Anda di halaman 1dari 14

OPINI POPULAR

TENTANG ISU-ISU GENDER TERKINI

Disusun sebagai tugas mata kuliah Sosiologi Gender

Dosen Pengampu:
Nila Kusuma, S.Pd., M.Sosio

Disusun Oleh:
Nama : Puan Asni Yulianti
NIM : L1C020078
Prodi/Kelas : Sosiologi/Sosiologi B

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MATARAM
2021

i
DAFTAR ISI

HALAMAN COVER....................................................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................................................... ii

I. KETIDAKSETARAAN GENDER ............................................................................................. 4

II. KEMENTERIAN KEUANGAN MEMBAHAS TENTANG PERMASALAHAN GENDER


DAN KAITANNYA TERHADAP EKONOMI DI INDONESIA ................................................. 7

III. PEREMPUAN DAN JURNALISME ..................................................................................... 10

IV. GITA SAVITRI BEROPINI TENTANG PEREMPUAN KORBAN SEKSISME ............... 11

V. MENYIKAPI ISU KETIDAKSETARAAN GENDER .......................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 14

ii
iii
I. KETIDAKSETARAAN GENDER
Salah satu isu yang semakin gencar diperbincangkan akhir-akhir ini adalah isu kesetaraan
antara laki-laki dan perempuan atau dengan istilah lain isu kesetaraan gender. Pemaknaan
terhadap istilah kesetaraan gender ini khususnya mengenai masalah ketimpangan antara keadaan
dan kedudukan perempuan dan laki-laki di masyarakat. Perempuan memiliki kesempatan yang
terbatas jika dibandingkan dengan laki-laki yang dapat berperan aktif dalam berbagai
program dan aktivitas lainnya di masyarakat, seperti kegiatan ekonomi, sosial-budaya,
pendidikan, dan organisasi. Keterbatasan ini berasal dari berbagai nilai dan norma yang berlaku
di masyarakat sehingga membatasi ruang gerak perempuan dibandingkan gerak laki-laki.
Oleh karenanya, pada artikel ini akan disajikan berbagai opini popular tentang isu-isu gender
terkini di Indonesia agar dapat menambah khazah pengetahuan sosiologis terkait dengan
permasalahan gender di Indonesia.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyatakan kesetaraan


antara perempuan dan lelaki masih menjadi pekerjaan rumah untuk diselesaikan. Rohika
Kurniadi Sari, Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan, Keluarga, dan
Lingkungan di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan, menyampaikan bahwa
sampai saat ini masih banyak hal-hal yang belum setara antara kaum hawa dengan kaum adam.

"Mulai dari kekerasan, satu dari tiga perempuan mengalami kekerasan. Juga masih
banyak perkawinan anak, tingginya angka perceraian," kata Rohika, dalam diskusi menyambut
hari Perempuan Internasional yang digelar di Jakarta.

Rohika menegaskan kesetaraan antara perempuan dan lelaki tersebut perlu dibangun
mulai dari keluarga. Isu perkawinan anak menjadi sangat penting dalam hal kesetaraan karena
banyak yang menganggap anak perempuan hanya sebagai aset dan tidak mempunyai kontrol atas
dirinya sendiri. Dia menjelaskan untuk membangun kesetaraan antara perempuan dan lelaki
dalam keluarga dimulai dengan kesetaraan dalam pendidikan. Masih banyak, lanjutnya, yang
beranggapan anak perempuan tidak boleh mengejar pendidikan yang lebih tinggi. Kemudian
kesetaraan dalam bidang kesehatan dan kesetaraan dalam hal berpendapat.

Menurut Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Dewi Kartika, krisis pangan
yang terjadi karena ada persoalan di sektor hulu, yakni hak atas tanah yang semakin terancam.

4
Terutama bagi komunitas-komunitas petani, petani perempuan, perempuan masyarakat adat.
Mereka selama ini berupaya untuk bisa berdaulat secara pangan agar tidak bergantung pada
produk impor. "Di tahun 2019 saja, KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) mencatat ada 279
konflik agraria yang dihadapi oleh 109.042 kepala keluarga. Jadi bisa dibayangkan, konflik
agraria itu dampaknya tidak hanya kepada petani laki-laki saja, tetapi juga perempuan petani,
termasuk perempuan masyarakat adat," tutur Dewi.

Data di Konsorsium Pembaruan Agraria menunjukkan sepanjang 2017-2019 terjadi


kriminalisasi di wilayah-wilayah konflik agraria. Selama tiga tahun tersebut, terjadi 843 kasus
kriminalisasi dan yang dialami oleh perempuan karena memperjuangkan hak atas tanahnya ada
23 korban. Selain itu, dari 569 kasus penganiayaan, 74 perempuan menjadi korban penganiayaan
karena berjuang memperoleh hak atas tanah mereka. Karena itulah, lanjut Dewi, isu kesetaraan
gender dalam hak atas tanah bagi perempuan sangat penting untuk mendorong pemenuhan hak
perempuan terhadap pangan.

Terdapat beberapa contoh ketimpangan atau ketidakadilan gender di dalam masyarakat


Indonesia yang perlu untuk diketahui agar dapat meminimalisir permasalahan gender dan
mendorong keadilan atau kesetaraan gender. Beberapa contoh ketidakadilan gender sebagai
berikut :

 Subordinasi atau menomorduakan perempuan

Memprioritaskan penyerahan jabatan kepada seorang laki-laki daripada perempuan yang juga
memiliki kapabilitas yang sama adalah salah satu contoh ketidakadilan. Tidak hanya
menomorduakan, pandangan superioritas terhadap laki-laki untuk sebuah jabatan tertentu harus
diubah. Kemampuan kecerdasan bekerja tidak ditentukan oleh jenis kelamin, melainkan
ditentukan oleh kapasitas dan kesanggupannya memikul tanggung jawab.

 Stigma negatif yang melekat

Banyak stigma atau label yang melekat pada diri kita karena konstruksi sosial di masyarakat.
Misalkan saja, perempuan harus bekerja pada ranah domestik, sedangkan laki-laki pada sektor
publik. Anak laki-laki yang mudah menangis dianggap sebagai laki-laki yang lemah atau
cengeng, bukannya dianggap sebagai ungkapan emosi yang wajar. Anak perempuan sudah

5
sewajarnya mudah menangis dan harus selalu diberi kelembutan dan pengistimewaan. Padahal
pandangan seperti itu adalah salah karena menggeneralisasikan satu sifat tertentu kepada
perempuan dan laki-laki. Pandangan atau label yang diberikan selama ini harus diubah dan
membutuhkan pendewasaan untuk tatanan gender yang baik di masyarakat.

 Perlakuan tindak kekerasan

Banyak kasus yang tercatat bahwa perempuan sering dijadikan objek kekerasan oleh laki-laki
yang tidak bertanggung jawab. Tindakan tersebut terjadi karena masih ada anggapan kuasa dan
superioritas laki-laki terhadap perempuan. Sudah demikian, korban kekerasan jika melawan
malah dianggap berdusta, mencemarkan nama baik, dan hanya sekedar mencari sensasi. Apabila
tidak menaati perintah laki-laki atau suami malah dikatakan durhaka, dan melanggar perintah
agama.

 Beban ganda yang dipaksa

Telah menjadi hal yang lumrah jika di dalam ranah rumah tangga, perempuan yang berkarier
di luar harus mengurus urusan domestik juga tanpa bantuan siapapun. Hal tersebut merupakan
suatu kesalahan yang mengharuskan perempuan menanggung beban atau peran ganda di dalam
rumah tangga. Pembagian kerja tanpa kesepakatan seperti ini masih sering dialamatkan kepada
perempuan sebagai korbannya. Bukannya malah saling membantu, ada pula laki-laki atau suami
yang tidak membantu urusan rumah tangganya sendiri. Sedangkan laki-laki tersebut bisa jadi
tidak banyak bekerja dan hanya bersantai saja.

 Marginalisasi terhadap perempuan

Proses atau perlakuan penyisihan seseorang khususnya karena perbedaan jenis kelamin masih
cukup sering terjadi. Kurangnya pemahaman seksualitas khususnya pada sistem reproduksi kerap
menjadi penyebab utamanya. Misalkan ketika seorang buruh pabrik perempuan hamil atau
melahirkan, jika mereka izin tidak masuk bekerja akan terancam pemotongan gaji atau bahkan
pemutusan hubungan kerja. Masih terdapat juga anggapan bahwa suatu profesi yang dilakoni
perempuan adalah lebih cocok yang berjabatan rendah dan tidak terlalu tinggi. Alasan pandangan
tersebut adalah laki-laki akan menjadi tersingkirkan dan merasa direndahkan pula. Padahal akar
permasalahannya telah salah sehingga menjadi penyebab kuatnya budaya patriarki.

6
II. KEMENTERIAN KEUANGAN MEMBAHAS TENTANG PERMASALAHAN
GENDER DAN KAITANNYA TERHADAP EKONOMI DI INDONESIA

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengatakan dalam menggerakkan roda perekonomian,


selain adanya masalah demografi, tantangan lainnya yang dihadapi adalah belum tercapainya
gender equality atau kesetaraan gender. Kementerian Keuangan menyebutkan kesetaraan gender
merupakan faktor penting untuk dapat mencapai pertumbuhan sosial, politik, dan ekonomi yang
berkelanjutan (sustainable development), mengingat hampir 50% dari populasi penduduk adalah
perempuan.

"Keberadaan perempuan penting dan harus diperhitungkan untuk mencapai pembangunan


berkelanjutan. Dengan peningkatan peran perempuan, keberhasilan pembangunan akan terlihat
dari peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan di berbagai bidang pembangunan seperti
pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan politik," ujar Kementerian Keuangan dalam laporan KEM-
PPKF 2021 yang dikutip CNBC Indonesia, Rabu (1/7/2020). Untuk diketahui, Kesetaraan dan
keadilan gender merupakan komitmen yang disepakati negara-negara Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) sebagai salah satu butir dalam Sustainable Development Goals (SDGs).

Kementerian Keuangan mencatat, penduduk miskin menurut jenis kelamin paling banyak
berasal dari perempuan atau mencapai 12,8 juta orang. Sementara laki-laki mencapai 12,3 juta
orang. Ketidaksetaraan gender, menurut Kementerian Keuangan mengakibatkan dampak negatif
dalam berbagai aspek pembangunan, mulai dari ekonomi hingga sosial. Ketidaksetaraan gender
juga memiliki hubungan yang kuat dengan kemiskinan, ketidaksetaraan akses pendidikan,
layanan kesehatan, hingga akses keuangan.

"Ketidakadilan terhadap perempuan dipicu oleh sistem budaya patriarki yang masih banyak
dianut di berbagai wilayah di Indonesia, dimana perempuan memiliki posisi subordinat dan tidak
memiliki hak untuk memilih ataupun menentukan nasibnya sendiri," kata Kementerian
Keuangan

Kementerian Keuangan juga mengungkapkan bahwa berbagai isu gender masih dijumpai di
berbagai dimensi kehidupan, mulai dari ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan politik. Dari sisi
partisipasi ekonomi dan kesempatan berusaha, Indonesia menempati posisi ke-68 dari 153 negara

7
berdasarkan laporan indeks kesenjangan gender global (Global Gender Gap Index Report) tahun
2020 yang dirilis oleh World Economic Forum.

"Meki kesenjangan antara laki-laki dan perempuan di bidang ekonomi masih cukup tinggi,
namun indeks kesenjangan di Indonesia mengalami perbaikan yang cukup signifikan sejak tahun
2006," tulis Kementerian Keuangan.

Kendati demikian, Kementerian Keuangan memandang, Indonesia masih memiliki pekerjaan


rumah yang harus dibenahi, karena Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan
hanya sebesar 51,89%, masih jauh lebih rendah jika dibandingkan TPAK laki-laki yang sebesar
83,13%. Selain itu, Indonesia juga masih berhadapan dengan isu kesenjangan distribusi
pendapatan, di mana rata-rata upah/gaji buruh/karyawan perempuan lebih rendah dari pekerja
laki-laki, yakni Rp 2,45 juta untuk perempuan dan Rp 3,17 juta untuk laki-laki, data per Agustus
2019.

"Kondisi ini diperparah dengan masih banyaknya perempuan yang bekerja tanpa upah untuk
keluarga (invisible worker)," tulis Kementerian Keuangan.

Di bidang pendidikan, peluang bersekolah antara laki-laki dan perempuan sudah relatif sama,
dimana Harapan Lama Sekolah (HLS) perempuan adalah 12,99 tahun dan laki-laki 12,84 tahun.
Kesetaraan juga telah terlihat dari Angka Partisipasi Murni (APM) antara perempuan dan laki-
laki pada tingkat Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas. Adapun pada Perguruan
Tinggi, APM perempuan adalah 12%, lebih tinggi dibanding laki-laki yang hanya 10%.

Kendati demikian, masih terdapat beberapa catatan kecil seperti tingkat literasi perempuan
yang masih lebih rendah atau 94%, dibandingkan dengan laki-laki yang sudah mencapai 97%.
Meski terdapat perbaikan yang positif di bidang ekonomi dan pendidikan, kesenjangan gender di
bidang politik justru melebar. Hal tersebut disebabkan representasi perempuan mengalami
penurunan pada 2019, baik di parlemen atau sebesar 17,4%, lebih rendah dari tahun lalu yang
mencapai 19,8%. Posisi perempuan yang menempati kursi di kabinet juga sudah mencapai 24%,
turun dibandingkan tahun 2018 yang mencapai 26%.

Menurut data BKN 2019, keterwakilan perempuan pada jabatan struktural juga masih relatif
rendah, yaitu jabatan eselon I hanya 0,02% dan eselon II 0,56% dari total pejabat struktural.

8
Pembangunan laki-laki dan perempuan di Indonesia mengalami peningkatan dalam 9 tahun
terakhir, yang tampak dari Indeks Pembangunan Gender (IPG), dimana IPG pada tahun 2018
mencapai 90,99, meningkat sebesar 0,03 poin dibanding tahun 2017. Namun, disparitas
pembangunan gender antar provinsi masih relatif tinggi, dimana Indeks Pembangunan Gender
tertinggi berada di Sulawesi Utara (94,73) dan IPG terendah berada di Papua (80,11).
Pembangunan gender selayaknya memiliki asosiasi dengan pemberdayaan gender. Pada tahun
2018, Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) berada pada level 72,10, meningkat 0,36 poin
dibanding tahun 2017.

"Peningkatan ini terutama terjadi karena kenaikan dua komponen, yakni persentase
perempuan sebagai tenaga profesional (47,02) dan sumbangan pendapatan perempuan (36,70),"
tulis Kementerian Keuangan. "Pertumbuhan Indeks Pemberdayaan Gender pada periode tahun
2017-2018 cenderung lambat dibandingkan dengan tren pertumbuhan selama 8 tahun terakhir.
Meski demikian, capaian ini tetap menjadi sinyal positif adanya perbaikan keadaan
pemberdayaan gender di Indonesia," kata Kementerian Keuangan melanjutkan.

Pada tahun 2019, posisi lima provinsi dengan Indeks Ketimpangan Gender (IKG) terendah
ditempati oleh DI Yogyakarta, Bali, DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, sedangkan
posisi lima provinsi dengan IKG tertinggi dicapai oleh provinsi Nusa Tenggara Barat, Sulawesi
Tenggara, Jambi, Kalimantan Barat, dan Papua. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
capaian pembangunan gender di wilayah tersebut masih belum optimal seperti ditunjukkan oleh
adanya ketimpangan pembangunan dalam bidang kesehatan, pendidikan, politik, dan
ketenagakerjaan.

14 provinsi mengalami peningkatan Indeks Ketimpangan Gender meskipun secara umum


peningkatan tersebut tidak terlalu signifikan dan masih di bawah 0,020 poin. Hanya 4 provinsi
yang mengalami peningkatan di atas 0,020 poin, yaitu Nusa Tenggara Barat, Kepulauan Riau,
Sumatera Barat, dan Sumatera Utara, dimana peningkatan yang tertinggi terjadi di Nusa
Tenggara Barat, yaitu 0,094 poin. Peningkatan Ketimpangan Gender di empat provinsi tersebut
disebabkan penurunan persentase anggota parlemen perempuan. Bahkan di Nusa Tenggara Barat
penurunannya cukup besar, dari 9,68 persen di tahun 2018 sebesar menjadi 1,54 di tahun 2019.

9
III. PEREMPUAN DAN JURNALISME

Hanya 11% perempuan menjadi narasumber media di Indonesia. Hasil penelitian yang
dilakukanTempo Institute serta Pusat Data dan AnalisisTempo (PDAT) menunjukkan bahwa dari
22.900 narasumberyang dikuti pmedia, hanya 11% atau 2.525 orang di antaranya yang
merupakan perempuan. Jumlah narasumber perempuan yang menguasai isu-isu politik, ekonomi,
teknologi masih minim. Umumnya narasumber perempuan hanya menguasai isu-isu tertentu
saja. Dengan sedikitnya jumlah perempuan di bidang tertentu ini, media makin meremehkan
posisi narasumber perempuan dibandingkan narasumber laki-laki yang jumlahnya lebih banyak.
Perempuan hanya diberikan peran pada sector domestic serta isu kehamilan, pengasuhan,
dan pendidikan. Tak sampai 6% jurnalis perempuan yang menduduki posisi sebagai redaktur
maupun pengambil keputusan di redaksi. Jurnalis perempuan (di industry televise) lebih banyak
direkrut berdasarkan kecantikan atau tubuh dan wajah yang dianggap menarik oleh standar
industry. The Global Media Monitoring Project menemukan bahwa perempuan lebih mungkin
ditampilkan sebagai korban dalam berita dibandingkan laki-laki.
Wanita jauh lebih kecil kemungkinannya dibandingkan pria untuk ditampilkan dalam
tajuk berita dunia, dan untuk diandalkan sebagai „juru bicara‟ atau sebagai „ahli‟. Kategori
wanita tertentu, seperti orang miskin, wanita yang lebih tua, atau mereka yang termasuk dalam
etnis minoritas, bahkan kurang terlihat. Stereotip juga lazim di media sehari-hari. Wanita seirng
kali digambarkan hanya sebagai ibu rumah tangga dan pengasuh keluarga, bergantung pada pria,
atau sebagai objek perhatian pria. Mayoritas media masih melakukan seksualisasi atau
menjadikan perempuan sebagai objek seksual. Dalam meliput tokoh-tokoh perempuan, media
cenderung berfokus pada ketubuhan perempuan (seksisme dan stereotype).
Dalam konten-konten berita kekerasan terhadap perempuan seperti pelecehan seksual
atau pemerkosaan, etika jurnalisme masih sering diabaikan seperti menyebut nama dan data
korban, menggunakan konotasi untuk “memperhalus” pemerkosaan seperti “menggagahi,
menodai, ditiduri”.

10
IV. GITA SAVITRI BEROPINI TENTANG PEREMPUAN KORBAN SEKSISME

Gita Savitri Devi merupakan content creator asal Indonesia yang sekarang tinggal di
Jerman. Ia merupakan influencer di media social yang sangat sering mengangkat dan membahas
tentang isu ketidaksetaraan gender yang terjadi di Indonesia bahkan di dunia. Ia pernah membuat
video beropini yang membahas tentang perempuan yang kebanyakan menjadi korban seksisme.
Video tersebut telah ditonton hingga ratusan ribu kali di saluran youtubenya. Pada video
tersebut, Gita memulai pembahasannya dari definisi seksisme, jenis-jenis seksisme hingga
contoh seksisme di kehidupan sehari-hari yang cenderung tidak kita sadari.
Kata seksisme menurut Cambridge Dictionary adalah tindakan yang berdasarkan dari
kepercayaan bahwa salah satu jenis kelamin kurang pintar dari yang lainnya, kurang mampu, dan
kurang terampil terutama perempuan yang kurang mampu dibandingkan dengan laki-laki. Jadi di
dalam masyarakat, seksisme ini berhubungn dengan kepercayaan bahwa ada kodrat tentang
bagaimana „seharusnya‟ perempuan dan laki-laki serta hal ini dianggap sebagai hal yang
fundamental. Impact dari seksisme ini tergantung dari identitas diri seseorang misalnya umur,
etnis, daerah asal, agama, identitas gender, dan orientasi seksual.
Menurut Gita, topik seksisme ini penting untuk diangkat dan dibicarakan karena jika ide
dari seksisme ini dibiarkan bahkan dinormalisasi maka nantinya dapat berujung terhadap
munculnya aksi seksisme. Pada umumnya seksisme dikategorikan menjadi 2 jenis yaitu hostile
sexism dan benevolent sexism. Hostile sexism merupakan seksisme yang menjaga dominasi laki-
laki dan diekspresikan dengan cara yang lebih ekstrim seperti harassment dan kekerasan.
Sedangkan benevolent sexism lebih halus (subtle) dan kesannya positif tetapi sebenarnya juga
berbahaya. Seksisme jenis ini cenderung manipulative karena seakan-akan laki-laki memang
memiliki tugas untuk melindungi perempuan. Padahal tujuannya tetap untuk memposisikan laki-
laki di atas perempuan.
Pada umunya orang-orang yang memiliki pemikiran atau kepercayaan seksisme akan
memandang perempuan sebagai makhluk yang tidak kompeten, makhluk “kelas dua”, dan hanya
dapat berperan di ranah domestik. Laki-laki yang seksisme akan memandang dirinya superior
dan akan memperlakukan perempuan dengan kesan menggurui. Karena seksisme sudah menjadi
yang lumrah, terdapat juga perempuan yang tidak sadar bahwa dirinya diperlakukan sebagai
seseorang yang dinomorduakan bahkan seringnya perempuan tanpa sadar telah

11
menginternalisasikan seksisme sehingga menganggap bahwa laki-laki yang superior memanglah
wajar jika posisinya berada di atasnya. Adanya orang-orang yang berpandangan seksisme dan
orang yang menginternalisasikan seksisme dapat menjadi penyebab melestarinya perilaku ini.
Salah satu alasan Gita membuat video yang membahas seksisme ini adalah karena setiap
kali dia berusaha untuk menceritakan pengalamannya tentang ketidakadilan yang dia dapatkan,
kebanyakan orang dan rata-rata laki-laki mengatakan bahwa dirinya hanya mempermasalahkan
masalah yang tidak serius dan itu hanyalah ada di dalam pikirannya saja. Gita juga ikut
memasukkan banyak contoh seksisme di dalam kehidupan sehari-hari yang tanpa kita sadari
sering terjadi dan menjadi hal yang dinormalisasi misalnya perempuan dianggap lemah,
berharga, bahkan disamakan seperti berlian sehingga harus dijaga dan dilindungi. Menstruasi
yang sering dianggap menjijikkan dan memalukan sehingga membuat banyak perempuan merasa
malu untuk menyebut kata pembalut.
Contoh lainnya adalah ketika perempuan memilih untuk tetap berkarir setelah
berkeluarga akan dikatakan sebagai perempuan yang menelantarkan anak dan suaminya
sedangkan ketika laki-laki berkarir akan disebut sebagai suami idaman. Perempuan yang
memutuskan menjadi ibu rumah tangga dianggap hanya menganggur di rumah. Perempuan yang
memakai baju kelonggaran dianggap tidak menarik sedangkan perempuan yang memakai baju
terbuka dianggap perempuan nakal. Di pasaran, harga produk untuk perempuan lebih mahal
daripada produk untuk laki-laki. Ditanya terus-menerus tentang kapan punya anak karena
katanya jika perempuan belum tahu rasanya melahirkan maka belum menjadi perempuan
seutuhnya.
Menurut Gita, seksisme juga ketika perempuan dituntut untuk bisa memasak dan bisa
melakukan pekerjaan rumah lainnya sedangkan laki-laki tidak seperti itu. Perempuan juga sering
disuruh untuk tidak terlalu pintar dan tidak terlalu sukses karena katanya akan susah
mendapatkan jodoh. Pada kasus kekerasan dan pelecehan seksual, korban perempuan yang
justru sering disalahkan. Perempuan ketika tidak menggunakan make up dikatakan sebagai
perempuan yang tidak bisa urus diri tapi ketika perempuan menggunakan make up dikatakan
sebagai perempuan yang ingin menggoda laki-laki. Perempuan yang juga diberikan konsep
keperawanan. Perempuan dianggap tidak mampu menjadi pemimpin karena katanya perempuan
terlalu emosi dan cenderung pakai perasaan. Adanya pandangan bahwa perempuan tidak pandai
menyetir juga merupakan salah satu bentuk seksisme.

12
V. MENYIKAPI ISU KETIDAKSETARAAN GENDER

Munculnya tuntutan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan perlu direspon secara
seimbang baik oleh laki-laki maupun perempuan. Jika tidak maka tetap saja isu kesetaraan ini
hanya menjadi suatu wacana yang tak berujung. Oleh karena itu, sikap yang perlu dilakukan
sebagai upaya merespon isu gender ini adalah dengan memperjuangkan keseimbangan
gender (menghapus ketimpangan gender), menguntungkan kedua gender, memberikan
kesempatan yang sama pada kedua gender, serta menegakkan keadilan bagi kedua gender.

Perlunya menyikapi isu kesetaraan ini sebagai wujud kepedulian kita terhadap berbagai
aktivitas hidup yang mendukung terwujudnya kesejahteraan masyarakat secara umum
sangatlah bersalah apabila kita melihat kenyataan dan data-data yang sampai saat ini
(khususnya di Indonesia) masih banyak menunjukkan adanya ketimpangan antara laki-laki
dan perempuan terutama pada kondisi negara yang masih Menyikapi permasalahan
kesetaraan laki-laki dan perempuan (gender) memang merupakan suatu keharusan.
Memperjuangkan kesetaraan ini merupakan perhatian yang harus diperjuangkan berbagai pihak,
apakah pihak pengambil kebijakan (pemerintah), lembaga swadaya masyarakat, maupun unsur-
unsur lain sebagai stakeholder (pelaku) itu sendiri melalui pemantapan kelembagaan secara
maksimal demi terwujudkan pembangunan yang adil dan setara bagi laki-laki dan perempuan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Adinda Cantika Putri. 2020. Kementerian Keuangan Ungkap Masalah Gender dan Ekonomi di
RI. Dalam https://www.cnbcindonesia.com/news/20200701182828-4-
169536/kementerian-keuangan-ungkap-masalah-gender-dan-ekonomi-di-ri diakses pada
3 Desember 2021.
https://www.bappenas.go.id/files/publikasi-
kpapo/Kesetaraan%20Gender%20dan%20Pemberdayaan%20Perempuan%20/Infografis
%20Gender%20dan%20Media%20layout.pdf diakses pada 4 Desember 2021.
https://www.youtube.com/watch?v=BSr2DECCYxs&list=PLGlaBPlOdBH8kTghPwd4WTtdtrJ
WSaejh&index=69 diakses pada 4 Desember 2021.
Rahminawati Nan. 2001. ISU KESETARAAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN. Dalam
https://media.neliti.com/media/publications/154027-ID-isu-kesetaraan-laki-laki-dan-
perempuan-b.pdf diakses pada tanggal 3 Desember 2021.
TusiantiEma, dkk. 2020. Kajian Penghitungan Indeks Ketimpangan Gender. BPS RI.
Wardah Fathiyah. 2020. Ketidaksetaraan Gender Masih Tinggi di Indonesia. Dalam
https://www.voaindonesia.com/a/ketidaksetaraan-gender-masih-tinggi-di-indonesia-
/5316082.html diakses pada 3 Desember 2021.
Zaki Faiz. 2020. 5 Bentuk Ketidakadilan Gender di Lingkungan Sosial, Apa Saja?. Dalam
https://www.idntimes.com/life/women/faiz-zaki/5-bentuk-ketidakadilan-gender-di-
lingkungan-sosial-apa-saja-c1c2/5 diakses pada 3 Desember 2021.

14

Anda mungkin juga menyukai