 B dalam
Undang-undang ini.
Ditinjau dari segi Sosiologis, adanya fenomena dalam masyarakat tentang masalah
pemberian hadiah, khususnya yang berkaitan dengan janji hubungan kerja, kedinasan,
karena jabatan atau kedudukan pegawai negeri yang dewasa ini telah menjadi masalah
Tindak Pidana Korupsi perlu mengatur mengenai gratifikasi yang dalam Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebelumnya belum
diatur. Tinjauan dari segi sosiologis diatas dapat menunjang pembahasan penulis terkait
serta dasar pembenar pengaturan gratifikasis seksual dalam tindak pidana korupsi di
Indonesia. Dengan diketahuinya latar belakang dan tujuan diaturnya gratifikasi dalam
Undangundang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang sangat erat kaitannya dengan
Ditinjau dari segi Yuridis, Poin penting dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah disisipkannya beberapa pasal baru,
khususnya pasal 12 B yang mengatur secara khusus tentang gratifikasi yang dalam
8
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebelumnya belum diatur. Hal ini menunjukkan bahwa sifat hukum yang dinamis yang
9
BAB III
PEMBAHASAN / ANALISA
Gratifikasi di lingkungan Komisi Pemilihan Umum. Bahwa tujuan dari adanya Peraturan
Komisi Pemilihan Umum ini adalah untuk mencegah, mengendalikan peredaran gratifikasi
serta meningkatkan kesadaran baik Sekretariat maupun Komisioner KPU untuk bekerja
secara lebih transparan dan akuntabel. Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara
Pemilu sangat rentan terhadap pemberian gratifikasi terutama saat Tahapan Pemilu.
Dibutuhkan Ketegasan sikap dari penyelenggara untuk menolak pemberian gratifikasi ini.
Penyelenggaraan pemilu harus dilaksanakan dengan berintegritas, tugas itu perlu dilakukan
oleh semua pihak, tak hanya Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara. Untuk itu,
Komisi Pemilihan Umum dan Komisi Pemberantasan Korupsi akan melakukan langkah-
langkah bersama, guna mewujudkan pemilu yang bebas dari gratifikasi maupun praktek
korupsi. Percepatan pemberantasan korupsi bisa terjadi ketika sistem politik kita sudah
berintegritas, dan masyarakat sudah paham integritas. Komisi Pemilihan Umum percaya
tetapi menjadi tanggung jawab seluruh stake holder terkait. Dalam pemilu, tidak hanya
penyelenggara yang perlu integritas, karena penyelenggara hanya salah satu dari faktor-
faktor yang mendukung pemilu berintegritas. Ada tiga pihak yang harus berintegritas,
seperti bakal pasangan calon, masyarakat, dan penyelenggara. Untuk itu Komisi Pemilihan
Umum dan Komisi Pemberantasan Korupsi harus menggelar kegiatan induksi bakal
10
pasangan calon dan induksi penyelenggara pemilu yang bersih dan berintegritas, serta
Dari berbagai jenis korupsi yang diatur dalam undang-undang, gratifikasi merupakan suatu
hal yang relatif baru dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia.
Gratifikasi diatur dalam Undang-undang No.20 tahun 2001 pasal 12B dalam penjelasan
pasal tersebut, gratifikasi didefinisikan sebagai suatu pemberian dalam arti luas, yakni
meliputi pemberian uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan,
fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya, yang
diterima di dalam negeri maupun yang di luar negeri dan yang dilakukan dengan
belum memahami definisi gratifikasi, bahkan para pakar pun masih memperdebatkan hal
ini. Dengan latar belakang rendahnya pemahaman masyarakat Indonesia atas gratifikasi
yang dianggap suap sebagai salah satu jenis tindak pidana korupsi. Gratifikasi dapat
diartikan positif atau negatif. Gratifikasi positif adalah pemberian hadiah dilakukan dengan
niat yang tulus dari seseorang kepada orang lain tanpa pamrih artinya pemberian dalam
bentuk “tanda kasih” tanpa mengharapkan balasan apapun. Gratifikasi negatif adalah
pemberian hadiah dilakukan dengan tujuan pamrih, pemberian jenis ini yang telah
misalnya dalam mengurus pajak, seseorang memberikan uang tips pada salah satu petugas
agar pengurusan pajaknya dapat diurus dengan segera. Hal ini juga sangat merugikan bagi
orang lain dan perpektif dan nilai-nilai keadilan dalam hal ini terasa dikesampingkan hanya
karena kepentingan sesorang yang tidak taat pada tata cara yang telah ditetapkan. Dengan
11
demikian secara perspektif gratifikasi tidak selalu mempunyai arti jelek, namun harus
kalangan birokrat dilarang keras. Karena hal tersebut dapat mengakibatkan bocornya
keuangan negara yang diakibatkan dari pembuatan kebijakan ataupun keputusan yang
independen. Bahkan dikalangan swasta pun gratifikasi dilarang keras dan diberikan sanksi
yang tegas bagi pelanggarnya. Sehingga, pelarangan gratifikasi dalam ruang lingkup
percaya di kalangan masyarat terhadap pihak penyelenggara dan Pasangan Calon terpilih.
Penerimaan gratifikasi yang di atur dalam PKPU Nomor 15 Tahun 2015 terdiri dari dua
hal penerimaan gratifikasi yang dianggap suap dan penerimaan gratifikasi yang tidak
dianggap suap. Penerimaan gratifikasi yang di anggap suap sebagaimana dimaksud dalam:
Proses komunikasi, negosiasi, dan pelaksanaan kegiatan dengan pihak lain terkait
12
Penerimaan Gratifikasi Tidak Terkait Kedinasan.
meliputi :
konferensi, pelatihan atau kegiatan dinas lainnya sepanjang nilainya tidak melebihi
workshop, konferensi, pelatihan atau kegiatan lain sejenis yang telah ditetapkan
dalam standar biaya yang berlaku di instansi penerima Gratifikasi, sepanjang tidak
UPG meliputi :
konferensi, pelatihan atau kegiatan dinas lainnya yang nilainya melebihi dari
Penerimaan Gratifikasi Yang Tidak Dianggap Suap dan Tidak Terkait Kedinasan
13
Pemberian karena hubungan Keluarga Inti sepanjang tidak memiliki konflik
kepentingan;
Hadiah dalam bentuk barang yang memiliki nilai jual dalam rangka pesta pernikahan,
kelahiran, aqiqah, baptis, khitanan, potong gigi atau upacara adat/agama lainnya
dengan batasan nilai per pemberian paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah)
per orang;
Pemberian uang atau barang terkait musibah atau bencana yang dialami oleh
Penerima dan Keluarga Inti per pemberian paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta
Pemberian sesama Pegawai Sekretariat dalam acara pisah sambut, pensiun, promosi
jabatan, dan ulang tahun yang tidak dalam bentuk uang atau setara uang per
pemberian paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) per orang;
Kompensasi yang diperoleh atas profesi di luar kedinasan yang tidak terkait dengan
tugas pokok dan fungsi, tidak memiliki konflik kepentingan dan tidak melanggar
aturan internal di Lingkungan KPU, PPK, PPS, PPLN, KPPS, dan KPPSLN,
atau kepemilikan saham secara pribadi oleh setiap Jajaran KPU, PPK, PPS, PPLN,
Keuntungan dari undian, kontes, kompetisi yang dilakukan secara terbuka bagi
14
Manfaat yang berlaku umum bagi seluruh anggota koperasi pegawai di Lingkungan
Sertifikat yang diperoleh dalam suatu pelatihan, seminar, lokakarya di luar rangkaian
kedinasan;
Pemberian penghargaan hasil dari prestasi akademik maupun non akademik yang
Penerimaan parcel pada hari raya yang bukan berasal dari Pihak Ketiga yang
mempunyai hubungan dengan Jajaran KPU, PPK, PPS, PPLN, KPPS, dan KPPSLN;
dan l. pemberian sesama rekan kerja di Lingkungan KPU, PPK, PPS, PPLN, KPPS,
dan KPPSLN paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) per pemberian
per orang dengan total pemberian Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dalam satu tahun
Penerimaan Gratifikasi yang Tidak Dianggap Suap dan Tidak Terkait Dengan Kedinasan
Pemberian pihak ketiga, sesama rekan kerja di Lingkungan KPU, PPK, PPS, PPLN,
KPPS, dan KPPSLN terkait hadiah dalam bentuk uang, barang dan jasa yang
memiliki nilai jual dalam rangka pesta pernikahan, kelahiran, aqiqah, baptis,
khitanan, potong gigi atau upacara adat/agama lainnya dengan batasan nilai melebihi
Pemberian uang atau barang terkait musibah atau bencana yang dialami oleh
Penerima dan Keluarga Inti per pemberian melebihi Rp1.000.000,00 (satu juta
15
Pemberian sesama Pegawai Sekretariat dalam acara pisah sambut, pensiun, promosi
jabatan, dan ulang tahun yang tidak dalam bentuk uang atau setara uang per
pemberian paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) per orang;
Pemberian sesama rekan kerja di Lingkungan KPU, PPK, PPS, PPLN, KPPS, dan
KPPSLN paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) per pemberian per
orang dengan total pemberian Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dalam satu tahun
Penerimaan hadiah yang ada kaitannya dengan peningkatan prestasi kerja, baik yang
Gratifikasi paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal penerimaan atau
penolakan Gratifikasi;
Sekretaris Jenderal KPU paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak laporan penerimaan
16
2) Tindak Lanjut Pelaporan Penerimaan yang dikelola Unit Pengendali
Pemberantasan Korupsi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal penerimaan
laporan.
17
BAB IV
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Penulis dapat menyimpulkan dari keseluruhan karya tulis yang telah di jelaskan dan di
uraikan mengenai pencegahan gratifikasi pada bab sebelumnya bahwa suatu gratifikasi
atau pemberian hadiah berubah menjadi suatu yang perbuatan pidana suap khususnya
pada seorang Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri adalah pada saat
suatu gratifikasi atau pemberian hadiah dari pihak manapun sepanjang pemberian
B. Sarana
Sebagai rangkaian efektifitas karya tulis ini, penuis akan menyampaikan saran yang
demokrasi karna dianggap masyarakatlah ketentuan itu diperoleh. Oleh sebab itu
sangatlah penting bagi masyarakat luas agar memahami apa itu tindak pidana
korupsi yang bukan hanya sebuah tindakan yang merugikan keuangan negara saja,
18
garatifikasi. Karena perbuatan gratifikasi ini dapat mengganggu penyelenggaraan
negara yang bersih dan dapat merugikan keuangan masyarakat pada umumnya.
pemberian hukuman atau sanksi agar memiliki efek jerah terhadap pelaku agar tidak
mengulanginya lagi.
pejabat negara haruslah memiliki kinerja yang baik dan juga jujur dalam
menjalankan amanah dari masyarakat, sehingga kasus garatifikasi tidak terjadi juga
19