Anemia merupakan salah satu masalah kesehatan di seluruh dunia terutama
negara berkembang yang diperkirakan 30% penduduk dunia menderita anemia (Organization, 2014). Anemia banyak terjadi pada masyarakat terutama pada remaja dan ibu hamil, selain itu anemia pada remaja putri sampai saat ini masih cukup tinggi, menurut World Health Organization (Organization, 2014). Anemia merupakan masalah gizi yang mempengaruhi jutaan orang di negara-negara berkembang dan tetap menjadi tantangan besar bagi kesehatan manusia (Sudikno, 2016). Anemia adalah kondisi ibu dengan kadar hemoglobin (Hb) dalam darahnya kurang dari 12 gr% (Ansari, 2012). Sedangkan anemia dalam kehamilan adalah kondisi ibu dengan kadar hemoglobin dibawah 11 gr% pada trimester I dan III atau kadar <10,5 gr% pada trimester II (Ansari, 2012). Menurut WHO tahun 2017, di dunia angka prevalensi anemia pada ibu hamil mencapai 47,4% anemia tertinggi terjadi di wilayah Afrika sebesar 57,1% kemudian di tempat kedua adalah Asia Tenggara sebesar 48,2%. Di Indonesia hampir separuh atau sebanyak 48,9% mengalami anemia menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Kementrian Kesehatan, 2018). Tahun 2018 presentasi ibu hamil yang mengalami anemia meningkat di bandingkan hasil RISKESDAS tahun 2013 yaitu sebesar 37,1%. Dari data tahun 2018 jumlah ibu hamil yang mengalami anemia paling banyak pada usia 15-24 tahun sebesar 84,6%. Di jawa timur dari data dinas kesehatan Jawa Timur tahun 2010 menyebutkan ibu hamil yang mengalami anemia berjumlah 56% dari jumlah kehamilan yang ada (DINKES, 2017). Masalah yang dihadapi oleh pemerintah Indonesia adalah tingginya prevalensi anemia ibu hamil dan sebagian besar penyebabnya adalah kekurangan zat besi yang diperlukan untuk pembentukan hemoglobin sehingga yang ditimbulkannya disebut anemia defisiensi besi (Syifaurrahmah, M., 2016). Kasus ini dapat dicegah dengan mudah namun kejadiannya masih banyak. Berbagai kebijakan yang telah dicanangkan yaitu dengan meminum tablet Fe yang ternyata tidak dapat mengurangi angka kejadian anemia dalam kehamilan secara signifikan. Upaya pencegahan anemia pada ibu hamil dengan cara meningkatkan konsumsi zat besi dan sumber alami, terutama makanan sumber hewani yang mudah diserap seperti hati, daging, ikan. Selain itu perlu ditingkatkan juga, makanan yang banyak mengandung Vitamin C dan Vitamin A (buah–buahan dan sayuran) untuk membantu penyerapan zat besi dan membantu proses pembentukan Hb. Sebagian besar ibu hamil tidak patuh untuk meminum tablet Fe dan tidak mengetahui mengenai BBLR sebagai akibat dari anemia yang dideritanya saat hamil. Anemia maternal meningkatkan risiko melahirkan berat bayi lahir rendah (BBLR), kelahiran preterm serta kematian janin. Padahal BBLR merupakan salah satu penyebab terbesar morbiditas dan mortalitas dalam lima tahun terakhir (Syifaurrahmah, 2016). Keadaan Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Neonatal (AKN) yang diperoleh dari laporan rutin relatif sangat kecil. Namun bila dihitung angka kematian absolut masih tinggi yaitu sebanyak 3.875 bayi meninggal pertahun dan sebanyak 4.216 balita meninggal pertahun. Adapun proporsi kematian neonatal dalam 3 tahun ini mencapai hampir 4/5 dari kematian bayi. Dalam satu hari berarti sebanyak 11 bayi meninggal dan 12 balita meninggal. Masalah yang terkait dengan Kesehatan Ibu dan Anak, bahwa proporsi kematian bayi masih banyak (3/4) terjadi pada periode neonatal (0 – 28 hari) dan ini terjadi pada setiap tahunnya. Tahun 2019 Angka Kematian Bayi pada posisi 23 per 1.000 kelahiran hidup (angka estimasi dari BPS Pusat), Angka Kematian Bayi Jawa Timur sampai dengan tahun 2019 sudah di bawah target Nasional (DINKES, 2018) Berat bayi lahir rendah (BBLR) merupakan salah satu penyebab utama kematian bayi. BBLR adalah bayi dengan lahir kurang dari 2500 gram tanpa memperhatikan gestasi (umur kehamilan). BBLR dapat diklasifikasi berdasarkan berat lahir dan masa gestasi yaitu prematuritas murni dan bayi kecil untuk masa kehamilan (KMK). Prematuritas murni adalah bayi dengan berat lahir kurang dari 2500 gram dengan masa gestasi 38 sampai 42 minggu. Sekitar dua per tiga bayi BBLR adalah bayi premature. Sepertiga lainnya adalah KMK dan 70 % dari bayi ini berat badannya antara 2000-2500 gram (Soewondo, R.H., 2015). Menurut data UNICEF (2016) angka BBLR tertinggi di dunia terdapat pada negara Mauritiania yaitu 35% diikuti oleh Pakistan 32% dan India 28% yang merupakan negara berkembang, kemudian negara Nauru sebanyak 27% dan di Indonesia sebanyak 9%. (UNICEF, 2016) Menurut WHO kejadian bayi berat lahir rendah dalam tahun 2014- 2016 tertinggi di Philipina 20%, menyusul kemudian Myanmar 15% dan Laos 14%, sedangkan yang terendah di Singapura 8%, menyusul kemudian Thailand dan Vietnam sebesar 9% sedangkan di Indonesia kejadian bayi berat lahir rendah yaitu 7,5%. Angka ini lebih besar dari target BBLR yang ditetapkan pada sasaran program perbaikan gizi menuju indonesia sehat yakni 7% (Anonim, 2016). Data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2018 menunjukkan angka kejadian BBLR adalah 6,2%. Data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2014 menunjukkan presentase BBLR tertinggi terdapat di Provinsi Sulawesi Tengah yaitu 8,9% dan terendah di Provinsi Jambi 2,6%. Sedangkan di Provinsi DIY 8,2% dan menempati urutan kejadian BBLR tertinggi kelima (Riskesdas, 2018). Berat badan merupakan salah satu indikator kesehatan pada bayi baru lahir. Dampak kondisi bayi dengan BBLR perlu menjadi perhatian karena umumnya bayi dengan berat badan rendah dapat menyebabkan komplikasi kesehatan seperti gangguan sistem pernafasan, pencernaan, susunan syaraf pusat, kardiovaskular, hematologi dan imunologi (Badan Pusat Statistik, 2015). Upaya pemerintah Indonesia dalam hal meningkatkan kesehatan ibu dan bayi yaitu dengan pelayanan kesehatan ibu dan anak baik itu dalam pencegahan berupa deteksi dini, promosi kesehatan dengan pemberian KIE dan penanganan salah satu caranya dengan membentuk kelas antenatal yang dapat bermanfaat untuk ibu hamil (Kemenkes RI, 2016).