Tim Reviewer/Editor:
Prof. Dr. Ir. Sri Harto, Br., Dip., H., PU-SDA
Prof. Dr. Ir. Nadjadji Anwar, M.Sc., PU-SDA
Dr. Ir. Moch. Amron, M.Sc., PU-SDA
Prof. Dr. Ir. Suripin, M.Sc.,
Doddi Yudianto, S.T., M.Sc., Ph.D.
ISBN : 978-602-6289-11-7
ii
SAMBUTAN
Diskusi dan presentasi Pertemuan Ilmiah Tahun ini membahas dengan intensif
tentang Mitigasi, Adaptasi, Pemantauan dan Evaluasi Perubahan Iklim; Peningkatan
Profesionalisme dalam Bidang Sumber Daya Air; serta Konservasi, Pendayagunaan
Sumber Daya Air dan Pengendalian Daya Rusak Air untuk Ketahanan Air.
Saya berharap, seluruh presentasi dan diskusi Pertemuan Ilmiah Tahun ini dapat
memberikan kontribusi dalam bentuk konsep, strategi, pembelajaran, dan berbagi
pengalaman mengenai pengelolaan sumber daya air, terutama dalam mewujudkan
ketahanan air nasional.
Kami ucapkan terimakasih kepada panitia, para penulis, senior dan semua anggota
HATHI atas dukungannya dalam pelaksanaan PIT XXXIII HATHI dan Kongres
XII HATHI tahun ini. Semoga Allah merahmati kita semua, Aamiin.
iii
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, Pengurus HATHI
Cabang Jawa Tengah dan Panitia Pelaksana Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) XXXIII
HATHI dan Kongres XII HATHI Tahun 2016 menyampaikan selamat atas terbitnya
Prosiding PIT XXXIII HATHI.
Publikasi karya ilmiah ini merupakan hasil dari kegiatan PIT XXXIII HATHI dengan tema:
“HATHI Menjawab Tantangan Perubahan Iklim untuk Mewujudkan Ketahanan Air
Nasional” yang diselenggarakan di Semarang, pada tanggal 25-27 November 2016.
Pertemuan Ilmiah Tahunan ini telah menjadi ajang pertemuan, pembahasan dan penyebar
luasan ilmu pengetahuan dan wawasan guna meningkatkan profesionalisme bagi praktisi,
akademisi, peneliti dan pengambil keputusan, khususnya anggota HATHI. Disamping
menjadi dokumentasi karya ilmiah PIT XXXIII HATHI, prosiding ini diharapkan juga
dapat bermanfaat sebagai referensi dalam pengembangan keilmuan dan profesionalisme di
bidang Sumber Daya Air.
Kami merasa bahwa dalam hal penerbitan prosiding ini masih terdapat beberapa ketidak
sempurnaan, oleh karena itu kami menyampaikan permohonan maaf dan mengharapkan
masukan yang konstruktif dimana tentunya akan sangat membantu dalam rangka perbaikan
penyusunan dan penulisan di kemudian hari.
Kami ucapkan selamat kepada para penulis atas karya ilmiahnya yang telah berhasil
diterbitkan dalam prosiding ini.
iv
DAFTAR ISI
Sub Tema 1
Mitigasi, Adaptasi, Pemantauan dan Evaluasi Perubahan Iklim
1. Komparasi Model Hidrologi Runtun Waktu untuk Peramalan Debit
Sungai Menggunakan ANN dan Transformasi Wavelet-ANN .................. 1
– Imam Suprayogi, Manyuk Fauzi
2. Studi Pengaruh El-Nino dan La-Nina terhadap Hujan Harian Wilayah
Pringsewu dengan Menggunakan Metode Spektral ..................................... 11
– Ahmad Zakaria, Susi Hariany, Firda Fiandra
3. Kajian Indeks Kekeringan Kebasahan SPI terhadap Luas Persawahan
Yang Terkena Dampak Banjir dan Kekeringan ............................................. 19
– Levina, Wanny Adidarma, dan Putty Adila
4. Prediksi Hujan Andalan Berdasarkan Zona Musim untuk Rencana
Alokasi Air Tahunan Wilayah Sungai Lombok ............................................. 29
– Anang M. Farriansyah
5. Analisis Frekuensi Regional Hujan Maksimum DAS Ciujung dan DAS
Cidurian Menggunakan Metode L-Moment, LQ-Moment, LH-Moment .... 39
– Farullah Hasby
6. Penerapan Metode Thornthwaite Mather untuk Prediksi Sebaran
Kekeringan Wilayah ............................................................................................ 49
– Donny Harisuseno, Ussy Andawayanti, dan Anggun Nimaztian Kafindo
7. Pengaruh Anomali Cuaca Akibat Efek Perubahan Iklim
pada Air Masuk Waduk Saguling ..................................................................... 59
– Reni Mayasari, Hendra Rachtono, Lina Agustini,
Mouli De Rizka Dewantoro, Aldi Fadlillah Muslim
8. Pengelolaan Sumber-sumber Air Menia untuk Menghadapi
Perubahan Iklim dan Mewujudkan Ketahanan Air ...................................... 65
– Aprianus M. Y. Kale dan Martin Yanus Haning
9. Kajian Pergeseran Tipe Iklim untuk Mendukung Terwujudnya
Ketahanan Air di DAS Mahakam ..................................................................... 71
– Mislan, MZ. Ikhsan, Hj. Asniah, dan Hj. Suminah
10. Extreme El-Nino Resilience: Sebuah Tantangan yang
Harus Diselesaikan ............................................................................................... 81
– Gatot Eko Susilo, Syafrudin, dan Susi Hariany
11. Polder Semarang Timur ...................................................................................... 90
– Suseno Darsono, Susilowati, dan Fitria Maya Lestari
v
Sub Tema 2
Peningkatan Profesionalisme dalam Bidang Sumber Daya Air
12. Pemilihan Tipe Bangunan Pengaman Pantai dengan Memanfaatkan
Kearifan Lokal di Pulau Bunaken .................................................................... 101
– Stevanny H.B. Kumaat, Djidon Watania, Ellen Cumentas
13. Restorasi Pantai Sriwulan Demak dengan Pegar Geobag Tiang Bambu 111
– Soni Senjaya Efendi, Puty Mathilda, M. Reza Nugraha, Leo E. Sembiring,
Dedi Junarsa, dan Dede M. Sulaiman
14. Energi Terbarukan dari Pegar Bercelah........................................................... 119
– Dede M. Sulaiman dan Radianta Triatmadja
15. Analisis Pemompaan Air Tanah dengan Metode Cooper-Jacob
dan Metode Sunjoto ............................................................................................. 127
– Runtu Kexia G.A., Sunjoto S., Hendrayana H.
16. Reduksi Bakteri E. Coli dalam Filtrasi Filter Beton untuk Air Minum... 137
– Rizaldi Maadji, Radianta Triatmadja, Fatchan Nurrochmad , dan Sunjoto
17. Penerapan Model Sinus-Perkalian untuk Optimasi Operasi Lepasan
Waduk Pengga ....................................................................................................... 147
– Widandi Soetopo, Lily Montarcih Limantara, Suhardjono,
Ussy Andawayanti, dan Rahmah Dara Lufira
18. Teknik Evaluasi Perkiraan Hujan Radar terhadap Pengukuran Hujan
Permukaan (Ground Rainfall) ............................................................................ 157
– Roby Hambali, Hanggar Ganara Mawanda, Rachmad Jayadi,
dan Djoko Legono
19. Pemanfaatan Sonar sebagai Alat Pantau Gerusan Lokal
pada Pilar Jembatan ............................................................................................. 165
– Tauvan Ari Praja, Asep Sulaeman, Ibnu Supriyanto
20. Pengembangan Konsep Ketahanan Air Kota Pontianak ............................. 175
– Jane E. Wuysang, Robertus Wahyudi Triweko dan Doddi Yudianto
21. Debit Sedimen Suspensi pada Belokan Saluran Tampang Trapesium..... 184
– Bambang Yulistiyanto, Bambang Agus Kironoto,
Oggi Heicqal Ardian, dan Miskar Maini
22. Model Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan
Bendungan Samboja ............................................................................................ 193
– Rudi Yunanto, Andi Supriyatna, Imam Choedori dan Mislan
23. Pengembangan Aplikasi Sistem Informasi Banjir Berbasis Android....... 201
– Umboro Lasminto, Hera Widyastuti, Istas Pratomo, dan Elisa L
24. Pengembangan Model Matematis Tanah Longsor pada Kolam Waduk dan
Gelombang yang Dibangkitkannya Menggunakan Metode Karakteristik .. 212
– Radianta Triatmadja, Nurul Azizah
vi
Sub Tema 3
Konservasi, Pendayagunaan Sumber Daya Air dan Pengendalian Daya Rusak
Air untuk Ketahanan Air
25. Pengaturan Paras Air Tanah dalam Rangka Mengurangi Laju Penurunan
Lahan Gambut ....................................................................................................... 225
– L. Budi Triadi
26. Konservasi Mata Air Melalui Kearifan Lokal: Studi Kasus di Kawasan
Mata Air Watutela, Kecamatan Mantikulore, Palu ....................................... 235
– Sukiman, dan Sukma Impian Riverningtyas
27. Pelestarian Kawasan Situ Sebagai Sumber Air Baku di Balai Besar
Wilayah Sungai Citarum ..................................................................................... 245
– Winskayati, Chairunnissa Kania Dewi
28. Evaluasi Kegiatan Konservasi di Daerah Tangkapan Air Waduk
Sengguruh sebagai Upaya Menghadapi Perubahan Iklim .......................... 255
– Tiar Ranu K, Astria Nugrahany, dan Hermien Indraswari
29. Peran Pemeliharaan dalam Konservasi Daerah Irigasi Rawa,
Studi Kasus Rawa Pitu ........................................................................................ 264
– Andojo Wurjanto, Julfikhsan Ahmad Mukhti, Andri Iwan Pornomo
30. Evaluasi Umur Layanan Waduk Sanggeh ...................................................... 273
– Suseno Darsono, Risdiana Cholifatul Afifah, dan Ratih Pujiastuti
31. Manajemen Spoilbank dalam Kegiatan Pengerukan Sedimen di Waduk
Sengguruh............................................................................................................... 281
– Sugik Edy Sartono, Dian Bagus Prasetyo, Aulia Arifalsafi
32. Implementasi Teknologi Tipikal Desain Sabo Dam pada Bangunan
Checkdam di Kali Konto .................................................................................... 291
– Sugik Edy Sartono, dan Gede Santika Dharma
33. Studi Pemanfaatan Material Sedimen Bendungan Sengguruh untuk
Material Media Tanam ....................................................................................... 301
– Agus Santoso, Kurdianto Idi Rahman, dan Fahmi Hidayat
34. Penentuan Jumlah Lubang Resapan Biopori untuk Menambah Cadangan
Air Tanah di Kota Ambon Kecamatan Nusaniwe ......................................... 310
– M.E.E. Samson, Basten M. Matinahoruw, dan Markus Tahya
35. Identifikasi Potensi Lokasi Sumur Resapan Sebagai Imbuhan Alami Air
Tanah di Kawasan Perkotaan Jember ............................................................. 315
– Sri Wahyuni, Gusfan Halik, Wiwik Yunarni
36. Karakteristik Mineral Sedimen di Waduk Wlingi dan Implikasinya
Terhadap Efisiensi Penggelontoran Sedimen ................................................ 325
– Dian Sisinggih, Sri Wahyuni, dan Fahmi Hidayat
37. Prediksi Distribusi Sedimen pada Kasus Daerah Tangkapan Air
Waduk PB. Sudirman .......................................................................................... 335
– Muhammad Ramdhan Olii, Bambang Agus Kironoto,
Sunjoto and Bambang Yulistiyanto
vii
38. Pengelolaan Sistim Irigasi Berkelanjutan pada Daerah Irigasi Bena
Mewujudkan Ketahanan Air dan Kedaulatan Pangan ................................. 345
– Melkior A. Lukas, Susilawati, Bambang Adiriyanto
39. Analisis Kualitas Air Tanah Dangkal Terhadap Kandungan Bakteri
Coliform dan Escherichia Coli di Kecamatan Cikole, Sukabumi............. 355
– Riyanto Haribowo, Emma Yuliani, Pramudita Dewi P.
40. Kajian Prioritas Zona Layanan Sistem Penyediaan Air Minum (Spam)
Regional Kabupaten Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe sebagai
Bentuk Mitigasi Bencana Kekeringan ............................................................. 363
– Azmeri, Herman, dan Efendi
41. Pemanfaatan Air Sungai untuk Desain Sistem Jaringan dan
Distribusi Air Bersih ............................................................................................ 373
– Liany A. Hendratta, Sukarno, Hanny Tangkudung,
dan Intan Abdulkarim
42. Permodelan Kualitas Air pada Inflow Tambak Udang ................................ 381
– Lourina Evanale Orfa
43. Alokasi Air untuk Pengelolaan DAS ............................................................... 391
– Agus Purwadi, Agus Surawan, dan Agung Suseno
44. Penyelamatan Danau Kaskade Mahakam untuk Mendukung Ketahanan
Air di DAS Mahakam.......................................................................................... 401
– Mislan, Arief Rachman, Sandy Eriyanto, dan Eko Wahyudi
45. Lesson Learnt Pengelolaan Daerah Sempadan Sungai Bengawan Solo
Hulu dalam Menjaga Kelestarian dan Fungsi Sungai.................................. 413
– Suharyanto, Supadi, Yunitta Chandra Sari
46. Optimalisasi Pemanfaatan Air Tanah Dangkal pada Penanggulangan
Kekeringan Jaringan Irigasi .............................................................................. 422
– Mustafa, M. Hasbi, Taufan, Subandi, M.K. Nizam Lembah, Arnold. M. Ratu,
dan Agus Hasanie
47. Pemanfaatan Peta Bahaya Banjir dan Peta Guna Lahan dalam
Pengendalian Alih Fungsi Lahan ..................................................................... 432
– Heppy Wahyuni dan Djoko Santoso Abi Suroso
48. Estimasi Laju Potensial Timbulan Limbah Padat pada Sub-DAS Sugutamu:
Studi Kasus di Sub DAS Sugutamu, DAS Ciliwung Jawa Barat ............. 441
– Evi Anggraheni dan Dwita Sutjiningsih
49. Perencanaan Pintu Klep di Muara Batang Maransi, Salah Satu Upaya
Pengendalian Banjir di Kawasan Air Pacah Kota Padang .......................... 451
– Zahrul Umar, Bambang Istijono, Rifda Suryani, Syafril Daus
50. Peningkatan Retensi Debit dan Waktu Tinggal Sebagai Upaya Tanggap
Darurat: Studi Kasus di Tambang KPC Sangatta.......................................... 461
– Agung Febrianto dan Santosa
viii
51. Evaluasi Desain Hidrologi Waduk Sutami .................................................... 469
– Kamsiyah Windianita, Fahmi Hidayat, Djuharijono, dan Teguh Winari
52. Efektifitas Pengendalian Erosi dan Sedimen di DAS Manikin
Kabupaten Kupang Propinsi Nusa Tenggara Timur .................................... 479
– Ussy Andawayanti, Ery Suhartanto, Pitoyo Tri Juwuno,
dan Arnoldus Nama
53. Rekayasa Perlintasan Sungai Bringin dan Jalan Tol Semarang-Batang .. 489
– Suseno Darsono, Ratih Pujiastuti, Lilis Suryani, dan Susilowati
54. Uji Model Hidraulik Fisik Pengendalian Banjir dengan Sistem
Pemompaan ........................................................................................................... 499
– Indrawan, Isdiyana, Indah Sri Amini
55. Evaluasi dan Pengendalian Banjir di Kabupaten Trenggalek :
Studi Kasus Banjir Agustus 2016 ..................................................................... 509
– Kurdianto Idi Rahman, Fendri Ferdian, Fahmi Hidayat
56. Pengembangan Formula Dekay - Mc.Cleland (2003) dalam Perhitungan
Jumlah Risiko Kehilangan Jiwa Akibat Bencana Keruntuhan Bendungan
di Indonesia ............................................................................................................ 519
– Anto Henrianto
57. Studi Interaksi Gelombang Tsunami Terhadap Struktur Mitigasi dan
Pengaruhnya dalam Pembentukan Run-Up di Daratan Pantai .................. 525
– Benazir, Radianta Triatmadja, Adam Pamudji Rahardjo, dan Nur Yuwono
58. Mitigasi Banjir untuk Bangunan Mikrohidro ................................................ 535
– Bambang Yulistiyanto
59. Studi Pengaruh Aliran Debris Kayu Terhadap Kenaikan Muka Air di
Pilar Jembatan ...................................................................................................... 545
– Farouk Maricar, M. Islamy Rusyda, Muhammad Farid Maricar,
dan Haruyuki Hashimoto
60. Penanaman Rumput Vetiver pada Tangkis Rawan Longsor :
Studi Kasus di Saluran Primer Bondoyudo Kabupaten Lumajang........... 555
– Fachrudin, Anton Dharma
61. Analisis Pengaruh Pengembangan Kawasan Industri Candi Terhadap
Banjir Sungai Bringin .......................................................................................... 563
– Erlyanto Eko Kurniawan, Rifqi Aditya Halimawan, Dwi Kurniani,
dan Suharyanto
62. Penerapan Prinsip Delta-Q Zero dalam Penanganan Dampak
Pengembangan Kawasan Industri Candi Terhadap Sungai Kreo .............. 573
– Luluk Afidah, Nuring Nafisah, Hary Budieny, dan Suharyanto
63. Pengaruh Pembangunan Bendungan Keureuto pada Peredaman Puncak
Banjir di Kabupaten Aceh Utara ....................................................................... 583
– Evi Anggraheni, Dwita Sutjiningsih, Muhammad Hafizh,
dan Elroy Koyari
ix
Sub Tema 1
Mitigasi, Adaptasi,
Pemantauan dan Evaluasi
Perubahan Iklim
xi
KOMPARASI MODEL HIDROLOGI RUNTUN WAKTU
UNTUK PERAMALAN DEBIT SUNGAI MENGGUNAKAN
ANN DAN TRANSFORMASI WAVELET – ANN
Intisari
Tujuan utama penelitian adalah membandingkan dua buah model hidrologi runtun
waktu untuk kebutuhan peramalan debit sungai sehingga akan diperoleh informasi
yang akurat untuk dapat dijadikan sebagai pengamatan waktu satu hari ke depan
di suatu titik kontrol penampang sungai. Metode pendekatan yang digunakan
untuk penelitian ini adalah dengan membandingkan antara Model ANN dan Model
Transformasi Wavelet–ANN (TW-ANN). Data pendukung penelitian diperoleh
dari pencatatan Automatic Water Level Record (AWLR) Stasiun Pantai Cermin
oleh Balai Wilayah Sungai (BWS) III Sumatera dari tahun 2002–2012, yang
selanjutnya data tersebut ditransformasikan menjadi data debit harian dengan
menggunakan persamaan liku kalibrasi (rating curve). Hasil training, testing dan
simulasi kedua model tersebut dilakukan proses pengujian dengan menggunakan
kriteria uji parameter statistik koefisien korelasi (R). Hasil utama penelitian
membuktikan bahwa Model Transformasi Wavelet – ANN memiliki unjuk kerja
lebih baik untuk kebutuhan peramalan debit Sungai Siak satu hari ke depan (Qt+1)
dengan nilai (R) 0.951 bila dibandingkan menggunakan Model ANN dengan nilai
(R) 0.948. Selanjutnya Model Transformasi Wavelet – ANN (TW-ANN) dan ANN
adalah tipe model yang memiliki klasifikasi korelasi sangat kuat (0,75 < R < 0.99).
Kata kunci: model, peramalan, debit, ANN, Transformasi Wavelet-ANN
LATAR BELAKANG
Peramalan aliran sungai dalam suatu proses hidrologis memiliki peran yang penting
agar dapat menghasilkan manajemen, perencanaan, dan penggunaan sumber daya
air secara akurat dan berkelanjutan. Untuk keperluan analisis hidrologi diperlukan
data hidrologi yang panjang, tetapi sering dijumpai data yang tersedia tidak lengkap
atau bahkan tidak ada sama sekali. Sesuai dengan karakteristik fenomena hidrologi
suatu daerah pengaliran sungai, aliran sungai berubah-ubah tidak beraturan, oleh
karena itu sukar untuk meramalkan besarnya debit yang melintasi penampang
sungai secara pasti pada suatu saat tertentu. Untuk mendekati fenomena tersebut
maka perlu dikembangkan suatu analisis sistem hidrologi dengan menggunakan
model yang merupakan penyederhanaan kenyataan alam yang sebenarnya (Iwan
Kridasantausa Hadihardaja dkk, 2005).
Banyak fenomena keteknikan dan alam yang sulit dan rumit, yang perlu didekati
(diprediksi) dengan model fisik dan/atau model matematik, sehingga dalam
kesehariannya para ilmuwan akan selalu bergelut dengan pemodelan. Dalam
pemodelan, tentu mengandung ketidaksamaan atau kesalahan. Kesalahan tersebut
1
mungkin dikarenakan skemanya, asumsi-asumsi, ataupun karena faktor
manusianya (Pratikto, 1999). Kesalahan merupakan bentuk ketidakberdayaan
ilmuwan atas ketidakmampuannya dalam menerangkan seluruh fakta yang
diperoleh merangkai dalam sebuah model. Tugas utama ilmuwan adalah bagaimana
menerangkan suatu fakta/fenomena suatu model sedemikian hingga akan
mempunyai kesalahan sekecil-kecilnya (Iriawan, 2005).
Pada dekade terakhir ini, model softcomputing sebagai cabang dari ilmu kecerdasan
buatan diperkenalkan sebagai alat peramalan seperti knowledge based system,
expert system, fuzzylogic, artificial neural network (ANN) dan genetic algorithm
(Pramanik, N. dan Panda, R. K, 2009). Dasar pemilihan model softcomputing sebagai
tool dalam pemodelan sistem, pemodelan softcomputing sangat menguntungkan
bekerja pada sistem tak linier yang cukup sulit model matematikanya, serta
fleksibilitas parameter yang dipakai yang biasa merupakan kendala pada tool yang
lain. (Purnomo, 2004).
Sebelum dilakukan proses peramalan dengan ANN, diduga bahwa data mentah
runtun waktu masih mempunyai pola-pola tersembunyi yang dipengaruhi oleh
variabel waktu, misalnya pola trend, musiman, siklus atau random. Pola-pola ini
dapat menjadi masukan tambahan bagi ANN,sehingga diharapakan kemampuan
ANN untuk melakukan proses peramalan dapat meningkat (Wylie Yustanti, 2004).
Tujuan utama penelitian adalah membandingkan hasil model peramalan debit aliran
sungai untuk satu hari ke depan antara metode Transformasi Wavelet – ANN
dengan metode ANN sehingga akan diperoleh informasi debit aliran sungai yang
lebih akurat guna meramalkan kondisi debit aliran untuk dapat digunakan sebagai
pengamatan dalam satu hari ke depan pada suatu titik kontrol di Sungai Siak,
Provinsi Riau.
KAJIAN PUSTAKA
Salah satu komponen softcomputing yang telah banyak diaplikasikan dalam
pengembangan bidang rekayasa keairan adalah metode ANN algoritma
backpropagation Penelitian sejenis telah dilakukan untuk melakukan peramalan
debit sungai di Sungai Brahmaputra, India. Hasil utama penelitian membuktikan
bahwa hasil ketepatan dari model peramalan hidrologi runtun waktu debit sungai
menggunakan algoritma ANN yang diuji menggunakan kriteria parameter statistik
koefisien Mean Relative Error (MRE) memiliki jangkauan ketepatan peramalan
terbaik untuk satu hari ke depan (t + 1) sebesar 0.96 (Deka dkk, 2012).
Metode gabungan Transformasi Wavelet - ANN telah dilakukan penelitian oleh
Adamowski,dkk (2010) untuk memprediksi debit aliran yang memiliki
karakteristik sungai non perennial dengan DAS semi kering (semi arid watershed)
di Sungai Xeros dan Sungai Kargotis, Syprus. Hasil penelitian membuktikan bahwa
metode pendekatan Transformasi Wavelet- ANN menghasilkan tingkat akurasi
yang akurat guna memprediksi debit aliran untuk satu hari ke depan (Q t+1 ) dan tiga
hari ke depan (Q t+3 ) dalam hal memprediksi debit aliran bila dibandingkan metode
ANN yang diukur menggunakan kriteria uji parameter statistik koefisien korelasi
(R) dan koefisien Kesalahan Rata-rata Kuadrat (RMSE).
2
2
LANDASAN TEORI
Artificial Neural Network (ANN)
Menurut Fausett (1994) bahwa ANN adalah merupakan salah satu representasi
buatan dari otak manusia yang selalu mencoba untuk mensimulasikan proses
pembelajaran pada otak manusia tersebut.Istilah buatan disini digunakan karena
jaringan syaraf ini diimplementasikan dengan menggunakan program komputer
yang mampu menyelesaikan sejumlah proses perhitungan selama proses
pembelajaran (training data).
Algoritma Pembelajaran Backpropagation
Dikatakan Kusumadewi (2002), backpropagation adalah algoritma pembelajaran
yang terawasi dan biasanya digunakan oleh perceptron dengan banyak lapisan
untuk mengubah bobot-bobot yang terhubung dengan neuron-neuron yang ada pada
lapisan tersembunyinya. Algoritma backpropagation menggunakan error output
untuk mengubah nilai-nilai bobot-bobotnya dalam arah mundur. Untuk
mendapatkan error ini, tahap perambatan maju harus dikerjakan terlebih dahulu.
Pada saat perambatan maju, neuron-neuron diaktifkan dengan menggunakan fungsi
aktifasi. Selanjutnya arsitektur jaringan backpropagation dapat dilihat seperti pada
Gambar 1 (Kusumadewi, 2004).
3
3
n
y _ netk wk 0 zi wkj
i 1 (2)
1
yk f ( y _ netk )
1 e y _ net k (3)
Fase II : Propagasi mundur
g. Langkah 6 : Hitung faktor unit keluaran berdasarkan kesalahan disetiap
unit keluaran yk ( k = 1,2,…,m)
k (tk yk ) f ( ynetk ) (tk yk ) yk (1 y k )
(4)
k merupakan unit kesalahan yang akan dipakai dalam perubahan bobot
layar di bawahnya (langkah7). Hitung suku perubahan bobot wkj (yang
akan dipakai nanti untuk merubah bobot wkj) dengan laju percepatan α
wkj k z j k = 1,2,…,m;j=0,1,..,p (5)
4
4
awal sangat mempengaruhi apakah jaringan mencapai titik minimum lokal atau
global, dan seberapa cepat konvergensinya. Oleh karena itu dalam standar
backpropagation, bobot dan bias diisi dengan bilangan acak kecil dan biasanya
bobot awal diinisialisasi secara random dengan nilai antara -0.5 sampai 0.5.
Transformasi Wavelet
Konsep Denoising dengan Wavelet
Pendekatan klasik untuk denoising time series berasal dari analisis Fourier yang
mengasumsikan bahwa noise merupakan bentuk lain dari getaran pada frekuensi
tinggi. Dengan pemikiran ini, suatu time series pada dasarnya dapat didekomposisi
ke dalam bentuk gelombang sinus dari frekuensi berbeda dan apabila dilakukan
proses penghilangan noise, maka hanya data frekuensi rendah yang akan
ditinggalkan dalam pola time series. Transformasi Wavelet untuk penghilangan
noise (denoising) mengasumsikan bahwa analisis time series pada resolusi yang
berbeda mungkin dapat memisahkan antara bentuk sinyal asli (pola data
sebenarnya) dengan noise nya.
Dikatakan Dadu, dkk (2013) sebelum dilakukan proses peramalan data runtun
waktu debit aliran sungai sebagai input model ANN terlebih dahulu dilakukan
proses penyaringan data menggunakan Metode Transformasi Wavelet.
Transformasi Wavelet Diskrit memiliki keluarga diantaranya adalah Haar,
Daubechies, Symlets, Coiflets. Wavelet Daubechies merupakan salah satu jenis
Transformasi Wavelet Diskrit yang paling terkenal dan banyak dipergunakan dalam
bidang citra digital, audio, kelistrikan dan hal-hal lain yang berhubungan dengan
penggunaan sinyal.
METODOLOGI STUDI
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada DAS Siak bagian Hulu dengan lokasi stasiun duga air
otomatis Pantai Cermin. lokasi penelitian dapat dilihat seperti pada Gambar 2.
5
5
Analisis Penelitian
Analisis penelitian dilakukan mempersiapkan data debit aliran yang sudah
dihilangkan noise data menggunakan Transformasi Wavelet menggunakan
keluarga Daubechies 5 (db5) untuk level 1, 2 dan 3 yang selanjutnya dilakukan
sebagai input data untuk pengembangan model hidrologi runtun waktu untuk
peramalan debit sungai menggunakan algoritma backpropagation struktur ANN
dengan komposisi proses training data sebanyak 70% dari total data debit dari tahun
2002 – 2010, proses testing data sebanyak 30% dari total data debit dari tahun
2002 – 2010, proses checking data sebanyak 100% dari total data debit dari tahun
2002 – 2010 dan proses peramalan data debit menggunakan data dari tahun 2011-
2012.
Uji Ketelitian Model
Uji ketelitian model dilakukan menggunakan uji parameter statistik koefisien
korelasi (R) yang mengikuti persamaan matematis sebagai berikut :
iN
Q
i 1
p Qm
R
i N iN
2
1/ 2
Q p Qm
2
i 1
(10)
i 1
6
6
HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN
Model ANN
Perancangan arsitektur jaringan dengan struktur ANN disesuaikan dengan format
training data, yaitu jaringan dengan satu masukan terdiri dari data hasil pengukuran
debit pada saat waktu t (Q t ) dan satu keluaran yaitu debit pada saat waktu ke t+n
(Qt+n ) yang secara matematis dapat diformulasikan dalam bentuk Persamaan
sebagai berikut.
Qt+n = f (Q t ) untuk n = 1,2,3,4…n (11)
Input data pada proses training dengan menggunakan data debit tahun 2002 – 2010
(kecuali 2007) di Stasiun Pos Duga Pantai Cermin yang hasil selengkapnya
disajikan seperti pada Gambar 4.
Hasil Training dan Testing Data Model ANN
Proses training data dilakukan dengan menggunakan program bantu MATLAB
Versi 7.0 dengan cara melakukan penyetelan input parameter neuron, transfer
functions, epoch dan max fail, learning rate dan momentum dengan cara melakukan
pengecekan terhadap nilai koefisien korelasinya. Adapun hasil selengkapnya pola
hubungan antara neuron, transfer functions, epoch dan max fail, learning rate dan
momentum dan nilai koefisien korelasi (R) pada tahap training data disajikan
seperti pada Tabel 2. di bawah ini.
Tabel 2. Nilai Optimal Parameter ANN Pada Training Data
Parameter Neuron Hasil Trial dan Error Koefisien korelasi Klasifikasi
Neuron 15 0.967 Sangat Kuat
Transfer Function tansig – pureline 0.969 Sangat Kuat
Epoch dan Max Fail 10000 0.972 Sangat Kuat
Learning Rate 0.01 0.972 Sangat Kuat
Momentum 0.90 0.972 Sangat Kuat
Merujuk hasil Tabel 2 di atas, bahwa pada tahap training data untuk kebutuhan
peramalan debit sungai untuk satu hari ke depan menghasilkan nilai R pada rentang
0.75 < R < 0.99 yang diklasifikasikan korelasi sangat kuat. Selanjutnya proses
testing data dilakukan dengan menguji sistem ANN berdasarkan parameter hasil
proses training data menggunakan hasil nilai R dengan cara diberikan masukan
data yang tidak dipergunakan untuk data proses training. Hasil nilai R pada tahap
testing data 0.978.
Hasil Peramalan Model ANN
Peramalan debit aliran sungai dilakukan berdasarkan data tahun 2011- 2012 untuk
debit sungai untuk satu hari ke depan (Q t+1 ) hasil nilai R pada tahap peramalan
adalah sebesar 0.949 yang selanjutnya didiskripsikan dalam bentuk grafik pola
hubungan antara debit sebagai fungsi waktu antara model ANN dengan hasil
pengukuran yang disajikan seperti pada Gambar 5 (Suprayogi, 2015).
7
7
Gambar 4. Data Debit Sungai SiakTahun Gambar 5. Hasil Peramalan Debit Aliran
2002-2010 Sungai Satu Hari ke Depan (Qt+1)
Model Transformasi Wavelet-ANN
Perancangan arsitektur jaringan dengan struktur Transformasi Wavelet - ANN
disesuaikan dengan format training data, yaitu jaringan dengan satu masukan terdiri
dari data hasil pengukuran debit runtun waktu pada saat waktu t (Q t ) yang telah
dihilangkan noise nya menggunakan Daubechies Wavelet untuk level 1, level 2 dan
level 3 dan satu output yaitu debit pada saat waktu ke t+1 (Q t+1 ). Pola hubungan
antara input dan output yang disajikan seperti pada Tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3. Skema Model Peramalan Debit Aliran Sungai Menggunakan
Metode Gabungan Transformasi Wavelet - ANN
Skema Input Output
1 dB1Q t Qt+1
2 dB2Q t Qt+1
3 dB3Q t Qt+1
8
8
Gambar 7. Hasil Training, Testing dan Validasi Model TWdb 5 –ANN
Hasil Peramalan Model Transformasi Wavelet - ANN
Setelah dilakukan proses pentahapan training, testing dan simulasi data maka
dilakukan proses peramalan debit sungai untuk satu hari ke depan (Q t+1 ) yang hasil
peramalan terbaik adalah model Transformasi Wavelet db5 level 1 - ANN dengan
memiliki tingkat korelasi sebesar 0.9501. Selanjutnya diskripsi hasil pola
pencocokan antara model Transformasi Wavelet db5 level 1- ANN dengan hasil
pengukuran debit pada pos duga air otomatis Pantai Cermin disajikan seperti pada
Gambar 8.
Gambar 8. Hasil Peramalan Debit Aliran Sungai Satu Hari ke Depan (Q t+1 )
9
9
REFERENSI
Adamowski, Jand Sun, K., 2010. Development of Coupled Wavelet Transform and Neural
Network Method For Flow Forecasting of Non Perennial Rivers in Semi Arid
Watershed. Journal of Hydrology 2010. Vol. 390 pp85-91
Dadu, K.S., dan Deka, P. C., 2013. Multistep Lead Time Forecasting of Hydrologic Time
Series Using Daubechies Wavelet – Artificial Neural Network Hybrid Model.
International Journal Sciencetific and Engineering Research 2013. Vol. 4.pp.115-
124
Deka, P.C., Haque, L. dan Banhati, A.G., 2012. Discrete Wavelet-ANN Approach in Time
Series Flow Forecasting a Case Study Brahmaputra River. International Journal
Earth Science and Engineering Research. August 2012 Vol. 05, No 4 pp 673-685
Donoho, D. L dan Johnstone, M. 1995. De-Noising by Soft-Threshold, IEEE Trans, On Inf
Theory, Vol 41, 3, pp. 613-627.
Fausset, L., 1996. Fundamentals of Neural Networks, Architectures, Algorithms, and
Applications, New Jersey: Prentice Hall, Upper Saddle River
Hadihardaja, I. K. dan Sutikno.2005. Pemodelan Curah Hujan– Limpasan Menggunakan
Artificial Neural Network (ANN) dengan Metode Backpropagation, Jurnal Teknik
Sipil Institut Teknologi Bandung (ITB), vol 12 No 4 Oktober 2005, hal 249-257
Iriawan, N., 2005. Pengembangan simulasi stokhastik dalam statistika komputasi data
driven, Pidato Pengukuhan untuk Jabatan Guru Besar dalam Bidang Statistik
Komputasi dan Proses Stokhastik Pada Jurusan Statistik Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, 2005
Kusumadewi, S., 2002. Artificial Intelligence Teori dan Aplikasinya, Jogyakarta: Graha
Ilmu.
Pratikto, W.A., 1999. Aplikasi Pemodelan Di Teknik Kelautan, Surabaya: Pidato
Pengukuhan Untuk Jabatan Guru Besar Dalam Bidang Aplikasi Numerik dan
Mekanika Fluida Pada Jurusan Teknik Kelautan Fakultas Teknik Kelautan (FTK)
Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Purnomo, M. H. 2004. Teknologi Soft Computing : Prospek dan Implementasinya Pada
Rekayasa Medika dan Elektrik, Surabaya : Pidato Pengukuhan Untuk Jabatan Guru
Besar Dalam Ilmu Artificial Intelligence Pada Fakultas Teknologi Industri (TI)
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Pramanik, N. dan Panda, R. K., 2009. Application Artificial Neural Network and Adaptive
Neuro Fuzzy Inference System for River Flow Prediction. International Journal
Hydrological Sciences 2009. No 54 Vol. 2.pp.247-260
Suprayogi, I., 2015. Model hidrologi runtun waktu untuk peramalan debit aliran sungai
menggunakan pendekatan ANN, Seminar Nasional Teknik Infrastruktur dan
Lingkungan Hidup, Manado 7 September 2015, Politeknik Negeri Manado
(POLINEMA).
Suwarno, 1999. Statistik Hidrologi,Bandung : PT. Nova
Wilyie Yustanti, 2004. Peramalan Data Time Series Menggunakan Metode Gabungan
Transformasi Wavelet Dan Jaringan Syaraf Tiruan, Surabaya: Tesis Master Program
Pascasarjana, Teknik Informatika Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
10
10
STUDI PENGARUH EL-NINO DAN LA-NINA TERHADAP
HUJAN HARIAN WILAYAH PRINGSEWU DENGAN
MENGGUNAKAN METODE SPEKTRAL
Intisari
Kejadian El-Nino dan La-Nina berpengaruh terhadap tingkat variasi perubahan
Iklim di Indonesia pada umumnya dan Provinsi Lampung pada khususnya. Kondisi
ini akan menimbulkan perubahan variasi waktu dan tinggi hujan yang terjadi.
Dimana El-Nino dan La-Nina dapat menyebabkan terjadinya musim kemarau dan
musim penghujan yang ekstrim. Sehingga awal musim kemarau dan awal musim
penghujan serta lamanya waktu kejadian musim kemarau dan penghujan menjadi
lebih panjang. Hal inilah menyebabkan tejadinya kekeringan yang panjang dan
terjadinya banjir terjadi dimana mana temasuk di wilayah provinsi Lampung.
Tingginya fenomena pengaruh El-Nino dan La-Nina perlu diperkirakan agar
tingginya tingkat resiko kejadian bencana kemarau dan banjir dapat diukur dengan
lebih akurat. Dengan menggunakan metode Spektral pada data curah hujan harian
dari beberapa stasiun di wilayah Pringsewu, tingginya perngaruh El-Nino dan La-
Nina terhadap data curah hujan tersebut dapat diperkirakan. Dari hasil penelitian
menunjukkan bahwa telah terjadinya pergeseran musim kemarau dan penghujan
serta adanya pengaruh El-Nino dan La-Nina yang cukup dominan terhadap curah
hujan harian di wilayah Pringsewu.
Kata Kunci: El-Nino, La-Nina, curah hujan harian, Pringsewu, metode spektral.
LATAR BELAKANG
Di Indonesia, perubahan iklim ekstrim seringkali terjadi, hal ini terutama
disebabkan karena adanya fenomena El-Nino Southern Oscialltion (ENSO). Dari
banyak kejadian diketahui bahwa adanya korelasi yang kuat antara kejadian ENSO
dengan semakin bervariasinya kejadian dan tinggi hujan di Indonesia seperti
kemarau panjang pada tahun-tahun El-Nino, akan tetapi tinggi hujan menjadi jauh
di atas normal pada tahun-tahun La-Nina. Selain itu, pemanasan global juga akan
menimbulkan dampak yang dapat meningkatkan kejadian kekeringan dan banjir
dimana mana di seluruh indonesia. Selain itu, fenomena perubahan iklim ini
membuat terjadinya perubahan baik dimulainya awal musin serta panjang musim
yang juga mengalami pergeseran.
Adapun yang dimaksud dengan El-Nino adalah suatu gejala alam yang berupa
gangguan iklim yang diakibatkan karena naiknya suhu permukaan laut Samudera
Pasifik sekitar khatulistiwa bagian tengah dan timur. Dengan naiknya suhu di
11
Samudera Pasifik ini mengakibatkan terjadinya perubahan pola angin dan curah
hujan yang ada di atasnya. Biasanya, pada saat normal, hujan banyak turun di
Australia dan Indonesia, namun akibat pengaruh El-Nino, hujan lebih banyak
turun di Samudera Pasifik, sehingga di Australia dan Indonesia menjadi kering,
sedangkan La-Nina adalah suatu gejala alam yang berupa gangguan iklim yang
diakibatkan turunnya suhu permukaan laut Samudera Pasifik dibandingkan dengan
suhu dari daerah sekitarnya. Akibat dari La-Nina ini, tinggi hujan menjadi di atas
normal, dimana hujan turun lebih banyak dan lebat di Samudera Pasifik sebelah
barat Australia dan Indonesia,sehingga daerah yang terkena dampak La-Nina bisa
terjadi banjir di mana mana.
Proses kejadian El-Nino dan La-Nina dapat dijelaskan sebagai berikut, dimana
pada saat kondisi iklim normal, angin passat bertiup dari tekanan tinggi Sub Tropis
(dari arah timur) menuju tekanan rendah ekuator (barat). Akibatnya air hangat dari
Samudera Pasifik berkumpul di pantai Utara Australia dan pantai Indonesia. Hal
inilah yang mengakibatkan turun hujan di Australia dan Indonesia. Akan tetapi
setiap dua tahun sampai tujuh tahun sekali, arah bertiupnya Angin Passat tersebut
mengalami berubahan. Semula angin bertiup dari arah timur ke barat ini mengalami
perubahan menjadi bertiup dari arah barat ke arah timur. Hal inilah yang dikatakan
sebagai fenomena El-Nino yang mengakibatkan Samudera Pasifik dan Indonesia
berkurang curah hujan dari biasanya. Kemudian untuk fenomena La-Nina, ini terjadi
karena angin passat bertiup kencang dan terus menerus dari timur ke arah barat
melewati Samudera Pasifik menuju Australia. Angin Passat ini akan mendorong
lebih banyak air hangat di Samudera Pasifik menuju Australia Utara sehingga hujan
hanyak turun di Samudera Pasifik Barat, Australia Utara dan Indonesia.
El-Nino Southern Oscillation (ENSO) merupakan salah satu fenomena perubahan
iklim ekstrim yang terjadi di wilayah Pasifik Tropis. Fenomena ini memainkan
peranan penting dalam meningkatkan keragaman iklim di Indonesia, khususnya
intensitas, variasi kejadian/frekuensi dan tinggi curah hujan. Penurunan intensitas
dan frekuensi curah hujan yang disebabkan oleh El-Nino mengakibatkan semakin
meningkatnya bencana kekeringan sehingga menyebabkan dampak yang signifikan
bagi masyarakat yang terkena dampak. Sebaliknya pada saat La-Nina, akan
terjadi peningkatan kejadian banjir dan meluasnya wilayah terendam banjir akibat
meningkatnya peluang kejadian hujan ekstrim (Acccrn, 2010).
Menurut Supari (2016), di beberapa wilayah seperti Sumsel, Babel, Lampung,
Jateng, Jatim, Bali-NTB-NTT, Kalsel, Sulsel, Sultra, Maluku dan sebagian Papua
terkena dampak El-Nino sehingga curah hujan hanya turun dalam kisaran 10-30
% dibanding normalnya. Akan tetapi, menurut BMKG juga, wilayah Sumatera
Utara Bagian Barat, Sumatera Barat bagian Barat, Sumatera Selatan, Lampung,
Jawa bagian Barat, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah,
Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawsi
Tenggara, dan Papua diprediksi akan mengalami curah hujan di atas normal pada
periode musim kemarau.
Walaupun diketahui bahwa pengaruh El-Nino dan La-Nina berdampak pada
perubahan tingginya curah hujan di Indonesia umumnya dan di provinsi Lampung
12
khususnya dengan periode 2 sampai 7 tahunan, akan tetapi seberapa kuat/dominan
nya pengaruh El-Nino dan La-Nina terhadap data curah hujan harian dari beberapa
stasiun curah belum dapat diperkirakan. Padahal perkiraan pengaruh dampak
fenomena El-Nino dan La-Nina yang lebih akurat pada suatu daerah diperlukan
untuk memperkiraan curah hujan rencana yang sangat diperlukan dalam perencanaan
perencanaan bangunan air. Oleh karena itu untuk dapat memperkirakan tinggi
curah hujan yang akurat diperlukan pengembangan metode metode yang dapat
memperkirakan pengaruh El-Nino dan La-Nina yang terjadi pada data curah hujan
dari suatu stasiun untuk masing masing daerah.
METODOLOGI STUDI
1. Wilayah Studi
Wilayah studi dari penelitian ini adalah daerah Pringsewu. Daerah ini dulunya
merupakan salah satu daerah di Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung, In-
donesia.
2. Data Hujan Harian
Data hujan harian yang dipergunakan dari penelitian ini adalah data hujan har-
ian dari stasiun Podoredjo (PH-015), stasiun Fajar Esuk (PH-016), dan stasiun
Panutan (PH-018). Panjang data dari stasiun ini masing masing stasiun adalah,
17 tahun (1990-2006), 17 tahun (1990-2006), dan 16 tahun (1985-2000). Data
hujan dari masing masing stasiun di presentasikan seperti dalam Gambar 1,
Gambar 2, dan Gambar 3.
3. Landasan Teori
Untuk dapat melihat osilasi data panjang seri waktu atau perulangan suatu data
panjang seri waktu, data tersebut harus dipresentasikan dalam bentuk frekuensi
atau spektrum. Untuk dapat merubah suatu data panjang seri waktu (time series)
menjadi
(time bentuk
series) data dalam
menjadi bentukdomain frekuensi
data dalam diperlukan
domain frekuensimetode spektral
diperlukan (spe-
metode
ktrum). Data
spektral curah hujan
(spektrum). Data harian seri waktu
curah hujan dapat
harian seri di transformasi
waktu dapat di menjadi data
transformasi
dalam bentuk
menjadi data spektrum dalam domain
dalam bentuk frekuensi
spektrum dalamdengan
domainmenggunakan
frekuensi metode
dengan
menggunakan
spektral. metode spektral.
Metode spektral
spektral merupakan
merupakansalah
salahsatu
satumetode
metode transformasi
transformasi yang
yang umumnya
umumnya di-
dipergunakan
pergunakan di di dalam
dalam banyak
banyak aplikasi.
aplikasi. Metode
Metode ini dipresentasikan
ini dipresentasikan sebagai
sebagai pers-
persamaan Transformasi
amaan Transformasi Fourier
Fourier sebagai
sebagai berikutberikut
(Cooley(Cooley dan 1965;
dan Tukey, Tukey, 1965;
Zakaria,
Zakaria, 2003; Zakaria, 2008; Zakaria, 2011; Zakaria,
2003; Zakaria, 2008; Zakaria, 2011; Zakaria, 2015), 2015),
2πi
.m.n
Δt n= N / 2
M ............................................................... (1)
P f m = Pt n e (1)
2 π n= N / 2
dengan
dengan keterangan:
keterangan:
P
P (tn) : seri
(tn) : seri curah
curah hujan
hujan hasil
hasil pengamatan
pengamatan dalam
dalam domain
domain waktu
waktu
P(fm) : curah hujan dalam domain frekuensi
P(fm) : curah hujan dalam domain frekuensi
tn
tn :: variabel
variabel waktu
waktu yang
yang mempresentasikan
mempresentasikan panjang
panjang data
data ke
ke N
N
fm : variabel dari frekuensi
fm : variabel dari frekuensi
HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan tinggi hujan harian dari stasiun Panutan (PH-018), stasiun Fajar
13
Esuk (PH-016), dan stasiun Podoredjo (PH-015), dengan menggunakan metode
Spektral didapat spektrum curah hujan yang dipresentasikan sebagaimana pada
Gambar 1. Curah hujan harian dari stasiun Panutan (PH-018) tahun 1985 – 2000.
Gambar 2. Curah hujan harian dari stasiun Fajar Esuk (PH-016) tahun 1990
–2006.
Gambar 3. Curah hujan harian dari stasiun Podoredjo (PH-015) tahun 1990 –2006.
14
HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan tinggi hujan harian dari stasiun Panutan (PH-018), stasiun Fajar Esuk
(PH-016), dan stasiun Podoredjo (PH-015), dengan menggunakan metode Spektral
didapat spektrum curah hujan yang dipresentasikan sebagaimana pada Gambar 4,
Gambar 5, dan Gambar 6.
Gambar 4. Spektrum curah hujan dari data curah hujan stasiun Panutan (PH-018).
15
Gambar 4, 5, dan 6 di atas menunjukkan spektrum curah hujan dari stasiun Panutan,
stasiun Fajar Esuk, dan stasiun Podoredjo. Spektrum yang dihasilkan dari stasiun
Panutan, stasiun Fajar Esuk dan stasiun Podoredjo yang dihasilkan menunjukkan
karakteristik yang sama. Dari ke tiga stasiun tersebut menunjukkan bahwa Power
Spektral Density (PSD) maksimum terjadi pada spektrum Panutan untuk periode
343,7 hari, PSD maksimum spektrum Fajar Esuk terjadi untuk periode 344,9 hari,
dan PSD maksimum Podoredjo terjadi untuk periode 339,1 hari. PSD maksimum
ini menunjukkan bahwa perulangan kejadian hujan sangat dominan dipengaruhi
oleh tahunan dibandingkan dengan periode yang kurang dari satu tahun atau yang
lebih dari satu tahun. Untuk PSD dengan periode panjang lebih dari 300 hari dapat
dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Spektrum curah hujan stasiun Panutan untuk periode > 300 hari.
Gambar 8. Spektrum curah hujan stasiun Fajar Esuk untuk periode > 300 hari.
16
Gambar 1. Spektrum curah hujan stasiun Podoredjo untuk periode > 300 hari.
Gambar 7, Gambar 8, dan Gambar 9, menunjukkan spektrum curah hujan dari
stasiun Panutan, stasiun Fajar Esuk dan stasiun Podoredjo untuk periode lebih dari
300 hari.
Dari ketiga gambar spektrum tersebut menunjukkan adanya fenomena El-Nino dan
La-Nina. Dari spektrum curah hujan Panutan menunjukkan adanya fenomena El-
Nino dan La-Nina yang terjadi cukup dominan untuk periode 531 hari (1,5 tahunan),
974 hari (2,7 tahunan), dan 1461 hari (4 tahunan). Dari stasiun curah hujan Fajar
Esuk juga menunjukkan adanya fenomena El-Nino dan La-Nina yang terjadi cukup
dominan untuk periode 776 hari (2,1 tahunan). Untuk stasiun Podoredjo juga
menunjukkan adanya fenomena El-Nino dan La-Nina, akan tetapi kurang dominan
dibandingkan dengan stasiun lainnya, dengan ini terjadi untuk periode 1583 hari
(4,3 tahunan).
Dari ke tiga stasiun tersebut menunjukkan bahwa fenomena El-Nino dan La-Nina
lebih kuat pengaruhnya untuk stasiun Panutan, sedangkan untuk stasiun Podoredjo
pengaruh El-Nino dan La-Nina paling lemah bila dibandingakan dari ke tiga stasiun
lainnya.
Selain itu, dari ke tiga stasiun terlihat bahwa PSD maksimum rata rata terjadi untuk
periode kurang dari 365 hari. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran iklim atau
perubahan iklim yang sudah terjadi sejak dahulu.
17
Rekomendasi
Penelitian lanjutan perlu dilakukan dengan menggunakan data yang lebih panjang
dan dengan metode lainnya agar dapat diambil kesimpulan yang lebih akurat.
REFERENSI
ACCCRN (Asian Cities Climate Change Resilience Network), 2011. Strategi Ket-
ahanan Kota Bandar Lampung terhadap Perubahan Iklim 2011 – 2030, Dis-
usun oleh Kelompok Kerja Kota: Maulana Mukhlis, Desti Mega Putri, dan
Dini Purnamawaty, Bandar Lampung, Publikasi : ACCCRN
Cooley, James W. Tukey, John W. 1965. An Algorithm for the machine calculation
of Complex Fourier Series, Mathematics of Computation, Vol. 19 (90): 297
– 301.
Supari, 2016. Sejarah dampak El Nino di Indonesia, http://www.bmkg.go.id/
bmkg_pusat/lain_lain/artikel/Sejarah_Dampak_El_Nino_di_Indonesia.
bmkg [diakses pada tanggal 16 September 2016]
Zakaria, A. 2015. Pemodelan Periodik Stokastik Curah Hujan Harian dari Wilayah
Pringsewu, Rekayasa, Jurnal Teknik Sipil dan Perencanaan, Vol. 19 (3): 153
– 166.
Zakaria, A. 2011. Stochastic Characteristics of Daily Rainfall at Purajaya Region,
ARPN Journal of Engineering and Applied Sciences, Vol. 6 (6): 23 – 30.
Zakaria, A. 2008. The generation of synthetic sequences of monthly cumulative
rainfall using FFT and least squares method, Prosiding Seminar Hasil Pene-
litian & Pengabdian kepada masyarakat Universitas Lampung,Vol. 1: 1-15.
Zakaria, A. 2003. Numerical modeling of wave propagation using higher order fi-
nite-difference formulas, PhD Thesis, Curtin University of Technology, Perth,
W.A., Australia.
18
KAJIAN INDEKS KEKERINGAN KEBASAHAN SPI
TERHADAP LUAS PERSAWAHAN YANG TERKENA
DAMPAK BANJIR DAN KEKERINGAN
Intisari
Indonesia merupakan Negara beriklim tropis yang mengalami 2 musim yaitu musim
hujan dan kemarau. Musim hujan dan musim kemarau seringkali mengakibatkan
banjir dan kekeringan. Dampak yang ditimbulkan dari kedua kejadian tersebut
beragam, mulai dari kerusakan kecil hingga besar dan terkadang dapat mengancam
jiwa manusia, salah satunya adalah kerusakan terhadap area persawahan sehingga
menggagalkan panen dari sawah – sawah yang terkena dampak banjir atau
kekeringan tersebut. Monitoring terhadap banjir dan kekeringan merupakan salah
satu upaya yang diharapkan dapat meminimalisasi dampak yang ditimbulkan
oleh kedua kejadian tersebut. Metode yang dilakukan adalah menganalisa nilai
indeks kekeringan kebasahan SPI sebagai hasil monitoring hujan. Indeks tersebut
diharapkan mampu mengukur tingkat kering dan basah yang perlu divalidasi melalui
analisis dalam tulisan ini, seperti mencari kuatnya hubungannya dengan dampaknya
(jumlah hektar sawah kena bencana banjir dan kekeringan) serta dengan hujan badai
dan hujan musiman. Selanjutnya, analisis sejenisnya dapat diarahkan ke prediksi
dan resiko kekeringan yang merupakan bagian dari upaya mitigasi menggunakan
Disaster Risk Management.
Kata Kunci: banjir, kekeringan, sawah, SPI
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara yang mengalami dua musim yaitu musim hujan dan
kemarau. Kedua musim ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti angin monsoon,
fenomena alam El Nino Southern Oscillation (ENSO) di samudera Pasifik, dan
fenomena alam Indian Ocean Dipole (IOD) di samudera Hindia yang berdampak
pada timbulnya kejadian banjir dan kekeringan.
Banjir dan kekeringan adalah salah satu bencana di Indonesia yang penanganannya
belum dilakukan secara maksimal melainkan hanya secara spontan setelah kejadian
banjir terjadi. Banjir menjadi masalah dan berkembang menjadi bencana ketika
banjir tersebut mengganggu aktivitas manusia bahkan hingga membawa korban
19
jiwa dan harta benda, sedangkan kekeringan dapat menjadi bencana apabila mulai
menyebabkan suatu wilayah kehilangan sumber pendapatan akibat gangguan pada
pertanian dan ekosistem yang ditimbulkannya. Di Indonesia, banjir dan kekeringan
merupakan kejadian rutin yang terjadi di berbagai daerah bahkan di kota-kota
besar sekalipun. Kedua permasalahan ini menimbulkan berbagai dampak salah
satunya merusak lahan persawahan dan menggagalkan panen yang berdampak pada
menurunnya produksi pangan.
Pangan merupakan salah satu kebutuhan paling mendasar bagi setiap Negara tak
terkecuali Indonesia. Namun banjir dan kekeringan seringkali menurunkan produksi
pangan akibat dampak yang ditimbulkannya. Oleh karena itu, diperlukan suatu
cara yang dapat memonitoring dan memprediksi kejadian banjir dan kekeringan
sehingga penanggulangannya dapat dipersiapkan dari jauh – jauh hari. Sehingga
pada makalah ini akan dilakukan analisis indeks kekeringan kebasahan berbagai
skala waktu yang menunjukkan kondisi basah atau kering dan akan dihubungkan
dengan luas area sawah pada satu wilayah yang sama, diharapkan memiliki
hubungan yang kuat sehingga dapat memonitoring dan memprediksi jangka waktu
dari munculnya setiap kejadian banjir dan kekeringan.
Kajian Pustaka
Banjir
Banjir adalah fenomena alam yang terjadi di kawasan yang banyak dialiri oleh aliran
sungai, sedangkan secara sederhana, banjir didefinisikan sebagai hadirnya air suatu
kawasan luas sehingga menutupi permukaan bumi kawasan tersebut. Berdasarkan
SK SNI M-18-1989-F 1989, bahwa banjir adalah aliran air yang relatif tinggi, dan
tidak tertampung oleh alur sungai atau saluran (Suparta, 2004).
Telah timbul salah pengertian yang disebabkan oleh kerancuan dalam pemakaian
istilah “banjir”. Dalam bahasa populer, pengertian banjir biasanya diartikan
sebagai aliran/genangan air yang menimbulkan kerugian ekonomi atau bahkan
menyebabkan kehilangan jiwa. Dalam istilah teknis, banjir adalah aliran air sungai
yang mengalir melampaui kapasitas tampung sungai dan dengan demikian, aliran air
sungai tersebut akan melewati tebing sungai dan menggenangi daerah di sekitarnya
(Asdak, 1995).
Kekeringan
Kekeringan adalah kurangnya air bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya
pada suatu wilayah yang biasanya tidak kekurangan air. Kekeringan didefinisikan
sebagai pengurangan persediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara
signifikan di bawah normal atau volume yang diharapkan untuk jangka waktu
khusus. Dampak kekeringan muncul sebagai akibat dari kekurangannya air, atau
20
perbedaan-perbedaan antara permintaan dan persediaan air. Apabila kekeringan
sudah mengganggu dampak tata kehidupan, dan perekonomian masyarakat maka
kekeringan dapat dikatakan bencana (Maryatun, 2012).
1. Kekeringan bisa dikelompokan berdasarkan jenisnya yaitu: kekeringan mete-
orologis, kekeringan hidrologis, kekeringan pertanian, dan kekeringan sosial
ekonomi.
2. Kekeringan meteorologis, berasal dari kurangnya curah hujan dan didasarkan
pada tingkat kekeringan relatif terhadap tingkat kekeringan normal atau rata–
rata dan lamanya periode kering.
3. Kekeringan hidrologis mencakup mencangkup berkurangnya sumber–sumber
air seperti sungai, air tanah, danau dan tempat–tempat cadangan air.
4. Kekeringan pertanian adalah dampak dari kekeringan meteorologi dan hidrolo-
gi terhadap produksi tanaman pangan dan ternak. Kekeringan ini terjadi ketika
kelembapan tanah tidak mencukupi untuk mempertahankan hasil dan pertumbu-
han rata-rata tanaman
5. Kekeringan sosioekonomi berhubungan dengan ketersediaan dan permintaan
akan barang–barang dan jasa dengan tiga jenis kekeringan yang disebutkan dia-
tas. Konsep kekeringan sosioekonomi mengenali hubungan antara kekeringan
dan aktivitas–aktivitas manusia.
21
Klasifikasi yang tercantum dalam Tabel 1 merupakan nilai untuk mengidentifikasikan
intensitas kekeringan kebasahan dan juga kriteria kejadian kekeringan
kebasahan untuk skala waktu tertentu. Kekeringan terjadi pada waktu SPI secara
berkesinambungan bernilai negatif dan mencapai intensitas kekeringan dengan
SPI bernilai -1 atau kurang. Sedangkan kebasahan terjadi pada waktu SPI secara
berkesinambungan bernilai positif dan mencapai intensitas kebasahan dengan SPI
bernilai +1 atau lebih (Mc Kee, et al., 1993).
Tabel 1. Klasifikasi SPI Mengikuti Skala (Mc. Kee, et al, 1993)
Indeks Klasifikasi
>2 Basah ekstrim
1,5 to 1,99 Sangat basah
1 to 1,49 Basah sedang
0 to 0,99 Basah ringan
0 to -0,99 Kering ringan
-1 to -1,49 Kering sedang
-1,5 to -1,99 Kering parah
-2 < Kering ekstrim
Koefisien Korelasi
Koefisien korelasi adalah nilai yang menunjukan kuat/tidaknya hubungan linier antar
dua variabel. Koefisien korelasi biasa dilambangkan dengan huruf r dimana nilai r
dapat bervariasi dari -1 sampai +1. Nilai r yang mendekati -1 atau +1 menunjukan
hubungan yang kuat antara dua variabel tersebut dan nilai r yang mendekati 0
mengindikasikan lemahnya hubungan antara dua variabel tersebut. Sedangkan
tanda + (positif) dan – (negatif) memberikan informasi mengenai arah hubungan
antara dua variabel tersebut. Jika bernilai + (positif) maka kedua variabel tersebut
memiliki hubungan yang searah. Dalam arti lain peningkatan X akan bersamaan
dengan peningkatan Y dan begitu juga sebaliknya. Jika bernilai – (negatif) artinya
korelasi antara kedua variabel tersebut bersifat berlawanan. Peningkatan nilai X
akan dibarengi dengan penurunan Y. Untuk memudahkan melakukan interpretasi
mengenai kekuatan hubungan antara dua variabel digunakan kriteria sebagai berikut
(Sarwono:2006): Kuatnya hubungan antara dua variabel diukur dengan koefisien
korelasi (Pearson Product Moment Correlation Coefficient) menggunakan skala
>|0.9| sangat kuat, |0.7|- |0.9| kuat, |0.4|-|0.7| sedang dan < |0.4| lemah.
22
METODOLOGI STUDI
Lokasi penelitian dari studi ini adalah di Daerah Aliran Sungai Citarum Hulu, Jawa
Barat, dengan data hujan yang didapat dari Puslitbang Sumber Daya Air sedangkan
data luas banjir dan kekeringan pada area persawahan didapat dari Direktorat
Perlindungan Tanaman Pangan. Tahap awal yang dilakukan adalah persiapan data
yang meliputi pengumpulan data, penyaringan data, dan pengisian data kosong. Data
yang digunakan merupakan data hujan bulanan dengan panjang data adalah lebih
dari 20 tahun, 1980-2014, sama panjang untuk semua pos. Analisis SPI dilakukan
dengan bantuan Microsoft Excel menggunakan data tersebut sehingga menghasilkan
nilai SPI pada masing – masing pos hujan di Citarum Hulu. Pengwilayahan dari SPI
dilakukan dengan Poligon Thiessen.
Sebelum menentukan nilai SPI wilayah, peta Citarum Hulu harus dibagi terlebih
dahulu menggunakan software ArcMap sehingga terbentuk bagian – bagian poligon
Thiessen pada peta Citarum Hulu yang setiap bagiannya memiliki faktor bobot
yang apabila semua faktor bobot tersebut dijumlahkan akan menghasilkan angka
satu. Indeks kering-basah SPI ditentukan dengan mengalikan nilai SPI pos hujan
dengan faktor bobot dimana pos hujan tersebut berada lalu penjumlahan dari hasil
kali tersebut merupakan nilai SPI wilayah Citarum Hulu. Peta Citarum Hulu yang
telah memiliki nilai SPI wilayah dapat ditampilkan dengan software Surfer agar
terlihat perbedaan antara kondisi basah dan kering.
23
Setiap pos hujan dengan seri data hujan bulanan dirubah menjadi indeks
kekeringan yang sekaligus dapat mengindikasikan kering dan basah. Dalam
Gambar 1 contoh penggambaran kondisi kering basah secara spasial setiap bulan,
makin coklat makin kering dan makin biru makin basah. Jika data hujan bulanan
termonitoring secara RealTime maka peta kering basah terebut dapat segera dibuat
dan digunakan sebagai informasi awal kondisi kering basah suatu wilayah.
24
surplus atau bertanda posistif. SPI bertanda posistif lebih menengarai kondisi
basah atau ekstrimnya banjir jadi lebih cocok disandingkan dengan Hujan Harian
Maksimum Tahunan (HHMT). Sebaliknya, SPI negatif mengindikasikan kering
disandingkan dengan hujan berskala n-bulan di mana n bergerak dari 1; 3 dan 6
bulan. Tabel 2 dibawah ini menunjukkan koefisien korelasi antara hujan dan SPI
disetiap pos hujan, hasilnya dapat dilihat bahwa SPI-1 lebih kuat hubungannya
dengan hujan bulanan daripada skala yang lain. Hal ini memperlihatkan bahwa
SPI-1 positif mengandung hubungan yang kuat dengan HHMT, dapat dijadikan
indikator bahwa bulan yang bersangkutan pernah terjadi hujan badai.
Tabel 2. Hasil Korelasi SPI dengan Hujan Bulanan dan Hujan Harian Maksimum
Tahunan Pos Hujan di Citarum Hulu
Korelasi dengan Hujan Maksi-
Korelasi dengan Hujan Bulanan
No Nama Pos mum
SPI-1 SPI-3 SPI-6 SPI-1 SPI-3 SPI-6
1 Cibereum 0.553 0.458 0.172 0.538 0.458 0.315
2 Cicalengka 0.612 0.524 0.316 0.675 0.537 0.218
3 Jatiroke 0.457 0.360 0.184 0.007 -0.016 -0.081
4 Kayu Ambon 0.589 0.456 0.098 0.509 0.296 -0.031
5 Cisondari 0.628 0.545 0.325 0.730 0.634 0.477
6 Cileunca 0.492 0.361 0.015 0.596 0.415 0.180
7 Lembang 0.668 0.472 0.107 0.685 0.492 -0.010
8 Dago Pakar 0.661 0.457 0.158 0.584 0.349 0.101
9 Rancaekek 0.491 0.422 0.057 0.636 0.424 0.105
10 Cipeusing 0.604 0.416 0.164 0.485 0.378 0.254
11 Margahayu 0.593 0.494 0.140 0.532 0.436 0.219
12 Ciparay 0.555 0.471 0.122 0.666 0.613 0.222
13 Tanjungsari 0.454 0.353 -0.009 0.562 0.424 0.066
14 Cibiru 0.525 0.402 0.079 0.653 0.425 0.241
25
Gambar 2. Pembagian Citarum Hulu dengan Poligon Thiessen
26
Hasil nilai SPI wilayah tersebut kemudian dikorelasi dengan luas hektar sawah
yang terkena dampak banjir dan kekeringan.
Hubungan antara indeks kering basah dengan luas hektar sawah terdampak dapat
menjadi indikator bahwa takaran kering dan basah yang dibuat oleh SPI berbanding
lurus dengan kondisi dampaknya. Skala waktu SPI 1; 3 dan 6 bulan mencerminkan
indeks kekeringan musiman, kala waktu 3 bulan digambarkan oleh Juni Juli Agustus
(JJA), September Oktober November (SON), Desember Januari Februari (DJF),
Maret April Mei (MAM) serta 6 bulanan JJASON dan DJFMAM.Dari percobaan
menggunakan semua musim terlihat bahwa korelasi tertinggi ada pada SPI-3
khususnya JJA dan SPI-6 khususnya JJASON.
Koefisien korelasi antara SPI wilayah terhadap luas hektar sawah yang terkena
dampak banjir dan kekeringan menghasilkan nilai tertinggi seperti pada Tabel
4 dan Tabel 5. Korelasi terkuat tepat pada hubungan antara SPI-6 (JJASON)
dan luas hektar sawah kena bencana kekeringan,sedangkan untuk yang basah
mengindikasikan tidak ada hubungan yang kuat.
Tabel 4. Hasil Korelasi Nilai SPI dengan Luas Hektar Sawah
Terkena Dampak Banjir
Korelasi terhadap Kondisi Basah
Data
SPI-1 SPI-3 SPI-6 SPI-12
Korelasi SPI dengan
Luas Hektar Sawah
0,17 0,17 0,10 0,25
Terkena Dampak
Banjir
Dengan demikian, metode SPI untuk Citarum Hulu lebih mampu menggambarkan
kekeringan, hal ini sesuai dengan kelebihan metode SPI yang pada umumnya
memang digunakan untuk menganalisa atau memonitoring kondisi kekeringan.
Setiap wilayah mempunyai karaketer kekeringan yang berbeda, seperti halnya WS
Pemali Comal hubungan antara SPI-3 dengan dampaknya (luas sawah kena bencana
kekeringan) dapat mendekati 0,8 atau cukup kuat, begitu pula halnya dengan Pulau
Sabu, NTT (Adidarma, 2015).
27
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Khusus untuk wilayah Citarum, indeks kekeringan memiliki korelasi yang lebih baik
daripada indeks kebasahan bila dikorelasikan dengan luas area sawah yang terkena
dampak kekeringan atau banjir. Sedangkan indeks kebasahan mempunyai hubungan
cukup baik dengan Hujan Harian Maksimum Tahunan yang merepresentasikan
kondisi badai berpotensi banjir.
Pengembangan analisis lanjutan dari kekeringan maupun kebasahan diperlukan
dan sebaiknya diarahkan untuk mengisi semua elemen yang dibutuhkan untuk
membangun Disaster Risk Management sebagai upaya penanggulangan bencana
kekeringan yang akhir-akhir ini lebih sering terjadi.
REFERENSI
Adidarma, W.K., Lanny Martawati, Levina, Oky Subrata, 2011. Model Monitoring
Kekeringan Dalam Kerangka Manajemen Bencana yang Memberikan Infor-
masi Secara Spasial dan Temporal, Jurnal Teknik Hidraulik Vol.2 No.2, De-
sember 2011.
Adidarma, Wanny K., 2015. Model Pendukung Penanggulangan Kekeringan Ber-
basis Disaster Risk Management, Pustaka Jaya, Bandung.
Asdak, C., 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Maryatun, 2012. Valuasi Ekonomi Mitigasi Dampak Bencana Kekeringan Akibat
Perubahan Iklim (Climate Change). Skripsi Program Studi Ekonomi Pem-
bangunan Universitas Sebelas Maret. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Mc.Kee, T.B., Doesken, N.J., Kleist, J., 1993. The Relationship of Drought Fre-
quency and Duration to Time Scales, Eighth Conference on Applied Clima-
tology, 17-22 January 1993, Anaheim, California, USA.
Sarwono, J., 2006. Teori Analisis Korelasi: Mengenal Analisis Korelasi, http://
www.jonathansarwono.info/ korelasikorelasi.htm
Suparta, W., 2004. Kajian Banjir Kota Denpasar Studi Kasus Saluran Drainase Sis-
tem IV Kota Denpasar. Thesis Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Uni-
versitas Udayana. Denpasar: Universitas Udayana.
WMO-No. 1090, 2012. Standardized Precipitation Index, User Guide, http://www.
wmo.int/pages/prog/Isp/meteoterm_wmo_en.hmtl
28
PREDIKSI HUJAN ANDALAN BERDASARKAN ZONA
MUSIM UNTUK RENCANA ALOKASI AIR TAHUNAN
WILAYAH SUNGAI LOMBOK
Anang M. Farriansyah
Teknik Sumber Daya Air, Universitas Brawijaya / HATHI NTB
anangMF62@gmail.com
Intisari
Penyusunan rencana alokasi air tahunan (RAAT) membutuhkan data hujan andalan,
untuk sukses irigasi tahun mendatang. Selama ini penetapan hujan andalan secara
konvensional, dengan mengurutkan data. Data dipilih sesuai probabilitas, misal
tahun kering (80%), normal (50%) dan basah (20%). Mengingat hujan adalah hasil
proses fisik dan perulangan, hendaknya prediksi hujan akan diselaraskan prakiraan
musim. Studi dilakukan di wilayah sungai (WS) Lombok, dengan 10 zona musim
(ZOM) BMKG dan 17 pos hujan tahun 2012–2015. Error prediksi hujan dengan
teknik sinkronisasi terhadap realisasi 11–20%, sedangkan cara konvensional 27-
93%. Untuk tahun 2016/2017, diprediksi hujan andalan dengan rerata 123 (Jan I)
dan 1 mm (Agt III) atau musim hujan 982-1470 mm dan musim kemarau 124–283
mm. Hasil prediksi ini diterapkan pada RAAT WS Lombok.
Kata kunci: Alokasi air, awal dan sifat musim, hujan, sinkronisasi, ZOM.
LATAR BELAKANG
Alokasi air membutuhkan kejelasan hujan, ketersediaan air dan kebutuhan air.
Rencana alokasi air tahunan (RAAT) di wilayah sungai (WS) harus disusun
berdasarkan ketersediaan air musim hujan dan musim kemarau (Permen PU-PR
No. 06/PRT/M/2015, pasal 13) pada satu tahun hidrologi mendatang. Ketersediaan
air dan kebutuhan air tanaman sangat bergantung dari hujan andalan (Hatmoko,
2012), sehingga penting bagi pengelolaan sumber daya air (SDA), termasuk irigasi.
Praktik selama ini menggunakan hujan skenario probabilitas (Kriteria Perencanaan
Irigasi, Ditjen SDA, 2013), yaitu diasumsikan tahun kering (dry, 80%), normal
(50%) dan basah (wet, 20%). Pendekatan ranking data historis (seperti metode
Weibull dalam Kriteria Perencanan Irigasi) tidak menegaskan satu pilihan nilai.
Akibatnya perencanaan operasi sistem SDA bersifat ambigu.
Dalam Undang-undang RI nomor 31 tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi
dan Geofisika (MKG), yaitu a) pasal 29: pemerintah wajib menyediakan pelayanan
informasi MKG, b) pasal 31-32: informasi publik bersifat rutin berupa prakiraan
musim, dan c) pasal 44(1): pemerintah/pemerintah daerah dan stakeholders wajib
menggunakan informasi MKG guna penetapan kebijakan sektor.
Zona musim (ZOM) mencerminkan perbedaan jelas musim hujan (MH) dan musim
kemarau (MK). Indonesia dibagi 342 ZOM dan 62 non ZOM, dapat di-overlay di
atas peta WS. Potensi hujan dipengaruhi kondisi atmosfer dan laut (Pattanaik, 2012
29
dan Estiningtyas, 2008). Awal dan sifat musim (bawah normal/BN, normal/N dan
atas normal/AN) di ZOM diprakirakan berdasarkan analisis fisik-dinamik atmosfer
dan laut, serta statistik hujan 30 tahun terakhir (BMKG, 2012), dengan kriteria:
1. Awal MH: jika dalam satu dasarian jumlah curah hujannya > 50 mm dan diikuti
oleh dua dasarian berikutnya atau dalam satu bulan > 150 mm.
2. Awal MK: jika dalam satu dasarian jumlah curah hujannya < 50 mm dan diikuti
oleh dua dasarian berikutnya atau dalam satu bulan < 150 mm.
3. Sifat musim BN: jika nilai perbandingan jumlah curah hujan selama satu
periode musim terhadap rata-ratanya < 85 %.
4. Sifat musim N: jika nilai perbandingan jumlah curah hujan selama satu periode
musim terhadap rata-ratanya antara 85 – 115 %.
5. Sifat musim AN: jika nilai perbandingan jumlah curah hujan selama satu
periode musim terhadap rata-ratanya > 115 %.
Pembangkitan data hujan dengan metode Thomas-Fiering (McMahon, 1986), yaitu:
𝑥𝑥 𝑖𝑖+1 = 𝑥𝑥̅𝑗𝑗+1 + 𝑏𝑏𝑗𝑗 (𝑥𝑥 𝑖𝑖 − 𝑥𝑥̅𝑗𝑗 ) + 𝑡𝑡𝑖𝑖 . 𝑠𝑠𝑗𝑗+1 √(1 − 𝑟𝑟𝑗𝑗 2 ) (1)
dengan:
xi+1 , xi : data yang dibangkitkan dalam rentang waktu (i+l),
𝑥𝑥̅ j+1 , 𝑥𝑥̅ j : rerata data dalam rentang waktu (j+l),
bj : kuadrat koefesien regresi untuk perkiraan data pada (j+l),
𝑠𝑠
𝑏𝑏𝑗𝑗 = 𝑟𝑟𝑗𝑗 𝑗𝑗+1
𝑠𝑠
𝑗𝑗
ti : varian bilangan random untuk data distribusi normal,
sj+l, sj : standar deviasi data dalam kurun waktu (j+l),
rj : koefesien korelasi data antar periode.
Pendekatan prediksi hujan berdasarkan prakiraan musim diharapkan lebih realistis.
METODOLOGI STUDI
RAAT memuat rencana tata tanam tiap daerah irigasi setahun mendatang. Dalam
BMKG (2012) prakiraan MH (Oktober-April) terbit Agustus, dan prakiraan MK
(April-September) terbit Februari. Akibatnya, karena RAAT terbit September
(sebelum musim tanam I), maka prakiraan MK didekati dengan prospek yang
didapat dari modus iklim historis.
Hujan adalah hasil proses fisik dan perulangan. Prediksi hujan dapat dihasilkan
dari sinkronisasi data terbangkit terhadap prakiraan musim di ZOM dan karakter
data historis. Namun, sebelum prediksi, terlebih dahulu perlu diketahui kesesuaian
prakiraan awal dan sifat musim di ZOM terhadap realisasi (BMKG memulai
prakiraan musim di ZOM sejak 2012). Batas toleransi awal musim dapat bergeser
-1 atau +1 dasarian dan sifat musim dapat bergeser -1 atau + 1 terhadap normal.
Dalam Hadihardaja (2005), akurasi nilai prediksi (xc) terhadap nilai realisasi
observasi (xo) dihitung dengan kesalahan absolut relatif :
𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸 = 1⁄𝑛𝑛 ∑
│𝑥𝑥𝑥𝑥−𝑥𝑥𝑥𝑥│
𝑥𝑥𝑥𝑥
∗ 100% (2)
2
30
Prosedur analisis (Gambar 1), yaitu: 1) ploting awal musim dan sifat musim tiap
ZOM di tiap pos hujan, 2) pencarian karakteristik data historis, 3) pembangkitan
data, 4) sinkronisasi pembangkitan data, 5) prediksi hujan andalan didapat, dan 6)
penggambaran isohyet.
3
31
Tabel 1. Prakiraan musim di ZOM (sumber: BMKG NTB)
2012 / 2013 2013 / 2014 2014 / 2015
ZOM MH MK MH MK MH MK
Awal Sifat Awal Sifat Awal Sifat Awal Sifat Awal Sifat Awal Sifat
220 DES II N APR II AN NOV II N APR III N NOV III N APR III BN
221 NOV II BN APR III N OKT III AN MEI I N NOV II BN APR III AN
222 NOV I N APR II N OKT III AN MEI I N NOV I N APR III AN
223 DES III N APR II BN DES II AN APR I N DES I N APR I N
224 DES II BN APR I N NOV II N MAR III N NOV III BN APR I N
225 DES II BN APR I AN NOV III AN APR III N NOV II BN APR II BN
226 NOV III N APR III AN NOV I AN APR III N NOV III N APR III N
227 DES I BN APR III N DES I AN APR III N NOV III BN APR II N
228 DES I N APR I N DES II N APR I N NOV III N APR II BN
229 NOV III BN APR II AN NOV III N APR I N NOV II BN APR II N
Sebagaimana bagan alur (Gambar 1), berdasarkan prakiraan musim pada Tabel 1
ditentukan nilai prediksi hujan di tiap pos. Demikian pula data realisasi hujan di
tiap pos. Dari Tabel 1 dan Tabel 2 diketahui error awal MH 40% dan sifat MH
7%, sedangkan awal MK 67% sifat MK 13%. Perbedaan jelas terletak pada awal
musim, khususnya MK.
b. Uji hujan prediksi dan skenario kering, normal dan basah
Prediksi hujan tahun 2012 -2015 dengan metode Thomas-Fiering (rumus 1)
berdasarakan prakiraan BMKG (Tabel 1). Selanjutnya, dituangkan dalam bentuk
isohyet pada Gambar 2 kemudian Tabel 3.
Berdasarkan data historis dari tiap pos hujan ditentukan hujan probabilitas dengan
metode Weibull (ranking data). Pengurutan data dengan pendekatan basic month,
didapat hujan skenario kering, normal dan basah tiap musim sebagaimana Tabel 4
berikut:
4
32
Realisasi
Keterangan :
1. Gunung Sari
2. Ijo Balit
3. Jurang Sate
4. Kabul
5. Keru
6. Kuripan
7. Lingkok Lime
8. Loang Make
9. Mangkung
10. Pengadang
11. Perian
12. Pringgabaya Prediksi
13. Rembitan
14. Santong
15. Sapit
16. Sepit
17. Sesaot
5
33
Dari Tabel 3 dan Tabel 4, kemudian dituangkan pada Tabel 5. Berdasarkan sifat
musim, didapat error prediksi 7-17% pada MH (rerata 11%) dan 10-31% pada MK
(rerata 20%). Error prediksi hujan lebih rendah dari error skenario hujan
probabilitas, sesuai hipotesis yang diajukan di depan. Hal ini karena skenario
probabilitas berdasarkan statistik. Sedangkan teknik prediksi hujan dalam studi ini
memanfaatkan prakiraan musim BMKG.
Error Prediksi Kering Normal Basah
MH 2012/2013 17% 35% 38% 80%
MK 2012/2013 31% 28% 85% 95%
MH 2013/2014 7% 48% 32% 78%
MK 2013/2014 20% 24% 78% 93%
MH 2014/2015 8% 55% 29% 77%
MK 2014/2015 10% 29% 74% 92%
RERATA MH 11% 46% 33% 78%
RERATA MK 20% 27% 79% 93%
Tabel 5. Error prediksi hujan dan hujan skenario kering, normal dan basah
terhadap realisasi di ZOM.
Gambar 3 berikut menunjukkan perbandingan prediksi hujan dan hujan skenario
probabilitas kering (dray, 80%), normal (50%) dan basah (wet, 20%) terhadap
realisasi tiap ZOM.
6
34
Tabel 6. Modus MK di ZOM (sumber: BMKG NTB, 2016, diolah kembali)
7
35
Tabel 8. Prediksi hujan andalan 2016/2017 tiap pos
Rekomedasi:
a) Menentukan prediksi hujan hendaknya berbasis prakiraan musim di ZOM.
b) Diharapkan BMKG dapat menerbitkan prakiraan MH dan MK sekaligus yaitu
pada Agustus (sebelum memasuki tahun hidrologi). Di samping, perlu
meningkatkan akurasi prakiraan awal musim, khususnya MK.
c) Melakukan studi serupa di wilayah non ZOM.
d) Menggunakan metode Artificial Neural Network (ANN) untuk kemungkinan
hasil prediksi hujan yang lebih akurat.
8
36
e) Meratakan kepadatan pos hujan di tiap ZOM.
Tabel 9. Syarat batas dan hasil analisis hujan andalan 2016/2017 tiap pos
9
37
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kepada anggota resimen “4W” : We_Walk_With_Water di Mataram
yang telah membantu data dan masukan, sehingga tersusun makalah ini.
REFERENSI
Anonim, 2012. Prakiraan Musim Hujan 2012/2013 di Indonesia. BMKG, Jakarta.
Anonim, 2016. Prakiraan Musim Hujan 2016/2017 di Indonesia. BMKG, Jakarta.
Anonim, 2013. Kriteria Perencanaan Irigasi (KP Penunjang), halaman 17-22,
Ditjen Sumber Daya Air, Dep PU, Jakarta.
Estiningtyas, Woro, dkk., 2008. Penyusunan Skenario Masa Tanam Berdasarkan
Prakiraan Curah Hujan di Sentra Produksi Pangan, Jurnal Meteorologi dan
Geofisika, Vol. 9 No.1 Juli 2008 : 41 – 53. ISSN 1411-3082
http://puslitbang.bmkg.go.id/jmg/index.php/jmg/article/viewFile/22/17
(diakses 5 Oktober 2016)
Hadihardaja.I.K, Sutikno.S., 2005. Aplikasi Metode Generalized Reduced Gradient
Dalam Pemodelan Curah Hujan-Limpasan Menggunakan Artificial Neural
Network (ANN). Media Komunikasi Teknik Sipil 37. ITB. Volume 13, No. 2,
Edisi XXXII Juni 2005.
http://ejournal.undip.ac.id/index.php/mkts/article/view/3907/3589 (diakses 5
Oktober 2016)
McMahon, T.A, dan Mein, RG. 1986. River and Reservoir Yield. halaman 230 –
231, Water Resources Publication, Colorado, USA.
Hatmoko, W., Triweko , W., Yudianto, D., 2012. Sistem Pendukung Keputusan
Untuk Perencanaan Alokasi Air Secara Partisipatoris Pada Suatu Wilayah
Sungai, Jurnal Teknik Hidraulik, Puslitbang SDA. Vol 3 No 1. ISBN 2087-
361. Hal 71-86.
//www.academia.edu/12086929/sistem_pendukung_keputusan_untuk_
perencanaan_alokasi_air_secara_partisipatoris_pada_suatu_wilayah_sungai
(diakses Februari 2016)
Pattanaik, D.R, Biswajit Mukhopadhyay, Arun Kumar. 2012. Monthly Forecast
of Indian Southwest Monsoon Rainfall Based on NCEP’s Coupled Forecast
System. Atmospheric and Climate Sciences, 2012, 2, halaman 479 - 491.
http://dx.doi.org/10.4236/acs.2012.24042 Published Online October 2012
(http://www.SciRP.org/journal/acs) (diakses 5 Oktober 2016)
10
38
ANALISIS FREKUENSI REGIONAL HUJAN MAKSIMUM
DAS CIUJUNG DAN DAS CIDURIAN MENGGUNAKAN
METODE L-MOMENT, LQ-MOMENT, LH-MOMENT
Farullah Hasby
PT. Indra Karya (Persero)
hasby_farul@yahoo.com
Intisari
Analisis frekuensi terhadap data historis merupakan cara untuk memprediksi suatu
kejadian pada masa mendatang yang menggunakan pendekatan probabilitas. Metode
momen merupakan metode yang banyak digunakan dalam analisis frekuensi,
namun memiliki kelemahan untuk jumlah data kecil metode momen menunjukkan
bias, varian, dan kemencengan yang luar biasa. Metode yang disarankan sebagai
alternatif yaitu metode L-Moment, dimana hampir tidak terjadi bias untuk semua
jenis distribusi dan ukuran sampel. Metode L-Moment adalah kuantitas statistik yang
diturunkan dari metode Probability Weighted Moments. Beberapa pengembangan
berbasis L-Moment yang digunakan dalam penelitian ini adalah LQ-Moment dan
LH-Moment. Penelitian ini menggunakan data hujan yang tersebar pada 18 stasiun
hujan untuk mendapatkan distribusi paling cocok dari ketiga metode tersebut
beserta persamaan frekuensi regional sesuai distribusi terpilih. Persamaan dari
distribusi terpilih yang merupakan invers cdf dapat diuraikan menjadi satu nilai
tertentu (growth factor) dari parameter statistik regional metode terpilih dan
probabilitas tidak terlampaui sesuai kala ulang yang dikehendaki. Hujan rancangan
bisa didapatkan cukup dengan mengalikan nilai rerata hujan maksimum tahunan
sesuai metode terpilih dengan growth factor. Hasil dari penelitian ini adalah
kemudahan dan efisiensi waktu dalam melakukan analisis hujan rancangan untuk
seluruh stasiun hujan yang berada dalam regional DAS Ciujung dan DAS Cidurian
dengan bantuan growth factor.
Kata Kunci: Analisis Frekuensi, Regional, Ciujung, Cidurian
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Analisis frekuensi merupakan cara untuk memprediksi suatu kejadian dimasa
mendatang berdasarkan data historis. Dalam bidang teknik sumber daya air,
analisis frekuensi banyak digunakan untuk memprediksi kejadian ekstrim dimasa
mendatang, dimana sangat menentukan dimensi bangunan air atau perencanaan tata
air sehingga dapat terhindar dari bahaya daya rusak air.
Kondisi hidrologis suatu wilayah tentunya terus berubah seiring bertambahnya
waktu sehingga akan selalu ada pembaharuan analisis hidrologi dan perencanaan
bangunan air baru dalam suatu wilayah. Namun keterbatasan data ataupun
pengadaan alat ukur hidrologi baru terkadang menjadi kendala dalam analisis
hidrologi. Oleh sebab itu analisis dengan tujuan mendapatkan distribusi frekuensi
39
regional suatu wilayah akan sangat membantu dalam menyelesaikan
permasalahan tersebut, karena distribusi frekuensi regional terpilih nantinya akan
menjadi ‘parent distribution’ bagi lokasi spesifik di wilayah itu. Melalui rekaman
data hujan dengan rentang 13 – 19 tahun di DAS Ciujung dan Cidurian yang
tersebar di 18 lokasi stasiun hujan, analisis frekuensi regional untuk hujan
maksimum tahunan perlu untuk dilakukan dengan metode L-Moment, LQ-
Moment, dan LH-Moment. Sedangkan metode moment digunakan untuk analisis
frekuensi at-site untuk hujan maksimum tahunan. Dari seluruh metode yang
digunakan, hanya akan diambil satu metode yang dianggap terbaik menurut uji
model dan tingkat kesalahannya beserta persamaan frekuensi regionalnya
Kajian Pustaka
Uji Homogeneity
Metode untuk mengukur keseragaman data dalam satu wilayah adalah dengan
Homogneity Test (Darlymple, 1960). Metode ini dikembangkan untuk analisis
mengenai banjir yaitu index flood, namun dapat pula diaplikasikan untuk data
hujan. Inti dari prosedur metode ini adalah mengamati nilai kala ulang dari
perkalian antara hujan rancangan 10 tahun dengan rerata rasio terhadap batas
kepercayaan tertentu. Rerata rasio merupakan rerata dari perbandingan hujan
rancangan 10 tahun dan 2,33 tahun untuk seluruh stasiun hujan.
Metode L-Moment
Formula umum untuk parameter PWM adalah (Maidment, 1993) :
(1)
dengan :
: parameter estimasi populasi data,
n : jumlah data,
X(j) : data ke-j pada data yang telah diurutkan dari besar ke kecil,
r : 0,1,2,3.
Untuk distribusi apapun, parameter L-Moment dapat dihitung dengan mudah dari
metode PWM diatas :
(2)
(3)
(4)
(5)
dengan :
: parameter L-Moments
Parameter L-Moment kemudian digunakan untuk mencari rasio L-Moment dengan
(Hosking & Wallis, 1997) :
(6)
(7)
(8)
40
dengan :
: coefficient of L-variation (L-Cv),
: coefficient of L-skewness (L-Cs),
: coefficient of L-kurtosis (L-Ck).
Metode LQ-Moment
Parameter umum LQ-Moment adalah (Mudholkar & Huston, 1998):
(9)
(12)
(13)
: parameter LQ-Moments
0 ≤≤ 1/2,
0 ≤ p ≤1/2, dan
(14)
p, merupakan quick estimator. Fungsi pembangkitan untuk quick estimator yang
umum didapat dari persamaan antara lain :
Median (15)
Trimean (16)
Gastwirth (17)
(18)
41
Metode LH-Moment
Parameter umum LH-Moment adalah (Wang, 1997) :
(20)
(21)
(22)
(23)
(24)
dengan :
: parameter LH-Moments
: ordo LH-Moments (0,1,2…)
: parameter estimasi populasi data (PWM)
(25)
(26)
(27)
dengan :
: rasio LH-Moment
Uji Kecocokan
Setelah melakukan pengamatan visual pada Diagram L-Moment, LQ-Moment, dan
LH-Moment, langkah selanjutnya adalah melakukan pencocokan seluruh sampel
data dengan distribusi regional terpilih menggunakan uji kecocokan atau
goodness-of-fit test (ZDIST). Distribusi diterima apabila | ZDIST | ≤ 1,64. Untuk
mendapatkan ZDIST didapat dengan persamaan berikut (Hosking & Wallis, 1997):
(28)
dengan :
4DIST : fitted distribution L-Ck,
4 : standar deviasi4R.
Persamaan diatas adalah untuk metode L-Moment, akan tetapi juga diaplikasikan
untuk metode LQ-Moment dan LH-Moment sesuai parameter dan rasionya.
Uji Model
Pengujian model dilakukan pada stasiun yang tidak dilibatkan dalam analisis
regional. Pada stasiun tersebut dicari besaran hujan rancangan (at-sitequantile)
dengan menggunakan regional growth factor dan metode konvensional momen.
Selanjutnya dari kedua hasil tersebut dibandingkan dengan relative root mean
square error (RMSE) dengan persamaan berikut :
(29)
dengan :
Ri(F) : relative RMSE (RRMSE)
42
Xi(F)L : at-site quantile lokasi i metode L-Moment, LQ-Moment, LH-Moment
Xi(F)m : at-site quantile lokasi i metode Momen
Landasan Teori
Metode moment merupakan metode yang paling merupakan metode yang banyak
digunakan dalam analisis frekuensi. Vogel dan Fennessey (1993) mengemukakan
bahwa metode moment merupakan metode yang paling tua dan teknik yang paling
mudah dimengerti untuk mencocokkan distribusi frekuensi terhadap data terukur.
Namun untuk jumlah data kecil, metode moment menunjukkan bias, varian, dan
kemencengan yang luar biasa. Keterbatasan lain dari metode Moment adalah
parameternya terbatas pada interval tertentu. Terkait dengan kelemahan
transformasi non linier, Soewarno (1995) menambahkan bahwa metode moment
biasanya untuk menjelaskan kestabilan sampel, namun makin tinggi moment
berarti tidak stabil dan perlu menambah informasi lain yang dapat dipercaya.
Teori dalam penelitian berlandaskan pada metode L-Moment dimana hampir tidak
terjadi bias untuk semua distribusi dan besaran jumlah sampel. Selain itu metode
L-Moment menghindari transformasi data nonlinier karena penggunaan
transformasi nonlinier dapat menyebabkan penyimpangan dan estimasi parameter
yang buruk ketika terdapat nilai yang jauh dari mayoritas data (Pearson, 1991).
Seiring dengan perkembangan teknologi, L-Moment telah banyak dikembangkan
diantaranya LQ-Moment dan LH-Moment untuk meningkatakn akurasi dalam
analisis frekuensi regional. Metodologi penelitian dimulai dari uji Homogeneity,
pemilihan distribusi yang paling mewakili terhadap garis teoritis distribusi, dan
penentuan persamaan umum hujan rancangan yang mewakili seluruh wilayah
kedua DAS atau regional. Pengujian hasil analisis frekuensi regional adalah
membandingkan kesalahan kuadrat terkecil antara metode moment (metode non
linier) dan metode L-Moment, LQ-Moment, dan LH-Moment (metode linier)
Uji Homogeneity
100
Kala Ulang (Tahun)
10
1
5 10 15 20
43
L-Moment
0.5 GPA GEV
GLO P3
LN Data
0.4
Weighted Average Uniform
Exponential Gumbel
0.3 Logistic Normal
L-CS (4)
0.2
0.1
0
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5
L-CS (3)
Gambar 2. Diagram Rasio L-Moment
LQ-Moment
0.3
LQ-CK (4)
0.2
0.1
0
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5
LQ-CS (3)
Gambar 3. Diagram Rasio LQ-Moment
LH-Moment
0.5 GPA
GEV
0.4 GLO
Data
0.3
L1-CK (4)
Weighted Avarage
0.2
0.1
0.0
0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5
L1-CS (3)
44
0.5 GPA
GEV
0.4 GLO
Data
0.3
L2-CK (4)
Weighted Avarage
0.2
0.1
0.0
0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5
L2-CS (3)
15.0
10.0
5.0
0.0
0 20 40 60 80 100
Kala Ulang (Tahun)
Gambar 6. Relative Root Mean Square Error Ketiga Metode
45
300
250
200
RRegional (mm)
L-Moment
150
LQ-Moment
100 LH-Moment
50
0
0 50 100 150 200 250 300
RAt-site (mm)
Gambar 7. Perbandingan Hujan Rancangan At-site dan
Hujan Rancangan Regional
Pembahasan Hasil Penelitian
Hasil penelitian menunjukkan tendensi RRMSE yang berbeda pada ketiga
metode. Tendensi yang cukup wajar ditunjukkan RRMSE antara L-Moment dan
momen dimana nilai kesalahan meningkat seiring dengan meningkatnya kala
ulang. Kemungkinan ekstrapolasi terhadap garis distribusi teoritik tidak stabil
apabila terlalu jauh. Tendensi yang tidak wajar ditunjukkan RRMSE antara LQ-
Moment dan momen dimana nilai kesalahan paling dekat hanya untuk kala ulang
10 tahun, selebihnya nilai kesalahan menunjukkan angka yang tinggi.
Kemungkinan ’quick estimator’ dari metode LQ-Moment menjadikan akurasi
tidak cukup stabil. Tendensi yang paling stabil ditunjukkan RRMSE LH-Moment
dan momen untuk seluruh kala ulang dimana rerata kesalahan hanya 5,7%.
Kemungkinan pengembangan ‘higher order’ dari metode LH-Moment
meningkatkan akurasi untuk ‘upper part’ dari distribusi teoritik sehingga
ekstrapolasi lebih dapat diandalkan. Pada gambar diatas tampak bahwa variasi
sebaran metode LH-Moment paling kecil, sehingga dapat disimpulkan secara
statistik metode LH-Moment merupakan metode yang paling cocok dan stabil
untuk analisis frekuensi regional di DAS Ciujung dan DAS Cidurian.
46
Selanjutnya dari parameter ternormalisasi diatas dan dilakukan fitting ke distribusi
Generalized Extreme Value. Untuk mendapatkan invers cdf yang selanjutnya
digunakan sebagai growth factor. Hasil perhitungan fitting distribusi adalah
sebagai berikut (Deka et al., 2011):
Sesuai invers cdf dan growth factor untuk kala ulang 2, 5, 10, 50, dan 100 tahun
disajikan pada tabel berikut.
47
2. Persamaan frekuensi regional curah hujan maksimum untuk DAS Ciujung
dan DAS Cidurian sesuai dengan persamaan regional growth curve distribusi
Generalized Extreme Value yang diperoleh dari metode LH-Moment ordo 2.
Rekomendasi
Rekomendasi dari penelitian ini adalah karakteristik fisik lokasi penakar hujan
seperti elevasi dan letak geografis dapat dipertimbangkan sebagai variabel dalam
penelitian selanjutnya yang dapat dikembangkan ke arah analisis frekuensi
regional dengan index rainfall untuk lokasi yang tidak tercatat (ungauged
location) dan pemetaan hujan regional (regional rainfall mapping). Untuk
penelitian selanjutnya simulasi Monte Carlo dapat diaplikasikan untuk
mengetahui unjuk kerja metode.
REFERENSI
Darlymple, T., 1960. Flood-Frequency Analyses. Geologycal Survey Water-
Supply, pp.1543-A.
Deka, S., Borah, M. & Kakaty, S.C., 2011. Statistical Analysis of Annual
Maximum Rainfall in North-East India: an Application of LH-moments.
Theor Appl Climatol, 104, pp.111-22.
Hosking, J.R.M. & Wallis, J.R., 1997. Regional Frequency Analysis An Approach
Based on L-Moments. New York: Cambridge University Press.
Maidment, D.R., ed., 1993. Handbook of Hydrology. New York: McGraw-Hill,
Inc.
Mudholkar, G.S. & Huston, A.D., 1998. LQ-moments: Analogs of L-moments.
Journal of Statistical Planning and Inference, 71, pp.191-208.
Pearson, C.P., 1991. New Zealand Regional Flood Frequency Analysis Using L-
Moments. Journal of Hydrology, 30, p.2.
Soewarno, 1995. Hidrologi - Aplikasi Metode Statistik Untuk Analisa Data.
Bandung: Nova.
Vogel, R.M. & Fennessey, N.M., 1993. L Moment Diagrams Should Replace
Product Moment Diagrams. Water Resources Research, 29, pp.1745-52.
Wang, Q.J., 1997. LH Moments for Statistical Analysis of Extreme Events. Water
Resources Research, 33(12), pp.2841-48.
48
PENERAPAN METODE THORNTHWAITE MATHER
UNTUK PREDIKSI SEBARAN KEKERINGAN WILAYAH
Intisari
Kekeringan merupakan bencana alam yang terjadi secara perlahan dan berlangsung
dalam jangka waktu yang lama serta memberikan dampak pada berbagai sektor,
terutama sektor pertanian dan sumberdaya air. Penelitian ini bertujuan untuk
memperkirakan sebaran kekeringan wilayah yang nantinya dapat menjadi alat
peringatan (warning system) serta informasi pendukung bagi upaya mitigasi dan
adaptasi. Metode yang digunakan dalam perhitungan kekeringan adalah Metode
Thornthwaite Mather. Metode ini menggunakan prinsip neraca air dan menekankan
faktor evapotranspirasi sebagai faktor iklim selain hujan serta parameter lengas
tanah. Nilai kekurangan air digunakan untuk menghitung indeks kekeringan wilayah,
yang kemudian disebut peta sebaran indeks kekeringan. Penggunaan kelengasan
tanah oleh tanaman menyebabkan terjadinya perubahan kelengasan dalam tanah.
Jika terdapat kekurangan lengas, hubungan kekurangan lengas dan evapotranspirasi
potensial menghasilkan indeks kekeringan (Ia). Hasil analisa menunjukkan
puncak kekeringan terjadi pada tahun 1996 dan 2009 di mana kejadian kekeringan
terparah terjadi pada bulan Juni-Oktober, sedangkan pada bulan November-Maret
mengalami bulan basah dan pada bulan April-Mei cenderung mulai mengalami
kekeringan. Terdapat kesesuaian pola yang baik antara nilai indeks kekeringan
dengan debit yang ditunjukkan dengan nilai koefisien determinasi (R2) 0,78 – 0,95.
Maka dapat disimpulkan bahwa metode Thornthwaite Mather dapat digunakan
pada perhitungan kekeringan di lokasi penelitian
Kata Kunci: indeks kekeringan, metode Thornthwaite Mather, lengas tanah
LATAR BELAKANG
Kekeringan adalah salah satu jenis bencana alam yang terjadi secara perlahan
(slow-onset disaster), berlangsung lama sampai musim hujan tiba, berdampak
sangat luas, dan bersifat lintas sektor (Mujtahiddin, 2014). Kekeringan merupakan
suatu kejadian alam yang sangat berpengaruh terhadap ketersediaan cadangan
air dalam tanah, baik yang diperlukan untuk kepentingan pertanian maupun
kebutuhan manusia. Kekeringan mempunyai hubungan dengan keseimbangan
antara kebutuhan dan pasokan air untuk berbagai keperluan. Karakteristik bencana
kekeringan cukup berbeda dari bencana yang lain, umumnyapengaruh kekeringan
terakumulasi secara perlahan-lahan dalam suatu periode waktu yang cukup
lama dan berkepanjangan sampai tahunan, sehingga awal dan akhir kekeringan
sukar ditentukan namun semua baru sadar setelah berada di periode tengahnya.
49
Masyarakat awam umumnya baru menyadari ketika air di dalam sumurnya habis,
ketika PDAM macet, ketika penyedotan dengan pompa hanya mengeluarkan
udara, dan ketika banyak mata air yang mati (Kodoatie, 2010). Kejadian
kekeringan dapat dikategorikan menjadi 4 jenis yaitu kekeringan meteorologis,
kekeringan hidrologis, kekeringan pertanian, dan kekeringan sosial-ekonomi
(Wilhite dan Glantz 1985). Analisa kejadian kekeringan memiliki tujuan untuk
mengevaluasi kecenderungan klimatologis menuju ke keadaan kering dari suatu
wilayah untuk keperluan perkiraan kebutuhan air irigasi, serta mengevaluasi dan
melaporkan secara berkala kekeringan pada suatu tempat secara regional
(Hounam, 1975). Dalam menganalisa dan merepresentasikan tingkat kekeringan
suatu wilayah, banyak metode yang bisa dilakukan. Salah satu metode yang
banyak digunakan adalah indeks kekeringan. Metode Thornthwaite Mather
menggunakan konsep neraca air untuk menentukan Indeks Kekeringan dimana
metode ini menekankan pentingnya faktor curah hujan (P) dan evapotranspirasi
potensial (PE) sebagai faktor iklim (Nugroho, 2011). Selain itu, dalam proses
analisanya, metode Thornthwaite Mather juga memerlukan data sifat fisik tanah,
parameter kelengasan tanah, data tanaman serta data karakteristik lahan.
Masalah kekeringan pada saat musim kemarau panjang menjadi hal rutin yang
terjadi di Indonesia, tetapi penanganan untuk penanggulangan serta pencegahan
sangat lamban sehingga menjadi masalah yang berkepanjangan yang tidak
terselesaikan.
Salah satu fenomena bencana kekeringan yang terjadi di Indonesia dapat dilihat
pada Provinsi Jawa Timur, dimana separuh lebih wilayah di Jawa Timur terkena
dampak bencana kekeringan selama musim kemarau 2012. Sudah tercatat
sebanyak 23 dari 38 kabupaten/kota di Jawa Timur menyatakan daerahnya
mengalami bencana kekeringan. Jumlah ini meliputi 60% dari jumlah daerah
administratif di Provinsi Jawa Timur. Bencana kekeringan tersebar di 221
kecamatan dan 852 desa. Kawasan yang paling parah dilanda bencana kekeringan
diantaranya Kabupaten Lamongan, Trenggalek, Pacitan, Bojonegoro, dan
Ponorogo. Penelitian ini bertujuan untuk memperkirakan sebaran kekeringan
wilayah dengan menggunakan pendekatan neraca air Thornthwaite Mather. Hasil
penelitian ini nantinya diharapkan dapat menjadi alat peringatan (warning system)
serta informasi pendukung bagi upaya mitigasi dan adaptasi pada lokasi
penelitian.
METODOLOGI STUDI
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang akan digunakan adalah Sub-sub DAS Keyang yang
terletak di Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa Timur dengan luas 315 km2. Sub-
sub DAS Keyang merupakan sungai terpanjang di Kabupaten Ponorogo, dimana
cakupan wilayah dari Sub-sub DAS Keyang meliputi sebagian wilayah dari
Kecamatan Jenangan, Siman, Mlarak, Sambit, Sawoo, Pulung, dan Sooko. Lokasi
Sub-sub DAS Keyang ini ditunjukkan oleh Gambar 1.
2
50
Pudak
Ponorogo
Sooko
Wilangan
Sawoo
Sub-Sub DAS
Keyang
Sungai
Metode Analisa
Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penyelesaian studi adalah sebagai berikut:
1. Pengujian kualitas data hujan dilakukan dengan melakukan pengujian
konsistensi menggunakan kurva massa ganda dan pengujian stasioneritas
menggunakan Uji T dan Uji F.
2. Perhitungan Indeks kekeringan menggunakan Metode Thornthwaite Mather
3
51
Langkah-langkah perhitungan indeks kekeringan dengan pendekatan metode
Thornthwaite Mather adalah sebagai berikut:
a) Evapotranspirasi potensial
Thornthwaite Mather mengusulkan metode empiris menghitung evapotranspirasi
potensial dari data suhu rata-rata bulanan, standar bulan 30 hari dan jam
penyinaran 12 jam. Adapun persamaannya adalah sebagai berikut (Calvo, 1986):
PE = f.Pex (1)
a
Pex = 16 (10T/I) (2)
-6 3 -4 2
a = (0,675.10 .I ) (0,77.10 .I ) + 0,01792.I + 0,49239 (3)
I =∑ i (4)
dengan:
PE : evapotranspirasi potensial terkoreksi (mm/bulan)
f : faktor koreksi (dilihat pada tabel koreksi lintang dan waktu)
Pex : evapotranspirasi potensial belum terkoreksi (mm/bulan)
i : indeks panas = (T/5)1,514
I : jumlah indeks panas dalam setahun
a : indeks panas
T : suhu udara (°C)
4
52
d) Perubahan Kelengasan Tanah(∆ST)
Perhitungan penambahan air (∆ST) dilakukan dengan cara mengurangu nilai ST
pada bulan yang bersangkutan dengan nulai ST pada bulan sebelumnya.
5
53
HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN
Pengujian data hujan
Hasil pengujian pada 5 stasiun hujan yaitu Stasiun Hujan Sooko, Sawoo,
Wilangan, Ponorogo, dan Pudak dengan menggunakan uji T dan uji F
menunjukkan nilai varian dan nilai rata-rata adalah stabil atau homogen, dengan
demikian dapat dikatakan deret berkala tersebut stasioner. Sedangkan hasil
pengujian konsistensi menunjukkan tidak ditemukan data yang menyimpang
sehingga data hujan dianggap konsisten dan dapat digunakan untuk perhitungan
kekeringan Metode Thornthwaite Mather.
Analisa Kapasitas Penyimpanan Air (Water Holding Capacity)
Nilai kelembaban tanah tertahan atau kelembaban tanah pada kapasitas lapang
(STo) sama dengan kapasitas menyimpan air (WHC), semakin kecil nilai WHC
semakin besar indeks kekeringannya. Perubahan nilai STo yang semakin kecil
akibat perubahan tata guna lahan, menyebabkan semakin besarnya potensi
kekeringan. Dalam penelitian ini dilakukan analisa perubahan tata guna lahan
pada tahun 2001 yang mewakili tata guna lahan dari tahun 1995-2005 dan tahun
2006 yang mewakili tahun 2006-2013, sebagai dasar dalam perhitungan analisa
kapasitas penyimpanan air. Dengan demikian, analisa perubahan nilai STo
dilakukan dengan melihat perubahan tata guna lahan pada tahun 2001 dan 2006
pada lokasi penelitian. Hasil analisa perubahan nilai STo pada lokasi penelitian
disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Rekapitulasi Kelengasan Tanah
Nilai STo (mm) Perubahan nilai STo
Stasiun Hujan
2001 2006 (mm)
Ponorogo 113,438 113,059 -0,379
Wilangan 147,193 146,382 -0,811
Sawoo 171,566 170,871 -0,695
Sooko 179,116 178,127 -0,989
Pudak 183,661 180,948 -2,713
6
54
kejadian La Lina yang menyebabkan musim penghujan panjang.Nilai indeks
kekeringan (Ia) maksimum dan Ia rata-rata selama kurun waktu 19 tahun
cenderung mengalami penurunan. Terlihat pada tahun 2011-2013 nilai Ia
maksimum dan Ia rata-ratanya lebih kecil dari tahun-tahun sebelumnya.
90
80
Indeks Kekeringan Rerata
70
60
Bulanan (%)
50
40
30
20
10
0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
Gambar 2. Indeks kekeringan bulanan rerata selama periode 1995-2013
60
Indeks Kekeringan Rerata Tahunan
50
40
30
(%)
20
10
7
55
Gambar 4. Sebaran kekeringan tahun 2009 pada lokasi penelitian
untuk tahun 2009. Pada Gambar 4 dapat dilihat pada tahun 2009 kecamatan yang
mengalami kekeringan adalah Kecamatan Babadan, Jenangan, Siman, Sambit,
Mlarak, dan Sawoo dengan lama kekeringan 6 bulan yaitu bulan April-September.
Sedangkan kecamatan yang mengalami kekeringan dengan kriteria kering
terbanyak selama 19 tahun periode analisa adalah Kecamatan Sambit, Mlarak, dan
Siman dengan jumlah kekeringan 17-19 kali, dimana setiap tahun mengalami
kekeringan yang terparah.
Perbandingan Hasil Analisa Kekeringan Terhadap Curah Hujan dan Data
Debit Kali Wilangan
Perbandingan yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan
antara kekeringan meteorologi yang terjadi dengan kekeringan hidrologi. Data
debit yang digunakan didapat dari hasil pencatatan pos duga air Kali Wilangan.
Karena keterbatasan data yang didapat, analisa hanya dilakukan pada tahun yang
terdapat pencatatan data debitnya, yaitu tahun 2004-2011. Pos duga air Kali
Wilangan terletak pada Kali Wilangan, maka analisa kekeringan yang dilakukan
pada stasiun hujan yang terletak pada Kali Wilangan yaitu Stasiun Hujan
Wilangan. Dari hasil analisa yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa terdapat
kesesuaian antara pola yang terjadi antara debit yang terjadi di sungai dengan
besar nilai indeks kekeringan yang terjadi dimana nilai koefisien determinasi (R2)
menunjukkan nilai yang berkisar antara 0,78 – 0,95 selama periode 2004-2011.
8
56
Gambar 5. Hubungan antara nilai indeks kekeringan dengan debit di sungai
Gambar 5 menyajikan salah satu contoh perbandingan pola antara indeks
kekeringan pada stasiun Wilangan dengan data debit kali Wilangan untuk tahun
2009. Dari Gambar 5 terlihat bahwa ada hubungan antara nilai surplus dan defisit
terhadap data debit pada kejadian tahun 2009. Ketika terjadi nilai defisit maka
debit air juga mengalami penurunan, begitu juga sebaliknya ketika terjadi nilai
surplus maka debit mengalami peningkatan. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa nilai surplus dan defisit Thornthwaite Maher memiliki korelasi terhadap
nilai debit. Korelasi yang terjadi yaitu ketika besar debit di sungai menunjukkan
kecenderungan menurun, maka mengakibatkan semakin besar jumlah kekeringan
yang terjadi. Sebaliknya, ketika besar debit di sungai menunjukkan
kecenderunganmeningkat, maka jumlah kekeringan akan semakin kecil.
Berdasarkan hasil indeks kekeringan yang kemudian dibandingkan dengan debit
maka Metode Thornthwaite Mather cukup sesuai untuk digunakan pada
perhitungan kekeringan di lokasi penelitian.
9
57
Rekomendasi
1. Kuantitas dan kualitas data hujan perlu dipertimbangkan untuk durasi yang
lebih panjang (minimal 30 tahun) agar analisa trend kekeringan yang
dihasilkan dapat lebih mewakili kejadian yang sebenarnya di lokasi penelitian.
2. Kerapatan jaringan dan jumlah stasiun hujan perlu dipertimbangkan untuk
mendukung akurasi peta sebaran kekeringan yang dihasilkan.
REFERENSI
Calvo, Julio C, 1986. An evaluation of Thornthwaite's water balance technique in
predicting stream runoff in Costa Rica, Hydrological Sciences Journal,
31:1, 51-60
Hounam, C.E., Burgos, J.J., Kalik, M.S., Palmer, W.C., dan Rodda, J., 1975.
Drought and Agriculture. Technical note no.138. World Meteorological
Organization
Ilaco, B.V, 1985. Agricultural Compendium, For Rural Development in the
Tropics andSubtropics, International Land Development Consultants,
Arnhem, The Netherlands;Commissioned by the Ministry of Agricultureand
Fisheries, The Hague, The Netherlands. Elsevier Scientific Pub. Co. p. 739
Kodoatie, Robert J. & Roestam Sjarief, 2010. Tata Ruang Air. Yogyakarta:
Penerbit Andi Offset.
Mujtahiddin, Muhammad Iid, 2014. Analisis Spasial Indeks Kekeringan
Kabupaten Indramayu. Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol. 15 No. 2
Tahun 2014 : 99-107
Nugroho, RA, 2011. Estimasi Neraca Air dengan Menggunakan Metode
Thornthwaite Mather, BPTKPDAS
Wilhite, D.A & M.H. Glantz, 1985. Understanding the drought phenomenon: the
role of definitions. Water International, 10,111-120.
10
58
PENGARUH ANOMALI CUACA
AKIBAT EFEK PERUBAHAN IKLIM
PADA AIR MASUK WADUK SAGULING
Intisari
Isu perubahan iklim yang banyak dikaitkan dengan anomali cuaca yang terjadi
merupakan hal yang sangat menarik untuk dikaji. Anomali tentunya sangat
berpengaruh terhadap keadaan hidrologi di suatu wilayah. Studi ini merupakan
kajian untuk menggambarkan bagaimana sebernarnya pengaruh anomali cuaca
akibat perubahan iklim terjadi di suatu Daerah Tangkapan Air (DTA). Inflow
Waduk Saguling dipilih menjadi lokasi studi kasus ini dikarenakan Waduk Saguling
merupakan waduk paling hulu dari sistem waduk kaskade Citarum. Lokasi paling
hulu tersebut menjadikan waduk ini merupakan waduk pertama yang langsung
terpengaruh oleh faktor cuaca (alam), mengingat dua waduk di hilir Saguling
terpengaruh oleh sistem pengelolaan air yang ada di Waduk Saguling. Studi ini
dilakukan dengan menggunakan data sekunder air masuk rata-rata bulanan Waduk
Saguling selama 15 tahun (2002 hingga 2016). Data air masuk Waduk Saguling
divisualisasikan dalam bentuk grafik air masuk rata-rata bulanan lima tahunan.
Berdasarkan grafik tersebut dapat dilihat bahwa pada durasi 15 tahun terakhir,
terjadi beberapa perbedaan pola air masuk Saguling akibat dari anomali cuaca yang
terjadi.
Kata Kunci: Perubahan Iklim, Air Masuk, Saguling
LATAR BELAKANG
Air merupakan sumber utama kehidupan yang dibutuhakan oleh seluruh makhluk
hidup di bumi ini. Pembangunan bendungan adalah salah satu hal yang dilakukan
manusia dalam upaya mengelola dan memanfaatkan. Bendungan dapat digunakan
untuk berbagai kegunaan, seperti irigasi, pembangkit listrik tenaga air, dan
pemenuhan kebutuhan air baik bagi kegiatan industri maupun air baku untuk air
minum. Pengelolaan sumber daya alam tidak hanya cukup dengan pembangunan
bendungan, diperlukan pula pengelolaan sumber daya air yang baik sehingga dapat
mengakomodir seluruh kebutuhan dan mengoptimalkan fungsi dari bendungan itu
sendiri. Perubahan iklim merupakan isu yang menjadi perhatian dunia.
Perubahan iklim, seperti yang didefinisikan oleh Panel Antar pemerintah
tentang Perubahan Iklim, mengacu pada perubahan keadaan iklim yang dapat
diidentifikasi (misalnya menggunakan uji statistik) oleh perubahan dalam rata-rata
59
dan / atau variabilitas sifat-sifatnya dan yang bertahan untuk jangka waktu yang
panjang, biasanya dalam dekade atau lebih (Bernstein, et al., 2007). Antara tahun
1995 dan 2006, sebelas dari mereka tahun peringkat di antara dua belas tahun
terpanas sejak 1850. Rata-rata peningkatan 0.13ºC per dekade lebih dari 50 tahun
(1956-2005) hampir dua kali lipat selama 100 tahun 1906-2005 (U.S. Army,
2012). Komunitas ilmiah mendukung kesimpulan bahwa iklim Perubahan akan
memiliki efek yang cukup besar pada sumber daya air. Satu dari aspek yang
paling penting akan berhubungan dengan ketersediaan air sumber pada skala
regional dengan modifikasi siklus hidrologi (Xu dan Singh 2004).
Perubahan iklim salah satunya berdampak kepada pengelolaan sumber daya air
yang ada di Bendungan. Penelitian ini menggambarkan bagaimana dalam
beberapa tahun terakhir anomali cuaca berefek pada tinggi muka air di Waduk
Saguling. Penelitian dilakukan selama kurun waktu 15 tahun (2002 – 2016) guna
menggambarkan bagaimana anomali cuaca berdampak pada rencana dan realisasi
tinggi muka air di Waduk Saguling. Penelitian ini diharapkan dapat
menggambarkan bagaimana sebenarnya perubahan iklim yang berefek terhadap
tinggi muka air Waduk Saguling.
Gambar 1. Sistem Kaskade Citarum (Sumber: Perum Jasa Tirta II, 2016)
Kajian ini terbatas pada pengamatan perubahan air masuk di Waduk Saguling. Air
masuk di Waduk Saguling tentunya sangat dipengaruhi oleh anomali cuaca yang
sangat erat dihubungkan dengan perubahan iklim. Hal ini dikarenakan Waduk
Saguling merupakan tampungan paling hulu dalam sistem Kaskade Citarum. Hasil
dari penelitian ini menggambarkan bagaimana perubahan yang terjadi, antara
rencana dan realisasi tinggi muka air waduk. Studi ini diharapkan dapat menjadi
salah satu referensi untuk mengetahui bagaimana dampak anomali cuaca
khususnya di Waduk Saguling DAS Citarum.
Salah satu kajian yang menggambarkan bahwa perubahan iklim telah berpengaruh
pada waduk telah dilakukan oleh Minville et al., yang dilakukan pada tahun 2010
2
60
dengan kesimpulan bahwa perubahan ilkim serta anomali cuaca berpengaruh pada
kondisi sumber daya air waduk. Penielitian ini menyampaikan bahwa dikarenakan
faktor anomali cuaca oleh perubahan iklim, maka pola operasi waduk juga
berubah mengikuti tren cuaca yang ada.
METODOLOGI STUDI
Studi ini dimulai dengan pengumpulan data dan selanjutnya dilakukan visualisasi
data. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder debit air
masuk Waduk Saguling. Data diperoleh dari pihak operator Saguling yaitu PT.
Indonesia Power. Pihak operator Saguling merupakan bagian dari tim koordinasi
pengelolaan sumber daya air Kaskade Citarum yang terdiri dari pengelola Waduk
Saguling, Cirata, dan Ir. H. Djuanda (Jatiluhur).
Visualisai data dilakukan untuk menyajikan data debit air masuk Saguling dengan
menggunakan grafik. Visualisasi data ini memperhatikan bagaimana data yang
disajikan dapat dibaca dan informatif. Keseluruhan data yang disajikan pada studi
ini adalah data air masuk Saguling selama 15 tahun (2002 – 2016). Visualisasi
data dilakukan dengan durasi masing-masing 5 tahun, sehingga visualisasi data
menghasilkan 3 grafik yang masing-masing menunjukan air masuk Saguling
dengan durasi waktu 5 tahun.
Visualisasi data juga dilakukan dengan menyajikan data rata-rata bulanan air
masuk saguling dengan kriteria data minimum, rata-rata, dan maksimum.
Visualisasi data ini dharapkan dapat memberikan gambaran bagaimana fluktuasi
data air masuk Saguling selama 15 tahun, sehingga dapat dilihat bagaimana
pengaruh anomali cuaca selama 15 tahun terakhir yang berefek terhadap air
masuk Saguling.
3
61
Gambar 2. Data Air Masuk Saguling Tahun 2002 - 2006
Grafik diatas menunjukan gambaran bagaimana fluktuasi debit rata-rata bulanan
air masuk Saguling memiliki pola fluktuasi yang tidak terlalu berbeda, hal itu
ditunjukan dengan seragamnya pola data pada akhir tahun. Satu hal menarik yang
terdapat pada data 5 tahun pertama tersebut adalah data rata-rata bulanan
maksimum dan minimum yang terjadi pada tahun yang berurutan. Data debit
maksimum tertinggi selama 5 tahun terjadi pada tahun 2005 dengan debit ai
masuk sebesar 206,08 m3/detik., sedangkan data minimum terjadi pada tahun
2006 dengan debit sebesar 5,08 m3/detik.
4
62
pada tahun ini menggambarkan bagaimana isi perubahan iklim yang
menyebabkan anomali cuaca berpengaruh terhadap air masuk Saguling.
Gambar 5. Data Air Masuk Maksimum Minimum dan Rata-rata Saguling Tahun
2002 – 2016
Gambar 5 merupakan visualisasi data maksimu, minimum, dan rata-rata dari data
rata-rata bulanan air masuk saguling selama 15 tahun terakhir. Berdasarkan data
tersebut dapat diketehui terjadi perbedaan air masuk Waduk Saguling yang sangat
fluktuatif yang dimulai pada tahun 2010 hingga tahun 2016. Hal tersebut dapat
menjadi satu indikator dari telah terjadinya perubahan pola air masuk Waduk
Saguling yang diakibatkan oleh anomali cuaca yang terpengaruh oleh perubahan
iklim global.
5
63
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
Isu perubahan iklim yang berdampak terhadap anomali cuaca berhubungan erat
dengan sumber daya air. Mulai tahun 2010 terjadi fluktuasi air masuk Waduk
Saguling yang dapat diakibatkan oleh anomali cuaca yang terpengaruh oleh
perubahan iklim.
Rekomendasi
Penelitian ini hanya melihat dari satu data yaitu air masuk Waduk Saguling.
Analisa akan lebih optimal jika menyajikan data intensitas hujan berbarengan
dengan air masuk sehingga dapat lebih terlihat bagaimana pengaruh cuaca
terhadap sumber daya air khususnya Waduk Saguling.
REFERENSI
Bernstein, L., Bosch, P., Canziani, O., Chen, Z., Christ, R., Davidson, O., Yohe,
G., 2007. Climate Change 2007: Synthesis Report. Valencia, Spain:
Inergovernmental Panel on Climate Change.
Minville M, et al., 2010. Impacts and Uncertainty of Climate Change on Water
Resource Management of the Peribonka River System (Canada), Journal Of
Water Resources Planning And Management. Canada
U.S. Army Corps of Engineer Omaha District, 2012. Climate Change Associated
Sediment Yield Impact Study: Garrison Dam Specific Sediment And
Operation Evaluations., Final Report., Hydrology Engineering Branch,
Engineering Division.
Xu, C.-Y., and Singh, V. P., 2004. Review on regional water resources assessment
models under stationary and changing climate., Water Resour, Manage., 18,
591–612.
6
64
PENGELOLAAN SUMBER-SUMBER AIR MENIA
UNTUK MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM DAN
MEWUJUDKAN KETAHANAN AIR
Intisari
Sumber daya air mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan
manusia khususnya di pulau Sabu, Kabupaten Sabu Raijua, menjadi sangat
penting dan bisa dikatakan langka. Hal ini dapat terlihat dari betapa sulitnya
untuk mendapatkan air bersih. Selama ini pembangunan dibidang sumber daya
air terus digalakkan namun belum bisa menjawab kebutuhan akan air bersih. Di
Menia, pulau Sabu terdapat beberapa sumber air yang mempunyai potensi namun
belum dikembangkan secara optimal. Tersebarnya sumber-sumber air yang belum
dikembangkan secara terintegrasi, mendorong dilakukannya upaya pengembangan
pemanfaatan sumber daya air yang ada sehingga dapat memenuhi kebutuhan air
secara berkelanjutan. Metode studi yang dilakukan, pertama-tama dilakukan survei
untuk mengidentifikasi keadaan eksisting sumber daya air di pulau Sabu dengan
debit air serta pemanfaatannya selama ini. Kemudian dilakukan analisis kebutuhan
air yang akan memanfaatkan sumber daya air ini, yang dilanjutkan dengan analisis
neraca air. Dari analisis neraca air ini, dapat ditentukan langkah-langkah untuk
pengembangan sumber daya air di Menia, dalam bentuk rekomendasi yang sangat
bermanfaat bagi pemerintah daerah. Dengan pengelolaan yang terpadu ini maka
kebutuhan air dapat dipenuhi secara adil dan berkelanjutan.
Kata kunci: pengembangan sumber daya air, kebutuhan air, ketersediaan air,
terpadu dan berkelanjutan
LATAR BELAKANG
Sumber daya air mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia
khususnya di pulau Sabu, Kabupaten Sabu Raijua, menjadi sangat penting dan bisa
dikatakan langka. Hal ini dapat terlihat dari betapa sulitnya untuk mendapatkan air
bersih. Selama ini pembangunan dibidang sumber daya air terus digalakkan namun
belum bisa menjawab kebutuhan akan air bersih.
Di Menia, pulau Sabu terdapat beberapa sumber air yang mempunyai potensi namun
belum dikembangkan secara optimal. Tersebarnya sumber-sumber air yang belum
dikembangkan secara terintegrasi, mendorong dilakukannya upaya pengembangan
pemanfaatan sumber daya air yang ada sehingga dapat memenuhi kebutuhan air
secara berkelanjutan.
65
Dari Dinas PU, Perumahan, Pertambangan dan Energi Kabupaten Sabu Raijua
(2015), menyebutkan bahwa di Menia mempunyai mata air dengan debit
mencapai 5.2 liter/detik. Dari mata air Menia telah dibangun jaringan air bersih
dari PDAM. Masih dekat dengan Menia yaitu di Eimada Bubu juga terdapat mata
air dengan debit mencapai 0.9 liter/detik, namun belum memiliki atau dibangun
sistem jaringan air baku. Sumur air tanah dalam yang ada di Menia, ada 3 buah
dengan debit mencapai 3.03 liter/detik tiap buah, tapi sudah tidak berfungsi karena
kesulitan bahan bakar dan suku cadang.
Kondisi jaringan air PDAM di Menia ditunjukkan dalam Tabel 1, sedangkan
situasi penduduk pada Tahun 2015 di Menia ditunjukkan dalam Tabel 2 (BPS,
2014).
Tabel 1. Kondisi jaringan air PDAM Menia
Jumlah Jumlah Penduduk Jumlah Penduduk
No Keterangan
Penduduk yang sudah terlayani yang belum terlayani
1 Penduduk 2,632 1,548 1,084
2 Perkantoran 1,897 1,897 -
3 Rumah Sakit 371 371 -
4 Pasar 425 425 -
`
Tabel 2. Jumlah penduduk di Kelurahan Menia
Jumlah Kepala Jenis Kelamin Jumlah
No
Keluarga Laki-laki Perempuan Penduduk
666 1,385 1,247 2,632
2
66
semakin besar pula kebutuhan air bersih yang digunakan masyarakat. Kebutuhan
air berdasarkan jumlah penduduk dan wilayah tersebut dijelaskan dalam Tabel 3
(Kimpraswil, 2003).
Tabel 3. Kebutuhan air berdasarkan jumlah penduduk dan wilayah
Kategori Keterangan Kota Jumlah Penduduk Kebutuhan air (lt/jiwa/hr)
1 Kota Metropolitan Diatas 1 juta 190
2 Kota Besar 500.000 – 1 juta 170
3 Kota Sedang 100.000 – 500.000 150
4 Kota Kecil 20.000 – 100.000 130
5 Desa 10.000 – 100.000 100
6 Desa Kecil 3.000 – 10.000 60
Kebutuhan non domestik merupakan kebutuhan air bersih yang digunakan selain
untuk keperluan runah tangga dan sambungan kran/hidran umum, seperti
pemakaian air untuk perkantoran, perdagangan, industri serta fasilitas sosial
lainnya yaitu tempat ibadah, sekolah, asrama, rumah sakit, militer, serta pelayanan
jasa umum lainnya, lihat Tabel 4 (Anonim, 2002). Besarnya prosentase kebutuhan
non domestik terhadap kebutuhan domestik juga harus memperhatikan
perkembangan tingkat kebutuhan dari tahun ke tahun.
Tabel 4. Klasifikasi dan struktur kebutuhan air
No. Parameter Metro Besar Sedang Kecil
1 Tingkat pelayanan (target) 100% 100% 100% 100%
2 Tingkat pemakaian air (lt/org/hari)
Sambungan rumah (SR) 190 170 150 130
Hidran umum (kran umum) 30 30 30 30
3 Kebutuhan non domestik
Industri (lt/org/hari): Berat 0.5 - 1 15% s.d. 30%
Sedang 0.25 - 0.5 (kebutuhan domestik)
Ringan 0.1 - 0.25
Komersial (lt/org/hari): Pasar 400
Hotel (lokal, internasional) 1000
Sosial dan institusi
Universitas (lt/siswa/hari) 20
Sekolah (lt/siswa/hari) 15
Masjid (m3/hari/unit) 1 s.d. 2
Rumah sakit (lt/org/hari) 400
Puskesmas (m3/hari/unit) 1 s.d. 2
Kantor (lt/org/hari) 0.01
Militer (m3/hari/unit) 10
4 Kebutuhan harian rata-rata Kebutuhan domestik + non domestik
5 Kebutuhan harian maksimum Kebutuhan rata-rata x 1.15-1.20 (faktor jam maksimum)
6 Kehilangan air: Sistem baru 20% x kebutuhan rata-rata
Sistem lama 30% x kebutuhan rata-rata
7 Kebutuhan jam puncak Kebutuhan rata-rata x faktor jam puncak (165% - 200%)
Besarnya pemakaian air bersih pada suatu daerah tidaklah konstan, tetapi
mengalami fluktuasi. Hal ini tergantung pada aktivitas keseharian dalam
penggunaan air oleh masyarakat, sehingga dibutuhkan nilai dari Load Factor yang
besarnya tergantung pada penggunaan air tiap jamnya. Nilai ini ditunjukkan
seperti dalam tabel 5 (Anonim, 1990).
Tabel 5. Load Factor terhadap kebutuhan air tiap jam
Load Factor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
0,3 0,37 0,45 0,64 1,15 1,4 1,53 1,56 1,42 1,38 1,27 1,2
3
67
Load Factor 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
1,14 1,17 1,18 1,22 1,31 1,38 1,25 0,98 0,62 0,45 0,37 0,25
METODOLOGI STUDI
Metode studi yang dilakukan, pertama-tama dilakukan survei untuk
mengidentifikasi keadaan eksisting sumber daya air di pulau Sabu dengan debit
air serta pemanfaatannya selama ini. Kemudian dilakukan analisis kebutuhan air
yang akan memanfaatkan sumber daya air ini, yang dilanjutkan dengan analisis
neraca air. Dari analisis neraca air ini, dapat ditentukan langkah-langkah untuk
pengembangan sumber daya air di Menia, dalam bentuk rekomendasi yang sangat
bermanfaat bagi pemerintah daerah. Metodologi studi ini diilustrasikan seperti
dalam Gambar 1 berikut ini.
Survei lapangan
Identifikasi sumber daya air Pengukuran debit sederhana
4
68
Hasil analisis neraca air untuk pemanfaatan mata air dan sumur air tanah dalam di
Menia ditunjukkan dalam Tabel 6.
Dari tabel 6 di atas dapat diketahui bahwa kebutuhan air total yang meliputi
kebutuhan air penduduk, perkantoran, rumah sakit dan pasar adalah sebesar
679.530 liter/hari atau sebesar 680 m3/hari. Ketersediaan air dalam kondisi normal
adalah sebesar 788.832 liter/hari atau sebesar 789 m3/hari. Dalam kondisi basah
tersedia air sebesar 1.262 m3/hari, sedangkan kondisi kering tersedia air sebesar
316 m3/hari. Neraca air terjadi defisit saat kondisi kering yang hanya mampu
memenuhi kebutuhan air sebesar 46.5% saja, sehingga dalam kondisi kering perlu
pembagian air sesuai prioritas.
Prioritas yang direkomendasikan antara lain untuk kebutuhan rumah sakit harus
dipenuhi, kemudian penduduk, pasar dan akhirnya perkantoran. Skenario neraca
air saat kondisi kering ditunjukkan dalam Tabel 7.
Tabel 7. Skenario neraca air saat kondisi kering
Debit kering Debit Jumlah Skenario
No. Keterangan lt/org/hari
(lt/det)-20% (lt/hari) penduduk neraca air
1 Ketersediaan air
Mata air Menia 2.08 179,712
Mata air Eimada Bubu 0.36 31,104
Sumur air tanah dalam 1.21 104,717
315,533
2 Kebutuhan air
Penduduk 2,632 105,280 40
Perkantoran 1,897 9,485 5
Rumah Sakit 371 111,300 300
Pasar 425 85,000 200
311,065
3 Neraca air -363,997
5
69
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
Dengan pengelolaan yang terpadu ini maka kebutuhan air dapat dipenuhi secara
adil, khususnya dalam kondisi kering, sehingga dapat berkelanjutan.
Rekomendasi
Sebagai rekomendasi untuk studi lebih lanjut terkait dengan upaya untuk
konservasi agar debit mata air tetap dapat dipertahankan atau bahkan dapat
ditingkatkan, yaitu dengan melakukan konservasi pada daerah tangkapan airnya.
REFERENSI
Anonim, 1990. Pedoman Teknis Penyediaan Air Bersih, Departemen Pekerjaan
Umum Direktorat Air Bersih.
Anonim, 2002. Pedoman/Petunjuk Teknis Manual Sistem Penyediaan Air Minum
Perkotaan Edisi Pertama, Departemen Pemukiman & Prasarana Wilayah
Badan Penelitian dan Pengembangan. Jakarta
Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Dep Kimpraswil), 2003.
Standar Kebutuhan Air Bersih Perkotaan. Jakarta
Dinas PU, 2015. Sumber-sumber Air di Kabupaten Sabu-Raijua
Moegijantoro, 1995. Prospek Penyediaan Air Baku dalam Pengembangan Air di
SWS Bengawan Solo, Seminar Sehari FTSP UII Dies Ke-52 UII
Silalahi, M.D. 2002. Kasus Puncak: Pelanggaran Hukum Tata Ruang dan
Lingkungan, Siapa yang Bertanggung Jawab? Harian Kompas edisi 20
Februari 2002 hal 28.
6
70
KAJIAN PERGESERAN TIPE IKLIM
UNTUK MENDUKUNG TERWUJUDNYA KETAHANAN
AIR DI DAS MAHAKAM
Intisari
Perubahan iklim memberikan dampak nyata terhadap kondisi sumber daya air
dan berpengaruh terhadap ketahanan air. Kondisi ketahanan air yang mencakup
aspek kuantitas, kualitas dan keberlanjutan air dapat digambarkan dengan baik
jika tersedia data yang lengkap, yang secara faktual sulit dicapai. Oleh karena
itu diperlukan cara menggambarkan kondisi ketahanan air yang sederhana, salah
satunya dengan informasi tipe iklim dan perubahannya berdasarkan data pola curah
hujan. Penelitian ini dilaksanakan di DAS Mahakam-Provinsi Kalimantan Timur
(luas sekitar 77.000 km2). Data curah hujan bersumber dari 14 stasiun (periode
1986-2008), dianalisis dengan pendekatan tipe/indek iklim Smichdt-Ferguson (dari
tipe Sangat Kering Sekali sampai Sangat Basah) dan digambarkan secara spasial
dengan bantuan SIG. Tipe hujan di DAS Mahakam adalah tipe Ekuatorial. Terdapat
perubahan indek iklim di 10 stasiun periode 1986-1999 ke 2000-2008 yaitu dari
Basah ke Sangat Basah (Long Iram dan Tenggarong), Agak Basah ke Basah (Melak
dan Kota Bangun), Agak Basah ke Sangat Basah (Muara Kaman dan Waru), Agak
Basah ke Agak Kering (Samboja), Sedang ke Sangat Kering (Muara Ancalong),
dan Sangat Basah ke Sedang (Baqa). Diperlukan strategi adaptasi yang tepat untuk
mewujudkan ketahanan air mulai dari pembangunan tampungan air, gerakan hemat
air, pengendalian tata guna lahan, rehabilitasi daerah tangkapan air dan kegiatan
pengurangan resiko bencana.
Kata Kunci: perubahan iklim, tipe iklim dan ketahanan air.
LATAR BELAKANG
Daerah Aliran Sungai (DAS) Mahakam merupakan salah satu DAS besar di pulau
Kalimantan. Memiliki luas sekitar 77.000 km2, secara administrasi mencakup 2
provinsi yaitu Provinsi Kalimantan Utara dan Provinsi Kalimantan Timur, dan
meliputi 6 kabupaten/kota yaitu Malinau, Mahakam Ulu, Kutai Barat, Kutai
Kartanegara, Kutai Timur dan Samarinda. DAS Mahakam memiliki potensi
sumber daya air yang besar yang dicirikan oleh panjang sungai yang mencapai
920 km, lebar 300-1.030 m, kedalaman 10-65 m, curah hujan > 2.000 mm per
tahun dan merata sepanjang tahun, memiliki lahan basah (termasuk danau paparan
banjir) yang luasnya 80.000 ha dan Delta Mahakam dengan luas 120.000 ha.
Sumber daya air tersebut digunakan oleh masyarakat dalam berbagai kegiatan
diantaranya untuk perikanan, pertanian, kehutanan, pertambangan, transportasi,
71
dan air domestik. Diharapkan, kondisi sumber daya air tersebut dapat terjaga
dengan baik sehingga mampu mendukung kehidupan masyarakat secara ekonomi,
sosial dan lingkungan secara berkelanjutan.
DAS Mahakam bersifat dinamis. DAS sebagai ekosistem tersusun oleh banyak
unsur yang saling terkait sehingga kondisinya mudah berubah akibat adanya
perubahan unsur internal penyusunnya maupun faktor eksternal (Asdak, 2002;
USEPA, 2008). Dengan demikian DAS memiliki sistem yang komplek dengan
permasalahan yang juga sangat beragam (Paimin dkk, 2006; Junaidi, 2013).
Banyak isu yang terkait dengan pengelolaan DAS, diantaranya isu ketahanan air,
ketersediaan air, daya rusak air, konservasi sumber daya air, lahan kritis,
kebijakan, kelembagaan, kemiskinan, konflik, rentannya ketahanan pangan,
pencemaran dan dampak perubahan iklim (Darghouth, et.al., 2008). Isu-isu
tersebut terus menguat seiring dengan adanya perubahan iklim, terutama
pengaruhnya terhadap input dari proses di DAS yaitu intensitas radiasi matahari
dan curah hujan, dan selanjutnya berinteraksi dengan perubahan penggunaan
lahan sehingga menyebabkan siklus hidrologi dan potensi sumber daya air
mengalami perubahan (USEPA, 2008; BPPK Kemenhut, 2012).
Perubahan iklim ditandai adanya perubahan tiga unsur: (1) naiknya suhu udara,
(2) berubahnya pola curah hujan dan makin meningkatnya intensitas kejadian
iklim ekstrim dan (3) pencairan gunung es di kutub utara dan selatan yang
menyebabkan naiknya permukaan air laut (WMO, 2015). Perubahan pola curah
hujan berdampak pada sumber daya air, dan menyebabkan dampak lanjutan
seperti kekeringan, banjir, abrasi pantai, perubahan ekologi dan kerugian ekonomi
(IPCC, 2015). Dengan demikian telah jelas bahwa perubahan iklim memiliki
dampak nyata terhadap kondisi sumber daya air dan berpengaruh terhadap
ketahanan air. Oleh karena itu, dalam mewujudkan ketahanan air, DAS sebagai
satuan pengelolaan sumber daya air harus dikelola dengan terpadu, termasuk
kaitannya dengan perubahan iklim (USEPA, 2014 dan Darghout, et.al, 2008), dan
kondisi setempat yaitu perubahan penggunaan lahan (BPPK, 2012).
Ketahanan air dapat digambarkan sebagai kondisi dari keterpenuhan air yang
layak dan yang berkelanjutan untuk seluruh kehidupan, serta kemampuan
mengurangi risiko yang diakibatkan oleh air. Dengan demikian secara prinsip
ketahanan air mencakup 2 (dua) hal yaitu: (1) keterpenuhan air secara layak baik
kuantitas maupun kualitas dan berkelanjutan termasuk keberlanjutan bagi
kehidupan dan ekosistemnya, dan (2) kemampuan mengurangi risiko daya rusak
air (Bappenas, 2014; UN-WATER, 2013). Mengingat air merupakan unsur
penting dan strategis dalam mendukung kehidupan, maka dimensi ketahanan air
harus mewadahi keseluruhan aspek kehidupan dan aspek kewilayahan. Oleh
karena itu dimensi ketahanan air tersebut mencakup 5 (lima) dimensi, yaitu: (1)
keterpenuhan air untuk kehidupan sehari-hari bagi masyarakat, (2) keterpenuhan
air untuk kebutuhan sosial dan ekonomi produktif, (3) terpelihara dan
terpulihkannya sumber air dan ekosistemnya, (4) ketangguhan masyarakat dalam
mengurangi risiko daya rusak air termasuk perubahan iklim, dan (5) kelembagaan
dan tatalaksana yang mantap. Dari pengertian tersebut di atas, dapat dipahami
bahwa kondisi ketahanan air bersifat dinamis, bisa bernilai tetap, naik atau turun.
2
72
Terkait perubahan iklim yang berpengaruh terhadap naik atau menurunnya curah
hujan maka kondisi ketahanan air suatu wilayah dapat digambarkan melalui
perubahan temporal dan spasial curah hujan.
Terkait perubahan iklim dan ketahanan air, curah hujan telah menjadi fokus
banyak kegiatan penelitian karena posisinya yang sangat penting dalam siklus
hidrologi (IPCC, 2008; Kundzewic et.al, 2009 dan 2011), dan memiliki banyak
parameter yang dapat diteliti. Parameter curah hujan tersebut diantaranya jumlah
curah hujan tahunan, curah hujan bulanan, curah hujan maksimum harian, indeks
iklim, wet-dry spell, dan sebagainya, serta hubungannya dengan berbagai kejadian
seperti ENSO dan berbagai tujuan analisis. Dalam kajian perubahan iklim untuk
daerah tertentu, faktor lingkungan setempat sangat berpengaruh terhadap
parameter iklim (Bayong, 1992; Aguardo dan Burt, 2001; Ahrens, 2006). Selain
letak geografis, faktor luas tutupan vegetasi, kondisi badan air, kondisi udara dan
perubahan topografi sangat berpengaruh terhadap terjadinya perubahan pada
parameter suhu, tekanan, penguapan, curah hujan, angin dan kelembaban
(BMKG, 2011b; LAPAN, 2009). Secara spasial perubahan lingkungan yang
berbeda dari satu daerah ke daerah yang lain dapat menyebabkan perbedaan
perubahan nilai parameter curah hujan. Penelitian dengan fokus perubahan pola
curah hujan diantaranya dilakukan oleh Slamet dan Berliana (2008) yang
mengidentifikasi ada tidaknya perubahan iklim melalui pergeseran pola bulan
basah dan bulan kering dengan pendekatan tipe/indek iklim Schmidt-Fergusson di
Indonesia, Setiawan di Bali (2012), Nandini dan Narenda (2011) di Pulau
Lombok. Perubahan pola hujan akan mengakibatkan pergeseran awal musim baik
musim hujan maupun kemarau. Bencana kekeringan sebagai akibat musim
kemarau yang akan berlangsung lebih lama, mengancam produktivitas lahan. Di
sisi lain, musim hujan akan berlangsung lebih singkat namun dengan intensitas
yang tinggi bila dibandingkan kondisi normal.
Pendekatan tipe iklim berdasarkan Schmidt-Fergusson menggunakan kriteria
bulan basah, bulan lembab dan bulan kering adalah sebagai berikut: Bulan Basah
jika curah hujan (CH) > 100 mm), Bulan Lembab jika 60 mm < CH < 100 mm)
dan Bulan Kering jika CH < 60 mm. Selanjutnya nilai indek iklim ditentukan
berdasarkan persamaan:
Q= (1)
Klasifikasi nilai Q dan tipe iklimnya adalah sebagai berikut: Tipe A (Sangat
Basah) jika Q < 0.143, tipe B (Basah) Q= 0.144-0.333, tipe C (Agak Basah)
Q=0.334-0.600, tipe D (Sedang) Q= 0.601-1, tipe E (Agak Kering) Q = 1.001-
1.670, tipe F (Kering) Q = 1.671-3, tipe G (Sangat Kering) Q = 3.001-7 dan tipe H
(Sangat Kering Sekali) Q > 7.001 (Ahrens, 2006; Sabaruddin, 2012; Bayong,
1992). Semakin besar nilai Q menunjukkan bahwa jumlah bulan kering semakin
bertambah dan menandakan adanya penurunan jumlah curah hujan, sedangkan
semakin kecil nilai Q menunjukkan bahwa jumlah bulan basah semakin banyak
dan menandakan jumlah curah hujan yang besar. Perubahan nilai Q dapat
digunakan untuk melihat adanya kenaikan atau penurunan jumlah curah hujan.
Sebagai contoh jika pada periode awal di sebuah wilayah nilai Q sebesar 0.145
3
73
(tipe iklim Basah/B dan ketika nilai Q berubah menjadi 2,5 (tipe Kering/F) maka
dapat disimpulkan adanya pergeseran tipe iklim dari Basah ke Kering, yang
menandakan adanya penurunan jumlah curah hujan dan ketahanan air.
Penelitian ini diharapkan memberikan informasi mengenai tipe iklim dan
perubahannya di DAS Mahakam, yang dapat digunakan sebagai pendukung
pengambilan keputusan dalam mewujudkan ketahanan air terutama dari aspek
ketersediaan air berdasarkan perubahan jumlah curah hujan di tengah menguatnya
isu perubahan iklim.
METODOLOGI STUDI
Metodologi penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut. Data curah hujan
yang digunakan adalah data periode 1986-2008 yang bersumber dari 14 stasiun.
Tipe hujan didekati dengan jumlah puncak hujan dan polanya (Tipe Monsun jika
terdapat 1 puncak dengan kurva berbentuk V, Tipe Ekuatorial jika terdapat dua
puncak dan Tipe Lokal jika terdapat 1 puncak dengan kurba berbentuk V
terbalik). Indek iklim dianalisis dengan pendekatan Scmidt-Ferguson yaitu
berdasarkan Bulan Basah (CH > 100 mm), Bulan Lembab (60 mm < CH < 100
mm) dan Bulan Kering CH < 60 mm, dan penentuan indek iklim (Q)
menggunakan perbandingan jumlah bulan kering terhadap jumlah bulan basah
(Persamaan 1). Pergeseran iklim ditentukan berdasarkan perubahan indek iklim
antara periode 1986-1999 dengan 2000-2008. Hasil penelitian disajikan dalam
bentuk grafik dan penggambaran spasial menggunakan Sistem Informasi
Geografis.
4
74
pola Bulan Basah, Bulan Lembab dan Bulan Kering tidak terlihat antara periode
1986-1999 dan 2000-2008 kecuali di Samboja.
Indek Iklim
Indek iklim di DAS Mahakam untuk periode 1986-2008 berkisar antara 0,060
(sangat basah) sampai 1,475 (agak kering). Berikut disajikan data Bulan Basah
(BB), Bulan Lembab (BL) dan Bulan Kering (BK) di DAS Mahakam, Indek Iklim
untuk periode 1986-2008, 1986-1999 dan 2000-2008.
5
75
Tabel 1. Data Bulan Basah (BB), Bulan Lembab (BL) dan Bulan Kering (BK) di
DAS Mahakam Periode 1986-2008, 1986-1999 dan 2000-2008.
6
76
Gambar 3. Indek Iklim di DAS Mahakam Periode 1986-2008
Gambar 4. Indek Iklim di DAS Mahakam Gambar 5. Indek Iklim di DAS Mahakam Periode
Periode 1986-1999 2000-2008
7
77
dekade terakhir. Di satu sisi iklim mempengaruhi kondisi vegetasi, dan perubahan
vegetasi dapat mempengaruhi iklim suatu wilayah dan secara bersama kedua
komponen tersebut mempengaruhi keseimbangan air di daerah aliran sungai
(Davie, 2008; Ragunath, 2006). Terkait hubungan antara hutan dan curah hujan
(salah satu unsur iklim), Lee (1980) dan peneliti lainnya menyimpulkan bahwa
penebangan hutan di daerah tropis memberikan pengaruh yang kecil terhadap
daerah beriklim sedang, sedangkan Shukla, et,al (1990), menyatakan bahwa di
daerah tropis basah, khususnya di daerah Amazon, penebangan hutan dapat
mempengaruhi tingkat kelembaban udara (karena berkurangnya evapotranspirasi)
dan menyebabkan berkurangnya hujan lokal (dan lebih bersifat lokal/site specific),
dan Bernard (1945) dalam Asdak (2006) berpendapat bahwa keberadaan hutan
hujan tropis sebagai konsekuensi adanya curah hujan yang tinggi di daerah tropis,
dan faktor curah hujan yang menentukan jenis vegetasi yang tumbuh di daerah
tersebut dan bukan sebaliknya.
Perubahan iklim diyakini menyebankan berubahnya keseimangan air baik secara
regional maupun global. Akibat dari gangguan siklus air akan menyebabkan
perubahan pengendapan (curah hujan), ketersediaan dan distribusi air serta
kualitas air, disertai kondisi ketidakpastian (uncertainty). Peningkatan dan
penurunan curah hujan akan menyebabkan dampak yang berlanjut terhadap
meningkatnya gagal panen, frekuensi banjir, longsor, kekeringan, abrasi pantai,
tenggelamnya pantai dan banyak pulau kecil, perubahan habitat satwa dan
tumbuhan, serta kerugian ekonomi.
Dalam perspektif ketahanan air pergeseran tipe iklim tersebut dapat digunakan
sebagai informasi dasar perencanaan sumber daya air terutama dalam adaptasi
perubahan iklim. Diperlukan langkah yang tepat dalam beradaptasi terhadap
situasi dimana hujan bertambah dan berkurang, masing-masing menuntut kesiapan
dan perlakuan yang berbeda, dan diharapkan tidak menimbulkan bencana. Untuk
daerah-daerah yang tipe iklimnya berubah ke ‘lebih basah’ maka diperlukan
reservoar-reservoar untuk menampung kelebihan aliran guna mengurangi
kerawanan banjir dan antisipasi bahaya longsor, sedangkan untuk daerah-daerah
yang tipe iklimya berubah ke ‘lebih kering’ pembangunan reservoar-reservoar
ditujukan untuk menyimpan air yang dapat dimanfaatkan pada saat musim
kemarau, dan perlunya antisipasi bahaya kekeringan dan kebakaran lahan-hutan.
Kebijakan penggunaan lahan yang mengkonversi lahan hutan menjadi lahan
perkebunan, pertambangan dan permukiman harus dihentikan dan rehablitasi
lahan-hutan harus mendapat perhatian dan komitmen yang serius.
Kesimpulan
Hujan di DAS Mahakam bertipe Ekuatorial dengan ciri perbedaan musim hujan
dan musim kemarau tidak terlihat tegas, puncak hujan pertama terjadi pada Maret-
Mei dan puncak hujan kedua Nopember-Desember. Terdapat perubahan indek
iklim di 10 stasiun periode 1986-1999 ke 2000-2008 yaitu dari Basah ke Sangat
Basah (Long Iram dan Tenggarong), Agak Basah ke Basah (Melak dan Kota
8
78
Bangun), Agak Basah ke Sangat Basah (Muara Kaman dan Waru), Agak Basah ke
Agak Kering (Samboja), Sedang ke Sangat Kering (Muara Ancalong), dan Sangat
Basah ke Sedang (Baqa).
Rekomendasi
Rekomendasi penelitian ini adalah: (1) untuk daerah-daerah yang tipe iklimnya
berubah ke ‘lebih basah’ maka diperlukan reservoar-reservoar untuk menampung
kelebihan aliran guna mengurangi kerawanan banjir dan antisipasi bahaya
longsor, sedangkan untuk daerah-daerah yang tipe iklimya berubah ke ‘lebih
kering’ pembangunan reservoar-reservoar ditujukan untuk menyimpan air yang
dapat dimanfaatkan pada saat musim kemarau, dan perlunya antisipasi bahaya
kekeringan dan kebakaran lahan-hutan, (2) Kebijakan penggunaan lahan yang
mengkonversi lahan hutan menjadi lahan perkebunan, pertambangan dan
permukiman harus dihentikan dan rehabilitasi lahan-hutan harus mendapat
perhatian dan komitmen yang serius.
DAFTAR PUSTAKA
Aguardo, E. And Burt, J.E. 2001. Understanding Weather and Climate. Prentice
Hall. New Jersey, USA.
Ahrens, C.D., 2006. Meteorology Today: An Introduction to Weather, Climate,
and the Environment. Eighth Edition. Thompson, Brooks/Cole. USA.
Asdak, C., 2006. Hidrologi, dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.
Bayong, T.H.K. 1992. Klimatologi Terapan. CV. Pionir Jaya. Bandung.
BMKG, 2011. Buku Informasi Perubahan Iklim di Indonesia. BMKG. Jakarta.
BPPK Kemenhut, 2012. Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai. 2012. Prosiding Workshop. BPPK Kemenhut, Surakarta, 21
Oktober 2011. ISBN 978-602-99218-5-4. 2012.
Davie, T. 2008. Fundamental of Hydrology. Second Edition. Routledge
Fundamentals of Physical Geography. By Routledge 2 Park Square, Milton
Park, Abingdon, Oxon, OX14 4RN. ISBN 0-203-93366-4.
Darghouth, S., Ward, C., Gambarelli, C., Styger, E. dan Roux, J., 2008.
Watershed Management Approaches, Policies, and Operations: Lessons for
Scaling Up. Water Sector Board Discuss on Paper Series. Paper No .11.
May. 2008. The World Bank, Washington, DC.
9
79
IPCC, 2008. Climate Change and Water. IPCC Technical Paper VI. Prepared:
IPCC Working Group II. Geneva, Switzerland.
IPCC, 2015. Climate Change 2014. Synthesis Report. Summary for Policymakers.
© Intergovernmental Panel on Climate Change, 2015. First published 2015.
ISBN 978-92-9169-143-2.
Junaidi, E., 2013. Mampukah Tutupan Lahan Hutan Mengatur Proses Tata Air
Daerah Aliran Sungai (DAS): Studi Kasus di DAS Cisadane. Jurnal
Penelitian Agroforestry. Vol I No.I Agustus 2w013.
KLH, 2007. Rencana Aksi Nasional Dalam Menghadapi Perubahan Iklim.
Jakarta.
LAPAN, 2009. Edukasi Perubahan Iklim. LAPAN. http://iklimdirgantara-
lapan.or.id.
Paimin, Sukresno, dan Purwanto, 2006. Sidik Cepat Degradasi Sub Daerah Aliran
Sungai. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.
Pawitan, H. 2006. Perubahan Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya terhadap
Hidrologi Daerah Aliran Sungai. ISBN 979-9474-34-5. Laboratorium
Hidrometeorologi FMIPA – IPB, Bogor 16144. hpawitan @indo.net.id.
2006.
Raghunath, H.M. 2006. Principles, Analysis and Design. Second Edition. ISBN
(13): 978-81-224-2332-7. New Age International (P) Limited, Publishers.
4835/24, Ansari Road, Daryaganj, New Delhi – 110002.
USEPA, 2008. Handbook for Developing Watershed Plans to Restore and Protect
Our Water. USEPA. Branch Washington, DC 20460. EPA 841-B-08-002.
WMO, 2011. Guide to Climatological Practices. Weather. Climate and Water.
WMO No-100. ISBN 978-92-63-10100-6. World Meteorological
Organization, Geneva.
WMO. 2015. WMO Statement on the Status of the Global Climate in 2014. ISBN
978-92-63-11152-4. WMO-No. 1152 © World Meteorological Organization
(WMO), Geneva Switzerland
10
80
EXTREME EL-NINO RESILIENCE:
SEBUAH TANTANGAN YANG HARUS DISELESAIKAN
Intisari
Kejadian El-Nino tahun 1982/1983, 1997/1998, dan 2015/2016 adalah kejadian-
kejadian El-Nino yang ekstrem yang pernah terjadi di era modern. Dampak peristiwa-
peristiwa tersebut dirasakan secara global di berbagai kawasan dunia. Dampak yang
terasa di Indonesia akibat peristiwa El-Nino yang ekstrem adalah kekeringan dan
kemarau panjang yang menyebabkan banyak wilayah sentra pertanian mengalami
gagal panen. Makalah ini merekomendasikan beberapa metode yang mungkin
dapat diambil untuk menghindari bencana kekeringan yang timbul akibat adanya
kejadian El-Nino yang ekstrem. Pemanenan air hujan, penghematan air irigasi,
pemanenan limbah bersih, dan reforestrasi daerah aliran sungai telah diusulkan
sebagai program-program yang dapat diterapkan dalam membentuk ketahanan
untuk menghadapi dampak El-Nino ekstrem (Extreme El-Nino Resilience). Untuk
menjamin efektifitasnya maka program-program tersebut harus disosialisasikan
dengan baik, diterapkan dengan contoh yang benar, berinsentif, dan dijaga
kesinambungannya
Kata Kunci: El-Nino ekstrem, Dampak, Ketahanan
LATAR BELAKANG
Sebagai salah satu gejala alam yang berpengaruh kepada kehidupan di bumi, El
Nino banyak dibicarakan dan diselidiki oleh para ahli akhir-akhir ini. Kejadian El-
Nino tahun 1982/1983, 1997/1998, dan 2015/2016 adalah kejadian-kejadian El-
Nino terhebat atau ekstrem yang pernah terjadi di era modern dengan dampak yang
dirasakan secara global di berbagai kawasan dunia. Amerika dan Eropa mengalami
peningkatan curah hujan sehingga memicu bencana banjir besar, sedangkan
Indonesia, India, Australia, Afrika mengalami pengurangan curah hujan yang
menyebabkan kemarau panjang (Supari, 2014). El-Nino ekstrem yang terbesar
dalam sejarah tercatat pada tahun 1997/1998. Kejadian ini menyebabkan perubahan
yang signifikan terhadap pola iklim di dunia (Garcia et al., 2003). Di Indonesia
kekeringan dan kemarau panjang menyebabkan banyak wilayah sentra pertanian
mengalami gagal panen karena distribusi curah hujan yang tidak memenuhi
kebutuhan tanaman.
Akibat yang ditimbulkan oleh kejadian El-Nino ekstrem di dunia sampai saat
ini masih dipelajari dan diteliti oleh para ahli. Dampak El-Nino ekstrem ini dari
tahun ke tahun cenderung menunjukkan trend intensitas yang meningkat (Susilo
81
et al., 2013). Beberapa penelitian selanjutnya menyatakan bahwa meningkatnya
intensitas El Nino di masa yang akan datang merupakan dampak langsung maupun
tidak langsung dari pemanasan global yang dipicu oleh meningkatnya konsentrasi
gas rumah kaca di atmosfer (Cai, 2014).
Pada dasarnya, setelah mengetahui dampak yang timbul akibat El-Nino ekstrem,
yang terpenting adalah bagaimana melakukan mitigasi terhadap bencana yang
mungkin timbul. Indonesia, sebagai salah satu negara yang menerima dampak
langsung dari El Nino ekstrem, siap atau tidak siap harus mampu untuk beradaptasi
dan bertahan dari dampak yang ditimbulkannya. Makalah ini merekomendasikan
beberapa metode yang mungkin dapat diambil untuk menghindari bencana
kekeringan yang timbul akibat adanya kejadian El-Nino yang ekstrem.
METODOLOGI STUDI
Untuk membentuk suatu ketahanan untuk menghadapi dampak El-Nino ekstrem
(Extreme El-Nino Resilience) bukanlah suatu hal yang mudah. Banyak metode
ataupun program yang telah diusulkan oleh para ahli untuk dilaksanakan dalam
rangka menanggulangi dampak kekeringan akibat kejadian-kejadian El-Nino.
Kadang-kadang, metode atau program yang diusulkan bukanlah suatu penemuan
baru tetapi metode konvensional yang belum dilaksanakan secara benar dan
menyeluruh oleh pemerintah maupun masyarakat kita. Beberapa metode atau
program tersebut adalah:
1. Pemanenan Air Hujan (Rain Water Harvesting)
Untuk memenuhi kebutuhan air di masa depan, masyarakat harus bertindak
efisien dan tepat dalam penggunaan air. Air hujan sebagai sumberdaya alam
yang dapat diperbaharui memilikiperan penting sebagai alternatif sumberdaya
air di masa depan. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa pemanenan
air hujandapat mempromosikan sebagai sarana sumber air alternatif yang sig-
nifikan bagi masyarakat di beberapa negara (Abdulla and Al-Shareef, 2009).
Pemanenan hujan adalah usaha-usaha untuk menampung air hujan untuk berb-
agai keperluan. Pemanenan hujan biasanya dilakukan dengann menangkap air
hujan yang jatuh di atap dan menampungnya dalam suatu tempat penyimpanan.
Pemanenan hujan lewat atap bukanlah hal yang baru. Di negara-negara Asia
Selatan seperti India, Bangladesh dan Srilanka, serta di beberapa negara Afrika,
pemanenan hujan lewat atap telah dilakukan orang sejak dahulu kala.Sebuah
studi di Jerman menunjukkan bahwa potensi penghematan air rumah tangga
akibat pemanenan air hujan bervariasi antara 30% sampai 60% (Herrmann dan
Schmida, 1999). Sementara itu di New Castle Australia, pemanenan air hujan
dapat menghemat pengambilan air tanah sebesar 60% (Coombes et al., 1999).
Di Brasil sebuah penelitian menunjukkan bahwa pemakaian air hujan berpoten-
si menghemat airtanah antara 34% sampai 92%,dengan potensi rata-rata sebe-
sar 69% (Ghizi et al., 2006)
82
Instalasi pemanenan air hujan lewat atap dapat dilaksanakan secara tradision-
al maupun modern. Pada dasarnya instalasi tersebut tergolong sebagai suatu
sistem yang sederhana.Namun demikian, beberapa penelitian menunjukkan
bahwa, walaupun memanen air hujan hanya memerlukan teknik yang sederhana
dan murah, kegiatan pemanenan air hujan belum banyak dilakukan di Indonesia
(Levi, 2015). Hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa hal antara lain:
a. Sebagian besar masyarakat belum menyadari pentingnya air hujan sebagai
salah satu sumber air tawar
b. Kurangnya pengetahuan dan informasi tentang pemanenan air hujan
c. Masyarakat masih merasa yakin tidak akan mengalami kekurangan air di
masa yang akan datang.
Ada beberapa keuntungan yang diharapkan dari usaha memanen air hujan yaitu:
a. Dapat menyediakan air bersih secara mandiri, mudah, dan murah
b. Mengurangi biaya listrik untuk memompa air dari sumur
c. Menjadi sumber air bersih alternatif untuk daerah pantai dan rawa
d. Menjadi sarana konservasi airtanah
e. Menjadi sarana untuk mengurangi potensi banjir lingkungan
Pemanenan air hujan juga dilakukan untuk tujuan konservasi airtanah. Untuk
tujuan ini pemanenan air hujan dapat dilakukan dengan cara pembuatan sumur
resapan. Sumur resapan dibangun sedemikian hingga berbentuk sebagai sebuah
sumur dengan kedalaman tertentu. Sumur resapan berfungsi sebagai tempat
menampung air hujan yang jatuh di atas atap rumah atau daerah kedap air dan
meresapkannya ke dalam tanah. Karena meresapkan air ke dalam tanah, sumur
resapan memberikan imbuhan air secara buatan dengan cara menginjeksikan
air hujan ke dalam tanah. Oleh karena itulah maka sumur resapan dapat juga
disebut sebagai sumur injeksi. Lokasi-lokasi yang potensial untuk diresapkan
air hujannya adalah daerah kawasan budidaya, permukiman, perkantoran, per-
83
tokoan, industri, sarana dan prasarana olah raga serta fasilitas umum lainnya.
Secara umum, manfaat sumur resapan adalah (Media Indonesia, 2015):
a. Mengurangi volume limpasan permukaan (surface runoff) sehingga dapat mence-
gah atau mengurangi potensi bencana banjir atau genangan air yang berlebihan
b. Mempertahankan atau mempertinggi muka air tanah (ground water table).
c. Mengurangi bahaya erosi dan sedimentasi
d. Mencegah terjadinya intrusi air laut dan penurunan tanah (land
subsidance) di daerah pantai
e. Mengurangi konsentrasi pencemar air tanah.
84
Penghematan air irigasi pada dasarnya sudah menjadi kearifan lokal bagi se-
bagian masyarakat petani di Indonesia. Di beberapa daerah yang merupakan
non-irigable area banyak petani menerapkan irigasi hemat air dalam kegiatan
pertaniannya. Mereka memompa air dari sungai dan mengalirkannya ke lahan
persawahan dengan tujuan untuk membasahi tanah. Dengan sistem ini padi
yang ditanam di sawah tetap dapat tumbuh dan mendatangkan hasil panen.
Upaya penghematan air irigasi yang lain dapat dilakukan dengan System Rice
Intensification (SRI). Metode ini ditemukan pertama kali di Madagaskar oleh
seorang Pastor Jesuit asal Prancis, Fr. Henri de Laulanie. SRI dipublikasikan
pertama kali pada tahun 1983. Metode ini kemudian dikembangkan oleh sebuah
lembaga swadaya masyarakat bernama Tefy Saina dan Cornel International In-
stitute for Food and Agriculture Development (CIIFAD) dan mulai diperkenal-
kan ke Negara-negara lain. Aplikasi metode ini di luar Madagaskar dilakukan
oleh Nanjing Agricultural University di Cina dan Agency for Agriculture Re-
search and Development (AARD) pada daerah pertanian di Negara Cina pada
tahun 1999. Sejak saat itu, SRI telah diterapkan di daerah-daerah pertanian di
lebih dari 25 negara (Sampoerna, 2013). Di Indonesia SRI telah diterapkan di
beberapa daerah di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Di Provinsi Lampung,
SRI telah pula diperkenalkan walaupun masih dalam tahapan Demonstration
Plot (Demplot).
Metode SRI adalah metode pertanian sawah yang hemat air. Dalam SRI, maksi-
mal tinggi air yang diperlukan di sawah adalah 2 cm. Pengeringan sengaja di-
lakukan untuk membuat tanah retak-retak. Pemberian air yang terlalu tinggi
sengaja dihindari agar tidak merusak daerah perakaran dan menghambat per-
tumbuhan tunas tanaman padi. Sayangnya belum ada penelitian yang khusus
menghitung volume air yang dibutuhkan dalam penerapan SRI.
85
stalasi penyaring air yang menghasilkan air siap minum. Air hasil dari insta-
lasi penyaring air kemudian diselidiki di laboratorium. Apabila penelitian ini
berhasil mempromosikan air limbah AC menjadi pengganti ari gallon maupun
air isi ulang, bukan tidak mungkin kantor-kantor di Indoneisa dapat memenuhi
kebutuhan air minumnya secara mandiri.
4. Reforestrasi Daerah Aliran Sungai
Kuantitas dan kualitas air di di bumi banyak dipengaruhi oleh keberadaan hutan.
Hutan sangat berpengaruh kepada perubahan iklim mengubah ketersediaan
sumber daya air (Bergkamp et al., 2003). Oleh karena itu, hubungan antara hutan
dan air adalah masalah penting yang harus dibahas dalam rangka membentuk
ketahanan masyarakat terhadap bencana kekeringan yang ditimbulkan oleh
perubahan dan anomali iklim. Walaupun telah mengetahui kedudukan dan
fungsi hutan dalam menjaga kelestarian air di masa yang akan datang, kadang-
kadang Pejabat Pemerintah Daerah sering menghadapi keputusan sulit untuk
mengorbankan konservasi sumber daya alam ini demi kepentingan ekonomi
dan kemajuan daerah seperti pembangunan perumahan, derah pertanian, dan
daerah industri. Terkadang pula mereka harus membuat keputusan ini tanpa
mendapat informasi mengenai perbandingan nilai ekonomi hutan dan nilai
ekonomi daerah yang akan dibangun.
Hubungan ketersediaan air dan hutan difokuskan pada tiga topik yaitu peran
tutupan hutan dalam memaksimalkan debit air di hilir, peran hutan di daerah
hulu dalam mempertahankan debit air selama musim kemarau, dan peran
hutan dalam pelestarian kualitas air (Hamilton, 2005). Hutan dapat disamakan
dengan sebuah spons raksasa yang menyerap air hujan selama musim hujan
dan melepaskannya secara perlahan-lahan selama musim kering. Hutan adalah
sistem infiltrasi dan reservoir alami dari air yang jatuh ke permukaan bumi. Air
yang berasal dari hutan mengalir ke badan-badan air yang memasok sekitar 75
persen dari kebutuhan air secara global (Center for Watershed Protection and
US Forestry Service, 2008). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hutan
secara global berfungsi mendaur ulang curahan air hujan dan air tanah untuk
mendukung siklus hidrologi pada skala benua dan skala antarbenua. Secara
umum hutan berpengaruh terhadap curah hujan dimana semakin besar tutupan
hutan semakin besar pula potensi curah hujan di daerah yang bersangkutan
(Hirota, 2011).
86
membentuk suatu ketahanan untuk menghadapi dampak El-Nino ekstrem (Extreme
El-Nino Resilience) di masyarakat yaitu:
1. Sosialisasi Mengenai El-Nino dan Dampaknya
Pengetahuan mengenai peristiwa alam El-Nino dan bencana yang ditimbulkan-
nya belumlah begitu banyak diketahui oleh masyarakat. Bahkan belum banyak
universitas di Indonesia yang mendalami subjek pengetahuan ini. Oleh karena
itu kampanye dan sosialisasi tentang El-Nino dan bencana yang ditimbulkan-
nya adalah hal yang penting dilaksanakan sejak dini. Materi dari sosialisasi
dapat dibuat sederhana yaitu pengetahuan singkat mengenai El-Nino, kapan ter-
jadinya, apa dampaknya, dan bagaimana kita menghadapinya. Sosialisasi ten-
tang El-Nino dapat dirangkaikan pula dengan sosialisasi tentang La-Nina yang
juga mempunyai potensi dampak bencana. Bentuk sosialisasi yang mudah dan
murah adalah sosialisasi melalui media infotainment seperti televisi, radio, dan
jaringan internet. Sosialisasi lain yang cukup efektif adalah melalui sekolah-
sekolah. Di sekolah-sekolah, pengetahuan mengenai El-Nino dapat diselipkan
sebagai muatan pelajaran atau dapat disosialisasikan secara langsung oleh para
guru.
5. Menjadi Contoh dan Teladan
Sebagai tindak lanjut dari sosialisasi, pemerintah daerah harus melakukan tin-
dakan nyata dalam rangka upaya membentuk suatu ketahanan untuk mengha-
dapi dampak El-Nino ekstrem (Extreme El-Nino Resilience). Kegiatan-kegiatan
yang mungkin dilakukan misalnya pembuatan prototip instalasi pemanenan air
hujan di daerah perumahan, pendidikan, industri, dan bisnis. Kegiatan yang lain
misalnya adalah melakukan demplot untuk daerah persawahan yang memakai
metode SRI untuk pengolahan lahannya. Kegiatan-kegiatan di atas dilakukan
untuk memberikan contoh dan tauladan kepada masyarakat mengenai penting-
nya upaya membentuk suatu ketahanan untuk menghadapi dampak El-Nino
ekstrem (Extreme El-Nino Resilience).
6. Menciptakan Kegiatan yang Berinsentif
Beberapa program pelestarian sumberdaya air seperti sumur resapan tidak
berjalan dengan baik di masyarakat. Hal ini dikarenakan kegiatan yang
dilaksanakan tidak memberikan insentif secara materi kepada masyarakat.
Program atau kegiatan yang baik bagi masyarakat adalah kegiatan yang
memberikan insentif langsung bagi mereka. Artinya, apa yang mereka bangun
dapat memberikan keuntungan materi dalam bentuk nominal rupiah secara
langsung. Sebagai contoh, hasil pembangunan instalasi pemanenan air hujan
di daerah pantai akan memberikan keuntungan berupa penghematan biaya
pembelian air bagi masyarakat pengguna. Kegiatan yang berinsentif dapat
pula berupa bantuan dari pemerintah daerah untuk membangun sumur-sumur
resapan di daerah perkotaan. Himbauan kepada masyarakat untuk membangun
sumur resapan dalam rangka pelestarian airtanah dengan biaya masyarakat
sendiri sudah terbukti tidak berhasil karena masyarakat tidak menerima manfaat
langsung dari kegiatan yang dilakukannya.
87
7. Mempertahan Kegiatan yang Berkesinambungan
Program-program yang diusulkan di atas tidak boleh dilaksanakan sebagai
suatu proyek atau program sesaat, tetapi lebih dari itu harus dijadikan sebagai
suatu gerakan yang masif di masyarakat, yang pada akhirnya akan terbentuk
menjadi budaya atau kearifan lokal. Suatu kegiatan yang berkesinambungan
akan memberikan informasi lebih dalam kepada kita mengenai kegiatan yang
sedang dilakukan dan memberikan kesempatan kepada kita untuk mempelajari
kelemahan kegiatan tersebut. Lebih jauh program-program yang dilaksanakan
untuk membentuk ketahanan untuk menghadapi dampak El-Nino ekstrem (Ex-
treme El-Nino Resilience) harus dikembangkan setiap waktu sesuai dengan ke-
butuhan dan waktu.
KESIMPULAN
Beberapa ulasan mengenai dampak dari kejadian El-Nino ekstrem, metode-metode
untuk menghindari dampak, dan manajemen aplikasi metode-metode tersebut
telah diuraikan dalam makalah ini. Pemanenan air hujan, penghematan air irigasi,
pemanenan limbah bersih, dan reforestrasi daerah aliran sungai telah diusulkan
sebagai program-program yang dapat diterapkan dalam membentuk ketahanan
untuk menghadapi dampak El-Nino ekstrem (Extreme El-Nino Resilience). Tujuan
untuk membentuk suatu Extreme El-Nino Resilience di masyarakat kita hanya dapat
dilaksanakan apabila program-program tersebut disosialisasikan dengan baik,
diterapkan dengan contoh yang benar, berinsentif, dan dijaga kesinambungannya.
Mengelaborasikan program-program di atas untuk mempercepat tercapainya
Extreme El-Nino Resilience mungkin baik untuk dilaksanakan. Tetapi elaborasi
program bukanlah hal yang paling penting. Yang mutlak penting untuk dilaksanakan
adalah mengaplikasikan programnya secara nyata.
REFERENSI
Abdulla, F.A., and Al-Shareef, A.W., 2009. Roof rainwater harvesting systems for-
household water supply in Jordan. Desalination 243, 195–207.
Anonim, 2009. Permen LH No. 12 Tahun 2009 tentang Pemanfaatan Air Hujan.
Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia.
Bergkamp, G., Orlando, B., and Burton, I. 2003. Change: adaption of water re-
sources management to climate change. Gland, Switzerland, World Conser-
vation Union (IUCN).
88
Cai, W., S. Borlace, M. Lengaigne, P. van Rensch, M. Collins, G. Vecchi, A. Tim-
mermann, A. Santoso, M.J. McPhaden, L. Wu, M.H. England, G. Wang, E.
Guilyardi, and F.-F. Jin (2014): Increasing frequency of extreme El Niño
events due to greenhouse warming. Nature Climate Change, 4, doi: 10.1038/
nclimate2100, 111-116.
Center for Watershed Protection and US Forestry Service, 2008. Watershed For-
estry Research Guide. www.forestsforwatersheds.org/reduce-stormwater/
[diakses pada tanggal 10 Oktober 2016]
Coombes, P.J., Argue, J.R., and Kuczera, G., 1999. UrbanWater, 1: 335–343.
Garcia, A. M., Vieira, J. P. and Winemiller, K. O., 2003. Effects of 1997 – 1998
El Nino on the dynamics of the shallow-water fish assemblage of the Patos
Lagoon Estuary (Brazil). Estuarine, Coastal and Shelf Science 57, 489–500.
Hamilton, L., 2005. Forests and water. Thematic study for the Global Forest Re-
sources Assessment 2005. Rome, FAO. (Draft)
Herrmann, T., and Schmida, U., 1999. Urban Water, 1: 307–316.
Hirota, M., Oyama, M., D., dan Nobre, C., 2011. Concurrent climate impacts of
tropical South America land-cover change. Atmospheric Science Letters 12:
261-267
Levi, P. A. A., 2015. Memanen Air Hujan (Rain Water Harvesting) Sebagai
Alternatif Sumber Air. http://www.kompasiana.com/purwanti_asih_
anna_levi/memanen-air-hujan-rain-water-harvesting-sebagai-alternatif-
sumber-air_5517a1c3a333117107b6600c [diakses pada tanggal 10 Oktober
2016]
Media Indonesia, 2015. Sumur Resapan. https://bebasbanjir2025.wordpress.com/
teknologi-pengendalian-banjir/sumur-resapan/ [diakses pada tanggal 10 Ok-
tober 2016]
Sampoerna, 2013. Tehnik dan Budidaya Penanaman Padi System of Rice Inten-
sification (SRI). http://sri.ciifad.cornell.edu/countries/indonesia/ extmats/
indoSampoernaManual09.pdf [diakses pada tanggal 10 Oktober 2016]
Supari, 2014. Sejarah Dampak El Nino di Indonesia (The History of El Nino Impact
in Indonesia). http://www.bmkg.go.id/bmkg_pusat /lain_lain/artikel/ Seja-
rah_Dampak_El_Nino_di_Indonesia.bmkg#ixzz449yCqIgp. [diakses pada
tanggal 28 Maret, 2016]
Susilo, G.E., Yamamoto, K., Imai, T., Ishii, Y., Fukami, H., and Sekine, M., 2013.
The effect of ENSO on rainfall characteristics in the tropical peatland ar-
eas of Central Kalimantan, Indonesia. Hydrological Sciences Journal, 58 (3),
539–548.
89
POLDER SEMARANG TIMUR
Intisari
Saat ini wilayah Semarang Timur sistem drainasenya sangat dipengaruhi oleh adanya
air laut pasang. Hal ini menyebabkan kerugian sosial dan ekonomi akibat genangan
rob yang menggenangi wilayah pantai utara Jawa Tengah, oleh karena itu perlu kajian
untuk mengatasi masalah banjir dan rob yang ada. Penanggulangan air laut pasang
yang masuk daratan (yang disebut rob) dilakukan dengan membangun tanggul
yang menghubungkan tanggul kanan Kanal Banjir Barat dengan tanggul kiri Kali
Babon. Untuk membuang air banjir dari Kali Tenggang dan Kali Sringin diperlukan
pompa dengan kolam detensi agar kapasitas pompa dapat dapat diminimalkan.
Permasalahan sosial yang mungkin timbul adalah merubah penggunaan lahan dari
tambak menjadi lahan kering, atau merubah tambak air payau menjadi tambak
air tawar. Penyusunan Basic Design ini dimaksudkan untuk mendapatkan teknik
pengendalian banjir dan rob untuk disampaikan pada pemerintah dalam hal ini
adalah Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali Juana. Sistem pengendalian
banjir dan rob yang sesuai adalah sistem polder, dengan komponen infrastrukturnya
adalah: tanggul laut yang dimanfaatkan sebagai proteksi terhadap masuknya air
pasang (rob) kearah daratan DAS Kali Tenggang dan DAS Kali Sringin. Pengeluaran
air hujan yang turun di DAS tersebut menggunakan pompa dan kolam detensi.
Kata kunci: polder, drainasi kota, pengendalian daya rusak air.
LATAR BELAKANG
Dampak rob dan banjir di wilayah Semarang Timur, khususnya Kecamatan Genuk
berpengaruh negatif pada kondisi sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat. Lokasi
wilayah rob dan banjir yang akan ditanggulangi dengan sistem polder Semarang
timur ditunjukan pada Gambar 1. Saat ini fokus pengendalian banjir dan rob masih
pada upaya perbaikan Kali Tenggang dan Kali Sringin dan belum terealisasi.
Dewan Riset Daerah (DRD) Jawa Tengah bekerja sama dengan Pusat Sudi Bencana
LPPM UNDIP mendapat tugas dari Gubernur Provinsi Jawa Tengah untuk mengkaji
dan memberikan solusi penanggulangan banjir dan rob di wilayah Semarang
Timur. Hasil kajian tersebut masih berupa kajian awal berupa Basic Design Polder
Semarang Timur, karena itu diperlukan kajian dan pemikiran lebih lanjut serta
masukan dari para pakar dan instansi terkait.
Penurunan kapasitas sungai serta saluran drainase perkotaan di akibatkan oleh
sedimentasi dan padatnya bangunan-bangunan (ilegal) di bantaran dan badan
sungai. Hal tersebut juga diperparah oleh puncak hidrograf banjir dan menurunnya
waktu konsentrasi hidrograf yang diakibatkan oleh penurunan kapasitas infiltrasi
daerah tangkapan air (DTA).
90
Gambar 1. Lokasi Polder Semarang Timur
Beberapa upaya penanggulangan banjir dan rob telah dilakukan, diantaranya adalah
pembangunan bendungan Jatibarang, perbaikan Kanal Banjir Barat, pembangunan
rumah pompa dan kolam retensi kali Semarang, serta pembangunan Polder Banger.
Kajian pemaduserasian antara RTRW dengan Rencana Induk Drainasi Kota
Semarang dan Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air (SDA) Wilayah Sungai
Jratunseluna sangat diperlukan.
Berdasarkan pengalaman penanggulangan banjir di Semarang dan daerah lain,
menyimpulkan sistem polder akan dapat dan cocok untuk menanggulangi banjir
dan rob (Mondel & Budinetro, 2010). Daerah polder akan terbangun lebih maju di
bidang sosial, ekonomi, kesehatan dan kondisi lingkungannya. Pengelolaan polder
yang berbasis masyarakat dapat membiayai operasi dan pemeliharaan polder dengan
efisien tanpa membebani ekonomi masyarakat. Akan tetapi pembangunannya
perlu adanya bantuan dari pemerintah karena biaya pembangunan cukup besar dan
teknologinya cukup tinggi.
Kawasan Semarang Timur merupakan daerah padat penduduk dengan berbagai
masalah mengenai lingkungan. Daerah ini merupakan daerah yang sering tergenang
banjir dan rob dengan daya dukung tanah sangat rendah, sehingga menyebabkan
penurunan muka tanah tiap tahunnya. Permasalahan yang terjadi di daerah Kota
Semarang Timur yaitu terjadinya banjir atau genangan yang disebabkan oleh:
1. Kenaikan muka air laut akibat kondisi pasang yang merambat ke daratan yang
disebut rob.
2. Genangan yang terjadi akibat adanya hujan deras.
Daerah rawan genangan banjir merupakan daerah permukiman dan industri, dalam
area Polder Semarang Timur terdapat jaringan rel kereta api, serta industri-industri
besar dan kecil.
Untuk dapat menanggulangi masalah yang diakibatkan banjir dan rob, maka perlu
di capai beberapa tujuan seperti berikut;
1. Menganalisis hidrograf banjir berbagai periode ulang dengan metoda tertentu.
2. Menganalisis daerah genangan banjir dan rob untuk mengetahui daerah yang
terdampak bencana banjir dan rob.
3. Menentukan kapasitas pompa dan dimensi kolam tando yang paling optimal.
4. Menganalisis bentuk dan elevasi tanggul penahan air rob.
91
METODOLOGI
Perencanaan dan perancangan infrastruktur perkotaan hijau yang baik dapat
mengadaptasi perubahan iklim seperti kenaikan muka air pasang, meningkatnya
puncak banjir dan penurunan muka tanah. Dampak dari perubahan iklim ini
dapat menurunkan ketahanan kota akibat penambahan frekuensi genangan banjir,
penurunan kondisi kesehatan penduduknya dan menurunkan perkembangan sosial
ekonomi wilayah (Mondel dan Budinetro, 2010).
Kegiatan kajian penanggulangan banjir dan rob ini dilakukan dengan metodologi
seperti berikut:
1. Pengumpulan data sekunder;
Peninjauan lapangan dilakukan sebagai langkah awal kegiatan untuk mengetahui
rona lingkungan awal / kondisi terkini bangunan dan saluran dalam sistem polder
Semarang Timur. Data tersebut berupa data hidrometeorologi, data topografi,
peta penggunaan lahan dan peta jenis tanah serta peta geologi dan patahan.
2. Peninjauan lapangan, Identifikasi Saluran dan Bangunan Pendukung yang
diperlukan;
Peninjauan lapangan dilakukan sebagai langkah awal kegiatan untuk
mengetahui rona lingkungan awal / kondisi terkini bangunan dan saluran dalam
sistem polder Semarang Timur. Identifikasi dilakukan untuk memahami lokasi
studi dan identifikasi permasalahan awal yang didapat di lapangan serta melihat
kemungkinan solusi yang diusulkan masyarakat di lokasi genangan. Identifikasi
dilakukan guna memperkirakan dimensi bangunan dan saluran dengan
menggunakan form tertentu. Untuk investigasi data lokasi di setiap bangunan
dilakukan dengan bantuan alat GPS dan peta topografi yang ada. Tujuan dari
identifikasi saluran dan bangunan adalah untuk mengetahui titik koordinat dari
saluran/sungai, tanggul sungai dan bangunan infrastruktur yang ada.
3. Penentuan dimensi infrastruktur polder termasuk kapasitas pompa dan volume
kolam tampungan;
Merancang dan membangun tanggul penutup atau tanggul laut yang dilengkapi
dengan pompa pembuangan air banjir merupakan tugas utama dalam
penanggulangan banjir dan rob. Perbaikan sungai-sungai yang masuk wilayah
polder merupakan tahap kedua di dalam pembangunan polder. Sedang tahap
akhir adalah penataan infrastruktur perkotaan di wilayah polder seperti jalan,
sistem sanitasi (Ankum, 2002).
92
Tabel 1. Periode ulang rencana
Periode ulang rencana (Tahun)
Klasifikasi Kota Daerah Daerah Daerah Daerah
Tangkapan Air Tangkapan Air Tangkapan Air Tangkapan Air
< 10 ha 10 - 100 ha 100 - 500 ha > 500 ha
Metropolitan 1-2 2-5 5-10 10-25
Besar 1-2 2-5 2-5 5-15
Medium 1-2 2-5 2-5 5-10
Kecil 1-2 1-2 1-2 2-5
Amat Kecil 1 1 1 -
93
Data utama yang digunakan dalam analisis perancangan Polder Semarang Timur
adalah data hujan harian pada stasiun hujan Karangroto, stasiun hujan Maritim
dan stasiun hujan Pucanggading. Dari data hujan harian akan diolah menjadi
hujan maksimum harian rata-rata daerah, dengan metode Polygon Thiessen.
Setelah diperoleh koefisien Thiessen selanjutnya adalah menghitung hujan harian
rata-rata dianalisis dengan program A-Prob (Istiarto, 2014) untuk memperoleh
curah hujan rencana.
AnalisisGambar
kolam dan
Gambar pompa ini
3. Hidrograf dibantu
Banjir padadengan perangkat
DAS Sringin dan lunak HEC-HMS. Dari
DAS Tenggang
Tenggang
data debit banjir dan volume kolam tando (detention pond) didapatkan kebutuhan
Analisis dengan
pompa kolam dan pompa ini
kapasitas 80 dibantu
m3/det dengan
(untuk perangkat
periode ulanglunak HEC-HMS. Dari
50 tahun) guna
data debit
menurunkan banjir dan
elevasi volume
muka air kolam
di tando
kolamdengan(detention pond)
tando perangkat
disaat elevasi didapatkan kebutuhan
Analisis kolam dan pompa ini dibantu lunakmuka air melebihi
HEC-HMS. Dari
pompa dengan
batasdebit
elevasi kapasitas
tampungan 80 m 3
/det
efektif. (untuk
Kapasitas periode ulang
3 50
80 m /detpond) tahun)
tersebut guna menurunkan
dibagi kebutuhan
menjadi 4
data banjir dan volume kolam tando (detention didapatkan
elevasipompa
buah
pompa muka
dengan air kapasitas
dengandi kolam tando
kapasitas
80 m20 3disaat
/det elevasi
m3/det.
(untuk muka
Hasil airulang
Analisis
periode melebihi
50 3batas
menunjukan elevasi
tahun)dengan
guna
tampungan
menurunkan efektif.
kapasitas pompa
elevasi Kapasitas
tersebut
muka dapat
air 80
di m 3
/det tando
menurunkan
kolam tersebut dibagi
inflow
disaat menjadi
dari
elevasi 250 m4 /det
muka buah
air pompa
menjadi
melebihi
denganelevasi
outflow
batas kapasitas
sebesar 5020m3m/det.
tampungan
3
/det. HasilKapasitas
efektif. Analisis menunjukan dengan dibagi
80 m3/det tersebut kapasitas pompa4
menjadi
tersebut dapat menurunkan inflow dari 3250 m3/det menjadi outflow sebesar 50 m3/
buah pompa dengan kapasitas 20 m /det. Hasil Analisis menunjukan dengan
det.
kapasitas Storage-Elevation
pompa tersebut dapat menurunkan inflow Inflow-Outflow
dari 250 m3/det menjadi
3
outflow sebesar
5000 50 m /det. 5 500
0
Storage (1000m3)
Elevation (m)
-500
0 20 40 60
Storage-Elevation Inflow-Outflow
Time (hours)
0
5000 0
5 500 Outflow
0
Storage (1000m3)
Elevation (m)
-500
Storage Elevation 0 20 (hours)
Combined
Time 40
Flow 60
Gambar
0 4. Grafik hubungan
0 Tampungan-Elevasi (kiri) dan
Outflow
Storage
Grafik Inflow-Outflow
Elevation
(kanan)
Combined Flow
6
94
6
Data hidrometeorologi di gunakan dalam menentukan tinggi pasang tertinggi, tinggi
gelombang rencana yang hasil akhirnya berupa tinggi tanggul atau elevasi tanggul
penahan banjir rob dari laut. Pertimbangan adanya kencenderungan meningkatnya
kenaikan muka air pasang dan adanya kecenderungan penurunan muka tanah (land
subsidence) juga digunakan dalam menentukan elevasi tanggul penahan banjir rob.
Analisis hidrolika menggunakan bantuan perangkat lunak HECRAS 5.0.1. HEC-
RAS (Hydrologic Engineering Center’s River Analysis System) adalah software
yang dikembangkan oleh U.S Army Corps of Engineering. Data tinggi pasang surut
dan data debit digunakan sebagai input pemodelan genangan. Kolam detensi yang
direncanakan seluas 103.5 ha. Pada kondisi rencana, kolam detensi ditutup dengan
tanggul, sehingga air rob tidak masuk kedalam kolam detensi, dan kolam detensi
hanya menampung air dari sungai Sringin dan Sungai Tenggang. Pengurangan
genangan banjir akibar air hujan dapat berkurang sebesar 47% dari luas genangan
1469.50 ha, yaitu sebesar 837.18 ha.
Tanggul penahan banjir rob adalah bendungan tanah urugan dan bendungan penutup
selama masa pembangunan dibuat dari Geotube, selanjutnya areal laut yang terletak
antara cover dam dan tanggul laut ditanami pohon bakau sebagai ruang terbuka
hijau dari kota Semarang yang ditunjukan pada Gambar 6.
Gambar 7. Lokasi Tanggul dan potongan lintang tanggul laut serta stasiun pompa
95
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
Hasil kajian dari Polder Semarang Timur adalah sebagai berikut :
1. Analisis hydrograph banjir dengan menggunakan metode SCS dengan periode
ulang 1000 tahun, 100 tahun, 50 tahun, 25 tahun , 20 tahun, 10 tahun 5 tahun
dan 2 tahun.
2. Dari hasil running menggunakan model dua dimensi didapatkan luas genangan
sebesar 1469.50 ha pada kondisi eksisting dan 837.18 ha pada kondisi rencana.
3. Dengan kapasitas kolam tando sebesar 414 m3, diperlukan pompa dengan
kapasitas 80 m3/dt.
4. Bentuk tanggul penahan rob direncanakan menempel dengan tanggul Kanal
Banjir Timur (sebelah kiri) dan Sungai Babon (sebelah kanan).
Rekomendasi
Studi lanjutan guna mempelajari sistem operasi dan pemeliharaan yang efisien dan
berbasis masyarakat perlu dilakukan, jadi pada penelitian tahap kedua perlu disusun
sistem pengelolaan polder yang berbasis masyarakat sehingga biaya pemeliharaan
tidak membebani anggaran pemerintah.
Saat ini pengoperasian yang optimal dari suatu sistem drainase merupakan kesulitan
yang paling utama dalam menanggulangi permasalahan sampah yang meningkatkan
biaya operasi dan pemeliharaan.
REFERENCES
Ankum, P., 2002. Design of Open Channels and Hydraulic Structure. Delft: College
CT3410.
Buijs, F., Gelder, V., H.A.J.M, & Hall, J., 2004. Application of Reability-based flood
defence design in the UK. Heron.
Engineers, C.o., 2000. Hydrologic Modelling System HEC-HMS Technical
References Manual. Washington, DC: U.S. Army.
Engineers, C.o., 2010. Hydrologic Engineering Center’s River Analysis System
User’s Manual. Washington, DC: U.S. Army.
Istiarto, 2014. AProb_4.1. Retrieved from Analisis Frekuensi Data Hidrologi :
http://istiarto.staff.ugm.ac.id/index.php/modul/hecras/
Mondel, H., & Budinetro, H., 2010. The Banger Polder in Semarang. Semarang:
CRBOM Small Publication.
96
Talsma, J., Schwanen berg, D., Gooijer, J., dan Klaas-Jan Van Heeringen, K.J.,
2014. Model Predivtive Control for Real Time Operation of Hydraulic
Structures for Draining the Operational Area of the Dutch Water Authority
Noorderzijlvest, 11th International Conference on Hydroinformatics HIC
2014, New York City, USA.
Van der Sleen, N., 2013. An Analysis of The Pluit Polder Jakarta. Twente: University
of Twente.
Waikar, M., Namita, & Undegaonkar, 2015. Urban Flood Modeling by Using EPA
SWMM 5, Special Volume on ‘Clean Earth-Green Earth’. SRTM University’s
Research Journal of Science, 73-82.
Weijs, S., Van Leeuwen, E., Jules van Overloop, P., & Van de Giesen, N. 2007.
Effect of uncertainties on the real-time operation of a lowland water system
in The Netherlands, Quantification and Reduction of Predictive Uncertainty
for Sustainable Water Resources Management. Proceedings of Symposium
HS2004 (p. 313). Perugia: IAHS .
97
Sub Tema 2
Peningkatan
Profesionalisme
dalam Bidang
Sumber Daya Air
PEMILIHAN TIPE BANGUNAN PENGAMAN PANTAI
DENGAN MEMANFAATKAN KEARIFAN LOKAL DI PULAU
BUNAKEN
Stevanny H.B. Kumaat1 *, Djidon Watania2 , dan Ellen Cumentas 2
1 Program Studi Teknik Sipil, Universitas Sam Ratulangi
2 Balai Wilayah Sungai Sulawesi I
*stevannykumaat32@gmail.com
Intisari
Pulau Bunaken sebagai kawasan wisata taman laut yang kegiatan utamanya adalah
diving,snorkeling,dan submarine touring. Sejalan dengan nilai dan pentingnya
kawasan wisata taman laut Bunaken sebagai destinasi para wisatawan mancanegara
, di Pulau Bunaken juga terdapat pemukiman penduduk di daerah pesisir pantai
yang mendapat prioritas pengamanan dan perlindungan dari kerusakan akibat
abrasi/erosi. Tujuan penelitian ini, pertama, memberikan solusi penanganan
kerusakan pantai untuk mendapatkan bangunan pengaman pantai dengan
memanfaatkan kearifan lokal, mendapatkan cara pengelolaan pantai yang
partisipatif bagi masyarakat di pulau Bunaken dengan memanfaatkan kearifan lokal
di pulau Bunaken. Data primer diperoleh dari observasi dan wawancara dengan
penduduk setempat, Sedangkan data sekunder diperoleh dengan penelitian
sebelumnya yakni survei investigasi dan disain bangunan pengamanan pantai pulau
Bunaken 2013. Kedua, Analisis dilakukan menggunakan metode AHP yang
membantu memecahkan persoalan yang kompleks dengan menstruktur suatu
hirarki kriteria, pihak yang berkepentingan, hasil dan dengan menarik berbagai
pertimbangan guna mengembangkan bobot atau prioritas. Hasil yang diperoleh
sebagai typical desain adalah Sand Dune.
Kata kunci: kearifan lokal, analytical hierarchy process, Sand Dune.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pulau Bunaken sebagai kawasan wisata taman laut yang kegiatan utamanya adalah
diving,snorkeling,dan submarine touring. Sejalan dengan nilai dan pentingnya
kawasan wisata taman laut Bunaken sebagai destinasi para wisatawan mancanegara
di Pulau Bunaken juga terdapat pemukiman penduduk di daerah pesisir pantai yang
mendapat prioritas pengamanan dan perlindungan dari kerusakan akibat
abrasi/erosi.
Perkembangan daerah pantai menjadi daerah pemukiman di Pulau Bunaken
menjadikan permasalahan pantai yang urgen sehingga menjadi prioritas
penanganan.Bagaimana memilih tipe bangunan pengaman pantai dengan kearifan
lokal? Bagaimana mendapatkan solusi bangunan pengaman pantai yang
partisipatif?
1
101
Pentingnya penelitian ini
Dengan adanya penelitian ini,diharapkan akan memberi manfaat sebagai berikut:
1. Dapat memberi solusi bagi kerusakan pantai di daerah pemukiman penduduk
di Pulau Bunaken.
2. Dapat memberi dampak positif akan partisipasi masyarakat untuk
mendapatkan solusi akibat kerusakan pantai yaitu erosi/abrasi pantai yang
mengancam pemukiman masyarakat di Pulau Bunaken.
Tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini:
1. Memberikan solusi penanganan kerusakan pantai untuk mendapatkan
bangunan pengaman pantai dengan memanfaatkan kearifan lokal.
2. Mendapatkan cara pengelolaan pantai yang partisipatif bagi masyarakat
dengan memanfaatkan kearifan lokal di pulau Bunaken.
KAJIAN PUSTAKA
Dalam Penelitian Pemilihan Bangunan Pengaman Pantai Pulau Bunaken dengan
memanfaatkan kearifan lokal yang terdapat pada lokasi penelitian yakni pulau
Bunaken. Kearifan lokal sebagai data primer didapatkan melalui wawancara dan
observasi dengan tokoh-tokoh masyarakat untuk mendapatkan data yaitu kejadian
atau peristiwa, cara atau kebiasaan/budaya dan potensi material dalam mencari
solusi pada saat terjadi gelombang yang merusak pantai (erosi/abrasi) dan fasilitas
penduduk.
Faktor – faktor yang menyebabkan terjadinya gelombang yakni run up dan run
down akan dikaji berdasarkan data sekunder Hidro Oceanografi yang ada di daerah
tersebut antara lain data : angin, tanah, bathimetri, garis pantai, pemetaan topografi,
dll.
Metode Analytical Hierarchy Process (AHP)
Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan salah satu metode yang
bertujuan untuk mengoptimalkan suatu pengambilan keputusan.AHP
dikembangkan oleh Dr.Thomas L. Saaty dari Wharton School of Business pada
tahun 1970-an untuk mengorganisasikan informasi dan judgement dalam memilih
alternatif yang paling disukai. Dengan menggunakan AHP, suatu persoalan yang
akan dipecahkan dalam suatu kerangka berpikir yang terorganisir sehingga
persoalan yang kompleks dapat disederhanakan.
2
102
METODOLOGI PENELITIAN
PEMBAHASAN
Lokasi Penelitian di Pulau Bunaken
LOKASI
PENELITIAN
3
103
1) Data sekunder hasil kajian sel & pemodelan perubahan garis pantai oleh
Universitas Samratulangi Tahun 2012, untuk Sel, Karakteristik & Kondisi
Oceanografis, diperoleh hasil analisis hidro-oseanografi sbb:
a) Gelombang maksimum berasal dari arah Barat pada bulan Desember
(25.625%). Kondisi tinggi gelombang maksimum hanya berkisar 0.94%
dari arah Barat Laut terjadi pada bulan April dan Oktober, setinggi 3,1 m.
b) Angkutan sedimen sejajar pantai total pada sel pantai 2 adalah 12180,50
m3/tahun dari arah Utara ke Selatan akibat pengaruh gelombang arah Barat
Laut dan -12444,98 m3 /tahun dan -13875,77 m3 /tahun dari arah selatan
akibat gelombang arah Barat dan Barat Daya.
c) Volume angkutan Sedimen tegak lurus pantai total adalah sebanyak
739610,21 m3 /tahun menuju pantai (Net Onshore).
d) Cenderung tidak tererosi namun berpotensi abrasi (lokasi penelitian).
2) Sementara itu, kondisi gelombang terefraksi adalah:
a) Kedalaman dan tinggi gelombang pecah maksimum akibat gelombang dari
arah Barat Laut, yaitu masing-masing sebesar, db = 0,85 m dan
Hb = 1,25 m
b) Volume angkutan sedimen sejajar pantai dari arah Utara ke Selatan akibat
gelombang arah Barat Laut sebesar 16989,65 m3/tahun, dan akibat
gelombang arah Barat Daya sebesar 13875,77 m3/tahun. Total angkutan
sedimen sejajar pantai pada sub-sel 2-A adalah sebesar 30865,42 m3/tahu.
Angkutan sedimen maksimum terjadi pada bulan Desember.
c) Volume angkutan sedimen tegak lurus pantai akibat pengaruh gelombang
arah Barat sebesar 739610,21 m3/tahun atau 0,28087 m3/detik menuju
pantai (Net onshore).
d) Dari data angkutan sedimen dapat disimpulkan bahwa pantai cenderung
tidak tererosi, namun berpotensi abrasi karena tinggi gelombang laut yang
besar pada musim badai.
3) Sea Level Rise
a) Kenaikan muka air laut harus diperhitungkan dalam perencanaan reklamasi.
b) Berdasarkan grafik kenaikan muka air laut dari www.UNEP-1995, untuk
estimasi tahun 2000 sampai tahun 2040, diperkirakan air laut akan naik
sebesar 15 cm.
c) Apabila gejala pemanasan global akan meningkat, maka diperkirakan akan
mengalami kenaikan sebesar 30 cm.
d) Sesuatu yang perlu diantisipasi dari kenaikan muka air laut adalah kenaikan
daya rusak akibat gelombang.
4) Kondisi Tanah Dasar. Data Kondisi Tanah Dasar diperlukan untuk: pemilihan
jenis konstruksi bangunan pantai sesuai dengan kondisi tanah dasarnya
Sementara itu, hasil analisis beberapa faktor hidro-oseanografi pada keliling pantai
pulau Bunaken menunjukkan hal-hal sebagai berikut:
1) Berdasarkan perhitungan fetch dengan titik tinjau keliling pantai pulau
Bunaken, gelombang dominan diindikasi berasal dari arah Barat dengan kondisi
tinggi gelombang terbesar terjadi pada bulan Desember sebesar 46.154%.
4
104
Selain arah Barat, terdapat pula arah lain yang kurang dominan yakni arah Barat
Laut, Barat Daya, dan Selatan. Gelombang maksimum untuk arah Barat laut
terjadi pada bulan April (1.705%). Untuk arah Barat daya, gelombang
maksimum berada pada bulan Mei (3.182%). Sedangkan untuk arah Selatan
maksimum terjadi pada bulan Juli dengan 6.324%. Tinggi gelombang laut
dalam maksimum yang terjadi di sepanjang tahun adalah sebesar 3.1 m dari arah
barat.
2) Kedalaman dan tinggi gelombang pecah maksimum diakibatkan oleh
gelombang arah barat yaitu masing-masing sebesar db=2,5 m dan Hb=2,25
meter.
3) Erosi pantai terutama pada daerah permukiman akibat terjadinya
ketidakseimbangan angkutan sedimen sejajar dan tegak lurus garis pantai..
4) Cenderung tidak tererosi namun berpotensi abrasi (lokasi penelitian)
5) Berm pantai agak curam dan di atasnya berdiri pemukiman warga.
6) Cenderung beresiko terabrasi oleh gelombang pasang atau storm surge.
7) Bentuk garis pantai agak melengkung tapi cenderung rata
8) Latar belakang pantai adalah daerah pemukiman warga.
9) Secara geomorfologi dan profil pantai, maka pantai Pulau Bunaken dapat
dikelompokkan dalam satuan pantai perbukitan landau dan profil pantai swell.
Kondisi topografi pesisir, umumnya berbukit dengan kemiringan 1: 4 sampai
1:5 (H:V).
10) Posisi LLWL visual kira-kira berjarak 100 m dari garis pantai dan HHWL
mencapai dekat elevasi mercu Seawall existing, dengan beda tinggi pasut
berkisar 1.5 s/d 2.0 m.
11) Melihat situasi dan kondisi garis pantainya, perwajahan pantai Pulau Bunaken
dapat dibagi dalam beberapa segmen perwajahan yaitu, pantai bertebing,
berbatu, pantai berpasir hitam, berpasir putih dan mangrove yang koloninya
sudah sangat kecil.
12) Sebagian besar pesisir pantai dipergunakan sebagai kawasan permukiman
penduduk dan kawasan wisata. Letak garis pantai Pulau Bunaken rata-rata
berjarak hanya 50 m dari kaki tebing.
13) Akibat gempuran gelombang dan di beberapa bagian garis pantai tebing-tebing
pantai sudah mulai longsor akibat abrasi. Terutama pada bagian-bagian tertentu
,jika hal ini dibiarkan maka besar kemungkinan abrasi akan masuk hingga ke
wilayah pemukiman warga Pulau Bunaken.
Ketersediaan Material
Material
Banyak Cukup Kurang
Batu Gunung √
Pasir √
5
105
PEMBAHASAN :
Pemilihan Tipe Bangunan Pengaman Pantai dengan Metode AHP
Hasil analisis menggunakan AHP dalam pemilihan tipe bangunan pengaman pantai
dengan kearifan lokal sebagai berikut :
KRITERIA Crieteria 1 Crieteria 2 Crieteria 3 Crieteria 4 Crieteria 5 Crieteria 6
Kemampuan Menahan Run Up C1 1 1 5 5 5 1
Tampilan C2 1 1 5 5 5 1
Ketersediaan Material C3 0.2 0.2 1 1 3 0.2
Kemudahan pelaksanaan C4 0.2 0.2 1 1 3 0.2
Kesesuaian dengan Budaya C5 0.2 0.2 0.333333 0.33333333 1 0.2
Waktu penerimaan manfaat C6 1 1 5 5 5 1
Normalized matrix
Weights Products Ratio
0.2778 0.2778 0.2885 0.2885 0.2273 0.2778 0.2729 1.724942 6.320285
0.2778 0.2778 0.2885 0.2885 0.2273 0.2778 0.2729 1.724942 6.320285
0.0556 0.0556 0.0577 0.0577 0.1364 0.0556 0.0697 0.428516 6.144847
0.0556 0.0556 0.0577 0.0577 0.1364 0.0556 0.0697 0.428516 6.144847
0.0556 0.0556 0.0192 0.0192 0.0455 0.0556 0.0418 0.252007 6.034109
0.2778 0.2778 0.2885 0.2885 0.2273 0.2778 0.2729 1.724942 6.320285
CI= 0.042822 CI/RI= 0.03
ALTERNATIF A1 A2 A3 A4 A5
Breakwater A1 1 2 1 3 3
Revetment A2 0.5 1 0.333333 0.33333333 1
Tembok Laut A3 1 3 1 5 3
Groin A4 0.33333333 3 0.2 1 0.333333
Sand Dune A5 0.33333333 1 0.333333 3 1
Normalized matrix
Weights Products Ratio
0.2609 0.2000 0.2727 0.2727 0.2727 0.2558 0.262375 1.025663
0.1304 0.1000 0.0909 0.0909 0.0909 0.1006 0.101935 1.012944
0.2609 0.3000 0.2727 0.2727 0.2727 0.2758 0.272438 0.987775
0.2609 0.3000 0.2727 0.2727 0.2727 0.2758 0.272438 0.987775
0.0870 0.1000 0.0909 0.0909 0.0909 0.0919 0.090813 0.987775
CI= -0.9999 CI/RI= -0.81
Tampilan
ALTERNATIF A1 A2 A3 A4 A5
Breakwater A1 1 0.333333 1 1 0.2
Revetment A2 3 1 3 0.33333333 0.333333
Tembok Laut A3 1 0.333333 1 1 0.2
Groin A4 1 3 1 1 0.2
Sand Dune A5 5 3 5 5 1
Normalized matrix
Weights Products Ratio
0.0909 0.0667 0.0909 0.0909 0.1034 0.0886 0.091358 1.031498
0.2727 0.2000 0.2727 0.2727 0.1724 0.2381 0.205636 0.863586
0.0909 0.0667 0.0909 0.0909 0.1034 0.0886 0.091358 1.031498
0.0909 0.0667 0.0909 0.0909 0.1034 0.0886 0.091358 1.031498
0.4545 0.6000 0.4545 0.4545 0.5172 0.4962 0.520289 1.048599
CI= -0.99967 CI/RI= -0.81
6
106
Ketersediaan Material
ALTERNATIF A1 A2 A3 A4 A5
Breakwater A1 1 0.5 1 1 0.2
Revetment A2 2 1 1 1 0.2
Tembok Laut A3 1 1 1 1 0.2
Groin A4 1 1 1 1 0.2
Sand Dune A5 5 5 5 5 1
Normalized matrix
Weights Products Ratio
0.0909 0.0476 0.0909 0.0909 0.1111 0.0863 0.092267 1.069245
0.2727 0.1429 0.2727 0.2727 0.1111 0.2144 0.159757 0.74503
0.0909 0.0476 0.0909 0.0909 0.1111 0.0863 0.092267 1.069245
0.0909 0.0476 0.0909 0.0909 0.1111 0.0863 0.092267 1.069245
0.4545 0.7143 0.4545 0.4545 0.5556 0.5267 0.563443 1.06977
CI= -0.99887 CI/RI= -0.81
Kemudahan pelaksanaan
ALTERNATIF A1 A2 A3 A4 A5
Breakwater A1 1 1 1 1 0.2
Revetment A2 1 1 3 3 0.2
Tembok Laut A3 1 0.333333 1 1 0.2
Groin A4 1 0.333333 1 1 0.2
Sand Dune A5 5 5 5 5 1
Normalized matrix
Weights Products Ratio
0.0909 0.0476 0.0909 0.0909 0.1111 0.0863 0.092267 1.069245
0.2727 0.1429 0.2727 0.2727 0.1111 0.2144 0.159757 0.74503
0.0909 0.0476 0.0909 0.0909 0.1111 0.0863 0.092267 1.069245
0.0909 0.0476 0.0909 0.0909 0.1111 0.0863 0.092267 1.069245
0.4545 0.7143 0.4545 0.4545 0.5556 0.5267 0.563443 1.06977
CI= -0.99887 CI/RI= -0.81
ALTERNATIF A1 A2 A3 A4 A5
Breakwater A1 1 1 1 1 1
Revetment A2 1 1 1 1 1
Tembok Laut A3 1 1 1 1 1
Groin A4 1 1 1 1 1
Sand Dune A5 1 1 1 1 1
7
107
Normalized matrix
Weights Products Ratio
0.2000 0.2000 0.2000 0.2000 0.2000 0.2000 0.2 1
0.2000 0.2000 0.2000 0.2000 0.2000 0.2000 0.2 1
0.2000 0.2000 0.2000 0.2000 0.2000 0.2000 0.2 1
0.2000 0.2000 0.2000 0.2000 0.2000 0.2000 0.2 1
0.2000 0.2000 0.2000 0.2000 0.2000 0.2000 0.2 1
CI= -1 CI/RI= -0.81
ALTERNATIF A1 A2 A3 A4 A5
Breakwater A1 1 0.333333 1 1 0.2
Revetment A2 3 1 5 5 0.2
Tembok Laut A3 1 0.2 1 0.5 0.2
Groin A4 1 0.2 2 1 0.2
Sand Dune A5 5 5 5 5 1
Normalized matrix
Weights Products Ratio
0.0769 0.0303 0.0769 0.0769 0.1111 0.0744 0.080584 1.082586
0.3846 0.1515 0.3846 0.3846 0.1111 0.2833 0.183634 0.648207
0.0769 0.0303 0.0769 0.0769 0.1111 0.0744 0.080584 1.082586
0.0769 0.0303 0.0769 0.0769 0.1111 0.0744 0.080584 1.082586
0.3846 0.7576 0.3846 0.3846 0.5556 0.4934 0.574614 1.164612
CI= -0.99697 CI/RI= -0.80
Rekapitulasi
Eigen Vector
ALTERNATIF C1 C2 C3 C4 C5 C6 Kriteria Rangking
Breakwater A1 0.26237523 0.091358 0.092267 0.09226672 0.2 0.080584 1.724942 0.878649
Revetment A2 0.10193501 0.205636 0.159757 0.15975671 0.2 0.183634 1.724942 1.034618
Tembok Laut A3 0.27243847 0.091358 0.092267 0.09226672 0.2 0.080584 0.428516 0.896008
Groin A4 0.27243847 0.091358 0.092267 0.09226672 0.2 0.080584 0.428516 0.896008
Sand Dune A5 0.09081282 0.520289 0.563443 0.56344313 0.2 0.574614 0.252007 2.578581
1.724942
SkalaPrioritas :
1. Sand Dune : 2,578581
2. Revetment : 1,034618
3. TembokLaut : 0,896008
4. Groin : 0,896008
5. Breakwater : 0,878649
8
108
Gambar Typical Desain: Sand Dune
KESIMPULAN
1. Perkembangan daerah pantai menjadi daerah pemukiman di Pulau Bunaken
menjadikan permasalahan pantai yang urgen, menggunakan AHP (Analitical
Hierarchy Procces) didapat bangunan pengaman pantai Sand Dune.
2. Sand Dune mudah dilaksanakan dengan partisipasi masyarakat dimana tersedia
material di pulau bunaken dan memudahkan (tidak mengganggu) perahu yang
menambat di pantai.
SARAN
Sebaiknya bangunan pengaman pantai Sand Dune segera dilakukan sampai ada
proyek pemerintah karena ketersediaan material terbatas khususnya batu gunung.
9
109
REFERENSI
Anonimous, 2003. Engineering and Design Coastal Engineering Mannual, Part 2.
Department of the Army A.S. Army Corps of Engineers, Washington, DC
20314-1000
Dishidros TNI AL, 2003. Peta Cuaca Perairan Indonesia. Jakarta.
Dishidros TNI AL, 2009. Ramalan Pasang Surut tahun 2009. Stasiun Ternate.
Dinas Hidro Oseanografi TNI. AL. Jakarta
Dundu A.K.T. 2013 Bangunan Pengaman Pantai Dengan Kearifan Lokal di Batu
Putih Bitung
Dundu A.K.T. 2015 Bangunan Pengaman Pantai Dengan Kearifan Lokal di Pantai
Pal, Minahasa Utara
Kramudibrata, S., 1985. Perencanaan Bangunan Pengaman Pantai. Penerbit
Ganacea Excact Bandung. Bandung
Perda RTRW Kota Manado
Soedjono K, 1985. Perencanaan Bangunan Pengaman Pantai, Ganeca Exact
Bandung. Bandung.
Tjasyono, B. HK. 1986. Iklim dan Lingkungan. Penerbit PT. Cendekia Jaya Utama.
Bandung.
Triatmodjo, B. 1999. Teknik Pantai, edisi pertama, beta Offset, Yogyakarta
Triatmodjo, B. 1996. Bangunan Pengaman Pantai, edisi pertama, beta Offset,
Yogyakarta
S.I.D., 2013. Bangunan Pengaman Pantai Pulau Bunaken
10
110
RESTORASI PANTAI SRIWULAN DEMAK DENGAN PEGAR
GEOBAG TIANG BAMBU
Soni Senjaya Efendi1 **, Puty Mathilda2 , M. Reza Nugraha2 ,
Leo E. Sembiring1 , Dedi Junarsa5 , dan Dede M. Sulaiman1 *
1 Peneliti Balai Litbang Pantai, Pusat Litbang Sumber Daya Air
2 Balai Litbang Pantai- Pusat Litbang Sumber Daya Air
*dedems@ymail.com; **sonisenjaya164@yahoo.co.id
INTISARI
Erosi pantai, banjir rob, dan penurunan tanah di pantai utara Jawa Tengah,
khususnya Kabupaten Demak, telah lama berlangsung yang mengakibatkan
rusaknya lingkungan dan mundurnya garis pantai. Dalam upaya merestorasi dan
menyelamatkan wilayah pantai yang telah nyaris tenggelam ini, melalui Proyek
Building with Nature, Pusat Litbang Sumber Daya Air merekomendasikan
penerapan struktur pemecah gelombang ambang rendah (PEGAR) sebagai struktur
pelindung dan penangkap sedimen sebelum mangrove tumbuh besar. Struktur
PEGAR ini terdiri dari tiang bambu dengan bagian tengah struktur diisi karung
pasir (geobag) ukuran 0,3 x 0,6 x 0,9 m. Elevasi puncak struktur di atas muka air
rata rata (MSL) dan di bawah muka air tertinggi (HWL). Dimensi struktur adalah
panjang 75 meter, lebar 1,6 meter dan tinggi dari dasar 0,9 m. Struktur PEGAR
tiang bambu dipilih untuk mendapatkan bangunan pelindung pantai yang
terjangkau masyarakat tetapi efektif dan ramah lingkungan. Dari penerapan prototip
PEGAR tiang bambu ini, telah disusun buku pedoman perencanaan dan
pelaksanaannya supaya masyarakat luas dapat memahami dan menerapkannya
dengan baik dan benar.
Kata Kunci : Erosi pantai, Building With Nature, PEGAR tiang bambu,
Mangrove, morfologi pantai.
LATAR BELAKANG
Erosi pantai, banjir rob, dan penurunan tanah di pantai utara Jawa Tengah,
khususnya Kabupaten Demak, telah lama berlangsung yang mengakibatkan
rusaknya lingkungan pantai dan tergenangnya daerah permukiman, persawahan,
dan prasarana lainnya. Sayung merupakan salah satu Kecamatan di Kabupaten
Demak yang mengalami permasalahan yang paling parah. Proses pengikisan dan
genangan yang terus terjadi di wilayah pesisir ini telah menyebabkan mundurnya
garis pantai, sehingga permukiman penduduk semakin dekat dengan pantai dan
meningkatnya kerentanan terhadap banjir pasang. Dalam upaya merestorasi dan
menyelamatkan wilayah pantai yang telah nyaris tenggelam ini, suatu proyek
restorasi yang dikenal dengan Proyek Building with Nature (BwN) telah digulirkan
oleh Konsorsium Ecoshape dari Belanda yang terdiri dari lembaga swadaya dan
perusahaan seperti Deltares, Wetteveen + Bos, dan Wetland International.
Konsorsium Ecoshape ini dalam melaksanakan programnya bekerjasama dengan
1
111
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, serta Kementerian
Perikanan dan Kelautan Republik Indonesia. Salah satu program dari proyek BwN
ini adalah mengembalikan dan menumbuh-kembangkan mangrove. Sebagai bentuk
partisipasi dalam Proyek BwN ini, Pusat Litbang Sumber Daya Air
merekomendasikan penerapan PEGAR geobag sebagai struktur pelindung dan
penangkap sedimen sebelum mangrove tumbuh besar.
Struktur pemecah gelombang ambang rendah (selanjutnya disebut PEGAR), adalah
struktur pelindung pantai yang ditempatkan sejajar pantai dengan bagian puncak
berada di bawah muka air tertinggi, mendekati atau sedikit muncul di atas
permukaan air laut rata-rata (Buccino dan Calabresse, 2007). Selain berfungsi
sebagai peredam dan pemecah gelombang, PEGAR berperan sebagai penangkap
dan penahan sedimen. Limpasan gelombang yang dipaksa pecah di atas PEGAR
mengangkut bermacam sedimen. Setelah gelombang pecah di belakang struktur,
terjadi proses fisik yang kompleks antara lain proses turbulensi yang menyebabkan
terjadinya pengendapan sedimen. Proses tersebut berlangsung secara kontinyu yang
menyebabkan sedimen tersebut menumpuk di pantai dan membentuk garis pantai
baru yang disebut salient dan makin maju ke arah laut sampai menyatu dengan
struktur PEGAR yang disebut sebagai tombolo. Karena itu untuk kondisi pantai
Sriwulan, Demak yang tererosi dan tergenang banjir rob dipilih PEGAR sebagai
bangunan pelindung dan perehab pantainya.
PEGAR dapat dirancang untuk mengurangi atau mencegah erosi pantai dan
mendorong terakumulasinya sedimen dalam membentuk pantai baru. Struktur
pelindung pantai ambang rendah ini mereduksi energi gelombang yang datang
dengan cara memicu dan memaksa gelombang pecah di atas dan pada saat kontak
dengan struktur, sebagian energinya dipantulkan dan sebagian lagi diteruskan.
Efektivitas PEGAR dalam mengembalikan pantai yang tererosi sangat dipengaruhi
selain parameter gelombang, juga oleh geometri dari struktur PEGAR, terutama
jarak ambang, jarak dari pantai, dan panjang struktur. Hanson dan Kraus ( 1991)
menunjukkan bahwa respon garis pantai terhadap keberadaan pemecah gelombang
dikendalikan oleh sedikitnya 14 variabel, delapan diantaranya adalah variabel yang
sangat berperan yaitu (1) jarak dari pantai; (2) panjang struktur; (3) tinggi dan lebar
mercu; (4) kemiringan dasar pantai; (5) tinggi gelombang;(6) periode gelombang;
(7) orientasi sudut dari struktur; dan (8) arah gelombang dominan.
Praktis untuk menghasilkan PEGAR yang efektif sebagai pengendali erosi dan
perehab pantai adalah dengan menempatkan struktur PEGAR pada posisi di atas
MSL. Prototip PEGAR pantai Tanjung Kait dan pantai Pisangan (Sulaiman,
2012b), pantai Pekalongan (Bashir Ahmad dkk.,2015) dan pantai Sigandu Batang
(Sulaiman dkk., 2015) merupakan prototip lapangan yang memberikan respon
pantai yang positif dengan terbentunya salien dan tombolo atau lahan timbul, yang
merupakan pantai baru yang terbentuk oleh adanya PEGAR.
2
112
METODOLOGI STUDI
Model Numerik Perubahan Pantai Sriwulan
Pemodelan hidrodinamika Sriwulan dilakukan dengan menggunakan Software
MIKE21. Syarat batas land boundary lokasi studi dihasilkan dari digitasi Google
Earth yang kemudian diproses untuk mendapatkan nilai x, y. Syarat batas pada
jejaring komputasi ini didefinisikan untuk setiap batas laut dan daratan. Untuk
mendapatkan hasil yang akurat, jejaring komputasi dibuat resolusi lebih tinggi
mendekati ke arah land boundary. Jejaring koputasi untuk model Sriwulan terdiri
dari 1004 titik simpul dan 1532 element dengan syarat batas hidrodinamika pasang
surut di laut. Pada Gambar 1 tampak mesh boundary dari Pantai Sriwulan,
sedangkan Gambar 2 memperlihatkan hasil batimetri di Pantai Sriwulan dan
sekitarnya.
3
113
Model Prototip Lapangan
Struktur PEGAR geobag yang telah dipasang di pantai Sriwulan merupakan
prototip lapangan yang diharapkan menjadi percontohan dan struktur alternatif
dalam melindungi dan menumbuh-kembangkan mangrove sebelum kuat menahan
hempasan gelombang. Geobag adalah karung pasir yang terbuat dari geotekstil non-
woven polypropylene superior dengan kuat tarik tinggi yang dirancang agar tahan
terhadap abrasi, sinar UV, dan juga coblos (puncture). Penggunaan PEGAR geobag
dengan tiang bambu sebagai sangkar diperkirakan mampu bertahan selama tiga
tahun sampai mangrove tumbuh kuat.
Struktur pemecah gelombang ambang rendah (selanjutnya disebut PEGAR)
diusulkan untuk diterapkan pada Program Building with Nature ini. Melalui struktur
PEGAR ini diharapkan mampu berfungsi sebagai peredam gelombang sekaligus
sebagai pelindung sementara pertumbuhan mangrove muda sebelum kuat menahan
gempuran gelombang. Struktur PEGAR ini berupa kombinasi tiang tiang bambu
dengan bagian tengah struktur diisi karung pasir (geobag) ukuran 0,3 x 0,6 x 0,9 m
dengan tinggi puncak struktur di atas muka air rata rata (MSL) dan di bawah muka
air tertinggi (HWL). Puncak struktur PEGAR ini muncul ke permukaan saat air laut
surut, namun puncaknya tenggelam saat air laut pasang. Dimensi struktur memiliki
panjang 75 meter, lebar 1,6 meter dan tinggi dari dasar perairan 0,9 meter dengan
panjang tiang bambu yang menancap sekitar 2,0 – 2,3 meter dari dasar perairan.
4
114
HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN
Interaksi Gelombang dengan Struktur PEGAR
Perambatan gelombang mengalami transformasi oleh adanya struktur PEGAR.
Fenomena yang terjadi di area struktur sebagai berikut: (1) terjadinya gelombang
pecah; 2) terjadinya turbulensi di belakang struktur; (3) adanya pusaran dibelakang
struktur; dan (4) terjadinya refleksi dan difraksi gelombang. Fenomena yang terjadi
di area struktur PEGAR adalah adanya kehilanggan energi gelombang yang
disebabkan oleh struktur tersebut. Berdasarkan skematisasi model Sriwulan, besar
gelombang signifikan pada kondisi menuju surut, saat surut, menuju pasang, dan
saat pasang.
Besaran tinggi gelombang yang sampai ke PEGAR tiang bambu sangat kecil
(berkisar 0.1 meter). Hal ini dikarenakan profil bathimetri sriwulan yang dangkal
sehingga daerah gelombang pecah sangat jauh dari posisi struktur. Pada Gambar 4
dan Gambar 5 dapat dilihat perbedaan dari empat kondisi tinggi muka air yang
terjadi, jika saat kondisi surut, struktur akan nampak ke permukaan dan saat kondisi
pasang, struktur terendam dibawah muka air laut
5
115
Analisis Perubahan Morfologi Pantai
Struktur PEGAR geobag tiang bambu yang telah terpasang di pantai Sriwulan,
Demak ditunjukkan pada Gambar 6. Pengaruh pemasangan struktur terhadap
perubahan morfologi di Pantai Sriwulan ditunjukkan pada Gambar 7. Jika
dibandingkan dengan skema eksisting, skema PEGAR tiang bambu dengan panjang
75 meter menghasilkan sedimentasi dibelakang struktur sebesar 0.26 meter.
Perubahan morfologi yang kecil ini disebabkan oleh gelombang yang mencapai
struktur yang kecil. Namun untuk skema PEGAR dengan panjang 500 dan 1000
meter pembentukan sedimentasi dominan terjadi di belakang PEGAR.
6
116
Koefisien transmisi merupakan parameter utama yang mengendalikan respon
pantai terhadap pemecah gelombang lepas pantai. Diantara parameter geometri
yang mengendalikan transmisi gelombang dan respon garis pantai di belakang
struktur, parameter jarak amabang dan lebar mercu merupakan parameter paling
berpengaruh terhadap koefisien transmisi. Untuk pemecah gelombang ambang
rendah, makin rendah Rc makin tinggi limpasan gelombang dan makin besar pula
transmisi gelombangnya.
Karung Geotekstil Sebagai Material Alternatif
Penggunaan karung geotekstil pada struktur PEGAR telah diterapkan di beberapa
lokasi pantai, yaitu di pantai Anyer, Provinsi Banten, pantai Lombang, Indramayu,
pantai Tanjung Kait, Tangerang,, pantai Pekalongan, pantai Pisangan, Karawang,
dan pantai Sigandu, Batang, Jawa Tengah. Penerapan PEGAR dari karung
geotekstil tersebut berhasil diterapkan dan bermanfaat dalam merehabilitasi dan
menstabilkan pantai. Penggunaan karung geotekstil memberikan beberapa
keuntungan yaitu (1) jenis material geotekstil seperti geobag dan geotube tersedia
di pasaran dengan berbagai ukuran; (2) material geotekstil relatif ringan yang
memungkinkan ongkos angkut ke lokasi relatif murah; (3) material pengisi seperti
pasir diperoleh di lokasi proyek; (4) respon terhadap gelombang fleksibel; dan (5)
dapat dipasang dengan menggunakan tenaga lokal tanpa memerlukan alat berat dan
keahlian khusus.
Rekomendasi
1) Penerapan Struktur PEGAR idealnya ditempatkan pada lokasi pantai yang
bersentuhan dengan gelombang secara langsung, karena proses sedimentasi
terjadi apabila terjadi limpasan gelombang di atas struktur yang mengakibatkan
gelombang pecah.
7
117
2) Konsep PEGAR dalam merehabilitasi pantai yang tererosi tidak terbatas dengan
material geotekstil, tetapi bisa dilakukan dengan batu alam. Karena itu, perlu
dibuatkan prototip PEGAR dari tumpukan batu dengan tiang bambu sebagai
sangkar atau casingnya, sehingga dihasilkan inovasi bangunan yang murah dan
efekti dengan menggunakan material setempat.
3) Sosialisasi tentang konsep PEGAR dalam merehabilitasi dan melindungi
pertumbuhan mangrove sebagai bagian dari Proyek Building with Nature perlu
dilakukan dengan menyebarluaskan Pedoman Perencanaan dan Pelaksanaan
PEGAR.
REFERENSI
Basyir Ahmad., M. Ismanto, S.Miftahudin, Dede M. Sulaiman, 2015. Rehabilitasi
Erosi Pantai dan Banjir Rob di Kota Pekalongan, Prosiding PIT HATHI
XXXII, Malang, 6-8 November.
Buccino, M. dan Calabrese, M., 2007. Conceptual Approach for Prediction of Wave
Transmission at Low Crested Breakwaters. Journal of Waterways, Port,
Coastal, and Ocean Engineering. ASCE, 133(3), May, pp 213-224.
Burcharth, H.F., Hawkins, S.J., Zanuttigh, B. and Lamberti, A., 2007.
Environmental design guidelines for low crested structures. Elsevier, 400 pp.
Hanson, H. and Kraus, N.C., 1991. Shoreline Response to a Single Transmissive
Detached Breakwater, Proc. 22nd Coastal Engineering Conf. ASCE. The
Hague.
Kularatne, S.R., Kamphuis, J.W., dan Dabees, M.A., 2008. Morphodynamics
around Low Crested BreakwatersTransmission of Wave Through
Breakwaters A Numerical Study. Proc. of the 7th Coastal and Port
Engineering Conference in Developing Countries.Dubai, UAE, pp. 1-19.
Oumeraci, H. dan Recio, J., 2010. Geotextile Sand Containers for Shore Protection,
Handbook of Coastal and Ocean Engineering, ed. Y.C.Kim (World Scientific
Publishing), Chapter 21, hal. 553-600.
Sulaiman, Dede M., 2012. Rehabilitasi Pantai Dengan PEGAR Geotube, Studi
Kasus Pantai Tanjung Kait, Tangerang, Banten, Jurnal Keairan Vol. 2. No.
2, Bandung.
Sulaiman, Dede M., Huda Bachtiar, and Ahmad Taufiq, 2015. Beach profile
changes due to low crested breakwaters at Sigandu Beach North Coast of
Central Java, Proceedings of 8th International Conference on Asian and
Pacific Coasts 2015, IIT Madras, India
8
118
ENERGI TERBARUKAN DARI PEGAR BERCELAH
Dede M. Sulaiman1 dan Radianta Triatmadja2
1
Balai Litbang Pantai, Pusat Litbang Sumber Daya Air
2
Departement Teknik Sipil, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
dedems@ymail.com; radiantatoo@yahoo.com
Intisari
Kecepatan arus yang relatif besar, yang timbul dari uji model fisik bangunan
pemecah gelombang ambang rendah (PEGAR) yang dipasang bercelah, berpotensi
menjadi tenaga listrik sebagai sumber energi terbarukan. Model PEGAR dibuat dari
material karung geotekstil yang diisi pasir dan dipasang secara berseri dengan celah
di antara kedua ujungnya. Pengujian dilakukan pada kolam dengan pembangkit
gelombang regular dan diinstrumentasi dengan wave probe dan ADV sebagai
pengukur gelombang dan kecepatan arusnya. Arus yang timbul dari pemodelan
tersebut identik dengan arus seret (rip current) yang terjadi di pantai berpasir,
berperan menyeret perenang ke arah lepas pantai. Kalkulasi sederhana dari lebar
celah PEGAR 20 m diperoleh kecepatan arus sebesar 3,1 m/s yang menghasilkan
daya listrik sebesar 28 kWatt. Jumlah daya sebesar itu setara dengan kebutuhan
listrik 25 rumah tangga kecil dan kebutuhan fasilitas penerangan umum.
Kata kunci: pegar bercelah, piling-up, arus seret, listrik, energi terbarukan.
LATAR BELAKANG
Dalam rentang waktu beberapa tahun terakhir ini, pemerintah sangat gencar dalam
menemukan dan mengembangkan energi terbarukan. Energi yang bisa dipanen
dan sangat mungkin dikembangkan adalah energi yang bersumber dari arus dan
gelombang laut. Energi inilah yang akan bertahan hingga ribuan tahun ke depan
sehingga menjadi andalan Negara Republik Indonesia di masa depan. Salah satu
energi yang tersedia secara gratis adalah arus yang kuat yang kadang menyeret
perenang ke arah lepas pantai, arus kuat ini dikenal sebagai arus seret (rip current).
Secara visual arus yang kencang ini menyerupai saluran air yang mengalir deras ke
arah laut lepas dengan kecepatan relatif tinggi.
Arus seret ini timbul karena adanya timbunan sedimen atau lidah pasir (sandbar)
dasar laut sejajar pantai yang bercelah (Gambar 1). Arus seret terbentuk apabila
gelombang yang merambat dari perairan dalam, mengalami pendangkalan dan
pecah di atas lidah pasir dan mengubah hidrodinamika di belakang lidah pasir.
Debit dari pecahan gelombang tadi mengisi ruang dan menumpuk di belakang
lidah pasir kemudian berbalik mengalir ke arah laut melalui celah di antara sandbar
tersebut. Lidah pasir yang dimaksud dapat terbentuk secara alami ataupun hasil
rekayasa manusia untuk penanggulangan erosi pantai. Karena itu, Arus yang terjadi
karena hidrodinamika di sekitar lidah pasir atau infrastruktur buatan manusia perlu
diteliti pemanfaatannya.
119
Gambar 1. Proses terjadinya arus seret di pantai (www.cityoforangebeach.com)
Kajian tentang arus seret ini merupakan byproduct dari penelitian model fisik di
laboratorium tentang dinamika arus dan gelombang di sekitar bangunan pemecah
gelombang ambang rendah (selanjutnya disebut PEGAR) yang awalnya diteliti
untuk penanggulangan erosi pantai. Namun dari hasil kajian model fisik tersebut,
terungkap gagasan baru yang sangat potensial dikembangkan lebih lanjut mengingat
hal ini mampu merespons himbauan pemerintah dalam pencarian sumber energi
yang gratis dan terbarukan. Melalui makalah ini dapat disampaikan bahwa sumber
energi terbarukan secara artificial telah mampu diciptakan melalui struktur ambang
rendah, tanpa harus melakukan survei pencarian lokasi arus di pantai yang sulit
ditentukan.
METODOLOGI STUDI
Penelitian Model Fisik
Penelitian dilakukan menggunakan model fisik 3 dimensi di Kolam Gelombang
Laboratorium Hidraulika Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan UGM. Struktur
PEGAR terbuat dari karung geotekstil berbentuk silinder lonjong yang diisi pasir
menyerupai bentuk bantal guling. Model fisik ini tidak memodelkan sebuah prototip
yang sudah ada, tetapi dapat diperkirakan merupakan model dengan perbandingan
1:10. Dengan demikian skala model cukup besar untuk dapat diobservasi dengan
kesalahan model yang relatif kecil. Selama pengujian, tinggi gelombang dan arus
diukur sebagai data dalam analisis selanjutnya.
120
belakang PEGAR dan dua buah lainnya ditempatkan di depannya. Sedangkan untuk
pengukuran kecepatan dan arah arus pada celah dan di sekitar PEGAR digunakan
alat ukur arus ADV-Sontek yang ditempatkan pada celah, di belakang, dan di depan
struktur, lihat Gambar 2 (Sulaiman, 2014b).
121
Gambar 3. Kontrol Volume dan Terjadinya Piling-up di belakang PEGAR
(Burcharth dkk., 2007)
Persamaan Piling-up
Persamaan dandan
Piling-up Kecepatan arusarus
Kecepatan
Kompleksitas
Kompleksitas yang terjadi
yang di belakang
terjadi di belakang PEGAR
PEGAR berdampak
berdampakterhadap banyaknya
terhadap banyaknya
variabel yang
variabel terlibat
yang dalam
terlibat proses
dalam fisikfisik
proses di sekitar struktur
di sekitar tenggelam
struktur tersebut.
tenggelam DariDari
tersebut.
sebelas variabel yang mempengaruhi piling-up, dilakukan penyederhanaan
sebelas variabel yang mempengaruhi piling-up, dilakukan penyederhanaan melalui melalui
analisis dimensi,
analisis sehingga
dimensi, diperoleh
sehingga persamaan
diperoleh persamaanpiling-up (Sulaiman,
piling-up 2014)
(Sulaiman, sebagai
2014) sebagai
berikut:
berikut:
𝑅𝑅 2
𝑃𝑃𝑢𝑢
𝐻𝐻𝑖𝑖
= 0.51𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸. (−1,09 ( 𝑐𝑐) − 1,26
𝐻𝐻𝑖𝑖
𝐿𝐿𝑐𝑐
𝐿𝐿𝑠𝑠
−
𝐻𝐻
8,5 𝑖𝑖 )
𝐿𝐿
...................................................................
............................................................ (1) (1)
Berdasarkan
Berdasarkanhasilhasil
kajian model
kajian fisikfisik
model terhadap PEGAR
terhadap PEGARbercelah Sulaiman
bercelah Sulaiman(2014)
(2014)
menyatakan
menyatakan bahwa
bahwa besarnya
besarnyapiling-up
piling-updi belakang struktur
di belakang berkurang
struktur berkurang secara
secara
eksponensial dengan bertambah lebarnya celah. Piling-up maksimum
eksponensial dengan bertambah lebarnya celah. Piling-up maksimum terjadi padaterjadi pada
kondisi PEGAR
kondisi PEGAR tanpa celah
tanpa dan dan
celah mencapai minimum
mencapai pada
minimum rasio
pada antara
rasio lebarlebar
antara celahcelah
terhadap tinggi
terhadap gelombang
tinggi gelombang datang yangyang
datang besar (Gambar
besar 4). 4).
(Gambar
0.7 0.7
Rc/Hi=0;0.03<Hi/L<0.09
Rc/Hi=0;0.03<Hi/L<0.09
0.6 Hi/L=0.03;Rc/Hi=0
0.6 Hi/L=0.03;Rc/Hi=0
Hi/L=0.05;Rc/Hi=0
0.5 Hi/L=0.05;Rc/Hi=0
Hi/L=0.09;Rc/Hi=0
0.5 Hi/L=0.09;Rc/Hi=0
0.4
Pu/Hi
0.4
Pu/Hi
0.3
0.3
0.2
0.1 0.2
0 0.1
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1
0 Lc/Ls
Gambar 4. Hubungan
0 antara0.2lebar celah
0.4 dengan piling-up
0.6 (Sulaiman,
0.8 2014b)
1
Lc/Ls
Demikian Gambarpula4.dinyatakan
Hubungan bahwa antara lebar celah dengan
kecepatan arus pada celah (Sulaiman,
piling-up antara dua2014b) buah
PEGAR dipengaruhi oleh variabel yang mempengaruhi piling-up, sehingga
Demikian pula dinyatakan bahwa kecepatan arus pada celah antara dua buah
persamaan kecepatan arus di celah bergantung juga pada besarnya piling-up yang
PEGAR dipengaruhi oleh variabel yang mempengaruhi piling-up, sehingga
timbul. Dengan memasukkan data dari uji model fisik, maka persamaan kecepatan
persamaan kecepatan arus di celah bergantung juga pada besarnya piling-up yang
arus pada celah PEGAR dapat ditulis sebagai berikut:
timbul. Dengan memasukkan data dari uji model fisik, maka persamaan kecepatan
𝑅𝑅 2
arus
𝑢𝑢
pada𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸.
= 0.025 celah PEGAR
(−0.06
𝑃𝑃𝑢𝑢
dapat
− 2.08 (𝐻𝐻𝑐𝑐) ditulis
− 1.39 𝐿𝐿sebagai
𝐿𝐿𝑐𝑐
+ 16.71 berikut:
𝐻𝐻𝑖𝑖
).................................................. (2)
𝑔𝑔𝑔𝑔 𝐻𝐻𝑖𝑖 𝑖𝑖 𝑠𝑠 𝐿𝐿
.......................................... (2)
Pengaruh
Pengaruh Lebar
Lebar Celah
Celah Terhadap
Terhadap Kecepatan
Kecepatan ArusArus 4
Lebar
Lebar celah
celah merupakanfaktor
merupakan faktorpenting
penting yang
yang berpengaruh
berpengaruhterhadap
terhadapkecepatan
kecepatanaliran
balik
aliran pada
balik celah.
pada Pada
celah. PEGAR
Pada PEGAR yangyang
terbuat dari dari
terbuat karung geotekstil,
karung arus balik
geotekstil, arus ke
arah
balik laut terjadi
ke arah melalui
laut terjadi celah celah
melalui dan lewat
dan lewatdi atas puncak
di atas PEGAR.
puncak PEGAR. Dari grafik
Dari
grafik hubungan antara kecepatan arus dengan lebar celah seperti ditunjukkanpada
hubungan antara kecepatan arus dengan lebar celah seperti ditunjukkan
padaGambar
Gambar5,5, kecepatan arus balik
kecepatan arus balikberkurang
berkurangdengan
dengan bertambah
bertambah lebarnya
lebarnya celah.
celah.
Distribusi kecepatan arus di sekitar struktur PEGAR dapat diketahui dari 23 titik titik
Distribusi kecepatan arus di sekitar struktur PEGAR dapat diketahui dari 23
pengukuran
pengukuran arusarus
yangyang tersebar
tersebar di depan,
di depan, di belakang,
di belakang, dan dan
padapada celah
celah PEGAR.
PEGAR.
Hasil plot kecepatan arus terhadap posisi titik ukurnya untuk tinggi jagaan Rc=0.
Hasil plot kecepatan arus terhadap posisi titik ukurnya untuk tinggi jagaan Rc=0.
Pada celah yang lebih lebar, arus menyusur pantai di belakang PEGAR relatif lebih
Pada celah yang lebih lebar, arus menyusur pantai di belakang PEGAR relatif
tenang dengan kecepatan sekitar 5 cm/det sampai 15 cm/det. Kecepatan arus balik
mulai bertambah besar pada saat melewati celah yang mengarah ke lepas pantai.
Kecepatan arus pada celah dengan Lc= 50 berkisar antara 20 cm/det sampai 70
122cm/det (Gambar 6).
0.05
Rc/d =-0.3
Rc/d =0
lebih tenang dengan kecepatan sekitar 5 cm/det sampai 15 cm/det. Kecepatan
arus balik mulai bertambah besar pada saat melewati celah yang mengarah ke
lepas pantai. Kecepatan arus pada celah dengan Lc= 50 berkisar antara 20 cm/det
sampai 70 cm/det, seperti pada Gambar 6. (Sulaiman, 2014b).
0.05
Rc/d =-0.3
Rc/d =0
0.04 Rc/d = 0.5
Hi/L = 0.001, Rc/Hi = -0.7
Hi/L = 0.05, Rc/Hi = 0
0.03 Hi/L = 0.1, Rc/Hi = 0.6
u/gT
0.02
0.01
0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1
Lc/Ls
Gambar 5. Pengaruh lebar celah terhadap kecepatan arus
123
kuat.
PEGAR berperan penting dalam menimbulkan piling-up yang disebabkan oleh
overtopping gelombang. Kenaikan muka air rata-rata di belakang PEGAR ini
berperan sebagai pengendali arus dan pembangkit arus balik yang kuat melalui
celah. Arus seret yang mengalir lewat celah antara kedua ujung PEGAR inilah yang
dapat dikonversikan menjadi energi listrik yang bermanfaat sebagai sumber energi
terbarukan.
Estimasi DayaDaya
Estimasi Listrik
Listrik
Energi yg dipindahkan
Energi dari satu
yg dipindahkan darisisisatu
ke sisi
sisilain
kemelalui celah
sisi lain PEGAR
melalui dapat
celah dihitungdapat
PEGAR
dengan rumusdengan
dihitung sebagairumus
berikut :
sebagai berikut :
P=ρ××gg××QQ××HH...........................................................................................
P= (3) (3)
................................................................................................
dengan P adalah daya total kotor; ρ adalah rapat massa air; Q adalah debit; H
dengan P adalah daya total kotor; adalah rapat massa air; Q adalah debit; H adalah
adalah selisih tinggi muka air; dan g adalah percepatan gravitasi bumi. Dengan
selisih tinggi muka air; dan g adalah percepatan gravitasi bumi. Dengan
mengasumsikan lebar celah antar PEGAR adalah 20 m, berdasarkan Gambar 4
mengasumsikan lebar celah antar PEGAR adalah 20 m, berdasarkan Gambar 4
misalnya diambil
misalnya untuk
diambil untukLc/LsLc/Ls= 0,2 maka
= 0,2 akanakan
maka diperoleh
diperolehPu/Hi = 0,16.
Pu/Hi Jadi apabila
= 0,16. Jadi apabila
dimisalkan
dimisalkantinggi
tinggigelombang
gelombang 1m 1 saja
m saja akan akandiperoleh
diperoleh pilling up sebesar
pilling up sebesar 0,160,16m. m.
Jika Jika
kedalaman
kedalaman air 1.5 m serta terjadi aliran steady dengan koefisien kekasaran= C =
air 1.5 m serta terjadi aliran steady dengan koefisien kekasaran C
40; radius hidraulik
40; radius hidraulikR =R1,5; dan dan
= 1,5; slope i = 0.16/40
slope i = 0.16/40 = 0.004 ( jarak
= 0.004 efektif
( jarak antarantar
efektif bedabeda
tinggi diperkirakan
tinggi diperkirakan 40 m).
40 m). Maka Makakecepatan
kecepatan padapada celahcelah
dapatdapatdiperkirakan
diperkirakan dengan dengan
persamaan Chezy (4).
persamaan Chezy (4).
..................................................................................................... (4) (4)
𝑈𝑈 = 𝐶𝐶√ 𝑅𝑅𝑅𝑅 .............................................................................................................
Diperoleh U = 3,1 m/s. Kecepatan U sebesar 3,1 m/s tersebut masih realistis
DiperolehujiUmodel,
berdasarkan = 3,1misalnya
m/s. Kecepatan
untuk Lc/Ls U =0,2
sebesar 3,1 hasil
dengan m/s U/gT
tersebut
=0,2masih realistis
( sedikit
berdasarkan uji model, misalnya untuk Lc/Ls =0,2 dengan hasil U/gT =0,2 ( sedikit
lebih besar dari eksperiment salah satunya karena perbedaan nilai R). Selanjutnya
lebih besar dari eksperiment salah satunya karena perbedaan nilai R). Selanjutnya
diperoleh daya P = 1.03 × 9.81× (20 × 1,5 × 3,1 ) × 0,16 = 146 kN m/s atau 146
diperoleh daya P = 1.03 × 9.81× (20 × 1,5 × 3,1 ) × 0,16 = 146 kN m/s atau 146
kWatt. Apabila
kWatt. efisiensi
Apabila system
efisiensi pembangkit
system pembangkitadalah 20%20%
adalah (pada(pada
tingkat yangyang
tingkat wajar),
wajar),
makamakadiperoleh 29 kWatt.
diperoleh Ada kemungkinan
29 kWatt. Ada kemungkinan efisiensi sedikit
efisiensi di bawah
sedikit di bawahangka angka
tersebut jika peralatan pembangkit tidak mendukung. Sepintas
tersebut jika peralatan pembangkit tidak mendukung. Sepintas angka ini tidak angka ini tidak
menarik, tetapi
menarik, akanakan
tetapi lain maknanya jika jika
lain maknanya ditinjau daridari
ditinjau sudutsudut
pandang bahwa
pandang arus arus
bahwa ini ini
adalah byproduct,
adalah gratisgratis
byproduct, dan keberadaannya
dan keberadaannyadi pulau kecil kecil
di pulau yg terpencil. Manfaatnya
yg terpencil. Manfaatnya
menjadi besar sekali, yaitu 29 kWatt, minimal mampu menerangi
menjadi besar sekali, yaitu 29 kWatt, minimal mampu menerangi 25 rumah 25 rumah tanggatangga
kecilkecil
sederhana dan fasilitas penerangan umum.
sederhana dan fasilitas penerangan umum.
Selain itu jika
Selain itu jumlah celahcelah
jika jumlah yangyang
dibangun adalah
dibangun 10 untuk
adalah panjang
10 untuk PEGAR
panjang PEGARsekitar
sekitar
10001000
m misalnya,
m misalnya,makamakaakanakan
dihasilkan sebesar
dihasilkan 290 290
sebesar kWattkWatt
yg mampu
yg mampumenerangi
menerangi
250 250
sampai 300 keluarga
sampai 300 keluargasederhana ditambah
sederhana fasilitas
ditambah penerangan
fasilitas peneranganumumumum secara
secara
gratis. Saat siang hari, listrik tetap diperoleh dan dapat digunakan untuk industri
kecil seperti pengolahan ikan, rumput laut, dan lain lain yang mendukung sektor riil
6
di daerah terpencil. Dengan adanya listrik di daerah terpencil diharapkan pemakaian
kayu bakar juga berkurang sehingga mendukung pemanfaatan sumberdaya air di
lingkungan pulau tersebut.
124
hingga Maluku dan Papua. Di daerah Laut Jawa dan lautan penghubung pulau pulau
Indonesia sebagian memenuhi sebagian lain tidak memenuhi syarat jika gelombang
terlalu kecil (di bawah 1 m). Sebagai contoh diberikan kondisi gelombang hasil
prediksi Buoyweather untuk area di sebelah timur-utara Pulau Morotai (2.47°N /
128.99°E) yang ditunjukkan oleh Gambar 7.
(a) (b)
125
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis berterima kasih kepada perorangan dan instansi atas data, informasi, dan
bahan-bahan sehingga tulisan ini bisa tersusun. Terima kasih juga disampaikan
kepada Kepala Pusat Litbang Sumber Daya Air, Kepala Balai Pantai-PUSAIR,
Kepala Laboratorium Hidraulika-Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan UGM, atas
kesempatan yang diberikan sehingga kajian ini dapat terlaksana dengan baik.
REFERENSI
Buccino, M. dan Calabrese, M., 2007. Conceptual Approach for Prediction of Wave
Transmission at Low Crested Breakwaters. Journal of Waterways, Port,
Coastal, and Ocean Engineering. ASCE, 133(3), May, pp 213-224.
Buoyweather (2016), 7-Day Marine Weather Forecast, 2.47°N / 128.99°E, diakses
14 September 2016.
Burcharth, H.F., Hawkins, S.J., Zanuttigh, B. and Lamberti, A., 2007. Environmen-
tal design guidelines for low crested structures. Elsevier, halaman 400 .
Dede M. Sulaiman, Radianta Triatmadja, dan R. Wahyudi Triweko, 2014a. Erosi
dan Akresi Pantai di Belakang PEGAR bercelah, disajikan pada Pertemuan
Ilmiah Tahunan HATHI ke XXXI, 22 - 24 Agustus 2014, Padang.
Fredsoe, J., Deigaard, R., 1992. Mechanics of coastal sediment transport, World
Scientific Publishing Co. Pte. Ltd., halaman 152.
Haller, M. C., R. A. Dalrymple, I. A. Svendsen, 1997. Rip channels and nearshore
circulation, Proc. Coastal Dynamics, 594-603.
http://www.ceoe.udel.edu/ripcurrents/ characteristics/index.html [diakses pada
tanggal 23 Agustus 2016].
http://www.cityoforangebeach.com/ripcurrents/ [diakses 26 Juli 2016 jam 8.35]
Lamberti , A., Martinelli, L. and Zanuttigh, B., 2007. Piling up and rip currents
induced by low crested structures in laboratory and prototype, Coastal Struc-
tures 2007, Venice, Italy.
Lascody, L. L. 1998. East central Florida rip current program, Natl. Wea. Dig., Vol.
22, No. 2
MacMahan, J., Thieke, R. J., Dean, R. G., Hanes, D.M., and R.A. Holman. 2001.
Analysis of rip channel stability. Journal of Marine Geology (manuscript in
preparation).
May, C., R. Ruston, S. Sirovica, T. Smith, 2011. Energi from rip currents, Journal
of Physics Special Topics, Department of Physics and Astronomy, University
of Leicester, Leicester, LE1 7RH.
Sulaiman, Dede M., 2014b. Kajian Piling-up dan Pola Arus di Belakang Pemecah
Gelombang Ambang Rendah Bercelah; Desertasi, Universitas Katolik Para-
hyangan, Bandung.
126
ANALISIS PEMOMPAAN AIR TANAH DENGAN
METODE COOPER-JACOB DAN METODE SUNJOTO
Runtu Kexia G.A.1 , Sunjoto S.2 *, Hendrayana H.3
1 MagisterTeknik Sistem, Universitas Gadjah Mada
2 Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada
3 Departemen Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada
*sunysunyoto@gmail.com; sunysunyoto@ugm.ac.id
Intisari
Penelitian ini dilakukan akibat terjadinya keresahan masyarakat akibat makin
maraknya tumbuhnya bangunan tinggi seperti hotel dan apartemen di Yogyakarta
dan sekitarnya yang dianggap sebagai penyebab keringnya sumur (dugwell) milik
penduduk disekitar. Untuk mengetahui hal tersebut maka dilakukan analisis suatu
data pumping-test atau test pemompaan pada sumur X dan sumur Y yang mana data
tersebut dihitung oleh konsultan menggunakan Metode Cooper-Jacob (1946) dan
dalam penelitian ini dilaksanakan dengan cara memanfaatkan data yang sama
dihitung dengan menggunakan formula untuk menghitung drawdown (Sunjoto,
2014) yang dikembangkan dari Sunjoto (1988) yang selanjutnya disebut dengan
‘Metode Sunjoto’. Hasil dari perhitungan untuk sumur X menggunakan Metode
Cooper-Jacob harga koefisien permeabilitasnya adalah KX(C-J)=2,837×10-5 m/s dan
menurut Metode Sunjoto adalah KX(Sun)=3,15x10-5 m/s hingga deviasinya sebesar
Δx=10 %. Sedangkan untuk sumur Y menggunakan Metode Cooper-Jacob harga
koefisien permeabilitasnya adalah KY(C-J)=3,55x10-5 m/s dan menurut Metode
Sunjoto adalah KY(Sun)=3,50x10-5 m/s hingga deviasinya adalah sebesar Δy=1%.
Harga Radius of influence dihitung menggunakan Sichard yang berdasar koefisien
permeabilitas Jaacob-Coper menghasilkan angka untuk sumur X sebesar Rx=90 m
dan untuk sumur Y sebesar Ry=41 m.
Kata Kunci: Pumping, drawdown, koefisien permeabilitas, Metode Cooper-Jacob,
Metode Sunjoto.
LATAR BELAKANG
Dari tahun ke tahun pertumbuhan bangunan bertingkat di kota Yogyakarta dan
sekitarnya semakin meningkat. Seiring dengan maraknya pembangunan dan
pertumbuhan hotel, mall dan apartemen, selain memberikan dampak positif bagi
perekonomian juga membawa dampak negative. Masyarakat beberapa tahun
terakhir mulai melakukan penolakan terhadap pembangunan hotel dan apatemen
dikarenakan air tanah dari sumur-sumur warga mulai mengalami kekeringan dan
berpendapat bahwa hal tersebut terjadi karena air tanah mengalami penurunan
akibat pengambilan air tanah pada sumur-dalam dari bangunan tersebut. Fenomena
yang terjadi pada saat penurunan muka air tanah (drawdown) adalah terbentuknya
cone of depression dan menyebabkan radius of influence semakin besar.
Penelitian yang merupakan studi kasus ini menganalisis suatu uji pompa 2 buah
sumur dari hotel X dan Y yang dilaksanakan oleh suatu konsultan dalam rangka
1
127
pemenuhan permohonan idzin pembuatan sumur dalam. Uji pompa dilaksanakan
dengan radius of casing pada bagian atas sebesar 6 inches dan 4 inches pada bagian
bawah dengan kedalaman sumur X adalah 150 m dan sumur Y sebesar 80 m. Lokasi
sumur memiliki kondisi morfologi sebagaimana daerah Yogyakarta yang
merupakan bagian Formasi Merapi, terdiri dari lahar berupa breksi, pasir, pasir
lempungan, lempung pasiran dan lempung dengan kemiringan secara umum
mengarah ke selatan. Pumping test dilaksanakan masing-masing selama 6 jam
dengan debit Qx=481,9293 m3 /hari dan Qy=184,9824 m3 /hari dan konsultan
menghitung dengan menggunakan metode Cooper-Jacob (1946) untuk menentukan
harga transmisivitas tanah. Dalam penelitian ini dilaksanakan dengan cara
memanfaatkan data yang sama yaitu drawdown fungsi waktu selama pemompaan
yang hasil ujinya ditampilkan dalam Tabel 1. & 2., dan koefisien permeabilitas
tanah dihitung dengan menggunakan formula Sunjoto (2014) yang selanjutnya
disebut ‘Metode Sunjoto’ dengan shape factor yang sesuai kondisi lapangan
dihitung dengan formula Sunjoto (2002; 2016).
Tabel 1. Hail uji pemompaan pada sumur X yaitu drawdown fungsi waktu.
t s t s t s t s t s
(min) (m) (min) (m) (min) (m) (min) (m) (min) (m)
0 0 8 4.27 25 5.12 70 5.47 165 5.57
1 1.23 9 4.40 30 5.20 80 5.50 180 5.58
2 2.62 10 4.48 35 5.25 90 5.51 200 5.59
3 3.20 12 4.64 40 5.29 100 5.53 220 5.59
4 3.49 14 4.76 45 5.32 110 5.54 240 5.60
5 3.71 16 4.85 50 5.34 120 5.54 270 5.60
6 3.90 18 4.94 55 5.36 135 5.56 300 5.60
7 4.10 20 4.99 60 5.38 150 5.57 360 5.60
Tabel 2. Hasil uji pemompaan pada sumur Y yaitu drawdown fungsi waktu.
t s t s t s t s t s
(min) (m) (min) (m) (min) (m) (min) (m) (min) (m)
0 0 8 1.95 25 2.17 70 2.25 165 2.27
1 1.20 9 1.98 30 2.18 80 2.25 180 2.27
2 1.54 10 2.00 35 2.20 90 2.26 200 2.28
3 1.69 12 2.04 40 2.22 100 2.26 220 2.29
4 1.76 14 2.07 45 2.23 110 2.26 240 2.29
5 1.82 16 2.09 50 2.24 120 2.26 270 2.29
6 1.88 18 2.11 55 2.24 135 2.27 300 2.29
7 1.92 20 1.21 60 2.24 150 2.27 360 2.29
2
128
¥ −𝑢𝑢
𝑄𝑄 𝑒𝑒 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑄𝑄
𝑠𝑠 = ∫ − 𝑊𝑊 (𝑢𝑢) (1)
4𝜋𝜋𝜋𝜋 𝑢𝑢 𝑢𝑢 4𝜋𝜋𝜋𝜋
𝑢𝑢2 𝑢𝑢3 𝑢𝑢4
𝑊𝑊 (𝑢𝑢) = −0.5772 − 𝑙𝑙𝑙𝑙 𝑢𝑢 + 𝑢𝑢 − + − ∗… (2)
2.2! . 3! 4.4!
Harga W(u) sulit untuk diselesaikan secara komputasi maka dibantu dengan
menggunakan tabel, maka Cooper-Jacob (1946) kemudian dengan lebih
menyederhanakan formula di atas menjadi:
2,3 × 𝑄𝑄
𝑇𝑇 = (3)
4 × 𝜋𝜋 × ∆𝑠𝑠
𝑇𝑇
𝐾𝐾 = (4)
𝐷𝐷
dengan:
T : transmisivitas (m2 /s)
Q : debit (m3 /s)
Δs : difference drawdown per cycle log of time (m)
K : koefisien permeabilitas (m/s)
D : tebal akuifer (m )
s : drawdown (m)
Untuk itu hasil pumping test seperti dalam Tabel 1. & 2., digambarkan dalam kertas
semilog menjadi Gambar 1 & 2., untuk mendapatkan parameter difference
drawdown per cycle log of time (Δs) sbb:
3
129
Dari kurva Gambar 1 & 2. ditarik garis singgung pada garis lengkung yang
mewakili sudut dari seluruh garis lengkung hubungan waktu dengan drawdown dan
untuk mendapatkan harga Δs, ditarik garis vertikal pada garis horizontal pada jarak
difference drawdown per cycle log of time.
Sunjoto (1988) membangun formula untuk menghitung dimensi recharge system
yang merupakan persamaan unsteady state flow condition yaitu menghitung built
up pada saat recharging. Pada pumping dengan parameter yang sama dengan
recharging disimpulkan bahwa harga built up akan sama dengan harga drawdown
hanya dengan arah berlawanan dan persamaan ini menjadi Sunjoto (2014) sbb:
𝑄𝑄 −𝐹𝐹𝐹𝐹𝐹𝐹
𝑠𝑠 = {1 − exp } (5)
𝐹𝐹𝐹𝐹 𝜋𝜋𝑟𝑟2
dengan:
K : koefisien permeabilitas (m/s)
Q : debit (m3 /s)
F : shape factor (m)
s : drawdown (m)
t : durasi/time (s)
r : radius of casing (m)
Harga shape factor adalah nilai yang mewakili kondisi hubungan ujung casing dan
perlapisan tanah fungsi ketebalan aquifer (D), panjang porous casing (L), radius of
casing (r) maka harga (F) untuk berbagai keadaan adalah:
1. Pemompaan pada confined aquifer dan full penetration well atau sumur hujam
penuh dapat dihitung dengan formula (Sunjoto, 2016):
2𝜋𝜋𝜋𝜋
𝐹𝐹 = (6)
𝐷𝐷 + 2𝑟𝑟 √ 𝐷𝐷 2
ln { 𝑟𝑟 + ( 𝑟𝑟 ) + 1}
2. Pemompaan pada confined aquifer dan partial penetration well atau sumur
hujam sebagian dapat dihitung dengan formula (Sunjoto, 2002):
2p 𝐿𝐿 + 2p 𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟2
𝐹𝐹 = (7)
𝐿𝐿 + 2𝑟𝑟 √ 𝐿𝐿 2
𝑙𝑙𝑙𝑙 { + ( ) + 1}
𝑟𝑟 𝑟𝑟
3. Pemompaan pada unconfined aquifer an full penetration well atau sumur hujam
penuh dapat dihitung dengan formula (Sunjoto, 2002):
2p 𝐿𝐿
𝐹𝐹 = 2
(8)
𝐿𝐿 + 2𝑟𝑟 √ 𝐿𝐿
𝑙𝑙𝑙𝑙 { + ( ) + 1}
2𝑟𝑟 2𝑟𝑟
4. Pemompaan pada unconfined aquifer dan partial penetration well atau sumur
hujam sebagian dapat dihitung dengan formula (Sunjoto, 2002):
4
130
2p 𝐿𝐿 + 2p 𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟2
𝐹𝐹 = (9)
𝐿𝐿 + 2𝑟𝑟 √ 𝐿𝐿 2
𝑙𝑙𝑙𝑙 { + ( ) + 1}
2𝑟𝑟 2𝑟𝑟
5. Pemompaan pada unconfined aquifer dan seluruh dinding casing kedap air dapat
dihitung dengan formula (Sunjoto, 2016):
𝐹𝐹 = 2p 𝑟𝑟 (10)
dengan:
F : shape factor (m)
D : ketebalan aquifer (m)
L : panjang casing yang porus (m)
r : radius of casing (m)
Dari koefisien permeabilitas yang didapat dihitung radius of influence dengan
menggunakan formula Sichard sbb:
𝑅𝑅𝑖𝑖 = 3000𝑠𝑠√𝐾𝐾 (11)
dengan:
Ri : radius of influence (m)
s : drawdown (m)
K : koefisien permeabilitas (m/s)
METODOLOGI STUDI
Dalam penelitian ini akan ditampilkan hasil perhitungan dari konsultan yang
menggunakan Metode Cooper-Jacob (1946) yaitu yang pertama adalah menghitung
harga Δs dengan cara dari hasil plotting pada kertas semilog ditetapkan garis
singgung yang mewakili, kemudian dibuat garis sejajar dan dengan jarak per cycle
log of time ditarik garis vertical sebagai harga Δs, kemudian dengan data yang sama
dihitung menggunakan Metode Sunjoto.
1. Sumur X
a. Metode Cooper-Jacob (1946)
Dalam hal sumur X ini harga Δs ditetapkan dari Gambar 1., dengan mengambil
jarak per cycle log of time pada t= 8 mnt dan t= 80 mnt didapat harga Δs= 1,20
m, debit pemompaan Q= 5,578 l/s = 481,9293 m3 /hari ketebalan aquifer D= 30
m kemudian dihitung dengan formula (3) & (4) maka:
2,3 × 481,9392 𝑚𝑚3 /ℎ𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎
𝑇𝑇 = = 73,54433 𝑚𝑚2 /ℎ𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎
4 × 𝜋𝜋 × 1,2 𝑚𝑚
73,54433 𝑚𝑚2 /ℎ𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎
𝐾𝐾 = = 2,45148 𝑚𝑚/ℎ𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 = 2,84 × 10−5 m/s.
30 𝑚𝑚
b. Metode Sunjoto
Metode ini dilaksanakan dengan menghitung masing-masing pasangan waktu
(t) dan (s) dan mulai dari t= 1 mnt sampai ke t= 360 mnt dengan menggunakan
5
131
formula (6) & (5) secara iterasi dan hasilnya dipresentasikan dalam Tabel 3.
dibawah ini.
Tabel 3. Koefisien permeabilitas dihitung dengan formula (5) untuk sumur X.
t s K t s K t s K
(min) (m) (m/s) (min) (m) (m/s) (min) (m) (m/s)
0 0 18 4.94 3.46741*10-5 110 5.54 3.09201*10 -5
1 1.23 13.5495*10-5 20 4.99 3.43278*10-5 120 5.54 3.09198*10 -5
2 2.62 7.43731*10-5 25 5.12 3.34555*10-5 135 5.56 3.08087*10 -5
3 3.20 5.27549*10-5 30 5.20 3.29387*10 -5 150 5.57 3.07534*10 -5
4 3.49 4.88142*10-5 35 5.25 3.26268*10-5 165 5.57 3.07526*10 -5
5 3.71 4.60693*10-5 40 5.29 3.23806*10-5 180 5.58 3.06983*10 -5
6 3.90 4.38814*10-5 45 5.32 3.21971*10-5 200 5.59 3.06426*10 -5
7 4.10 4.17617*10-5 50 5.34 3.20774*10-5 220 5.59 3.06435*10 -5
8 4.27 4.01601*10-5 55 5.36 3.19562*10-5 240 5.60 3.05881*10 -5
9 4.40 3.89253*10-5 60 5.38 3.18389*10 -5 270 5.60 3.05888*10 -5
10 4.48 3.69151*10-5 70 5.47 3.83203*10 -5 300 5.60 3.05888*10 -5
12 4.64 3.69852*10-5 80 5.50 3.11407*10 -5 360 5.60 3.05888*10 -5
14 4.76 3.59862*10-5 90 5.51 3.10849*10 -5 - - -
16 4.85 3.53173*10-5 100 5.53 3.09733*10 -5 - - -
Harga K dalam Tabel 3. dihitung dari data pumping test dan dalam contoh ini
diambil pada t = 30 mnt dan s = 5,20 m dan harga shape factor fungsi radius of
casing bawah rb = 4 inches = 0,1016 m dengan formula (6) maka:
2 × 𝜋𝜋 × 30
𝐹𝐹 == = 32,5639 𝑚𝑚
2
30 + (2 × 0,1016) 30
ln { + √(0,1016) + 1}
0,1016
Hasil keseluruhan yang didapat dengan variasi yang sangat besar yaitu
K=13,54950x10-5 m/s pada menit ke 1 dan K=3,05888x10-5 m/s pada jam ke 4
sampai jam ke 6 sebagai akhir pengujian.
2. Sumur Y
a. Metode Cooper-Jacob (1946)
Dalam hal sumur Y ini harga Δs ditetapkan dari Gambar 2., dengan mengambil
jarak per cycle log of time pada t= 4 mnt dan t= 40 mnt didapat harga Δs= 0,46
m, debit pemompaan Q= 2,141 l/s = 184,9824 m3 /hari ketebalan aquifer D= 24
m dihitung dengan formula (3) & (4) maka:
2,3 × 184,9824 𝑚𝑚3 /ℎ𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎
𝑇𝑇 == = 73,63949 𝑚𝑚2 /ℎ𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎
4 × 3,14 × 0,46 𝑚𝑚
6
132
73,63949 𝑚𝑚2 /ℎ𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎
𝐾𝐾 = = 3,0683122 𝑚𝑚/ℎ𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 = 3,55 × 10−5 𝑚𝑚/𝑠𝑠
24 𝑚𝑚
b. Metode Sunjoto
Metode ini dilaksanakan dengan menghitung masing-masing pasangan waktu
(t) dan drawdown dan dengan menggunakan formula (6) & (5) secara iterasi
dengan harga shape factor fungsi radius of casing bawah rb = 4 inches = 0,1016
m serta harga koefisien permeabilitas fungsi radius of casing atas ra = 6 inches
= 0,1524 m kemudian diselesaikan dengan cara yang sama pada sumur X dan
hasilnya dipresentasikan dalam Tabel 4.
Tabel 4. Koefisien permeabilitas dihitung dengan formula (5) untuk sumur Y.
t s K t s K t s K
(min) (m) (m/s) (min) (m) (m/s) (min) (m) (m/s)
0 0 0 18 2.11 3.74583*10-5 110 2.26 3.49729*10 -5
1 1.20 36.8859*10-5 20 1.21 3.72825*10-5 120 2.26 3.49710*10 -5
2 1.54 4.41273*10-5 25 2.17 3.64209*10-5 135 2.27 3.48186*10 -5
3 1.69 4.43482*10-5 30 2.18 3.62562*10 -5 150 2.27 3.48186*10 -5
4 1.76 4.40133*10-5 35 2.20 3.59260*10-5 165 2.27 3.48186*10 -5
5 1.82 4.30490*10-5 40 2.22 3.55955*10-5 180 2.27 3.48186*10 -5
6 1.88 4.18855*10-5 45 2.23 3.54435*10-5 200 2.28 3.46658*10 -5
7 1.92 4.10980*10-5 50 2.24 3.52841*10-5 220 2.29 3.45243*10 -5
8 1.95 4.04894*10-5 55 2.24 3.52805*10-5 240 2.29 3.45219*10 -5
9 1.98 3.99041*10-5 60 2.24 3.52699*10 -5 270 2.29 3.45143*10 -5
10 2.00 3.95073*10-5 70 2.25 3.51262*10 -5 300 2.29 3.45143*10 -5
12 2.04 3.87421*10-5 80 2.25 3.51187*10 -5 360 2.29 3.45119*10 -5
14 2.07 3.81827*10-5 90 2.26 3.49702*10 -5 - - -
16 2.09 3.78119*10-5 100 2.26 3.49620*10 -5 - - -
Harga K dalam Tabel 4. dihitung dari data pumping test dan dalam contoh ini
diambil pada t = 30 mnt dan s = 2,18 m dan harga shape factor fungsi radius of
casing bawah rb = 4 inches = 0,1016 m menggunakan formula (6) maka:
2 × 𝜋𝜋 × 24
𝐹𝐹 = = 27,0878 m
2
24 + (2 × 0,1016) 24
ln { 0,1016 + √( ) + 1}
0,1016
Harga koefisien permeabilitas fungsi radius of casing atas ra =6 inches = 0,1524
m menggunakan formula (5) sbb:
0,002141 27,0878 × 𝐾𝐾 × 1800
𝐾𝐾 = {1 − exp }
27,0878 × 2,18 𝜋𝜋 × 0,15242
𝐾𝐾 = 3,62562 × 10−5 𝑚𝑚/𝑠𝑠
Hasil yang didapat dari seluruh data terhitung menunjukkan variasi hasil yang
sangat besar yaitu K = 36,88590x10-5 m/s pada menit ke 1 dan K= 3,45119x10-
5 m/s pada jam ke 4 hingga jam ke 6 sebagai pengukuran terakhir.
7
133
3. Radius of influence
a. Sumur X
Berdasar data harga koefisien permeabilitas K= 3,83876×10-5 m/s dan
drawdown s = 5,6 m, dengan formula (11), harga Radius of influence adalah:
Gambar 3. Hubungan koefisien permeabilitas fungsi waktu dari data pumping test
dihitung dengan Metode Sunjoto untuk sumur X.
8
134
Dari hasil komputasi menggunakan kedua metode di atas didapat harga
koefisien permeabilitas menurut Metode Cooper-Jacob adalah KX(C-J)=
2,837×10-5 m/s dan menurut Metode Sunjoto adalah KX(Sun)= 3,15x10-5 m/s
hingga deviasinya adalah sebesar Δx= 10 %.
2. Sumur Y
Dari Gambar 4. seperti di bawah ini nampak adanya pseudo-permeability
sampai jam ke 1 maka harga koefisien permeabilitas dihitung rerata mulai jam
ke 1 hingga jam ke 6 sbb:
Gambar 4. Hubungan koefisien permeabilitas fungsi waktu dari data pumping test
dihitung dengan Metode Sunjoto untuk sumur Y.
9
135
Rekomendasi
Metode Sunjoto perlu diuji dengan lebih banyak data pumping test berdampingan
metode lainnya seperti Theis (1935), Chow (1952) Todd (1980), Papadupulos-
Cooper (1987), Singh (2000) untuk mendapatkan tingkat keyakinan saintifik.
REFERENSI
Chow, V.T. 1952. On the determination of transmissibility and storage coefficients
from pumping test data, Trans. Amer. Geophysical Union, v.33, pp. 397-404.
Cooper H. H. Jr. and Jacob C.E., 1946. A generalized graphical method for
evaluating formations constants and summarizing well-field history, Trans.
Amer. Geophysical Union, v.27, pp. 526-534.
Glover R.E., 1966. Groundwater movement, U.S. Bureau of Reclamation
Engineering Monograph no 31, Denver,76.
Papadopulos-Copper, 1967. In Kruseman G.P., De Ridder N.A. (1970), Analysis
and Evaluation of Pumping Test Data, International Institute for Land
Reclamation and Improvement, pp 156-158, Wageningen The Netherlands.
Singh S.K., 2000. Simple method for confined aquifer parameter estimation, J.Irrig.
Drain. Eng. 126(6) 404-407, in Singh S.K. (2004). Drawdown due to
Intermitent-Pumping Cycles, Journal of Hydraulic Engineering © June 2004
130(6) 568-575.
Sunjoto S., 1988. Optimasi Sumur Resapan Sebagai Salah Satu Pencegahan Intrusi
Air Laut, Prosiding. Seminar PAU-IT-UGM, Yogyakarta.
Sunjoto S., 2002. Recharge Wells as Drainage System to Increase Groundwater
Storage, Proceedings on the 13rd IAHR-APD Congress, Advance in Hydraulics
Water Engineering, Singapore, 6-8 August 2002 Vol.I, pp. 511-514, 2002.
Sunjoto, S., 2014. Drawdown Minimizing to Restrain Sea Water Intrusion in Urban
Coastal Area, 8th South East Consortium Technical University Cooperation
(SEATUC) Symposium, Ibnu Sina Institute for Fundamental Science Studies,
UTM, Johor Bahru, 3-5 Mach 2014.
Sunjoto, S., 2016. Influence of Shape Factor to the Hydraulic Pumping Power,
20th Congress of the IAHR APD 2016, Colombo Sri Lanka 28 August-31
September 2016.
Sunjoto, S., 2016. The Inventions Technology in Water resources to Support
Infrastructure of Environmental Engineering, (Keynote Speaker), 5th
International Conference on Concept and Application of Green Technology,
Faculty of Engineering, Semarang State University, Semarang, 5-6 October
2016.
Todd D.K., 1980. Groundwater Hydrology, John Wiley & Sons Inc
10
136
REDUKSI BAKTERI E. COLI DALAM FILTRASI
FILTER BETON UNTUK AIR MINUM
Rizaldi Maadji1 *, Radianta Triatmadja2 , Fatchan Nurrochmad2 ,
dan Sunjoto2 ,
1 Program Doktor Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fak. Teknik UGM
2 Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fak. Teknik UGM
*rizaldi_maadji@yahoo.com
Intisari
Penggunaan filter pasir, baik filter pasir cepat atau lambat membutuhkan area yang
luas, sejumlah besar bahan filter dan proses cucibalik (backwashing) filter
memerlukan waktu yang lama. Filter beton dapat digunakan sebagai alternatif
penyelesaian masalah proses cucibalik filter pasir yang terlalu sering (6 jam sampai
48 jam) dan penggunaan air bersih yang lebih banyak (Triatmadja, 2008). Kajian
aplikasi filter beton yang mampu menurunkan kontaminan parameter fisik air baku
utamanya kekeruhan telah dilakukan oleh Triatmadja (2008) dan Kamulyan (2014).
Filter beton juga dapat menurunkan kandungan mikrobia pada air baku (Maadji
dkk., 2016). Parameter mikrobiologi mengharuskan air minum bebas dari
kandungan bakteri E. coli dan Total Bakteri Koliform. Tallon dkk. (2005),
menunjukkan bahwa Escherichia coli (E. coli) adalah satu-satunya coliform yang
secara eksklusif terkait dengan sumber tinja, sehingga mendukung rekomendasi
untuk penggunaan E. coli sebagai satu satunya bakteri indikator untuk kontaminasi
feses. Karakteristik filter beton yang paling menentukan kemampuan mereduksi
bakteri E. coli adalah rasio pasir – semen dan ketebalan filter. Pengaruh variasi
ketebalan ( 3 cm dan 12 cm) dan rasio pasir – semen (4 dan 10) filter beton dalam
mereduksi kandungan bakteri E. coli, dijadikan indikator pengembangan filter
beton sebagai instalasi pengolahan air dengan kualitas air minum.
Kata Kunci: Filter beton, mikrobiologi, air minum.
LATAR BELAKANG
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 492 Tahun 2010 tentang
Persyaratan Kualitas Air Minum, mewajibkan bagi setiap penyelenggara air minum
agar menjamin air minum yang diproduksinya aman bagi kesehatan. Air minum
aman bagi kesehatan apabila memenuhi persyaratan fisika, mikrobiologis, kimiawi
dan radioaktif.
Kontaminasi mikrobia (bakteriologis, virus, protozoa, atau zat biologis lainnya)
mengakibatkan masalah kesehatan terutama yang terkait dengan air. Risiko terbesar
terhadap mikrobia umumnya diakibatkan oleh konsumsi air yang terkontaminasi
dengan kotoran manusia atau hewan. Kotoran tersebut dapat menjadi sumber
patogen bakteri, virus, protozoa dan cacing. Masalah penting dalam penetapan
sasaran berbasis kesehatan untuk bebas mikrobia adalah patogen yang berasal dari
feses yang pada akhirnya masuk ke dalam badan air (WHO, 2004).
1
137
Konsep penggunaan organisme indikator sebagai petunjuk adanya pencemaran
feses merupakan praktik yang sudah umum dalam pengkajian mutu air minum.
Organisme indikator tersebut harus memenuhi kriteria bukan merupakan patogen
dan harus memenuhi enam syarat berikut: (WHO, 2004)
1. secara universal ditemukan dalam jumlah besar pada kotoran manusia dan
hewan,
2. tidak berkembang biak dalam lingkungan air alami,
3. berada di dalam air dengan sifat sama yang dimiliki oleh patogen fekal,
4. ada dalam jumlah yang lebih banyak daripada patogen fekal,
5. bereaksi terhadap proses pengolahan dalam pola yang serupa dengan pola
patogen fekal, dan
6. dapat dideteksi dengan mudah melalui metode sederhana yang tidak mahal.
2
138
Gambar 1. Foto Mikroskop Sehelai Rambut diameter 50 mikron dibandingkan
dengan Ilustrasi E. coli diameter 1,0 mikron (Perbesaran 400X dengan skala Stage
Micrometer 0,01 mm). Laboratorium Hidraulika Departemen Teknik Sipil dan
Lingkungan UGM.
Mekanisme Filtrasi
Kualitas air tidak memenuhi standar air minum apabila kandungan material fisik,
kimia, maupun biologi melampaui ambang batas yang disyaratkan. Kandungan
biologis yang berlebihan dapat ditangani dengan cara fisik, misalnya filtrasi
(Triatmadja, 2016).
Filter pasir tidak dapat menahan atau memfilter air baku yang mengandung suspensi
(clay particle), partikel koloid (Al atau Fe floc) dan mikrobia. Partikel yang dapat
ditahan dan akan tetap di bed filter adalah partikel yang lebih besar dari pori-pori
bed filter, lihat Gambar 2 (TU Delf, 2004).
Purchas dan Sutherland (2002), membedakan menjadi empat mekanisme dasar
filtrasi yaitu surface straining, depth straining, depth filtration dan cake filtration.
Pemahaman konseptual, model dasar filtrasi tidak efektif dalam memprediksi
kekeruhan effluent pada filter skala sebenarnya disebabkan oleh alasan berikut
(Crittenden dkk., 2012):
1. model didasarkan pada sistem ideal di mana partikel bulat bertabrakan dengan
butir filter yang berbentuk bola,
2. variabilitas hidrodinamik akibat pengaruh arus karena sudut media tidak
diperhitungkan,
3. model hanya memprediksi nilai tunggal untuk koefisien filtrasi, tidak berubah
sebagai fungsi baik waktu atau kedalaman, sedangkan di filter nyata perubahan
3
139
koefisien filtrasi terhadap waktu dan kedalaman sebagai padatan yang
terkumpul pada media, dan
4. model mengasumsikan tidak ada perubahan dalam dimensi butir atau porositas
bed sebagai partikel yang menumpuk.
4
140
METODOLOGI STUDI
Filter Beton
Kajian karakteristik fisik filter beton dilakukan terhadap filter beton yang dibuat
dari pasir lolos saringan 0,297 mm (mesh 50) dan tertahan pada saringan diameter
0,149 mm (mesh 100). Faktor air semen yang digunakan adalah 0,4. Variasi model
filter beton dibedakan oleh rasio pasir (agregat) – semen (m) dan ketebalan filter.
filter beton uji terdiri dari 4 model yaitu:
1. IRMA, tebal 12 cm dengan m = 4.
2. IRMIO, tebal 12 cm dengan m = 10.
3. EMA, tebal 3 cm dengan m = 4.
4. EMIO, tebal 3 cm dengan m = 10.
Masing-masing model tersebut dibuat sebanyak 5 sampel, dan dilakukan uji filtrasi
secara seri dua tahap yaitu tiga filter tahap pertama (IRMA 1, IRMA 2, IRMA 3),
disusul dua filter tahap kedua (IRMA 4 dan IRMA 5).
Instalasi dan Uji Filtrasi
Sampel air baku dirangkaikan dengan sistem jaringan instalasi filter beton, dengan
pompa, air baku dinaikkan ke bak penerima (pengatur tekanan) agar dapat dialirkan
secara grafitasi melalui filter uji (Gambar 3).
ViF
B-PT
PL
VoCB
VP VoF
FB
MN
PG B-CB
ViCB
5
141
Kapasitas bak penerima ± 46 liter dilengkapi pipa peluapan. Aliran air uji
dilewatkan melalui parallel tiga Filter beton (lihat Gambar 4). Dimensi filter beton
berdiameter 10 cm dengan ketebalan 12 cm dan 3 cm.
6
142
sebagai perkiraan jumlah individu bakteri. Satuan yang digunakan, umumnya per
100 mℓ atau per gram, (FDA, 2001).
Jadi misalnya terdapat nilai 10 MPN dalam sebuah sampel air, artinya dalam sampel
air tersebut diperkirakan setidaknya mengandung 10 coliform pada setiap gramnya.
Makin kecil nilai MPN, maka air tersebut makin tinggi kualitasnya atau makin
layak minum.
7
143
Tabel 1. Tingkat Reduksi E. coli Model IRMA, IRMIO, EMA dan EMIO
Waktu Air Sumber Filter
No. IRMA 123 IRMA 1 IRMA 2 IRMA 3
Pengambilan MPN MPN %Reduksi MPN %Reduksi MPN %Reduksi
1. 28 Mar 16
09:25:00 2 2 0 4 -100 19 -850
8
144
Tabel 2. Perbandingan Kemampuan Beberapa Metode Filtrasi dalam
Mereduksi Bakteri
Peringkat
Kemampuan Dasar Mereduksi
No. Proses Pengolahan Kompleksitas Teknis
Bakteri
dan Biaya Instalasi
1. Filtrasi Pasir Cepat Tidak ada data 2
2. Filtrasi Pasir Lambat 50% 3
99,9% - 99,99% tersedia pra-
Filtrasi Membran
3. pengolahan adekuat dan integritas 4
Mikrofiltrasi
membran dipertahankan
Filtrasi Membran complete removal, asalkan pra-
4. Ultrafiltrasi, Nanofiltrasi pengolahan adekuat dan integritas 5
dan Reverse Osmosis membran dipertahankan
5. Filter Beton 99,9% - complete removal 1
Rekomendasi
Kapasitas aliran dan kemampuan filter beton dalam mereduksi partikel suspensi dan
bakteri E. coli menunjukkan bahwa :
1. Filter beton dapat digunakan sebagai Instalasi Pengolahan Air dengan kualitas
air minum.
2. Kapasitas filter beton dapat ditingkatkan untuk instalasi skala industri.
9
145
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih disampaikan kepada Lembaga Pengelolaan Dana Pendidikan (LPDP)
Kementerian Keuangan Republik Indonesia melalui Beasiswa Pendikan Indonesia
(BPI) Program Afirmasi yang telah mendanai penelitian ini.
REFERENSI
Berg C. Howard, 2004. E. coli in Motion, Biological and Medical Phisics,
Biomedical Engineering, Springer, USA.
Crittenden J.C., Trussell R.R., Hand D.W., Howe K.J., and Tchobanoglous G.,
(2012), MWH’s Water Treatment : Principles and Design, Third Edition,
MWH, John Wiley & Sons, Inc.
Food and Drug Administration (FDA) U.S., 2001, Bacteriological Analytical
Manual Online, Appendix 2 Most Probable Number from Serial Dilutions.
Center for Food Safety and Applied Nutrition.
Irianto K., 2013. Mikrobiologi Medis, Pencegahan-Pangan-Lingkungan, halaman
506 – 508, CV. Alfabeta, Bandung.
Kamulyan B., 2014. Karakteristik Hidraulik Filtrasi dan Cucibalik Filter Beton,
Disertasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Maadji R., R. Triatmadja, F. Nurrochmad dan Sunjoto, 2016. The Development of
Concrete Filter for Drinking Water Filtration, Proceeding of the International
Seminar on Water Resilience in a Changing World, Indonesian Association
of Hydraulic Engineers, 29 – 31 Juli 2016, Bali.
Purchas B.D., and Sutherland K., 2002. Handbook of Filter Media, Elsevier Science
& Technology Books.
Tallon P., Magajna B., Lofranco C., and Leung T.K., 2005. Microbial Indicators of
Faecal Contamination in Water: A Current Perspective, Spinger, Water, Air,
and Soil Pollution, 166: 139 – 166.
Triatmadja, R., 2008. Kajian Awal Prospek Filter Beton Pasir sebagai Teknologi
Tepat Filtrasi Air Bersih, Prosiding Seminar Nasional Teknologi Tepat Guna
Penanganan Sarana Prasarana di Indonesia, Yogyakarta, pp. 1 - 91, April
2008.
Triatmadja, R., 2016. Teknik Penyediaan Air Minum Perpipaan, halaman 62 – 103,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
TU Delft, 2004. Granular Filtration , Water Treatment, Delf University of
Technology.
World Health Organization (WHO), 2004. Guidelines for Drinking-water Quality,
Third Edition, Volume 1 Recommendations, Geneva.
10
146
PENERAPAN MODEL SINUS-PERKALIAN UNTUK
OPTIMASI OPERASI LEPASAN WADUK PENGGA
Widandi Soetopo*, Lily Montarcih Limantara, Suhardjono,
Ussy Andawayanti, dan Rahmah Dara Lufira
Fakultas Teknik, Jurusan Pengairan, Universitas Brawijaya
*wid131835@yahoo.co.id
Intisari
Waduk-waduk kecil semakin banyak dibangun di berbagai lokasi untuk
mendapatkan kapasitas tampungan untuk operasi pemasokan air irigasi dan air
baku. Waduk-waduk ini memerlukan aturan operasi lepasan waduk yang praktis
dan sederhana disamping juga optimal. Kasus kali ini mengambil Waduk Pengga
di Pulau Lombok, NTB. Studi optimasi simulasi stokastik operasi Waduk Pengga
telah dilakukan beberapa kali, dengan Fungsi Tujuan yang menggunakan nilai
prosentase pemenuhan kebutuhan air irigasi. Pada artikel kali ini akan dibahas
penggunaan model Sinus-Perkalian yang akan menghasilkan nilai moneter
daripada produksi lahan irigasi berdasarkan input seri-seri lepasan operasi waduk
hasil optimasi simulasi stokastik untuk dievaluasi. Model Sinus-Perkalian ini
sendiri telah diverifikasi baik dengan menggunakan data lapangan maupun dengan
menggunakan data hasil eksperimen secara terkontrol. Hasil simulasi stokastik
menunjukkan bahwa model Sinus-Perkalian menghasilkan Aturan Operasi Waduk
yang optimal dengan hasil riil dalam bentuk nilai moneter. Dengan model Sinus-
Perkalian ini juga memungkinkan dilakukannya studi kelayakan mengenai
perluasan daerah irigasi Waduk Pengga. Ternyata penggunaan model Sinus-
Perkalian sebagai Fungsi Tujuan pada model optimasi operasi waduk adalah
sesuai, dan hasil optimasi menunjukkan bahwa Aturan Lepasan Berdasarkan Rule
Curve yang bertingkat adalah sesuai untuk Waduk Pengga.
Kata Kunci: optimasi, operasi waduk, sinus-perkalian.
LATAR BELAKANG
Sebagai negara agraris maka pertanian memegang peranan yang sangat penting di
Indonesia. Karenanya pengembangan sistem irigasi merupakan salah satu
prioritas dalam pembangunan, dimana hampir setiap waduk yang dibangun di
Indonesia ada hubungannya dengan irigasi. Kenyataannya sebagian besar waduk-
waduk khususnya di Indonesia dan umumnya di seluruh dunia termasuk di dalam
kelompok waduk-waduk berukuran kecil dan sedang (dengan kapasitas
tampungan aktif berkisar beberapa puluh juta m³ atau kurang). Dalam kondisi
tertentu maka waduk-waduk ini dapat dioperasikan dengan cara yang paling se-
derhana, yaitu memenuhi semua kebutuhan selama air masih tersedia.
Alternatifnya adalah mengoperasikan waduk-waduk secara optimal dengan meng-
gunakan salah satu daripada dua cara berikut, yaitu (1) aturan lepasan waduk ber-
dasarkan status tampungan awal periode operasi (McMahon & Mein, 1978), dan
1
147
(2) aturan lepasan berdasarkan rule curve (Wurbs, 1996). Kedua aturan lepasan
ini selain mempunyai struktur sederhana dan praktis, juga mampu beradaptasi
terhadap variasi tahunan ekstrim debit inflow dan variasi musiman debit kebutuh-
an. Untuk tujuan praktis, khususnya untuk waduk-waduk kecil dan sedang di
lokasi terpencil, maka dapat dibuatkan pedoman pengoperasian yang berbentuk
tabel. Sebagai contoh kasus maka studi penelitian ini menggunakan kasus Waduk
Pengga di Pulau Lombok, NTB.
Sebagian besar air dari Waduk Pengga ini adalah untuk memasok kebutuhan air
irigasi (99%), dan sisanya untuk air baku daerah perkotaan (1%). Pada
Bendungan Pengga terdapat sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang
berkapasitas 400 kilowatt, tetapi unit PLTA ini beroperasi dengan mengikuti
besarnya debit lepasan untuk pasokan kebutuhan irigasi dan air baku. Kapasitas
tampungan aktif Waduk Pengga adalah sebesar 20.89 juta m³, sedangkan periode
operasi yang digunakan adalah ½ bulanan (24 periode dalam setahun).
Waduk Pengga mendapat pasokan debit inflow dari sungai Dodokan. Debit
inflow ini terdiri dari lepasan Waduk Batujai yang berada di sebelah hulu,
ditambah dengan debit limpasan (runoff) dari remaining basin di antara Waduk
Batujai dan Waduk Pengga (183.65 km²). Pada studi penelitian ini maka seri
debit inflow yang digunakan adalah sepanjang 10 tahun (tahun 2001 s/d 2010).
Pada studi-studi yang terdahulu, telah diteliti mengenai aturan lepasan yang
optimal. Dengan menggunakan cara simulasi acak, maka terhadap parameter-
parameter daripada kedua aturan lepasan Waduk Pengga, yaitu lepasan waduk
berdasarkan status tampungan, dan lepasan waduk berdasarkan rule curve, telah
dilakukan kalibrasi (Soetopo dkk., 2012). Selanjutnya dilakukan studi optimasi
terhadap kedua aturan lepasan Waduk Pengga tersebut dengan menggunakan
prosedur Evolutionary yang ada pada perangkat Add-Ins Solver dari MS-Excel
(Soetopo dkk., 2014). Selanjutnya dilakukan peninjauan menyangkut 3 alternatif
metode optimasi simulasi stokastik (Juwono dkk., 2014), yaitu (1) Random
Search, (2) Algoritma Genetik, dan (3) Simulated Annealing.
Pada studi-studi optimasi yang telah dilakukan terhadap aturan lepasan Waduk
Pengga ini, maka yang digunakan sebagai Fungsi Tujuan adalah Prosentase
Pemenuhan Kebutuhan. Sejauh ini telah dilakukan evaluasi terhadap seri-seri
lepasan Operasi waduk Pengga hasil keluaran daripada studi optimasi simulasi
stokastik dengan menggunakan model Sinus-Perkalian yang menghasilkan nilai
prosentase dari produksi panen maksimum (Soetopo dkk., 2015). Pada artikel ini
model Sinus-Perkalian akan diterapkan sebagai Fungsi Tujuan dalam proses
optimasi dengan menggunakan prosedur Evolutionary yang ada pada perangkat
Add-Ins Solver dari MS-Excel. Model operasi untuk Waduk Pengga yang
diterapkan adalah Lepasan Waduk Berdasarkan Status Tampungan, dan Lepasan
Waduk Berdasarkan Rule Curve. Tujuan daripada studi ini adalah ingin
mengetahui apakah model Sinus-Perkalian sesuai apabila diterapkan sebagai
Fungsi Tujuan pada model optimasi operasi waduk khususnya untuk Waduk
Pengga.
2
148
METODOLOGI STUDI
Pada Aturan Lepasan Waduk Berdasarkan Status Tampungan, maka besarnya
lepasan pada suatu periode (dalam bentuk prosentase pemenuhan kebutuhan)
ditentukan berdasarkan status tampungan waduk pada awal periode (dalam bentuk
prosentase tampungan aktif). Aturan operasi yang semacam ini biasanya
digunakan oleh para pengelola pasokan air perkotaan (McMahon & Mein, 1978).
Contoh daripada Aturan Lepasan Waduk Berdasarkan Status Tampungan dapat
ditampilkan sebagai Gambar 1.
100
90
80
ATURAN DISKRIT
Lepasan [% Kebutuhan]
70
60
50
40
30
20
10
0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
GARIS KONTINYU
GARIS DISKRIT
3
149
Pada studi ini maka dibuat 3 macam pembagian grid yaitu 20, 40, dan 50 grid.
Sementara Garis Aturan Lepasan dibuat 2 macam yaitu Diskrit dan Kontinyu.
Jadi seluruhnya ada 2x3 = 6 macam model Aturan Lepasan Berdasarkan Status
Tampungan.
Pada Aturan Lepasan Waduk Berdasarkan Rule Curve, maka Rule Curve itu dapat
didefinisikan sebagai tingkat tampungan sasaran, dan merupakan mekanisme
untuk aturan lepasan agar supaya dapat didefinisikan sebagai fungsi daripada tam-
pungan (Wurbs, 1996). Garis Rule Curve merupakan batas bawah mengatur
skedul tampungan waduk yang harus diikuti dengan prioritas di atas prioritas
daripada pemenuhan kebutuhan. Contoh daripada Rule Curve dengan periode ½
bulanan dalam setahun ditampilkan pada Gambar 3.
RULE CURVE
25
TAMPUNGAN [juta m³]
20
15
10
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
PERIODE [½ bulanan]
Sebagai variasi, maka Rule Curve dapat dibuat menjadi bertingkat dengan cara
menambahkan kurva-kurva lain di bawahnya. Kurva-kurva bawah ini mempunyai
tingkat lepasan di bawah 100% yang dimiliki kurva paling atas, dan semakin ke
bawah maka tingkat lepasannya akan semakin kecil (di bawah kurva paling bawah
maka tingkat lepasannya adalah sebesar nol). Pada studi ini maka variasi tingkat
kurva dibuat 4 macam, yaitu 1, 2, 3, dan 4 tingkat.
Hasil daripada Aturan Lepasan ini adalah seri debit lepasan. Pada studi-studi
terdahulu maka ukuran kinerja daripada seri debit lepasan ini dinyatakan dalam
bentuk Prosentase Pemenuhan Kebutuhan yang digunakan dalam Fungsi Tujuan.
Pada studi ini maka Prosentase Fungsi Tujuan digunakan untuk menghitung
Tingkat Produksi di lahan-lahan irigasi terkait. Untuk tujuan tersebut maka pada
studi ini digunakan model Sinus-Perkalian (Soetopo, 2010). Dasar model Sinus-
Perkalian adalah bentuk umum hubungan antara air yang diterima tanaman
dengan produksi panen (English, 2002), yang dapat dilihat pada Gambar 4.
4
150
Produksi Panen Relatif (Yr)
Untuk satu musim tanam, Fungsi Produksi dapat ditulis sebagai berikut (Soetopo,
2010).
Fungsi Produksi Yr Yr1 Yr2 Yr3 ... Yrn (1)
dengan Yri adalah Fungsi Produksi untuk periode i, dan n adalah banyaknya
periode pemberian air irigasi selama musim tanam (=8 periode misalnya pada
Waduk Pengga).
Untuk kasus Waduk Pengga ini, maka setiap musim tanam terdiri dari 8 periode ½
bulanan. Jadi n=8. Sementara dalam setahun terdiri dari 3 musim tanam dengan
total 24 periode ½ bulanan.
Selanjutnya Fungsi Produksi untuk tahap i dapat ditulis sebagai Fungsi Sinus
berikut:
Yri Sin AWri - a.Sin AWRi .2. 1 b.Sin Awri . . / 2
c d
e
(2)
dengan AWri adalah pemberian air irigasi relatif untuk periode ke:i, dan a, b, c, d,
dan e adalah parameter-parameter.
Pada Fungsi Sinus tersebut, maka AWri adalah total semua pasokan air ke lahan
irigasi (termasuk curah hujan kalau ada). Adapun Yri adalah hanya merupakan
besaran konseptual, karena produksi yang sesungguhnya Yr hanya terjadi pada
periode terakhir dari masa tanam (waktu panen).
Untuk Daerah Irigasi yang dipasok oleh Waduk Pengga, maka pembagian ketiga
musim tanam dalam setahun adalah sebagai Tabel 1berikut.
Tabel 1. Pembagian Musim Tanam di D.I. Waduk Pengga (periode ½ bulanan).
Musim Tanam Awal Akhir
I Desember I Maret II
II April I Juli II
III Agustus I November II
5
151
Fungsi Sinus-Perkalian ini telah diverifikasi dengan menggunakan data tercatat
(historis) dari wilayah USA (Soetopo, 2010). Pengujian adalah secara statistik
dengan Uji-Z antara Yr dari Model Sinus-Perkalian dan Yr riil. Yang digunakan
adalah data agregat dari hidrologi (curah hujan) dan pertanian (irigasi). Hasil
verifikasi yang menggunakan Uji-Z tersebut menunjukkan bahwa secara umum
maka tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai produksi panen hasil
perhitungan model Sinus-Perkalian dengan nilai produksi panen hasil pengukuran
di lapangan.
Selanjutnya pada tahun 2011 telah dilakukan verifikasi dengan menggunakan data
eksperimen terhadap tanaman Jagung dan Padi (Soetopo, 2012). Kedua jenis
tanaman ini ditempatkan di bawah lindungan rumah pastik sehingga pemberian
air dapat dilakukan secara terkontrol, bebas dari air hujan tetapi tetap
mendapatkan sinar matahari. Hasil daripada proses verifikasi secara terkontrol ini
adalah bahwa secara spesifik maka model Sinus-Perkalian dapat dinyatakan
berlaku untuk berbagai kisaran pemberian air (irigasi + presipitasi) selama musim
tanam.
Kalibrasi daripada model Sinus-Perkalian ini dilakukan untuk model dengan 8
periode ½ bulanan per musim tanam. Proses kalibrasi adalah untuk mencari nilai-
nilai parameter a, b, c, d, dan e daripada Fungsi Sinus di Pers. (2) sedemikian
hingga bentuk kurva model SINUS-PERKALIAN (untuk kasus dengan banyak
periode = 8) sesuai dengan bentuk kurva asli. Prosedur kalibrasi dengan
menggunakan simulasi stokastik untuk meminimumkan jumlah kuadrat selisih
pada 10 titik di sumbu mendatar (AWri) antara 0 dan1 sebagai berikut.
10
Minimumkan Yr( asli )i Yr( kalibrasi )i
2
(3)
i 1
1
Produksi Panen Relatif
(Yr)
0.5
0
0 0.5 1
Pemberian Air Relatif (AWr)
Gambar 5. Kalibrasi Kurva Model (garis putus) terhadap Kurva Asli (garis solid).
Sedangkan hasil kalibrasi ini ditampilkan pada Tabel 2.
6
152
Tabel 2. Parameter Fungsi Sinus hasil kalibrasi.
PARAMETER NILAI
Parameter a 0,119424
Parameter b 0,241119
Parameter c 2,232846
Parameter d 0,090448
Parameter e 1,488346
Dari Lepasan Waduk dapat dihitung AWri, dan selanjutnya dihitung Yri untuk
setiap periode ½ bulanan. Selanjutnya nilai-nilai Yri untuk satu musim tanam
digunakan untuk menghitung produksi panen Yr daripada musim tanam tersebut.
Apabila nilai Yr ini dikalikan dengan nilai moneter dari produksi lahan irigasi
maka akan dihasilkan nilai riil dari produksi di lahan irigasi.
Pada studi ini maka dilakukan optimasi untuk masing-masing dari ke-10 model
Aturan Lepasan Operasi Waduk. Fungsi Tujuan adalah memaksimumkan
Produksi Musim Tanam Minimum (dari 30 musim tanam). Sebagai tambahan
juga dicatat Produksi Musim Tanam Rerata (dari 30 musim tanam).
Dari hasil optimasi ke-10 model Aturan Lepasan Operasi Waduk, maka dipilih 2
model untuk diplotkan sebagai grafik, yaitu yang terbaik dari Aturan Lepasan
Berdasarkan Status Tampungan (50 grid Kontinyu dengan produksi minimum
Rp.18.275.000.000,-), dan Aturan Lepasan Berdasarkan Rule Curve (4 tingkat
dengan produksi minimum Rp.21.965.000.000,-). Adapun tampilan grafiknya
adalah seperti Gambar 6 dan Gambar 7.
7
153
100
90
80
ATURAN KONTINYU
Lepasan [% Kebutuhan]
70
60
50
40
30
20
10
0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
90
80 RC1
70
60
50
RC2
40
30
RC3
20
10
0
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
Dari hasil studi penelitian yang telah disampaikan di atas, maka dapat dikemukaan
pembahasan untuk hal-hal berikut.
1. Dalam kisaran 10 tahun seri debit inflow untuk simulasi operasi waduk,
hanya terdapat 29 musim tanam yang lengkap. Untuk menggenapkan
menjadi 30 musim tanam, maka musim tanam yang paling awal (dalam
kondisi terpotong) digabungkan dengan sisa potongan musim tanam di ujung
akhir dari seri debit inflow.
2. Model terbaik dari kelompok Aturan Lepasan Berdasarkan Status
Tampungan adalah model 50 grid Kontinyu dengan produksi minimum
Rp.18.275.000.000,- dan produksi rerata Rp.23.603.000.000,-. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin banyak grid maka model semakin canggih, dan
bahwa model Kontinyu adalah lebih baik daripada model Diskrit.
3. Model terbaik dari kelompok Aturan Lepasan Berdasarkan Rule Curve
adalah model 4 tingkat dengan produksi minimum Rp.21.965.000.000,- dan
produksi rerata Rp.24.071.000.000,-. Hal ini menunjukkan bahwa semakin
banyak tingkat maka model semakin canggih.
4. Produksi Musim Tanam Rerata tertinggi adalah Rp.24.698.000.000,- untuk
luasan 2005 hektar atau Rp.8.216.000,- per hektar. Angka ini masih dalam
kisaran data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik untuk tahun 2014.
8
154
5. Model Aturan Lepasan Berdasarkan Rule Curve (bertingkat) adalah lebih
baik daripada model Aturan Lepasan Berdasarkan Status Tampungan, baik
dari segi Produksi Musim Tanam Minimum maupun Produksi Musim Tanam
Rerata. Hal ini menunjukkan bahwa Aturan Lepasan Berdasarkan Rule
Curve (bertingkat) adalah lebih sesuai untuk waduk dengan kapasitas sedang
seperi Waduk Pengga.
6. Pasokan Kebutuhan adalah air lepasan dari waduk. Sedangkan AWri adalah
total jumlah air yang diterima tanaman irigasi. Apabila Kebutuhan Irigasi
juga memperhitungkan air hujan yang jatuh selama musim tanam, maka
sesungguhnya AWri bernilai lebih besar dari yang terhitung di sini karena
mengikuti persamaan berikut.
Pasokan Waduk Hujan
AWri (4)
Kebutuhan Hujan
Jadi produksi lahan irigasi adalah juga lebih besar. Dalam studi ini
diasumsikan bahwa besarnya curah hujan ke lahan irigasi cukup kecil sehing-
ga perbedaannya dapat diabaikan.
7. Dalam studi ini diasumsikan AWri seluruhnya adalah pasokan untuk irigasi,
walaupun ada kebutuhan pasokan untuk air baku sebesar 1%, namun
jumlahnya cukup kecil sehingga bisa diabaikan. Namun memang apabila
ingin diperhitungkan, maka hal itu dapat dilakukan dengan cara mengurangi
pasokan air irigasi dengan kebutuhan air baku.
8. Ditinjau dari segi keuntungan (benefit) jangka panjang, maka memaksimum-
kan nilai Rerata dari Produksi Musim Tanam adalah lebih sesuai sebagai
Fungsi Tujuan dibandingkan dengan memaksimumkan nilai Minimum dari
Produksi Musim Tanam.
9
155
Rekomendasi
Untuk pengembangan selanjutnya dapat dilakukan penelitian studi Simulasi
Stokastik terhadap operasi waduk Pengga yang dipusatkan pada potensi perluasan
wilayah irigasi dengan menggunakan Aturan Lepasan Operasi Waduk
Berdasarkan Rule Curve Bertingkat.
REFERENSI
English, M.J., Solomon, K.H., & Hoffman, G.J., 2002. A Paradigm Shift in
Irrigation Management, Journal of Irrigation and Drainage Engineering,
128(5), 267-277.
Juwono, P.T., Bisri, M., and Soetopo, W., 2014. Laporan Penelitian Terpadu
Kategori C: Studi Model Optimasi Simulasi Stokastik Untuk Aturan
Lepasan Operasi Waduk. Jurusan Teknik Pengairan – Fakultas Teknik –
Universitas Brawijaya, Malang.
McMahon, T.A. and Mein, R.G., 1978. Reservoir Capacity and Yield. Elsevier
Scientific Publishing Company, Amsterdam.
Soetopo, W., 2010. Appropriate Data For Verification of Sine-Product Model,
International Journal of Academic Research, 2(5), 143-145.
Soetopo, W., 2012. Experimentation for Verification of Sine-Product Model,
Journal of Basic and Applied Scientific Research, 2(12), 12974-12980.
Soetopo, W., Priyantoro, D., and Suprijanto, H., 2012. Annual Variation
Independent Operating Policy For The Pengga Reservoir, disajikan pada
International Conference on Water Resources 5 – 6 November 2012,
Langkawi-Malaysia.
Soetopo, W., Limantara, L.M., Suhardjono, Andawayanti, U., Lufira, R.D., Huda,
M.Q., and Anwar, M.S, 2014. Laporan Penelitian Kategori A: Studi
Perbandingan Aturan Operasi Waduk Pengga Antara Aturan Lepasan
Berdasarkan Tampungan Dan Rule Curve. Jurusan Teknik Pengairan –
Fakultas Teknik – Universitas Brawijaya, Malang.
Soetopo, W., Priyantoro, D., and Suprijanto, H., 2015. Evaluasi Seri Lepasan
Operasi Waduk Pengga Dengan Model Sinus Perkalian, disajikan pada PIT-
HATHI XXXII : 9 – 11 Oktober 2015, Malang-Indonesia.
Wurbs, R.A., 1996. Modeling and Analysis of Reservoir System Operations,
Prentice Hall PTR, Upper Saddle River, New Jersey.
10
156
TEKNIK EVALUASI PERKIRAAN HUJAN RADAR
TERHADAP PENGUKURAN HUJAN PERMUKAAN
(GROUND RAINFALL)
Roby Hambali*, Hanggar Ganara Mawanda, Rachmad Jayadi, Djoko Legono
Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada
*roby.hambali@ugm.ac.id
Intisari
Pengamatan dan perkiraan hujan menggunakan radar berkembang cukup pesat,
mengingat metode ini mampu menghasilkan data hujan dengan resolusi spasial
dan temporal yang lebih baik dibanding dengan penakar hujan. Namun demikian,
tingkat kebenaran informasinya, yaitu korelasi data hujan radar terhadap
pengukuran hujan di permukaan lahan perlu dilakukan evaluasi. Jika hujan radar
dapat diperkirakan dengan baik, maka informasi tersebut memberikan kontribusi
yang cukup besar dalam pengembangan sistem peringatan dini banjir. Pada tahap
ini, ditawarkan suatu teknik evaluasi yang dilakukan Sebastianelli et al. (2013),
yaitu teknik evaluasi kesalahan perkiraan hujan radar sebagai fungsi jaraknya
(range) untuk memperbaiki perkiraan data radar. Evaluasi kesalahan perkiraan
hujan radar dilakukan dengan menganalisis indeks fractional standard error
(FSE), yang menunjukkan gradien regresi antara pengukuran hujan dengan
penakar (G) dan perkiraan hujan radar (R), serta sifat rasio G/R sebagai fungsi
jarak (range). Faktor koreksi yang disebut dengan nilai bias jarak (range
dependent bias, AF) digunakan untuk memperbaiki kesalahan perkiraan data
hujan radar. Hasil evaluasi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa teknik ini
cukup baik digunakan untuk mengkalibrasi dan mengkoreksi besaran perkiraan
hujan radar terhadap hujan permukaan (ground rainfall).
Kata Kunci: Perkiraan hujan radar, teknik evaluasi, indeks FSE, nilai bias jarak
LATAR BELAKANG
Dalam konteks pemodelan aliran untuk perkiraan banjir, variabilitas hujan
terhadap ruang dan waktu menjadi dua sifat parameter masukan yang penting
yang akan mempengaruhi proses transformasi hujan menjadi aliran. Meskipun
stasiun penakar hujan (rain gauge) memberikan hasil pengukuran hujan yang
dekat dengan permukaan lahan, namun secara spasial menyediakan informasi
yang terbatas, khusunya untuk hujan konvektif atau pada daerah dengan topografi
yang kompleks (Yoon and Bae 2012; Burcea et al. 2011). Perkembangan
teknologi pengamatan dan pengukuran hujan telah mengarah pada sistem
penginderaan jauh (remote sensing), baik berupa pemantauan dengan satelit
maupun radar. Dengan menggunakan teknologi radar, sebaran hujan secara spasial
dapat tergambar secara menyeluruh dikarenakan energi gelombang yang
dilepaskan akan sama di sepanjang daerah jangkauan radar. Hal ini menjadikan
1
157
radar memegang peranan penting dalam pemantauan hujan, khususnya dalam
perkiraan hujan kawasan. Jika hujan dari radar dapat diperkirakan dengan baik,
maka informasi tersebut memberikan prospek yang cukup besar dalam
pengembangan sistem peringatan dini banjir. Namun demikian, tingkat kebenaran
informasinya, yaitu korelasi data hujan radar terhadap pengukuran hujan di
permukaan lahan perlu dilakukan evaluasi, karena masih terdapat kekurangan
pada tingkat presisi perkiraan hujan radar yang disebabkan oleh berbagai sumber
kesalahan (Rossa, et al. 2010; Burcea et al. 2011).
Tingkat akurasi perkiraan hujan radar secara sederhana dinilai dari perbandingan
datanya terhadap pengukuran hujan yang terjadi di permukaan lahan melalui
penakar hujan (Hong and Gourley 2015). Bila perkiraan hujan radar tersebut
dibandingkan dengan hasil pengukuran hujan dengan penakar hujan (rain gauge),
ditemukan kesalahan perkiraan yang tergantung dari jarak stasiun penakar hujan
terhadap posisi radar (Sebastianelli et al. 2013). Secara umum, akurasi perkiraan
hujan radar semakin kecil terhadap hujan yang terjadi di permukaan dengan
semakin meningkatnya jangkauan radar (Allegretti et al. 2012).
Pengembangan teknik dan teknologi evaluasi yang memadai harus menjadi bagian
yang terintegrasi dari pendekatan yang digunakan (Krajewski, et al. 2010). Untuk
radar gelombang pendek (short range radar), teknik perbandingan antara
pengukuran hujan dengan penakar (G) dan perkiraan hujan radar (R) digunakan
untuk memperbaiki bias rata-rata lapangan. Bias radar (C) dapat digunakan untuk
mengoreksi data reflektivitas radar yang disebabkan oleh pengaruh kesalahan
kalibrasi radar. Sebastianelli et al. (2013) menawarkan suatu teknik evaluasi
kesalahan perkiraan hujan radar sebagai fungsi jaraknya (range) untuk
memperbaiki perkiraan data radar. Evaluasi kesalahan perkiraan hujan radar
dilakukan dengan menganalisis indeks fractional standard error (FSE), gradien
regresi antara G dan R, serta sifat rasio G/R sebagai fungsi jarak.
Bias radar yang digunakan untuk mengoreksi data reflektivitas radar dihitung
dengan persamaan berikut:
10
C log M (1)
b
dimana b = 0.5853 dan Multiplicative error (M) dihitung dengan rumus:
E P
G
i 1 j 1
i, j
M E P
(2)
R
i 1 j 1
i, j
Gi,j dan Ri,j merupakan jumlah hujan dari radar dan penakar hujan, i adalah
kejadian hujan dan j adalah stasiun penakar hujan. E adalah jumlah kejadian
hujan, sementara P adalah jumlah stasiun penakar hujan. Setelah kalibrasi radar
selesai dilakukan, rasio G/R dapat dihitung. Rasio G/R menunjukkan nilai yang
lebih stabil pada nilai akumulasi hujan yang lebih panjang. Masing-masing
komponen dari vektor rasio G/R dihitung dengan persamaan berikut:
2
158
E
G
G i
i 1
E
j 1,2,..., n (3)
Rj
R
i 1
i
Gi dan Ri masing-masing adalah jumlah hujan dari penakar dan radar pada
kejadian i, E adalah jumlah kejadian hujan selama periode yang ditinjau, dan j
menyatakan penakar hujan. Sifat-sifat rasio G/R dievaluasi berdasarkan nilai
logaritmik G/R masing-masing stasiun penakar hujan dalam kaitannya dengan
jarak stasiun terhadap radar. Gambar 1 merupakan contoh plotting nilai log rasio
G/R dan jarak stasiun penakar hujan terhadap radar sebelum dan setelah
dikalibrasi, sedangkan Gambar 2 merupakan regresi log rasio G/R dan jarak
stasiun penakar hujan terhadap radar setelah dikalibrasi (Sebastianelli et al. 2013).
2.5 2.0
sebelum kalibrasi setelah kalibrasi
2.0 setelah kalibrasi Garis regresi R² = 0.90
1.5
1.5
1.0 1.0
log (G/R)
log (G/R)
0.5
0.5
0.0
-0.5
0.0
-1.0
y = -8.98e-010x5 + 2.02e-007x4 - 1.61e-005x3 + 0.01x2 - 0.03x + 0.27
-1.5 -0.5
0 20 40 60 80 100 120 0 20 40 60 80 100 120
Jarak (Km) Jarak (Km)
Gambar 1. Log rasio G/R sebelum dan Gambar 2. Log (G/R) sebagai fungsi
setelah kalibrasi jarak setelah dikalibrasi
Hasil plotting nilai log rasio G/R dan jarak stasiun penakar hujan terhadap radar
(Gambar 1) menunjukkan bahwa sebelum dikalibrasi terjadi kekurangan
(underestimate) perkiraan hujan radar, sedangkan setelah dikalibrasi, terjadi
kelebihan perkiraan (overestimate). Berdasarkan penelitian Sebastianelli et al.
(2013), kekurangan dan kelebihan perkiraan ini terjadi pada daerah (lokasi
penakar hujan) diatas 50 km dari radar. Hal ini juga menunjukkan bahwa
kesalahan perkiraan hujan radar meningkat dengan meningkatnya jarak lokasi
perkiraan hujan dari radar. Untuk itu, perkiraan hujan radar harus dikoreksi
menggunakan nilai bias jarak (AF) menggunakan persamaan:
10
AF ( r )
b
log e X (4)
dimana nilai b = 0.5853 dan X didapat dari persamaan regresi antara log G/R dan
jarak stasiun penakar hujan terhadap radar yang telah dikalibrasi (Gambar 2).
Contoh pada studi kasus penelitian Sebastianelli et al. (2013), persamaan regresi
yang didapat adalah:
X p1r 5 p2 r 4 p3 r 3 p4 r 2 p5 r p6 (5)
3
159
p1, p2, p3, p4, p5, p6 merupakan koefisien regresi dan r merupakan jarak stasiun
penakar hujan terhadap radar. Contoh nilai hubungan AF dan jarak stasiun
penakar hujan terhadap radar disajikan pada Gambar 3 (Sebastianelli et al. 2013).
Indeks fractional standard error (FSE) digunakan untuk mengukur perbedaan
antara nilai prediksi dari model (data radar) dan nilai observasi aktual (dari
penakar hujan) atau untuk menghitung kesalahan radar. Perbandingan nilai
tersebut juga digambarkan dalam diagram pencar (scatter plot) (Gambar 4).
18 7
16 Data mentah
6 Setelah kalibrasi
14
Setelah menggunakan AF
12 5
10 Indeks FSE 4
AF (dB)
8
3
6
4 2
2
1
0
-2
0
0 20 40 60 80 100 120 0 20 40 60 80 100 120
Jarak (Km) Jarak (Km)
x xg
2
r N
i 1
FSE N
(6)
x
i 1
g N
dimana xr dan xg masing-masing adalah data radar dan penakar hujan, sementara
N adalah jumlah nilai observasi.
METODOLOGI STUDI
Pada tahap awal studi ini dilakukan kajian pustaka terhadap teknik evaluasi yang
dilakukan oleh Sebastianelli et al. (2013), dengan harapan teknik ini dapat
diterapkan untuk mengevaluasi data hujan radar terhadap data hujan permukaan
(ground rainfall) di lereng Merapi, Daerah Istimewa Yogyakarta. Perangkat radar
yang terpasang pada stasiun Museum Gunung Merapi merupakan radar tipe X-
band Multiparameter (XMP). Radar XMP merupakan radar rentang pendek yang
memiliki beberapa kelebihan dibanding radar generasi sebelumnya (tipe S-band
maupun C-band). Panjang gelombang yang lebih pendek pada XMP memberikan
sensitivitas yang lebih tinggi, sehingga mampu memberikan resolusi spasial yang
lebih baik (Hirano et al. 2014).
Sebastianelli et al. (2013) melakukan evaluasi data hujan radar terhadap hujan
penakar menggunakan 148 data di Italia. Data hujan radar diperoleh dari hasil
4
160
pengukuran reflektivitas menggunakan radar cuaca Polar 55C (tipe C-band)
dengan jangkauan mencapai 120 km dari lokasi radar, elevasi sapuan (sweep
elevation) 1.5o, dan waktu repetisi setiap lima menit. Rekaman hujan radar ini
kemudian dibuat dalam bentuk peta intensitas hujan yang dibagi ke dalam grid
kartesian dengan ukuran 1 km2. Data hujan di lahan diperoleh dari 40 stasiun
penakar hujan tipe tipping bucket yang tersebar dalam wilayah cakupan radar.
Penakar hujan tersebut memiliki interval waktu perekaman 10-15 menit dan
resolusi hujan 0,2 mm/jam. Gambar 5 merupakan distribusi spasial lokasi stasiun
penakar hujan dan radar yang digunakan dalam analisis Sebastianelli et al. (2013).
Wilayah cakupan radarnya dibagi ke dalam rentang 40 m (dari 0 hingga 120 m).
Hujan yang terekam pada penakar akan dibandingkan dengan hujan yang terjadi
pada masing-masing grid radar yang terdapat penakar tersebut. Sebelum
melakukan perbandingan, jumlah hujan dari radar maupun dari penakar hujan
diakumulasikan dengan rentang waktu 30 sampai 90 menit.
Perkiraan besaran hujan dapat dilakukan kalibrasi dengan mengoreksi data
reflektivitas radar. Untuk kalibrasi radar Polar 55C pada penelitian ini, digunakan
kejadian hujan dari 6 stasiun penakar hujan untuk dibandingkan dengan rekaman
hujan radar. Penakar hujan yang dipilih adalah penakar hujan yang berlokasi pada
daerah dengan visibilitas radar yang baik, yaitu penakar hujan yang memiliki
koefisien korelasi Kendall yang tinggi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6
(Sebastianelli et al. 2013).
1.0
0.8
Koef. Korelasi Kendall
0.6
0.4
0.2
0.0
0 20 40 60 80 100 120
Jarak (Km)
5
161
HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis terhadap data jumlah hujan (Sebastianelli et al. 2013) menunjukkan
perbedaan nilai FSE indeks terhadap jarak antara data mentah (sebelum
dikalibrasi), data setelah dikalibrasi dan data setelah dikoreksi dengan nilai AF
(Gambar 4). Nilai korelasi antara data hujan radar dan data hujan dari penakar
meningkat cukup signifikan setelah dikalibrasi dan dikoreksi menggunakan nilai
AF (Gambar 7) dibandingkan data mentah. Pada jarak 25-40 km dari radar, nilai
hujan radar dan penakar menunjukkan korelasi moderat hingga tinggi, dan
peningkatan kemiringan garis regresi setelah dikalibrasi dan dikoreksi mencapai 3
kali lipat dari garis regresi data mentah. Sementara, untuk jarak diatas 40 km dari
radar, nilai hujan radar dan penakar menunjukkan korelasi yang rendah.
Peningkatan kemiringan garis regresi setelah dikalibrasi dan dikoreksi ± 2 kali
lipat dari garis regresi data mentah. Lebih spesifik, pada jarak diatas 40 km,
koefisien determinasi (R2) meningkat setelah dilakukan koreksi dengan nilai AF.
Hal ini disebabkan oleh nilai AF sebagai parameter koreksi terhadap reflektivitas
radar semakin besar dengan bertambahnya jarak daerah tinjauan (stasiun penakar
hujan terhadap radar). Dengan demikian, kekurangan perkiraan (underestimate)
dikoreksi menjadi lebih besar (semakin besar) pada jarak 40 km ke atas.
5 5
Setelah menggunakan AF Setelah menggunakan AF
y = 0.00025x+1
4 y = 0.0013x+1.2
Kemiringan diagram pencar
3 3
G/R
2 2
1 1
0 0
0 20 40 60 80 100 120 0 20 40 60 80 100 120
Jarak (Km) Jarak (Km)
Pada tinjauan jarak yang sama seperti evaluasi terhadap korelasi jumlah hujan
radar dan penakar terhadap jarak, rasio G/R juga menunjukkan trend yang sama
(Gambar 8). Setelah reflektivitas hujan radar dikoreksi dengan nilai AF, rasio G/R
dan kemiringan garis regresi (antara data radar dan jarak) semakin menurun
dengan semakin bertambahnya jarak. Disisi lain, indeks FSE semakin rendah
dengan meningkatnya kesesuaian antara data radar dan data penakar hujan, dan
mendekati 1 atau kurang, dengan semakin dekatnya jarak terhadap radar.
Dengan demikian, nilai AF merupakan variabel penting yang dapat digunakan
untuk melakukan koreksi terhadap perkiraan hujan radar akibat pengaruh jarak
pantauan radar. Selain itu, C dapat digunakan untuk mengoreksi data reflektivitas
radar yang disebabkan oleh pengaruh kesalahan kalibrasi radar.
6
162
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
Teknik evaluasi perkiraan hujan radar yang ditawarkan oleh Sebastianelli et al.
(2013) memberikan kontribusi yag cukup signifikan dalam peningkatan kualitas
pemantauan hujan menggunakan radar. Evaluasi yang telah dilakukan
menunjukkan hasil yang cukup baik dalam mengkalibrasi dan mengkoreksi
besaran perkiraan hujan radar terhadap hujan permukaan. Dengan demikian,
teknik ini cukup baik digunakan untuk mengevaluasi perkiraan hujan radar
terhadap pengukuran hujan permukaan di lereng Merapi, Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Rekomendasi
Data hujan radar pada penelitian Sebastianelli et al. (2013) bersumber dari radar
Polar 55C (C-band radar) yang merupakan long range radar dengan jangkauan
mencapai 120 km, sementara radar pada Museum merapi merupakan radar XMP
yang merupakan short range radar dengan jangkauan 30 km. Untuk itu, dalam
penggunaan teknik evaluasi ini pada kasus hujan di lereng Merapi, intepretasi
hubungan parameter statistik terhadap jarak perlu disesuaikan.
REFERENSI
Allegretti, Marco et al. 2012. X-Band Mini Radar for Observing and Monitoring
Rainfall Events. Atmospheric and Climate Sciences 2(3):290–97. Retrieved
(http://www.scirp.org/journal/PaperDownload.aspx?DOI=10.4236/acs.2012.
23026).
Burcea, Sorin et al. 2011. Comparison between Radar Estimations and Rain
Gauge Precipitations in the Moldavian Plateau (Romania). Environmental
Engineering and Management Journal 11(4):723–31.
Hirano, Kohin, Masayuki Maki, Takeshi Maesaka, Ryohei Misumi, and Koyuru
Iwanami. 2014. Composite Rainfall Map from C-Band Conventioal and X-
Band Dual-Polarimetric Radars for the Whole of Japan. Pp. 1–5 in 8th
European Conference on Radar in Meteorology and Hydrology. Garmisch-
Partenkirchen, Germany.
Hong, Yang and Jonathan J. Gourley. 2015. Radar Hydrology: Principles,
Models, and Application. Boca Raton: CRC Press.
7
163
Krajewski, Witold F., Gabriele Villarini, and James A. Smith. 2010. RADAR-
Rainfall Uncertainties. Bulletin of the American Meteorological Society
91(1):87–94. Retrieved
(http://journals.ametsoc.org/doi/abs/10.1175/2009BAMS2747.1).
Rossa, Andrea M., G. Cenzon, and M. Monai. 2010. Quantitative Comparison of
Radar QPE to Rain Gauges for the 26 September 2007 Venice Mestre Flood.
Natural Hazards and Earth System Science 10(2006):371–77.
Sebastianelli, S., F. Russo, F. Napolitano, and L. Baldini. 2013. On Precipitation
Measurements Collected by a Weather Radar and a Rain Gauge Network.
Natural Hazards and Earth System Science 13(3):605–23.
Yoon, Seong-Sim and Deg-Hyo Bae. 2012. Optimal Rainfall Estimation by
Considering Elevation in the Han River Basin, South Korea. Journal of
Applied Meteorologi and Climatology 52(1979):802–18.
8
164
PEMANFAATAN SONAR SEBAGAI ALAT PANTAU
GERUSAN LOKAL PADA PILAR JEMBATAN
Tauvan Ari Praja*, Asep Sulaeman, Ibnu Supriyanto
Balai Teknologi Sungai, Puslitbang SDA, Badan Litbang Kemen. PUPR.
*Email: tauvan_ap@yahoo.co.id
Intisari
Kerusakan jembatan umumnya terjadi karena gerusan pada dasar pilar yang tidak
terpantau sebelumnya. Untuk penanggulangan kerusakan tersebut, dapat dilakukan
dengan pembuatan bangunan pelindung pilar jembatan. Namun dalam kasus
dimana penanggulangan secara fisik membutuhkan biaya yang mahal, maka
pemantauan gerusan secara kontinyu dapat digunakan sebagai alternatif. Teknologi
ini bertujuan untuk mendapatkan alat yang dapat memantau perubahan dasar sungai
(gerusan lokal) disekitar pilar jembatan secara runut waktu dan mampu mengukur
gerusan sekalipun pada kondisi banjir. Perlatan tersebut dikembangkan dengan
meggabungkan alat pemantau TMA dan perubahan dasar sungai dengan sistem
sensor sonar yang terhubung dengan data logger dan sumber daya dari solar cell.
Alat pemantau gerusan lokal ini mencatat data TMA serta kedalaman air yang
dilengkapi waktu pengukuran. Data tersebut digunakan sebagai acuan memantau
perubahan dasar sungai di sekitar pilar jembatan. Dengan terpantauanya perubahan
dasar sungai disekitar jembatan, maka kerusakan yang akan terjadi dapat segera
diprediksi kemudian dapat dilakukan tindakan pencegahan. Berdasarkan
perbandingan hasil pembacaan alat pemantauan gerusan dengan pengukuran secara
langsung di lapang, didapatkan hasil selisih pembacaan tertinggi sebesar 7 cm, dah
selisih rata-rata 3,1 cm. Sehingga dapat disimpulkan bahwa alat pemantauan
gerusan menunjukan kinerja yang bagus baik kecepatan dan keakuratan membaca
data gerusan local serta ketika arus deras/ kondisi air meningkat.
Kata Kunci: Alat pemantauan, Gerusan lokal, Pilar Jembatan, Sistem Sensor Sonar
LATAR BELAKANG
Sungai memiliki sifat yang dinamis dan akan berubah secara terus menerus sebagai
reaksi terhadap perubahan yang terjadi pada komponen-komponen yang
mempengaruhinya. Secara umum perubahan yang terjadi pada sungai antara lain
perubahan pada kuantitas dan kualitas air sungai serta perubahan pada fisik sungai,
dimana kedua perubahan tersebut saling berpengaruh satu sama lain. Perubahan
pada fisik sungai bisa terjadi pada parameter geometri dalam arah horizontal
maupun arah vertikal.
Perubahan yang terjadi pada sungai sering menyebabkan terjadinya kerusakan
bangunan sungai maupun infrastruktur disekitar sungai akibat adanya perubahan
morfologi sungai yang tidak terpantau dengan baik.Salah satu bangunan sungai
yang sering mengalami kerusakan akibat adanya perubahan morfologi sungai
1
165
adalah jembatan. Rusaknya jembatan memiliki dampak langsung terhadap
kehidupan masyarakat di sekitarnya, antara lain: terputusnya transportasi/
terisolasinya suatu daerah, terkendalanya kegiatan masyarakat di bidang sosial-
ekonomi, dan tidak jarang mengakibatan jatuhnya korban jiwa.
Kerusakan yang terjadi pada jembatan, umumnya terjadi karena adanya gerusan
pada dasar pilar jembatan yang tidak terpantau sebelumnya. Ketika daya dukung
tanah pada dasar pilar sudah tidak mampu menahan beban di atasnya maka
mengakibatkan runtuhnya jembatan. Dalam penanggulangan kerusakan struktur
jembatan akibat adanya gerusan pada dasar sungai dapat dilakukan dengan
pembuatan bangunan fisik pelindung pilar jembatan.Namun dalam kasus dimana
penanggulangan secara fisik membutuhkan biaya yang mahal, maka pelaksanaan
pemantauan gerusan secara kontinyu dapat digunakan sebagai alternatif. Dengan
terpantauanya perubahan dasar sungai disekitar jembatan, maka kerusakan yang
akan terjadi dapat segera diprediksi dan dapat dilakukan tindakan pencegahan
secepatnya.
Terdapat berbagai peralatan dan metode yang telah digunakan untuk pemantauan
perubahan morfologi sungai terutama untuk pengamatan gerusan pada dasar pilar
jembatan, metode dan peralatan tersebut antara lain: metode pengukuran
crossection, penggunaan rantai sebagai indikator gerusan dasar, dan penggunaan
pin sebagai indikator gerusan dasar. Masing-masing metode dan perlatan tersebut
memiliki tujuan dan kelebihan masing-masing, namun juga memiliki beberapa
kekurangan antara lain:
a. Pada metode pengukuran crosssections hasil pengukuran hanya memberitahu
perubahan yang terjadi selama periode waktu yang relatif lama dan tidak
menunjukkan jumlah gerusan atau endapan yang terjadi. Disamping itu
pelaksanaannya memakan waktu, SDM, dan biaya yang cukup banyak.
b. Pada penggunaan rantai/ pin sebagai indikator gerusan dasar, hasilnya hanya
mampu menunjukkan nilai kedalaman maksimum gerusan pada titik diantara
waktu pengamatan saja sedangkan perubahan yang terjadi (gerusan maupun
endapan) sebelum dilakukan pengamatan tidak dapat diketahui.
c. Tidak dapat diperoleh data perilaku perubahan dasar sunggai yang lebih akurat
mengingat bahwa dasar sungai cenderung menggerus selama arus cepat
(banjir) dan akan mengisi ulang ketika arus lambat (banjir surut).
2
166
Tujuan
Tujuan Pengembangan alat pemantauan gerusan lokal pada pilar jembatan adalah
untuk mendapatkan alat yang dapat memantau perubahan dasar sungai (gerusan
lokal) disekitar pilar jembatan secara runut waktu dan mampu mengukur gerusan
sekalipun pada kondisi banjir.
KAJIAN PUSTAKA
Gerusan
Gerusan (scouring) merupakan suatu proses alamiah yang terjadi di sungai sebagai
akibat pengaruh morfologi sungai (dapat berupa tikungan atau bagian penyempitan
aliran sungai) atau adanya bangunan air (hydraulic structur) seperti: jembatan,
bendung, pintu air, dll. Raudkivi dan Ettema (1982) dalam Mulyandari (2010)
mendefinisikan gerusan yang terjadi pada suatu struktur berdasarkan tipenya dapat
dibagi dalam tiga kategori yaitu:
a. Gerusan umum (general scour)di alur sungai, tidak berkaitan sama sekali
dengan ada atau tidak adanya bangunan sungai. Gerusan umum ini merupakan
suatu proses alami yang terjadi pada saluran terbuka. Gerusan ini disebabkan
oleh energi dari aliran air pada saluran atau sungai tersebut.
b. Gerusan dilokalisir (constriction scour), terjadi karena penyempitan aliran
sungai menjadi terpusat.
c. Gerusan lokal (local scour), terjadi karena pola aliran lokal di sekitar bangunan
sungai. Gerusan lokal ini pada umumnya diakibatkan oleh adanya bangunan
air, misalnya tiang, pilar atau abutment jembatan.
Kerusakan Jembatan
Keruntuhan jembatan dapat disebabkan oleh adanya penurunan dasar sungai secara
keseluruhan maupun oleh gerusan lokal yang hanya terjadi di sekitar pilar atau
abutmen jembatan saja. Menurut Lueker, dkk (2010), Kondisi aliran yang
mempengaruhi terjadinya keruntuhan jembatan dipisahkan menjadi dua kategori
utama, yaitu: parameter hidrolik lokal disekitar jembatan, dan morfologi sungai
secara keseluruhan. Parameter hidrolik lokal disekitar jembatan terdiri dari
kecepatan aliran, arah aliran, kedalaman, dan adanya udara yang masuk atau bahan
lain yang berada dekat dengan struktur jembatan. Morfologi sungai terdiri dari
parameter dengan skala yang lebih besar seperti jenis sungai, perubahan alur jangka
panjang, adanya anak sungai di hulu atau hilir, angkutan sedimen, dan
kelengkungan sungai (tikungan) di lokasi jembatan.
Gerusan lokal disebabkan oleh adanya benda yang ditempatkan di alur sungai, yang
mengakibatkan terjadinya perubahan arah aliran secara tiba-tiba. Dampak dari
kondisi ini mengakibatkan terjadinya peningkatan kecepatan di dekat dasar sungai,
percepatan aliran, dan pusaran air. Penyebab utama dari kegagalan pilar dan
abutmen jembatan diakibatan oleh gerusan yang mengikis dasar pilar. (Lueker,
Marr, Ellis, Winsted, & Akula, 2010)
Terjadinya gerusan sangat dipengaruhi oleh angkutan sedimen yang terjadi
disepanjang aliran sungai, seperti yang dikemukankan oleh Hoffmans and Verheij
(1997), bahwa gerusan adalah perubahan dari suatu aliran yang disertai pemindahan
3
167
material melalui aksi gerakan fluida. Gerusan lokal (local scouring) terjadi pada
suatu kecepatan aliran dimana sedimen yang diangkut lebih besar daripada yang
sedimen disuplai. Angkutan sedimen bertambah dengan meningkatnya tegangan
geser sedimen, gerusan terjadi ketika perubahan kondisi aliran menyebabkan
peningkatan tegangan geser pada dasar saluran, atau dapat dikatakan juga bahwa
gerusan merupakan erosi pada dasar dan tebing saluran alluvial.
Terdapat berbagai peralatan dan metode yang telah digunakan untuk pemantauan
perubahan morfologi sungai terutama untuk pengamatan gerusan pada dasar pilar
jembatan. Pemantauan gerusan pada pilar jembatan dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
pemantauan tidak tetap (portable monitoring) dan pemantauan tetap (fixed
monitoring). Pelaksanaan pemantauan tidak tetap dilakukan dengan mengukur
elevasi dasar sungai dengan manual, sedangkan pemantauan tetap dilakukan
dengan menempatkan peralatan untuk mengukur dan merekam elevasi dasar sungai
dimana data hasil pengukuran dapat diambil kemudian. (Lueker, Marr, Ellis,
Winsted, & Akula, 2010)
Menurut Lagasse, P.F, dkk. (1997) kriteria peralatan pemantau gerusan lokal yang
harus dikembangkan meliputi:
a. Kriteria wajib alat pemantau gerusan pada pilar jembatan, yaitu :
(1)Kemampuan untuk dipasang pada atau dekat pilar atau abutmen jembatan,
(2) Kemampuan untuk mengukur kedalaman gerusan maksimum dalam
akurasi +/- 1 ft, (3) Kemampuan untuk mendapatkan hasil pembacaan
kedalaman gerusan dari atas air atau dari lokasi alat (4) Kemampuan beroperasi
selama kondisi badai dan banjir
b. Kriteria alat pemantau gerusan pada pilar jembatan yang diharapkan, adalah :
(1) Kemampuan untuk pasang pada kebanyakan jembatan yang ada atau
selama pembangunan jembatan baru, (2) Kemampuan untuk beroperasi dalam
berbagai kondisi aliran, (3) Kemampuan untuk menahan es dan puing-puing,
(4) Biaya relatif rendah, (5) Tidak mudah dirusak, (6) Mudah dalam
pengoperasian dan pemeliharaan
METODOLOGI
Pengembangan peralatan yang dilakukan dengan menggunakan sistem sensor
Sonar (Sound Navigation And Ranging). Sonar merupakan sistem yang
menggunakan gelombang suara bawah air yang dipancarkan dan dipantulkan,
dimana pada awalnya digunakan untuk mendeteksi dan menetapkan lokasi obyek
di bawah laut atau untuk mengukur jarak bawah laut. Sejauh ini Sonar telah luas
digunakan untuk mendeteksi kapal selam dan ranjau air, mendeteksi kedalaman
laut, penangkapan ikan, keselamatan penyelaman, dan komunikasi di laut.
Skema cara kerja peralatan pemantauan perubahan dasar sungai ini adalah sebagai
berikut:
a. Pembacaan sensor dilakukan sensor pemantau dasar sungai dan sensor tinggi
muka air. Sensor pemantau dasar sungai diletakkan di pilar jembatan dan harus
selalu terendam, sedangkan sensor pemantau tinggi muka air diletakan di gerder
4
168
jembatan dan tidak boleh terendam air. Kedua sensor tersebut bertugas
mengirimkan data ke unit akusisi data.
b. Unit akusisi data akan menerjemahkan data hasil pembacaan kedua sensor.
c. Unit penyimpanan data lokal berfungsi untuk menyimpan data sementara
sebelum data tersebut dikirim ke control server.
d. Pengiriman data ke control server dengan perantara provider (melalui sms)
e. Control server mempunyai tugas untuk menyimpan dan mengolah data sehingga
data yang ditampilkan berupa data historis berdasarkan runtut waktu.
Untuk mengujicoba dilakukan dengan membandingkan antara hasil pengukuran
dengan alat pemantauan dan pengukuran secara manual dengan meteran dan
portable depth sounder tipe PS-7.
Gambar 1. Gambaran Umum Sistem Alat Pantau Gerusan Pada Pilar Jembatan.
Cara kerja alat ini menggunakan bantuan provaider (layanan sms). Secara umum
alur pembacaan gerusan dan TMA pada pilar jembatan adalah informasi dari
lapangan (monitoring station) dikirim melalui sms ke atau ke kantor (control
server), di control server data akan direkam terus menerus sehingga di dapatkan
data historis dan realtime. Dengan pemantauan tersebut diharapkan dapat
meminimalkan kerusakan yang terjadi pada jembatan akibat dari gerusan pada pilar
jembatan.
Pengoperasian alat pemantau gerusan lokal pada pilar jembatan
Pengoperasian alat pantau gerusan lokal pada pilar jembatan dilengkapi dengan
software aplikasi pemantauan jarak jauh level ketinggian permukaan air/kedalaman
dasar sungai. Software aplikasi ini berbasis SMS Gateway, merupakan aplikasi
yang dikembangkan bersama peralatan Multifunction Data Logger. Gambar 2
menyajikan Halaman default/ halaman muka softwareaplikasi pemantauan jarak
5
169
jauh level ketinggian permukaan air/ kedalaman dasar sungai berbasis SMS
Gateway
6
170
Salah satu tab menu utama software aplikasi ini adalah History, di dalamnya
terdapat visualisasi grafik hasil pengukuran data logger yang datanya telah diterima
dan disimpan di dalam database oleh Server Data Center. Dari Gambar 4
menunjukan visualisasi grafik history dan beberapa menu antara lain:
a. Pada groupbox visualisasi grafik dapat dipilih nama stasiun pemantauan yang
akan dilihat datanya pada combobox stasiun.
b. Pada comboboxpilih tanggal dapat dipilih tanggal pemantauan atau rentang
tanggal pemantauan.
c. Dari cara no. 1 dan no. 2 dapat dilanjutkan dengan memilih opsi paruh waktu,
bisa harian atau lamanya.
d. Klik tombol QUERY DATA untuk menampilkan grafiknya.
7
171
jembatan Serenan, Bengawan Solo. Hasil ujicoba pematauan gerusan di jembatan
Serenan, Bengawan Solo dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 1. Evaluasi kinerja alat di laboratorium.
Percobaan Pengukuran Langsung Selisih
No. Waktu
A (Cm) B (Cm) Cm A (Cm) B (Cm)
1 15:50 153 153 152 1 1
2 15:52 147 147 147 0 0
3 15:54 143 141 142 1 -1
4 15:56 140 141 137 3 4
5 15:58 134 132 132 2 0
6 16:00 131 129 127 4 2
7 16:02 125 123 122 3 1
8 16:04 119 117 117 2 0
9 16:06 113 111 112 1 -1
10 16:08 110 102 107 3 -5
11 16:10 104 102 102 2 0
12 16:12 98 96 97 1 -1
13 16:14 95 93 92 3 1
14 16:16 92 90 87 5 3
160
R² = 0,9965 Percobaan A
140
(Cm)
120 R² = 0,9901
Percobaan B
100 (cm)
80
80 100 120 140 160
Gambar 5. Grafik korelasi antara pembacaan kedalaman oleh alat dan pengukuran
langsung di laboratorium
Tabel 2. Hasil pembacaan alat pemantauan gerusan dan hasil pengukuran
langsung di lapangan (Jembatan Serenan, Sungai Bengawan Solo)
Pengukuran langsung
Pembacaan Alat (mm) Selisih (mm)
NO (mm)
DATE TIME AWLR DEPTH AWLR DEPTH AWLR DEPTH
1 12/16/2015 15:00 6.000 2.400 6.000 2.400 0 0
2 12/16/2015 16:30 5.974 2.400 6.000 2.400 26 0
3 12/16/2015 19:00 5.951 2.430 6.000 2.500 49 70
4 12/17/2015 06:30 6.532 2.430 6.500 2.500 32 70
5 12/17/2015 06:45 6.519 2.430 6.500 2.400 19 30
6 12/17/2015 09:45 6.383 2.400 6.400 2.400 17 0
7 12/17/2015 10:00 6.376 2.340 6.400 2.300 24 30
8 12/17/2015 12:00 6.315 2.460 6.400 2.500 85 40
9 12/17/2015 14:00 6.215 2.490 6.200 2.500 15 10
10 12/17/2015 14:45 6.188 2.430 6.130 2.500 58 70
11 12/17/2015 15:30 6.167 2.370 6.150 2.400 17 30
8
172
2,6
2,5 R² = 0,7181 Uji kedalaman lapangan
2,4
2,3 Linear (Uji kedalaman
2,2 lapangan)
2,3 2,35 2,4 2,45 2,5
Gambar 6. Grafik korelasi antara pembacaan kedalaman oleh alat dan pengukuran
langsung di lapangan
7
6,5 R² = 0,9624
Uji Lapangan
6
Linear (Uji Lapangan)
5,5
5,8 6 6,2 6,4 6,6
Gambar 7. Grafik korelasi antara pembacaan TMA oleh alat dan pengukuran
langsungdi lapangan
Berdasarkan hasil pembacaan alat pemantauan gerusan dengan pengukuran secara
langsung di lapang dapat diketahui bahwa selisih pembacaan tertinggi sebesar 7
cm, serta selisih rata-rata pembacaan sebesar 3.1 cm. Tingkat korelasi dapat dilihat
pada Gambar 10 dengan nilai R2 sebesar 0,718 yang menunjukan bahwa nilai antara
hasil pembacaan alat dan pengukuran langsung cukup baik tetapi belum
memuaskan. Perbedaan ini dapat terjadi karena adanya gangguan-gangguan pada
aliran sungai baik itu berupa samaph, kekeruhan air maupun posisi pemasangan alat
dan juga kecepatan aliran.Ganggua-gangguan tersebut dapat menyebabkan
gelombang yang ditransfer oleh sensor menjadi terhanggu sehingga nilai jarak
kedalaman yang di didapat menjadi tidak stabil.Dengan nilai perbedaan maksimum
7 cm dan rata-rata perbedaan sebesar 3.1 cm dapat disimpulkan bahwa alat
pemantauan gerusan dengan sensor sonar menunjukan kinerja yang masih bagus.
Korelasi tinggi muka air yang didapatkan antara pencatatan yang dilakukan oleh
alat dan dengan pengukuran langsung ditunjukan oleh Gambar 11. Tingkat korelasi
yang didapatkan sangat baik dengan nilai R2 sebesar 0,96.
Pemeliharaan alat pemantau gerusan lokal pada pilar jembatan
Alat pantau gerusan ini hampir tidak merlukan pemeliharaan, hanya pada
pemeliharaan sensor dan sumber dayanya, berikut ini disajikan prosedur
pemeliharaan alat pantau gerusan pada pilar jembatan.
a. Pemeliharaan Sensor Gerusan dan TMA
Harus dalam kondisi bersih dari kotoran dan serangga seperti debu, sarang laba-
laba dll.Bila ada gangguan dapat terlihat dari pola data yang masuk menjadi
tidak beraturan (noise).Pengecekan secara berkala selama 2-3 bulan sekali.
9
173
b. Sumber Daya
1) Solar panel: tidak boleh ada halangan seperti sampah, daun kering pada
panel. Bila panel rusak dapat terlihat pengisian aki kering tidak optimal.
Pengecekan berkala setiap 3 bulan sekali.
2) Aki kering: dalam kondisi normal, aki kering dapat digunakan sampai
dengan 3 tahun. Bila kondisi menurun, dapat dilihat dari pola grafik power
baterai yang selalu cepat drop tegangannya tidak perlu di-cek, kecuali pola
tegangan baterei drop tegangannya
DAFTAR PUSTAKA
Legasse, P. F., Richardson, E.V., Scall, J. D., & Price, G. R., 1997. Instrumentation
for Monitoring Scour at Bridge Piers and Abutments, NCHRP Report 396.
Washington DC: Transportation Research Board, National Research Council.
Lueker, M., Marr, J., Ellis, C., Winsted, V., & Akula, S. R., 2010. Bridge Scour
Monitoring Technologies: Development of Evaluation and Selection
Protocols for Application on River Bridges in Minnesota. Minnesota:
Minnesota Department of Transportation, Research Services Section.
Mulyandari, R., 2010. Kajian Gerusan Lokal Pada Ambang Dasar Akibat Variasi
Q (Debit), I (Kemiringan) dan T (Waktu). Surakarta: Jurusan Teknik Sipil,
Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret.
Verheij, H., & Hoffmans, G., 1997. Scour Manual. Rotterdam: AA Bakema.
10
174
PENGEMBANGAN KONSEP KETAHANAN AIR
KOTA PONTIANAK
Jane E. Wuysang1, 2 *, Robertus Wahyudi Triweko2 , dan Doddi Yudianto2
1 Program Doktor Teknik Sumber Daya Air, Universitas Katolik Parahyangan.
HATHI Kalimantan Barat
2 Program Studi Teknik Sipil Universitas Katolik Parahyangan
* janeewuysang@gmail.com
Intisari
Kota Pontianak sebagai pusat kegiatan perekonomian, pemerintahan, industri, dan
terkonsentrasinya penduduk mengalami pertumbuhan yang cukup pesat beberapa
tahun belakangan ini. Pertumbuhan penduduk dan perkembangan industri yang
cukup masif diikuti dengan tingginya keperluan lahan untuk industri dan rumah
tinggal, meningkatnya kebutuhan air, meningkatnya pencemaran lingkungan serta
meningkatnya limpasan permukaan. Masalah-masalah yang muncul tersebut, harus
dinyatakan dalam suatu konsep ketahanan air kota yang terukur, yang dapat
menggambarkan respon suatu kota dalam menghadapi permasalahan air, yaitu
suatu kota mempunyai kemampuan dalam menanggapi kebutuhan air, menjamin
kesehatan lingkungan dan ekosistem, menjaga keberlangsungan air, mengatasi
bencana dan kemandirian mengatasi kondisi ekstrim perubahan cuaca global.
Untuk itu ditentukan kerangka teoritik ketahanan air kota yang terdiri dari beberapa
dimensi utama, yang menjadi acuan dalam menentukan aspek yang berpengaruh
signifikan pada permasalahan tata air suatu kota, yang dipilih dan dipertimbangkan,
selanjutnya dari tiap dimensi akan dijabarkan beberapa indikator dan variabel. Hasil
dari penelitian ini adalah Kerangka Teoritik Ketahanan Air Kota Pontianak, dengan
dimensi-dimensi utama adalah ketahanan air terhadap kebutuhan dasar rumah
tangga, ketahanan air lingkungan, ketahanan air ekonomi, ketahanan air akibat
perubahan iklim/independensi, ketahanan air terhadap bencana akibat air, dan
ketahanan air kelembagaan. Indikator dan variabel dari tiap dimensi utama
disajikan dalam matrik Kerangka Teoritik Ketahanan Air Kota Pontianak.
Kata Kunci: ketahanan air, air perkotaan, dimensi, indikator, variabel
LATAR BELAKANG
Kota Pontianak merupakan salah satu kota di Indonesia yang mempunyai curah
hujan tahunan cukup tinggi yaitu berkisar 3000-4000mm. namun kelangkaan air
tetap kerap terjadi terutama pada musim kemarau dan kadar salinitas di Sungai
Kapuas yang merupakan sumber air baku Kota Pontianak melebihi toleransi yang
diijinkan. Pertumbuhan kota sebagai pusat perkonomian yang dapat dilihat dari
pertumbuhan industri dari tahun ke tahun dan jumlah tenaga kerja yang meningkat
(BPS Kota Pontianak, 2016), kecepatan pertumbuhan penduduk pada rentang
waktu 1990-2000 0,7% dan meningkat untuk rentang waktu 2000-2010 yaitu 1,8%
(BPS Kota Pontianak, 2016), urbanisasi dan perubahan tata guna lahan
1
175
menimbulkan ekses kebutuhan air dan tingkat pencemaran air yang mengalami
peningkatan pula. Namun tidak seperti daerah-daerah lainnya di Indonesia,
pemanfaatan air tanah sebagai sumber air baku tidak lazim digunakan. Hal ini
mengingat kondisi lahan pada sebagian besar jenis tanah di Kota Pontianak adalah
gambut dan air tanah yang memiliki kualitas kurang baik, sehingga penurunan
muka tanah dan air tanah hanya memberi kontribusi yang kecil karena eksplorasi
air tanah sangat sedikit sekali terjadi, bahkan dalam data dari Cipta Karya
Kalimantan Barat (2016), menunjukkan nilai 0% untuk sumber air non perpipaan.
Sumber air yang digunakan oleh masyarakat Kota Pontianak hanya mengandalkan
tampungan air hujan, sumur-sumur dan Sungai Kapuas. Sungai Kapuas sangat
memegang peranan penting dalam setiap segi kehidupan Masyarakat Kota
Pontianak, sebagai sumber air baku PDAM, kegiatan mandi cuci dan transportasi
air. Namun tingkat pemahaman akan sungai dan saluran bersih masih perlu
ditingkatkan mengingat sebagian besar masyarakat membuang sampah baik limbah
rumah tangga maupun limbah padat ke sungai dan saluran, hal ini dapat dilihat dari
data Cipta Karya Kalimantan Barat (2016) yang menyebutkan bahwa hanya 2,64%
dari total penduduk 598.097 jiwa yang telah memiliki septik tank mandiri maupun
komunal dan hanya 17,86% yang terlayani oleh truk angkut sampah. Demikian pula
yang terjadi pada industri-industri yang membuang limbahnya sembarangan dan
tidak mempunyai pengolahan limbah sendiri, data dari BLH (2014), dari 50
perusahaan yang diawasi, 16 perusahaan dikenai sanksi karena melanggar aturan
Perda no 35/2013 tentang Pengendalian Air. Untuk mengukur respon Kota
Pontianak terhadap problem kebutuhan air, pencemaran air dan ketahanan terhadap
bencana banjir dan pasang yang sering terjadi maka dikembangan suatu konsep
ketahanan air untuk skala kota. Pengembangan konsep ketahanan air kota
dimaksudkan untuk mengukur tingkat ketahanan air Kota Pontianak dalam
menanggapi kebutuhan air, menjamin kesehatan lingkungan dan ekosistem,
menjaga keberlangsungan air, mengatasi bencana dan kemandirian mengatasi
kondisi ekstrim perubahan cuaca global, sehingga dengan demikian dapat dilihat
peningkatan ketahanan air dari tahun ke tahun dan dapat menjadi acuan bagi
pemangku kepentingan untuk menentukan arah perbaikan yang diperlukan.
Ketahanan air, definisi dan dimensi. Menurut GWP (2014), ketahanan air adalah
ketahanan pada tingkatan manapun dari rumah tangga hingga global, yang berarti
bahwa setiap orang mempunyai akses pada air yang aman dalam jumlah yang
mencukupi dengan harga yang terjangkau yang membawanya pada kehidupan yang
bersih, sehat, dan produktif, dengan menjamin bahwa lingkungan alam dilindungi
dan dikembangkan. Sedangkan Mason dan Calow (2012) berpendapat bahwa
ketahanan air mempunyai arti, kecukupan air dalam kuantitas dan kualitas untuk
kebutuhan dasar rumah manusia (kesehatan, rumahtangga dan kegiatan
perekonomian) dan ekosistem, berimbangnya antara kapasitas untuk akses maupun
penggunaannya, harga terjangkau, dan dapat mengatasi bencana alam terkait air
yaitu banjir, kekeringan dan polusi. Demikian pula Cheng et al (2004) menyatakan
bahwa ketahanan air adalah akses air berish dengan harga terjangkau untuk
kehidupan yang baik serta keberlangsungan produksi pangan dengan terjaganya
lingkungan air dan mampu menghadapi bencana bajir akibat air seperti banjir dan
kekeringan. Grey dan Sadoff (2007) berpendapat pula bahwa ketahanan air harus
2
176
difokuskan pada ketersediaan air baik secara kualitas dan kuantitas untuk
kesehatan, mata pencaharian, ekosistem dan produksi yang dihubungkan untuk
manusia, lingkungan dan ekonomi. Lautze and Manthrithilake (2012) menyatakan
bahwa konsep dari ketahanan air harus terdiri dari empat komponen, yaitu
kebutuhan dasar, produsksi pertanian, lingkungan dan manajemen resiko yang
kemudian ditambahkan oleh Grey and Sadoff (2007) satu komponen yang
menyinggung mengenai isu yang berhubungan dengan air untuk keamanan nasional
atau berupa kemandirian negara terhadap ketahanan air. Berikutnya Kementerian
Pekerjaan Umum (2012) menyatakan pula dimensi ketahanan air dikembangkan
dari undang-undang sumber daya air yaitu konservasi sumber daya air, pemanfaatan
sumber daya air dan mengontrol kerusakan akibat air dengan indikator mencakup
pemanfaatan air (cukup, kritis dan kurang), manajemen banjir (tidak berpengaruh,
masyarakat terkena dampak, pengaruh lalulintas), erosi dan sedimentasi (rendah,
sedang, tinggi) dan kualitas air (perbandingan kualitas air terhadap standar). Asian
Water Development Outlook, (2013), mengembangkan sebuah kerangka ketahanan
air nasional yang komperehensif. Hal ini dilakukan dengan pendekatan dan
pengamatan yang komprehensif terhadap keamanan akan kebutuhan rumah tangga,
ekonomi, kota, lingkungan dan ketahanan suatu komunitas. Kerangka ini terdiri dari
lima dimensi utama yang saling berhubungan, bergantung dan tidak dapat dianalisa
per dimensi. Mengukur ketahanan air dalam satu dimensi saja secara simultan akan
meningkatkan atau menurunkan ketahanan dimensi yang lain dan berakibat pada
semua dimensi. Asian Water Development Outlook, (2013) dan Mason & Calow
(2012), mempunyai pendekatan yang sama terhadap lima dimensi ini, namun
Mason & Calow (2012) menambahkan keterlibatan pemerintah dalam lima dimensi
tersebut.
Ketahanan air dalam skala wilayah. Ketahanan air dalam perspektif manajemen
sumber daya air yang berkelanjutan dalam berbagai skala, baik skala nasional,
wilayah sungai, dan skala lokal, mencakup element efisiensi ekonomi, kesetaraan
sosial dan lingkungan yang berkelanjutan. Sejauh ini skala ketahanan air dinyatakan
dalam skala nasional, dengan memasukkan ketahanan air untuk pangan dan energi.
Beberapa lainnya ketahanan air dikembangkan untuk skala negara, wilayah sungai,
kota dan skala komunitas. Dalam beberapa kasus, ketahanan air dapat diterapkan
untuk wilayah yang lebih spesifik, yaitu kota area metropolitan, delta atau
kepulauan. Walaupun definisi ketahanan air dpat diterapkan untuk berbagai skala,
namun tiap level tingkatan wilayah juga mempunyai issu-issu yang berbeda yang
disesuaikan dengan kondisi pada suatu wilayah tersebut (Beek and Arriens, 2014).
Indikator dan variabel yang berpotensi untuk tiap dimensi utama ketahanan air.
Indikator dan variabel yang akan dipilih harus mempunyai beberapa syarat yaitu
relevan, data tersedia, kredibel, cakupan luas, dan independen secara statistik,
demikian pula harus mempertimbangkan kuantitas dan kualitas air di saluran,
pengaruh keadaan iklim dan aktifitas manusia, dan respon sosial. Setelah indikator-
indikator tersebut terpilih maka harus dilakukan lagi analisis sensitifias, proses
validasi dengan berbagai skenario sebelum akhirnya dinyatakan bahwa indikator-
indikator tersebut dapat diterima (Global Water Partnership, 2014).
3
177
Ketahanan air dan manajemen sumber daya air yang berkelanjutan. Ketahanan air
dan manajemen sumber daya air yang berkelanjutan secara umum mempunyai
obyek yang sama yaitu meningkatkan kondisi yang berhubungan dengan air untuk
kehidupan manusia yang lebih baik. Manajemen sumber daya air yang
berkelanjutan dan ketahanan air mempunyai hubungan simbiotik dan dapat dilihat
pada siklus perencanaan manajemen sumber daya air yang berkelanjutan (Gambar
1). Ketahanan air mengukur tujuan-tujuan tersebut dengan mengidentifikasi
dimensi-dimensi ketahanan air dan memilih indikator yang spesifik untuk
mengukurnya (Beek dan Arriens, 2014). Selanjutnya Triweko (2016) menyatakan
bahwa kota-kota di Indonesia yang menghadapi berbagai permasalahan air yang
kompleks yaitu antara lain yang berhubungan dengan suplai kebutuhan air, polusi
air, bencana akibat air, penurunan air tanah dan minimnya manajemen sampah
setidaknya menerapkan manajemen air perkotaan yang berkelanjutan yang
merupakan bagian dari manajemen sumber daya air yang berkelanjutan. Hubungan
ini mengintegrasikan pelayanan supali air, manajemen limbah, manajemen banjir,
namajemen air tanah dan manajement persampahan.
Gambar 1. Hubungan antara Manajemen Sumber Daya Air yang Berkelanjutan dan
Ketahanan Air (Beek dan Arriens, 2014)
Dari definisi-definisi diatas maka ketahanan air merupakan suatu kondisi
kemampuan suatu komunitas/wilayah merespon permasalahan keairan yang cukup
kompleks yang melibatkan semua aspek dari segi teknologi infrastruktur, stabilitas
sosial ekonomi, budaya, kelembagaan, dan geografis. Dalam konteks ketahanan air
Kota Pontianak dapat dikatakan bahwa ketahanan air Kota Pontianak adalah
kemampuan dalam menanggapi kebutuhan air, menjamin kesehatan lingkungan dan
ekosistem, menjaga keberlangsungan air, mengatasi bencana dan kemandirian
mengatasi kondisi ekstrim perubahan cuaca global dengan tetap memperhatikan
perbedaan kepentingan dan kondisi sosial budaya Kota Pontianak. Namun sebelum
ditentukannya dimensi utama, indikator, dan variabel, dirumuskan terlebih dahulu
4
178
konsep ketahanan air kota yang menjadi filosofi dari penelitian ini. Dari konsep
yang telah dirumuskan kemudian ditentukan arah pengembangan indikator, dan
variabel dari dimensi-dimensi utama untuk Kerangka Pikir Teoritis Ketahanan Air
Kota Pontianak. Indikator-indikator dan variabel-variabel yang dipilih berfungsi
untuk menyederhanakan informasi-informasi yang relevan yang terjadi di Kota
Pontianak, mengidentifikasi kecenderungan dan fenomena dan dapat dijelaskan
dengan mudah kepada para pengguna dan para pengambil keputusan. Data-data
yang akan digunakan harus tersedia, komprehensif, kredibel, relevan dan bersifat
universal. Jumlah variabel yang akan digunakan dari indikator-indikator harus
mencakup kompleksitas masalah atau proses, namun mudah dimengerti oleh para
pengguna dan para pengambil keputusan.
METODOLOGI STUDI
Fokus dar studi ini adalah menentukan dimensi-dimensi yang memberi pengaruh
besar terhadap ketahanan air kota khususnya Kota Pontianak. Dari studi literatur
maka akan dikembangkan suatu kerangka teoritik ketahanan air kota yang terdiri
dari beberapa dimensi utama, yang menjadi acuan dalam menentukan aspek yang
berpengaruh signifikan pada permasalahan tata air kota.
Langkah pertama adalah mengembangkan kerangka teoritik ketahanan air kota
yang terdiri dari beberapa dimensi utama yang dipilih. Langkah kedua adalah
menentukan dimensi-dimensi yang relevan dengan ketahanan air kota, sebagai
contoh dimensi ketahanan air rumah tangga, dimensi ketahanan air lingkungan dan
dimensi ekonomi. Dimensi yang dipilih bergantung pada situasi dan subyektifitas.
Langkah ketiga adalah memilih indikator dan variabel yang menggambarkan
karakteristik dari tiap dimensi utama. Indikator yang dipilih setidaknya dapat
merepresentasikan issu-issu yang berkembang, kepentingan kota dan dapat
menjawab arah pengembangan penanganan permasalahan kota tersebut. Studi ini
juga melibatkan penelitian pada berbagai indeks yang telah ada, yaitu Water
Poverty Index (Lawrence et al, 2002; Sullivan, et al, 2003; Garriga dan Foguet,
2009), Sustainability Index (Attar dan Mojahedi, 2009; Carvalho et al, 2009;
Sondoval-Solis et al, 2011; and Linhos and Ballweber, 2015), Water Stress Index
(Falkenmark, 1989), Human Development Index (BPS, 2015), Water Security Index
(Lautze and Mathrithilake, 2012; Asian Water Development Outlook, 2013).
Sebagai contoh, untuk dimensi utama ketahanan air rumah tangga, salah satu
indikator adalah akses air perpipaan dan variabel-variabelnya tidak ada akses,
persentase terlayani dan konflik sumber air.
5
179
kebutuhan air masyarakat dominan adalah air permukaan dan kecenderungan
masyarakat dalam menyikapi pencemaran air. Kerangka teoritis Konsep Ketahanan
Air Kota Pontianak yang dikembangkan ini terdiri dari 6 dimensi yaitu 1)
Ketahanan air terhadap Kebutuhan Dasar Rumah Tangga, 2) Ketahanan Air
Lingkungan, 3) Ketahanan Air Ekonomi, 4) Ketahanan Air terhadap Perubahan
Iklim/Independensi, 5) Ketahanan Air terhadap Bencana, dan 6) Ketahanan Air
terhadap Kelembagaan, sedangkan untuk indikator-indikator dan variabel-variabel
yang dikembangkan akan disajikan dalam Gambar 2 dan Tabel 1.
Ke tahanan
Air
te rhadap
Ke butuhan
Dasar
Rumah
Tangga
Ketahanan
te rhadap Ketahanan
Kelembagaa Air
n Lingkungan
Ke tahanan
Air Kota
Ketahanan
Air Ketahanan
te rhadap Air
Be ncana
Ekonomi
Ketahanan
Air
te rhadap
Perubahan
Iklim/Indep
e ndensi
Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa indikator dan variabel yang
dikembangkan dari Kerangka Teoritik Ketahanan Air Kota mempunyai hubungan
yang sangat kuat dengan level kota dan kondisi suatu kota sehingga indikator dan
variabel untuk tiap kota akan sangat bervariatif yang disesuaikan dengan kondisi
kota tersebut. Tiap dimensi, indikator dan variabel mempunyai hubungan satu sama
lain dan bersinergi dalam kerangka ketahanan air. Dimensi, indikator dan variabel
yang dipilih dianggap telah menggambarkan kondisi Kota Pontianak sebagai kota
yang berada di hilir Sungai Kapuas, sebagai pusat perkonomian yang dinamis, pusat
pemerintahan dan terpusatnya penduduk. Satu hal yang cukup signifikan berbeda
adalah masyarakat Kota Pontianak tidak mengandalkan air dari air tanah sebagai
sumber air baku sehingga tidak ada pengaruh penurunan muka air tanah di Kota
Pontianak pada variabel yang dipilih.
6
180
Tabel 1. Dimensi Utama, Indikator dan Variabel Ketahanan Air Kota Pontianak
Dimensi
No Maksud Indikator Variabel
Utama
1 Ketahanan Akses air perpipaan, akses - tidak ada akses
Air air non perpipaan dan akses Akses air
- persentase terlayani
Kebutuhan sanitasi perpipaan
- konflik sumber air
Dasar - tidak ada akses
Rumah Akses air non
- persentase yang mengakses
tangga perpipaan
- kualitas air
- sanitasi individu
- akses sanitasi komunal
Akses sanitasi
- air limbah rumah tangga
- drainase lingkungan
2 Ketahanan Pengolahan air limbah, - tidak ada akses
Akses limbah
Air Ling- sistem drainase, kesehatan - persentase terlayani
perkotaan
kungan saluran, termasuk tekanan - akses Instalasi Pengolahan Limbah Terpusat
/ancaman pada sistem - bangunan-bangunan drainase
saluran, kerentanan/daya - sistem jaringan drainase terkoneksi
tahan pada perubahan aliran Sistem drainase - sistem jaringan drainase terbuka/tertutup
alamiah perkotaan
- intervensi bahan pencemar air
- kondisi aquatik badan saluran
3 Ketahanan Ekonomi produktif dalam - air perpipaan
Air industri, termasuk - air non perpipaan
Ekonomi produktivitas air industri - kontinuitas sumber air
dikaitkan dengan tekanan Akses sumber air
- kualitas sumber air
penyediaan konsumsi air - persentase tingkat konsumsi air
industri - konflik pemanfaatan air perpipaan
- akses pengolahan limbah mandiri
Akses sanitasi
- akses sanitasi industri
4 Ketahanan Penyimpanan air dalam Akses penyim- - akses penyimpanan
Air menghadapi tekanan panan cadangan - persentase yang mengakses
terhadap variabilitas curah air pemerintah - jangka waktu penyimpanan
Perubahan hujan/musim yang berubah- Akses penyimpan- - akses penyimpanan mandiri
Iklim/ ubah an cadangan air - persentase kepemilikan penyimpanan
Independe mandiri/ rumah - jangka waktu penyimpanan
nsi tangga
5 Ketahanan Daya tahan berdasarkan Akses informasi - akses data kondisi cuaca dari pihak
Air jenis bencana (banjir, keke- kondisi cuaca berwenang
terhadap ringan, angin badai, dan terkini - akses antisipasi kondisi cuaca terkini
Bencana banjir rob); mengukur jang- Tingkat - persentase pemahaman teknologi
kauan (kepadatan penduduk, pemahaman - akses telekomunikasi
laju partumbuhan), keren- teknologi - akses peringatan dini
tanan penduduk (tingkat - kepadatan penduduk
kemiskinan, penggunaan - laju pertumbuhan penduduk
lahan) dan kemampuan Kondisi
- tingkat kondisi ekonomi penduduk
meng-atasi (tingkat perkem- masyarakat - pemanfaatan lahan
bangan telekomunikasi) - tingkat pendidikan masyarakat
6 Ketahanan Daya tahan berdasarkan - institusi yang mengatur sumber air
Air institusi dan regulasi yang - institusi yang mengatur drainase
terhadap berkenaan dengan variabel Institusi - institusi yang mengatur lingkungan
Kelem- tertentu, tingkat kepatuhan - institusi yang mengatur sanitasi lingkungan
bagaan masyarakat terhadap - aturan mengenai sumber air
regulasi tersebut dan kerja - aturan mengenai drainase
sama antara lingkungan Regulasi - aturan mengenai lingkungan
untuk menjaga regulasi - aturan mengenai sanitasi
tersebut diterapkan - persentase kepatuhan masyarakat
- kerjasama antara masyarakat dan pemerintah
peran serta
- kebijakan & kearifan lokal masy. setempat
masyarakat
- persentase kepatuhan masyarakat
7
181
Rekomendasi
Rekomendasi dari penelitian ini adalah melanjutkan penelitian dengan
mengembangkan persamaan-persamaan yang akan digunakan untuk mengukur tiap
dimensi, indikator dan variabel dengan sebelumnya memberikan persentase
pemberat (weight coefficient) pada tiap dimensi, indikator dan variabel, sehingga
dapat mengukur indeks ketahanan air Kota Pontianak
REFERENSI
Asian Water Development Outlook, 2013. Measuring Water Security in Asia and
the Pacific. Asia Development Bank. Manila.
Attari, J., and Mojahedi, S.A., 2009. Water Sustainability Index: Application of
CWSI for Ahwaz County. World Environmental and Water Resources
Congress 2009 ASCE Great Rivers.
Badan Pusat Statistik Indonesia, 2015. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik
Indonesia.
Beek, Eelco van., and Arriens, Wouter L., 2014. Water Security, Putting the
Concept into Practice. Tec Background Paper. Global Water Partnership,
Stockholm
Carvalho, SCP De., KJ Carden and NP Armitage, 2008. Application of a
sustainability index for integrated urban water management in Southern
African cities: Case study comparison – Maputo and Hermanus. Water SA
Vol. 35 No. 2 (Special WISA 2008 edition) ISSN 0378-4738
Cipta Karya Kalimantan Barat, 2016. Standar Pelayanan Minimal. Randal Cipta
Karya, Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Kalimantan Barat, Pontianak.
Cheng, J., Yang, X., Wei, C., and Zhao, W., 2004. Discussing water security. China
Water Resources 1: halaman 21–23.
Cook, C. and K. Bakker, 2012. Water Security: Debating an emerging paradigm.
Global Environmental Change 22: halaman 94-102.
Direktorat Jenderal Cipta Karya, 2015. Kebijakan Pembinaan dan Pengembangan
Infrastruktur Permukiman. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat Republik Indonesia, Jakarta.
Falkenmark, M. & Lundqvist, J., 1989. Toward Water Security; Political
Determination and Human Adaptation Crucial. Natural Resources Forum,
Vol 21, No. 1, Elsevier: halaman 37-51.
8
182
Garriga, Ricard Giné. and Foguet, Agustí Pérez, 2010, Improved Method to
Calculate a Water Poverty Index at Local Scale, Journal Of Environmental
Engineering ASCE : halaman 1287-1298.
Global Water Partnership, 2012. Increasing Water Security, A Development
Imperative. Perspective Paper. Global Water Partnership, Stockholm.
Global Water Partnership, 2014. Assessing Water Security with Appropriate
Indicators. Proceedings from the GWP Workshop. Global Water Partnership,
Stockholm.
Grey, D. and Sadoff, C. W., 2007. Sink or Swim? Water Security for Growth and
Development. Water Policy, 9 (6): halaman 545-571.
Kementerian Pekerjaan Umum (DGWRD), 2012. Java Water Resources Strategic
Study. Kementerian Pekerjaan Umum / Bappenas, Jakarta.
Lautze, J. and Manthrithilake, H, 2012. Water security: old concepts, new
package, what value?, Natural Resources Forum Volume 36 (2): halaman
76–87.
Lawrence, Peter, Meigh, Jeremy, Caroline Sullivan, 2003. The Water Poverty
Index: an International Comparison. United Nations Journal, Vol. 27(3),
2003; halaman 189-199.
Mason, Nathaniel., dan Roger Calow, 2012. Water Security: From Abstract
Concept to Meaningful Metrics An Initial Overview of Options. Discussion
Paper 357,Overseas Development Institute, London UK.
Sandoval-Solis, S., D. C. McKinney, M. ASCE, dan D. P. Loucks, M. ASCE, 2011.
Sustainability Index for Water Resources Planning and Management, Journal
Of Water Resources Planning And Management: halaman 381-390,
September-October ASCE.
Sullivan, CA., Meigh, JR., Giacomello, A.M., Fediw, T., Lawrence, P., Samad, M.,
Mlote, S., Hutton, C., Allan, J.A., Schulze, R.E., Dlamini, D.J.M., Cosgrove,
W., Priscoli, Delli J., Gleick, P., Smout, I., Cobbing, J., Calow, R., Hunt, C.,
Hussain, A., Acreman, M.C., King, J., Malomo, S., Tate, E.L., O’Regan, D.,
Milner, S., and Steyl, I., 2003. The Water Poverty Index, Development and
Application at the Community Scale. Natural Resources Forum 27: halaman
189-199.
Triweko, R.W., 2016. Urban Water Security for Indonesian Cities. Joint Seminar
between Parahyangan Chatolic University and Hohai University, 18 Juli
2016, Bandung.
9
183
DEBIT SEDIMEN SUSPENSI PADA BELOKAN SALURAN
TAMPANG TRAPESIUM
Bambang Yulistiyanto1* , Bambang Agus Kironoto1 ,
Oggi Heicqal Ardian2 , dan Miskar Maini2
1 Program Studi Teknik Sipil dan Lingkungan, FT, Universitas Gadjah Mada
2 Program Studi S2 Teknik Sipil, FT, Universitas Gadjah Mada
*yulis@ugm.ac.id
Intisari
Karakteristik aliran sedimen suspensi pada suatu belokan berbeda dibandingkan
dengan aliran pada saluran lurus. Pada belokan saluran dijumpai endapan sedimen
pada sisi tebing dalam (inner bank), dan sebaliknya pada sisi luar belokan (outer
bank). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan debit sedimen suspensi
pada suatu belokan dengan tampang trapesium, terutama dikaitkan dengan lokasi
pengambilan sampel.Penelitian didasarkan pada data pengukuran kecepatan dan
konsentrasi sedimen suspense di tiga lokasi belokan tampang trapesium pada
Saluran Irigasi Mataram Yogyakarta. Sudut dan jari-jari belokan bervariasi,
yaitumasing-masing, α=36º dan R=176 m, α=54º dan R=113,5 m dan α=73º dan
R=126 m. Kecepatan aliran diukur dengan menggunakan alat Propeller
Currentmetersedangkan konsentrasi sedimen suspensi diukur dengan Foslim
probe.Hasil analisis terhadap data pengukuran memperlihatkan bahwa kecepatan
aliran mengalami percepatan dan perlambatan ketika melalui suatu belokan, dimana
kecepatan aliran meningkat padasisi luar belokan dan menurun pada sisi dalam
belokan. Nilai konsentrasi sedimen suspensi rata-rata tampang padasisi dalam lebih
besar dari pada padasisi luar belokan. Debit sedimen suspensi pada belokan saluran
tampang trapesium dapat ditentukan dari pengukuran kecepatan dan konsentrasi
sedimen suspensi pada posisi z/B = 0,27 (sisi dalam) dan pada posisi z/B = 0,86 (sisi
luar belokan) dimana B adalah lebar saluran trapesium.
Kata Kunci: belokan, kecepatan, konsentrasi sedimen suspensi, debit sedimen
suspensi.
PENDAHULUAN
Karakteristik aliran sedimen suspensi pada suatu belokan saluran relatif berbeda
dibandingkan dengan aliran pada saluran lurus. Pada belokan saluran sering
dijumpai adanya endapan sedimen pada sisi tebing dalam (inner bank), dan
sebaliknya pada sisi luar belokan (outer bank) sering dijumpai adanya gerusan
tebing dan dasar sungai, yang sering disebabkan oleh adanya variasi kecepatan
aliran pada sisi dalam dan sisi luar belokan.Untuk menentukan debit sedimen
suspensi pada suatu saluran, metode yang paling banyak digunakan dan cukup
dapatdiandalkan adalah dengan cara pengambilan sampelsedimen suspensi secara
langsung di lapangan, bersama-sama dengan pengukurandebit aliran/kecepatan
aliran. Debit sedimen suspensi dapat diperolehdengan cara mengalikan konsentrasi
1
184
sedimensuspensi ⎯ dari hasil pengambilan sampel sedimen⎯ dengan debit aliran.
Idealnya pengambilansampel sedimen suspensi dilakukan dari tepi saluranyang
satu ke tepi saluran lainnya, dan dari dasarsaluran sampai dengan muka air. Namun
banyaknyakendala yang dihadapi selama pengukuran dilapangan, mengakibatkan
metode baku pengambilansampel sedimen suspensi seringkali tidak dapatdilakukan
secara benar benar, yang berakibat pada ketidaktelitian hasilpengukuran debit
sedimen suspensi. Karena kendala lapangan,pengambilan sampel sedimen suspensi
seringkalihanya dilakukan pada titik-titik tertentu saja padaarah melintang /
transversal, biasanya pada titiktitikyang mudah untuk dijangkau, bahkan tidak
jarangpengambilan sampel hanya dilakukan di tepi saluransaja.
Kajian tentang lokasi pengambilan sampel sedimen suspensi arah melintang
(transversal) sudah dilakukan oleh Kironoto, dkk (2004), untuk data pengukuran di
laboratorium, dankajian oleh Kironoto dan Ikhsan (2005), untuk data lapangan
(saluran irigasi Mataram) dan Kironoto (2007) serta Kironoto dan Yulistiyanto
(2016a), baik untuk tampang segi empat maupun tampang trapesium; namun
kajian-kajian tersebut masih terbatas hanya pada saluran lurus saja.
Mempertimbangkan permasalahan dan kondisi sebagaimana disebutkan di
atas,dalam tulisan ini akan dilakukan kajian untuk saluran menikung (belokan
saluran), yaitu di lokasi saluran irigasi Mataram, Yogyakarta.
Tinjauan Pustaka
Coleman (1981) melaporkan bahwaadanya bed konsentrasi sedimen suspensi
mempengaruhi bentuk distribusi kecepatan dandistribusi konsentrasi sedimen
suspensi.Kironoto (2007) dan Kironoto dan Yulistiyanto (2016)
melakukanpenelitianaliran sedimen suspensipada saluran lurusuntuk mempelajari
korelasi antara lokasi pengambilan sampel sedimensuspensi (dan debit aliran)
dengan debit sedimensuspensi rata-rata tampang. Dari hasil penelitianyang
dilakukan diketahui bahwa debit sedimensuspensi yang ditentukan berdasarkan
data sampelsedimen suspensi di tepi saluran akan memberikanprediksi debit
sedimen suspensi yang terlalu kecil,sebaliknya bila didasarkan pada sampel
sedimen ditengah saluran akan memberikan prediksi yang terlalu besar.
Sehubungan dengan itu, telahdiusulkan suatu faktor koreksi, bilamanapengambilan
sampel sedimen suspensi tetapdilakukan pada titik-titik tertentu pada
arahtransversal. Lokasi titik pengambilan sampelsedimen suspensi arah transversal
yang memberikannilai faktor koreksi 1, terjadi pada posisi z = 0,195B ≈0,2 B, untuk
tampang segi empat, danz = 0,3 Buntuk tampang trapesium, dengan B adalah lebar
saluran.
Analisis aliran yang terjadi pada tikungan saluran terbuka lebih kompleks jika
dibandingkan dengan aliran saluran terbuka pada saluran lurus, dikarenakan aliran
pada saluran terbuka yang menikung akan mengalami perubahan struktur aliran
seperti kecepatan sekunder, kecepatan aliran, distribusi kecepatan, dan tegangan
geser yang disebabkan oleh adanya gaya sentrifugal. Selain itu, adanya kecepatan
aliran sekunder menyebabkan terjadinya aliran spiral yang sangat mempengaruhi
pada proses perubahan karakteristika aliran dan morfologinya, sebagaimana
dilaporkan oleh Blanckaert dan Graf(2001) dan Kironoto, dkk (2012).
2
185
Landasan Teori
Dengan berdasarkan data pengukuran distribusi kecepatan, selanjutnya dapat
dihitung kecepatan rata-rata kedalaman, Uy, dengan menggunakan persamaan
sebagai berikut (Graf, 1998):
D
1
U y u y dy (1)
D0
Kecepatan rata-rata tampang,U,dapat dihitung dengan menggunakan persamaan
berikut:
U
U yi Ayi (2)
Ai
Sehingga, debit aliran, Q, dapat ditentukan dengan persamaan:
Q UA (3)
Dengan prinsip sama, dengan berdasarkan data hasil pengukuran distribusi
konsentrasi sedimen suspensi dapat dihitung nilai konsentrasi sedimen suspensi
rata-rata kedalaman sebagai berikut:
D
1
Cy
Da 0
cdy (4)
C
C A yi yi
(5)
Ai
Sehingga debit sedimen suspensi pada setiap tampang dapat ditentukan dengan
mengalikan kecepatan rata-rata tampang aliran dengan konsentrasi sedimen
suspensi rata-rata tampang, sebagai berikut:
Q s U .C (6)
METODE PENELITIAN
Data yang digunakan untuk analisis dalam tulisan inimerupakan data dari hasil
pengukuran langsung lapanganpada Saluran Irigasi Mataram, Yogyakarta.
Pengukuran dilakukan pada tiga lokasi belokan dengan sudut dan radius
kelengkungan yang berbeda. Lokasi belokan pertama mempunyai sudut 360 dengan
radius kelengkungan 176 m, Lokasi belokan kedua dengan sudut 54º dengan radius
kelengkungan 113,5 m dan lokasi belokan ketiga dengan sudut 73º dengan radius
kelengkungan 126 m; lokasi penelitian ditunjukkan pada Gambar 1.Peralatan utama
yang digunakan pada penelitian iniadalah propeller current meter untuk mengukur
kecepatan aliran dan opcon probe untuk mengukur konsentrasi sedimen suspensi.
3
186
Pengukuran lapangan dilakukan di Saluran Irigasi Mataram pada saluran berbelok
dengan tampang saluran berbentuk trapesium.
Sebanyak 165 set data pengukuran distribusi kecepatan dan distribusi konsentrasi
sedimen suspensi digunakan dalam penelitian ini. Pengukuran utama yang
dilakukan meliputi pengukuran kecepatan dengan menggunakan propeller
currentmeterdan pengukuran konsentrasi sedimen suspensi dengan menggunakan
Opcon probe. Pada setiap lokasi belokan dilakukan pengukuran pada 5 lokasi cross
section, seperti ditunjukkan pada Gambar 2, dan pada setiap lokasi cross section
dilakukan pengukuran distribusi kecepatan (dan distribusi konsentrasi sedimen
suspensi) di 11 lokasi vertikal pada arah transversal saluran. Pada Gambar 2
diperlihatkan lokasi cross section pada setiap belokan saluran, sedangkan pada
Gambar 3, diperlihatkan lokasi pengukuran distribusi kecepatan dan distribusi
konsentrasi sedimen suspensi pada posisi-posisi vertikal (arah tranversal), dari sisi
dalam ke sisi luar belokan. Parameter utama hasil pengukuran diberikan pada
Tabel 1.
S5
S4
S3
S1 S2
4
187
Gambar 3. Lokasi pengukuran vertikal pada setiap tampang melintang
Run r R α ds Ws B Sw U C Q Qs
(m) (m) ( o ) (mm) (m/s) (m) (-) (m/s) (gr/ltr ) (m3 /s) (gr/s)
FT1S1 176 0,779 0 0,0143 0,000214 10,80 0,00007 0,311 1,101 2,745 3029,414
FT1S2 176 0,773 9 0,0143 0,000224 10,50 0,00007 0,324 0,684 2,740 1876,902
FT1S3 176 0,709 18 0,0143 0,000214 10,40 0,00007 0,277 0,541 2,124 1150,930
FT1S4 176 0,667 26 0,0143 0,000224 9,90 0,00007 0,321 0,742 2,222 1652,140
FT1S5 176 0,725 36 0,0143 0,000224 10,00 0,00007 0,291 0,694 2,220 1531,844
FT2S1 126 0,685 0 0,0160 0,000263 10,00 0,00010 0,300 0,542 2,147 1164,023
FT2S2 126 0,659 18 0,0160 0,000263 9,20 0,00010 0,330 0,631 2,113 1336,692
FT2S3 126 0,742 36 0,0160 0,000275 10,40 0,00015 0,397 1,584 3,201 5050,432
FT2S4 126 0,590 54 0,0160 0,000281 9,50 0,00015 0,364 0,360 2,113 765,588
FT2S5 126 0,615 73 0,0160 0,000269 9,65 0,00015 0,385 0,722 2,368 1818,921
FT3S1 113,5 0,590 0 0,0132 0,000180 9,20 0,00020 0,430 1,258 2,421 3037,775
FT3S2 113,5 0,559 14 0,0132 0,000180 8,90 0,00020 0,376 1,072 1,937 2074,406
FT3S3 113,5 0,555 27 0,0132 0,000188 8,80 0,00020 0,360 0,632 1,841 1141,626
FT3S4 113,5 0,521 41 0,0132 0,000192 8,85 0,00020 0,389 0,607 1,852 1126,182
FT3S5 113,5 0,615 54 0,0132 0,000184 9,50 0,00020 0,376 0,801 2,289 1798,436
5
188
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Distribusi Kecepatan
Trendhasil pengukuran distribusi kecepatan secara umum masih sama dengantrend
distribusi kecepatan logaritmik yang biasa dijumpai pada saluran lurus, kecuali di
dekat muka air, dimana bentuk distribusi kecepatan memperlihatkan trend yang
agak berbedauntuk lokasi vertikal yang berbeda pada sisi dalam dan sisi luar
belokan, seperti diperlihatkanpada Gambar 4.
Distribusi Kecepatan
Belokan lokasi 3, tampang 3 (27o ) L3S3V1
1,00 L3S3V2
L3S3V3
0,80 L3S3V4
L3S3V5
0,60 L3S3V6
y/D
L3S3V7
0,40
L3S3V8
0,20 L3S3V9
L3S3V10
0,00 L3S3V11
0,00 0,50 1,00 1,50
uy/Uy
6
189
belokan saluran, djumpai kondisi berbeda, yang kemungkinan disebabkan karena
adanya perubahan karaktersitik aliran pada belokan, dimana terjadi aliran sekunder,
seperti ditunjukkan pada lokasi belokan 1, penampang 5.
1,0
0,8
0,2 0,6
(m/s)
0,4
0,1
Kecepatan Rata-rata Vertikal
0,2
Konsentrasi Sedimen Rata-rata Vertikal
0 0,0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Lebar Penampang Saluran, B (m)
Pada Gambar 7 diperlihatkan nilai (UyCy) / (U.C) yang diplotkan untuk seluruh
lebar saluran (arah transversal), dimana Uy dan Cy masing-masing adalah
kecepatan dan konsentrasi sedimen suspensirata-rata kedalaman yang dihitung
dengan Persamaan 1 dan Persamaan 4, dan Uy dan C adalah kecepatan dan
konsentrasi sedimen suspensirata-rata penampang yangdihitung dengan Persamaan
2 dan 5; nilai-nilai ini diberikanpada Gambar 7. Nilai (Uy Cy) / (UC) sama dengan
1, yang berarti bahwa debit sedimen suspensi dari masing-masing penampang
saluran trapesium dapat ditentukan dari pengukuran kecepatan dan sedimen
7
190
suspensi rata-rata kedalamanpada posisi z/Binner bank = 0,27 dan pada posisi
z/Bouter bank = 0,86. Berdasarkan kurva yang diperoleh pada Gambar 7, dengan
mendefenisikan Ctez/B = (UyCy) / (U.C), jika kecepatan dan sedimen suspensi rata-
rata kedalamandiukurdi suatulokasi tertentu pada arah transversal dari suatu
belokan saluran, debit sedimen suspensi, Qs, dapat ditentukan menggunakan
persamaan berikut:
Qs U .C U y .C y z/B / Ctez / B (7)
dimana 𝐶𝐶𝑡𝑡𝑒𝑒𝑧𝑧/𝐵𝐵 adalah faktor koreksi untuk nilai tertentu z/B, yang dapat ditentukan
dari Gambar7; untuk z/Binner bank = 0,27 dan pada posisi z/Bouter bank = 0,86,
nilai 𝐶𝐶𝑡𝑡𝑒𝑒𝑧𝑧/B= 1.
1,4 Outer Bank
Inner Bank
1,2
1
(Uy.Cy)/(U.C)
0,8
0,6 Rata-rata Lokasi 1
Rata-rata Lokasi 2
0,4 Rata-rata Lokasi 3
Fitting Curve Rata-rata Lokasi 1
0,2 Fitting Curve Rata-rata Lokasi 2
Fitting Curve Rata-rata Lokasi 3
0
0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1
z/B
Gambar 7. Plot debit sedimen suspensi terhadap z/B, di 3 lokasi belokan Saluran
8
191
UCAPAN TERIMA KASIH
Tulisan ini merupakan salah satu keluaran dari penelitian oleh Kironoto dan
Yulistiyanto (2016a).Penulis mengucapkan terima kasih kepada Lembaga
Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) UGM atas alokasi dana
yang diberikan untuk pelaksanaan penelitian ini.
REFERENSI
Blanckaert, K., dan Graf, W. H., 2001. Mean flow and turbulence in open channel
bend, J. Hydr. Engrg, Vol. 127, pp 835 – 847
Coleman, N. L., 1981. Velocity profiles with suspended sediment. J. Hydr. Res.,
19(3), 211–229.
Graf, W.H., 1998. Fluvial Hydraulics, Published by John Wiley & Son Ltd, West
Sussex, UK.
Kironoto, B.A., dan Yulistiyanto, B., 2016a. Metode Pengambilan Sampel Sedimen
suspense Sebagai Dasar Penentuan Debit Sedimen Suspensi pada Saluran
Buatan dan Sungai Alami. Laporan Kemajuan Penelitian Unggulan
Universitas Gadjah Mada, Th. Anggaran 2016, Lembaga Penelitian,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Kironoto B.A., dan Yulistiyanto, B., 2016b. The Simplified of Suspended Sediment
Measurement Method for Predicting Suspended Sediment Load as a Basic of
Reservoir Capacity Design as Renewable Energy Resource, International
Journal Of Renewable Energy Research, Vol.6, No.1, 2016.
Kironoto, B.A., Yulistiyanto, B., Istiarto, Sumiadi, A. Ariyanto, A., 2012.Pengaruh
Tegangan Geser Dasar Terhadap Perubahan Dasar Pada Saluran Menikung,
disajikan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan HATHI XXIX, Bandung.
Kironoto, B.A., 2007.Kajian Lokasi Pengambilan Sampel Sedimen Suspensi Arah
Transversal Terhadap Nilai Konsentrasi Sedimen Suspensi Rata-rata
Tampang, Dinamika Teknik Sipil Volume 7 No.2, 101 - 108, Yogyakarta
Kironoto, B.A. dan Ikhsan, C., 2005. Kajian Metode Pengambilan Sampel Sedimen
Suspensi Sebagai Dasar Penentuan Debit Sedimen Pada Saluran Terbuka,
Penelitian Hibah Bersaing XII/2-Th. Anggaran 2005, Lembaga Penelitian,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Kironoto, B.A., Andoyono, T. Yustiana, F, dan Muharis, C., 2004. Kajian Metode
Pengambilan Sampel Sedimen Suspensi Sebagai Dasar Penentuan Debit
Sedimen Pada Saluran Terbuka, Penelitian Hibah Bersaing XII/1-Th.
Anggaran 2004, Lembaga Penelitian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
9
192
MODEL PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM
PENGELOLAAN BENDUNGAN SAMBOJA
Rudi Yunanto1*, Andi Supriyatna1, Imam Choedori2 dan Mislan3*
1
BWS Kalimantan III-Ditjen SDA-Kementerian PUPR,
HATHI Cabang Kalimantan Timur
2
DPU Kalimantan Timur/ HATHI Cabang Kalimantan Timur
3
Jurusan Fisika FMIPA Univ. Mulawarman/HATHI Cabang Kalimantan Timur
* rudiyunanto@gmail.com; airmasadepan@yahoo.co.id
Intisari
Bendungan merupakan infrastruktur penting dalam pengelolaan sumber daya air
karena memiliki fungsi konservasi, pendayagunaan dan pengengendalian daya
rusak air. Namun di sisi lain bendungan menghadapi banyak permasalahan yaitu
menurunnya pasokan air dari hulu, meningkatnya lahan kritis di daerah tangkapan
air, meningkatnya sedimentasi dan menurunnya kualitas air. Permasalahan
tersebut diakibatkan pengelolaannya tidak terpadu dan tidak menyertakan seluruh
pemangku kepentingan, diantaranya tidak melibatkan partisipasi masyarakat di
sekitar bendungan. Dalam operasi dan pemeliharaan bendungan, pengelola
bendungan diharapkan mampu mengembangkan peran dan partisipasi masyarakat
senyata mungkin. Penelitian ini bertujuan mengkaji model partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan bendungan Samboja dengan ruang lingkup: (1)
mengindentifikasi para pihak (masyarakat) di sekitar bendungan, (2) pemahaman
dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan bendungan, (3) permasalahan
masyarakat, (4) potensi pelibatan masyarakat dalam pengelolaan bendungan, dan
(5) praktek pemberdayaan masyarakat. Penelitian dilaksanakan dengan metode
observasi, kuesioner, wawancara, pertemuan intensif dan praktek (aksi)
pemberdayaan. Hasil penelitian menunjukkan, ahwa dalam pengelolaan
bendungan Samboja, pemahaman partisipasi masyarakat masih rendah. Secara
umum dapat disimpulkan bahwa partisipasi masyarakat dalam pengelolaan
bendungan dapat ditingkatkan, dan praktek atau aksi nyata merupakan pilihan
yang terbaik.
Kata Kunci: pengelolaan bendungan, partisipasi masyarakat, pemberdayaan
masyarakat.
PENDAHULUAN
Air sangat dibutuhkan oleh manusia dan mahkluk lainnya. Dalam kehidupan
manusia, air bukan hanya sekadar memenuhi kebutuhan mendasar manusia
sebagai air minum, namun juga berfungsi untuk sumber penghidupan seperti
mengairi lahan pertanian, perikanan, hingga pembangkit listrik. Terdapat berbagai
kegiatan perekonomian lain juga sangat tergantung kepada ketersediaan air,
bahkan air bisa menjadi salah satu limiting factors dalam pertumbuhan ekonomi
jika ketersediaannya sangat terbatas). Kebutuhan air hampir dapat dipastikan
1
193
mempunyai kecenderungan tidak sejalan dengan tingkat ketersediannya baik
terkait dengan dimensi waktu dan ruang, maupun jumlah dan kualitasnya. Untuk
itu manusia melakukan intervensi ke pola ketersediaan air melalui pembuatan
tampungantampungan air melalui pembangunan bendungan. Dengan tampungan
ini diharapkan kelebihan air di musim hujan dapat disimpan untuk digunakan di
musim kemarau yang mempunyai tingkat kebutuhan air relatif tinggi (Azdan dan
Samekto, 2008).
Bendungan merupakan infrastruktur penting dalam pengelolaan sumber daya air
karena memiliki fungsi konservasi, pendayagunaan dan pengengendalian daya
rusak air. Namun di sisi lain bendungan menghadapi banyak permasalahan yaitu
menurunnya pasokan air dari hulu, meningkatnya lahan kritis di daerah tangkapan
air, meningkatnya sedimentasi dan menurunnya kualitas air (Nugroho dan
Suripin, 2013; Puslitbang SDA; 2009). Azdan dan Samekto (2008) menjelaskan
bahwa potensi permasalahan pembangunan bendungan dapat dibagi menjadi dua
hal utama yaitu (1) dampak dari konstruksi bendungan, dan (2) paska konstruksi
atau masa pemanfaatan dari bendung. Pembangunan bendungan tidak bisa
dipungkiri akan memberikan dampak yang besar baik bagi lingkungan maupun
sosial. Pembebasan lahan untuk daerah genangan dan lokasi tubuh bendung telah
menjadi isu yang sering kali mengemuka. Dengan mudahnya sharing informasi
sebagai konsekuensi majunya teknologi akan menempatkan isu pemindahan
penduduk ini menjadi isu global yang menjadi perhatian dunia internasional.
Permasalahan yang sering dikaitkan dengan isu hak asasi manusia ini akan
menghambat pelaksanaan pekerjaan pembangunan bendungan, bahkan bisa
menghasilkan keputusan pemberhentian pelaksanaan pembangunan. Tidak sedikit
pula protes dari para pemerhati lingkungan terhadap potensi perubahan
lingkungan yang akan ditimbulkan. Potensi permasalahan tidak berhenti seiring
dengan selesainya pelaksanaan konstruksi. Masih terdapat isu-isu lain dalam tahap
pemanfaatan bendungan ini, yaitu (1) potensi kegagalan konstruksi yang akan
mengancam masayarakat yang bermukim di hilir bendungan, dan (2)
permasalahan yang terkait dengan ancaman keberlanjutan fungsi bendungan.
Terwujudnya keberlanjutan fungsi bendungan terkait dengan keberhasilan
pelaksanaan konservasi sumber daya air, yang mencakup pemeliharaan daerah
tangkapan air, pengendalian pencemaran air dan pengawetan air.
Permasalahan keberlanjutan fungsi bendungan sangat penting untuk diperhatikan,
terutama aspek operasi dan pemeliharaan. Potensi kegagalan dan kerusakan yang
terjadi pada bendungan di Indonesia sangat terkait dengan rendahnya tingkat
pemeliharaan termasuk di dalamnya sistem monitoring keamanan bendungan.
Akibat minimnya biaya Operasi dan Pemeliharaan (OP) yang dianggarkan oleh
pemerintah saat ini yang tidak sebanding dengan tingginya biaya pemeliharaan
bendungan, maka tingkat resiko kerusakan bendungan akan semakin tinggi.
Permasalahan tersebut juga diakibatkan oleh pengelolaannya tidak terpadu,
diantaranya tidak melibatkan partisipasi masyarakat di sekitar bendungan.
Seringkali pembangunan bendungan menyebabkan relokasi penduduk dan
penggenangan sehingga dipersepsikan merugikan masyarakat setempat dan hanya
menguntungkan masyarakat di bagian hilir bendungan (WALHI, JABS, IRN dan
2
194
Friends of The Earth International, 2006). Dalam operasi dan pemeliharaan
bendungan, pengelola bendungan diharapkan mampu mengembangkan peran dan
partisipasi masyarakat senyata mungkin. Tiga alasan utama mengapa partisipasi
masyarakat dalam program pembangunan menjadi sangat penting menurut
Conyers (1991) dalam Safei (2005) adalah, pertama, partisipasi masyarakat
merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan
dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan
akan gagal; kedua, masyarakat akan lebih mempercayai program pembangunan
jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena
mereka akan lebih mengetahui seluk beluk proyek tersebut dan akan mempunyai
rasa memiliki terhadap proyek tersebut; ketiga, merupakan suatu hak demokrasi
bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat sendiri.
Partisipasi sebagai salah satu elemen pembangunan merupakan proses adaptasi
masyarakat terhadap perubahan yang sedang berjalan. Dengan demikian
partisipasi mempunyai posisi yang penting dalam pembangunan. Sumodiningrat
menambahkan, bahwa prasyarat yang harus terdapat dalam proses pembangunan
berkelanjutan adalah dengan mengikutsertakan semua anggota masyarakat/rakyat
dalam setiap tahap pembangunan (Murtiyanto, 2011). Partisipasi yang baik adalah
yang mendukung suksesnya suatu program. Beberapa sifat dari partisipasi antara
lain: positif, kreatif, kritis, korektif konstruktif dan realitis. Peningkatan kesadaran
masyarakat terhadap lingkungan hidup bukan sekedar menanamkan pengertian
masyarakat terhadap permasalahannya saja, tetapi terutama membangkitkan
partisipasi untuk ikut memelihara kelestarian sumber daya alam dan lingkungan
hidup. Disini yang diperlukan adalah masyarakat yang aktif mengawasi
lingkungan hidup, termasuk kegiatan-kegiatan yang mempengaruhinya,
disamping menjaga lingkungannya sendiri. Dalam proses peningkatan partisipasi
masyarakat, diperlukan langkah-langkah yang tepat diantaranya negoisasi dengan
masyarakat (Both ENDS dan Gomukh, 2011). Dalam tahap ini, jaminan pelibatan
masyarakat dirancang dengan cara pengelola kegiatan memberikan stimulan
kepada masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya yang masih terkait dengan
ruang lingkup kegiatan. Dalam konteks pengelolaan bendungan, masyarakat dapat
dilibatkan dalam kegiatan kondisi daerah tangkapan air, kondisi bendungan,
rehabilitasi daerah tangkapan air, pengendalian pencemaran dan sebagainya.
Sedangkan pengelola bendungan dapat membantu memecahkan permasalahan
masyarakat seperti pengelolaan sampah, penyediaan air bersih, pengembangan
ekonomi berbasis lingkungan bendungan dan sebagainya.
METODOLOGI STUDI
Penelitian dilaksanakan di Desa Karya Jaya Kecamatan Samboja Kab. Kutai
Kartanegara periode 2012-2014, dengan cakupan: (1) indentifikasi para pihak
(masyarakat) di sekitar bendungan, (2) pemahaman dan partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan bendungan, (3) permasalahan masyarakat, (4) potensi
pelibatan masyarakat dalam pengelolaan bendungan, dan (5) praktek
pemberdayaan masyarakat. Penelitian dilaksanakan dengan metode observasi,
kuesioner, wawancara, pertemuan intensif dan praktek (aksi) pemberdayaan.
3
195
Jumlah responden ditetapkan secara purposive sampling. Hasil penelitian
disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.
Untuk GENANGAN KOM, memiliki area genangan 199.48 Ha, area panjang
keliling 23.684 m, area sabuk hijau 231.69 Ha dan panjang keliling 10.740 m,
sedangkan untuk INJU memiliki area genangan 246.89 Ha, area panjang keliling
27.728 m, area sabuk hijau 307.98 Ha dan panjang keliling 14.559 Ha. Saluran
yang terbangun 21.152,19 m, dengan jalan 4.700 m, luas Mess 3.600 Ha dan
lahan demplot seluas 3.630 Ha.
4
196
Tabel 1. Kondisi Penduduk di Desa Karya Jaya Kecamatan Samboja Tahun 2012
5
197
Gambar 4. Potensi Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan bendungan (%)
6
198
Tabel 2. Rencana Kegiatan Masyarakat
7
199
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
Dalam pengelolaan bendungan Samboja, pemahaman partisipasi masyarakat
masih rendah. Pemahaman tersebut dapat ditingkatkan dan akan memberikan
potensi partisipasi yang besar jika permasalahan masyarakat dapat dibantu
pemecahannya.
Rekomendasi
Kegiatan ini disarankan dilakukan di bendungan-bendungan yang lain yang
menjadi tugas BWS Kalimantan III. Seaiknya kegiatan pemberdayaan masyarakat
dilaksanakan secara periode (bukan hanya pada saat proyek saja), termasuk aspek
pemberdayaan monitoring kondisi bendungan dan lingkungannya serta penataan
sistem pelaporan dari masyarakat ke BWS Kalimantan III.
DAFTAR PUSTAKA
Azdan, M.D. dan Samekto, C., 2008. Kritisnya Kondisi Bendungan di Indonesia.
Makalah Seminar Nasional Bendungan Besar. 2-3 Juli 2008. Surabaya.
Both ENDS dan Gomukh, 2011. Melibatkan Masyarakat. Sebuah Panduan
Tentang Pendekatan Negosiasi dalam Pengelolaan Sumber Daya Air
Terpadu. (Ed) Rob Koudstaal, Christa Nooy dan Vijay Paranjpye.
ISBN/EAN: 978-90-77648-11-7
Desa Karya Jaya. 2013. Monografi Desa Karya Jaya. Samboja. Kabupaten Kutai
Kartanegara.
Murtiyanto, N., 2011. Partisipasi Masyarakat (Teori Ringkas). Available from:
URL.
Nugroho, H dan Suripin. 2013. Penatagunaan Kawasan Sekitar Waduk dan Upaya
Menjaga Kelestariannya (Model DAM). Jurnal MKTS. Volume 19 No. 12.
Desember 2013.
Puslitbang SDA, 2009. Pengelolaan Danau dan Waduk di Indonesia. Balai
Lingkungan Keairan Pusat Litbang Sumber Daya Air. Bandung.
Safei, L. O. M, 2005. Kajian Partisipasi Masyarakat terhadap Pelestarian Hutan
Mangrove (Studi kasus : Desa Marobo Kecamatan Bone dan Desa Labulu-
bulu Kecamatan Parigi Kabupaten Muna Propinsi Sulawesi Tenggara, Tesis,
Bogor: Institut Pertanian Bogor.
USAID, 2009. Monitoring Kualitas Air oleh Masyarakat. Jakarta.
WALHI, JABS, IRN dan Friends of The Earth International. 2006. Bendungan,
Sungai dan Hak. Jakarta.
8
200
PENGEMBANGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI BANJIR
BERBASIS ANDROID
Umboro Lasminto1* , Hera Widyastuti1 , Istas Pratomo2 , dan Elisa L3
1 Departemen Teknik Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember
2 Departemen Teknik Elektro, Institut Teknologi Sepuluh Nopember
3
University of Melbourne Australia
*umboro@ce.its.ac.id
Intisari
Pada makalah ini, penulis menyajikan pengembangan aplikasi sistem informasi
banjir berbasis android di Indonesia. Aplikasi ini dapat digunakan untuk
memperoleh informasi banjir yang telah maupun sedang terjadi sehingga dapat
digunakan oleh masyarakat sebagai peringatan dini atau menjadi bahan
pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Dengan menggunakan sistem android
yang dapat diakses dengan smartphone, maka masyarakat dengan mudah dapat
memperoleh informasi atau ikut berpartisipasi dalam memberikan informasi banjir
yang akan berguna bagi orang lain. Penyajian informasi banjir didasarkan pada
lokasi kejadian dan tingkat kedalaman sehingga mempermudah pemahaman bagi
pengguna aplikasi ini. Aplikasi ini juga dilengkapi dengan informasi lokasi dan
spesifikasi infrastuktur banjir dan drainase serta kerugian atau kerusakan yang
terjadi akibat banjir. Data disimpan di dalam database untuk mempermudah
pengelolaan data sehingga bila diinginkan informasi kejadian banjir pada lokasi
atau waktu tertentu dapat dengan mudah diperoleh. Aplikasi ini menggunakan peta
Google Map yang terintegrasi dengan Global Position System(GPS) sebagai peta
dasar sehingga lokasi banjir dapat terdeteksi secara otomatis dan tidak diperlukan
lagi aktivitas untuk pengelolaan peta.
Kata Kunci:Aplikasi Android, Sistem infomasi,banjir, database, Google Map.
LATAR BELAKANG
Bencana banjir adalah bencana yang paling sering terjadi di daerah urban di
Indonesia. Banjir ini disebabkan oleh meluapnya air sungai maupun tidak bisa
mengalirnya air hujan yang jatuh dari lahan ke saluran pembuangan karena sistem
drainase buruk. Banyak kota-kota besar di Indonesia yang wilayahnya dilalui aliran
sungai yang cukup besar. Sungai mengalirkan debit yang cukup besar dari hulu
namun karena kapasitas alir sungai di hilir menurun menyebabkan air sungai
meluap dan menggenangi lahan di kanan dan kiri sungai.
Sistem drainase yang buruk menyebabkan air hujan sulit mengalir dan
menimbulkan genangan-genangan. Perluasan pembangunan kota untuk memenuhi
kebutuhan permukiman maupun lahan terbangun lainnya menyebabkan daerah-
daerah yang tadinya sebagai tempat tampungan dan resapan air menjadi berkurang
sehingga genangan berpindah ke jalan-jalan maupun kawasan permukiman.
Genangan air di jalan akan memperlambat laju kendaraan, menyebabkan banyak
kendaraan terjebak dalam genangan dan mogok, terjadi kecelakaan akibat
1
201
kendaraan jatuh ke dalam lubang jalan dan akhirnya menyebabkan terjadinya
kemacetan lalu lintas.
Banjir mengenangi area permukiman, bisnis dan area terbangun lainnya. Genangan
air menyebabkan kerugian pada harta benda, gangguan kesehatan, listrik padam dan
aktivitas perekonomian lumpuh. Pemantauan genangan/banjir di area perkotaan
atau permukiman telah dilakukan oleh masyarakat dengan memberikan laporan
kejadian banjir ke radio maupun ke media-media sosial. Pada saat banjir petugas
lapangan dari dinas pematusan, Badan Penanggulangan Bencana Daerah maupun
instansi lain masing-masing telah melakukan pantauan banjir namun hasil
pemantuan belum diintegrasikan. Data hasil pemantauan juga belum dikelola
dengan baik sehingga akses data masih sulit dan belum ada sharing data.
Pemantauan banjir di lapangan masih dicatat secara manual dan kemudian di salin
untuk menjadi data elektronik dalam bentuk data tabel. Dengan cara ini pengelolaan
data banjir/genangan menjadi sulit sehingga pemanfaatan data tersebut tidak
optimal.
Kemanjuan teknologi informasi dan telekomunikasi saat ini telah memungkinkan
pemantauan banjir menjadi lebih mudah. Alat komunikasi smartphone telah
dilengkapi dengan peta, GPS, kamera dan aplikasi-aplikasi yang ter-install di
dalamnya memungkinkan pengguna untuk mengirimkan informasi banjir dari
lokasi kejadian yang dapat diterima oleh pengguna lain yang sedang berada di
tempat lain. Oleh sebab itu suatu aplikasi sistem informasi tentang banjir sangat
diperlukan untuk dapat mengelola data kejadian banjir dan memberikan informasi
tentang lokasi dan kondisi banjir yang dapat digunakan sebagai peringatan dini bagi
masyarakat.
Banjir menjadi suatu permasalahan ketika area yang tergenang merupakan tempat
bermukim atau tempat aktivitas manusia. Daerah-daerah yang sering tergenang
banjir pada saat debit air sungai meningkat dinamakan dataran banjir. Adakalanya
banjir yang terjadi sudah sangat besar dan tidak mungkin untuk dikendalikan
sehingga pendekatan yang dapat dilakukan adalah pengelolaan dataran banjir
(Miller & Miller, 2000). Pengelolaan dataran banjir dapat berupa sebuah program
komunitas berupa tindakan pencegahan dan perbaikan guna mengurangi kerusakan
atau kerugian akibat banjir (FEMA). Sistem informasi resiko banjir merupakan
salah satu aspek penting dalam pengelolaan banjir (Apel dkk, 2009). Pengelolaan
banjir bukan sebagai usaha melawan banjir tetapi lebih pada meminimalkan
dampak kerugian yang disebabkan oleh banjir dengan memberikan informasi
secepat dan seakurat mungkin kepada masyarakat.
Garrett pada tahun 1989 memperkenalkan pemetaan resiko banjir untuk mengelola
banjir secara efektif. Morris dan Malvin tahun 1996 membuat peta resiko banjir
untuk Inggris dan Wales. Pada tahun 2000, Shrubsole mengusulkan pengelolaan
ekosistem, partnership dan role of science sebagai alternatif strategi dalam
pengelolaan banjir dari DAS Saguenay dan Red River. Barredo dkkpada tahun 2000
mempresentasikan sebuah framework untuk pemetaan resiko banjir di pan-
European yang diproduksi oleh Weather Driven Natural Hazard (WDNH).
2
202
Holz dkk (2006) mempresentasikan sebuah sistem informasi berbasis web untuk
pengelolaan banjir pada situasi darurat banjir yang menyediakan informasi terkini
untuk masyarakat di dalam area rawan banjir tentang pengembangan banjir dan juga
koordinasi semua sumberdaya dan aktifitas selama perencanaan pra bencana banjir
dan pemulihan setelah bencana banjir. Model yang dibuat memiliki kemampuan
dalam menghitung dan memprediksi banjir secara online namun belum
memperhitungkan aspek-aspek selain aspek hidrologi seperti aspek sosial, ekonomi
dan infrastruktur untuk pengelolaan banjir. Secara umum studi yang dilakukan
memberikan gambaran penggunaan Information, Communication and Technology
(ICT) yang berbasis solusi pendukung keputusan dan menguji metode neural
network untuk peramalan banjir. Peck dkkpada tahun 2007 membuat sebuah
perangkat analisa untuk memperkirakan resiko banjir akibat perubahan penggunaan
lahan yang kemudian di sajikan dalam webpage. Subhankar Karmakar pada tahun
2010 membuat sistem informasi untuk assesmen resiko banjir. Indikasi resiko banjir
diperoleh dari pengolahan data dari komponen-komponen resiko banjir yaitu
Hazard, Vurnerability dan Impact of exposures.
Untuk mendapatkan informasi aplikasi berbasis web diperlukan perangkat personal
komputer atau labtop dan dilakukan di kantor atau rumah. Pengguna yang sedang
mobile akan merasa kurang nyaman dan sulit bila mengakses menggunakan smart
phone mereka. Maka aplikasi berbasis mobile akan lebih mudah diakses sehingga
akan mengakomodasi pengguna yang sedang mobile.
Saat ini teknologi kumunikasi dan sosial media berkembang sangat pesat, yang
menyebabkan informasi dapat disebarkan dan diterima dengan cepat, mudah dan
menjangkau kalangan luas. Perangkat smart phone yang berkembang cepat dan luas
adalah perangkat yang menggunakan sistem operasi Android. Android adalah
sebuah software yang digunakan perangkat mobile yang mencakup sistem operasi,
middleware, aplikasi kunci yang dirilis oleh Google, dengan kata lain mencakup
keseluruhan sebuah aplikasi mulai dari sistem operasi sampai pada pengembangan
aplikasi itu sendiri. Aplikasi android merupakan aplikasi open source sehingga
dapat dikembangkan dengan bebas oleh siapa saja, dengan demikian perkembangan
aplikasi open source lebih cepat dan murah. Semua aplikasi android mimiliki akses
yang sama ke sebuah telepon seluler tanpa membedakan apakah aplikasi bawaan
dari telepon seluler maupun aplikasi yang baru ditambahkan.
Dalam aplikasi Android, data individu dari telepon seluler dapat di gabungkan
dengan informasi dari sebuah website sehingga pengguna dapat melihat lokasi dan
terkoneksi dengan pengguna lain. Aplikasi Android dapat dikembangan dengan
cepat dan mudah karena di dalam Android tersedia library dan tool yang dapat
digunakan.
Parameter ancaman, kerentanan dan kapasitas digunakan dalam penyusunan peta
resiko banjir seperti yang disepakati dalam Hyogo Framework. Dengan parameter-
parameter diatas, resiko bencana dapat dihitung dengan menggunakan persamaan
berikut :
Risiko Banjir = Ancaman x Kerentanan/Kapasitas (1)
3
203
Untuk membuat peta resiko bencana, masing-masing parameter diberi bobot
berdasarkan pengaruhnya terhadap resiko banjir dimana ancaman memiliki bobot
tertinggi, disusul oleh kerentanan dan kapasitas. Masing-masing parameter juga
diberi skor sehingga dapat dinilai secara kuantitatif. Pembagian skor dapat
dilakukan dalam 3 tingkatan, yaitu tinggi dengan skoor 3, sedang dan rendah
dengan skor 2 dan 1. Selanjutnya semua parameter skor total dan skor bobot total
untuk ditumpang tindihkan dengan data spasial lain seperti peta geologi, peta
geomorfologi, peta kawasan rawan bencana, peta tataguna lahan, peta kelerengan,
dan peta administrasi. Hasil analisa spasial diperoleh peta kerentanan, peta
kapasitas, peta ancaman. Dengan menggabungkan parameter ancaman, kerentanan,
kapasitas dan data spasial masing-masing obyek akan diperoleh peta resiko bencana
banjir.
METODOLOGI STUDI
Pengembangan aplikasi sistem informasi banjir dilakukan dengan metode yang
dijelaskan dari beberapa bagian kegiatan sebagai berikut :
1. Merencanakan konfigurasi aplikasi sistem informasi banjir
Tujuan utama dari pembuatan aplikasi ini adalah informasi banjir dapat diakses
dengan mudah dan jelas menggunakan perangkat smart phone. Pada tahap ini
ditentukan informasi apa saja yang dapat diperoleh dari aplikasi ini.
2. Merencaanakan dan membangun data base
Data base diperlukan untuk menyimpan data, mengelompokkan, mengolah
maupun menampilkan data ke dalam sistem informasi. Pada tahap ini ditentukan
data-data apa saja yang dikelola pada setiap informasi dan kemudian
dispesifikasikan format data ke dalam data base. Mengelompokkan setiap data
dalam tabel, mengolah data dan membuat querry data.
3. Menentukan perhitungan untuk menentukan tingkatan banjir
Agar informasi banjir dapat dengan mudah dipahami oleh pengguna maka perlu
dilakukan pengkategorian data berdasarkan tingkat bahayanya. Kedalaman, lama
dan luas genangan dikelompokkan dalam kategori bahaya rendah, sedang atau
tinggi. Visualisasi dari kategori bahaya tersebut dengan membedakan warna dari
bahaya rendah, sedang mapun tinggi.
4. Mengintegrasikan penginputan data berupa data-data banjir, data infrastruktur,
data kerugian banjir, waktu kejadian, koordinat lokasi dan foto/kamera.
Adanya fasilitas bagi pengguna untuk memberikan input kejadian banjir maka
diperlukan suatu form/halaman input data. Dalam halaman ini pengguna dapat
menginputkan gambar kondisi banjir dengan menggunakan fasilitas kamera yang
ada dalam smart phone, data kedalaman, luas dan lama genangan, nama alamat
atau area terjadinya banjir dan keterangan yang ingin diberikan berkaitan dengan
banjir tersebut. Koordinat lokasi secara otomatis terdeteksi dari GPS dan waktu
kejadian mengambil data dari sistem kalender smartphone. Semua data tersebut
akan tersimpat dalam data base yang merupakan suatu informasi kejadian banjir
pada lokasi dan waktu tertentu.
4
204
5. Merencanakan tampilan sistem informasi dalam website dan sistem android
Tampilan sistem informasi dalam aplikasi android direncanakan untuk dapat
terbaca dengan jelas. Ukuran layar smartphone kecil menjadi pertimbangan
untuk mengatur informasi yang ditampilkan. Informasi tidak dapat ditampilkan
bersama-sama karena akan terjadi tumpang tindih atau terlalu kecil sehingga
tidak terbaca dengan jelas.
6. Merencanakan fasilitas pencarian data
Pencarian data atau informasi banjir direncanakan berdasarkan waktu kejadian.
Fasiltas pencarian informasi dilengkapi dengan inputan waktu mulai dan akhir
dari pencarian yang selanjutnya aplikasi akan menampilkan peta banjir yang
terjadi pada kurun waktu yang diinginkan. Untuk mempermudah pengisian kurun
waktu pencarian digunakan fasilitas kalender dalam smartphone sehingga
pengguna tinggal memilih tanggal dan tidak perlu menuliskan tanggal untuk
menghindari kesalahan formta penulisan.
7. Pengujian aplikasi
Pengujian aplikasi meliputi pengujian penginputan data, pengujian pengelolaan
data dan pengujian tampilan informasi. Pengujian penginputan data terdiri dari
kebenaran lokasi, kemudahan penginputan dan penyimpanan data. Pengujian
pengelolaan data meliputi kebenaran perhitungan tingkat bahaya banjir,
pengelompokan data dan pencarian data. Pengujian tampilan informasi meliputi
setiap informasi disajikan dengan jelas, cepat dan mudah mengakses informasi
yang diinginkan.
Hasil pengembangan aplikasi sistem informasi banjir dibahas seperti berikut ini.
A. Konfigurasi
Konfigurasi sistem informasi banjir di desain untuk mencapai tujuan tersebut. Ada
3 kelompok informasi yang disajikan yaitu tentang banjir itu sendiri, infrastruktur
yang berkaitan dengan banjir/drainase dan kerugian/kerusakan yang disebabkan
banjir. Masing-masing kelompok akan menyajikan data-data atau informasi yang
lebih detail. Semua informasi disajikan berdasarkan lokasi dan waktu kejadian.
5
205
B. Data base
Tiga kelompok informasi yang akan ditampilkan menentukan data apa saja yang
harus dikelola di dalam data base.
C. Klasifikasi Banjir
Dalam sistem informasi banjir ini, titik-titik banjir diklasifikan dengan simbol yang
berbeda warna berdasarkan tinggi, luas dan lama genganan. Tujuan dari
pengklasifikasian ini adalah untuk dengan mudah secara visual melihat titik-titik
mana terjadi genangan tinggi dan mana yang genangannya rendah. Klasifikasi
genangan seperti tabel berikut ini.
6
206
otomatis koordinat lokasi, mengisi secara otomatis waktu kejadian, menggunakan
aplikasi camera smartphone untuk pengambilan gambar dan secara otomatis
memasukkan gambar yang diambil ke dalam form, menginput tinggi, lama dan luas
genangan banjir serta memberikan catatan yang berkaaitan dengan kejadian banjir
tersebut.
E. Sisten informas banjir
Sistem informasi banjir didesain untuk menampilkan data-data kejadian banjir pada
setiap lokasi banjir dalam bentuk peta. Informasi banjir utama yang dapat diperoleh
adalah lokasi, tinggi, lama, dan luas genangan. Informasi lain adalah foto kejadian
banjir, penyebab terjadinya banjir dan kerugian yang disebabkan oleh banjir.
Informasi ini dapat dilihat dengan mengklik titik genangan yang diinginkan maka
informasi akan muncul pada jendela terpisah.
Informasi kerusakan atau dampak susulan akibat banjir terdiri dari tanah longsor,
tanggul jebol, kerusakan jembatan, kerusakan saluran atau bangunan irigasi,
kerusakan jalan, kerusakan properti penduduk, kerusakan bangunan fasilitas umum
maupun kerusakan bangunan lainnya. Data kerusakan akibat banjir terdiri dari
waktu kejadian, koordinat lokasi, wilayah, catatan kerusakan dan foto.
Sedangkan informasi keberadaan infrastruktur yang berkaitan dengan banjir atau
drainase adalah infrastruktur berupa pintu air, pompa air, saluran drainase / sungai,
bendung, bendungan, floodway, danau / waduk / embung / boesem / telaga,
jembatan / gorong-gorong, rawa, bangunan pantai dan tempat penampungan
sementara untuk pengungsi korban banjir. Data infrastruktur berkaitan dengan
banjir terdiri dari nama infrastruktur, koordinat lokasi, wilayah, catatan kondisi dan
spesifikasi infrastruktur serta foto.
Aplikasi menyediakan fasilitas pencarian data menurut waktu kejadian. Sistem
akan menampilkan titik-titik genangan berdasarkan kurun waktu yang ditetapkan
oleh pengguna. Fasilitas ini akan mengoptimalkan kerja memori agar tidak
menampilkan semua data yang disimpan dan juga akan lebih jelas tampilannya
dalam monitor smartphone karena hanya data yang diperlukan saja yang
ditampilkan. Fasilitas ini juga dapat digunakan untuk melihat genangan yang terjadi
dari tahun ke tahun apakah terjadi peningkatan atau penurunan. Frekuensi genangan
di suatu lokasi juga dapat diketahui. Bentuk tampilan dari webview dan mobile view
seperti terlihat pada Gambar 2.
Detail informasi setiap titik genangan diperoleh dengan mengklk titik genangan
yang dimaksud sehingga muncul jendela baru yang berisi informasi waktu kejadian,
koordinat lokasi, wilayah terjaadinya, tinggi banjir, lama banjir, luas daerah
tergenang, catatan kejadian banjir dan foto (Gambar 3).
F. Pengujian
Setiap tahap pengembangan dari sistem informasi banjir ini dilakukan pengujian.
Pengujian dilakukan untuk melihat performa dari sistem yang dikembangkan.
Kekurangan-kekurangan yang diperoleh pada saat pengujian ditindaklanjuti dengan
perbaikan-perbaikan sampai pada performa yang diinginkan. Pada pengujian
penginputan data terjadi permasalahan sistem tidak dapat melakukan deteksi
otomatis koordinat lokasi, desain input data kurang user friendly, tidak adanya
7
207
pesan atau tanda bahwa sistem melakukan penyimpanan data sehingga pengguna
tidak mengetahui apakah sistem masih bekerja atau terjadi kesalahan.
8
208
Pengujian pada tampilan sistem informasi menemukan tantangan untuk
menampilkan informasi yang cukup jelas pada layar smartphone yang berukuran
cukup kecil. Pengaturan layout, ukuran tulisan, ukuran simbol dan penggunaan
menu option dan popup menjadi kunci tampilan pada layar smartphone menjadi
informatif.
Kekurangan-kekurangan tersebut menjadi input bagi developer software untuk
melakukan perbaikan sampai diperoleh hasil yang memuaskan.
9
209
2. Peta resiko banjir
Peta resiko banjir menggambarkan tingkat resiko banjir tertentu suatu wilayah
atau lokasi berdasarkan parameter-parameter ancaman, kerentanan dan
kapasitas yang ada dalam wilayah tersebut. Dengan peta resiko banjir maka
ancaman yang ada, kondisi kerentanan dan kapasitas aset penghidupan dan
kehidupan rakyat yang berada di daerah rawan bencana dapat terpetakan.
3. Peta jalur evakuasi korban bencana banjir
Titik-titik genangan banjir yang terekam dalam peta dapat digunakan sebagai
informasi dalam menentukan jalur evakuasi dari lokasi genangan banjir ke
tempat penampungan sementara.
4. Penentuan prioritas penanganan banjir
Lokasi titik-titik banjir biasanya sangat banyak dan tidak dapat ditangani
semuanya secara bersamaan karena keterbatasa waktu dan biaya. Oleh sebaab
itu diperlukan prioritas lokasi banjir mana yang harus ditangani. Ketersediaan
data banjir berupa kedalaman, luas dan lama banjir dapat diberi skor dan bobot
dan dilakukan perhitungan sehingga diperoleh nilai genangan untuk setiap
lokasi. Lokasi yang memiliki nilai tertinggi dapat menjadi prioritas utama untuk
ditangani banjirmya.
5. Perencanaan tata ruang dan bangunan
Data kejadian-kejadian banjir yang tersimpan dalam database dan ditampilkan
dalam peta dapat digunakan sebagai pertimbangan penataan suatu wilayah
tertentu. Sebagai contoh bila suatu wilayah sering terjadi banjir maka perlu
dipertimbangkan apakah sebaiknya digunakan sebagai tempat bermukim
maupun aktivitas manusia atau sebagai daerah retensi air. Perencanaan
bangunan perlu mempertimbangkan resiko banjir di lokasi yang akan di bangun.
Dengan adanya data rekaman kejadian banjir akan diketahui tingkat resiko dari
bencana banjir di lokasi tersebut.
10
210
Rekomendasi
Aplikasi sistem informasi tentang banjir yang sudah dikembangkan ini dapat
digunakan untuk mengelola data kejadian banjir dan memberikan informasi tentang
lokasi dan kondisi banjir sehingga dapat menjadi peringatan dini bagi masyarakat.
REFERENSI
Apel, H., G. T. Aronica, H. Kreibich and A. H. Thieken, 2009. Flood Risk
Analyses—How Detailed do We Need to be? Natural Hazards, Vol. 49, No.
1, 2009, pp. 79-98.
Barredo, J., I., A. de Roo and C. Lavalle, 2007. Flood Risk Mapping at European
Scale, Water Science and Technology, Vol. 56, No. 4, 2007, pp. 11-17.
Becker, A. and U. Grünewald, 2003. Disaster Management: Flood Risk in Central
Europe, Science, Vol. 300, No. 5622, 2003, p. 1099.
Burrell, B., and J. Keefe, 1989. Flood Risk Mapping in New Brunswick: A Decade
Review, Canadian Water Resources Journal, Vol. 14, No. 1, 1989, pp. 66-
77.
Floyd, P.J., 1992. Reducing Flood Risks, Floods and Flood Management, 1992, pp.
419-435.
Holz, K.P., Hildebrant, G., and Weber, L. 2006. Concept for a Web-based
Information System for Flood Management, Natural Hazards, Springer, 38,
121- 140.
Morris and R. W. Flavin, 1996. Flood Risk Map for England and Wales, Report -
UK Institute of Hydrology, 1996, p. 130.
Purvis, M. J, P. D. Bates and C. M. Hayes, 2008. A Probabilistic Methodology to
Estimate Future Coastal Flood Risk Due to Sea Level Rise, Coastal
Engineering, Vol. 55, No. 12, 2008, pp. 1062-1073.
Shrubsole, D. D., 2000. Flood Management in Canada at the Crossroads, Global
Environmental Change Part B: Environmental Hazards, Vol. 2, No. 2, 2000,
pp. 63-75.
Subhankar Karmakar , Slobodan P. Simonovic, Angela Peck , Jordan Black, 2010.
An Information System for Risk-Vulnerability Assessment to Flood, Journal
of Geographic Information System, 2010, 2, 129-146
doi:10.4236/jgis.2010.23020 Published Online July 2010
(http://www.SciRP.org/journal/jgis)
11
211
PENGEMBANGAN MODEL MATEMATIS TANAH
LONGSOR PADA KOLAM WADUK DAN GELOMBANG
YANG DIBANGKITKANNYA MENGGUNAKAN METODE
KARAKTERISTIK
Radianta Triatmadja1* , Nurul Azizah2
1Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada
2 Alumni Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada
*radianta@ugm.ac.id
Intisari
Logsor terutama yang terjadi pada tebing waduk sangat merugikan dan
membahayakan. Kerugian tersebut salah satunya disebabkan karena material
longsor menutup sebagian volume waduk yang digunakan untuk menampung air.
Bahaya yang disebabkan ada dua macam yaitu banjir bandang langsung akibat air
yang melimpas melalui badan bendungan dan banjir bandang yang lebih besar
akibat limpasan air merusak badan bendungan sehingga terjadi banjir akibat
kegagalan bendungan. Kejadian longsoran dalam waduk banyak terjadi misalnya
yang paling terkenal adalah longsoran di waduk Vajont yang menelan korban
sekitar 2000 orang. Indonesia mempunyai banyak waduk yang akan dan sedang
dibangun sehingga diperlukan metode dan teknologi untuk melakukan evaluasi
akibat longsoran dalam waduk. Metode evaluasi gelombang akibat longsoran sudah
banyak diajukan. Pada umumnya simulasi hanya dilakukan pada gelombangnya
saja tetapi gerakan longsor hanya diasumsikan. Beberapa tahun terakhir simulasi
longsor mulai dilakukan dan dikombinasikan dengan model hidrodinamika
gelombang yang terjadi akibat longsor. Metode ini masih perlu dikembangkan agar
lebih akurat. Studi ini mencoba mensimulasikan gerakan longsor dan sekaligus
gelombang yang diakibatkannya menggunakan metode karakteristika. Metode ini
dipilih karena akurasi dan kemudahan dalam integrasinya. Saat ini baru dicoba
longsor dalam satu dimensi. Hasil studi menunjukkan bahwa simulasi longsor
dengan Metode Karakteristika sudah realistis. Gelombang yang dibangkitkan juga
tampak realistis jika dibandingkan dengan beberapa teori sebelumnya. Dapat
disimpulkan bahwa Metode Karakteristika dapat digunakan untuk mensimulasi
gerakan tanah longsor dengan baik dan sekaligus dapat digabungkan dengan
gelombang yang diakibatkannya.
Kata Kunci: longsor, simulasi numerik, metode karakteristika, tsunami reservoir,
banjir bandang
LATAR BELAKANG
Longsor pada tebing di sekitar waduk dapat membangkitkan gelombang di kolam
waduk yang jika cukup besar dapat menyebabkan terlimpasnya air melalui puncak
bendungan dan mengacam keamanan dari sruktur bendungan. Banyak kejadian
longsoran di lereng waduk dari bendungan ataupun waduk alami (danau) yang
mengakibatkan gelombang besar yang membahayakan lingkungan dan kehidupan
1
212
di sekitarnya. Contoh klasik adalah peristiwa longsoran di waduk Vaiont Valey di
Italia 9 Oktober 1963 yang membunuh sekitar 2000 orang. Masa batuan dan tanah
sekitar 260 juta meter kubik yang longsor ke dalam waduk membuat gelombang
yang melimpasi bangunan bendungan hingga sekitar 250 m di atas puncak
bendungan (Gambar 1). Air yang melimpas telah membanjiri kota di hilirnya
dengan kecepatan tinggi sehingga memporak porandakan lingkungan dan
kehidupan. Bendungannya sendiri saat ini masih berdiri kokoh tidak rusak.
Literatur yang lebih lengkap dapat diperoleh dalam Genevois. R., and P.R. Tecca
(2013).
Gambar 1. Bendungan dan reservoir Vajont, Italia. (a) Reservoir dilihat dari
hulu (2000 m dari muka air laut) dan (b) Reservoir dilihat dari hilir (4000
m dari muka air laut). Tanda panah kuning menunjukkan arah dan lokasi
longsoran.
Pada Gambar 1 dapat dilihat ukuran longsoran yang menimbun sebagian besar
reservoir sehingga air dalam reservoir terangkat bagaikan gelombang raksasa yang
menghancurkan kota di bawahnya. Pada Gambar 1b terlihat di bagian bawah area
pemukiman saat ini. Pengkajian yang terintegrasi mengenai dinamika longsoran
dan hidrodinamika dari gelombang yang ditimbulkan sangat diperlukan dalam
identifikasi resiko kegagalan struktur bendungan. Salah satu cara pengkajian yang
dapat dilakukan adalah dengan menggunakan model matematis. Model matematis
selain murah karena hanya membutuhkan computer dan perangkat pendukungnya
juga lebih cepat dilakukan serta mampu mensimulasikan berbagai macaam scenario
yang sangat penting bagi mitigasi bencana seperti halnya banjir bandang akibat
longsor dalam waduk. Dari latar belakang inilah dilakukan studi pengembangan
model matematis tanah longsor pada kolam waduk dan gelombang yang
dibangkitkannya.
KAJIAN PUSTAKA
Banyak penelitian yang terkait dengan simulasi longsor di waduk misalnya Arnasa
(2013), Triatmadja (1990) and Wijaya et al (2016). Triatmadja (1990)
mensimulasikan gelombang akibat longsoran menggunakan model matematik.
Namun proses longsorannya sendiri hanya diperkirakan atau diasumsikan.
Beberapa peneliti yang lain misalnya Wijaya dkk (2016) melakukan hal yang sama
atau melakukan simulasi longsoran dengan model fisik dengan berbagai asumsi.
Dengan keterbatasan simulasi tersebut Wijaya dkk (2016) menunjukkan bahwa jika
2
213
terjadi longsor pada lereng reservoir bendungan Karalloe maka gelombang seperti
tsunami yang terjadi dalam waduk dapat melimpasi puncak bendungan dan
mengakibatkan banjir bandang yang besar. Wijaya dkk (2016) menggunakan
kecepatan longsor berdasarkan kecepatan longsor yang pernah terjadi di lokasi
sekitar bendungan yaitu 5 m/detik. Selain itu mereka juga memperkirakan bentuk
akhir longsor. Tentu saja dalam pendekatan dan asumsi tersebut terjadi kesalahan
yang tidak diinginkan yang bisa diminimalkan dengan simulasi fisik atau numerik.
Wang dan Sassa (2010) mengajukan model geoteknik untuk pergerakan tanah
longsor. Model ini terdiri dari dua permasamaan fundamental yang meliputi
persamaan momentum dan persamaan kontinuitas yang mencantumkan pengaruh
dari parameter mekanik dan dinamik dari tanah longsor. Model pergerakan tanah
dapat dikombinasikan dengan model penjalaran gelombang dengan inisiasi
pembangkitan gelombang akibat terganggunya massa air oleh longsoran.
Permodelan untuk penjalaran gelombang yang diakibatkan oleh longsoran dapat
dilakukan dengan menggunakan persamaan gelombang panjang,
LANDASAN TEORI
Model geoteknik pergerakan longsor
Pada slope atau permukaan tanah yang miring, komponen gravitasi cenderung
untuk menggerakkan tanah ke bawah. Apabila komponen gravitasi lebih besar dari
perlawanan terhadap geseran yang dapat dikerahkan oleh tanah (tahanan geser, ),
maka akan terjadi peristiwa longsor.
Menurut teori Mohr-Coulomb secara umum tahanan geser ( ) yang dapat
dikerahkan oleh tanah, disepanjang bidang longsornya dapat dinyatakan dalam
persamaan berikut
c tan m (1)
Dengan c = kohesi, = tegangan normal, dan m = sudut gesek dalam tanah. Nilai-
nilai c dan adalah parameter kuat geser tanah disepanjang bidang longsor. Sassa
(1988), mengajukan model geoteknik untuk pergerakan massa tanah longsor
berdasarkan konsep koefisien sudut gesek semu ( tan a ) yang nilainya dapat
didekati menggunakan persamaan berikut
u
tan a tan m (2)
Model yang dikembangkan oleh Sassa (1988) dan Wang dan Sassa (2010)
didasarkan pada prinsip pergerakan kinematik dan prinsip kontinuitas material
tanah selama proses longsor. Model ini terdiri dari dua persamaan fundamental
yakni Persamaan momentum (Persamaan 3) dan persamaan kontinuitas (Persamaan
4), yang dapat ditulis dalam bentuk 1 dimensi (arah bidang x – t) sebagai berikut
Uh U 2 h tan h g U
gh kgh hc (q 1) h tan a (3)
t x q 1 x (q 1) (U W 2 )1/2
1/2 2
3
214
h Uh
0
(4)
t x
dengan:
h : ketebalan longsor,
U : kecepatan longsor ke arah x
k : koefisien tekanan lateral
tan a : koefisien sudut geser semu
hc : tinggi Kohesi ( c / g ), yang nilainya adalah nol setelah menempuh jarak yang jauh
: sudut bidang longsor asli dengan sumbu x-z
: tan
2
q
W : (U tan )
Persamaan momentum (persamaan 3) diturunkan dari hukum Newton ke-2, dimana
sisi kiri merepresentasikan percepatan yang diekspresikan dengan perubahan debit
longsor ( Uh ) terhadap waktu. Sisi kanan merepresentasikan gaya yang bekerja
pada massa tanah, yaitu gaya gravitasi, gaya normal, dan gaya dari tahanan gesek
dasar. Sedangkan Persamaan kontinuitas (persamaan 4) digunakan untuk menjaga
volume dari massa longsoran tetap konstan.Karena kondisi batas permukaan yang
membuat perubahan debit tanah arah vertical sama dengan nol, maka perubahan
ketebalan longsoran hanya diperolah dari arah x.
Untuk perhitungan koefisien sudut gesek semu ( tan a ) digunakan persamaan yang
diajukan oleh Wang dan Sassa (2010) dengan mempertimbangkan perubahan
nilainya selama proses longsor terjadi. Persamaan tesebut dapat ditulis sebagai
berikut,
ss ( h , B )
tan a ss
(5)
(h)
ss (h, Bss ) ss ( ( h ) tan r' ss )(1 Bss ) (6)
( h ) gh cos2 (7)
dengan:
ss : Tahanan gesek tanah pada bidang longSor pada saat kondisi steady.
: tegangan normal
Bss : indeks empirik yang menggambarkan kondisi tanah. ( Bss = 0, mewakili
kondisi tanah yang kering sekali, dan Bss = 1 mewakili kondisi tanah
jenuh)
r' : Residu sudut gesek efektif
W : (U tan )
4
215
Persamaan momentum
1
U U h H gU (U 2 ) 2
U g g (8)
t x x x Cz2 h
Persamaan Kontinuitas
h hU
0 (9)
t x
METODOLOGI STUDI
Metodologi studi pada dasarnya menggunakan model matematik baik untuk
longsoran maupun untuk gelombang yang diakibatkannya. Untul itu, pada tahap
pertama dikembangkan skema numerik berdasarkan Metode Karakteristik untuk
pergerakan longsoran. Skema Karakteristika kemudian diubah menjadi program
komputer.
Skema Numerik
Baik persamaan geoteknik pergerakan tanah (persamaan (3) dan (4)) maupun
persamaan penjalaran gelombang ((persamaan (8) dan (9)) adalah persamaan
hyperbolik yang dapat diselesaikan dengan berbagai metode numerik. Dalam studi
ini, Metode Karakteristika dipilih menjadi metode penyelesaian karena kemudahan
dan akurasinya. Studi dilaksanakan dengan mengubah persamaan-persamaan
tersebut menjadi skema numerik Karakteristika dengan kondisi batas tertentu.
Perubahan persamaan menjadi skema karakteristika mengikuti Triatmadja (1990)
yaitu dengan menggunakan interpolasi kuadratis.
Skema numerik karakteristik untuk persamaan geoteknik pergerakan massa tanah
dapat ditulis sebagai berikut
2
2 t
U si U s kg s x t (U sU s x )t 1 2(C U s ) U s U s
t t 2
s
t tan
4kgU s hs hs g
s q 1
t gU s Fi t (10)
(q 1)1/2
Dimana Fi
hc (q 1) hs tan a
hs (U s 2 Ws 2 )1/2
2
2 t
si s (U s hs x hsU s x )t 1 2(C U s ) s s
t t 2
s
2
t
4hsU s U s U S
s
(11)
hsit
t
hsit 1 s (12)
5
216
2
2 t
U t t
wi U w g wx t (U wU wx )t 1 2(C U w ) U w U w
2
s
t
4kgU s hs hs gU s Si t (13)
s
2 1/2
(U )
Dimana Si
C z hw
2
2 t
wi w (U w hwx hwU wx )t 1 2(C U w ) w w
t t 2
s
2
t
4hwU w U w U w
s
(14)
hsi
Usi
wi
hwi Uwi
x
i-1 i i+1 i-1 i i+1
Gambar 2. Skema Karakteristika pergerakan longsor dan penjalaran
gelombang yang dibangkitkan
Notasi pada Persamaan 10 sampai dengan Persamaan 13 adalah sebagai berikut.
Qit1 Qit1
Qx
2s
Qi 1 Qit1
t
Q
2
Q Qit
6
217
Layout Model dan Variasi Simulasi
Untuk menguji validasi model, dan mengetahui pengaruh dari parameter-parameter
yang digunakan dalam model, dilakukan studi parametrik pada kondisi sederhana,
yaitu terdiri dari simple slope dan kolam/rendaman air dengan ketinggian tertentu
pada kaki slope (gambar 4). Bidang longsor awal diatur dan ditentukan
menggunakan hitungan geoteknik dengan persamaan-persamaan yang sudah ada.
hw
x
Gambar 3. Layout model
Parameter mekanik tanah yang digunakan untuk simulasi ini dijabarkan pada
Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Parameter mekanik yang digunakan dalam simulasi
Untuk Bidang Longsor
Koefisien gesek semu awal tan Φa 0,4
Indeks empirik kondisi tanah Bss 1
Koefisien tekanan lateral K 0,8
Residu sudut gesek efektif tan Φr 0,577
Tahanan Gesek τss 20 Kpa
Untuk massa tanah longsor
Berat volume tanah 20 kN/m3
Kohesi 0
Untuk Simulasi
Time step dt 0,0025 dtk
Jarak antar grid ds 2 m
Total waktu running tmax 20 dtk
Slope θ 25 drjt
7
218
60
Lereng yang
Elevasi (m) 40
Muka air waduk
20
Gerakan longsor pada
0 berbagai tahapan waktu
0 50 100 150 200 250
-20
Elevasi Tanah (x,t) x (m)
5
waduk (m)
0
0 10 20 30 40 50 60
-5
Waktu (detik)
8
219
5,00
4,00
elevasi muka air (m)
3,00
2,00
1,00
0,00
-1,00 0 200 400 600 800 1000 1200
-2,00
Jarak dari lokasi longsor (m)
Gambar 6. Fluktuasi muka air sepanjang waduk setelah 60 detik sejak longsoran
Gelombang yang terjadi cukup tinggi untuk ukuran volume tanah longsor yang
disimulasikan. Tinggi gelombang yang mencapai 4 meter tentu sangat
membahayakan bendungan manakala waduk pada saat penuh atau kondisi air
tinggi. Selain itu gelombang yang terjadi seperti pada Gambar 6 saat mencapai
spillway akan dengan sangat mudah melimpas dan mengakibatkan banjir bandang
(flash flood). Panjang gelombang soliter yang terjadi dan telah merambat jauh ke
hilir mencapai sekitar 200 m yang mirip dengan panjang longsoran.
Pada kenyataan, longsor di waduk mempunyai kecepatan yang bisa saja lebih cepat
dari yang disimulasikan dan akan menambah tinggi gelombang yang dibangkitkan
sampai pada batas tertentu. Hal ini karena ada lereng waduk yang lebih curam dari
pada yang disimulasikan saat ini. Simulasi dalam studi ini menggunakan longsor
yang relatip tidak besar baik volume maupun kecepatannya. Jika dibandingkan
dengan Vaiont Valey di Italia 9 Oktober 1963 maka volume yang disimulasikan
kurang dari 1 persennya. Namun demikian risiko yang dihadapi bisa sangat besar
tergantung pada jumlah penduduk yang akan terserang banjir bandang. Jika volume
dan kecepatan lebih besar maka akan terjadi gelombang yang lebih besar pula.
Untuk longsoran tipe impulsive yang kecepatan longsorannya mendekati kecepatan
gelombang yang ditimbulkan maka tinggi gelombang yang ditimbulkan akan
mendekati ketebalan longsoran.
9
220
4. Simulasi ini jauh relatip murah, lebih mudah dan cepat serta dapat divariasi
sesuai dengan skenario yang diinginkan dibanding dengan simulasi
menggunakan model fisik.
Rekomendasi
1. Perlu pengembangan model longsor dalam waduk yang membangkitkan
gelombang dalam dua dimensi.
2. Perlu dilakukan verifikasi dan kalibrasi model longsoran agar model dapat
lebih realistis dan akurat
3. Waduk yang saat ini sedang direncanakan atau yang sedang dibangun
seyogyanya dievaluasi kemungkinan longsor pada lerengnya. Bahaya
limpasan gelombangya perlu dievaluasi dengan menggunakan simulasi
seperti yang dilakukan pada studi ini.
REFERENSI
Arnasa, Y., 2013. Kajian Pengaruh Gelombang Akibat Longsor Pada Kolam
Waduk Terhadap Keamanan Bendungan Jatigede, Jawa Barat. Tesis, UGM,
Yogyakarta.
Genevois. R., and P.R. Tecca, 2013. The Vajont Landslide: State-Of-The-Art,
Italian Journal of Engineering Geology and Environment - Book Series (6)
Hammax. J. L., dan Raichlen. F., 1980. Long wave generated by complex bottom
motions, Coastal Engineering, pp. 639-651
Huber. A., 1984. Discussion on evaluationg hazards of Landslide-induced water
waves, J. Waterway, Port, Coastal and Ocean Division, Proc. ASCE., vol .
110, N0. 1 pp. 111-114
Sassa, K., 1988. Geotechnical model for the motion of landslides. Proceedings, 5th
International Symposium on Landslides, vol. 1, pp. 37–56
Triatmadja. R., 1990. Numerical and Physical Studies of Shallow Water Waves
with Special Reference to Landslide Generated Waves and the Method of
Characteristics, Disertasi, University of Strathclyde
Wang. K., dan K. Sassa, 2010. Landslide simulation by a geotechnical model
combined with a model for apparent friction change, Physics and Chemistry
of the Earth 35 (2010) 149–161
Wijaya. Y., R. Triatmadja., A. Rifa’i, 2016. Analisis Tinggi Gelombang dan
Kemungkinan Limpasan Pada puncak Bendungan Karalloe Sulawesi Selatan
Akibat Longsor Pada Lereng Waduknya, Repository, Universitas Gadjah
Mada
10
221
Sub Tema 3
Konservasi,
Pendayagunaan Sumber
Daya Air dan Pengendalian
Daya Rusak Air untuk
Ketahanan Air
PENGATURAN PARAS AIR TANAH DALAM RANGKA
MENGURANGI LAJU PENURUNAN LAHAN GAMBUT
L. Budi Triadi
Balai Rawa - Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
e-mail: buditriadi@yahoo.com
Intisari
Masalah penurunan lahan gambut akhir-akhir ini mendapatkan perhatian serius
seiring dengan semakin kuatnya isu perubahan iklim dan pemanasan global.
Pembukaan lahan gambut di Kalimantan Tengah menyebabkan penurunan paras
air tanah organik akibat dari drainase berlebih (over drain), sehingga
mempercepat kekeringan terutama saat musim kemarau sehingga rentan terjadi
kebakaran dan penurunan lahan gambut (peat subsidence). Salah satu teknik
mengatasi masalah penurunan gambut tersebut adalah dengan pengaturan paras air
tanah, misalnya dengan membangun bangunan tabat/bendung di saluran eksisting
untuk meninggikan paras air tanah sehingga dapat mengurangi laju penurunan
lahan gambut. Sehubungan dengan itu dilakukan penelitian ini dengan tujuan
untuk mengetahui dampak dari pengaturan paras air tanah pada laju penurunan
lahan gambut. Metode yang dilakukan adalah melakukan simulasi hidraulik paras
air tanah pada musim kemarau dan hujan. Simulasi hidraulik tersebut dilakukan
dengan menggunakan perangkat lunak Quantum GIS (QGIS). Hasil simulasi
menunjukkan bahwa laju penurunan pada kondisi ekisting (lahan gambut
terdegradasi) adalah 3,49 cm/tahun, sementara itu pada kondisi dengan adanya
tabat/bendung sebesar 2,5 cm/tahun. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan
tabat/bendung di saluran yang merupakan salah satu bentuk pengaturan air tanah
di lahan gambut dapat mengurangi laju penurunan gambut di kawasan tersebut.
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah pengaturan air tanah dapat
mengurangi laju penurunan lahan gambut.
Kata kunci: Paras Air Tanah, Laju Penurunan Gambut
LATAR BELAKANG
Gambut terbentuk dari bahan-bahan organik yang membusuk secara tidak
sempurna dan terakumulasi selama ribuan tahun pada lingkungan yang
kekurangan oksigen (anaerob). Jauhiainen, et al. (2005) mengatakan gambut
ombrotrophic tropis dapat ditemukan di tempat-tempat dimana curah hujan cukup
besar, kondisi topografi mendukung terjadinya drainase yang kurang baik,
sehingga selalu tergenang dan sangat masam. Sebagian dari karbon yang diambil
oleh vegetasi dilepaskan kembali ke atmosfir dalam proses respirasi tanaman,
tetapi sisanya disimpan dalam bahan organik hidup dan mati dengan periode yang
sangat lama dan stabil.
Namun gambut rentan bila kondisi alaminya terganggu, misalnya akibat
pengatusan berlebih sehingga dapat menyebabkan penurunan lahan/subsiden.
Masalah penurunan lahan gambut mendapatkan perhatian serius seiring dengan
semakin kuatnya isu perubahan iklim dan pemanasan global (Muhammad Noor,
1
225
2011). Pembukaan lahan gambut melalui sistem tata air drainase yang
dikembangkan menyebabkan kandungan air yang semula tersimpan di areal lahan
bergambut mengalir dengan cepat ke saluran kemudian menuju sungai. Akibat
dari itu tanah gambut mengkerut dan terjadi penurunan paras air tanah dan
kehilangan bahan dasar tanah organik sebagai akibat oksidasi bahan organiknya.
Lebih lanjut terjadilah penurunan paras tanah gambut (organic) di lahan yang
disebut Peat Subsidence (Siti Yuliawati, 2008).
Sehubungan dengan hal di atas, maka perlu dilakukan revitalisasi terhadap lahan-
lahan gambut yang sudah mengalami kerusakan akibat penggundulan, kebakaran
ataupun pengatusan berlebih. Oleh karenanya saluran-saluran tersebut harus
segera disekat atau bahkan (jika memungkinkan) ditimbun seluruhnya, agar tidak
menimbulkan kerusakan yang semakin parah terhadap lingkungan lahan gambut
(Suryadiputra, I.N.N., 2005). Untuk mendukung maksud di atas maka
dilakukanlah pengaturan paras air tanah dengan membangun tabat dan upaya
penghutanan kembali untukmengurangi laju penurunan lahan gambut tersebut.
Pengaturan ini dilakukan melalui simulasi hidraulik dengan mengacu pada
penelitian yang dilakukan oleh Triadi, Budi L.,et al., 2013. Penelitian dilakukan di
kawasan pengelolaan adaptif, yaitu lahan gambut di Sei Ahas, Blok A eks PLG
(Proyek Lahan Gambut) sejuta hektar, sebelah timur sungai Kapuas pada
kabupaten Kapuas, propinsi Kalimantan Tengah, lihat Gambar 1. Pada lokasi ini
tanah mineral, gambut dapat ditemukan dalam jarak relatif pendek, dimana
gambut telah terbakar, terdegradasi, tidak produktif dan masing-masing
mempunyai saluran-saluran yang dapat mematus air dari lahan gambut ke sungai
Kapuas. PLG terletak pada kubah gambut dengan ketebalan lebih dari 10 meter
yang seharusnya tidak dikembangkan dan harus dikonservasi.
Sei Ahas
2
226
Penelitian penurunan lahan gambut serupa pernah dilakukan oleh beberapa
peneliti pada lahan gambut dari berbagai negara dengan berbagai penggunaan
lahan yang berbeda. Nilai laju penurunan yang diperoleh dari penelitian ini berada
dalam rentang dari banyak penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya.
KAJIAN PUSTAKA
Drainase lahan gambut di Indonesia sebenarnya sudah lama dilakukan oleh
masyarakat di pedalaman Kalimantan Tengah. Namun saat itu, jumlah saluran
(handil) relatif sedikit dan dimensinya relatif kecil (lebar ˂5 meter). Saluran mirip
handil juga dikembangkan oleh masyarakat bugis, di Jambi, tapi istilah handil
diganti dengan kata ‘parit’.
Jumlah saluran-saluran drainase di lahan gambut kini semakin meluas sejalan
dengan semakin banyaknya lahan gambut yang dialih fungsikan menjadi
perkebunan sawit dan akasia. Kedua macam komoditas ini, membutuhkan saluran
drainase yang digunakan untuk mengatur tinggi muka air gambut (sekitar 60-80
cm untuk sawit dan 50-60 cm untuk akasia), agar komoditas yang ditanam dapat
tumbuh optimal dan tidak terendam air. Namun pada kenyataannya, ketinggian
muka air ini sulit dipertahankan. Hasil kajian oleh Wetland International-
Indonesia (WI-I) pada Maret 2014 terhadap tinggi paras air tanah di lahan gambut
yang ditanami sawit di Sumatera dan Kalimantan ternyata bervariasi. Saat musim
kemarau, tinggi muka air tanah gambut bervariasi antara 30-125 cm sedangkan
saat musim hujan 10-70 cm.
Kenyataan di atas membuktikan bahwa tinggi muka air tanah gambut (akibat
terdapatnya saluran drainase) sulit dikendalikan karena sifat tanah gambut yang
poros. Kondisi demikian mengakibatkan sulit terpenuhinya PP No. 150/2000
maupun PP No. 71/2014 yang menetapkan bahwa lahan gambut dinyatakan rusak
jika air tanah gambut nilainya > 25 cm atau > 40 cm.
Al. Hooijer et al (2012a) melaporkan suatu hasil kajian terhadap dampak drainase
di lahan gambut terhadap subsiden, emisi karbon dan banjir. Hasil kajian tersebut
(diperoleh dari kumpulan data drainase di lahan gambut negara-negara Asia
tenggara, terutama Indonesia dan Malaysia) diperbandingkan dengan data dari
lokasi semi-tropika di Amerika (California dan Florida, USA), dan diperoleh
gambaran bahwa besarnya laju subsiden sekitar 4-8 cm /tahun jika rata-rata air
tanah gambut berada pada kedalaman sekitar 70 cm dari permukaan gambut (lihat
Gambar 2). Menurut penulis yang sama, dinyatakan pula bahwa subsiden tidak
bertambah lambat dengan bertambahnya waktu. Selanjutnya dikatakan pula
bahwa di Asia Tenggara, pada gambut dalam, subsiden dapat mencapai 2,5 meter
setelah 25 tahun dan sampai dengan 6 meter setelah 100 tahun (Hooijer et al,
2012a).
3
227
Al. Hooijer et al. 2012b, juga menyimpulkan bahwa rata-rata subsiden pada lahan
gambut yang ditanami akasia adalah sekitar 5,2 cm/tahun pada kedalaman air
tanah rata-rata 70 cm.
Kajian terhadap laju subsiden di lahan gambut, sebelumnya telah dilakukan juga
oleh Couwenberg (2009). Gambar 3 memperlihatkan bahwa nilai subsiden
bervariasi pada kedalaman paras air tanah yang berbeda-beda. Tapi
kecenderungan yang terjadi adalah, bahwa nilai subsiden akan meningkat sejalan
dengan bertambahnya kedalaman drainase. Couwenberg menyatakan bahwa
pada kedalaman air tanah gambut sekitar 60-80 cm subsiden berkisar antara 3-5
cm/tahun, atau rata-rata sebesar 4 cm/tahun pada kedalaman air tanah 70 cm
(sedikit lebih rendah dari hasil yang diperoleh Al. Hooijer et al, 2012b di atas,
yaitu 5,2 cm/tahun pada kedalaman air tanah 70 cm).
HIPOTESIS
Berdasarkan teori, laju kecepatan dan waktu subsiden bergantung pada ketinggian
paras air tanah. Semakin tinggi elevasi paras air tanah maka akan semakin
berkurang kecepatan subsiden dan semakin lama waktu subsiden. Oleh karena itu,
upaya menaikkan paras air saluran dan air tanah dengan intervensi hidraulik,
diharapkan dapat mengurangi laju subsiden di lahan gambut. Dalam penelitian ini,
intervensi hidraulik dilakukan dengan empat skenario simulasi hidraulik
sebagaimana disajikan pada Bab Metodologi. Dengan intervensi hidraulik tersebut
diharapkan paras air akan naik cukup besar sehingga tujuan untuk mengurangi
laju subsiden tercapai. Hal ini yang akan dibuktikan dalam penelitian ini.
METODOLOGI
Pengukuran Ketebalan Gambut (Peat Depth)
Pengukuran ketebalan gambut dilakukan dengan metode pengeboran tanah
dengan menggunakan alat bor gambut tangan (hand boring), lihat Gambar 4.
Untuk memastikan ketebalan gambut yang tepat dilakukan pengambilan sampel
tanah yang diambil setiap kedalaman 20 (dua puluh) cm sampai ditemukannya
tanah mineral/tanah keras. Dalam penelitian ini pengukuran ketebalan gambut
dibatasi sampai dengan kedalaman maksimum 6 (enam) meter.
4
228
Gambar 4. Alat bor gambut dan proses pemboran tanah gambut
5
229
Gambar 6. Alat pengukuran dinamika paras tanah gambut (subsidence pole)
….......................... (2)
6
230
Sementara itu perhitungan laju kecepatan penurunan gambut dan waktu
penurunan pada kondisi ada tabat dan tanpa penghutanan, dihitung dengan nilai
WD tereduksi sebesar 50% dari kondisi eksisting, yaitu - 0,2 m.
Untuk perhitungan laju kecepatan penurunan gambut dan waktu penurunan pada
kondisi ada tabat dan penghutanan kembali, dihitung dengan persamaanuntuk
hutan terdrainasi:
……..…… (3)
WD tereduksi diambil sebesar 50% dari kondisi eksisting, yaitu - 0,2 m
Untuk perhitungan laju kecepatan penurunan gambut dan waktu penurunan pada
kondisi tidak ada tabat, tanpa penghutanan dan kebakaran diambil data dan asumsi
berdasarkan peta sebaran kebakaran lahan gambut di Kawasan Sei. Ahas tahun
2001-2009, yaitu diketahui adanya 54 titik api dari 27 titik kawasan Sei Ahas
(Tansey et al., 2008). Apabila diambil rata-rata maka diperoleh 2,19 titik api per
kawasan (2,19 titik api/sel) selama 9 tahun atau 0,243 titik api/sel/tahun
(Kalimantan Forests and Climate Partnership, 2009). Diasumsikan dari setiap 1
(satu) titik api terjadi penurunan lahan gambut sebesar 10 cm/tahun (Al. Hooijer et
al., 2012a). Dengan kondisi tidak adanya tabat, tanpa penghutanan kembali dan
terjadi kebakaran, maka persamaan yang digunakan adalah:
…(4)
Dengan WD = - 0,4 meter,
Gambut total pada Tabel 1 menunjukan kondisi paras air tanah turun berada di
dasar tanah gambut, dengan demikian seluruh gambut berada di atas paras air
tanah. Dengan kata lain seluruh gambut (gambut total) kering. Sedangkan gambut
7
231
di atas paras air tanah musim kemarau menunjukkan bahwa gambut yang kering
hanya gambut yang di atas paras air tanah musim kemarau. Hal yang serupa juga
yang dimaksud dengan gambut di atas paras air tanah musim hujan, menunjukkan
bahwa gambut yang kering hanya gambut yang di atas paras air tanah musim
hujan. Sementara itu yang dimaksud batas drainase, adalah paras air tanah
mengikuti kemiringan paras air tanah di lahan rawa yang memungkinkan
terjadinya drainase, yaitu pada kemiringan 20 cm/km atau kemiringan, i =0,002.
Tabel 1 memperlihatkan waktu penurunan gambut semakin melambat dengan
adanya intervensi terhadap lahan eksisting, akibat dari kenaikan paras air tanah
gambut. Intervensi yang dimaksud adalah pembangunan tabat dan penghutanan.
Sebagai contoh, waktu penurunan gambut pada kondisi eksisting untuk paras air
tanah musim kemarau = 48 tahun, untuk intervensi dengan tabat waktu penurunan
menjadi lebih lama, yaitu = 67 tahun. Dan akan menjadi lebih lama lagi pada
intervensi dengan tabat dan penghutanan, yaitu = 103 tahun. Sedangkan waktu
penurunan paling cepat, bila terjadi kebakaran, yaitu = 28 tahun.
Ditinjau dari laju penurunan gambut, saat terjadi kebakaran tanpa adanya tabat
dan penghutanan, laju penurunan gambut akan berlangsung dengan cepat, yaitu
5,9 cm/tahun. Dan laju penurunan yang paling lambat ada pada kondisi adanya
tabat dan penghutanan, yaitu 1,62 cm/tahun. Pada kondisi hanya ada tabat saja
tanpa penghutanan, laju penurunan gambut lebih lambat dari ada tabat dan
penghutanan, yaitu 2,5 cm/tahun. Sedangkan pada kondisi eksisting, laju
penurunan gambut lebih lambat dari pada ada kebakaran, yaitu 3,49 cm/tahun
tetapi lebih cepat dari pada ada tabat atau tabat dengan penghutanan. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa pada paras air tanah yang semakin tinggi,
ketebalan gambut yang akan hilang semakin kecil dan waktu penurunan gambut
semakin cepat. Sementara itu dengan adanya intervensi, laju penurunan gambut
akan semakin lambat.
Selanjutnya pada satu titik/lokasi di daerah penelitian (instrumen T2 – DW 10)
yang dapat dilihat pada Gambar 8, disajikan dengan lebih jelas korelasi antara
elevasi paras tanah gambut dan elevasi paras air tanah dari waktu (Gambar 9).
8
232
Pada Gambar 9, terlihat dinamika elevasi dari paras tanah gambut dan elevasi
paras air tanah menunjukkan kurang lebih kesamaan pola/kecenderungan, dimana
ketika paras air tanah turun maka paras tanah gambut juga ikut turun. Demikian
sebaliknya ketika paras air tanah naik maka paras tanah gambut juga mengalami
kenaikan.
7,400
7,300
7,200
7,100
Elevasi (m)
7,000
6,700
6,600
Tanggal
Gambar 9. Dinamika elevasi para tanah gambut dan paras air tanah
KESIMPULAN
1. Dengan adanya intervensi hidraulik pengaturan paras air tanah (melalui
pembuatan tabat), laju penurunan gambut (2,5 cm/tahun) menjadi lebih kecil
dibandingkan dengan tanpa intervensi apapun (kondisi eksisting), yaitu 3,49
cm/tahun.
2. Laju penurunan gambut, saat terjadi kebakaran tanpa adanya tabat dan
penghutanan cukup tinggi, yaitu 5,9 cm/tahun, sementara laju penurunan
dengan adanya adanya tabat dan penghutanan, sebesar 1,62 cm/tahun.
3. Dinamika elevasi paras tanah gambut dan elevasi paras air tanah menunjukkan
kurang lebih kesamaan pola/kecenderungan, dimana ketika paras air tanah
turun maka paras tanah gambut juga ikut turun, demikian pula sebaliknya.
4. Penelitian ini membuktikan kebenaran hipotesis dan sekaligus menjawab
tujuan penelitian
5. Ketinggian paras air tanah menentukan berkurangnya laju subsiden, semakin
rendah letak paras air tanah akan semakin tinggi laju subsiden
6. Jenis pengaturan air tanah menentukan pula laju dan waktu subsiden. Studi ini
membuktikan bahwa dengan membangun tabat/bendung, laju subsiden jauh
lebih kecil dari pada kondisi eksisting.
REFERENSI
Al. Hooijer, S. Page, J. Jauhiainen, W. A. Lee, X. X. Lu, A. Idris, and G. Anshari,
2012a. Subsidence and carbon loss in drained tropical peatlands,
Biogeosciences paper., QGIS User Guide, www.qgis.org/manual_user.
9
233
Al Hooijer, L. Budi Triadi, Oka Karyanto, Sue Page, Marnix van der Vat and
Gilles Erkens, 2012b. The impact of subsidence: can peatland drainage be
sustainable in the long term, ICWF paper.
Couwenberg, 2009. Greenhouse gas fluxes from tropical peatswamps in
Southeast Asia, Version of Record online: 1 JUL 2009 | DOI:
10.1111/j.1365-2486.2009.02016.x, Global Change Biology, June
2010,Volume 16, Issue 6, Pages 1645–1893, © John Wiley & Sons Ltd,
Jauhiainen J., Takahashi H., Heikkinen JEP., Martikainen PJ., and Vasander H.,
2005. Carbon fluxes from a tropical peat swamp forest floor. Global Change
Biology 11: 1788 - 1797.
Kalimantan Forests and Climate Partnership, 2009. Strategic Peatland
Rehabilitation Plan for Block A (North-West) in the Ex-Mega Rice Project
Area, Project No : IFCI-C0011, Central Kalimantan.
Muhammad Noor, 2011. Lahan Gambut: Pengembangan, Konservasi dan
Perubahan Iklim, Penerbit : Gadjah Mada Press Yogyakarta.
Siti Yuliawati, 2008. Prediksi Besaran Soil Subsidence (Penurunan Muka Tanah
Organik Dan Aplikasinya Dalam Perencanaan Pengembangan Sumberdaya
Alam Rawa), Jurnal Universitas Sumatera Utara.
Suryadiputra, I. N.N., Alue Dohong, Roh, S.B. Waspodo, Lili Muslihat,
Irwansyah R. Lubis, Ferry Hasudungan, dan Iwan T.C. Wibisono, 2005.
Panduan Penyekatan Parit dan Saluran di Lahan Gambut Bersama
Masyarakat. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia.
Wetlands International – Indonesia Programme dan Wildlife Habitat,
Canada, Bogor.
Tansey, K., Beston, J., Hoscilo, A., Page, S.E., Paredes Hernandez, C.U., 2008.
Relationship between MODIS Fire Hot Spot Count and Burned Area in
Degraded Tropical Peat Swamp Forest in Central Kalimantan, Indonesia,
Journal of Geophysical Research: Atmospheres (1984-2012), Volume 113,
Issue D23.
Triadi, Budi L. Et al., 2013. Hydraulic Intervention Impact On
Subsidence And Carbon Emissions In Peatland As A Disaster
Mitigation Effort (Case Study : Sei Ahas - Central Kalimantan),
Proceeding of the 4th HATHI International Seminar, 6 – 8
September 2013, Yogyakarta.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 150 Tahun 2000
Tentang Pengendalian Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomasa.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 23 Desember 2000 oleh
Presiden Republik Indonesia, Ttd Abdurrahman Wahid
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem
Gambut.Ditetapkan di Jakarta pada September 2014 oleh Presiden
Republik Indonesia, ttd Jauhiainen, Dradjad. H., Susilo Bambang
Yudhoyono
10
234
KONSERVASI MATA AIR MELALUI KEARIFAN LOKAL:
STUDI KASUS DI KAWASAN MATA AIR WATUTELA,
KECAMATAN MANTIKULORE, PALU
Sukiman* dan Sukma Impian Riverningtyas
Dinas Sumber Daya Air Provinsi Sulawesi Tengah
*sukiman.mia@gmail.com
Intisari
Air adalah sumberdaya yang esensial keberadaannya di kehidupan sehari-hari
masyarakat. Mata air Watutela yang berada di Kelurahan Tondo, Kecamatan
Mantikulore, Kota Palu menjadi sumber air utama bagi penduduk Kampung
Watutela dan sekitarnya. Masyarakat ini memiliki kearifan lokal dalam bentuk
masyarakat adat To Po Tara Vatutela. Analisis mengenai kearifan lokal ini
dilakukan karena keberadaannya memiliki andil yang kuat untuk mencegah
kerusakan fungsi mata air. Metode penelitian yang digunakan adalah deskripsi
kualitatif. Data diperoleh dari survey lapangan, wawancara, dan studi pustaka.
Wawancara dilakukan kepada pemuka adat To Po Tara Vatutela. Hasil
menunjukkan bahwa bentuk kearifan lokal masyarakat Watutela adalah berupa
anjuran dan larangan, seperti: menjaga kebersihan lingkungan mataair, upacara
Pompaura, serta larangan untuk menebang pohon dan membuang sampah di dalam
hutan dan aliran air. To Po Tara Vatutela membagi kawasan hutan (Pangale)
menjadi dua yaitu a) Pangale Bose, yaitu hutan rimba yang belum dikelola, dan b)
Pangale Katumpua, yaitu hutan larangan yang merupakan tempat keramat dan
sumber mata air Watutela. Keberhasilan kearifan lokal dalam upaya pengelolaan
hutan dan mataair tidak hanya dilakukan oleh masyarakat namun harus didukung
oleh pemerintah terkait penyuluhan konservasi mataair, pendampingan, dan
pengawasan kondisi mataair. Di dalam pelestarian lingkungan, kearifan lokal
memainkan peran penting untuk menanamkan kebiasaan menjaga lingkungan.
Kata Kunci: Kearifan Lokal, Konservasi, Mata air, To Po Tara Vatutela, Watutela.
LATAR BELAKANG
Air adalah sumber kehidupan bagi setiap makhluk hidup. Vandhana (2002, dalam
Sulastriyono, 2009) bahkan menyatakan bahwa air merupakan bagian dari budaya
masyarakat di seluruh dunia. 97% jumlah air di dunia ditemukan dalam bentuk air
asin sedangkan air tawar yang dapat dimanfaatkan oleh manusia tidak lebih dari 1%
dari total air yang ada (Asdak, 2002). Keterbatasan jumlah air harus diimbangi
dengan usaha pengelolaan sumberdaya air yang merupakan dasar dari peradaban
manusia yang secara konsisten dan terus-menerus diupayakan agar dapat memenuhi
kebutuhan hidup manusia (Sunaryo dkk, 2005).
1
235
Kota Palu merupakan ibukota Provinsi Sulawesi Tengah dengan wilayah seluas
395,06 km2 , berada pada kawasan dataran Lembah Palu dan Teluk Palu yang secara
astronomis terletak antara 0º,36”‐ 0º,56” Lintang Selatan dan 119º,45”‐121º,1”
Bujur Timur, tepat berada di bawah garis Khatulistiwa dengan ketinggian 0-700
meter di atas permukaan laut. Kota Palu terdiri dari 8 kecamatan yaitu Palu Utara,
Palu Selatan, Palu Barat, Palu Timur, Mantikulore, Tawaili, Tatanga dan Ulujadi
(Badan Pusat Statistik, 2013).
Salah satu sumber air yang dimanfaatkan oleh masyarakat Kota Palu berasal dari
mata air. Mata air merupakan air tanah yang keluar dengan sendirinya ke
permukaan tanah. Berdasarkan cara keluarnya air ke permukaan tanah, mata air
dapat dibedakan menjadi: mata air rembesan, yaitu mata air yang keluar dari
lereng-lereng dan mata air umbul, yaitu mata air keluar dari suatu daratan (Sutrisno
dan Suciastuti, 2002).
Mata Air Watutela adalah salah satu mata air utama penyuplai air yang digunakan
oleh penduduk Kota Palu. Mata Air Watutela terletak di wilayah Kelurahan Tondo,
Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah. Secara geografis,
Kelurahan Tondo berbatasan dengan Kelurahan Layana di sebelah utara,
Kabupaten Parigi Moutong di sebelah timur, Kelurahan Talise di sebelah barat, dan
Teluk Palu di sebelah selatan (Badan Pusat Statistik, 2013).
Perubahan lahan dan kebutuhan yang semakin meningkat menyebabkan beberapa
sumberdaya air menjadi langka. Beberapa tempat di Kota Palu telah mengalami
kekeringan seperti yang dilansir Darwis (2009) bahwa di Kelurahan Pengawu dan
Kelurahan Tondo pasokan air sangat terbatas sehingga masyarakat harus membeli
air dari daerah lain. Kekeringan yang melanda suatu daerah dapat dipengaruhi oleh
perubahan fungsi lahan. Salah satu fenomena alih fungsi lahan yang berdampak
buruk bagi sumberdaya air adalah aktivitas penambangan emas di Kelurahan
Poboya, lokasi yang berada di dekat Watutela. Area yang dahulunya merupakan
kawasan pertanian dengan hamparan sawah, ladang dan kebun-kebun masyarakat,
kini dipenuhi dengan galian-galian penambang dan mesin-mesin tromol pengolah
emas. Kelurahan Poboya dan Tondo adalah salah satu daerah penyuplai air bagi
masyarakat Kota Palu baik dalam bentuk sumur maupun PDAM (Alkhairaat, 2009).
Sumberdaya air memerlukan konservasi secara berkelanjutan. Semua pihak
bertanggung jawab untuk menjaga air agar tetap lestari. Salah satu kegiatan
konservasi sumberdaya air yang terus-menerus dilakukan berasal dari masyarakat
itu sendiri. Interaksi antara manusia dan lingkungan akan menimbulkan suatu
budaya yang mencerminkan bentuk adaptasi dan strategi bertahan hidup dari suatu
bencana yang disebut dengan kearifan lokal (Sudarmadji, dkk, 2012 dalam Cahyadi
dan Setyaningrum, 2013). Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa kearifan
lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat antara
lain untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.
Bentuk kearifan lokal masyarakat sekitar Mata Air Watutela tercermin dari
berbagai nilai-nilai adat setempat yang dibuat dan ditaati oleh masyarakatnya.
Kearifan lokal adalah bagian dari usaha untuk melestarikan alam, lingkungan,
2
236
sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat (Awang, 2008). Keberlangsungan mata air
yang berkepanjangan di wilayah Watutela merupakan hasil preservasi dari
pemerintah bersama dengan masyarakat adat To Po Tara Vatutela. Kearifan lokal
yang terus dilestarikan di komunitas ini turut mempunyai andil besar dalam
konservasi sumberdaya mata air. Oleh karena itu analisis mengenai konservasi mata
air di wilayah kajian menjadi penting untuk dilakukan.
METODOLOGI STUDI
Daerah kajian adalah Kampung Watutela, Kelurahan Tondo, Kecamatan
Mantikulore, Provinsi Sulawesi Tengah. Metode penelitian yang digunakan adalah
metode kualitatif, yaitu metode yang menitikberatkan pada proses, peristiwa, dan
otensitas (Somantri, 2005). Metode pelaksanaan penelitian terdiri dari studi
pustaka, tinjau lapangan, dan wawancara dengan pihak-pihak terkait To Po Tara
Vatutela dan Mata Air Watutela.
Data yang digunakan adalah data sekunder dan data primer. Studi pustaka
menghasilkan data sekunder mengenai keberadaan Mata Air Watutela dan kearifan
lokal masyarakat adat. Tinjau lapangan menghasilkan data primer berupa keadaan
aktual kampung Watutela. Wawancara menghasilkan data sekunder berupa
deskripsi kearifan lokal yang telah berkembang di masyarakat, potensi mata air
serta pengelolaan mata air di wilayah kajian. Wawancara dilakukan melalui teknik
in depth interview kepada tetua adat To Po Tara Vatutela dan masyarakat petani
Kampung Watutela.
3
237
Gambar 1. Pipa saluran mataair.
Keberadaan mataair di suatu wilayah dipengaruhi oleh curah hujan, permeabilitas,
topografi, sifat hidrologi lapisan pembawa air dan struktur geologi (Todd, 1980).
Mata air Watutela tergolong pada mataair struktural yang bersifat perenial yang
mengalir sepanjang tahun. Gambar 1 menunjukkan pipa saluran air dari kompleks
Mata Air Watutela ke rumah penduduk. Karakteristik mataair ditinjau dari aspek
jumlah, distribusi, sifat hidrologi (kontinuitas dan besar aliran) dan kualitas air
(Sudarmadji, 2011). Mataair Watutela berada di kawasan Taman Hutan Raya
(Tahura) Sulawesi Tengah dengan jumlah yang cukup besar sehingga dapat
dimanfaatkan untuk kebutuhan domestik masyarakat lokal (Gambar 2).
Karakteristik aliran berdasarkan hasil survei lapangan dan wawancara adalah aliran
yang kontinu dan tidak pernah mengering. Pada bulan-bulan kering hanya terjadi
pengurangan debit namun tidak mencapai kehilangan air sama sekali.
Kualitas air pada Mata Air Watutela setelah diuji secara kualitatif tidak memiliki
warna, rasa, dan bau ketika dirasakan dengan indera perasa dan pembau. Sumber
Mata Air Watutela memiliki kandungan koloid tanah yang rendah bahkan tidak
bercampur dengan air sehingga tidak memiliki kekeruhan. Temperatur air berkisar
pada temperatur udara yaitu 20- 26̊C. Hal ini mengindikasikan tidak terdapat zat-
zat tertentu yang mengeluarkan atau menyerap energi dalam air. Berdasarkan
wawancara tidak ditemukan adanya penyakit pada warga akibat mengonsumsi air
dari mataair. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas air pada Mata Air Watutela
tergolong baik.
Masyarakat Dusun Watutela memanfaatkan air yang berasal dari mataair di dalam
Tahura. Air yang diperoleh digunakan untuk kebutuhan domestik. Kebutuhan air
domestik adalah kebutuhan air yang digunakan pada tempat-tempat hunian pribadi
untuk memenuhi keperluan sehari-hari seperti memasak, minum, mandi, mencuci
dan keperluan rumah tangga lainnya. Gambar 3 menunjukkan adanya instalasi
pengolahan air minum di Watutela. Kualitas air yang baik sepanjang tahun
menyebabkan sumberdaya air yang berada di kawasan Watutela ini menjadi sumber
air utama bagi masyarakat.
4
238
Gambar 2. Kawasan Watutela yang merupakan bagian dari
Tahura Sulawesi Tengah
Mata Air Watutela secara umum berfungsi sebagai sumber bahan pangan, sumber
mineral, seperti garam, kalium karbonat, dan sejenisnya bagi tanaman dan tanah.
Sektor perkebunan merupakan sektor utama yang menjadi mata pencaharian
masyarakat Watutela. Kegiatan pengembangan sektor perkebunan yang
berkelanjutan menyebabkan kegiatan pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat
akan dapat terus berlangsung. Selama ini perkebunan mendapat air dari hujan dan
aliran mata air.
Pemanfaatan air secara efisien dengan mempertimbangkan kebutuhan yang rasional
dan pasokan yang makin terbatas perlu dilakukan. Setiap pengguna air harus
melakukan upaya konservasi air dan perlu dituangkan dalam peraturan yang
mengikat dan dilaksanakan secara konsisten. Tokoh masyarakat dan pemerintah
perlu memfasilitasi pengguna air dalam melaksanakan konservasi air. Beberapa
solusi dalam konservasi air adalah penerapan inovasi teknologi panen air seperti
embung, dam parit, dan sumur resapan. Proporsi penggunaan air untuk setiap sektor
5
239
perlu ditetapkan melalui analisis kebutuhan air setiap sektor, identifikasi potensi air
permukaan dan bawah permukaan, serta curah hujan efektif dalam pengisian air
bawah permukaan. Hal ini dikarenakan penggunaan mataair saja dikhawatirkan
akan mengalami kekurangan di masa depan.
Mata air dan sumberdaya hutan telah menjadi harta yang sangat berharga bagi
masyarakat sekitar terutama dalam pemanfaatan sumberdaya airnya. Elemen
masyarakat seperti penjaga hutan, kepala desa, petani, pengusaha, birokrat, tokoh
adat dan warga setempat memiliki rasa kepedulian dan kepemilikan yang tinggi
untuk menjaga hutan dan keanekaragaman yang terdapat di dalamnya. Komposisi
tersebut memungkinkan terjadinya pengawasan berlapis, baik dalam implementasi
maupun tanggung jawab dalam pendayagunaan sumberdaya air. Tindakan
pengawasan serta penjagaan ini dapat mengoptimalkan akses, kontrol, dan
partisipasi masyarakat dalam pendayagunaan sumberdaya air.
Kearifan Lokal Masyarakat Watutela dalam Konservasi Mata Air
Kearifan lokal identik dengan pola pikir tradisional dan irasional masyarakat.
Berbagai hukum adat diterapkan dalam kehidupan kultural masyarakat. Masyarakat
adat Watutela yang disebut To Po Tara Vatutela berkaitan dengan pengelolaan
hutan dan mataair di dalamnya. Hukum adat adalah aturan yang mengatur perilaku
manusia dalam kehidupannya yang tercermin dalam kebiasaan, kelaziman, dan
kesusilaan yang dijunjung tinggi dan dilestarikan oleh masyarakat (Sudiyat, 1978).
Kawasan Watutela adalah salah satu daerah kekuasaan Kerajaan Tawaeli yang
terbentang dari Ogoamas hingga Lasoani pada masa pemerintahaan Magau Yangge
Bodu (1800-1900). Watutela pada awalnya adalah hutan tempat berburu oleh
Magau I Parigi yang kemudian ditransformasikan menjadi kawasan permukiman
pada abad ke-15 (Lembah, 1985). Watutela dipercaya telah memiliki andil besar
dalam peradaban Kota Palu karena memiliki sumberdaya alam yang melimpah.
Masyarakat mempercayai jika ada yang merusak hutan di Watutela maka ia akan
mendapatkan musibah. Bentuk kearifan lokal masyarakat di Kampung Watutela
pada dasarnya berupa anjuran dan larangan, seperti: menjaga kebersihan
lingkungan mataair, larangan untuk menebang pohon, merusak tumbuhan,
membunuh binatang, serta berbuat asusila di dalam hutan. Bentuk kearifan lokal
masyarakat sekitar Mata Air Watutela tercermin dari berbagai nilai-nilai adat
setempat yang dibuat dan ditaati oleh masyarakatnya.
Kearifan lokal masyarakat sekita Mata Air Watutela terdiri dari pengelolaan hutan,
anjuran dan larangan, upacara serta keyakinan yang dianut sehari-hari. Masyarakat
Watutela memiliki aturan pola peruntukan lahan hutan sebagai berikut:
1. Hutan (Pangale) terbagi menjadi dua yaitu a) Pangale Bose, yaitu hutan rimba
yang belum dikelola, dan b) Pangale Katumpua, yaitu hutan larangan yang
merupakan tempat keramat dan sumber mata air Watutela.
2. Lahan yang terbagi empat yaitu, a) Nava (belukar bekas kebun), b) Talua
(kebun campuran), c) Lumbu (padang penggembalaan), dan d) Ngapa
(kampung besar) dan Boya (kampung kecil).
6
240
Pengelolaan hutan yang berbasiskan kearifan lokal diharapkan dapat menjaga
kelestarian sumberdaya air serta hewan dan tumbuhan yang ada di dalamnya
sehingga masyarakat dapat hidup sejahtera dan harmonis dengan alam. Pangale
Katumpua adalah bentuk kepercayaan masyarakat Watutela tentang adanya
kekuatan mistis yang menguasai area tersebut sehingga mendorong masyarakat
untuk tidak mengganggu tanah, tanaman, maupun air yang berada di sekitar daerah
tersebut. Gambar 4 menunjukkan pangale yang dilewati pipa saluran mata air ke
rumah warga.
Masyarakat percaya bahwa yang mengambil kayu dari hutan telarang akan
mendapatkan musibah. Berdasarkan penuturan dari salah satu pemuka adat,
Muslima, masyarakat yang mengambil kayu secara sengaja di kawasan yang
dilarang untuk membangun rumah maka rumahnya roboh diterpa angin.
Kepercayaan masyarakat juga menyebabkan tidak adanya sampah atau kotoran di
sungai. Masyarakat tidak membuang sampah ke sungai walaupun sungai sedang
dalam kondisi banjir atau kotor setelah hujan lebat. Tradisi lain yang masih
dilestarikan masyarakat Watutela adalah Upacara Pompaura. Masyarakat adat
memiliki upacara adat untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang
Maha Esa atas sumberdaya yang selama ini diberikan dalam bentuk air, hewan
ternak, dan sumberdaya lainnya. Gambar 3 menunjukkan kegiatan setelah
wawancara bersama sepasang suami istri masyarakat Watutela. Zulman, sang
suami, mengatakan bahwa lahan hutan untuk kebun banyak dimanfaatkan untuk
7
241
tanaman cengkeh dan kemiri. Keberadaan mata air sangat membantu
keberlangsungan pekerjaan sehari-hari mereka. Anjuran dan larangan ini membuat
kawasan mata air menjadi bebas dari pembangunan yang dapat mengakibatkan
degradasi lingkungan mata air. Pengelolaan hutan melalui kearifan lokal ini
membantu konservasi mata air Watutela.
Usaha lain sebagai penguat kearifan lokal dalam menjaga kelestarian air adalah
pembuatan peraturan desa yang mengatur tentang status, kedudukan, hak dan
kewajiban, peran serta tanggung jawab masyarakat adat, perlindungan kearifan
lokal dan kawasan resapan air, pengawasan, dan sanksi-sanksi (Siswadi, dkk,
2011). Keberhasilan kearifan lokal dalam upaya pengelolaan hutan dan mataair
tidak hanya dilakukan oleh masyarakat namun harus didukung oleh pemerintah
terkait penyuluhan konservasi mataair, pendampingan, dan pengawasan kondisi
mataair. Di dalam pelestarian lingkungan kearifan lokal memainkan peran penting
dalam mengubah pola pikir masyarakat dari tabiat merusak menjadi menjaga.
8
242
Rekomendasi
Pengembangan penelitian ini dapat dilakukan dengan penggunaan sampel
narasumber yang lebih luas, seperti masyarakat dari dusun lain yang juga
mendapatkan sumber air dari Watutela, pemerintah pengelola Tahura, dan
stakeholders lainnya agar pengetahuan kegiatan konservasi dapat dianalisis lebih
dalam.
Penelitian lain yang dibutuhkan terkait kearifan lokal adalah mengenai kelestarian
kearifan lokal dari generasi ke generasi. Ancaman globalisasi dapat mengurangi
kepekaan masyarakat terhadap kearifan lokal itu sendiri dan perlu diteliti hal-hal
yang dapat mendukung pelestariannya agar tradisi dan budaya tetap terjaga, dan
sumberdaya alam yang menjadi harta masyarakat juga tetap lestari.
REFERENSI
Alkhairaat, 2009. Tambang Emas Poboya Mengandung Merkuri. Media
Alkhairaat, Edisi Jumat 28 Agustus 2009. Palu.
Asdak, C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Awang, S. A. 2008. Deforestasi dan Konstruksi Pengetahuan Pembangunan Hutan
Berbasis Masyarakat. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu
Kehutanan Sosial pada Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada.
Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Badan Pusat Statistik, 2013. Kota Palu dalam Angka 2012. Penerbit Badan Pusat
Statistik. Palu.
Cahyadi, A. dan Setyaningrum, A. 2013. Peranan Modal Sosial (Social Capital)
dalam Pemenuhan Kebutuhan Air Domestik di Kawasan Karst Gunungsewu
(Studi Kasus di Dusun Gemulung, Desa Ngeposari, Kecamatan Semanu,
Kabupaten Gunungkidul, DIY). Dalam Sudarmadji, dkk (eds) 2012. Ekologi
Lingkungan Kawasan Karst Indonesia: Menjaga Asa Kelestarian Kawasan
Karst Indonesia. Deepublish. Yogyakarta
Darwis, D. 2009. Atasi Kekeringan Pemerintah Siapkan Rp 17 triliun. Koran
Tempo. Jakarta.
9
243
Herlambang, A. 2006. Pencemaran air dan strategi penanggulangannya. Jurnal
Akuakultur Indonesia, Vol.2 (1): 16-29.
Lembah, M.N., 1985. Silsilah Kita Santina. Arsip Perpustakaan Daerah Kota Palu.
Palu.
Siswadi, Tulkiman, Taruna, dan Hartuti, Purnaweni, 2011. Kearifan lokal dalam
melestarikan mataair (Studi Kasus di Desa Purwogondo, Kecamatan Boja,
Kabupaten Kendal). Jurnal Ilmu Lingkungan, Vol. 9(2): 63-68.
Somantri, G.R., 2005. Memahami metode kualitatif. Jurnal Makara, Sosial
Humaniora, Vol. 9 (2): 57-65.
Sudarmadji, S., 2011. Konnservasi mata air berbasis masyarakat di unit fisiografi
pegunnungan Baturagung, Ledok Wonosari dan Perbukitan Karst Gunung
Sewu, Kabupaten Gunungkidul. Jurnal Tekno Sains. Vol. 1(1): 1-69.
Sudiyat, I., 1978. Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar. Liberty. Yogyakarta.
Sulastriyono, 2009. Nilai-nilai kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya air di
Telaga Omang dan Nglor Kecamatan Saptosari, Gunungkidul Yogyakarta.
Mimbar Hukum. Vol.21(2): 203-408.
Sunaryo, Trie M, dkk. Pengelolaan Sumberdaya Air. Bayu Media. Malang.
Suripin, S,. 2004. Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. Penerbit Andi.
Yogyakarta.
Sutrisno, T. dan E. Suciastuti., 2002. Teknologi Penyediaan Air Bersih, Rineka
Cipta. Jakarta.
Todd, D.K., 1980. Groundwater Hydrology. Second Edition. Wiley. New York
10
244
PELESTARIAN KAWASAN SITU SEBAGAI SUMBER AIR
BAKU DI BALAI BESAR WILAYAH SUNGAI CITARUM
Winskayati1* dan Chairunnissa Kania Dewi2
1 Hathi Cabang Jawa Barat,
2 Institut Teknologi Nasional Bandung
*Email : winskayati@yahoo.com*
Intisari
Situ merupakan salah satu komponen penting dalam siklus hidrologi pada suatu
daerah aliran sungai, yang dapat berfungsi sebagai retension basin dan sekaligus
sebagai reservoir. Sehingga air yang tersimpan di cekungan situ dapat dimanfaatkan
untuk berbagai keperluan antara lain sebagai sumber air baku untuk masyarakat
yang bermukim di sekitar situ dan di hilir situ. Pada saat ini banyak situ-situ di
wilayah kerja Balai Besar Wilayah Sungai Citarum yang antara lain berada di
Kabupaten Subang telah tidak berfungsi sebagaimana mestinya, hal ini disebabkan
adanya sedimentasi di badan situ, berkurangnya luasan areal situ dan ada beberapa
situ sudah hilang sama sekali dikarenakan adanya alih fungsi lahan situ menjadi
areal pertanian atau menjadi pemukiman. Salah satu upaya agar situ yang ada dapat
berfungsi dan bermanfaat, maka diperlukan suatu kegiatan pelestarian situ dengan
melakukan kegiatan inventarisasi dan audit teknis situ, melakukan operasi dan
pemeliharaan situ dengan melakukan perbaikan di tebing-tebing yang longsor,
rehabilitasi spillway yang bisa mengakibatkan jebolnya situ apabila tidak
diperbaiki, perbaikan tanggul serta adanya penanaman pohon dengan melibatkan
peran serta masyarakat. Dengan dilakukan upaya-upaya tersebut diharapkan situ-
situ yang berada di wilayah Sungai Citarum dapat lestari dan bermanfaat bagi
masyarakat sekitar atau di hilir situ sebagai sumber air baku.
Kata Kunci: pelestarian, situ, air baku
LATAR BELAKANG
Latar Belakang Studi
Situ adalah wadah air yang bisa terbentuk secara alami atau buatan sebagai tempat
tampungan air (air permukaan, air hujan dan air tanah). Dimana situ merupakan
salah satu komponen penting dalam siklus hidrologi pada suatu daerah aliran
sungai, yang dapat berfungsi sebagai retension basin dan sekaligus sebagai
reservoir. Ketersediaan air situ dipengaruhi oleh karakteristik curah hujan,
topografi, luas dan daerah tangkapan air serta tingkat efisiensi pemanfaatan air.
Kapasitas tampung situ merupakan perimbangan antara jumlah air yang masuk
dengan jumlah air yang keluar yang digunakan sebagai air baku untuk berbagai
keperluan.
245
Adanya pola pergeseran penggunaan lahan serta kepemilikan lahan, serta
pengembangan areal di bagian hulu terutama di daerah tangkapan air, merupakan
indikator menurunnya fungsi daerah tangkapan air. Penggunaan lahan yang kurang
terkendali dengan kebutuhan lahan oleh masyarakat semakin meningkat, serta
status tanah yang kurang jelas dicirikan dengan adanya perluasan lahan budi daya
pertanian, hal ini juga yang mengakibatkan alih fungsi lahan di kawasan situ.
Situ yang semula bisa menjadi salah satu sumber air yang mampu memberikan
andil dalam penyediaan air baku (melalui resapan air bagi lahan sekitar situ,
mengalirkan air bagi areal di sebelah hilir serta sebagai penyangga keseimbangan
daerah pengaliran sungai kawasan situ), akan hilang sehingga akan terjadi
penurunan penyediaan air baku.
Saat ini banyak situ-situ di wilayah kerja Balai Besar Wilayah Sungai Citarum yang
antara lain berada di Kabupaten Subang sudah tidak berfungsi sebagaimana
mestinya, hal ini disebabkan adanya alih fungsi lahan situ baik pada hulu situ yang
mengakibatkan adanya sedimentasi yang terbawa ke situ, perubahan fungsi situ
menjadi lahan pertanian (sawah, dan ladang) atau diurug menjadi lahan
permukiman, serta adannya kerusakan dari insfrastuktur situ itu sendiri.
Kajian Pustaka
Situ adalah suatu wadah air di atas permukaan tanah yang terbentuk secara alami
maupun buatan, yang airnya berasal dari air tanah, mata air dan/atau air permukaan
sebagai bagian dari siklus hidrologis yang potensial dan merupakan salah satu
bentuk kawasan lindung.
Sumber daya situ terdiri dari air situ (sebagai air baku), wadahnya (badan, bantaran,
sempadan situ) dan sedimen yang terdapat pada badan situ (pasir, kerikil, batu kali)
Bangunan Situ memiliki beberapa komponen (Kasiro dkk, 1997), meliputi: daerah
tadah hujan (DTH), daerah genangan (storage), tanggul Situ, saluran pembuang
(spillway), jaringan distribusi / reticulation system (pipa distribusi, pipa transmisi),
bak–bak pelayanan (bak air bersih, bak air ternak, bak air kebun), pagar pengaman
(pagar keliling tanggul dan genangan, pintu pagar) dan bangunan–bangunan
pelengkap, seperti : mistar ukur, bench mark dan papan nama Situ
Tingkat keberhasilan pembangunan suatu Situ dapat dinilai dengan cara
menganalisis kinerjanya, yaitu dengan melakukan sistem pendekatan yang
mengacu pada 3 aspek yaitu aspek fisik, aspek pemanfaatan, dan aspek operasi dan
pemeliharaan (O&P). Suatu Situ dikatakan baik atau berhasil apabila ditinjau dari
aspek fisik tidak terdapat kerusakan yang cukup berarti pada komponen-komponen
fisik selama masa layanannya. Apabila dilihat dari aspek pemanfaatannya maka
Situ dikatakan berhasil, jika Situ dapat memberikan ketercukupan air untuk
memenuhi kebutuhan hidup masyarakat sekitar. Jika dilihat dari aspek operasi dan
pemeliharaan maka dinilai dari lancar atau tidaknya kegiatan institusi atau
kelompok pengelolaan dan pemeliharaan sarana Situ oleh masyarakat.
Untuk penilaian aspek fisik yang ditinjau adalah variabel pada tanggul, variabel
pada pelimpah dan variabel pada kolam tampungan, variabel pada pipa jaringan
distribusi, variabel pada bak layanan. Untuk penilaian aspek pemanfaatan adalah
246
dengan menilai cara pembagian air, rasa nyaman dengan adanya jaminan air Situ,
peningkatan kualitas kesehatan, sedangkan untuk Aspek Operasi dan Pemeliharaan
dengan cara menilai ketaatan melaksanakan operasi dan pemeliharaan, ketersediaan
sarana dan dana OP, subsidi, kegiatan pelatihan OP.
Pada makalah ini penilaian kinerja dan kerusakan situ, hanya dilakukan secara
visual di lapangan dan wawancara dengan petugas situ, belum dilengkapi dengan
kuisioner. Setelah dilakukan penilaian kinerja dan penilaian kerusakan dari
bangunan air pada situ secara visual dan penilaian setiap aspek situ dilakukan
dengan menggunakan tabel 1 (Sugiyono, 2006).
Tabel 1. Penilaian Kinerja Situ
Nilai
Aspek
Sangat Baik Baik Tidak Baik Sangat Tidak Baik
Fisik 3,51 - 4,00 2,51 – 3,50 1,51 – 2,50 1,00 – 1,50
Pemanfaatan 3,51 - 4,00 2,51 – 3,50 1,51 – 2,50 1,00 – 1,50
O&P 3,51 - 4,00 2,51 – 3,50 1,51 – 2,50 1,00 – 1,50
Pelestarian Situ dilakukan dengan konservasi sumber daya air yaitu upaya
memelihara keberadaan serta keberlanjutan keadaan,sifat, dan fungsi sumber daya
air agar senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk
memenuhi kebutuhan mahluk hidup, baik pada waktu sekarang maupun yang akan
datang.
247
METODOLOGI
Gambaran Umum Kabupaten Subang
Wilayah Kabupaten Subang secara geografis terletak di bagian utara Propinsi Jawa
Barat dengan batas koordinat yaitu antara 107 0 31' - 1070 54' Bujur Timur dan 60
11' - 60 49' Lintang Selatan. Adapun batas-batas wilayah dengan Kabupaten yang
berdekatan letaknya secara geografis adalah sebagai berikut :
1. Sebelah Selatan, berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat
2. Sebelah Barat, berbatasan dengan Kabupaten Purwakarta dan Karawang
3. Sebelah Utara, berbatasan dengan Laut Jawa
4. Sebelah Timur, berbatasan dengan Kabupaten Indramayu dan Sumedang
Wilayah Kabupaten Subang terbagi menjadi 3 bagian wilayah, yakni wilayah
selatan, wilayah tengah dan wilayah utara. Bagian selatan wilayah Kabupaten
Subang terdiri atas dataran tinggi/pegunungan, bagian tengah wilayah Kabupaten
Subang berupa dataran, sedangkan bagian Utara merupakan dataran rendah yang
mengarah langsung ke Laut Jawa. Sebagian besar wilayah pada bagian selatan
kabupaten Subang berupa perkebunan, baik perkebunan Negara maupun
perkebunan rakyat, hutan, dan lokasi Pariwisata. Pada bagian tengah wilayah
kabupaten Subang berkembang perkebunan karet, tebu dan buah-buahan dibidang
pertanian dan pabrik-pabrik dibidang Industri, selain perumahan dan pusat
pemerintahan serta instalasi militer. Kemudian pada bagian utara wilayah
Kabupaten Subang berupa sawah berpengairan teknis dan tambak serta pantai.
Luas Wilayah Kabupaten Subang adalah 205.176,95 hektar atau sekitar 6,34 persen
dari luas Propinsi Jawa Barat, sedangkan range ketinggian tempat antara 0 – 1500
m dpl (di atas permukaan laut).
LOKASI KAJIAN
248
1. Luas Situ pada saat inventarisasi (bertambah / berkurang dari data luas
sebelumnya )
2. Fungsi /penggunaan situ tersebut pada saat inventarisasi
3. Kegiatan yang dilakukan/ fungsi lahan sekitar/sekeliling situ pada saat
inventarisasi
4. Kualitas air situ secara visual.
5. Tataguna lahan yang ada di sekitar Situ
Bagan Alir dari pelaksanaan studi dapat dilihat seperti pada gambar dibawah ini:
Mulai
Pengumpulan Data:
-Studi Literatur
-Data Sekunder, Data Primer
Inventarisasi kondisi
dan Potensi Situ
Mengkaji dan
menganalisa data yang
diperoleh
249
Gambar 3. Kondisi Air Irigasi Yang Digunakan Sebagai Suplesi Ke Situ
250
Gambar 5. Kondisi Situ Yang Sudah Tertutup Sedimen
251
mengakibatkan jebolnya situ apabila kerusakan spillway tidak diperbaiki, perbaikan
tanggul-tanggul, sedangkan kegiatan non fisik yaitu dengan melaksanakan
penerapan sempadan situ, sosialisasi kepada masyarakat dan penanaman pohon
dengan melibatkan peran serta masyarakat agar volume air situ dapat bertambah
dan masyarakat sekitar situ dapat menjaga kelestarian dari situ
Sebelum pelaksanaan pelestarian situ diperlukan sosialisasi kepada masyarakat
untuk menjelaskan fungsi dan manfaat situ sebagai penyediaan air baku bagi
masyarakat, sehingga masyarakat dapat memahami dan turut serta dalam
pelestarian situ.
Untuk pelaksanaan pelestarian situ dapat dilaksanakan secara kerjasama antara
pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat, yaitu dengan cara melakukan
rehabilitasi situ dan konservasi di lokasi sekitar situ dengan harapan sumber-sumber
air situ yang telah hilang dapat muncul kembali. Selain sebagai sumber air baku
situ-situ bisa ditata dengan baik yaitu dapat digunakan menjadi areal parawisata air
dan sekeliling situ digunakan sebagai sarana olah raga (jogging track). Situ dapat
dikembangkan dengan mengundang investor untuk pembangunannya atas seijin
dari institusi yang berwenang, hanya dalam pembangunannya harus berwawasan
lingkungan sehingga kelestariannya situ dapat terjamin dan kebutuhan air baku
untuk masyarakat terpenuhi.
Analisis Penilaian Pelestarian Kawasan Situ
Analisis yang digunakan dalam penilaian pelestarian kawasan situ dinilai dari aspek
kinerja situ yang dilakukan terhadap aspek fisik, aspek pemanfaatan dan aspek
operasi dan pemeliharaan, dengan penilaian secara visual dan wawancara mengacu
kepada tabel 1. Dengan hasil sebagai berikut :
Tabel 2. Penilaian Aspek Fisik
No. Variabel Nilai
1 Tanggul 3.00
2 Pelimpah 3.50
3 Kolam Tampungan 1.50
4 Saluran Inlet 1.50
Jumlah 9.50
Rerata Nilai 2.38
Dari penilaian yang dilakukan pada aspek fisik, nilai rata-rata yang diperoleh di
beberapa situ yang ditinjau adalah 2,38. Hal tersebut menunjukkan bahwa aspek
fisik dalam kondisi tidak baik.
252
Tabel 3. Penilaian Aspek Pemanfaatan
No. Variabel Nilai
1 Pembagian Air 2.50
2 Jaminan Air 2.50
3 Kualitas Air 2.00
4 Alih Fungsi Lahan 2.00
5 Sempadan Situ 1.50
Jumlah 10.50
Rerata Nilai 2.10
Dari penilaian yang dilakukan pada aspek pemanfaatan situ, nilai rata-rata yang
diperoleh di beberapa situ yang ditinjau adalah 2,10. Hal tersebut menunjukkan
bahwa aspek pemanfaatan situ dalam kondisi tidak baik.
Tabel 4. Penilaian Aspek Operasi dan Pemeliharaan (O&P)
No. Variabel Nilai
1 Kegiatan O&P 3.00
2 Ketersediaan Sarana dan Prasarana 2.50
3 Kegiatan Pelatihan O&P 3.00
Jumlah 8.50
Rerata Nilai 2.83
Dari penilaian yang dilakukan terhadap aspek operasi dan pemeliharaan, nilai rata-
rata yang diperoleh di beberapa situ yang ditinjau adalah 2,83. Hal tersebut
menunjukkan bahwa aspek operasi dan pemeliharaan dalam kondisi baik.
Dari ketiga aspek penilaian pelestarian kawasan situ dapat diperoleh nilai rerata
2,44 yang menunjukkan beberapa situ di Kabupaten Subang masih dalam kondisi
tidak baik.
Kesimpulan
Dari makalah ini dengan melihat kondisi beberapa Situ di Kabupaten Subang
sebagai salah satu wilayah kerja Balai Besar Wilayah Sungai Citarum dapat
disimpulkan antara lain:
1. Kondisi Situ-Situ di Kabupaten Subang banyak yang sudah penuh dengan
sedimentasi, sehingga fungsi situ sebagai sumber air baku sudah berkurang
2. Aspek penilaian pelestarian kawasan situ dapat diperoleh nilai 2,44 yang
menunjukkan beberapa situ di Kabupaten Subang dalam kondisi tidak baik,
dikarenakan kondisi fisik dan pemanfaatan situ belum menunjang secara penuh
sebagai sumber air baku.
3. Pelestarian situ dapat dilaksanakan secara kerjasama antara pemerintah pusat,
pemerintah daerah dan masyarakat.
253
Rekomendasi
Dari makalah ini untuk pelestarian kawasan situ sebagai sumber air baku dapat
direkomendasikan sebagai berikut:
1. Berdasarkan penilaian aspek operasi dan pemeliharaan situ berada dalam
kondisi baik, namun dalam hal ini ada beberapa aspek yang perlu diperbaiki
terutama ketersediaan sarana dan prasarana operasi dan pemeliharaan situ yang
akan menunjang kepada kondisi fisik dan pemanfaatan situ sebagai sumber air
baku , serta perlu dilakukan pengukuran teristis Situ di setiap kabupaten yang
mempunyai Situ agar situ dapat lestari
2. Adanya peraturan dalam pengelolaan sumber air terutama untuk Situ yang
mungkin saat ini masih belum ada, dan dalam peraturan tersebut diharapkan
adanya pembagian kewenangan pengelolaan antara pemerintah pusat dan
daerah, dikarenakan jumlah situ yang cukup banyak, sehingga dalam
pelaksanaan pengelolaan Situ sudah jelas tanggungjawab siapa dan harus
berbuat apa.
REFERENSI
------, 2014. Laporan Akhir Audit Teknis Sarana dan Prasarana Situ di Wilayah
Sungai Citarum, Bab. V – hal 2
Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Provinsi Jawa Barat, 2000. Pedoman Operasi
dan Pemeliharaan Situ.
Kasiro dkk, 1997. Pedoman Kriteria Desain Embung Kecil untuk Daerah Semi
Kering di Indonesia, Bandung, PT. Medina
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 2015. Peraturan Menteri
Nomor 12/PRT/M/2015 tentang Eksploitasi dan Pemeliharaan Jaringan
Irigasi, hal 9
Robert J. Kodoatie, Roestam Sjarief, 2005. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu,
Edisi Revisi, Penerbit Andi Yogyakarta, Bab 4 hal 214-221
Sitanala Arsyad, 2010. Konservasi Tanah & Air, Januari 2010. Edisi Kedua, IPB
Press, hal 51-52.
Sugiyono, 2006. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung. Alfabeta.
Trie M.Sunaryo; Tjoek Waluyo, Aris Harnanto, 2005. Konsep & Penerapannya,
Pengelolaan Sumber Daya Air, Bayumedia Publishing, hal-41;69.
254
EVALUASI KEGIATAN KONSERVASI DI DAERAH
TANGKAPAN AIR WADUK SENGGURUH SEBAGAI UPAYA
MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM
Tiar Ranu K1*, Astria Nugrahany1, dan Hermien Indraswari2
1
Bagian Lingkungan, Biro Informasi dan Lingkungan Perum Jasa Tirta I
2
Biro Informasi dan Lingkungan Perum Jasa Tirta I
*tiar.ranu@gmail.com
Intisari
Waduk Sengguruh, merupakan waduk di hulu Sungai Brantas yang memegang
peranan penting dalam hal pengendalian banjir, penyediaan air untuk irigasi dan
membangkitkan energi listrik. Rerata laju sedimentasi yang terjadi di Waduk
Sengguruh pada rentang tahun 1988-2004 mencapai 1,42 juta m3/tahun. Salah satu
solusi untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan melaksanakan kegiatan
konservasi dan pengelolaan Daerah Tangkapan Air (DTA) di Waduk Sengguruh.
Kegiatan konservasi dan pengelolaan Daerah Tangkapan Air (DTA) di Waduk
Sengguruh yang dilakukan oleh Perum Jasa Tirta I diantaranya adalah melakukan
kegiatan konservasi sipil teknis dengan membuat Check Dam, Dam Penahan,
Gully Plug dan RAPES (Resapan Air Pengendali Sedimen); kegiatan konservasi
vegetatif berupa penghijauan, pembibitan dan pemeliharaan; kegiatan pengerukan.
Untuk mengetahui manfaat dari kegiatan tersebut Perum Jasa Tirta I melakukan
pengukuran kapasitas tampungan waduk (sounding) pada periode tahun tertentu.
Dari hasil pengukuran tersebut diharapkan dapat menjadi evaluasi dan dasar acuan
dalam membuat dan melaksanakan program kegiatan konservasi dan pengelolaan
Daerah Tangkapan Air (DTA) di Waduk Sengguruh di tahun yang akan datang.
Kata Kunci: mitigasi bencana, konservasi sumber daya air
LATAR BELAKANG
Waduk Sengguruh, merupakan waduk di hulu Sungai Brantas yang memegang
peranan penting dalam hal pengendalian banjir, penyediaan air untuk irigasi dan
membangkitkan energi listrik. Waduk Sengguruh telah beroperasi selama kurang
lebih 28 tahun dengan usia guna rencana yaitu 50 tahun. Pesatnya pertumbuhan
ekonomi dan penduduk yang mengakibatkan besarnya tingkat perubahan
penggunaan lahan serta terjadinya perubahan iklim global merupakan faktor yang
sangat berpengaruh terhadap usia guna waduk.
Rerata laju sedimentasi yang terjadi di Waduk Sengguruh pada rentang tahun
1988-2004 mencapai 1,42 juta m3/tahun. Berbagai kegiatan konservasi dan
pengelolaan Daerah Tangkapan Air (DTA) di Waduk Sengguruh terus dilakukan
oleh pemerintah dan Perum Jasa Tirta I dengan harapan untuk dapat menurunkan
laju sedimentasi yang masuk ke waduk.
1
255
Maksud dari kegiatan ini di antaranya adalah mengukur tingkat keberhasilan
kegiatan konservasi khususnya yang dilakukan Perum Jasa Tirta I di daerah
tangkapan air Waduk Sengguruh.
Sedangkan tujuan yang ingin dicapai adalah adanya evaluasi ini diharapkan dapat
digunakan sebagai dasar untuk merencanakan dan melaksanakan kegiatan
konservasi tanah dan air yang sesuai dengan pola perubahan iklim maupun sosial
di masyarakat daerah tangkapan Waduk Sengguruh.
KAJIAN PUSTAKA
Konservasi tanah diartikan sebagai penempatan sebidang tanah pada cara
penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan
memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi
kerusakan. Usaha konservasi tanah ditujukan untuk (1) mencegah kerusakan tanah
oleh erosi, (2) memperbaiki tanah yang rusak, dan (3) memelihara serta
meningkatkan produktivitas tanah agar dapat digunakan secara lestari.
Konservasi tanah mempunyai hubungan yang erat dengan konservasi air.
Konservasi air pada prinsipnya adalah penggunaan air yang jatuh ke tanah untuk
pertanian se-efisien mungkin dan pengaturan waktu aliran sehingga tidak terjadi
banjir yang merusak dan terdapat cukup air pada waktu musim kemarau. Teknik
atau metode konservasi tanah dan air dapat dibagi dalam tiga golongan utama,
yaitu: (1) teknik konservasi vegetatif, sering juga disebut sebagai teknik
konservasi (metode) biologi, (2) teknik konservasi mekanik, disebut juga sebagai
teknik konservasi sipil teknis, dan (3) teknik konservasi konstruktif.
Pada prakteknya, metode konservasi vegetatif dan mekanis sulit untuk dipisahkan,
karena penerapan metode konservasi mekanis akan lebih efektif dan efisien bila
disertai dengan penerapan metode vegetatif. Sebaliknya, meskipun penerapan
metode vegetatif merupakan pilihan utama, namun perlakuan fisik mekanis seperti
pembuatan saluran pembuang air (SPA), bangunan terjun (drop structure) dan
lain-lain masih tetap diperlukan. Tidak semua bentuk teknik konservasi tanah dan
air dapat diterapkan pada setiap kondisi lingkungan. Ada beberapa faktor
pembatas lingkungan yang perlu diperhatikan dalam menentukan teknik
konservasi yang akan diterapkan. Beberapa pembatas yang harus diperhatikan
dalam menentukan teknik konservasi tanah dan air yang akan diterapkan adalah
sebagai berikut:
a. Iklim (curah hujan), curah hujan yang utama menentukan dalam memilih
teknik konservasi adalah sifat hujannya yang menyangkut jumlah, intensitas
dan distribusi (ruang dan waktu).
b. Kemiringan lahan merupakan faktor penting di dalam memilih teknik
konservasi, karena semakin besar kemiringan lahan, maka laju aliran
permukaan akan semakin cepat dan daya kikis dan daya angkut air aliran
permukaan semakin kuat dan cepat.
c. Kedalaman efektif tanah adalah kedalaman tanah diukur dari permukaan
sampai sejauh mana akar tanaman dapat menembus tanah.
2
256
d. Tekstur tanah erat hubungannya dengan kemampuan tanah dalam menahan
air dan pergerakan air di dalam profil tanah yang akan berpengaruh terhadap
jenis dan dimensi teknik konservasi yang akan dipilih dan diterapkan.
Konservasi tanah dan air secara vegetatif adalah penggunaan tanaman atau
tumbuhan dan sisa tanaman dengan cara sedemikian rupa sehingga dapat
mengurangi laju erosi dengan cara mengurangi daya rusak hujan yang jatuh dan
jumlah daya rusak aliran permukaan. Konservasi tanah dan air secara vegetatif ini
menjalankan fungsinya melalui:
a. Pengurangan daya perusak butiran hujan yang jatuh akibat intersepsi butiran
hujan oleh dedaunan tanaman atau tajuk tanaman.
b. Pengurangan volume aliran permukaan akibat meningkatnya kapasitas
infiltrasi oleh aktifitas perakaran tanaman dan penambahan bahan organik.
c. Peningkatan kehilangan air tanah akibat meningkatnya evapotranspirasi
sehingga tanah cepat lapar air.
d. Memperlambat aliran permukaan akibat meningkatnya panjang lintasan aliran
permukaan oleh keberadaan batang-batang tanaman.
e. Pengurangan daya rusak aliran permukaan sebagai akibat pengurangan
volume aliran permukaan dan kecepatan aliran permukaan akibat
meningkatnya panjang lintasan dan kekasaran permukaan.
Konservasi non struktural (vegetatif) dapat dilakukan dengan berbagai macam
cara, namun dalam modul ini hanya dibahas satu cara, yaitu Regreening
(afforestation) and Reforestation.
Regreening (afforestation) and Reforestation merupakan cara yang cocok untuk
menurunkan erosi dan aliran permukaan, terutama jika dilakukan pada bagian
hulu daerah tangkapan air. Secara lebih luas, dapat diartikan sebagai usaha untuk
memulihkan dan menghutankan kembali tanah yang mengalami kerusakan fisik,
kimia, maupun biologi; baik secara alami maupun oleh ulah manusia. Tanah yang
rusak tersebut dapat berupa hutan gundul/rusak, belukar, padang ilalang, atau
tanah terlantar lainnya. Tanaman yang digunakan biasanya tanaman yang bisa
mencegah erosi, baik dari segi habitus maupun umur, juga diutamakan tanaman
keras yang bernilai ekonomis, baik kayunya maupun hasil samping lainnya,
misalnya getah, akar dan minyak.
Adapun tujuan dari penghijauan (afforestation) adalah untuk memperbaiki dan
meningkatkan kondisi lahan kritis di luar kawasan dalam upaya meningkatkan
fungsi lahan. Kegiatan afforestation biasanya dilakukan di lahan pribadi, kegitan
ini dimulai dengan penanaman lahan kosong atau pekarangan rumah yang berada
di luar kawasan hutan dengan tanaman keras (MPTS - Multi Purpose Trees
Species), dan atau tanaman hortikultura. Diharapkan dengan kegiatan tersebut
akan dapat mengoptimalkan tutupan lahan untuk mengurangi lahan kritis,
menghasilkan kayu bakar and kayu untuk penduduk sekitar, konservasi lahan, air
dan lingkungan.
Sedangkan reforestation bertujuan untuk memperbaiki dan mengembalikan fungsi
hutan lindung dalam kawasan DAS yang dilakukan dengan melibatkan peran serta
masyarakat sekitar. Kegiatan utama adalah penanaman lahan kritis dalam kawasan
3
257
hutan lindung dengan tanaman budidaya sehingga menciptakan keselarasan antara
fungsi hutan dan kebutuhan masyarakat. Dalam kaitannya dengan usaha
konservasi, tanaman yang dipilih hendaknya mempunyai persyaratan sebagai
berikut, mempunyai sistem perakaran yang kuat, dalam dan luas, sehingga
membentuk jaringan altar yang rapat, pertumbuhannya cepat, sehingga mampu
menutup tanah dalam waktu singkat, mempunyai nilai ekonomis, baik kayunya
maupun hasil lainnya dan dapat memperbaiki kualitas/kesuburan tanah.
Pengendalian erosi secara sipil teknis adalah usaha – usaha pengawetan tanah
untuk mengurangi banyaknya tanah yang hilang pada lahan pertanian dengan
cara-cara mekanis tertentu. Usaha pengendalian erosi secara sipil teknis pada
hakekatnya adalah mengurangi atau menghalangi laju aliran permukaan sampai
pada batas yang tidak menimbulkan erosi.
Konservasi struktural (sipil teknis) yang dilaksanakan di Daerah Tangkapan Air
Bendungan Sengguruh adalah berupa pembuatan dam penghambat (check dam),
gully plug, Dam Penahan dan RAPES (Resapan Air Pengendali Sedimen).
1) Check Dam, adalah bangunan yang dibuat melintang di sungai yang berfungsi
untuk menangkap sedimen yang dibawa aliran sehingga kedalaman dan
kemiringan sungai berkurang.
2) Dam Penahan, yaitu bendungan kecil yang lolos air yang dibuat pada alur
anak sungai dengan konstruksi bronjong batu atau trucuk bambu/ kayu.
3) Gully plug, adalah bendungan kecil yang lolos air yang dibuat melintang pada
parit-parit dengan konstruksi batu, kayu atau bambu.
4) Resapan Air Pengendali Erosi dan Sedimen (RAPES), adalah bangunan yang
dibuat melintang pada saluran drainase pada lahan yang memiliki potensi
dilalui sedimen yang berasal dari lahan, terbuat dari plat besi atau terucuk
bambu.
Pengerukan adalah pekerjaan perbaikan waduk terutama dalam masalah
penggalian sedimen dibawah permukaan air dan dapat dilaksanakan baik dengan
tenaga manusia maupun dengan alat berat.Kecuali pada hal-hal khusus,
pengerukan biasanya dilakukan dengan menggunakan kapal keruk. Terdapat
beberapa tipe kapal keruk antara lain:
1. Tipe Pompa
2. Tipe Ember (bucket type)
3. Tipe Ember Cengkeram (grab type)
4. Tipe Cengkeram (dipper type)
Penggunaan dari tipe-tipe kapal keruk tersebut tergantung dari:
1. Volume endapan yang dikeruk
2. Daerah atau lokasi yang terdapat endapan sedimen
3. Kedalaman air
4. Karakteristik endapan
5. Tempat pembuangan endapan (disposal area)
6. Sumber tenaga penggerak.
4
258
METODOLOGI KEGIATAN
Identifikasi dan inventarisasi kegiatan konservasi selama tahun 2008 – 2014 yang
telah dilaksanakan di daerah tangkapan air Waduk Sengguruh baik struktural
maupun non-struktural yang meliputi:
(1) Kegiatan non struktural, untuk mencegah terjadinya degradasi DAS dengan
partipasi masyarakat sekitar seperti: kegiatan pembibitan dan penghijauan .
5
259
Gambar 3. Pembuatan Gully plug oleh Perum Jasa Tirta I
6
260
(4) Kegiatan Pengerukan di Waduk Sengguruh, menggunakan satu kapal keruk
Pengerukan yang dilakukan di Bendungan Senggeruh menggunakan satu
kapal berjenis pompa dengan nama SKK 07 Hydroland dengan kapasitas
produksi 45 m3/jam. Kapal ini beroperasi 8-9 jam per hari sepanjang tahun.
7
261
Pada periode tahun 2010 sampai dengan 2015 telah dibangun 90 unit RAPES
yang semuanya dibangun di Daerah Aliran Sungai Brantas bagian hulu. Karena
pada dasarnya desain RAPES adalah untuk menanggulangi erosi yang terjadi di
lahan pertanian hortikultura sehingga sangat efektif ditempatkan di daerah Kota
Batu yang menjadi sentra produksi tanaman hortikultura.
Total kegiatan pengerukan yang dilakukan sejak tahun 2010 sampai dengan tahun
2015 adalah 1.760.000 m3 dengan rata - rata pengerukan tiap tahunnya adalah
220.000 m3. Sedangkan untuk pembangunan check dam telah dibangun 19 unit
check dam dan perbaikan 6 unit check dam pada periode tahun 2010 -2015 yang
semuanya berada di sungai Lesti.
Perum Jasa Tirta I telah melakukan kegiatan sounding di Waduk Sengguruh guna
mendapatkan hasil tampungan sedimen. Kegiatan sounding tersebut dilaksanakan
rutin setiap 2 tahun sekali, berikut adalah data laju sedimen yang didapatkan dari
hasil sounding Waduk Sengguruh pada tahun 2010, 2012, 2014.
8
262
Perum Jasa Tirta I yang di tunjuk sebagai salah satu pengelola sumber daya air
mengalami berbagai kendala dalam melaksanakan kegiatan konservasi maupun
pengelolaan di Daerah Tangkapan Air Waduk Sengguruh. Menurunnya tingkat
kesadaran masyarakat akan lingkungan, perubahan iklim yang ekstrim dan sulit di
prediksi hingga terbatasnya lahan untuk membuang sedimen yang diambil dari
Waduk Sengguruh.
Untuk mengantisipasi pesatnya tingkat perubahan lahan, besarnya pengaruh
perubahan iklim yang ekstrim dan berkurangnya lahan yang akan digunakan
sebagai tampungan sedimen dari hasil pengerukan diperlukan optimalisasi
kegiatan konservasi guna menekan tingkat laju erosi. Berikut adalah kegiatan
yang dapat dilakukan untuk mengoptimalisasi kegiatan konservasi
1. Membuat zonasi kawasan berdasarkan tingkat laju erosi.
2. Membuat roadmap kegiatan konservasi berdasarkan zonasi kawasan dan
evaluasi kegiatan di tahun sebelumnya.
3. Melaksanakan sosialisasi dan memberikan kesadaran kepada masyarakat
tentang pentingnya konservasi lingkungan dan perlunya menanamkan
kesadaran masyarakat bahwa lingkungan adalah milik bersama.
4. Melakukan kegiatan pemeliharaan dan pemantauan dengan masyarakat di area
tempat dilaksanakan kegiatan konservasi agar tercapai hasil yang optimal dari
kegiatan tersebut.
5. Melakukan koordinasi dengan para pelaku konservasi maupun pemangku
kepentingan di kawasan DTA Waduk Sengguruh, agar hasil konservasi yang
dilaksanakan bersifat berkesinambungan.
REFERENSI
Astria Nugrahany, Erwando Rachmandi, 2012. Implementasi Prinsip Eco-
Efficient Dalam Kegiatan Konservasi di DAS Brantas Sebagai Upaya
Menghadapi Perubahan Iklim, Perum Jasa Tirta I Malang, Indonesia,
disajikan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI, 19-21 Oktober
2012.
Perum Jasa Tirta I Biro Informasi dan Lingkungan Malang, Indonesia, Laporan
Tahunan Kegiatan Perlindungan DAS, 2008 - 2015.
Viari Djajasinga, Kajian Ekonomi Penanganan Sedimen Pada Waduk Seri Di
Sungai Brantas (Sengguruh, Sutami Dan Wlingi), Jurnal Teknik Pengairan,
Volume 3, Nomor 2, Desember 2012.
9
263
PERAN PEMELIHARAAN DALAM KONSERVASI DAERAH
IRIGASI RAWA, STUDI KASUS RAWA PITU
Andojo Wurjanto*, Julfikhsan Ahmad Mukhti, Andri Iwan Pornomo
Program Studi Teknik Kelautan, Institut Teknologi Bandung
*andojowurjanto@gmail.com
Intisari
Kegiatan operasi dan pemeliharaan (OP) pada jaringan irigasi rawa wajib untuk
dilaksanakan untuk menjaga kondisi fisik dan fungsi parasarana. Jaringan irigasi
rawaberfungsi untuk mengalirkan air hujan ke laut dan menjadi tempat cadangan
air di musim kemarau. Seiring berjalannya waktu, efektivitas jaringan irigasi
rawaberkurang akibat menurunnya kondisi fasilitas pendukung seperti pintu air
serta terdapat timbunan material pada jaringan akibat proses sedimentasi.
Berkurangnya kondisi infrastruktur pada jaringan berpotensi mengakibatkan banjir
pada jaringan irigasi rawa saat hujan.Studi ini mengkaji efektivitas jaringan irigasi
rawa di Rawa Pitu, Tulang Bawang, Provinsi Lampung dengan melakukan simulasi
elevasi muka air pada jaringan rawa tersebut. Efektivitas jaringan irigasi
rawadiukur dari tingginya genangan pada tiap saluran dalam jaringan saat hujan
bercurahekstrem turun. Simulasi dilakukan untuk kurunwaktustudi yaitu bulan
Oktober 2015. Untuk masa studi tersebut tersedia data primer untuk kalibrasi
simulasi. Kondisi hujan ekstrim disimulasikan pada kondisi jaringan di Oktober
2015 dan untuk kondisi “ideal” dimana saluran telah dinormalkan. Pemodelan
genangan dilakukan dengan perangkat lunak HEC-RAS 5.0.Hasil semulasi
menunjukkan bahwa pemeliharaan saluran dapat mempertahankan fungsi irigasi
rawa sesuai tujuan dibuatnya prasarana tersebut.
Kata Kunci: rawa, irigasi, pemeliharaan, HEC-RAS
LATAR BELAKANG
Jaringan rawa, seperti halnya semua prasarana, perlu dipelihara agar jaringan rawa
dapat befungsi sebagaimana dimaksudkan.T.B Van Gilst (1992) menjelaskan
bahwa operasi dan pemeliharaanjaringan rawa dapat membantu meningkatkan
fungsirawa.
Studi ini membahas jaringan irigasi rawa di Kabupaten Tulang Bawang, tepatnya
Jaringan Irigasi Rawa Pitu (dari kata Sungai Pidada -Sungai Tulang Bawang)
dengan luas nominal 10.529 Ha. Rawa Pitu juga merupakan nama kecamatan yang
dibatasi oleh Sungai Way Pidada di bagian utara dan Way Tulang Bawang di bagian
selatan. Sisi timur Rawa Pitu merupakan pertemuan antara Sungai Way Pidada
dengan Way Tulang Bawang. Pada sisi barat, Rawa Pitu berbatasan dengan
kecamatan Penawar Aji. Lokasi Rawa Pitu ditunjukkan oleh Gambar 1.
Jaringan Irigasi Rawa Pitu merupakan jaringan irigasiyang dipengaruhi oleh pasang
surut, dimana elevasi muka air pada tiap ruas saluran senantiasa dipengaruhi
dinamika pasang surut. Jaringan Rawa Pitu mempunyai desain jaringan model
1
264
garpu, dimana saluran primer yang terkoneksi langsung dengan laut bercabang ke
saluran sekunder kemudian saluran sekunder kembali bercabang ke saluran tersier.
Terdapat 8 desa yang terbagi berdasarkan saluran primer dengan jaringan tata air
model garpu sebagai berikut: Sumber Agung, Batang hari, Panggung Mulya,
Andalas Cermin, Yoso Mulyo, Rawa Ragil, dan Gedung Jaya seperti ditunjukkan
pada Gambar 1 (Badan Informasi Geospasial, 2015).
Survei di lokasi mengungkap sejumlah permasalahan di lokasi studi, yaitu (i)banjir
disaat hujan, (ii) kekeringan di musim kemarau, (iii) pendangkalan dan
penyempitan saluran, serta (iv) alih fungsi lahan. Studi ini membahas pemeliharaan
yang dapat menyelesaikankeempat permasalahan tersebut yaitu dengan normalisasi
saluran dan peninggian tanggul. Normalisasi dan peninggian tanggul dapat (i)
mencegah luapan air dari saluran di saat hujan, (ii) menyediakan air di musim
kemarau, (iii) keberlangsungan pertanian di Rawa Pitu terjaga karena tidak
terganggu banjir dan kelembaban tanah terjaga oleh air dalam saluran, dan (iv)
hasrat alih fungsi lahan berkurang karena pertanian yang berkalanjutan. Untuk
mengkuantifikasi efektivitas normalisasi tersebut, dilakukan simulasi tata air Rawa
Pitu, Gambar 2 (Balai Besar Wilayah Sungai Mesuji Sekampung, 2011).
Simulasi tata air Rawa Pitu selain Desa Gedung Jaya (tidak diikutsertakan karena
survei terhambat oleh masalah sosial) yang mencakup saluran primer dan sekunder
menggunakan media HEC-RAS 5.0. Simulasidapat mengkuantifikasi keparahan
banjir pada kondisi sebelum normalisasi dan untukmengsksplorasi dimensi ideal
saluran primer dan sekunder pada Rawa Pitu yang dapat mencapai tujuan yang
disebutkan dalam paragraf sebelumnya.
2
265
(2)
SP1
Sumber
Agung
SP2
Batang
Hari
SP3
Panggung
Mulya
SP4 SP8
Andalas SP5 SP6 Gedung
SP7
Cermin Yoso Mulyo Bumi Sari Jaya
Rawa Ragil
METODOLOGI STUDI
Diagram alir metodologi pemodelan (simulasi) tata air Rawa Pitu dengan HEC-
RAS ditampilkan pada Gambar 2. Simulasi dilakukan dengan perangkat lunak
HEC-RAS (Hydraulic Engineering Center – River Analysis System) versi 5.0
dengan mode pemodelan hidrolika aliran tak langgeng dua dimensi.Input yang
dibutuhkan oleh HEC-RAS antara lain adalah data topografi, data pasang surut,
serta data debit sungai. Data topografi diperoleh dengan pengukuran langsung di
lapangan. Data pasang surut diperoleh dengan pemodelan oleh modul RMA2 pada
perangkat lunak SMS (Surface-water Modelling System). Data debit sungai
diperoleh dari Pusat Litbang Sumber Daya Air (Pusair) yang mencakup Sungai
Pidada dan Sungai Tulang Bawang dengan jangka waktu pengukuran minimal 3
tahun. Berdasarkan data debit sungai tersebut, diperoleh rata-rata debit Sungai
Tulang Bawang 5,95 m3 /s dan Sungai Pidada 4,36 m3 /s.Input berupa debit sungai,
debit hujan, dan pasang surut pada HEC-RAS diletakkan pada ujung-ujung saluran
seperti ditunjukkan pada Gambar 3.
Sebagaimana ditunjukkan olah diagram alir, sebelum pemodelan dilakukan,
terlebih dahulu datum simulasi HEC-RAS diikat dengan elevasi pasang surut di
lapangan yang diukur dari tanggal 6 sampai 10 Agustus 2015. Seri waktu elevasi
pasang surut hasil pemodelan diplot bersama dengan hasil pengamatan pada
Gambar 4. Elevasi peta topografi didasarkan pada BM (bench mark) setempat
nomor 30 milik PU.
3
266
Mulai
Ya
Output simulasi:
- Seri waktu elevasi muka air pada
saluran eksisting dan desain untuk
hujan 1 harian 10 tahunan Selesai
- Area dan durasi
banjir/penggenangan pada rawa
akibat hujan
Gambar 3. Metodologi pemodelan Rawa Pitu.
4
267
Gambar 4. Kondisi batas pada model Rawa Pitu.
Pengikatan elevasi model dilakukan dengan menjalankan simulasi menggunakan
input debit rata-rata sungai tanpa hujan dan pasang surut saja. Proses ini
menghasilkan pengikatan elevasi sebagai berikut: (a) elevasi nol simulasi semula
adalah sama dengan elevasi muka air rata-rata laut (mean sea level, MSL) di muara
Sungai Tulang Bawang, (b) elevasi hasil simulasi di lokasi pengamatan didalam
kawasan Rawa Pitu sudah pasti tidak langsung cocok dengan hasil pengamatan, (c)
pencocokan antara elevasi hasil simulasi dan hasil pengamatan dilakukan untuk
mendapatkan penyimpangan yang paling kecil, (d) diperoleh bahwa elevasi nol
simulasi harus dinaikkan sebesar 1,7m agar cocok dengan hasil pengamatan.
Sampel pencocokan dua elevasi muka air ditunjukkan oleh Gambar 4. Dengan
pengikatan ini, elevasi hasil dimulasi di tiap ruas saluran irigasi Rawa Pitu dapat
langsung dievaluasi untuk menghitung tinggi dan durasi genangan.
Curah hujan pada daerah Rawa Pitu berdasarkan pada data yang tersedia dari
Stasiun Hujan Rawa Jitu Utara yaitu dari tahun 2006 hingga 2013 sebagaimana
ditampilkan pada Tabel 1 (Stasiun Hujan Rawa Jitu Utara, 2015). Untuk simulasi
pada jaringan irigasi Rawa Pitu, hujan yang digunakan sebagai beban drainase
adalah hujan 1 hari dengan perioda ulang tahun. Metode Gumbel (Soemarto, 1999)
digunakan untuk mendapatkan nilai curah hujan 1 hari 10 tahunan sebesar 175 mm.
5
268
SP6 - S. Pidada
3
0
04 06 08 10 12 14
Waktu (tanggal, Agustus)
Elevasi muka air
pengamatan SP6 - S. Tulang Bawang
3
Elevasi muka air Elevasi Muka Air (m, datum BM-30 PU)
hasil simulasi 2
0
04 06 08 10 12 14
Waktu (tanggal, Agustus)
Gambar 5. Pencocokan elevasi muka air hasil pengamatan berdasarkan datum
BM-30 PU dengan datum pasang surut hasil simulasi.
Tabel 1 Curah Hujan Bulanan di Daerah Rawa Pitu
(mm/bulan)
Tahun
Jan Feb Mar Apr Me Jun Jul Ag Sep Okt Nov Des
2006 48,0 190, 55,0 64,0 i
23, 39, 0,0 u
0,0 13, 0,0 13,0 70,0
2007 118, 0
49,0 147, 65,0 0
6,0 0
21, 65, 0,0 0
31, 133, 80,0 73,0
2008 0
47,0 78,0 0
82,0 128, 46, 0
75, 0
42, 62, 0
86, 0
20,0 38,0 128,
2009 40,0 64,0 0,0 0
27,0 0
0,0 0
0,0 0
37, 0
33, 0
6,0 71,0 111, 0
46,0
2010 21,0 75,0 55,0 54,0 56, 33, 0
53, 0
46, 35, 37,0 0
47,0 44,0
2011 0,0 0,0 0,0 0,0 0
0,0 0
0,0 0
0,0 0
0,0 0
0,0 0,0 0,0 0,0
2012 40,0 70,0 12,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
2013 0,0 0,0 12,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
Rata- 39,3 65,8 45,4 42,3 16, 21, 24, 17, 21, 32,6 36,1 45,1
rata 4 0 6 6 4
Untuk dapat menjadi input pada HEC-RAS, curah hujan 1 hari 10 tahunan perlu
dikonversi menjadi debit air. Pada studi ini, metode konversi curah hujan ke debit
yang digunakan adalah Metode Nakayasu (Sosrosudarsono dan Takeda, 1987)
dengan persamaan sebagai berikut:
2,4
𝑡𝑡
𝑄𝑄𝑑𝑑 = 𝑄𝑄𝑝𝑝 ( ) untuk 0 <t<Tp
𝑇𝑇𝑝𝑝
𝑡𝑡−𝑇𝑇𝑝𝑝
𝑄𝑄𝑑𝑑 = 𝑄𝑄𝑝𝑝 0,3 𝑇𝑇0,3 untuk Tp <t< (Tp + T0.3 )
6
269
𝑡𝑡−𝑇𝑇𝑝𝑝 +0,5𝑇𝑇0,3 untuk (Tp + T0.3 ) <t< (Tp + T0.3 + 1,5
𝑄𝑄𝑑𝑑 = 𝑄𝑄𝑝𝑝 0,3 1,5𝑇𝑇0,3
T0.3 )
𝑡𝑡−𝑇𝑇𝑝𝑝 +1,5𝑇𝑇0,3
𝑄𝑄𝑑𝑑 = 𝑄𝑄𝑝𝑝 0,3 2𝑇𝑇0 ,3 t> (Tp + T0.3 + 1,5 T0.3 )
Keterangan:
L : Panjang sungai (km)
C : Koefisien pengaliran
A : Catchment area atau daerah tangkapan hujan (km2 )
t r : waktu konsentrasi hujan (jam)
: 0,5 t g
t g : Satuan waktu hujan (jam)
: 0,4 + 0,058L untuk L< 15 km
Tp :Time lag atau waktu tenggang hujan (jam)
: t g + (0,8 t r)
Ro : Hujan satuan (mm/hari)
Qp : Debit puncak banjir
𝐶𝐶 𝑥𝑥 𝐴𝐴 𝑥𝑥 𝑅𝑅0
3,6 𝑥𝑥 (0,3 𝑇𝑇𝑝𝑝 + 𝑇𝑇0,3 )
T0.3 : Waktu penurunan debit, puncak -30%
:𝛼𝛼 𝑥𝑥 𝑡𝑡𝑔𝑔
α : Parameter hidrograf
: 2,0 untuk pengaliran biasa (dipilih untuk pemodelan)
: 1,5 untuk bagian hidrograf yang naik lambat dan turun cepat
: 3,0 untuk bagian hidrograf yang naik cepat dan turun lambat
35
30
Debit (m3/detik)
25
20
15
10
5
0
0 4 8 12 16 20 24
Waktu (jam)
7
270
HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil simulasi dalam kondisi saluran eksisting,didapatkan bahwa lebih
dari 90% bagian dari tiap desa akan mengalami banjir akibat hujan 1 hari 10
tahunan. Banjir dengan elevasi muka air tertinggi dan durasi terpanjang terjadi di
Desa Rawa Ragil dengan ketinggian mencapai +2,64 mLWS selama 24 jam/hari.
Kejadian tersebut sesuai dengan informasi dari masyarakat dimana pada daerah
Rawa Pitu banjir paling sering terjadi di Desa Sumber Agung, Batang Hari, Andalas
Cermin, dan Rawa Ragil dengan kisaran tinggi banjir 1,0 hingga 1,5 m. Pada
Kepmen PU Nomor 144/KPTS/M/2013 tentang Pola Pengelolaan Sumber Daya
AirWilayah Sungai Mesuji Tulang Bawang juga disebutkan bahwa tinggi banjir di
daerah hilir Sungai Tulang Bawang adalah 2,5 m dengan Rawa Pitu termasuk pada
daerah hilir. Rekapitulasi kondisi banjir di Rawa Pitu berdasarkan hasil simulasi
ditunjukkan pada Tabel 2.
Pada kondisi desain, disimulasikan tanah dikeruk serta elevasi puncak saluran
ditinggikan sehingga seluruh desa bebas dari genangan banjir. Penurunan elevasi
maksimum muka air dengan dimensi saluran desain berada pada rentang 0,17 m
hingga 3,99 m. Penurunan paling signifikan terdapat pada Desa Rawa Ragil,
dimana elevasi muka air turun dengan elevasi semula tergenang hingga 2,64 mLWS
hingga menjadi tidak banjir yaitu 1,29 mLWS. Contoh hasil simulasi ditunjukkan
pada Gambar 6.
8
271
(a) (b)
0 1 2 3 km
Area genangan
Titik tinjau (c) dan (d)
(c) (d)
Gambar 7. Hasil simulasi hidrolika dengan HEC-RAS 5.0 pada Desa Rawa
Ragil di kawasan Rawa Pitu. Pada (a) kondisi eksisting terdapat genangan
di sekeliling saluran dimana (b) genangan tersebut tidak ditemukan setelah
saluran dikeruk sebagaimana ditunjukkan pada (c) seri waktu dan (d)
penampang melintang saluran.
REFERENSI
_____, 2013. Peraturan Menteri Nomor 144/KPTS/M/2013 tentang Pola
Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai Mesuji Tulang Bawang.
Soemarto, C.D. 1999. Hidrologi Teknik. Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga.
Sosrodarsono, Suyono & Takeda, Kensaku, 1987. Hidrologi untuk Pengairan.
Jakarta: Pradnya Paramita.
Van Gilst, T.B., 1992. Tidal Swamp Development by Pump Irigation and Gravity
Drainage, Acid Sulphate Soils, Kalimantan. Indonesia. Technische
Universiteit Delft.
9
272
EVALUASI UMUR LAYANAN WADUK SANGGEH
Suseno Darsono*, Risdiana Cholifatul Afifah, dan Ratih Pujiastuti
Pusat Studi Bencana LPPM Universitas Diponegoro
*E-mail: sdarsono@hotmail.com
Intisari
Waduk Sanggeh merupakan salah satu wujud usaha pengelolaan Sumber Daya Air
yang berlokasi di desa Tambirejo, Kecamatan Toroh, Kabupaten Grobogan.
Waduk Sanggeh dibangun antara tahun 1909-1911, dengan luas genangan waduk
Sanggeh 13 ha dibangun dengan tujuan untuk mengairi sawah seluas 46 ha. Salah
satu persoalan utama yang terjadi di dalam operasional Waduk Sanggeh adalah
terjadinya sedimentasi yang berakibat pada pengurangan kapasitas waduk sehingga
berdampak terhadap umur layanan waduk yang sudah direncanakan. Maka perlu
dilakukan penelitian untuk memperkirakan umur layanan waduk berdasarkan laju
sedimentasi Waduk Sanggeh pada kondisi saat ini. Analisis erosi dan sedimentasi
diperlukan guna menentukan sisa umur waduk. Prediksi laju erosi dilakukan
dengan analisis USLE untuk menghasilkan tingkat erosi lahan. Analisis Sediment
Delivery Ratio (SDR) menghasilkan laju sedimen yang masuk ke Waduk Sanggeh.
Volum e sedimen yang mengendap di dalam waduk dapat diprediksi dengan cara
mencari besarnya trap efficiency. Prediksi sisa umur layanan waduk dapat
dikomparasi dari hasil perhitungan secara empiris dengan hasil pengukuran
bathimetri. Sesuai dengan tujuan penelitian, hasil penelitian ini dapat memprediksi
tingkat sedimentasi, dan memprediksi sisa umur layanan waduk selama 9 tahun,
sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian. Diharapkan hasil penelitian ini dapat
digunakan untuk menyusun pedoman operasi dan konservasi lahan DTA waduk,
terutama Waduk Sanggeh.
Kata Kunci : Erosi, Sedimentasi, Umur Layanan Waduk.
LATAR BELAKANG
Waduk Sanggeh terletak di desa Tambirejo, Kecamatan Toroh, Kabupaten
Grobogan. Waduk yang mampu menampung air kondisi normal sebanyak 176.923
m3 , dan sumber air Waduk Sanggeh berasal dari limpasan permukaan Daerah
Tangkapa Air. Waduk Sanggeh berfungsi sebagai tampungan air di musim hujan
dan mengairi irigasi setengah teknis areal persawahan seluas 46 ha. Operasional
dan Pemeliharaan Bendungan Sanggeh berada dibawah pengawasan Balai Besar
Wilayah Sungai (BBWS) Pemali Juana.
Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut.
a. Mengukur elevasi dasar , volume sisa tampungan mati dan luasan waduk
b. Menganalisis laju sedimentasi
c. Menganalisis sisa kapasitas tampung sedimen waduk dan umur layanan waduk
1
273
Maksud dari penelitian ini diharapkan hasil penelitian dapat digunakan untuk
menyusun pedoman analisis umur layanan waduk, terutama Waduk Sanggeh.
Daerah Tangkapan Air (DTA) waduk Sanggeh merupakan kawasan penopang dan
sekaligus green belt untuk menjaga kelestarian waduk, dimana areal seluas 75,63
hektar tersebut terdiri dari Hutan Lebat 14,69 ha atau 19,42% dari luas DTA, Hutan
Lebat Sedang 32,46 ha atau 42.92%, Hutan Gundul 19,42 ha atau 25,68%, Tegalan
9,06 ha atau 11,98%. Lokasi kegiatan Evaluasi Umur Layanan Waduk Sanggeh
dapat dilihat pada Gambar 1.
W E Kec. Grobogan
S
Kec. Tawangharjo
Kec. Wirosari
9215000
9215000
Kec. Penawangan
Kec. Purwodadi
Waduk Sanggeh
Jl. Kereta Api
9210000
9210000
Kec. Toroh
Kec. Pulo Kulon
Jl. Purwodadi-Solo
9205000
9205000
Kec. Karangrayung
KETERANGAN :
INSET :
Waduk
Kec. Geyer
9200000
9200000
SUMBER :
Peta Rupa Bumi Indonesia Skala 1 : 25.000
SKALA :
Kec. Sumberlawang
KAB.
2000 SRAGEN
0 2000 4000 Meters
9195000
9195000
2
274
Akibat sedimen terhadap fungsi waduk : (varshney, 1979)
1. Mengurangi usia guna atau umur layanan waduk yang secara langsung
mempengaruhi manfaat waduk.
2. Distribusi sedimen di waduk mengatur letak pintu pengeluaran (outlet) untuk
menghindari kecepatan sedimentasi.
3. Sedimen di daerah delta di atas elevasi puncak waduk dapat menyebabkan
agradasi (pengendapan) di bagian hulu waduk. Endapan ini mengurangi
kapasitas masukan (inflow capacity) saluran.
4. Penggerusan atau degradasi di tepi atau tebing dan dasar saluran bagian hilir
waduk.
3
275
METODOLOGI
Metode USLE (Universal Soil Loss Equation) dikembangkan oleh Wischmeir dan
Smith, dimana USLE memperkirakan besarnya erosi rata-rata tahunan secara kasar
dengan menggunakan pendekatan dari fungsi energi hujan (Wischmeier, and
Smith, 1978).
Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan teknologi berbasis spasial yang sangat
populer saat ini. Prediksi erosi dengan metode USLE juga bisa menggunakan SIG
dalam perhitungannya. Pemanfaatan SIG berbasis pixel sebagai alat pemodelan
spasial dalam memprediksi erosi bisa membantu keakuratan data yang dihasilkan
khususnya pada lahan-lahan yang mempunyai keadaan topografi yang kompleks
(Lorito, 2004).
Erosivitas (R) hujan adalah daya erosi hujan pada suatu tempat. Nilai erosivitas
hujan dapat dihitung berdasarkan data hujan yang diperoleh dari penakar hujan
otomatik dan dari penakar hujan biasa.
Erodibilitas tanah (K) adalah mudah tidaknya tanah mengalami erosi, yang di
tentukan oleh berbagai sifat fisik dan kimia tanah.
Faktor panjang dan kemiringan kereng (LS). Faktor panjang lereng yaitu nisbah
antara besarnya erosi dari tanah dengan suatu panjang lereng tertentu terhadap erosi
dari tanah dengan panjang lereng 72,6 kaki (22,13 m) di bawah keadaan yang
identik. Sedangkan faktor kecuraman lereng, yaitu nisbah antara besarnya erosi
yang terjadi dari suatu tanah kecuraman lereng tertentu, terhadap besarnya erosi
dari tanah dengan lereng 9% di bawah keadaan yang identik.
Faktor C menggambarkan nisbah antara besarnya erosi dari lahan yang bertanaman
tertentu dan dengan manajemen (pengelolaan) tertentu terhadap besarnya erosi
tanah yang tidak ditanami dan diolah bersih. Faktor ini mengukur kombinasi
pengaruh tanaman dan pengelolaannya. Merupakan rasio dari tanah pada tanaman
tertentu dengan tanah gundul. Pada tanah gundul (petak baku) nilai C = 1.0. Untuk
mendapatkan nilai C tahunan perlu diperhatikan perubahan – perubahan
penggunaan tanah dalam setiap tahun.
Sedimentasi yang terjadi di muara sungai/sepanjang sungai ataupun di waduk dapat
diperhitungkan/diperkirakan dengan Nisbah Pengangkutan Sedimen (NPS) atau
Sediment Delivery Ratio (SDR). Perhitungan SDR ini menggunakan nilai NPS
sebagai fungsi luas daerah aliran (Arsyad, 2000). Hubungan luas DAS dan
besarnya SDR dapat dilihat pada Tabel 1 (Arsyad, 2000).
Analisa trap efficiency menggunakan Rumus Brune. Brune mengembangan
hubungan empiris untuk mengestimasi trap efficiency jangka panjang pada waduk
yang digenangi secara normal, didasarkan pada hubungan antara : rasio kapasitas
dan inflow, dan trap efficiency.
4
276
Tabel 1. Hubungan Luas DAS dan Besarnya SDR
Luas (ha) SDR
10 0.52
50 0.39
100 0.35
500 0.25
1000 0.22
5000 0.153
10000 0.127
50000 0.079
Analisa umur waduk dihitung dengan hubungan antara volume sedimen yang
mengendap dengan sisa volume dead storage (volume tampungan mati) waduk
(Lewis et al., 2013).
Hasil sedimen tahunan atau musiman dapat juga ditentukan dari pengukuran
terhadap perubahan dasar waduk yang dilewati oleh sungai tersebut. Pengukuran
perubahan dasar waduk ini biasanya dilakukan dengan bathimetri. Setelah
diperoleh data kedalaman dan jarak tiap-tiap jalur sesuai dengan patok tetap,
selanjutnya dapat dibuat peta kontur kedalaman waduk dengan cara interpolasi.
Berdasarkan peta kontur ini maka dapat dihitung volume waduk. Volume waduk
saat pengukuran dibandingkan volume waduk dari pengukuran periode sebelumnya
maka akan diketahui besarnya sedimen yang teredapkan dalam waduk.
Perbandingan volume tersebut harus dihitung berdasarkan acuan elevasi yang sama.
Dari hasil pengukuran bathimetri ini nanti bisa diketahui besarnya laju sedimentasi
yang terjadi yang selanjutnya digunakan untuk memprediksi berapa sisa usia guna
Waduk Sanggeh.
5
277
erosi DAS Sanggeh tergolong sedang, yaitu diantara 60-180 ton/ha/tahun. Peta
kerentanan erosi DAS Sanggeh ditampilkan pada Gambar 3. Dari perhitungan SDR
dengan menggunakan nilai NPS (Nisbah Pengangkutan Sedimen) sebagai fungsi
luas daerah aliran dihasilkan nilai SDR DAS Sanggeh sebesar 0,382. Sedimen yang
masuk ke waduk yaitu perkalian antara nilai SDR dan erosi dihasilkan sebesar
28,18 ton/tahun.
PETA
KERENTANAN EROSI DAS SANGGEH
.000000 .000000 .000000 .000000 .000000 .000000 .000000
490000 490500 491000 491500 492000 492500 493000
:
.000000
9210000.000000
9210000
.000000
9209500.000000
9209500
.000000
9209000.000000
9209000
Keterangan :
Sungai
Erosi (ton/ha/th) :
< 15 ton/ha/th
16-60 ton/ha/th
61-180 ton/ha/th
181-480 ton/ha/th
>481 ton/ha/th
.000000
9208500.000000
SUMBER :
9208500
Hasil Analisis
490000 .000000 490500 .000000 491000 .000000 491500 .000000 492000 .000000 492500 .000000 493000 .000000
6
278
Gambar 4. Grafik Trap Efisiensi after Brune
7
279
3. Dari hasil analisis erosi dan sedimentasi dapat diprediksi sisa umur layanan
Waduk Sanggeh tinggal 8 tahun. Sedangkan dari hasil pengukuran dapat
diperkirakan sisa umur layanan waduk 9 tahun. Berdasarkan perbandingan
antara hasil perhitungan dan pengukuran volume tampungn mati waduk, dapat
disimpulkan sisa umur layanan Waduk Sanggeh sekitar 8-9 tahun.
Rekomendasi
Rekomendasi dari studi yang dapat disampaikan yaitu upaya konservasi lahan
dengan berbagai teknik seperti penghijauan, terasering perlu dilakukan untuk
memperpanjang umur layanan Waduk Sanggeh.
REFERENSI
Brune, G. N., 1953. Trap Efficiency For Reservoir. Transaction of the American
Geophysical Union, Vol. 34, no. 3.
Lorito, S. D., 2004. Introduction of GIS-Based RUSLE Model for Land Planning
and Environmental Management in Three Different Italian Ecosystems. Italy:
Bologna University.
Larry W. Mays and Yeou-Koung Tung, 1992. Hydrosystems Engineering and
Management. New York: Mc Graw Hill.
Overbeek, HJ., 1978. River Engineering&Flood Protection. Bangkok: AIT.
Sitanala Arsyad, 2000. Konservasi Tanah dan Air. Bandung: Penerbit IPB (IPB
press).
Lewis S. E., Bainbridge Z. T., Kuhnert P. M., Sherman B. S., Henderson B.,
Dougall C., Cooper M., and Brodie j. E., 2013. Calculating sediment trapping
efficiencies for reservoirs in tropical settings: A case study from the Burdekin
Falls Dam, NE Australia. Water Resources Research, Vol. 49, , 1019.
Suripin, 2004. Sistem Drainase yang Berkelanjutan. Yogyakarta: Andi Offset.
Vanoni, V.A., 1975. Sedimentation Engineering. New York: ASCE.
Varshney, R. S., 1979. Engineering Hidrology. India: Bhagalpur College of
Engineering Bhagalpur.
Wischmeier, W. H., and Smith L. D., 1978. Predicting Rainfall-Erosion Losses : A
Guide To Conservation Planning. USDA Agriculture Handbook.
8
280
MANAJEMEN SPOILBANK DALAM KEGIATAN
PENGERUKAN SEDIMEN DI WADUK SENGGURUH
Sugik Edy Sartono, Dian Bagus Prasetyo, dan Aulia Arifalsafi*
Perusahaan Umum (Perum) Jasa Tirta I
sugikedysartono@gmail.com, bagusdian88@gmail.com,
*aulia.arifalsafi@gmail.com
Intisari
Penanganan Sedimen pada Reservoir Area melalui kegiatan Pengerukan Sedimen
merupakan Upaya Jangka Pendek yang masih perlu tetap dilakukan dalam
mengatasi permasalahan Sedimentasi Waduk karena tampungan bisa segera
didapatkan kembali. Metode tersebut hingga saat ini telah diterapkan pada
Pengelolaan Waduk Sengguruh, namun terdapat permasalahan terkait zona buang
(spoilbank). Sebagian besar existing spoilbank di Waduk Sengguruh telah terisi
penuh dengan sedimen hasil pengerukan, sementara sudah tidak ada lagi lahan
bebas di sekitar Waduk Sengguruh yang berdekatan dengan zona keruk yang
dapat dijadikan spoilbank. Sejalan dengan permasalahan tersebut, maka perlu
dilakukan suatu manajemen spoilbank yang lebih dititikberatkan dalam bentuk
optimasi pada existing spoilbank. Optimasi dilakukan dengan melakukan
pengaturan jadwal antara peninggian, hauling dan pengisian kembali dari existing
spoilbank. Tujuan dari Optimasi tersebut adalah agar didapatkan volume
spoilbank yang cukup untuk menampung sedimen hasil pengerukan dalam kurun
waktu 5 (lima) tahun mendatang (hingga tahun 2019) dengan memanfaatkan lahan
existing spoilbank.
Kata Kunci : Pengerukan, sedimen, spoilbank, optimasi
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bendungan dan atau Waduk Sengguruh secara geografis terletak di Desa
Sengguruh, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang atau berada di Hulu Sungai
Kali Brantas, yaitu tepatnya pada pertemuan antara Kali Lesti dan Kali Brantas,
jika dilihat dari Sistem Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas. Waduk Sengguruh
memiliki Daerah Tangkapan Air seluas 1.659 km2. Tujuan dibangunnya Waduk
Sengguruh adalah untuk melindungi Waduk Sutami dari Laju Sedimentasi yang
tinggi serta untuk Pembangkitan Listrik sebesar 2 x 14,5 MW atau setara dengan
91,02 x 106 kWh/th.
Sejak dibangun pada Tahun 1989 hingga sekarang Bendungan Sengguruh telah
meredam laju sedimentasi ke Waduk Sutami dalam jumlah yang sangat besar,
sehingga jumlah sedimen yang masuk ke Waduk Sutami dapat tereduksi. Namun,
peran besar dari Bendungan Sengguruh ini ternyata memiliki konsekuensi negatif
bagi Waduk Sengguruh sendiri. Volume tampungan efektif Waduk Sengguruh
berkurang lebih cepat daripada perhitungan desain akibat laju sedimentasi yang
sangat besar.
1
281
Gambar 1. Peta Lokasi Bendungan Sengguruh
Total Laju Erosi pada Sub DAS Lesti dan Sub DAS Brantas adalah sebesar
684,410 ton/ha/th serta Laju Sedimentasi pada Waduk Sengguruh adalah sebesar
491.805,102 m3/th (Jannatul, Ussy, Pitojo Tri Juwono, 2014).
Disebutkan Trap Efficiency dari Waduk Sengguruh saat ini telah berkurang,
sehingga sedimen yang mengendap diperkirakan adalah sebesar 212.641 m3/th
dan Volume Tampungan Efektif yang ada saat ini adalah 0,6 juta m3 atau 24%
dari Kapasitas Desain Awal (Perum Jasa Tirta I, 2015).
2
282
sampai dengan Tahun 2015 adalah sebesar 4,1 juta m3. Berdasarkan estimasi
didapatkan bahwa Laju Sedimentasi pada Waduk Sengguruh adalah sebesar
212.614 m3/th dan saat ini PJT I melakukan Pengerukan Sedimen sedikitnya
270.000 m3/tahun.
Ruang Lingkup
1. Kajian ini dilakukan di Waduk Sengguruh dengan estimasi waktu manfaat
ditetapkan selama 5 tahun (hingga tahun 2019).
2. Produksi kapal keruk dinyatakan efektif jika kapasitas produksi berkurang
hingga maksimal 50% terhadap kapasitas yang ditentukan dalam spesifikasi.
3. Pengujian jenis tanah dan kedalaman air tanah pada spoilbank dilakukan secara
sampling (tidak semua dilakukan pengujian).
4. Optimasi spoilbank dengan cara peninggian dan hauling.
3
283
Dengan:
Q : Kapasitas Produksi Per Bulan (m3/bulan)
Q’ : Kapasitas Produksi Per Jam (m3/bulan)
Et : Efisiensi pada mesin, waktu produksi alat dan operator
WD : Work Day (hari)
WS : Work Second (detik)
WH : Work Hours (Jam/hari)
............................................................................... (2)
Dengan:
Q’ : Debit pompa (m3/jam)
P : Tenaga Pompa (hp)
W : Berat jenis sedimen (ton/m3)
H : Head loss total (m) akibat kedalaman keruk, beda tinggi zona keruk dan
zona buang, bengkokan pipa pembuang, perbedaan diameter pipa,
keluaran pipa ke reservoar dll.
n : Efisien pompa (n)
Kehilangan Energi (Head Loss), pada keluaran pipa ke suatu reservoar (Dake,
1983) :
........................................................................................................... (3)
Dengan:
Hf : Kehilangan energi
v : Kecepatan aliran dalam pipa
g : Percepatan garafitasi (9,8 m/dt2)
METODOLOGI STUDI
Secara garis besar langkah-langkah penelitian adalah disajikan dalam diagram alir
diperlihatkan oleh Gambar 5.
Metode Penelitian (Studi) yang digunakan adalah sebagai berikut :
1. Data yang didapatkan adalah dari data primer hasil pengukuran di lapangan
dan data sekunder. Data primer adalah seperti peta topografi spoilbank, data
tanah sedimen dan data sekunder adalah seperti spesifikasi dan kapasitas kapal
keruk.
2. Tinjauan teknis terhadap spoilbank yang ada dan dituangkan dalam hasil
inventarisasi data teknis yang meliputi :
a) Status spoilbank saat ini yang terdiri dari kondisi baik/rusak, masih kosong
atau sedang diisi, kapan terakhir diisi.
b) Jarak dan beda elevasi dari existing spoilbank dan Muka Air Waduk pada
zona keruk.
3. Pengujian sampel sedimen untuk mengetahui parameter tanah seperti berat
jenis, ukuran butiran, dan klasifikasi tanah. Dalam hal ini dilakukan sampling
pada beberapa spoilbank saja.
4. Identifikasi Muka Air Tanah pada spoilbank untuk memperkirakan waktu
pelaksanaan pengosongan kembali (hauling) spoilbank, sehingga spoilbank
4
284
tersebut dapat digunakan kembali pada kegiatan pengerukan sedimen
selanjutnya.
5. Pada masing-masing spoilbank diinventarisasi untuk diketahui pada tahun ke
berapa dapat dilakukan hauling atau peninggian sehingga akan menjadi dasar
dalam optimasi spoilbank 5 tahun yang akan datang.
6. Perhitungan kapasitas produksi kapal keruk ditinjau terhadap zona keruk serta
posisi masing-masing spoilbank yang digunakan, untuk memastikan bahwa
spoilbank masih efektif untuk diisi menggunakan kapal keruk yang ada terkait
kemampuan kapal keruk tersebut.
7. Tahap akhir dari penelitian ini yaitu melakukan optimasi berupa jadwal
kegiatan yang akan dilakukan agar mendapatkan volume spoilbank yang
cukup selama 5 tahun mendatang (hingga tahun 2019) berdasarkan
pertimbangan teknis yang telah dianalisa sebelumnya.
Mulai
Pengujian Jenis tanah dan Perhitungan jarak & beda tinggi masing-
kedalaman air tanah dalam masing spoilbank terhadap zona keruk
spoilbank (sampling beberapa
spoilbank)
5
285
Data spoilbank yang ada dapat dilihat pada gambar berikut :
Bendungan Zona Keruk
Sengguruh
Adapun hasil inventarisasi spoilbank yang ada (existing) adalah pada Tabel 1.
Hasil inventarisasi existing spoilbank menunjukkan (i) Beda elevasi antara muka
air waduk pada zona keruk dengan puncak tanggul spoilbank berkisar antara 16m
hingga 19m serta (ii) Jarak antara zona keruk dengan spoilbank berkisar antara
500m hingga 1500m.
Tabel 1. Inventarisasi
INVENTARISASIspoilbank di wilayah
SPOILBANK DI WILAYAH Waduk Sengguruh
WADUK SENGGURUH
6
286
100
90
90 81
80 73
70
7
287
Tabel 2. Prosentase Produksi Kapal Keruk Terhadap Spesifikasi Alat (Spoilbank
Eksisting)
JARAK ELEVASI BEDA TINGGI PRODUKSI PROSENTASE
PRODUKSI
NO NAMA SPOILBANK TERHADAP PUNCAK TERHADAP ZONA KAPAL KERUK
TERHADAP
ZONA KERUK (m) TANGGUL (m) KERUK (m) (m3/Jam) SPESIFIKASI ALAT
A Blok Sungai Brantas
1 Spoilbank I 750 311.00 19.00 48.31 54%
2 Spoilbank A 650 311.00 19.00 50.49 56%
3 Spoilbank D 500 311.00 19.00 54.16 60%
4 Spoilbank D1 700 308.00 16.00 53.87 60%
5 Spoilbank Kemiri 1300 308.00 16.00 41.78 51%
B Blok Sungai Lesti
1 Spoilbank B 300 309.00 17.00 64.31 71%
2 Spoilbank B1 325 309.00 17.00 63.40 70%
3 Spoilbank C 1000 308.00 16.00 47.06 52%
4 Spoilbank C1 900 308.00 16.00 49.13 55%
Hasil perhitungan Tabel 3 di atas didapatkan bahwa dengan beda Elevasi dan
Jarak Buang yang ada, produksi kapal keruk bervariasi antara 51% hingga 71%
drai produksi normal dredger. Dengan demikian spoilbank yang ada masih dapat
digunakan untuk dilakukan optimasi dengan peninggian spoilbank.
8
288
hingga menjadi ± 42% dari Kapasitas normal sebagaimana ditampilkan dalam
perhitungan Tabel 3 berikut :
Manajemen Spoilbank
Dari uraian di atas diperlukan sebuah strategi agar spoilbank yang ada dapat
digunakan untuk menampung sedimen hasil pengerukan hingga 5 tahun yang akan
datang untuk volume pengerukan sesuai target (Road Map Pengerukan) dari
Perum Jasa Tirta I.
Untuk memenuhi tujuan tersebut diperlukan manajemen spoilbank yang tepat dan
melakukan optimasi terhadap existing spoilbank dengan melakukan 3 hal utama :
1. Pemindahan tanah (hauling) sedimen hasil pengerukan yang telah ada di
spoilbank eksisting keluar area bendungan. Volume hauling yang dapat
dilakukan pada tahun tersebut adalah didasarkan pada kondisi sedimen pada
spoilbank tersebut apakah telah kering ataukah masih banyak mengandung
air. Dilakukan pengujian untuk pendugaan elevasi muka air tanah sehingga
kedalaman rencana untuk hauling dapat ditentukan.
2. Melakukan peninggian spoilbank yang ada. Spoilbank ditinggikan
menggunakan timbunan tanah sehingga volume tampungan dapat bertambah
untuk kemudian dapat diisi kembali dengan sedimen hasil pengerukan.
Namun demikian elevasi maksimum puncak tanggul hasil peninggian
dipertimbangkan terhadap :
a) Keamanan tanggul terhadap stabilitas tanggul dari bahaya sliding.
b) Produktivitas kapal keruk dengan bertambahnya tinggi buang.
3. Melakukan penjadwalan untuk hauling dan peninggian spoilbank pada
masing-masing existing spoilbank dengan berbagai pertimbangan teknis
tersebut di atas.
9
289
Tabel 4. Hasil Optimasi Spoilbank Waduk Sengguruh
LOKASI PENGERUKAN (WADUK) DAN SPOILBANK TAHUN PELAKSANAAN KEGIATAN PENGERUKAN
KETERANGAN
BERDASARKAN DATA DAN KONDISI PADA TAHUN 2015 PRA 2015 2015 2016 2017 2018 2019
ROAD MAP WADUK SENGGURUH 1 (BUANG SB) *) 220.00 270,000.00 270,000.00 270,000.00 300,000.00 300,000.00
- SB A 50 50 50 30 30 30
- SB D 45 45 45 40
- SB D1 120 120 20 20 60 60 50 50 50
- SB C1 80 80 80 80
- SB B 60 60 50 50 50
60
- SB B1 45 40 30 30 30
40
TOTAL
Pengisian Spoilbank 270 270 270 300 300
Spoilbank Belum / Sebagian Terisi dan Siap Digunakan 315 180 510 260 120
KESIMPULAN
Dalam kegiatan Manajemen Spoilbank di Waduk Sengguruh, agar target volume
pengerukan sebesar 270.000 – 300.000 m3/th dapat terus dilaksanakan hingga
tahun 2019, perlu dilakukan optimasi pada existing spoilbank dengan cara
kombinasi antara peninggian dan pengosongan kembali spoilbank serta dengan
penjadwalan yang tepat antar kegiatan tersebut.
REFERENSI
Jannatul Ma’wa. Ussy Andawayanti. Pitojo Ti Juwono. 2014. Studi Pendugaan
Sisa Usia Guna Waduk Sengguruh Dengan Pendekatan Erosi dan
Sedimentasi.
J M K Dake. 1983. Hidrolika Teknik. Penerbit CV. Teruna Grafia.
Perum Jasa Tirta (PJT) I. 2015. Kajian Kapasitas Tampungan Waduk Sengguruh-
Sutami-Lahor dan Wlingi-Lodoyo. Laporan tidak dipublikasikan. Malang :
Penelitian oleh Biro Penelitian dan Pengembangan PJT I.
Balitbang, Departemen PU. 2006. Teknologi Sabo Untuk Pengendalian Sedimen
Waduk.
Perum Jasa Tirta (PJT) I. 2002. Buku Panduan Dredger PJT I. Buku tidak
dipublikasikan.
10
290
IMPLEMENTASI TEKNOLOGI TIPIKAL DESAIN SABO
DAM PADA BANGUNAN CHECKDAM DI KALI KONTO
Sugik Edy Sartono, dan Gede Santika Dharma
Perusahaan Umum (Perum) Jasa Tirta I
sugikedysartono@gmail.com, gede.air@gmail.com
Intisari
Waduk Selorejo berfungsi sebagai pengendali banjir, PLTA, budidaya perikanan,
pariwisata dan irigasi. Pada aliran Kali Konto terdapat laju sedimen yang tinggi
sehingga banyak sedimen yang masuk ke Waduk Selorejo. Pengendalian sedimen
Kali Konto diantaranya dengan dibangun sabodam ataupun checkdam. Salah satu
Sabodam yang berada pada aliran Kali Konto (hulu Waduk Selorejo) yaitu
Sabodam Tokol dengan tinggi efektif 11 meter dan debit desain (Q50) sebesar 260
m3/dt. Sabodam Tokol merupakan bangunan yang bersifat massive dengan
struktur beton dan berfungsi untuk menahan sedimen ataupun aliran lahar ketika
terjadi letusan Gunung Kelud. Akan tetapi, menginggat topografi pada Kali Konto
tidak banyak yang bisa untuk dilakukan pembangunan Sabodam, maka perlu
dibangun bangunan penahan yang berukuran lebih kecil agar sedimen bisa ditahan
sebelum masuk ke waduk. Dalam beberapa tahun terakhir terjadi kerusakan pada
beberapa tipe checkdam di Kali Konto. Berdasarkan studi Balai Sabo Puslitbang
Air Kementerian PUPR (2012), disarankan pada Kali Konto pembangunan
checkdam menggunakan Teknologi Sabo Dam. Menginggat fungsi dan
pentingnya pembangunan checkdam di hulu Waduk Selorejo ini sangat efektif
untuk pengendalian sedimen dan pengendalian kemiringan dasar sungai, maka
perlu dilakukan inovasi pembangunan checkdam yang memiliki kestabilan dan
usia guna yang lebih lama agar tidak mudah terjadi kerusakan.
Kata Kunci: Teknologi Sabo Dam, Sedimentasi Kali Konto, Desain Checkdam
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penentuan tipe konstruksi checkdam sangat penting untuk diperhatikan. Kondisi
dan karakeristik sungai berpengaruh dalam jenis dan tipe konstruksi checkdam.
Berdasarkan pengalaman pembangunan dari tahun ke tahun, pada Kali Konto
terjadi banyak kerusakan pada beberapa tipe checkdam. Kerusakan tersebut mulai
dari rusaknya sayap checkdam, lantai apron, ataupun main dam. Konstruksi
checkdam yang rusak di Kali Konto diantaranya berupa checkdam dengan
konstruksi bronjong ataupun pasangan batu kali. Berdasarkan studi Balai Sabo
Puslitbang Air Kementerian PUPR (2012), disarankan pada Kali Konto
pembangunan checkdam menggunakan tipikal desain sabo dam. Sehingga pada
pembangunan checkdam selanjutnya dibangun dengan konstruksi menyerupai
sabo dam dan material yang digunakan pasangan batu kali dengan lapisan beton
bertulang mengingat material sedimen pada Kali Konto diantaranya berupa
bebatuan besar.
1
291
Ruang Lingkup
Kajian implementasi desain sabo terhadap konstruksi checkdam ini dilakukan di
Kali Konto yang merupakan salah satu sungai pengelolaan Perum Jasa Tirta I.
Pada makalah ini dilakukan evaluasi perencanaan untuk menentukan konstruksi
checkdam yang paling stabil di Kali Konto.
Maksud dan Tujuan
Maksud kajian adalah untuk memperoleh hasil penerapan pembangunan
checkdam yang sesuai dan stabil dengan kondisi topografi serta material batuan
sedimen yang terdapat pada Kali Konto.
Tujuannya adalah memperoleh hasil desain checkdam yang mempunyai umur
teknis dan nilai manfaat pada Kali Konto sehingga mampu menahan material
sedimen dan aliran banjir serta mempunyai kestabilan terhadap gaya hidrolika
yang terjadi pada sungai tersebut.
Kajian Pustaka
Upaya perbaikan dan peningkatan kualitas checkdam yang di bangun di Kali
Konto dilakukan dengan:
1. Perencanaan hidraulik bangunan sabodam seperti dimensi peluap, kemiringan
main dam dan panjang kolam olak sesuai SNI 03-2851-2004.
2. Perencanaan struktur bangunan sabodam, gaya yang bekerja, serta stabilitas
bangunan.
Landasan Teori
1. Rumus untuk menentukan dimensi peluap
2
292
2. Persamaan untuk menentukan kemiringan tubuh main dam
3
293
q0
v0 (5)
h3
x = β . hj (6)
h
hj 1 1 8F1 1
2
(7)
2
q
h1 1 (8)
h3
h1’ = hj - h2 (9)
dengan:
lw : panjang terjunan dari mercu bendung utama (m);
x : panjang olakan (m);
b2 : lebar mercu sub bendung (m);
q0 : debit per meter pada peluap (m3/s/m);
h3 : tinggi air di atas mercu bendung utama (m);
h1 : tinggi bendung utama dari lantai kolam olak (m);
h1’ : tinggi ambang sub bendung (m);
: koefisien, besarnya antara 4.5 - 5.0;
hj : tinggi loncatan hidraulik pada sub bendung (m);
h1 : tinggi air pada titik jatuh terjunan (m);
h2 : tinggi air di atas mercu sub bendung (m);
q1 : debit aliran tiap meter lebar pada titik jatuh terjunan (m3/s/m);
4. Gaya-gaya yang bekerja pada Checkdam, tinggi < 15 meter
Tabel 1. Gaya yang bekerja pada Checkdam
Beban Notasi Gaya V H Lengan Momen
Berat sendiri W
W1 ½.γc.m.h2 + ⅔.m.h +
W2 γc.b2.h + mh + ½b2 +
W3 ½.γc.n.h2 + mh + b1 + ⅓nh +
Tekanan air P
statik Pv1 ½.γw.m.h2 + ⅓.m.h +
Pv2 γw.m.h.h3 + ½.m.h +
Pv3 γw.b2.h3 + mh + ½.b2 +
Ph1 ½.γw.h2 + ⅓h -
Ph2 γw.h3.h + ½h -
dengan:
γc : berat volume tubuh bendung penahan;
m : kemiringan bagian hulu bendung utama;
h : tinggi bendung utama;
b2 : lebar mercu bendung utama;
n : kemiringan bagian hilir bendung utama;
γw : berat volume air;
h3 : tinggi muka air di atas mercu.
4
294
METODOLOGI STUDI
Metode pengerjaan pada makalah ini dilakukan dengan:
1. Menginventaris checkdam yang pernah dibangun pada Kali Konto.
2. Mengidentifikasi desain konstruksi dan material yang digunakan dalam
pembangunan checkdam terdahulu.
3. Melakukan desain dan pembangunan baru sesuai studi Balai Sabo Puslitbang
Air Kementerian PUPR agar konstruksi lebih stabil dan mempunyai usia guna
yang lebih lama.
5
295
Gambar 6. Denah Checkdam Pasangan Batu Kali
6
296
Perhitungan:
Perhitungan Checkdam (sesuai SNI 03-2851-2004)
Data-data yang diperlukan adalah sebagai berikut:
Kemiringan dasar sungai, I0 = 0.022 (dari KT 196 - KT 185)
Lebar sungai, B = 47 m (dari cross P4)
Lebar peluap, B1 = 30 m
Tinggi endapan, hs = 1m
3
Debit banjir, Qp = 225 m /dt
a) Perhitungan dimensi peluap:
Qd =
jika diambil:
C = 0.6 (®nilai C diambil antara 0.6 - 0.66)
m2 = 0.5
g = 9.81 m2/dt
B2 = = 30 + 1 h3
maka rumus menjadi:
225 = 0.35 [ 90 + 60 + 2 h3 ] h33/2
3/2 5/2
225 = 53.2 h3 + 0.71 h3
dengan cara coba-coba memasukkan harga h3:
jika h3 = 2.56 ® 225 = 217.6 + 7.42
225 » 225
maka diambil h3 = 2.56 m
b) Perhitungan tinggi bendung dan kemiringan tubuh bendung utama:
Kemiringan statik terjadi setelah dibangun bendung pengendali dasar sungai
Istatik = 1/2 I0 = 0.011
L1 = = 372 m
Kemiringan dinamik akan terbentuk setelah terjadi banjir
Idinamik = 2/3 I0 = 0.014
L2 = = 557.4 m
Menentukan kemiringan bagian hilir bendung (n):
nmax = = 0.63 m
Kemiringan tubuh bendung bagian hilir biasanya diambil 1 : 0.2
m1&2 =
maka diambil nilai m = 0.50
7
297
8
298
Dari ringkasan perhitungan tersebut, diaplikasikan ke desain gambar checkdam
dan diperoleh hasil sebagai berikut:
EL. +884.00
EL. +884.86
EL. +881.10
EL. +880.10
EL. +879.60
EL. +884.00
EL. +884.86
Desain checkdam tersebut dinilai cukup efektif dan mempunyai usia guna yang
lebih lama. Terbukti dengan telah dilalui beberapa kali musim banjir dan kondisi
checkdam tetap kokoh hingga saat ini. Berikut beberapa hasil pembangunan
checkdam dengan konstruksi pasangan batu kali lapis beton bertulang:
9
299
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
Dari uraian di atas disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Implementasi desain sabodam terhadap checkdam dilakukan untuk
improvement desain checkdam terdahulu (menggunakan bronjong dan
pasangan batu kali) yang mudah terjadi kerusakan akibat aliran banjir Kali
Konto.
2. Desain checkdam pasangan batu kali dengan lapis beton bertulang yang
diterapkan saat ini dinilai cukup efektif karena mempunyai usia guna yang
lama dan tahan terhadap aliran bajir yang terjadi di Kali Konto.
Rekomendasi
1. Perlu dipetakan dan diatur kembali tata letak checkdam baru yang ada di Kali
Konto sehingga kemiringan dasar sungai lebih kecil dan sedimen terkendali.
2. Perlu dilakukan pemantauan dan pemeliharaan berkala agar apabila terjadi
kerusakan bisa segera tertangani dan dilakukan pengerukan hasil sedimen yang
terendap di hulu checkdam.
REFERENSI
Badan Standarisasi Nasional (BSN), 2004. Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-
2851-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Teknik Bendung Penahan
Sedimen.
Satuan Kerja Balai Sabo Badan Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
Kementerian PU, 2012. Studi Penanggulangan Sedimentasi Waduk Selorejo
dengan Teknologi Sabo di Kali Konto.
Yayasan Air Adhi Eka bekerja sama dengan Japan International Coorperation
Agency (JICA), 2011. Sabo untuk Penanggulangan Bencana Akibat Aliran
Sedimen.
10
300
STUDI PEMANFAATAN MATERIAL SEDIMEN BENDUNGAN
SENGGURUH UNTUK MATERIAL MEDIA TANAM
Agus Santoso*, Kurdianto Idi Rahman, dan Fahmi Hidayat
Biro Penelitian dan Pengembangan Perum Jasa Tirta I
*agussantosocivil@gmail.com
Intisari
Bendungan Sengguruh terletak di Desa Sengguruh, Kecamatan Kepanjen,
Kabupaten Malang, Propinsi Jawa Timur mempunyai luas genangan 2,370 km2 ,
dan total volume tampungan Bendungan Sengguruh sebanyak 21.500.000 m3 ,
dengan rincian ±2.500.000 m3 sebagai volume aktif dan ±19.000.000 m3 sebagai
desain volume sedimen. Kapasitas tampungan Bendungan Sengguruh saat ini
kurang lebih sebesar 0,96 juta m3 (4,5% dari kapasitas tampungan awal; data
pengukuran tahun 2015) sehingga secara berkala perlu dilakukan pengerukan
sedimen. Dengan semakin banyaknya hasil pengerukan sedimen yang tertampung
di spoilbank Bendungan Sengguruh memerlukan pengelolaan sehingga spoilbank
yang ada dapat dimanfaatkan kembali untuk menampung volume sedimen hasil
pengerukan selanjutnya. Untuk mengetahui kandungan sedimen pada spoilbank
Waduk Sengguruh agar dapat dimanfaatkan sebagai media tanam maka perlu
dilakukan penelitian.
Kata Kunci: Sedimen, Media Tanam, Sengguruh, Cabe
LATAR BELAKANG
Bendungan Sengguruh terletak di Desa Sengguruh, Kecamatan Kepanjen,
Kabupaten Malang, Propinsi Jawa Timur mempunyai luas genangan 2,370 km2.
Secara astronomis sub DAS Lesti terletak antara 112°42’58” - 112°36’21” Bujur
Timur dan 8°02’50” - 8°12’10” Lintang Selatan. Total volume tampungan
Bendungan Sengguruh sebanyak 21.500.000 m3 , dengan rincian ±2.500.000 m3
sebagai volume aktif dan ±19.000.000 m3 sebagai desain volume sedimen.
Kapasitas tampungan Bendungan Sengguruh saat ini kurang lebih sebesar 0,96 juta
m3 (4,5% dari kapasitas tampungan awal; data pengukuran tahun 2015) sehingga
secara berkala perlu dilakukan pengerukan sedimen.
Semakin banyaknya hasil pengerukan sedimen yang tertampung di spoilbank
Bendungan Sengguruh memerlukan pengelolaan sehingga spoilbank yang ada
dapat dimanfaatkan kembali untuk menampung volume sedimen hasil pengerukan
selanjutnya. Sedimen yang ditampung dalam spoilbank perlu untuk dimanfaatkan,
misalnya untuk media tanam. Untuk mengetahui kandungan sedimen pada
spoilbank Waduk Sengguruh agar dapat dimanfaatkan sebagai media tanam maka
perlu dilakukan penelitian.
1
301
Gambar 1. Lokasi Penelitian di Bendungan Sengguruh Kabupaten Malang
METODOLOGI STUDI
Metodologi yang digunakan untuk melakukan kajian pemanfaatan material
sedimen Bendungan Sengguruh untuk media tanam antara lain:
1. Pengumpulan data (historis sedimen dan sampel tanah spoilbank)
Data penelitian didapatkan dari pengambilan sampel secara langsung di Waduk
Sengguruh pada spoil bank C (sedimen Das Lesti) dan D (sedimen Das Brantas)
dengan kondisi sedimen yang belum termanfaatkan (belum ditanami) yang
merupakan hasil pengerukan pada Januari 2013.
2. Pengujian laboratorium
Untuk mengetahui potensi penggunaan material sedimen sebagai bahan media
tanam, dilakukan beberapa pengujian laboratorium seperti : analisa kandungan
Nitrogen (N.total), P.tersedia (P.Olsen), K dapat ditukar (K.dd) dan Kapasitas
Tukar Kation (KTK). Adapun mekanisme singkat pelaksanaan masing-masing
analisis tersebut antara lain :
a. Analisa kandungan Nitrogen (N.total)
1) Sampel tanah yang lolos ayakan 0,5 mm ditimbang sebanyak 0,5 gram
dimasukkan dalam labu erlenmeyer, ditambahkan 1 gram campuran
selen dan 5 ml H2 SO 4 pekat.
2
302
2) Kemudian sampel di destruksi pada suhu 300°C, setelah itu didinginkan
dan ditambahkan 60 ml aquades.
3) Hasil destruksi yang telah diencerkan dengan aquades 60 ml tersebut
ditambahkan 25 ml NaOH 40% dan kemudian didestilasi. Hasil
destilasi tersebut ditampung dengan asam borat 20 ml di dalam
Erlenmeyer 125 ml. Di destilasi sampai warna asam borat sebagai
penampung berubah dari warna merah jambu menjadi hijau.
4) Hasil dari destilasi tersebut kemudian dititrasi dengan H2SO4 0,01 N
sampai terjadi perubahan warna, dari warna hijau menjadi warna coklat
atau merah bata.
b. Analisa kandungan P.tersedia (P.Olsen)
1) Sampel tanah yang lolos ayakan 0,5 mm ditimbang sebanyak 0,5 gram
ditambahkan 20 ml NaHCO3 dimasukkan kedalam botol kocok dan
kemudian sampel dikocok dengan mesin pengocok dan dikocok selama
2 jam. Setelah dikocok sampel tersebut kemudian disaring dan diambil
filtratnya.
2) Hasil saringan tersebut di pipet sebanyak 5 ml dan dimasukkan ke
dalam tabung reaksi, setelah itu diencerkan dengan 20 ml aquades.
3) Setelah itu ditambahkan 8 ml reagen P dan didiamkan selama 30 menit.
Kemudian ditambahkan aquades sampai tanda batas pada tabung
reaksi. Setelah itu kadar P dapat dihitung dengan menggunakan Alat
Spektrofotometer.
c. Analisa kandungan K dapat ditukar (K.dd)
1) Tanah (kering) ditumbuk dan di ayak dengan ayakan 0,200 mm. Hasil
ayakan ditimbang sebanyak 1 gram tiap sampel, dimasukkan dalam
botol film panjang. Dan ditambahkan aquadest 10 ml.
2) Sampel yang telah ditambahkan aquadest di kocok 30 menit. Setelah 30
menit sampel yang telah dikocok di sentrifuge selama 10 menit. Setelah
di sentrifuge air pada sampel di buang (tanah jangan sampai ikut) lalu
di tambahkan ammonium asesat 10 ml dan di rot-up.
3) Sampel yang telah di rot-up di kocok kembali selama 1 jam dan di
sentrifuge selama 10 menit. Setelah itu sampel hasil sentrifuge disaring
airnya di tempatkan pada botol Fial Film kecil tanah jangan sampai ikut.
4) Sisa tanah yang disaring kembalikan ditambahkan ammonium asesat 10
ml lalu di rot-up dan di sentrifuge kembali selama 10 menit. Setelah di
sentrifuge tanah kembali di saring di botol saring pertama (saringan ke
dua dicampur dengan yang pertama). Sisa tanah yang masih ada
ditambahkan NH4CL 10 ml lalu di sentrifuge lagi selama 10 menit.
Sampel yang telah disentrifuge disaring kembali di campurkan dengan
hasil saringan sebelumnya.
3
303
5) Setelah itu sampel hasil saringan di ambil 2 ml tempatkan dalam botol
baru dan diencerkan dengan aquadest 20 ml. Sampel diencerkan sampai
dapat terbaca oleh Kolorimeter.
d. Analisa Kapasitas Tukar Kation (KTK)
1) Tanah (kering) di tumbuk dengan mortar dan alu. Lalu diayak dengan
ayakan berdiameter 0,200 mm. Hasil ayakan ditimbang sebanyak 1
gram tiap sampel.
2) Sampel dimasukkan dalam botol / Fial Film panjang. Ditambahkan
aquades 10 ml, di kocok dengan pengocok selama 30 menit.
Pengocokan bertujuan untuk mencampur ratakan antara tanah dengan
aquades.
3) Setelah 30 menit, sampel di sentrifuge selama 10 menit bertujuan untuk
mengendapkan tanah. Setelah sentrifuge benar-benar berhenti sampel
diambil, aquades/airnya dibuang tanah jangan sampai ikut.
4) Setelah dibuang sampel ditambahkan ammonium asetat 10 ml lalu rot-
up. Sampel di kocok kembali selama 1 jam dan di sentrifuge 10 menit.
5) Setelah itu sampel hasil sentrifuge disaring dengan kertas saring pada
botol /Fial Film kecil tanah jangan sampai ikut.
6) Sisa tanah yang di saring, di tambahkan ammonium asesat 10 ml lalu di
rot-up dan sentrifuge selama 10 menit. Setelah di sentrifuge tanah
kembali di saring di tempat saringan pertama (di campur dengan hasil
saringan pertama). Sisa tanah yang masih ada di tambahkan NH4CL
sebanyak 10 ml lalu di sentrifuge lagi selama 10 menit. Sempel yang
telah di sentrifuge kembali di saring di campurkan dengan hasil
saringan sebelumnya.
7) Tanah yang masih terdapat di botol Film kemudian di beri etanol 10 ml
lalu di rot-up, kemudian di sentrifuge 10 menit. Langkah ini diulangi
sebanyak 4 x, dan yang keempat setelah di sentrifuge etanol tidak
dibuang tetapi disimpan selama beberapa waktu (sekitar 1 hari). Setelah
di diamkan etanol di buang. Tanah yang tersisa ditambahkan aquades
10 ml lalu di rot- up. Setelah itu tanah dimasukkan dalam labu kejedhal,
ditambahkan aquades sampai tanah dalam botol bener-bener bersih.
8) Sebelum di destilasi siapkan larutan penampung berupa larutan H2SO4
0,1 N yang telah ditambahkan indicator Conway 3 tetes. Lalu tanah/
sampel dalam labu kejedhal ditambahkan NAOH 20 ml dan didestilasi.
Hasil destilasi dalam erlemeyer( larutan penampung) dititrasi dengan
NAOH.
e. Analisa pH tanah
Analisa pH tanah sangat penting karena menentukan mudah tidaknya unsur-
unsur hara diserap oleh tanaman. Pada umumnya unsur hara mudah diserap
akar tanaman pada pH tanah sekitar netral karena pada pH tersebut
4
304
kebanyakan unsur hara mudah larut dalam air. Pada tanah yang cenderung
asam unsur P tidak dapat diserap tanaman karena terikat oleh Al sedangkan
pada kondisi basa unsur P juga tidak dapat diserap oleh tanamna karena
difiksasi oleh Ca. Adapun tata cara pengujian pH tanah dengan
menggunakan metode elektroda kaca antara lain :
1) Menimbang sampel tanah 10 gr masukkan pada tabung 1.
2) Menimbang tanah yang sama sebanyak 10 gr dan masukkan pada
tabung 2.
3) Menambahkan H2O sebanyak 10 ml ke tabung 1 dan menambahkan 10
ml KCl 1N ke dalam tabung 2.
4) Memasukkan pada mesin pengocok selama 1 jam.
5) Mengambil dari mesin pengocok dan didiamkan 24 jam.
6) Masukkan alat pengukur pH pada masing- masing tabung.
7) Mencatat hasilnya.
3. Uji Tanam
Rancangan uji penanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah
rancangan acak kelompok (Randomized Block Design) yang terdiri dari 4
kombinasi perlakuan penggunaan sedimen dan sekam yaitu:
a. Sedimen
b. Sedimen + sekam dengan perbandingan 1 : 1
c. Sedimen + sekam dengan perbandingan 2 : 1
d. Sedimen + sekam dengan perbandingan 3 : 1
Setiap kombinasi perlakuan diulang sebanyak 10 kali sehingga seluruh
percobaan menjadi 40 polybag tanaman cabai rawit. Untuk gambar
percobaannya dapat dilihat pada Gambar 2.
Dalam pelaksanaan percobaan penggunaan media sedimen dan sekam pada
tanaman cabai rawit terdapat beberapa tahapan yaitu :
a. Persiapan benih
Benih yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih cabai rawit.
Sebelum disemai benih direndam dengan air agar mempercepat
pertumbuhan benih cabai serta untuk memilah benih cabai yang bagus
(tenggelam dalam air).
b. Persemaian
Biji yang telah direndam dimasukkan ke dalam tray yang telah diisi media
sedimen waduk Sengguruh yang telah diayak. Benih dimasukkan ke dalam
lubang dengan jumlah satu sampai dua biji per lubang. Tray ditempatkan di
rumah semai yang atapnya terlindung fiber.
5
305
Gambar 2. Skema Penanaman Uji
c. Pembuatan media tanam polybag
Sedimen yang telah diayak 0,2 mm dicampur dengan sekam sesuai dengan
kombinasi yang direncanakan kemudian di tata sesuai dengan jarak tanam
tanaman sekitar 30cm serta memudahkan dalam sistem pemberian airnya.
d. Penanaman
Penanaman dilakukan 3-4 minggu setelah persemaian atau bibit tanaman
cabai rawit rata-rata mempunyai jumlah daun 4 helai. Setiap polybag
ditanami satu bibit cabai rawit.
e. Pemasangan ajir
Pemasangan ajir pada penelitian ini menggunakan sistem posisi ajir tegak.
Ajir terbuat dari bilah bambu dengan panjang 100 cm. Ajir dipasang 2
minggu setelah penanaman dilakukan.
f. Pemeliharaan
Penyiraman dilakukan pada pagi dan sore hari sampai tanaman berumur 2
minggu setelah tanam. Penyulaman dilakukan seminggu setelah tanam pada
tanaman-tanaman yang mati atau pertumbuhannya kurang baik diganti
dengan bibit baru yang telah disiapkan.
g. Pemanenan
Panen pertama akan dilakukan setelah buah cabai menunjukkan kematangan
dengan kriteria matang 80-90% dan pemetikan dilakukan pada pagi atau
sore hari untuk mengurangi penyusutan kuantitas dan kandungan gizi buah.
4. Evaluasi
Parameter yang dievaluasi dalam penelitian ini adalah tinggi tanaman, jumlah
daun, umur tanaman saat berbunga, jumlah cabang produktif, umur tanaman
saat berbuah, persen bunga menjadi buah, berat buah per buah, berat buah per
tanaman, jumlah buah per tanaman, panjang buah berat kering tanaman, dan
diameter buah.
6
306
HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN
Hasil pengujian untuk masing-masing analisa laboratorium dibandingkan dengan
Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah (LPT, 1983) untuk menilai potensi
penggunaan material tanah tersebut sebagai bahan media tanam (Tabel 1).
Tabel 1. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah
Sifat
Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Satuan
Tanah
< 4.5 4.5 – 5.5 5.6 – 6.5 6.6 – 7.5 7.6 – 8.5 > 8.5
pH H 2O Rasio 1:1
sangat masam masam agak masam netral agak alkali alkali
C-org < 1.00 1.00 – 2.00 2.01 – 3.00 3.01 – 5.00 > 5.00 %
N-total < 0.10 0.10 – 0.20 0.21 – 0.50 0.51 – 0.75 > 0.75 %
C/N <5 5 - 10 11 - 15 16 - 25 > 25 ---
P-total < 10 10 – 15 16 - 25 26 – 35 > 35 mg.kg-1 P 2O5
(25% < 4.4 4.4 – 8.8 9.2 – 17.5 17.9 – 26.2 > 26.2 mg.kg-1 P
HCl)
P-Bray-1 < 10 10 – 15 16 - 25 26 – 35 > 35 mg.kg-1 P 2O5
< 4.4 4.4 – 6.6 7.0 – 11.0 11.4 – 15.3 > 15.3 mg.kg-1 P
P-Olsen < 10 10 – 15 16 - 25 26 – 35 > 35 mg.kg-1 P 2O5
< 4.4 4.4 – 11.0 11.4 – 19.6 20.1 – 26.2 > 26.2 mg.kg-1 P
K-total < 10 10 – 20 21 - 40 41 – 60 > 60 mg.kg-1 P 2O5
<8 8 – 17 18 – 33 34 – 50 > 50 mg.kg-1 P
Kation – kation basa :
K < 0.1 0.1 – 0.2 0.3 – 0.5 0.6 – 1.0 > 1.0 Cmol.Kg-1
Na < 0.1 0.1 – 0.3 0.4 – 0.7 0.8 – 1.0 > 1.0 Cmol.Kg-1
Ca <2 2–5 6 – 10 11 – 20 > 20 Cmol.Kg-1
Mg < 0.4 0.4 – 1.0 1.1 – 2.0 2.1 – 8.0 > 8.0 Cmol.Kg-1
KTK <5 5 – 16 17 – 24 25 – 40 > 40 Cmol.Kg-1
Koj. AI < 10 10 – 20 21 – 30 31 – 60 > 60 %
KB < 20 20 – 35 36 – 50 51 – 70 > 70 %
EC*) --- <8 8 – 15 > 15 --- M mHos.Cm-2
M S.Cm-1
Setelah dilanjutkan dengan uji penanaman cabai merah, diperoleh hasil pengamatan
sebagai berikut :
7
307
Rata-rata Tinggi Tanaman Cabai Rawit
40
35
30
Rerata Tinggi Tanaman
25
20
15
10
5
0
1 2 3 4
Gambar 3. Grafik rata-rata tinggi tanaman dengan komposisi media tanam : (1)
sedimen; (2) sedimen + sekam dengan perbandingan 1:1; (3) sedimen + sekam
dengan perbandingan 2:1; dan (4) sedimen + sekam dengan perbandingan 3:1
12
Rerata Jumlah daun
10
1 2 3 4
Gambar 4. Grafik rata-rata jumlah daun dengan komposisi media tanam : (1)
sedimen; (2) sedimen + sekam dengan perbandingan 1:1; (3) sedimen + sekam
dengan perbandingan 2:1; dan (4) sedimen + sekam dengan perbandingan 3:1
Jika material sedimen dimanfaatkan untuk pembuatan media tanam maka beberapa
asumsi yang diperoleh dari aplikasi lapangan adalah sebagai berikut : untuk media
tanam yang dikemas dalam kantong plastik ukuran 5 kg dengan berat jenis 2,302
ton/m3, maka diperoleh volume material sedimen untuk satu kantong plastik sekitar
0,002 m3. Diasumsikan satu orang pekerja mampu memproduksi 100 kantong
plastik media tanam dengan jam kerja mulai 07.00-11.00 dan 12.00-16.00 (8 jam
kerja), dalam satu minggu (5 hari kerja) maksimal memproduksi 500 kantong
plastik media tanam, dalam satu bulan (4 minggu) 2.000 kantong plastik media
tanam, dalam satu tahun maksimal memproduksi 24.000 kantong plastik media
tanam. Maka volume material sedimen yang dapat dimanfaatkan untuk media
8
308
tanam dalam satu tahun adalah 48 m3. Jumlah volume pemanfaatan tersebut akan
semakin meningkat seiring dengan bertambahnya masyarakat yang dilibatkan.
Selain itu juga dapat menjadi alternatif pengelolaan sedimentasi waduk yang relatif
tidak berdampak terhadap lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
____, 1994. SNI 13-3497-1994, Cara uji kapasitas pertukaran kation contoh
lempung dengan metode serapan metilen biru.
____, 1998. SNI 13-4721-1998, Tata penentuan kadar nitrogen total dalam tanah.
____, 2000. SNI 03-6249.1-2000, Tata penetapan kadar kalium dalam tanah dengan
asam klorida 25 % secara spektrofotometer serapan atom.
Nawangsih, A. A., H. Purwanto, W. Agung. 1999. Budidaya Cabai Hot Beauty.
Cetakan kedelapan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Prajnanta, F. 2001. Mengatasi Permasalahan Bertanam Cabai. Cetakan ke 4.
Penebar Swadaya. Jakarta
9
309
PENENTUAN JUMLAH LUBANG RESAPAN BIOPORI
UNTUK MENAMBAH CADANGAN AIR TANAH DI KOTA
AMBON KECAMATAN NUSANIWE
Intisari
Air Putri merupakan salah satu sumber mata air bersih yang dikelola oleh PDAM
Kota Ambon bagi 7 (tujuh) kelurahan pada Kecamatan Nusaniwe, akhir-akhir ini
mengalami penurunan debit. Hal ini disebakan oleh alih fungsi lahan dari hutan
konservasi menjadi pemukiman penduduk yang terjadi pada daerah tangkapan Air
Putri. Penelitian dilakukan untuk mengatasi masalah menipisnya air tanah dengan
memanfaatkan teknologi Lubang Resapan Biopori (LBR) pada genangan di daerah
tangkapan Air Putri, teknologi ini dikembangkan pada daerah cekungan sekaligus
daerah genangan air hujan yang terletak pada DAS Air Putri dengan luas 2,00 Ha,
pengumpulan data primer dan data sekunder yaitu data tanah, data hidrologi dan
data hasil pengujian laboratorium. Biopori adalah ruangan atau pori-pori dalam
tanah yang dibentuk secara alami dengan adanya aktivitas makhluk hidup di dalam
tanah seperti, akar tanaman, cacing. Penelitian menggunakan interaksi perlakuan
berbagai jenis tanah dan jerami, yaitu jenis tanah lempung berpasir, dan jenis jerami
menggunakan bahan organik dengan berat jenis 150 g, 200 g dan 250 g, dengan
mengukur LRB dari ke tiga macam berat jenis jerami. Hasil Pengujian terhadap berat
jenis (150 g) LRB 101, 95 liter/jam, untuk berat jenis (200 g) LRB 120, 23 liter/jam
dan berat jenis jeraami ke tiga (250 g) Laju resapan biopori adalalah 114,63 liter/
jam. Dengan demikian perlakuan pemberian jerami pada lubang resapan biopori
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap laju resapan air, tetapi di antara ketiga
perlakuan tersebut perlakuan dengan berat jerami 200g memberikan angka laju
resapan air yang tertinggi pada jenis tanah yang diuji, jenis tanah lempung berpasir
member pengaruh yang signifikan tehadap laju resapan air, di mana laju resapan air
diperoleh pada jenis tanah lempung berpasir pada lokasi penelitian sebesar 120,23
liter/jam dan jumlah lubang resapan biopori yang dibutuhkan untuk satuan luas
lahan kedapatan berbeda-beda sesuai dengan jenis tanah dan intensitas hujan.
Kata Kunci : Laju Resapan Air, Biopori, Bahan Organik
LATAR BELAKANG
Kelangsungan hidup semua makhluk hidup sangat tergantung pada ketersediaan
air. Manusia, hewan dan tumbuh – tumbuhan tidak dapat bertahan hidup tanpa
adanya air. Dengan demikian sudah menjadi kewajiban kita sebagai manusia yang
diberi akal, untuk bertanggung jawab melestarikan sumberdaya air yang ada di
bumi ini. Di alam air akan tetap bergerak mulai dari penguapan oleh permukaan laut
keatmosfer, kemudian terjadi kondensasi yang akhirnya jatuh sebagai titik – titik
hujan kepermukaan tanah. Melalui proses infiltrasi dan perkolasi, air akan masuk
310
dan tertahan sementara di dalam tanah, di sungai dan di waduk sehingga dapat
dimanfaatkan manusia, kemudian air tersebut akan kembali lagi kelaut demikian
seterusnya tidak pernah berhenti, yang dikenal dengan Siklus Hidrologi.
Air Putri merupakan salah satu sumber mata air bersih yang pengelolaannya oleh
PDAM Kota Ambon untuk memenuhi kebutuhan air bersih bagi 7 ( tujuh ) kelurahan
pada kecamatan Nusaniwe dengan jumlah penduduk pada tujuh kelurahan tersebut
adalah 700 kepala keluarga 2.800 jiwa ( PDAM Kota Ambon, 2016 ), sumber
mata air tersebut akhir – akhir ini mengalami penurunan debit. Hal ini disebakan
oleh alih fungsi lahan dari hutan konservasi manjadi pemukiman penduduk yang
terjadi pada daerah tangkapan air putrid tersebut. Selaku Masyarakat yang peduli
akan lingkungan kami melakukan Penilitianuntuk mengatasi masalah menipisnya
air tanah dengan memamfaatkan teknologi Lubang Resapan Biopori ( LBR ) pada
genangan di daerah tangkapan Air Putri, teknologi ini dikembagkan pada daerah
– daerah cakungan yang merupakan daerah genangan air hujan yang terletak pada
DAS air Putri dengan luasan daerah genangan adalah 2,00 Ha, pengumpulan data
primer dan data sekunder yaitu data tanah, data hidrologi dan data hasil pengujian
laboratorium.
Biopori adalah ruangan atau pori – pori dalam tanah yang dibentuk secara alami
dengan adanya aktivitas makhluk hidup di dalam tanah seperti, akar tanaman,
cacing, rayap dan mikroorganisme lainnya (erabaru.or.id , 2008). Menurut Brata
(2008) biopori merupakan ruang atau pori dalam tanah yang dibentuk oleh makhluk
hidup, seperti mikroorganisme tanah dan akar tanaman. Bentuk biopori menyerupai
liang (terowongan kecil) di dalam tanah dan bercabang cabang dan sangat efektif
untuk menyalurkan air dan udara kedalam tanah. Liang pori terbentuk oleh adanya
pertumbuhan dan perkembangan akar tanaman, serta aktivitas fauna tanah seperti
cacing tanah, rayap dan semut di dalam tanah. Menurut Rauf (2009) biopori
merupakan lubang pori di dalam tanah yang dibuat oleh jasad biologi tanah seperti
cacing tanah, tikus, semut, rayap dan lain-lain,
Termasuk lubang bekas akar tanaman yang mati dan membusuk di dalam tanah.
Keberadaan biopori yang banyak akan meningkatkan daya serap tanah terhadap
air, karena air akan lebih mudah masuk kedalam tubuh (profil) tanah. Lubang
Resapan Biopori (LRB) adalah lubang yang digali vertical kedalam tanah berbentuk
311
silindris berdiameter 10 cm, dengan kedalaman ± 1 meter (tidak melebihi muka air
tanah).Lubang resapan digali dengan menggunakan borbiopori agar diameter yang
dihasilkan akan seragam (Brata, 2008).
Gambar 3. Foto Mikroskop Elektron dari Lubang Cacing dan Akar pada
Penampang Tanah dalam yang Telah Berkembang dengan Liang-liang yang
Memanjang ke Berbagai Arah (dalam Lingakaran Kuning) -
(Era baru.com Brata 2008.)
312
Laju resapan air adalah variabel yang akan diamati dalam penelitian ini, diukur
dengan cara sebagai berikut (Brata 2008) :
Untuk menentukan laju resapan air dihitung dengan rumus :
........................................................................... (1)
Persiapkan air dalam wadah (X liter), kemudian tuangkan air perlahan-lahan ke
dalam lubang resapan biopori. Lakukan penuangan air secara kontiniu selama 1 jam
(Z), Ukur sisa air dalam wadah (Y liter), kemudian hitung berapa jumlah air yang
terserap (X-Y) liter.
Setelah diperoleh angka laju resapan air untuk masing-masing jenis tanah, maka
dapat ditentukan berapa jumlah lubang resapan biopori yang perlu dipasang pada
satuan lahan yang kedap air dengan persamaan sebagai berikut:
...................... ( 2 )
Nilai intensitas hujan diperoleh dari data intensitas hujan berdasarkan Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika wilayah setempat. (Brata 2008)
Hasil Pengujian terhadap berat jenis (150 g) Laju Resapan Biopori 101, 95 Liter/
jam, untuk berat jenis (200 g) Laju resapan biopori 110, 68 liter/jam dan berat jenis
jeraami ke tiga (250 g) Laju resapan biopori adalalah 101,04 liter/jam. Dengan
demikian perlakuan pemberian jerami pada lubang resapan biopori memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap laju resapan air, tetapi di antara ketiga perlakuan
tersebut perlakuan dengan berat jerami 200g memberikan angka laju resapan air
yang tertinggi pada jenis tanah yang diuji, jenis tanah lempung berpasir member
pengaruh yang signifikan tehadap laju resapan air, di mana laju resapan air diperoleh
pada jenis tanah lempung berpasir pada lokasi penelitian sebesar 120,23 liter/
jam dan jumlah lubang resapan biopori yang dibutuhkan untuk satuan luas lahan
kedapakan berbeda-beda sesuai dengan jenis tanah dan intensitas hujan.
313
Berdasarkan persamaan di atas untuk lahan kedap seluas 2.000 m2 maka dapat
ditetapkan lubang resapan biopori yang perlu dipasang pada tanah di area tangkapan
gunung nona yaitu:
...................................... (3)
REFERENSI
Agung Begiawan, 2015. Bahan Ajar Hidrologi. Bandung
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Kota Ambon.
Brata, K., 2008. Lubang Resapan Biopori. Swadaya. Jakarta.
Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon tahun
2010. Penuntun Praktikum Fisika Tanah.
Hasil data Pengukuran dilapangan, Ambon Maret 2015.
http://erabaru.or.id/2008. Biopori Teknologi Solusi Banjir.
Laporan Laboratorium Fisika, Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan
Alam,Universitas Pattimura Ambon tahun 2015. Penuntun Praktikum Fisika
Tanah.
314
IDENTIFIKASI POTENSI LOKASI SUMUR RESAPAN
SEBAGAI IMBUHAN ALAMI AIR TANAH
DI KAWASAN PERKOTAAN JEMBER
Sri Wahyuni*, Gusfan Halik, Wiwik Yunarni
Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Jember
*sriwahyuni.teknik@unej.ac.id
Intisari
Kota Jember (terletak 200 km di arah selatan Kota Surabaya) mengalami
peningkatan ekonomi yang cukup pesat dalam 15 belas tahun terakhir ini. Hal ini
dapat dilihat dari meningkatnya perubahan alih fungsi lahan sampai dengan 60%
dimana yang dahulunya lahan terbuka menjadi daerah pemukiman. Hal tersebut
menyebabkan menurunnya tingkat resapan air hujan kedalam tanah. Oleh karena
itu perlu diupayakan penerapan teknologi dalam rangka mengatasi permasalahan
tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi potensi lokasi yang
dapat dibangunnya imbuhan alami tersebut. Metode yang dilakukan adalah (1)
menguji nilai permeabilitas tanah secara langsung dilapangan untuk menetapkan
daerah mana saja yang secara teknis tepat untuk dijadikan area imbuhan; (2)
Merencanakan sumur resapan (sebagai media imbuhan alami) dengan parameter
Nilai K, intensitas hujan, luas tadah hujan dan volume andil banjir. Manfaat yang
didapat adalah (1) terindentifikasinya lokasi sumur resapan sehingga pada saat
musim hujan air dapat diresapkan terlebih dahulu sebelum dibuang ke saluran
drainase sehingga dapat mengurangi limpasan permukaan (banjir); (2) Hasil studi
ini dapat dijadikan landasan teknis oleh pemerintah daerah setempat untuk
membuat peraturan daerah tentang sumber daya air (SDA) dan sumur resapan.
Kata Kunci: Sumur resapan, imbuhan alami, uji permeabilitas, reduksi banjir.
LATAR BELAKANG
Kota Jember mengalami peningkatan di bidang ekonomi cukup pesat dibarengi
dengan pertumbuhan penduduk yang terus meningkat setiap tahunnya sebanyak
0,27 % (RISPAM, 2015). Hal ini dapat dilihat dari pembangunan fisik gedung,
perkantoran maupun perumahan yang telah merubah alih fungsi lahan yang
dahulunya sebagai kawasan yang dapat meresapkan air menjadi area yang tidak
dapat meresapkan air hujan lagi. Penggunaan air tanah sebagai sarana kehidupan
semakin meningkat di kota ini, baik untuk kebutuhan domestik maupun untuk
industri. Peningkatan pemanfaatan air dapat dijumpai pada daerah yang padat
penduduk, daerah pemukiman baru dan daerah industri. Potensi air yang dapat
dikelola tidak lebih dari 4% dari jumlah total air di bumi, sehingga usaha
konservasi merupakan suatu keharusan, mengingat tanpa konservasi yang cukup
eksploitasi air tak akan lestari dalam memenuhi kebutuhan manusia. Upaya
perlindungan dan pelestarian sumberdaya air khususnya air tanah dapat dilakukan
dengan menggunakan sistem drainase air hujan yang berwawasan lingkungan,
yaitu dengan rekayasa teknis resapan air hujan. Rekayasa teknis resapan air hujan
1
315
berfungsi untuk menampung air hujan yang jatuh di atap bangunan maupun yang
sudah menjadi limpasan selanjutnya diresapkan ke dalam tanah. Dengan demikian
kondisi tersebut dapat menambah potensi persediaan air tanah (Sunjoto, 2009).
Sasaran lokasi adalah daerah peresapan air di kawasan budidaya, permukiman,
perkantoran, pertokoan, industri, sarana dan prasarana olah raga serta fasilitas
umum lainnya. Tujuan dari kajian ini adalah mengidentifikasi potensi lokasi
sumur resapan sebagai imbuhan alami air tanah di kawasan perkotaan.
Landasan Teori
Analisis hidrologi dilakukan untuk mendapatkan besarnya curah hujan rencana
dan intensitas curah hujan sebagai dasar perhitungan dalam menentukan besarnya
debit banjir rencana pada suatu daerah. Dalam studi ini, analisis hidrologi yang
dilakukan meliputi :
1. Pengumpulan data curah hujan dan data penggunan lahan
Data curah hujan harian didapatkan dari Dinas Pengairan Kabupaten Jember,
sedangkan data penggunaan lahan didapatkan dari peta rupa bumi dari
bakorsurtanal dengan updating peta dari satelit google earth.
2. Pengolahan data hujan, meliputi : uji konsistensi data dan uji abnormalitas
data.
3. Analisis frekwensi, untuk menentukan curah hujan rencana dengan periode
ulang tertentu. Jenis distribusi yang banyak digunakan dalam bidang
hidrologi adalah distribusi Log Pearson III. Tahapan perhitungannya adalah
sebagai berikut (Suripin, 2004) :
a. Hitung nilai rata – rata
(1)
b. Simpangan baku (standar deviasi)
1
n
2
2
(log x i log x )
s i 1
(2)
n 1
c. Hitung koefisien kemencengan = G = Cs
n
n ( xi x) 3
i 1
Cs (3)
(n 1)( n 2).s 3
dengan :
n : jumlah tahun
Cs : koefesien kemencengan
s : standar deviasi
Curah hujan rencana dengan metode Log Pearson III, dihitung dengan
persamaan berikut :
LogX T LogX K .Si (4)
2
316
dengan :
XT : curah hujan rancangan kala ulang T tahun.
X : rata-rata hitung data hujan
K : variabel standart untuk x yang besarnya tergantung koefisien
kemencengan (skewness coefisien).
Ci. Ai
C i 1
n
Aii 1 (6)
dengan :
Ai : Luas lahan dengan jenis penutup tanah i,
Ci : Koefisien aliran permukaan jenis penutup tanah i
n : Jumlah jenis penutup lahan.
METODOLOGI STUDI
Gambar 1 merupakan diagram alir studi yang dilakukan dalam mencapai tujuan
penelitian ini.
3
317
Gambar 1. Diagram Alir Pendekatan dan Metode Studi
Inventarisasi Data
Pada proses inventarisasi data diperoleh data primer dan data sekunder. Metode
pengumpulan data primer adalah metode dengan cara melakukan survey langsung
ke lapangan (pengeboran tanah di lapangan). Pada pengumpulan data secara
primer diperoleh data hasil pengujian permeabilitas di lapangan.
Adapun metode pengumpulan data sekunder adalah metode perolehan data yang
didapat dari berbagai instansi terkait. Data sekunder yang akan digunakan antara
lain :
1. Siteplan (google earth)
2. Peta jenis tanah
3. Data curah hujan
4
318
4. Pelaksanaan Pengujian
a. Penentuan lokasi dan titik pengujian.
b. Membuat lubang sumur uji pada titik pengujian yang telah ditentukan
menggunakan alat uji dengan kedalaman 1 m
c. Memasukkan air kedalam alat metode sumur uji setinggi 1 m sebagai
acuan untuk mengukur tinggi air yang meresap kedalam tanah.
d. Menghitung waktu pengaliran dengan menggunakan stopwatch untuk
mengetahui waktu pengaliran kedalam lubang uji.
5
319
Gambar 3. Peta Lokasi Uji Permeablitas di 3 Kecamatan Kota Jember
Hasil perhitungan dimensi sumur resapan adalah seperti yang terdapat pada Tabel
1-3. Untuk masing-masing tipe rumah tentunya memiliki ukuran sumur resapan
yang berbeda, semakin besar tipe rumah maka semakin besar dimensi sumur
resapan yang dibutuhkan begitu juga sebaliknya. Dari perbandingan bentuk sumur
resapan dapat diketahui bahwa bentuk persegi mempunyai volume resapan yang
lebih besar dibandingkan dengan bentuk lingkaran.
6
320
Tabel 1. Perhitungan Dimensi Sumur Resapan Kecamatan Sumbersari
Vab yang
dimensi sumur resapan Jumlah Vol SR
A tadah C tadah R Vab ditampung
No Lokasi Perumahan SR Total
40% D H Vol SR
m2 l/m2/hari m3 m3 m m m3 Buah m3
1 Taman Anggrek 240 0.85 121 21 11 1.5 2.0 3.5 4 14.1
2 Istana Tegal Besar 100 0.85 121 9 4 1.5 1.5 2.7 2 5.3
3 Istana Tidar Regency 90 0.85 121 8 3 1.0 2.0 1.6 2 3.1
4 Taman Kampus 224 0.85 121 20 11 1.5 2.0 3.5 4 14.1
5 "este" Muktisari 197 0.85 121 17 7 1.5 2.0 3.5 2 7.1
6 Pondok Gede Permai 105 0.85 121 9 4 1.5 1.5 2.7 2 5.3
SUMUR RESAPAN PERSEGI
Vab yang
dimensi sumur resapan Jumlah Vol SR
A tadah C tadah R Vab ditampung
No Lokasi Perumahan SR Total
40% S T Vol SR
m2 l/m2/hari m3 m3 m m m3 Buah m3
1 Taman Anggrek 240 0.85 121 21 11 1.5 2.0 4.5 3 13.5
2 Istana Tegal Besar 100 0.85 121 9 4 1.5 2.0 4.5 1 4.5
3 Istana Tidar Regency 90 0.85 121 8 3 1.5 1.5 3.4 1 3.4
4 Taman Kampus 224 0.85 121 20 11 1.5 2.0 4.5 3 13.5
5 "este" Muktisari 197 0.85 121 17 7 1.5 2.0 4.5 2 9.0
6 Pondok Gede Permai 105 0.85 121 9 4 1.5 2.0 4.5 1 4.5
7
321
Perhitungan volume air hujan yang meresap (Vrsp) disetiap rumah berbeda-beda
hal ini dipengaruhi oleh hasil perencanaan sumur resapan pada tabel 1-3 dan
besarnya nilai koefisien permeabilitas di lokasi perumahan tersebut. Nilai Vrsp
lebih besar dari pada nilai Vsr karena pada saat terjadi hujan air langsung meresap
ke dalam tanah. Hasil perhitungan Vrsp dapat dilihat pada tabel 4-6.
Tabel 4. Perhitungan Volume yang Meresap Pada Sumur Resapan Kecamatan
Sumbersari
Luas Total (A total)
R te K Vrsp
No Lokasi Perumahan D H A Alas A Dinding
l/m2/hari jam m m m2 m2 m/hari m3 m3/hari
1 Taman Anggrek 121 1.2 1.5 2.0 1.8 9.4 3.1 1.8 43
2 Istana Tegal Besar 121 1.2 1.5 1.5 1.8 7.1 2.2 1.0 24
3 Istana Tidar Regency 121 1.2 1.0 2.0 0.8 6.3 2.0 0.7 17
4 Taman Kampus 121 1.2 1.5 2.0 1.8 9.4 1.9 1.1 27
5 "este" Muktisari 121 1.2 1.5 2.0 1.8 9.4 0.9 0.5 12
6 Pondok Gede Permai 121 1.2 1.5 1.5 1.8 7.1 1.7 0.8 19
VOLUME AIR YANG MERESAP PADA SUMUR RESAPAN PERSEGI
Luas Total (A total)
R te K Vrsp
No Lokasi Perumahan S H A Alas A Dinding
l/m2/hari jam m m m2 m2 m/hari m3 m3/hari
1 Taman Anggrek 121 1.2 1.5 2.0 2.3 12.0 3.1 2.3 54
2 Istana Tegal Besar 121 1.2 1.5 2.0 2.3 12.0 2.2 1.6 39
3 Istana Tidar Regency 121 1.2 1.5 1.5 2.3 9.0 2.0 1.1 27
4 Taman Kampus 121 1.2 1.5 2.0 2.3 12.0 1.9 1.4 34
5 "este" Muktisari 121 1.2 1.5 2.0 2.3 12.0 0.9 0.6 15
6 Pondok Gede Permai 121 1.2 1.5 2.0 2.3 12.0 1.7 1.3 30
8
322
Tabel 6. Perhitungan Volume yang Meresap Pada Sumur Resapan di Kecamatan
Kaliwates
VOLUME AIR YANG MERESAP PADA SUMUR RESAPAN LINGKARAN
Luas Total (A total)
R te K Vrsp
No Lokasi Perumahan D H A Alas A Dinding
l/m2/hari jam m m m2 m2 m/hari m3 m3/hari
1 Mandiri Land 130 1.3 1.5 1.5 1.8 7.1 6.3 3.0 73
2 GOR 130 1.3 1.5 1.5 1.8 7.1 8.5 4.1 99
VOLUME AIR YANG MERESAP PADA SUMUR RESAPAN PERSEGI
Luas Total (A total)
R te K Vrsp
No Lokasi Perumahan S H A Alas A Dinding
l/m2/hari jam m m m2 m2 m/hari m3 m3/hari
1 Mandiri Land 130 1.3 1.5 1.5 2.3 9.0 6.3 3.9 93
2 GOR 130 1.3 1.5 1.5 2.3 9.0 8.5 5.3 126
Hasil perhitungan diatas menunjukkan bahwa volume yang meresap pada bentuk
sumur resapan persegi lebih besar dibandingkan dengan bentuk lingkaran, hal ini
berbanding lurus dengan volume yang dapat ditampung pada bentuk sumur
resapan.
Dari tabel 1-6 diatas maka dapat dibuat ringkasan volume sumur resapan minimal
(Tabel 7) yang harus dibuat oleh pengembang setiap melakukan pembangunan
perumahan.
Tabel 7. Volume Sumur Resapan Minimal
Luas Permukaan yang Luas Permukaan yang
No Volume No Volume
Tertutup Tertutup
(m2) (m3) (m2) (m3)
1 < 30 1 9 300 < x < 399 15
2 30 < x < 59 2 10 400 < x < 499 19
3 60 < x < 89 3 11 500 < x < 599 23
4 90 < x < 109 4 12 600 < x < 699 26
5 110 < x < 139 5 13 700 < x < 799 30
6 140 < x < 169 6 14 800 < x < 899 34
7 170 < x < 199 7 15 900 < x < 999 38
8 200 < x < 299 11
9
323
Rekomendasi
Kajian ini dapat digunakan sebagai dasar untuk disampaikan ke instansi terkait
untuk membuat peraturan daerah yaitu diwajibkannya pengembang/developer
perumahan untuk membuat sumur resapan di tiap rumah yang dibangunnya.
Rekomendasi untuk penelitian selanjutnya adalah lokasi sampling uji nilai
permeabilitas lebih diperluas ke daerah perkantoran, hotel dan industri.
REFERENSI
_____, 2002. SNI No. 03-2453-2002. Tata Cara Perencanaan Sumur Resapan Air
Hujan Untuk Lahan Pekarangan. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.
_____, 2006. Peratutan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 10 Tahun 2006, Tentang
Sumber Daya Air dan Sumur Resapan.
_____, 2008. Peraturan Daerah Kabupaten Jember Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Urusan Pemerintahan yang Menjadi Kewenangan Kabupaten Jember
(Lembaran Daerah Kabupaten Jember Tahun 2008 Nomor 14).
Anwar, Z., 2005. Evaluasi Kebijakan Sumur Resapan Air Hujan untuk Konservasi
Air Tanah Dangkal di Kabupaten Sleman. Universitas Diponegoro,
Semarang.
Iriani, K. Dkk., 2013. Perencanaan Sumur Resapan Air Hujan untuk Konservasi
Air Tanah di Daerah Permukiman (Studi Kasus Di Perumahan RT. II, III,
DAN IV Perumnas Lingkar Timur Bengkulu). Jurnal Inersia, Vol.5, No.1,
April, 10-22.
Riastika, M., 2011. Pengelolaan Air Tanah Berbasis Konservasi di Recharge
Area Boyolali. Universitas Diponegoro, Semarang.
Siswanto, J., 2001. Sistem Drainase Resapan Untuk Meningkatkan Pengisian
(Recharge) Air Tanah. Jurnal Natur Indonesia III (2): 129 – 137.
Sunjoto, 2009. Pembangunan Sumberdaya Air dalam Dimensi Mamemayu
Hayuning Bawono. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar. Edisi Saintifik.
Yogyakarta : Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada.
Suripin, 2004. Sistem Saluran Drainase Perkotaan Berkelanjutan. Yogyakarta:
Penerbit Andi.
10
324
KARAKTERISTIK MINERAL SEDIMEN DI WADUK WLINGI
DAN IMPLIKASINYA TERHADAP EFISIENSI
PENGGELONTORAN SEDIMEN
Dian Sisinggih1*, Sri Wahyuni2, dan Fahmi Hidayat3
1
Program Studi Teknik Pengairan, Universitas Brawijaya
2
Program Studi Teknik Sipil Universitas Jember
3
Jasa Tirta 1, Malang, Program Doktor Teknik Sipil, Universitas Brawijaya
*singgih@ub.ac.id
Intisari
Penggelontoran sedimen di Waduk Wlingi dianggap sebagai upaya yang efektif
dalam mengeluarkan sedimen yang mengendap di waduk. Namun tidak semua
endapan dapat terbuang ke hilir karena material endapannya ada yang bersifat
kohesif dan terkonsolidasi. Khusus untuk sedimen kohesif mineralogi berperan
dalam pengontrolan ukuran primer, bentuk, sifat fisik dan kimia dari partikel
endapan. Dari hasil analisa abu vulkanik Gunung Kelut mempunyai kesamaan
dengan sampel sedimen yang terendapkan di Waduk Wlingi dengan kandungan
mineral Quartz (SiO2), Fayalite (Fe2SiO4), Anorthite Ca(Al2Si2O8), Albite
Na(AlSi3O8), Cristoballite SiO2, Enstatite MgSiO3 dan Diopside CaMgSi2O6.
Untuk sedimen hulu yang berasal dari Kali Brantas, sedikit berbeda dengan abu
vulkanik Gunung Kelut dengan kandungan mineral yang dominan adalah
Kaolinite Al2(Si2O5), Natrolite Na2Al2Si3O10.2H2O, Nacrite Al2(Si2O5)(OH)4,
Pyrophyllite Al2Si4O10(OH)2. Efisiensi penggelontoran sedimen di Waduk Wlingi
cukup baik tetapi sedimen yang bersifat kohesif tidak semuanya dapat keluar dari
waduk. Sesuai dengan karakteristik mineral yang ada pada sedimen kohesif,
pengujian khusus perlu dilakukan di laboratorium untuk mendapatkan parameter
aliran yang tepat untuk pergerakan erosi/pengendapan sedimen kohesif pada
periode flushing selanjutnya. Alternatif lain adalah pengambilan secara mekanis
untuk sedimen yang tidak dapat tergelontor tersebut.
Kata Kunci: sediment flushing, clay mineral, efisiensi, SEM, XRD
LATAR BELAKANG
Pada saat ini sedimentasi waduk merupakan salah satu permasalahan pokok di
DAS Kali Brantas (Kondolf, 2014), (Sekistijono, 2004). Waduk-waduk di hulu
DAS Kali Brantas pada saat ini telah kehilangan kapasitas tampungannya dengan
cepat, sekitar 35-80% dari kapasitas tampungan awal. Di beberapa waduk yang
kecil seperti Waduk Wlingi kapasitas tampungan efektifnya hanya tersisa 40%
dari kapasitas awalnya (Harianto, 2012). Untuk mengatasi masalah sedimentasi
selama ini telah dilakukan upaya pengerukan dan penggelontoran. Pengerukan
yang dilakukan di Waduk Wlingi memerlukan biaya yang tinggi dan mengalami
kesulitan dalam penyediaan lokasi penampungan material hasil pengerukan (spoil
bank). Penggelontoran sedimen di Waduk Wlingi selama ini telah dianggap
1
325
sebagai upaya yang efektif dalam mengeluarkan sedimen yang telah mengendap
di dalam waduk (Gambar 1).
Pada Waduk Wlingi material sedimen yang spesifik diduga berasal dari dari
material letusan Gunung Kelut (Thouret, 1998), (Sekistijono, 2004). Gunung
Kelut merupakan salah satu gunung api yang aktif di Indonesia dengan letusan
dahsyat pada tahun 1919, 1990, 2007 dan 2014. Material hasil letusan Gunung
Kelut mengalir menuju Waduk Wlingi di Kali Brantas melalui anak-anak
sungainya yang berhulu di lereng Gunung Kelut antara lain sungai Kali Lekso,
Kali Semut, Kali Jari, Kali Putih, dan Kali Abab. Letusan Gunung Kelut pada
tahun 1990 memberikan volume sedimen yang besar pada Waduk Wlingi. Letusan
pada tanggal 13 Pebruari 2014 lalu menghasilkan material letusan yang mengarah
ke utara dan saat ini masih terendapkan di hulu daerah aliran Waduk Wlingi
sebagaimana disajikan dalam Gambar 2.
Gambar 2. Tipikal starifikasi material endapan sedimen yang berasal dari letusan
gunung berapi (kiri) dan hasil SEM abu vulkanik (kanan)
(Oktaviana, 2015).
Umumnya, para peneliti tertarik untuk mempelajari sedimentasi waduk ini dengan
menekankan pada identifikasi asal sedimen di bagian hulu dengan menggunakan
pelacak isotop atau simulasi numerik dan pemodelan fisik berdasarkan proses
DAS. Namun demikian, langkah awal untuk analisis sedimentasi waduk tersebut
2
326
seharusnya didasarkan pada pemahaman tentang bahan apa yang terendapkan dan
bagaimana prosesnya untuk mencapai keadaan seperti sekarang ini. Studi ini
menganalisa karakteristik mineral endapan sedimen waduk Wlingi untuk
selanjutnya dapat digunakan melakukan analisa perilaku moda transportasinya
dalam aliran sehingga dapat meningkatkan teknik penggelontoran sedimen di
waduk supaya hasilnya lebih optimal.
(1)
dengan :
E : Efisiensi penggelontoran/ flushing
Vo : Kapasitas waduk pada awal dibangun
V1 : Kapasitas waduk sebelum penggelontoran/ flushing
V2 : Kapasitas waduk setelah penggelontoran/ flushing
3
327
Untuk evaluasi keberhasilan penggelontoran digunakan kriteria Draw Down Ratio
(DDR)
(2)
dengan:
- FWL : elevasi muka air flushing (m)
- HWL: elevasi muka air tertinggi (m)
- LWL: elevasi muka air terendah (m)
METODOLOGI STUDI
Dalam penelitian ini diawali dengan menelaah berbagai studi terdahulu yang
terkait dengan sedimen di waduk Wlingi, pengumpulan sampel sedimen dan abu
vulkanik Gunung Kelut dan diteruskan dengan uji sampel di laboratorium (analisa
mineral magnetic, X-ray Diffraction (XRD), XRF (X-Ray Flurorescence) dan
Scanning Electron Microscope (SEM). Analisa sebaran sedimen di Waduk Wlingi
dilakukan dengan interpolasi ruang (IDW-power 3) untuk mendapatkan batimetri
waduk. Data profil waduk diperoleh dari hasil echo sounding. Selanjutnya sampel
sedimen sungai dari Gunung Kelut diambil pada Kali Jari (No.17) dan Kali Lekso
(No.16). Sedangkan sampel No.18 merupakan hulu Waduk Wlingi dari Kali
Brantas (Gambar 3). Data teknis flushing di Waduk Wlingi disajikan pada Tabel 1
berikut.
4
328
Tabel 1. Data Teknis Flushing di Waduk Wlingi
2009 2.23
2010 2.97 5.20 163.50 162.00 163.30
2011 2.73
2012 2.49
Gambar 4. Hasil SEM sedimen terendapkan di Waduk Wlingi (sampel titik no. 1)
5
329
Gambar 5. Hasil SEM sampel abu vulkanik Genung Kelut.
Untuk sampel sedimen hulu yang berasal dari Kali Brantas, karakteristiknya
sedikit berbeda dengan abu vulkanik Gunung Kelut. Pada sampel sedimen dari
Kali Lekso (No. 17) bentuknya yang tidak beraturan. Dari XRD (Gambar 6),
dapat diketahui adanya mineral Albite Na(AlSi3O8) sebesar 48 %, Cristoballite
SiO2 sebesar 2 %, Enstatite MgSiO3 sebesar 24 %, dan Diopside CaMgSi2O6
sebesar 26 %. Hasil ini menguatkan hasil uji sampel X-RF yang menentukan
komposisi unsur yang didominasi oleh Al, dan Si dan unsur yan lain yaitu Ca, Na
dan Mg. Diantara Kali Jari dan Kali Lekso (titik no.14) dapat diketahui adanya
mineral Anorthite Ca(Al2Si2O8) 50,5 %, Titanomagnetite Fe2+(Fe3+,Ti)2O4 sebesar
1 %, Belinite AlPO4 sebesar 1 %, Quartz SiO2 sebesar 19,2 , Albite Na(AlSi3O8)
sebesar 28,3 %. Hasil ini menguatkan hasil uji sampel X-RF yang menentukan
komposisi unsur yang didominasi oleh Ca, Fe, dan Si dan unsur yang lain yaitu Ti
dan unsur P.
6
330
Di pertemuan Kali Lekso (titik no.16) dapat diketahui adanya mineral Anorthite
Ca(Al2Si2O8) sebesar 76 %, Magnetite Fe2+O4sebesar 1 %, Sanidine K(AlSi3O8)
sebesar 10 %, Quartz SiO213 %. Hasil ini menguatkan hasil uji sampel X-RF yang
menentukan komposisi unsur yang didominasi oleh Al, Ca, Fe, dan Si dan unsur
yan lain yaitu K. Di Kali Jari (titik no. 17), dapat diketahui adanya mineral
Kaolinite Al2(Si2O5), Natrolite Na2Al2Si3O10.2H2O, Nacrite Al2(Si2O5)(OH)4,
Pyrophyllite Al2Si4O10(OH)2. Hasil ini menguatkan uji sampel X-RF yang
menentukan komposisi unsur yang didominasi oleh Al dan Si.
Pada uji mineral magnetic menggunakan alat Bartington MS2B (Foster, 1994),
(Luo, 2000), (Pozza, 2004), (Canbay, 2009), rerata nilai suseptibilitas magnetik
pada sedimen di Waduk Wlingi mengindikasikan bahwa sampel sedimen yang
diuji merupakan kelompok magnetite dengan bentuk alami yaitu bentuk yang
tidak beraturan yaitu mineral alami (pedogenik/geogenik) yang terbentuk langsung
oleh aktivitas letusan lahar Gunung Kelut seperti di Kali Lekso (Gambar 7).
7
331
Gambar 8. Rekapitulasi Sebaran Endapan dan Gerusan di Waduk Wlingi.
3.5 1.0
Tampungan (MCM)
3.0
0.8
2.5
Efisiensi
2.0 0.6
1.5 0.4
1.0
0.2
0.5
0.0 0.0
2009 2010 2011 2012
Sebelum Flushing 1.61 1.46 1.41 1.35
Sesudah Flushing 2.23 2.97 2.73 2.49
Efisiensi 0.12 0.29 0.25 0.22
Dari analisa sebaran nilai fraksi sedimen pada setiap titik pengambilan sampel
pada Tabel 2. menunjukkan bahwa jenis sedimen di beberapa titik di Waduk
Wlingi adalah sand (pasir), sandy loam (lempung berpasir), silty loam (lempung
berdebu), silty clay loam (lempung liat berdebu). Pada titik yang berdekatan
dengan as bendungan didominasi oleh fraksi silt (70-77%). Kondisi seperti ini
disebabkan karena posisi agak terlindung dari gelombang aliran permukaan dan
menyebabkan kondisi arus melemah memberi kesempatan partikel-partikel yang
lebih halus mengendap. Untuk daerah yang berada di tengah dan hulu waduk
didominasi oleh fraksi sand (72-87%).
8
332
Tabel 2. Nilai presentase (%) tekstur sedimen dan jenis sedimen
No Sand Silt Clay Keterangan
1 2 72 26 Silty Clay Loam
2 3 77 20 Silty Clay Loam
3 5 74 21 Silty Clay Loam
4 11 74 15 Silty Loam
5 2 77 21 Silt Clay Loam
6 16 70 14 Silty Loam
7 81 10 9 Sand
8 26 56 18 Silty Loam
9 8 76 16 Silty Loam
10 80 14 6 Sandy Loam
11 72 22 6 Sandy Loam
12 18 73 9 Silty Loam
13 84 11 5 Sand
14 84 11 5 Sand
15 88 7 5 Sand
16 72 21 7 Sandy Loam
17 87 4 5 Sand
18 4 74 22 Silty Clay Loam
Rekomendasi
Sesuai dengan karakteristik mineral yang ada pada sedimen kohesif, pengujian
khusus perlu dilakukan di laboratorium untuk mendapatkan parameter aliran yang
tepat untuk pergerakan erosi/pengendapan sedimen kohesif pada periode flushing
selanjutnya. Alternatif lain adalah pengambilan secara mekanis untuk sedimen
yang tidak dapat tergelontor tersebut.
9
333
REFERENSI
Canbay, M., Aydin, A., & Kurtulus, C., 2009. Magnetic Susceptibility and heavy
metal contamination in top soils along the Izmit Gulf Coastal area and
IZAYTAS (Turkey). Journal of Applied Geophysics. 70. pp. 46-57. DOI:
10.1016/J.Jappgeo. 2009.11.002.
Foster, I. D. L., & Charlesworth S. M., 1994. Variability in the physical, chemical
and magnetic properties of reservoir sediments: implication for sediments
source tracing. Canberra Symphosium. No. 224. pp.1153-160.
Harianto, Hidayat, F., Subagyo, E., Rianto, A., Taufiqurrachman, M., &
Nugrahany, A., 2012. Management of Reservoir Sedimentation in the
Brantas River Basin Indonesia. Proceeding of the International Symposium
on Dam for a Changing World, 80th Annual Meeting and 24th Congress of
ICOLD. Kyoto, Japan.
Kondolf, G. M. et al., 2014, Sustainable sediment management in reservoirs and
regulated rivers: Experiences from five continents, Earth’s Future, 2, 256–
280, doi:10.1002/2013EF000184
Luo, W., Dongsheng, L. & Houyuan, L., 2000. Magnetic Susceptibility Properties
of Polluted Soils. Chinese Science Bulltein. 45: 18.
Morris, G., L. and Fan, J., 1997. Reservoir Sedimentation Handbook: Design and
Management of Dams, Reservoir, and Watersheds for Sustainable Use.
McGraw Hill, New York.
Oktavina, Devi Latif, Ahmad Rifa’I dan Kabul Basah Suryolelono, 2015.
Chemical Characteristics of Volcanic Ash in Indonesia for Soil
Stabilization: Morphology and Mineral Content. International Journal of
Geomate. Vol. II, issue 26. pp. 2606-2610. ISSN :2186-2982.
Pozza, M. R., J. I. Boyce dan W.A. Morris, 2004. Lake-based magnetic mapping
of contaminated sediments distribution, Hamilton Harbour, Lake Ontario,
Canada. Journal of Applied Geophysics. 57. pp.23-41.
DOI:10.1016/J.jappgeo. 2004.08.005.
Partheniades, Emmanuel, 2009. Cohesive Sediment in Open Channel: properties,
transport and applications. Butterworh-Heinemann, UK.
Soekistijono, Hidayat, F., & Harnanto, A., 2004. Effect of Volcanic Eruption on
Sedimentation, Case Study of Mt. Kelud in the Brantas River basin, East
Java – Indonesia. Proceeding of the International Conference on
Monitoring, Prediction and Mitigation of Water-Related Disaster (MPMD).
Kyoto, Japan.
Thouret, J. C., Abdurachman, K. E., Bourdier, L., Bronto, S., 1998. Origin,
Characteristics, and Behaviour of lahars following the 1990 eruption of
Kelud volcano, Eastern Java (Indonesia), Bull Volcano (1998) 59 :460–480,
Springer-Verlag
10
334
PREDIKSI DISTRIBUSI SEDIMEN PADA KASUS DAERAH
TANGKAPAN AIR WADUK PB. SUDIRMAN
Muhammad Ramdhan Olii1 , Bambang Agus Kironoto2 , Sunjoto2
dan Bambang Yulistiyanto2
1 Program Doktor Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan,
Universitas Gajah Mada
2 Profesor Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gajah Mada
*kakaramdhanolii@yahoo.co.id
Intisari
Pendekatan terintegrasi antara erosi, SDR, hasil sedimen dan SIG merupakan
metode yang relatif mudah, cepat, dan hemat biaya, terutama untuk DAS yang tidak
memiliki data hasil sedimen terukur. Metode ini dapat menggambarkan hasil
sedimen secara spasial dan terdistribusi. Erosi lahan diperkirakan menggunakan
Model RUSLE yang terdiri dari lima komponen submodels / model karakteristik
curah hujan, sifat-sifat tanah, topografi, kondisi permukaan tanah, dan metode
konservasi erosi, yang masing-masing diwakili oleh pendekatan empirik. SDR
diprediksi menggunakan Model SEDD yaitu fungsi dari panjang perjalanan aliran
(overland flow) ke sungai terdekat dan kecepatan aliran (kekasaran dan kemiringan
permukaan tanah). Hasil sedimen diperoleh dengan memperkalikan erosi lahan
dengan nilai SDR untuk setiap grid. Nilai SDR tinggi untuk wilayah yang berada
0,5 – 1,0 km di sekitar sungai dan berbanding lurus dengan nilai SY.
Ladang/tegalan, semak belukar dan perkebunan merupakan penyumbang hasil
sedimen terbesar untuk sedimentasi yang terjadi di Waduk PB. Sudirman, yaitu
masing-masing 41 %, 33 % dan 21 % dari total hasil sedimen yang sampai ke
waduk. Sebagian besar erosi yang dihasilkan akan diendapkan di DAS selama
proses transportasi. Keakuratan prediksi hasil sedimen dalam penelitian sangat
tergantung pada pemilihan model untuk erosi tanah, kualitas data geospasial,
akurasi pengukuran, dan karakteristik DAS.
Kata Kunci: SIG, erosi, SDR, hasil sedimen
PENDAHULUAN
Identifikasi daerah lereng yang paling sensitif terhadap erosi tanah dan memberikan
kontribusi yang signifikan terhadap hasil sedimen menjadi perhatian utama dalam
praktek konservasi DAS. Oleh karena itu kemampuan untuk memprediksi besarnya
dan variabilitas erosi tanah dan hasil sedimen sangat penting untuk pengelola DAS
untuk menentukan praktek konservasi yang sesuai sehingga erosi tanah dan hasil
sedimen masih dalam batas toleransi.
Sejumlah model telah dikembangkan untuk simulasi erosi tanah dan hasil sedimen
dalam skala DAS. Namun, tidak satupun dari model tersebut yang berlaku umum
dan kebanyakan dari mereka memerlukan data perekaman panjang yang sangat
mahal, memakan waktu dan kadang-kadang tidak tersedia/rusak. Oleh karena itu
dibutuhkan cara menghitung sekaligus menggambarkan daerah yang memberikan
335
hasil sedimen secara spasial. Metode dengan mengintegrasikan model erosi, Sistem
Informasi Geografis (SIG), dan konsep Sediment Delivery Ratio (SDR) merupakan
solusi yang cukup sederhana dalam memprediksi hasil sedimen terdistribusi dengan
keterbatasan data, variabilitas spasial yang kompleks dari karakteristik hidrologi
dan geomorfologi DAS dan keterbatasan dana dalam pengukuran data sedimen di
lapangan (Jain dan Kothyari 2000).
Model yang umum untuk memperkirakan SDR dapat dikelompokkan menjadi tiga
kategori (Lu et al., 2005). Kategori pertama, membandingkan data hasil sedimen
dan erosi lahan yang tersedia di suatu DAS. Kategori kedua, menggunakan
hubungan empiris antara SDR dengan berbagai karakteristik dari DAS, yaitu:
hidrologi (curah hujan) dan karakteristik bentang alam (vegetasi, topografi, sifat
fisik tanah) (Lee dan Kang, 2013). Model-model ini memberikan sedikit
pemahaman tentang proses fisik yang mendasari transpor sedimen di DAS tetapi
dianggap tidak terlalu mendeskripsikan mekanisme yang menyebabkan transpor
sedimen. Kategori ketiga, mencoba untuk membangun model berdasarkan proses
hidrologi dan hidraulik. Pada sebagian besar model ini, transpor dan deposisi
sedimen diperkirakan melalui hubungan antara limpasan dan erosi/lokasi terdeposit
setelah terjadi transpor sedimen (Ferro dan Minacapilli 1995); Flanagan et al., 2001;
Kinsey-henderson, et al., 2005; Jain dan Kothyari, 2000). Kategori ini merupakan
konsep SDR terdistribusi yaitu metode untuk mengidentifikasi daerah yang
memberikan kontribusi sedimen di setiap grid dengan mengintegrasikan model
erosi, Sistem Informasi Geografis (SIG), dan konsep SDR untuk memperkirakan
hasil sedimen dalam skala DAS.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyajikan prediksi erosi tanah dan hasil
sedimen secara spasial dalam bentuk grid dengan mengintegrasikan RUSLE-GIS,
dan model SDR terdistribusi pada DAS PB. Sudirman.
Lokasi Penelitian
Waduk PB. Sudirman mulai digenangi untuk pertama kali pada bulan April tahun
1988 dan terletak di Provinsi Jawa Tengah tepatnya di Kecamatan Bawang dan
KecamatanWanadadi, 8 KM sebelah barat Kota Banjarnegara (Gambar 1). Fungsi
utamanya sebagai PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air) menggunakan air aliran
Sungai Serayu untuk menggerakkan 3 (tiga) unit turbin dengan kapasitas sebesar
184,5 MW (desain produksi sebesar 580.000 MWH) untuk kebutuhan listrik Jawa-
Bali. Selain itu, Waduk PB. Sudirman berfungsi juga sebagai pencegah banjir dan
sebagian airnya digunakan untuk irigasi serta perikanan karamba. Luas waduk yang
sangat kecil yaitu 8,258 x 103 m2 (kurang dari 1%) jika dibandingkan dengan luas
daerah tangkapan air (DTA) waduk sebesar 1,001 x 106 m2 , maka akan
menyebabkan terjadi pendangkalan oleh sedimentasi dengan cepat, untuk itu
Waduk PB Sudirman dilengkapi dengan Drawdown Culvert (DDC) yang bisa
digunakan untuk menguras lumpur yang ada disekitar power intake sehingga
pembangit tidak akan terganggu oleh sedimen. Waduk ini terletak di ketinggian ±
231 MDPL dengan kapasitas tampungan saat ini sebesar 41 x 10 6 m3 dan jumlah
air rata-rata yang masuk setiap tahun sebesar 2.001 x 10 6 m3 . DTA PB. Sudirman
terdiri dari 8 kelas penggunaan lahan yaitu badan air, semak belukar, hutan,
336
perkebunan, pemukiman, alang-alang, sawah dan tegalan, yang didominasi oleh
tegalan sebesar ± 30 % dan perkebunan ± 29 %. Tegalan, semak belukar dan alang-
alang tersebar di kemiringan yang curam dengan ketinggian rata-rata 1248 – 1748
MDPL dan merupakan penghasil sedimen yang cukup besar untuk DTA Waduk
PB. Sudirman.
Metodologi
Model Hasil Sedimen dengan Model Sediment Delivery Distributed (SEDD)
Model SEDD adalah model seragam (lumped) untuk memperkirakan hasil sedimen
total dalam suatu DAS (Ferro, et al. 1998). Jain dan Kothyari (2000)
mengembangkan lebih lanjut model tersebut dengan metodologi komprehensif
yang mengintegrasikan model erosi, SIG dan konsep SDR untuk memperkirakan
hasil sedimen dan pengiriman sedimen dalam skala DAS. Hasil sedimen dari setiap
grid dimodelkan untuk mendapatkan hasil sedimen total untuk DAS:
N
SY Eai SDRi (1)
i 1
337
dengan:
i : grid ke-i
SY : hasil sedimen tahunan (ton/tahun)
Eai : erosi lahan (ton/ha/tahun)
SDR : sediment delivery ratio (-)
Gambar 2. Data set: (a) Kemiringan Lereng (%) (b) Normalized Difference
Vegetation Index (NDVI); (c) Erosivitas hujan rata-rata dan (d)
Penggunaan Lahan
Model Erosi dengan Model Revised Universal Soil Loss Equation (RUSLE)
Model RUSLE dirancang untuk memprediksi kehilangan tanah rata-rata jangka
panjang dari daerah ukuran bidang tertentu dengan tanaman dan sistem manajemen
yang ditentukan. RUSLE menggabungkan faktor erosi meliputi erosi lembar (riil)
dan alur (interiil) di DAS ke dalam satu persamaan. RUSLE terdiri dari lima
komponen submodels / model karakteristik curah hujan, sifat-sifat tanah, topografi,
kondisi permukaan tanah, dan metode konservasi erosi, yang masing-masing
diwakili oleh pendekatan empirik (Renard et al., 1997). RUSLE telah digunakan
secara luas, sederhana dan mudah dalam menentukan parameter, dan memerlukan
data dan waktu yang lebih sedikit ketika digunakan, dibandingkan kebanyakan
model lain dalam memprediksi erosi lembar dan alur (Farhan dan Nawaiseh, 2015).
Banyak penelitian berupaya menghubungkan RUSLE dan GIS raster (Renard et al.
1997). Model raster adalah representasi sel berdasarkan peta, yang menawarkan
kemampuan analitis untuk data secara kontinu dan memungkinkan proses dengan
operasi overlay peta. GIS raster menghitung laju erosi tanah tahunan rata-rata di
tiap sel/grid dengan dari lima faktor RUSLE sebagai berikut:
338
Eai Ri K i Li Si Ci Pi (2)
dengan:
i : grid ke-i
Eα : erosi lahan / dry bulk density (m3 )
R : faktor erosivitas hujan (MJ mm ha-1 h-1 tahun-1 )
K : faktor erodibilitas tanah (ton ha h/Ha Mj mm)
LS : faktor kemiringan dan panjang lereng (-)
CP : faktor penutupan lahan (-) dan faktor praktek konservasi lahan (-)
Indonesia mengalami keterbatasan data hujan secara detail, oleh karena itu Bols
(1978) dalam (Suripin 2004) mencoba mendapatkan hubungan antara EI30 dengan
curah hujan tahunan (R) menggunakan data 47 stasiun dengan perekaman data
curah hujan 38 tahun. Persamaannya sebagai berikut:
2.5 P 2
R
100(0.073 P 0.73) (3)
dengan:
P : curah hujan tahunan (mm)
Faktor K adalah daya tahan tanah baik terhadap penglepasan dari pengangkutan,
terutama tergantung pada sifat tanah, seperti tekstur, stabilitas agregat, kekuatan
geser, kapasitas infiltrasi, kandungan bahan organik dan kimiawi. Faktor K
diestimasi menggunakan persamaan yang dikembangkan oleh Romkens et al
(1997) sebagai berikut:
K 0.0034 00405 exp
1 Log Dg 1.659 2
(4)
2 0.7101
dengan:
Dg : diameter butir ata-rata geometrik
Dg exp 0.01 fi ln mi
(5)
dengan:
fi : % fraksi butir-butir primer (liat, debu, pasir)
mi : rata-rata aritmatik ukuran butir-butir primer
Faktor LS merupakan nisbah besarnya erosi dari suatu lereng dengan panjang dan
kemiringan tertentu terhadap besarnya erosi dari plot lahan dengan panjang 22.13
m dan kemiringan 9 %. Nilai LS dihitung dengan persamaan yang dikembang oleh
Wischmeier dan Smith (1978) sebagai berikut:
339
dengan:
λ : panjang lereng (m)
θ : sudut lereng (o )
m : konstanta panjang lereng
Data penginderaan jauh telah banyak digunakan dalam kajian pemetaan faktor C
(De Jong et al., 1999; Gutman dan Ignatov, 1998; Lin et al., 2002; Suriyaprasit dan
Shrestha, 2007; Sulistyo dan Gunawan, 2010). Sulistyo dan Gunawan, (2010)
mengembangkan persamaan untuk menghitung faktor C dengan menghubungkan
nilai NDVI dengan faktor C, sebagai berikut:
C 0.6 0.77 NDVI (9)
dengan, NDVI : normalized difference vegetation index
NIR RED
NDVI (10)
NIR RED
Faktor P adalah nisbah antara tanah tererosi ratarata dari lahan yan mendapatkan
perlakuan konservasi tertentu terhadap tanah tererosi rata-rata dari lahan yang
diolah tanpa tindakan konservasi, dengan catatan faktor-faktor penyebab erosi yang
lain diasumsikan tidak berubah. Faktor P ditentukan menggunakan peta
penggunaan lahan dan peta kemiringan berdasarkan RTkRHL-DAS Departemen
Kehutanan.
340
HASIL DAN DISKUSI
Jumlah erosi tanah dari setiap sel diidentifikasi berdasarkan lima peta faktor erosi
RUSLE, yaitu R, K, LS, C dan P yang diintegrasikan menggunakan raster
calculator tool untuk membentuk peta komposit yang menunjukkan distribusi erosi
tanah berdasarkan grid berukuran 30 x 30 m. Faktor erosivitas ditentukan oleh data
hujan tahunan (Tabel 2). Untuk menghitung faktor R di daerah penelitian,
menggunakan nilai erosivitas tahunan menggunakan metode Inverse Distance
Weighted (IDW). R faktor tahun 2007-2014 berkisar antara 528 - 2502 MJ mm ha-
1 h-1 tahun-1 dengan rata-rata 1300 MJ mm ha-1 h-1 tahun-1 (Tabel 2). Faktor K
berdasarkan persamaan (4) dan (5) adalah 0.029 ton ha h/Ha Mj mm (loamy sand)
dan 0.042 ton ha h/Ha Mj mm (clay). Faktor LS dalam penelitian ini berkisar antara
0 – 121.381, dimana kemiringan yang sangat curam berada di sebelah utara dan
timur DAS dan daerah landai berada di sebelah selatan dan barat, yang merupakan
pusat Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara. Faktor C berkisar antara 0.12-0.79,
dimana semakin kecil faktor C, maka tutupan vegetasinya semakin baik. Faktor P
ditentukan berdasarkan kemiringan lahan dan penggunaan lahan. Tegalan dan
perkebunan yang berada di kemiringan curam memiliki nilai yang besar dan
sebaliknya (0.5-0.9). Lahan yang digunakan untuk lahan basah dan sawah irigasi
dan tadah hujan dianggap mempunyai teras dengan kondisi yang baik (0.04). Hasil
overlay RKLSCP merupakan potensi erosi tanah di grid yang berbeda. Erosi tanah
rata-rata tahunan berkisar 56,014 – 90,921 m3 . Hasil peta erosi tanah rata-rata
tahunan disajikan pada Gambar 3.
Tabel 2. Faktor erosivitas tahunan
Nama Stasiun 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Rata-Rata
Banjaran 1322 1400 1418 1191 749 528 1313 646 1071
Garung 1120 1141 1363 1676 1092 1217 1192 1021 1228
Mojotengah 1209 1475 1326 1979 976 1298 1249 1163 1334
T apak Menjangan 1482 1422 1128 1641 1401 1079 1509 1357 1377
Blado 1391 1613 1501 1911 1744 1463 1622 1671 1615
Karang Moncol 1076 991 1146 1669 1165 920 980 886 1104
Wanganaji 1371 1458 1675 2502 1163 1521 1259 1281 1529
Bungkanel 1314 1367 1421 2301 1539 1246 1464 1194 1481
Bawang 1825 2237 2054 2326 1402 1454 2008 1729 1879
Kaligending 856 897 977 1758 1170 1198 1180 1005 1130
Karangsambung 973 823 1050 1940 1113 1282 1137 1236 1194
Sapuran 1248 949 1271 1994 1349 1265 1380 1336 1349
Kalisapi Bd 690 744 945 1852 1262 966 993 1248 1087
Banjarnegara 1074 1087 1072 1910 1180 1053 2247 1147 1346
Susukan 1049 737 948 2191 1254 1083 1206 1438 1238
Klampok 831 1638 920 1520 976 1270 1007 990 1144
Mandiraja 952 869 862 1724 940 1143 1057 992 1067
Banjarmangu 1276 1152 1272 2091 1173 1386 1124 1123 1325
Wanadadi 1037 1052 1169 2124 1115 1223 1303 1161 1273
Pejawaran 778 879 936 1548 1255 1259 1315 1374 1168
Madukara 1211 1179 1208 1889 1550 1248 1362 1233 1360
Rata-rata 1300
341
kemiringan permukaan. SDR distribusi spasial sangat penting untuk
mengidentifikasi sumber sedimen dan daerah pengiriman sedimen yang kritis serta
pengendalian erosi tanah dan pengelolaan sumber daya.
Berdasarkan penelitian Jain and Kothyari (2000), SY tidak terlalu berpengaruh
terhadap nilai γ. Sebaliknya Fu, et al., (2006) menegaskan bahwa SDR sangat
sensitif terhadap nilai γ. Meskipun temuan yang berbeda, nilai γ diperlakukan
sebagai parameter konstan. Dalam penelitian ini nilai γ bervariasi antara 2,4 dan 3,2
dengan kenaikan dari 0,1 dan nilai SY dihitung untuk setiap tahun menggunakan
persamaan (2). Namun, nilai SY yang diperoleh tidak cukup sensitif terhadap nilai
γ yang digunakan dalam persamaan (2). Variasi dalam nilai-nilai dihitung dari SY
ini tidak lebih dari 10% untuk berbagai macam nilai γ. Oleh karena itu, nilai γ = 2,8
diasumsikan yang paling realistis karena ketika hasil SYprediksi dibandingkan dengan
SYobs, terlihat bahwa SYprediksi memberikan hasil yang mendekati SYobs (Tabel 3).
Nilai SDR tinggi untuk wilayah 0,5 – 1,0 km di sekitar sungai dan berbanding lurus
dengan nilai SY. Sebagian besar sedimen yang dihasilkan akan diendapkan di DAS
selama proses transportasi. Gambar 3 menunjukkan peta distribusi erosi tanah, SDR
dan hasil sedimen di DTA PB. Sudirman.
Gambar 3. Peta distribusi: (a) erosi lahan rata-rata; (b) SDR (γ =2,8);
(c) hasil sedimen rata-rata
342
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Pendekatan terintegrasi antara erosi, SDR, hasil sedimen dan GIS merupakan
metode yang relatif mudah, cepat, dan hemat biaya, terutama untuk DAS yang tidak
memiliki data sedimen terukur. Metode ini dapat menggambarkan hasil sedimen
secara spasial dan terdistribusi. Dengan demikian metode ini sangat berguna dan
efisien untuk memprediksi hasil sedimen dalam jangka panjang khususnya
perencanaan tindakan konservasi oleh pengelola DAS atau instansi yang
berkepentingan.
Erosi tanah yang terjadi di DTA PB. Sudirman hanya ± 4 % yang mencapai waduk,
sebagian besar erosi yang dihasilkan akan diendapkan di tempat yang landai,
cekungan DAS atau dataran banjir. Penggunaan lahan ladang/tegalan, semak
belukar dan perkebunan merupakan penyumbang hasil sedimen terbesar untuk
sedimentasi yang terjadi di Waduk PB. Sudirman, yaitu masing-masing 41 %, 33
% dan 21 % dari total hasil sedimen yang sampai ke waduk, sehingga membutuhkan
praktik konservasi yang tepat untuk meminimalisir hasil sedimen yang terjadi.
Penting untuk menjadi catatan bahwa karakteristik DAS sangat bervariasi dalam
ukuran dan kondisi topografi, sehingga metode perhitungan SDR bervariasi antara
setiap penelitian, sehingga perbandingan apapun harus dilakukan dengan hati-hati.
Lebih lanjut lagi, keakuratan SDR ditampilkan dalam penelitian ini sangat
tergantung pada pemilihan model untuk erosi tanah, kualitas data geospasial,
akurasi pengukuran, dan karakteristik DAS. Kinerja model jelas akan meningkat
dengan proses kalibrasi. Namun, dianjurkan dalam penerapan Model SEDD untuk
daerah studi baru dengan karakteristik geografis yang berbeda membutuhkan
kalibrasi parameter tertentu untuk akurasi yang lebih baik.
REFERENSI
Farhan, Y., and Nawaiseh, S., 2015. Spatial Assessment of Soil Erosion Risk Using
RUSLE and GIS Techniques. Environmental Earth Sciences 74(6): 4649–69.
Fernandez, C., Wu, J., McCool, D., and Stoeckle, C., 2003. Estimating water
erosion and sediment yield with GIS, RUSLE, and SEDD. Journal of Soil and
Water Conservation, 58, 128–136.
Ferro, V., Porto, P., and Tusa, G., 1998. Testing a Distributed Approach for
Modelling Sediment Delivery Sediment Delivery. Hydrological Sciences
Journal 43(3).
Ferro, V., and Minacapilli, M., 1995. Sediment Delivery Processes at Basin Scale.
Hydrological Sciences Journal 40(6): 703–17.
Fu, G, Chen, S., and Mccool, D.K., 2006. Modeling the Impacts of No-till Practice
on Soil Erosion and Sediment Yield with RUSLE, SEDD, and ArcView GIS.
Soil & Tillage Research 85: 38–49.
Gutman, G., and Ignatov, A., 1998. The Derivation of the Green Vegetation
Fraction from NOAA / AVHRR Data for Use in Numerical Weather
Prediction Models. International Journal of Remote Sensing 19(8): 1533–43.
343
Jain, M.K., and Kothyari, U.C. 2000. Estimation of Soil Erosion and Sediment
Yield Using GIS. Hydrological Sciences Journal 45(5): 37–41.
De Jong, S.M. Paracchini, M.L., Bertolo, F., Folving, S., Megier, J., De Roo, A.P.J.,
1999. Regional Assessment of Soil Erosion Using the Distributed Model
SEMMED and Remotely Sensed Data. Catena 37: 291–308.
Kinsey-henderson, A.E., David, A.P, and Prosser, I.P,. 2005. Modelling Sources of
Sediment at Sub-Catchment Scale : An Example from the Burdekin
Catchment , North Queensland , Australia. Mathematics and Computers in
Simulation 69: 90–102.
Lee, S. E., and Kang, S. H., 2013. Estimating the GIS-Based Soil Loss and
Sediment Delivery Ratio to the Sea for Four Major Basins in South Korea.
Water Science & Technology 68(1): 124.
Lin, C., Lin, W., and Chou, W., 2002. Soil Erosion Prediction and Sediment Yield
Estimation : The Taiwan Experience. Soil & Tillage Research 68: 143–52.
Lu, Hua, Moran, C.J., and Prosser, I.P., 2005. Modelling Sediment Delivery Ratio
over the Murray Darling Basin. Environmental Modelling & Software
21(9):1297–1308.
Renard, K.G., Foster , G.A., Weesies, G.A., McCool, D.K., 1997. Predicting Soil
Erosion by Water: A Guide to Conservation Planning with the Revised
Universal Soil Loss Equation (RUSLE). Washington: US Department of
Agriculture.
Romkens, M.J.,M., Young, R.A, Poesen, J.W.A., McCool, D.K., El-Swaifi, S.A.,
and Bradford J.M., 1997. Soil erodibility factor (K), Chapter 3. In Predicting
Soil Erosion by Water: A Guide to Conservation Planning with the Revised
Universal Soil Loss Equation (RUSLE). U.S. Department of Agriculture-
Agriculture Handbook No. 703.
Sulistyo, B., Gunawan, T., Hartono, dan Danoedoro. 2010. Pemetaan Faktor C
Yang Diturunkan Dari Berbagai Indeks Vegetasi Data Penginderaan Jauh
Sebagai Masukan Pemodelan Erosi Di Das Merawu. Jurnal Manusia dan
Lingkungan 18(l): 68–78.
Suripin, 2004. Pelestarian Sumber Daya Tanah Dan Air. Andi, Yogyakarta.
Suriyaprasit, M. and Shrestha. D.P., 2007. Deriving Land Use and Canopy Cover
Factor From Remote Sensing and Field Data in Inaccessible Mountainous
Terrain for Use in Soil Erosion Modelling. The International Archives of the
Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences
XXXVII: 1747–50.
344
PENGELOLAAN SISTIM IRIGASI BERKELANJUTAN PADA
DAERAH IRIGASI BENA MEWUJUDKAN KETAHANAN AIR
DAN KEDAULATAN PANGAN
Melkior A. Lukas1, Susilawati2*, Bambang Adiriyanto1
1
Program Studi Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan
2
Program Studi Teknik Sipil, Universitas Flores
*sr.susi.dp@gmail.com
Intisari
Ketersediaan air untuk irigasi pertanian terasa semakin sulit. Debit air semakin
menurun karena perubahan tata guna lahan, sedangkan kebutuhan pangan semakin
meningkat karena perkembangan penduduk. Perubahan iklim, semakin
mengancam ketahanan air untuk irigasi pertanian, yang pada akhirnya juga
berdampak pada ketahanan pangan. Sementara dikembangkan benih padi ataupun
sistim tanam untuk meningkatkan produksi pangan seperti SRI (system rice
intensification), namun sistim irigasi yang kurang tepat, juga akan mengancam
ketahanan air dan produksi pertanian. Karenanya diperlukan suatu pengelolaan
sistim irigasi yang berkelanjutan. Sistim irigasi yang efisien dan tepat perlu
didasarkan pada kebutuhan air bagi tanaman sesuai dengan perkembangan
tanaman itu sendiri. Sistim konvensional pemberian air irigasi secara terus
menerus, merupakan pemborosan, karena diberikan berlebihan tidak sebatas yang
dibutuhkan. Pemberian air secara terputus-putus, dengan dikelola berdasarkan
kebutuhan, akan menghemat air, namun tetap memberikan hasil produksi
pertanian yang optimal. Untuk menemukan sistim irigasi yang efisien dan tepat ini
perlu dilakukan beberapa simulasi dengan menggunakan program CropWat 8,
yang dikeluarkan oleh FAO. Dari beberapa simulasi yang dilakukan untuk lokasi
studi Daerah Irigasi Bena, dapat ditemukan sistim irigasi yang efisien dan tepat.
Hasil studi menyimpulkan bahwa sistim ini sangat mendukung ketahanan air,
sehingga produksi pertanian juga optimal, yang pada akhirnya akan memberikan
kedaulatan pangan yang berkelanjutan.
Kata kunci: sistim irigasi, efisiensi irigasi, ketahanan air, produksi pertanian,
berkelanjutan.
LATAR BELAKANG
Perkembangan penduduk yang semakin meningkat di wilayah Propinsi Nusa
Tenggara Timur (NTT), memicu kebutuhan pangan yang terwujud dalam
kebutuhan air untuk irigasi pertanian, disamping kebutuhan air untuk rumah
tangga. Dalam laporan kegiatan Balai Wilayah Sungai NT II (2013), disebutkan
bahwa wilayah Propinsi NTT, mempunyai lahan sawah seluas 348.557 ha.
Adapun yang beririgasi teknis mencapai seluas 98.095 ha (Kepmen Pekerjaan
Umum, 2014). Luasan lahan sawah beririgasi teknis tersebut, diantaranya adalah
1
345
Daerah Irigasi (D.I.) Bena seluas 3.515 ha (Laporan Tahunan Soft Component,
Balai Wilayah Sungai NT II, 2015). D.I. Bena memanfaatkan air dari Sungai
Noelmina, dengan rencana pengambilan air maksimal 7,0 m3/det untuk mengairi
sawah seluas 3.515 ha. Disebutkan pula bahwa luas lahan potensial sawah
mencapai 7000 ha, artinya masih ada seluas 3.485 ha belum terlayani.
Lokasi kajian berupa demplot, terdapat pada D.I. Bena, Kabupaten TTS,
ditunjukkan dalam gambar 1, menjelaskan letak D.I. Bena yang telah dilayani
jaringan irigasi teknis seluas 3.515 ha. Gambar 2 juga menjelaskan situasi di
sekitar D.I. Bena dengan lahan eksisting dan potensial yang ditunjukkan dalam
peta google earth.
Lahan eksisting
D.I. Bema
Lahan potensial
D.I. Bema
Gambar 2. Peta lokasi D.I. Bena dalam peta Google Earth (2016)
Untuk meningkatkan kedaulatan pangan, maka diperlukan pelayanan sistim irigasi
yang mampu mengairi luasan lahan irigasi potensial tersebut. Hal ini diperlukan
ketersediaan air yang meningkat guna memenuhi kebutuhan air irigasi. Beberapa
upaya telah dilakukan untuk pengembangan ini, antara lain diterapkannya
pengembangan padi dengan metode SRI (System of Rice Intensification), yang
merupakan suatu cara budidaya tanaman padi yang intensif dan efisien dengan
proses manajemen sistim perakaran berbasis pada pengelolaan air, tanah, dan
tanaman. Tetapi sistim ini belum secara konsisten dan intensif dilakukan, karena
2
346
budaya perilaku petani yang membutuhkan waktu pendampingan cukup. Petani
cenderung masih sering menerapkan sistim konvensional, yaitu dengan pemberian
air secara terus menerus. Mulai tahun 2012, pengembangan padi dengan metode
SRI semakin ditingkatkan, terlebih melalui dorongan dan keikutsertaan dari
kelompok tarekat pastor yang berkarya diantara para petani di D.I. Bena ini.
Namun sistim pemberian air masih dilakukan secara terus menerus, sehingga
cukup memboroskan banyak air.
Untuk mengefektifkan pemanfaatan sumberdaya air sungai, maka efisiensi
penggunaan air dan produktivitas jaringan irigasi harus dimaksimalkan. Penerapan
pola tanam (Padi-Padi) dan sistim pemberian air yang terus-menerus (continous
flow system) yang selama ini dilakukan perlu dikaji lebih lanjut. Peningkatan
efisiensi sistim irigasi yang diikuti dengan metode tanam SRI, akan menghemat
banyak air yang selama ini dilakukan. Penghematan air ini akan memberikan
peluang untuk melayani lahan sawah potensial yang selama ini belum terlayani.
Untuk analisa perhitungan kebutuhan air irigasi dilakukan dengan menggunakan
komputer model sistim pendukung keputusan, CropWat 8 yang dapat membantu
dalam berbagai simulasi pola tanam dan pengelolaan sistim irigasi.
Mawardi Erman (2007) menyatakan bahwa irigasi adalah usaha untuk
memperoleh air, yang menggunakan bangunan dan saluran buatan untuk
keperluan penunjang produksi pertanian. Dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 11 (UU) 1974, dimana dinyatakan bahwa pengaturan dan
pengelolaan irigasi harus dilakukam secara menyeluruh dan lestari untuk
mencapai daya guna sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat adil dan merata.
Pengelolaan air juga dinyatakan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat Nomor 09/PRT/2015 tentang Penggunaan Sumber Daya Air
dimana dalam pasal 3 ayat 2 dinyatakan tujuan dari pemanfaatan sumber daya air
yang berkelanjutan dengan melakukan penghematan sumber daya air dan
ketepatan dalam penggunaan sumber daya air beserta prasarananya.
Operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi primer dan sekunder menjadi
wewenang dan tanggung jawab pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah
kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya. Dalam pengoperasian jaringan
irigasi tidak lepas dari tanggungjawab kelembagaan yang ada di desa, dalam hal
ini Perkumpulan Petani Pemaka Air (P3A), yang dibentuk dan diprakarsai oleh
masyarakat pemakai air itu sendiri. Dalam pengelolaan jaringan irigasi D.I. Bena,
pemerintah pusat lewat Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara II (BWS NT II)
telah memfasilitasi pembentukan 22 P3A dan 5 GP3A serta 1 IP3A yang
semuanya legal. Pemberdayaan masyarakat petani (P3A) dapat dikatakan berhasil
(efektif) jika tugas-tugas P3A dapat terpenuhi secara mandiri sehingga sistim
irigasi dapat terlaksana secara berkelanjutan dan tercapailah: 1). P3A yang
mandiri; 2). Jaringan irigasi terawat; 3). Produksi/hasil pertanian meningkat.
Beberapa pengertian dan kajian terkait efisiensi penggunaan air irigasi:
1. Irigasi merupakan kegiatan penyediaan dan pengaturan air untuk memenuhi
kepentingan pertanian dengan memanfaatkan air yang berasal dari permukaan
maupun bawah permukaan (air tanah). Ditinjau dari proses penyediaan,
3
347
pemberian, pengelolaan dan pengaturan air, sistim irigasi dapat
dikelompokkan menjadi empat jenis yaitu (Akmal, dkk, 2014): (1) Sistim
irigasi permukaan (surface irrigation system), (2) Sistim irigasi bawah
permukaan (sub surface irrigation system), (3) Sistim irigasi dengan
pemancaran (sprinkle irrigation system) dan (4) Sistim irigasi dengan tetesan
(trickle irrigation /drip irrigation system).
2. Jaringan irigasi merupakan prasarana irigasi, yang terdiri dari bangunan air
dan saluran pemberi air pertanian beserta perlengkapannya. Berdasarkan
pengelolaannya dapat dibedakan menjadi dua (Kartasapoetra dan Sutedjo,
1994), yaitu: (1) Jaringan irigasi utama dan (2) Jaringan irigasi tersier. Dari
segi konstruksi jaringan irigasinya, Pasandaran (1991) mengklasifikasikan
sistim irigasi menjadi empat jenis yaitu: (1) Irigasi sederhana, (2) Irigasi
setengah teknis, (3) Irigasi teknis dan (4) Irigasi teknis maju.
3. Kebutuhan air irigasi di petak tersier sawah ”Net Farm Requirement (NFR)”
dipengaruhi oleh penyiapan lahan, penggunaan konsumtif/kebutuhan air bagi
tanaman, perkolasi, pergantian lapisan air dan curah hujan efektif. Analisa
kebutuhan air di petak tersier sawah menggunakan persamaan (Dirjen
Pengairan, Dep P.U. Penunjang Standar Perencanaan, 1986)
Dalam suatu sistim jaringan irigasi, air dari sumbernya untuk dapat sampai di
tujuan (tanaman) harus melalui 3 (tiga) tahapan perjalanan yaitu:
1. Saluran Pembawa (conveyance) yaitu perjalanan air dari sumbernya di bawa
melalui saluran primer, saluran sekunder sampai bangunan sadap tersier
(tertiary offtake)
2. Pembagian air dari bangunan sadap tersier (distribution) yaitu perjalanan air
dari pintu sadap tersier dibawa melalui saluran tersier dan saluran kwarter
sampai ke box tersier atau box kwarter (Field Inlet)
3. Penggunaan air disawah (Field application) yaitu perjalanan air dari box
tersier atau box kwarter sampai pada tanaman (Crop). Efisiensi penggunaan
air sangat erat hubungannya dengan kehilangan air dalam irigasi. Besarnya
efisiensi dan kehilangan air berbanding terbalik sehingga bila angka
kehilangan air besar maka nilai efisiensi kecil dan begitu pula sebaliknya bila
kehilangan air kecil maka nilai efisiensinya besar.
Dengan adanya 3 (tiga) tahapan perjalanan air seperti diuraikan diatas maka
efisiensi juga terbagi menjadi 3 (tiga) bagian juga, yaitu:
1. Efisiensi di Saluran Pembawa (Conveyance Efficiency), dinyatakan dengan:
V V2
Ec d
Vc V1 (1)
2. Efisiensi pembagian air di saluran tersier (Distribution Efficiency):
V f V3
Ed
Vd (2)
3. Efisiensi penggunaan air di sawah (Field Application Efficiency):
4
348
Vm
Ea
Vf
(3)
Keterangan:
Ec : Efisiensi di saluran pembawa
Ed : Efisiensi pembagian air di saluran tersier
Ea : Efisiensi penggunaan air di sawah
Vc : Volume air yang diberikan dari sumbernya
Vd : Volume air yang sampai pada/diberikan oleh bangunan sadap tersier
Vf : Volume air yang sampai pada/diberikan oleh bangunan sadap tersier
Vm : Volume air yang diperlukan oleh tanaman
V1 : Tambahan volume air dari sumber lain
V2 : Tambahan volume air non irigasi yang masuk ke bangunan sadap tersier
V3 : Tambahan volume air non irigasi yang masuk ke box tersier atau
kwarter
Efisiensi di petak tersier (Tertiary Unit Eficiency) dinyatakan dengan:
Vm V3
Eu
Vd
E u Ea Ed (4)
Efisiensi Sistim Irigasi (Irrigaton System Efficiency) dinyatakan dengan:
V f V2 V3
Es
Vc V1
E s Ec Ed (5)
Efisiensi total adalah perkalian antara efisiensi yang terjadi pada petak tersier
dengan efisiensi jaringan irigasi. Hal ini dapat dituliskan dengan persamaan:
(6)
Keterangan:
Etot : Efisiensi total
Ea : Efisiensi pada petak tersier
Ej : Efisiensi pada seluruh jaringan (saluran primer, sekunder dan tersier)
SRI (System of Rice Intensification) adalah teknis budidaya padi yang mampu
meningkatkan produktifitas padi dengan cara mengubah pengelolaan tanaman,
tanah, air dan unsur hara. Metode ini terbukti telah berhasil meningkatkan
produktifitas padi sebesar 50%, bahkan dibeberapa tempat mencapai lebih dari
100%. SRI adalah cara budidaya tanaman padi yang intensif dan efisien dengan
proses manajemen sistim perakaran yang berbasis pada pengelolaan tanah, air,
dan tanaman (Guswara dan Pasandaran, 1998).
SRI didasari pemahaman bahwa padi mempunyai potensi untuk menghasilkan
lebih banyak batang dan biji dan potensi tersebut dapat diwujudkan dengan
pemindahan awal serta menciptakan kondisi untuk pertumbuhan terbaik bagi
5
349
tanaman (jarak tanam lebar, kelembaban optimal, tanah yang aktif dan sehat dari
segi biologis, serta keadaan tanah aerob selama masa pertumbuhan). Prinsip-
prinsip dasar lainnya yaitu: pemindahan bibit yang muda secara hati-hati satu per
satu dengan jarak tanam agak lebar, selama masa pertumbuhan vegetatif lahan
tidak digenangi, pemakaian pupuk organik (kompos), dan penyiangan dini dengan
intensitas lebih sering.
Pemberian air irigasi secara terus menerus pada suatu daerah irigasi, merupakan
pemborosan, karena diberikan secara berlebihan, tidak sebatas yang dibutuhkan.
Pemberian air yang berlebihan ini akan menyebabkan penurunan hasil pertanian
karena tanaman menjadi kekurangan oksigen. Sistim pemberian air secara
terputus-putus, dengan dikelola berdasarkan kebutuhan, akan menghemat air,
namun tetap memberikan hasil produksi pertanian yang optimal. Penghematan air
ini akan mendukung ketahanan air yang ada, dan produksi pertanian yang optimal
juga akan mendukung ketahanan pangan secara berkelanjutan.
Untuk efisiensi penggunaan air, khususnya padi sawah, banyak dikembangkan
metode atau sistim/metode pemberian air irigasi pada padi sawah yang dapat
meningkatkan keberlanjutan produktivitas air (Mao Zhi dan Cui, 2001):
1 Metode konvensional (Traditional Irrigation/TRI), yaitu metode yang paling
umum digunakan di Indonesia. Sistim pemberian air secara terus-menerus dari
saat tanam hingga menjelang panen. Kedalaman air genangan yaitu 30 mm
dan ekstra hingga 80 mm untuk menampung air hujan.
2 Metode modifikasi tradisional (Modified Traditional Method / MTR), yang
merupakan pengembangan dari metode konvensional. Sistim pemberian air
sama halnya dengan metode konvensional yaitu secara terus-menerus dari saat
tanam hingga menjelang panen (gabah mulai menguning). Perbedaannya
dengan metode tradisional adalah jumlah bibit dan saat tanam yang dilakukan
pada metode modifikasi ini, yaitu setiap titik ditanam 1 bibit pada saat bibit
berumur 10 hari semaian.
3 Metode pergantian basah dan kering (Alternate Wetting and Drying / AWD),
yang merupakan sistim pemberian air dengan cara terputus, pada mulai tanam
sampai 10 HST (hari setelah tanam) digenangi dengan kedalaman maksimum
20 mm dan minimum 0 mm, setelah 11 HST sampai padi mulai menguning,
diairi maksimum sedalam 20 mm dan minimum 70% SMC (tanah sudah mulai
retak) dan ekstra untuk menampung air hujan sampai 80 mm.
4 Metode semi kering (Semi Dry Cultivation / SDC), yang menggunakan sistim
genangan untuk 1-10 HST digenangi sedalam 20 mm dan minimum 0 mm.
Selanjutnya pemberian air hanya sebatas permukaan tanah dan diberikan air
kembali setelah kondisi tanah 70%SMC. Untuk menampung air hujan ekstra
sedalam 80 mm.
Metode basah (System of Rice Intensification / SRI), yang menggunakan sistim
genangan untuk 1 HST sampai menjelang panen digenangi terus sedalam 20 mm
dan minimum 0 mm, dan ekstra untuk menampung air hujan sampai 80 mm.
Penghematan air irigasi dalam hal ini, merupakan rasio atau perbandingan air
irigasi tiap metode sistim pemberian air antara jumlah air yang tersimpan pada
6
350
masukan air terhadap metode tradisional (Won, et.al. 2005 dalam Joko Sujono,
dkk. 2006). Rasio penghematan air yang tersimpan dari SDC (Water Saving Ratio
/ WSR) terhadap TRI dapat dihitung dengan persamaan:
-
(7)
METODOLOGI STUDI
Metodologi studi pada dasarnya diperlukan untuk menjelaskan mengenai metode
dan teknis pelaksanaan studi (Gambar 3).
7
351
Gambar 4. Grafik plotting posisi
8
352
Tabel 4. Perhitungan kebutuhan air irigasi untuk DI Bena
9
353
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
Dari beberapa simulasi dapat ditemukan sistim irigasi yang efisien dan tepat,
sampai pada jadual pemberian air irigasi. Dari hasil studi ini, ditemukan bahwa
sistim ini sangat mendukung ketahanan air, sehingga produksi pertanian juga
optimal, yang pada akhirnya akan memberikan kedaulatan pangan yang
berkelanjutan.
Rekomendasi
Hendaknya semakin dimanfaatkan program komputer CropWat 8 ini yang sangat
membantu bagi pengambil kebijakan untuk pendampingan pengembangan
pertanian. Sistim pendukung keputusan ini sangat membantu dalam analisis dan
mengambil keputusan yang tepat, efisien, efektif dan optimal.
REFERENSI
Akmal, Masimin dan Ella Melianda., 2014. Efisiensi Irigasi Pada Petak Tersier
Di Daerah Irigasi Lawe Bulan Kabupaten Aceh Tengah. http://www.Jurnal
Teknik Sipil. Volume 3-no.3.pdf
Balai Wilayah Sungai NT II, 2015. Laporan Tahunan Soft Component, Kupang.
Direktorat Jenderal Pengairan, 1986. Standar Perencanaan Irigasi, KP-01,
Departemen Pekerjaan Umum, Galang Persada Bandung.
FAO, 2008. Crop Water Requirement version 8.0. Rome, Italy.
http://www.fao.org/nr/water/infores_databases_cropwat.html
Kartasapoetra, A.G., dan M. Sutedjo, 1994, Teknologi Pengairan Pertanian
Irigasi, Bumi Aksara, Jakarta.
Kementerian Pertanian, 2014. Budidaya Padi SRI. http://epetani.deptan.go.id
Mao Zhi dan Cui Y.L., 2001. Irrigation Techniques of Water Effisient and
Sustainable Humper Yield for Paddy Rice. Wuhan University.
Mawardi, Erman. 2007. Desain Hidrolik Bangunan Irigasi. Alfabeta, Jakarta.
Pasandaran, E., 1991. Irigasi di Indonesia, Strategi dan Pengembangan. LP3ES,
Jakarta.
Tim Balai Irigasi, 2009. Buku 19, Seri Penelitian Irigasi Hemat Air Budidaya
Padi dengan Metode SRI. Puslitbang SDA, Balai Irigasi, Bekasi.
10
354
ANALISIS KUALITAS AIR TANAH DANGKAL TERHADAP
KANDUNGAN BAKTERI COLIFORM DAN ESCHERICHIA
COLI DI KECAMATAN CIKOLE, SUKABUMI
Intisari
Permasalahan utama yang terjadi di Kota Sukabumi akibat semakin padatnya
jumlah penduduk adalah terganggunya kondisi air tanah yang tercemar oleh bakteri
coliform dan E.coli. Oleh karena itu, studi penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
kondisi kualitas air tanah dan sumber pencemar yang mempengaruhinya. Uji
kualitas air dilakukan untuk mengetahui jumlah bakteri coliform dan E.coli dengan
menggunakan uji pengenceran bertingkat dengan seri tabung dan metode MPN
(Most Probable Number), serta menggunakan formulir inspeksi sanitasi untuk
mengetahui kondisi fisik sumur dan faktor pencemarnya. Jumlah sampel yang
diteliti sebanyak 10 sampel. Pengambilan dilakukan pada tanggal 20 Agustus, 20
September dan 20 Oktober 2015. Pada penelitian yang telah dilakukan besarnya
kandungan bakteri coliform dan E.coli berkisar antara 3-2400 MPN/100 ml,
sedangkan kadar maksimum yang diperbolehkan untuk standar air bersih adalah ≤ 50
MPN/100 ml. Faktor penyebab tingginya jumlah bakteri coliform dan E.coli adalah
lebih dikarenakan oleh kondisi daerah sekitar sumur yang kurang memadai serta
kondisi fisik sumur yang buruk. Oleh karena itu, perlu dilaksanakannya kegiatan
pengawasan kualitas air minum secara terus menerus dan berkesinambungan agar
air yang digunakan oleh penduduk, terjamin kualitasnya, sesuai dengan persyaratan
ada
Kata Kunci: Air Tanah, Coliform, E.coli, Inspeksi sanitasi
LATAR BELAKANG
Pelayanan air bersih untuk menunjang kegiatan perkotaan dan perumahan, serta
pelayanan kepada masyarakat di kota Sukabumi masih belum optimal, salah satu
permasalahannya adalah karena minimnya ketersediaan air baku untuk dijadikan
sebagai sumber air bersih (BAPPEDA, 2004). Air tanah merupakan salah satu
sumber daya alam yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan daerah untuk
menunjang kepentingan industri, perumahan maupun kegiatan perkotaan lainnya.
Tahun 2014 melalui Seksi Penyehatan Lingkungan, Bidang Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Dinas Kesehatan Kota Sukabumi dilakukan
pemeriksaan sampel air bersih melalui kegiatan pencegahan dan penanggulan
pencemaran lingkungan. Kegiatan ini dilakukan dengan cara menilai sarana air
bersih dan pemeriksaan air dengan tujuan untuk memetakan faktor resiko air
bersih yang ada di Kota Sukabumi. Sampel yang diperiksa sebanyak 200 titik
355
yang tersebar di Kota Sukabumi dan yang merupakan sumber air yang digunakan
oleh masyarakat umum. Hasil dari pemeriksaan sampel air bersih menunjukkan
sebanyak 67.5% sampel tidak memenuhi persyaratan standar air bersih di Indonesia
(Seksi Penyehatan Lingkungan, 2014).
Pada sampel-sampel yang dianalisa terdapat dua kelurahan yang memiliki tingkat
pencemaran bakteri E.coli yang tinggi, yaitu Kelurahan Subangjaya dan Kelurahan
Cisarua (Seksi Penyehatan Lingkungan, 2014). Kelurahan Subangjaya dan Cisarua
di kecamatan Cikole merupakan daerah dengan jumlah penduduk sebanyak 35.596
warga, dimana masuk dalam kategori kawasan padat penduduk. Kotoran manusia
dan binatang bisa mencemari air tanah dan juga air di permukaan (Smith et al,
2016). Pada daerah padat penduduk, rumah dengan sumur pribadi sangat berisiko
tercemar bakteri E.coli karena biasanya tidak memiliki sistem pembasmi bakteri.
Escherichia coli atau sering disebut dengan nama E.coli adalah sejenis bakteri
yang umum ditemukan di dalam usus manusia yang sehat sehingga paling banyak
digunakan sebagai indikator sanitasi (Harwood et al., 2013). Bakteri E.coli sendiri
terdapat beberapa jenis dan kebanyakan dari bakteri ini tidak berbahaya. Meski
demikian, sebagian di antaranya bisa menyebabkan keracunan makanan dan infeksi
yang cukup serius, seperti mengakibatkan diare bercampur darah, kram perut, dan
muntah-muntah (Raquel et al, 2014; Lanata et al, 2013).
Oleh karena itu, tujuan dari diadakannya studi ini adalah untuk mengetahui kandungan
E.coli pada air tanah dangkal di daerah padat penduduk yang kemungkinan besar
berbahaya untuk manusia, serta mengetahui sumber yang mempengaruhi adanya
kandungan bakteri E.coli tersebut dengan menggunakan uji inspeksi sanitasi,
sehingga bisa dicarikan solusi penyelesaiannya.
METODOLOGI STUDI
Lokasi penelitian dilakukan pada 2 kelurahan di kecamatan Cikole Kota Sukabumi
yakni, Kelurahan Cisarua dan Subangjaya, dengan pengambilan sampel masing-
masing 5 titik di tiap Kelurahan (Gambar 1). Pengambilan sampel dilakukan sebanyak
3 kali, yakni pada tanggal 20 Agustus 2015, 20 September 2015 dan 20 Oktober
2015 dengan menggunakan botol kaca steril ukuran 250 ml. Waktu pengambilan
sampel dilakukan pada pagi hari mulai jam 07.00-10.00 dikarenakan kandungan
E.coli berkembang ketika sebelum terkena cahaya matahari. Sampel disimpan
dalam pendingin gelap dengan bungkus es, sebelum dibawa ke laboratorium untuk
di analisis.
Parameter yang diuji adalah bakteri coliform dan E.coli, dengan menggunakan
metode Most Probable Number (MPN) yang terdiri dari 3 tahap, yaitu presumtive
test, confirmed test dan completed test. Prosedur tabung fermentasi digunakan untuk
menghitung bakteri coliform dan E.coli, prosedur ini menggunakan tabung-tabung
yang mengandung media tertentu, yaitu Media Lactosa Broth double strength (LB
Double), Media Lactosa Broth single strength (LB Single), dan Media Brilliant
Green Lactose Broth (BGLB). Tabung diinkubasi dengan suhu 37ºC dan 44ºC
untuk memastikan adanya bakteri golongan coliform dan E.coli.
356
Jakarta,
Indonesia
\s
Gambar 1. Lokasi pengambilan sampel
Uji inspeksi sanitasi merupakan kegiatan pengamatan keadaan fisik sarana,
lingkungan, dan perilaku masyarakat yang diperkirakan dapat mempengaruhi
kualitas air dari sarana yang diinspeksi dengan menggunakan formulir yang telah
ditetapkan. Formulir uji dibagikan kepada penduduk disekitar lokasi sumur tempat
pengambilan sampel. Pada formulir uji inspeksi sanitasi parameter-parameter yang
dijadikan penilaian suatu perkiraan kualitas air, khususnya untuk sarana sumur
gali, yaitu: radius sumur dan jamban, radius sumur dan pencemar lain (peternakan,
kotoran hewan, sampah, genangan air, dll), kondisi saluran pembuangan air limbah,
dan kondisi fisik sumur. Berdasarkan inspeksi sanitasi tersebut, ditetapkan risiko
pencemaran dari sarana ke dalam 4 kategori, yaitu: rendah, sedang, tinggi, dan
amat tinggi. Dimana skor yang amat tinggi merupakan angka tertinggi pada resiko
pencemaran.
357
Tabel 1. Hasil uji tes penegasan bakteri Coliform dan E.coli
Coliform/100ml E.coli/100ml
No
Bulan ke 1 Bulan ke 2 Bulan ke 3 Bulan ke 1 Bulan ke 2 Bulan ke 3
1 43 460 93 23 460 93
2 240 460 210 240 460 210
3 2400 2400 2400 2400 2400 2400
4 210 <3 75 150 <3 43
5 93 93 93 43 93 21
6 2400 2400 2400 2400 2400 2400
7 2400 2400 2400 2400 2400 2400
8 460 1100 2400 460 1100 2400
9 2400 460 1100 2400 460 1100
10 1100 2400 2400 1100 2400 2400
358
hanya memiliki dinding penyangga tanpa pelapis dasar menyebabkan limbah yang
dihasilkan dari jamban/kamar mandi akan langsung masuk kedalam tanah, hal ini
sangat berpotensi menyebabkan pencemaran air dan air tanah di sekitarnya.
Pada pengaruh jarak aliran sungai dengan sumur, dari 10 sampel yang diteliti
terdapat 4 sumur yang terletak dibawah batas aman yaitu sampel 3, 6, 9 dan 10
(Gambar 6). Untuk mengurangi dampak yang terjadi, sebaiknya sebelum membuat
sumur perlu dipertimbangkan kembali penempatan dan resiko yang terjadi apabila
berada disekitar sumber pencemar.
Genangan air yang terdapat pada sekitar sumur pada daerah lokasi sampling
adalah kolam ikan. Kolam ikan yang berdekatan dan kontruksi yang sudah rusak
dapat menyebabkan adanya air kolam yang meresap ke dalam sumur, sehingga
memungkinkan sumur tercemar. Pada 10 sampel yang diteliti, jarak terjauh dengan
kolam hanya berjarak 4 m dari sumur (Gambar 7). Hal ini sangat beresiko sekali
terhadap kualitas air bersih yang berada di bawah tanah karena sangat mudah sekali
terkontaminasi bakteri.
359
Gambar
Gambar 2. Grafik
2. Grafik jarak
jarak aman
aman jamban
jamban dengan Gambar
Gambar3.3.Grafik
Grafikjarak
jarakaman
amantempat
tempat
dengan sumur
sumur pembuangan
pembuangansampah
sampahdengan
dengansumur
sumur
12
Batas aman
10
8
6
Jarak (m)
4
2
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nomer sampel
Gambar
Gambar4. 4.
Grafik jarak
Grafik aman
jarak kandang
aman ternak Gambar
kandang 5. Grafik
Gambar jarak
5. Grafik aman
jarak cubluk
aman terhadap
cubluk
dengan sumur
ternak dengan sumur dengan sumur
terhadap dengan sumur
Gambar 6. Grafik jarak aman aliran sungai Gambar 7. Grafik jarak aman genangan air
Gambar 6. Grafik jaraksumur
dengan aman aliran sungai Gambar 7. Grafik jaraksumur
dengan aman genangan air
dengan sumur dengan sumur
Pada pengaruh
Pada pengaruh kondisi
kondisifisik
fisiksumur
sumurjuga
juga berpengaruh
berpengaruhterhadap
terhadap kualitas
kualitasair
air bersih
bersih
yang dihasilkan. Tabel 3 menunjukkan bahwa hampir semua
yang dihasilkan. Tabel 3 menunjukkan bahwa hampir semua sumur mengalami sumur mengalami
kerusakanfisik,
kerusakan fisik,terutama
terutamapada
padabagian
bagian dinding
dindingdan
dan lantai
lantaisumur.
sumur.Pencemaran
Pencemarantanahtanah
oleh bakteri secara vertikal dapat mencapai kedalaman 3 m, oleh karena itu
oleh bakteri secara vertikal dapat mencapai kedalaman 3 m, oleh karena itu dinding dinding
dalamyang
dalam yangmelapisi
melapisisumber
sumberairairbersih
bersihsebaiknya
sebaiknyadibuat
dibuatkedap
kedapair
airsampai
sampaidengan
dengan
3 meter (Sumantri, 2010). Selain itu, dinding sumur kedap air berperan sebagai
6
360
penahan agar air permukaan yang mungkin meresap ke dalam sumur telah melewati
lapisan tanah sehingga mikroba yang mungkin ada didalamnya telah tersaring
(Sarudji D, 2010). Kualitas dinding sumber air bersih yang semakin kedap air akan
semakin baik kemampuannya untuk mencegah masuknya atau merembesnya air
dari sumber pencemar yang mengandung banyak bakteri sehingga bakteri akan
tertahan dan akhirnya mati (Seta, 1983).
Rekomendasi
Perlu dilaksanakannya kegiatan pengawasan kualitas air minum yang diselenggarakan
secara terus menerus dan berkesinambungan agar air yang digunakan oleh penduduk,
terjamin kualitasnya, sesuai dengan persyaratan ada. Kegiatan pengawasan bisa
berupa pengamatan lapangan atau inspeksi sanitasi dan juga pemeriksaan sampel
sumur secara berkala. Selain itu kegiatan seperti penyuluhan tentang air bersih,
pembentukan kelompok pemakai air dan pengembangan organisasi pengelola
361
sarana air bersih juga bisa dilaksanakan. Dan akhirnya tujuan dari peningkatan
kualitas air ini selain untuk membantu penyediaan air bersih yang memenuhi syarat
kesehatan, pengawasan, maupun evaluasi perlu adanya tambahan untuk membuat
bangunan sistem penyediaan air yang baik yang memenuhi syarat.
REFERENSI
BAPPEDA, 2004. Identifikasi dan Pemetaan Ketersediaan Air Bawah Tanah di
Kota Sukabumi. Sukabumi: Badan Perencana Pembangunan Daerah Kota
Sukabumi (BAPPEDA).
Harwood VJ, Staley C, Badgley BD, Borges K, Korajkic A., 2013. Microbial
source tracking markers for detection of fecal contamination in environmental
waters: relationships between pathogens and human health outcomes. FEMS
Microbiol Rev 2013:1–40.
Lanata CF, Fischer-Walker CL, Olascoaga AC, Torres CX, Aryee MJ, Black RE.,
2013. Global causes of diarrheal disease mortality in children b5 years of age:
a systematic review. PLoS ONE 2013;8(9):1–11.
Marsono, 2009. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kualitas Bakterialogis
Air Sumur Gali di Pemukiman. Tesis: Universitas Diponegoro
Menteri Kesehatan, 2010. Permenkes No. 492 tahun 2010 Standar Persyaratan Air
Minum. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
Raquel CLR, Adriana HR., 2014. Potential enterovirulence and antimicrobial
resistance in Escherichia coli isolates from aquatic environments in Rio de
Janeiro, Brazil. Science of the Total Environment 490 (2014) 19–27.
Sarudji, D., 2010. Kesehatan Lingkungan. Bandung: Karya Putra Darwati
Seksi Penyehatan Lingkungan, 2014. Laporan Kegiatan Pemeriksaan Sampel
Air Bersih. Sukabumi: Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan Dinas Kesehatan Kota Sukabumi.
Seta, A.K., 1983. Konservasi Sumber Daya Tanah dan Air. Jakarta: Kalam M
Smith JL, Fratamico PM., 2016. Escherichia coli and Other Enterobacteriaceae:
Food Poisoning and Health Effects. Reference Module in Food Science,
from Encyclopedia of Food and Health, 2016, Pages 539-544.
Sumantri, A., 2010. Kesehatan Lingkungan dan Perspektif Islam. Jakarta: Prenada
Media
362
KAJIAN PRIORITAS ZONA LAYANAN SISTEM
PENYEDIAAN AIR MINUM (SPAM) REGIONAL
KABUPATEN ACEH UTARA DAN KOTA LHOKSEUMAWE
SEBAGAI BENTUK MITIGASI BENCANA KEKERINGAN
Azmeri1*, Herman2, dan Efendi3
1
Jurusan Teknik Sipil Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh
2
BWS Sumatera I Provinsi Aceh, Banda Aceh
3
BPSPAM Provinsi Aceh, Banda Aceh
*azmeri@unsyiah.ac.id
Intisari
Masa kemarau panjang yang melanda Kabupaten Aceh Utara dan Lhokseumawe
telah memberikan dampak besar terhadap ketersediaan air minum masyarakat.
Permasalahan kekeringan semakin berat dirasakan oleh masyarakat akibat
pemekaran wilayah menjadi Kabupaten Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe. Hal
ini karena sumber air baku berada di Kabupaten Aceh Utara, dan Kota
Lhokseumawe yang berada dihilirnya tidak dapat secara langsung untuk
melakukan pengembangan pelayanan air minum. Kekeringan yang melanda kedua
wilayah tersebut tidak terlepas perencanaan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang
belum terpadu antara kedua wilayah. Berdasarkan kondisi kekeringan yang
terjadi, maka perlu menetapkan prioritas zona layanan air minum melalui Sistem
Penyediaan Air Minum (SPAM) Regional, sebagai mitigasi bencana kekeringan
dan mampu menyelesaikan konflik kepentingan. Penentuan zonasi tersebut
berdasarkan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW), pengembangan SPAM
jaringan perpipaan dan bukan perpipaan, tingakat layanan air bersih, dan tingkat
kepadatan penduduk. Penentuan prioritas zona layanan dilakukan dengan
menggunakan metode weighted average melalui analisis faktor teknis dan sosial
ekonomi masyarakat. Prioritas I meliputi : Kecamatan Blang Mangat, Muara Dua,
Muara Satu, Banda Sakti, Dewantara, Lapang, Muara Batu, Tanah Luas,
Syamtalira Bayu, Syamtalira Aron, Samudera, Nisam, Banda Baro, Kuta Makmur
dan Kecamatan Simpang Kramat. Diharapkan hasil penelitian ini dapat
memberikan petunjuk untuk pengembangan PDAM Tirta Mon Krueng Pase
Kabupaten Aceh Utara dan PDAM Ie Beusare Rata Kota Lhokseumawe ke depan
dalam usaha untuk melakukan peningkatan pelayanan penyediaan air minum bagi
masyarakat luas.
Kata Kunci: Prioritas, Air Minum, SPAM Regional, weighted average.
LATAR BELAKANG
Kemarau panjang yang melanda Kabupaten Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe
telah memberikan dampak besar terhadap ketersediaan air minum masyarakat. Hal
ini karena sebagian besar sumber air di kedua wilayah tersebut mengalami
1
363
kekeringan. Pertumbuhan penduduk yang meningkat setiap tahunnya serta
keberagaman kegiatan masyarakat akibat dari pembangunan di berbagai sektor
menyebabkan kebutuhan air bersih juga meningkat.
Permasalahan kekeringan semakin berat dirasakan oleh masyarakat akibat
pemekaran wilayah Aceh Utara menjadi Kabupaten Aceh Utara dan Kota
Lhokseumawe. Hal ini karena sumber air baku berada di Kabupaten Aceh Utara,
sehingga Kota Lhokseumawe yang berada dihilirnya tidak dapat secara langsung
melakukan pengembangan SPAM. Sementara Kota Lhokseumawe memiliki pasar
(penduduk) yang membutuhkan air bersih dengan kemampuan ekonomi yang
tinggi namun tidak mempunyai sumber air baku, padahal kebutuhan dan potensi
pelanggan cukup besar.
Konsep SPAM Regional yang merupakan kerjasama antar kabupaten/kota
merupakan salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan penyediaan air bersih
bagi masyarakat di kabupaten/kota tersebut. Penelitian ini bertujuan menganalisis
prioritas zona layanan bagi SPAM Regional Kabupaten Aceh Utara Dan Kota
Lhokseumawe.
Parameter-parameter penting yang digunakan berupa faktor kawasan strategis,
daerah pengembangan SPAM perpipaan dan non perpipaan, daerah yang layanan
air bersihnya masih rendah, serta daerah yang memiliki kepadatan penduduk yang
tinggi. Dengan analisis yang lengkap diharapkan sebagai mitigasi kekeringan dan
mampu menetapkan zona layanan air minum dan mampu menyelesaikan konflik
kepentingan yang telah terjadi dalam memenuhi kebutuhan air minumnya.
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan petunjuk untuk pelaksanaan
SPAM Regional Kabupaten Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe pada tahapan
selanjutnya, serta petunjuk dalam pengembangan PDAM Tirta Mon Pase dan
PDAM Ie Beusare Rata ke depan dalam usaha untuk melakukan peningkatan
pelayanan penyediaan air minum bagi masyarakat luas.
Kajian Pustaka
Kondisi kekeringan menyebabkan kekurangan air minum masyarakat, yang
membutuhkan penelitian ilmiah. Analisis lengkap diperlukan terkait dengan
potensi air baku dan peningkatan kebutuhan akan air bersih untuk melengkapi
pengembangan SPAM (Kodoatie dan Roestam, 2005).
Penyelenggaraan SPAM pada suatu daerah menjadi tanggung jawab pemerintah
daerah untuk menyediakan air bersih untuk warganya Azmeri dkk (2015).
Menurut Baihakki (2003), analisis untuk peningkatan pelayanan air minum
tersebut melalui analisis variabel cakupan pelayanan, kontinuitas pendistribusian
air, ketepatan peneraan meter air, kecepatan penyambungan baru, kemampuan
penanganan pengadaan rata-rata per bulan, dan kemauan pelanggan untuk
menyampaikan keluhan ke PDAM.
Wilayah kabupaten/kota yang terletak dalam satu DAS perlu melakukan
kerjasama regional terkait dengan pemanfaatan sumber daya air. Kerjasama
regional di antara lebih dari satu wilayah administrasi dengan membentuk SPAM
Regional memerlukan keterlibatan Pemerintah Pusat, Provinsi dan Pemerintah
2
364
Kabupaten/Kota. Pemerintah Pusat berwewenang dan bertanggung jawab
terhadap pembangunan mulai dari unit air baku sampai reservoir off take.
Pemerintah Provinsi berwewenang dan bertanggung jawab terhadap penyediaan
dokumen RISPAM (Rencana Induk SPAM, Studi Kelayakan, Detail Engineering
Design dan Analisis mengenai dampak lingkungan. Pemerintah kabupaten/kota
bertanggung jawab terhadap penyediaan lahan untuk reservoir off take dan
pembangunan pipa layanan sambungan rumah.
Namun untuk terjaminnya pelaksanaan SPAM Regional tersebut membutuhkan
dana yang tidak sedikit. Diperlukan penentuan prioritas pelaksanaan SPAM
Regional untuk masing-masing daerah layanan. Berdasarkan penelitian Nugraheni
(2012), analisis weighted average memberikan hasil yang baik dalam penentuan
tingkat prioritas. Metode Weighted Average dilakukan dengan menggunakan
formula berikut:
METODOLOGI STUDI
Tahapan penelitian dilakukan sebagai berikut:
1. Analisis demografi dan tingkat kepadatan penduduk, dibutuhkan proyeksi
jumlah penduduk mulai Tahun 2014 sampai dengan Tahun 2034 (sumber:
Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe).
2. Analisis pengembangan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), meliputi
Struktur ruang dan pola ruang kawasan (sumber: RTRW Kabupaten Aceh
Utara dan Kota Lhokseumawe dan ketersediaan sumber air.
3. Analisis pengembangan SPAM jaringan perpipaan dan non-perpipaan,
berdasarkan rencana pengembangan air minum perpipaan dan non-perpipaan
(sumber: RTRW, PDAM Tirta Mon Krueng Pase dan PDAM Ie Beusare
Rata)
4. Analisis layanan air bersih, berdasarkan cakupan tingkat pelayanan air bersih
eksisting (sumber: PDAM Tirta Mon Krueng Pase dan PDAM Ie Beusare
Rata)
5. Analisis weighted average, untuk memperoleh nilai bobot dari aspek teknis
(RTRW dan pengembangan jaringan) dan sosial ekonomi penduduk
(kepadatan penduduk dan kondisi layanan air bersih).
3
365
HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN
Lokasi penelitian berada pada Kabupaten Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe
Provinsi Aceh (Gambar 1). Penentuan prioritas zona layanan SPAM Regional
Kabupaten Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe dilakukan melalui analisis
terhadap beberapa parameter berikut:
a. Daerah Pengembangan RTRW;
b. Daerah pengembangan SPAM jaringan perpipaan dan bukan perpipaan;
c. Daerah yang layanan air bersih masih rendah; dan
d. Daerah yang kepadatan penduduk yang tinggi.
Gambar 1. Lokasi Penelitian Kabupaten Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe (RTRW
Kabupaten Aceh Utara)
4
366
Tabel 1. Penilaian Daerah Layanan Berdasarkan Pengembangan RTRW
Kawasan Pengembangan RTRW
Struktur Ruang Pola Ruang Kawasan
No Kecamatan Total
Permukiman Industri/ Nilai
PKN PPK Pariwisata
Perkotaan Ekonomi
1 Blang Mangat 1 1 1 1 4
2 Muara Dua 1 1 1 1 4
3 Muara Satu 1 1 1 1 4
4 Banda Sakti 1 1 1 1 4
5 Geureudong Pase
6 Paya Bakong 1 1 2
7 Meurah Mulia 1 1 2
8 Sawang 1 1 2
9 Cot Girek 1 1 2
10 Simpang Kramat 1 1 1 3
11 Pirak Timu 1 1 1 3
12 Langkahan 1 1
13 Nisam Antara 1 1 2
14 Kuta Makmur 1 1 1 3
15 Nisam 1 1 1 3
16 Banda Baro 1 1 1 3
17 Lhoksukon 1 1
18 Nibong 1 1
19 Baktiya Barat 1 1 2
20 Baktiya 1 1 2
21 Seunuddon 1 1 2
22 Syamtalira Bayu 1 1 2
23 Tanah Jambo Aye 1 1
24 Matang Kuli 1 1 2
25 Tanah Pasir 1 1 2
26 Lapang 1 1 2
27 Samudera 1 1 1 3
28 Syamtalira Aron 1 1 2
29 Tanah Luas 1 1 2
30 Muara Batu 1 1 1 1 4
31 Dewantara 1 1 1 1 1 5
5
367
Tabel 2. Penilaian Daerah Layanan Berdasarkan Daerah Pengembangan Jaringan
Perpipaan dan Bukan Perpipaan
Skor Nilai Skor Nilai
No Kecamatan Pengembangan Pengembangan
Perpipaan Non-Perpipaan
1 Blang Mangat 1 -
2 Muara Dua 1 -
3 Muara Satu 1 1
4 Banda Sakti 1 -
5 Geureudong Pase - 1
6 Paya Bakong - -
7 Meurah Mulia - -
8 Sawang 1 -
9 Cot Girek 1 -
10 Simpang Kramat 1 -
11 Pirak Timu - 1
12 Langkahan - 1
13 Nisam Antara - 1
14 Kuta Makmur - 1
15 Nisam - 1
16 Banda Baro - 1
17 Lhoksukon - -
18 Nibong - 1
19 Baktiya Barat - -
20 Baktiya - 1
21 Seunuddon - -
22 Syamtalira Bayu 1 -
23 Tanah Jambo Aye - -
24 Matang Kuli - -
25 Tanah Pasir - -
26 Lapang - 1
27 Samudera 1 -
28 Syamtalira Aron 1 -
29 Tanah Luas 1 -
30 Muara Batu 1 -
31 Dewantara 1 -
6
368
Tabel 3. Penilaian Daerah Layanan Berdasarkan Cakupan Pelayanan
Cakupan Pelayanan Skor
No Kecamatan
(%) Nilai
1 Blang Mangat < 20 (%) 4
2 Muara Dua 40 - < 60 (%) 2
3 Muara Satu < 20 (%) 4
4 Banda Sakti 20 - < 40 (%) 3
5 Geureudong Pase < 20 (%) 4
6 Paya Bakong < 20 (%) 4
7 Meurah Mulia < 20 (%) 4
8 Sawang < 20 (%) 4
9 Cot Girek < 20 (%) 4
10 Simpang Kramat < 20 (%) 4
11 Pirak Timu < 20 (%) 4
12 Langkahan < 20 (%) 4
13 Nisam Antara < 20 (%) 4
14 Kuta Makmur < 20 (%) 4
15 Nisam < 20 (%) 4
16 Banda Baro < 20 (%) 4
17 Lhoksukon 60 - < 80 (%) 1
18 Nibong < 20 (%) 4
19 Baktiya Barat 20 - < 40 (%) 3
20 Baktiya 20 - < 40 (%) 3
21 Seunuddon 60 - < 80 (%) 1
22 Syamtalira Bayu < 20 (%) 4
23 Tanah Jambo Aye 20 - < 40 (%) 3
24 Matang Kuli 20 - < 40 (%) 3
25 Tanah Pasir 20 - < 40 (%) 3
26 Lapang < 20 (%) 4
27 Samudera 40 - < 60 (%) 2
28 Syamtalira Aron 20 - < 40 (%) 3
29 Tanah Luas < 20 (%) 4
30 Muara Batu 20 - < 40 (%) 3
31 Dewantara < 20 (%) 4
7
369
Tabel 4. Penilaian Daerah Layanan Berdasarkan Kepadatan Penduduk
Jumlah Kepadatan
Luas Wilayah Kategori Skor
No Kecamatan Penduduk Penduduk
(Km2) Kepadatan Nilai
(jiwa) (jiwa/km2)
1 Blang Mangat
2 Muara Dua 56.12 33,374 595 Sangat Padat 4
3 Muara Satu 57.8 69,942 1,210 Sangat Padat 4
4 Banda Sakti 55.9 45,081 806 Sangat Padat 2
5 Geureudong Pase 11.24 112,925 10,047 Sangat Padat 4
6 Paya Bakong 269.28 6,331 24 Tidak Padat 1
7 Meurah Mulia 418.32 17,140 41 Tidak Padat 1
8 Sawang 202.57 23,904 118 Kurang Padat 2
9 Cot Girek 150.52 28,088 187 Kurang Padat 2
10 Simpang Kramat 189.00 26,075 138 Kurang Padat 2
11 Pirak Timu 79.78 11,652 146 Kurang Padat 2
12 Langkahan 67.70 10,005 148 Kurang Padat 2
13 Nisam Antara 150.52 28,088 187 Kurang Padat 2
14 Kuta Makmur 84.38 16,379 194 Kurang Padat 2
15 Nisam 151.32 29,670 196 Kurang Padat 2
16 Banda Baro 114.74 22,007 192 Kurang Padat 2
17 Lhoksukon 42.35 9,431 223 Kurang Padat 2
18 Nibong 243.00 66,594 274 Padat 3
19 Baktiya Barat 44.91 12,805 285 Padat 3
20 Baktiya 83.08 24,118 290 Padat 3
21 Seunuddon 158.67 48,782 307 Padat 3
22 Syamtalira Bayu 100.63 30,371 302 Padat 3
23 Tanah Jambo Aye 77.53 24,079 311 Padat 3
24 Matang Kuli 162.98 59,374 364 Padat 3
25 Tanah Pasir 56.94 23,427 411 Sangat Padat 4
26 Lapang 20.38 10,796 530 Sangat Padat 4
27 Samudera 19.27 11,160 579 Sangat Padat 4
28 Syamtalira Aron 42.28 36,021 852 Sangat Padat 4
29 Tanah Luas 28.13 23,398 832 Sangat Padat 4
30 Muara Batu 30.64 31,837 1,039 Sangat Padat 4
31 Dewantara 33.34 36,731 1,102 Sangat Padat 4
Berdasarkan prioritas yang telah disusun, diharapkan dapat menjadi solusi bagi
kekeringan air minum yang selama ini melanda kedua wilayah tersebut. Prioritas
tersebut merupakan salah satu bentuk perencanaan Daerah Aliran Sungai (DAS)
yang terpadu antara kedua wilayah. Dimana DAS tidak dapat ditangani sepenggal-
sepenggal, karena DAS merupakan satu kesatuan fungsional yang terdiri dari
daerah hulu-tengah-hilir. Kegiatan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) di
daerah hulu akan menyebabkan dampak di daerah tengah maupun hilir. Sehingga
harus diadakan suatu keserasian pengelolaan dalam satu aliran DAS. Prinsip One
River-One Plan-One Management adalah salah satu upaya yang melibatkan antar
daerah (dalam hal ini kabupaten) lain.
8
370
Tabel 5. Prioritas Pengembangan Daerah Layanan SPAM Regional Kabupaten
Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe
Total Nilai Jumlah Bobot Tiap Faktor
Faktor Jumlah Rata- Urutan
No. Kecamatan Faktor Faktor Faktor Sosek Rangking WA
Teknis Nilai rata Prioritas
Teknis Sosek (60%)
(40%)
1 Blang Mangat 5 8 2.50 4.80 7.30 2 1.0 1.5 I
2 Muara Dua 5 6 2.50 3.60 6.10 5 1.0 3.0 I
3 Muara Satu 5 8 2.50 4.80 7.30 2 1.0 1.5 I
4 Banda Sakti 5 7 2.50 4.20 6.70 3 1.0 2.0 I
1 Blang Mangat 5 8 2.50 4.80 7.30 2 1.0 1.5 I
5 Geureudong Pase 1 5 0.50 3.00 3.50 13 0.2 6.6 II
6 Paya Bakong 3 5 1.50 3.00 4.50 11 0.6 5.8 II
7 Meurah Mulia 2 6 1.00 3.60 4.60 10 0.4 5.2 II
8 Sawang 3 6 1.50 3.60 5.10 9 0.6 4.8 II
9 Cot Girek 3 6 1.50 3.60 5.10 9 0.6 4.8 II
10 Simpang Kramat 4 6 2.00 3.60 5.60 7 0.8 3.9 I
11 Pirak Timu 3 6 1.50 3.60 5.10 9 0.6 4.8 II
12 Langkahan 2 6 1.00 3.60 4.60 10 0.4 5.2 II
13 Nisam Antara 3 6 1.50 3.60 5.10 9 0.6 4.8 II
14 Kuta Makmur 4 6 2.00 3.60 5.60 7 0.8 3.9 I
15 Nisam 4 6 2.00 3.60 5.60 7 0.8 3.9 I
16 Banda Baro 4 6 2.00 3.60 5.60 7 0.8 3.9 I
17 Lhoksukon 1 4 0.50 2.40 2.90 15 0.2 7.6 II
18 Nibong 2 7 1.00 4.20 5.20 8 0.4 4.2 II
19 Baktiya Barat 2 6 1.00 3.60 4.60 10 0.4 5.2 II
20 Baktiya 3 6 1.50 3.60 5.10 9 0.6 4.8 II
21 Seunuddon 2 4 1.00 2.40 3.40 14 0.4 7.2 II
22 Syamtalira Bayu 3 7 1.50 4.20 5.70 6 0.6 3.3 I
23 Tanah Jambo Aye 1 6 0.50 3.60 4.10 12 0.2 6.1 II
24 Matang Kuli 2 7 1.00 4.20 5.20 8 0.4 4.2 II
25 Tanah Pasir 2 7 1.00 4.20 5.20 8 0.4 4.2 II
26 Lapang 3 8 1.50 4.80 6.30 4 0.6 2.3 I
27 Samudera 4 6 2.00 3.60 5.60 7 0.8 3.9 I
28 Syamtalira Aron 3 7 1.50 4.20 5.70 6 0.6 3.3 I
29 Tanah Luas 3 8 1.50 4.80 6.30 4 0.6 2.3 I
30 Muara Batu 5 7 2.50 4.20 6.70 3 1.0 2.0 I
31 Dewantara 6 8 3.00 4.80 7.80 1 1.2 1.1 I
127,7/31
= 4.1
9
371
Rekomendasi
Perlu adanya studi penelitian lanjutan untuk pengembangan SPAM Regional,
yang menitikberatkan pada 3 hal di bawah ini:
a. Kajian ketersediaan air baku yang akan digunakan sebagai sumber air baku
SPAM Regional Kabupaten Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe.
b. Pengembangan investasi dan pengembangan kelembagaan. Kelembagaan
pengelola perlu dibentuk agar penyelenggaraannya sesuai dengan tujuan
penyelenggaraan SPAM Regional. Kegiatan kelembagaan dapat dimulai
setelah adanya izin/kerjasama antara penyelenggara dengan Pemerintah
Daerah.
c. Penyiapan Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal dalam bidang air
minum. Untuk itu diperlukan program pelatihan yang teratur dan terprogram
seperti mengikuti pelatihan yang dilaksanakan oleh pihak-pihak berikut:
Kementerian PU Cipta Karya, BPPSPAM, PERPAMSI atau dari lembaga
donor/asing.
DAFTAR PUSTAKA
Azmeri, Fatimah, E, Hartati, S., 2015, Kajian Prioritas Daerah Layanan untuk
Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Kabupaten Pidie,
Provinsi Aceh, Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahun XXXII, Himpunan Ahli
Teknik Hidrolik Indonesia, Volume 1, Malang 6 – 8 Nopember 2015.
Baihakki, 2003. Prioritas Peningkatan Kapasitas Pelayanan PDAM Kota
Palembang, Tesis S2, Universitas Diponegoro, Semarang.
Bappeda Aceh Utara, 2014, RTRW Kabupaten Aceh Utara 2012-2032, Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Aceh Utara.
Bappeda Lhokseumawe, 2014. RTRW Kota Lhokseumawe 2012-2032. Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Lhokseumawe.
BPS, 2014. Kabupaten Aceh Utara dalam Angka, Biro Pusat Statistik Kabupaten
Aceh Utara, Lhoksukon.
BPS, 2014. Kota Lhokseumawe dalam Angka, Biro Pusat Statistik Kota
Lhokseumawe, Lhokseumawe.
Kodoatie, R. J., Roestam, S., 2005. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu. Andi
Offset, Yogyakarta.
Nugraheni S, D., 2012. Menentukan Waduk Prioritas di Daerah Aliran Sungai
Cisanggarung, Tesis S2, Universitas Diponegoro, Semarang.
PDAM Kabupaten Aceh Utara, 2015. Laporan PDAM Tirta Mon Pase Kabupaten
Aceh Utara.
PDAM Kota Lhokseumawe, 2015. Laporan PDAM Ie Beusare Rata Kota
Lhokseumawe.
10
372
PEMANFAATAN AIR SUNGAI UNTUK DESAIN SISTEM
JARINGAN DAN DISTRIBUSI AIR BERSIH
Intisari
Desa Motongkad Utara merupakan daerah pemekaran yang penduduknya
berkembang cukup pesat dan hanya memanfaatkan sumur sebagai satu-satunya
sumber air bersih yang kuantitas dan kualitas airnya sangat tidak terjamin, Sungai
Motongkad yang terletak ± 1,38 km dari Desa Motongkat Utara dengan ketersediaan
debit sesaat sebesar 0,858 m3/detik pemanfaatannya belum maksimal karena hanya
digunakan untuk kebutuhan pertanian yang pada musim penghujan air sungai
sering meluap dan merusak daerah pertanian. Berlatar belakang kondisi ini maka
diperlukan penelitian tentang pemanfaatan air Sungai Motongkad sebagai sumber
kebutuhan air baku bagi penduduk Desa Motongkat Utara. Penelitian ini melalui
tahapan studi literatur, studi lapangan berupa pengumpulan informasi tentang
sumber air, kondisi fisik, letak geografis dan jumlah penduduk, serta tahapan studi
terapan dengan cara menganalisis data-data primer dan sekunder untuk selanjutnya
digunakan sebagai dasar pemecahan masalah. Hasil dari penelitian berupa desain
sistem jaringan transmisi dan distribusi air bersih yang dimulai dari bangunan
pengambilan berupa intake bebas, bak pengumpul air baku dan sistem pengolahan
air bersih yang menggunakan instalasi pengolahan air sederhana dengan saringan
pasir lambat (IPAS-SPL). Selanjutnya, ground reservoir digunakan sebagai
penampung air bersih hasil pengolahan sebelum didistribusikan melalui reservoir
distribusi menuju 13 hidran umum yang tersebar dan dapat memenuhi kebutuhan
air bersih seluruh daerah layanan.
Kata Kunci: ketersediaan, kebutuhan, IPAS-SPL, air bersih
LATAR BELAKANG
Air merupakan sumber daya alam yang diperlukan untuk kehidupan manusia bahkan
oleh semua makhluk hidup sehingga harus diperhatikan segi kuantitas, kualitas dan
kontinuitasnya. Air bersih adalah air yang dipergunakan untuk keperluan sehari-
hari dan kualitasnya memenuhi persyaratan kesehatan air bersih. Sungai sebagai
sumber aliran permukaan memiliki ketersediaan air maksimum yang dengan mudah
dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sumber air baku. Kualitas air sungai sangat
bervariasi tergantung pada lokasi, muatan sedimen dan polutan yang dibawanya
sehingga selain dari segi kuantitas, pemanfaatan air sungai sebagai air baku juga
harus memperhatikan proses pengolahan air untuk mendapatkan kualitas air sesuai
standar.
373
Desa Motongkad Utara yang terletak di Kecamatan Nuangan, Kabupaten Bolaang
Mongondow Timur dengan luas wilayah sebesar 1.230 Ha dan jumlah penduduk
pada tahun 2015 mencapai 921 jiwa hanya memanfaatkan sumur sebagai satu-
satunya sumber air bersih dimana kuantitas dan kualitas air sumur ini sangat tidak
terjamin, terlebih disaat musim kemarau. Disisi lain, Sungai Motongkad yang
terletak ± 1,38 km dari Desa motongkat Utara dengan debit sesaat sebesar 0,858
m3/detik hanya digunakan untuk kebutuhan pertanian yang kadangkala pada musim
penghujan air sungai sering meluap dan merusak daerah pertanian. Atau dengan
kata lain, pemanfaatan ketersediaan air Sungai Motongkad belum digunakan secara
maksimal. Guna memenuhi kebutuhan air baku untuk mendukung aktivitas dan
kelangsungan hidup penduduk Desa Motongkad Utara maka air Sungai Motongkad
dengan ketersediaan debit yang cukup memadai dapat memenuhi persyaratan
kuantitas untuk penyediaan air baku. Selain persyaratan kuantitas, penyediaan air
baku yang bersumber pada air sungai sangat erat hubungannya dengan kualitas air
sehingga diperlukan studi ketersediaan/kuantitas dan kualitas air secara bersamaan.
Analisis ketersediaan air pada prinsipnya adalah untuk mendapatkan data debit
runtut waktu (time-series) yang handal dan cukup panjang dan data hujan (rainfall
run off analysis). Analisis kualitas air menggambarkan mutu atau kualitas air yang
harus memenuhi persyaratan fisik, kimia, biologis, dan radiologis sesuai Peraturan
Menteri Kesehatan No. 416/Menkes/PER/IX/1990 tentang syarat-syarat dan
pengawasan kualitas air. Selain persyaratan kuantitas dan kualitas air, persyaratan
kontinuitas juga diperlukan dalam arti bahwa air baku untuk air bersih tersebut
dapat diambil terus menerus dengan fluktuasi debit yang relatif tetap, baik pada
saat musim kemarau maupun musim hujan.
Besarnya kebutuhan air di suatu daerah sangat tergantung pada cara hidup
masyarakat , tingkat pertumbuhan penduduk dan pembangunan di daerah tersebut.
Kebutuhan air dihitung berdasarkan persentase yang ditetapkan untuk suatu daerah
terhadap besarnya proyeksi jumlah penduduk daerah pelayanan dengan tingkat
kebutuhan air perkapita. Perhitungan royeksi jumlah penduduk dapat menggunakan
analisis regresi linier, analisis regresi eksponensial dan analisis regresi logaritma.
Dalam pemilihan analisis yang paling tepat untuk pertumbuhan jumlah penduduk
diambil nilai koefisien determinasi yang paling mendekati 1 atau memiliki nilai
standard error yang paling kecil (Agus Irianto, 2004).
Apabila ketersediaan air dapat memenuhi kebutuhan air, selanjutnya dilakukan
desain sistem jaringan dan distribusi air bersih yang dimulai dari bangunan
pengambilan air baku yang disebut sebagai bangunan penangkap air atau intake.
Fungsi utama bangunan intake adalah menangkap air dari sumbernya sesuai dengan
debit yang diperlukan dan melalui pipa transmisi mengalirkan air dari bangunan
penangkap air sampai ke instalasi pengolahan air bersih. Sistem pengolahan air
baku menjadi air bersih terdiri dari beberapa macam antara lain : sistem saringan
pasir cepat (SPC), instalasi pengolahan air sederhana saringan pasir lambat (IPAS
– SPL), dan Paket IPA. Dari instalasi pengolahan air bersih, air ditampung pada
reservoir yang umumnya diletakkan di dekat jaringan distribusi pada ketinggian
yang cukup untuk mengalirkan air secara baik dan merata ke seluruh daerah
2
374
layanan. Perhitungan volume reservoir didasarkan kepada fluktuasi pemakaian air
jam puncak dan cadangan keperluan darurat.
METODOLOGI STUDI
Metode pelaksanaan kegiatan penelitian selengkapnya dapat dilihat pada bagan alir
penelitian berikut,
3
375
Apabila ketersediaan air bersih tidak dapat mencukupi kebutuhan masyarakat maka
dicari sumber air lainnya untuk dianalisis ketersediaan sumber air yang baru.
Sebaliknya, apabila ketersediaan debit sumber air sudah mencukupi kebutuhan air
bersih sesuai hasil analisis, kegiatan dilanjutkan dengan desain sistem pengolahan
dan sistem distribusi air bersih yang diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah
maupun masyarakat Desa Motongkat Utara sebagai informasi dalam menetapkan
langkah dan upaya untuk pemenuhan kebutuhan air bersih yang kontinu dari sisi
kuantitas dan kualitas.
Analisis regresi linier dipilih untuk perhitungan proyeksi jumlah penduduk karena
memiliki nilai standard error terkecil (4,222) yang berarti kesalahan baku yang
terjadi lebih kecil dibandingkan 2 metode lainnya. Analisis regresi linier juga
memiliki nilai korelasi (r) tertinggi (0,9885) dan nilai koefisien determinasi (r2 )
yang paling mendekati nilai 1 yaitu 0,9942.
Proyeksi pertumbuhan jumlah penduduk Desa Motongkad Utara Tahun 2016-2035
ditunjukan pada Gambar 2. Sampai Tahun 2035 proyeksi jumlah penduduk adalah
1226 orang dengan kebutuhan air sebesar 36780 l/hari atau 0,426 l/detik.
Kebutuhan ini dapat terpenuhi dari air Sungai Motongkad dengan ketersediaan
debit sebesar 858 l/detik.
4
376
Gambar 2. Proyeksi pertumbuhan jumlah penduduk
Tingkat kekeruhan air Sungai Motongkad lebih dari 50 mg/L SiO2, oksigen terlarut
kurang dari 6 mg/L dan total koliform lebih dari 1000 per 100 mL. Dari kondisi
kualitas air baku ini maka diperlukan proses penjernihan air melalui instalasi
pengolahan air bersih.
Dari uraian diatas maka secara keseluruhan sistem penyediaan air bersih untuk Desa
Motongkad Utara meliputi unit air baku, unit produksi (instalasi pengolahan air)
dan unit distribusi.
Unit air baku dalam penelitian ini menggunakan bangunan pengambilan bebas
dengan pertimbangan fluktuasi muka air sungai tidak terlalu besar dan kedalaman
air cukup untuk dapat masuk ke inlet. Gambar 3. mengilustrasikan bangunan
pengambilan berukuran (4x1x0,5) m yang direncanakan terbuat dari bronjong
dengan jala-jala kawat berdiameter ±10 cm dan berisikan batu kali berukuran 13-
15 cm. Untuk menjaga agar sampah tidak masuk ke dalam pipa pengambilan maka
dipasang penyaring sampah di depan pipa pengambilan. Air dari intake kemudian
disadap menggunakan pipa HDPE berdiameter 2” sejajar alur sungai yang
dilengkapi saringan sampah menuju bak pengumpul air baku.
5
377
Dari bak pengumpul air baku, air disalurkan ke unit produksi/instalasi pengolahan
air melalui pipa HDPE berdiameter 2½”. Metode instalasi pengolahan air sederhana
dengan saringan pasir lambat (IPAS – SPL) menjadi pilihan untuk digunakan
dengan pertimbangan kebutuhan air total yang dibutuhkan hanya sebesar 0,426
l/detik dan memenuhi persyaratan kapasitas pengolahan maksimum SPL. Untuk
menampung air hasil pengolahan sebelum didistribusikan melalui unit distribusi,
air ditampung pada ground reservoir berkapasitas 19,57 m3 yang selanjutnya
dipompa menuju reservoir distribusi. Reservoir distribusi dengan kapasitas berguna
13 m3 dimanfaatkan untuk menampung air disaat pemakaian kurang dari suplai dan
untuk menutup kekurangan air disaat pemakaian melebihi suplai terutama pada
jam-jam puncak pemakaian air.
Suplai air dan kebutuhan total air setiap jam dapat dilihat pada Gambar 4.
5
Pemakaian air (m³)
0
12:00
15:00
18:00
21:00
10:00
11:00
13:00
14:00
16:00
17:00
19:00
20:00
22:00
23:00
1:00
3:00
4:00
6:00
9:00
0:00
2:00
5:00
7:00
8:00
Jam
Gambar 4. Grafik suplai air dan kebutuhan air
6
378
Perencanaan sistem jaringan dan distribusi air bersih Desa Motongkad Utara yang
diuraikan di atas secara keseluruhan dapat dilihat pada pada Gambar 5.
7
379
3. Hidran umum direncanakan berdasarkan standar penyediaan air pedesaan. Untuk
memenuhi kebutuhan 1226 jiwa penduduk Desa Motongkad Utara diperlukan
13 hidran umum yang letaknya mengikuti sebaran penduduk dengan base
demand tiap hidran umum pada debit jam puncak sebesar 0,07 liter/detik.
Rekomendasi
Melakukan penelitian lanjutan tentang studi kelayakan ekonomi pemanfaatan air
Sungai Motongkad serta studi-studi sosial yang bertujuan untuk meningkatkan
pemahaman akan pentingnya peranan masyarakat dalam hal operasional dan
pemeliharan instalasi jaringan transmisi maupun jaringan distribusi air bersih.
REFERENSI
....................., 1990. Teknis Penyediaan Air Bersih IKK Pedesaan, Departemen
Pekerjaan Umum, Jakarta.
....................., 2007. Kriteria Pipa Transmisi dan Distribusi, Keputusan Menteri PU
No.18, Jakarta
Agus Irianto, 2004. Statistik Konsep Dasar, Aplikasi dan Pengembangan, halaman
158;182;186;187, Prenada Media, Jakarta.
Bambang Triatmodjo, 2008. Hidrologi Terapan, halaman 2-4, Beta Offset,
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Joko, Tri, 2010. Unit Produksi Dalam Sistem Penyediaan Air Minum, halaman 33-
40; 106-112, Graha Ilmu, Jakarta.
Kodoatie, Robert J., 2002. Hidrolika Terapan Aliran Pada Saluran Terbuka dan
Pipa, halaman 262-263, 272, ANDI Offset, Yogyakarta.
NSPM Kimpraswil, 2002. Pedoman/Petunjuk Teknik dan Manual Bagian 6, Air
Minum Perkotaan, Edisi Pertama, Jakarta.
Radianta Triatmadja, 2009. Sistem Penyediaan Air Minum Perpipaan, Universitas
Gajah Mada, Yogyakarta.
SNI 03-3981-1995. Perencanaan Instalasi Saringan Pasir Lambat, BSN, Jakarta.
Suprihatin dan Ono Suparno, 2013. Teknologi Proses Pengolahan Air, halaman
109-115 Bogor.
Sutrisno, C. Totok, 1987. Teknologi Penyediaan Air Bersih, halaman 16-19, Bina
Aksara, Jakarta.
8
380
PERMODELAN KUALITAS AIR PADA INFLOW
TAMBAK UDANG
Lourina Evanale Orfa
Program Studi Teknik Sipil, Universitas Muhammadiyah Malang
lourina@umm.ac.id
Intisari
Udang vannamei (Penaeus vannamei) merupakan komoditas perikanan air payau
yang dikembangkan menggunakan budidaya semi intensif dengan petak kecil padat
tebar benih tinggi. Semakin bertambah umur udang maka konsumsi pakan
meningkat dan feses semakin banyak. Fenomena ini menyebabkan air pemeliharaan
menjadi kurang baik untuk perkembangan udang. Pengelolaan air optimum penting
untuk pertumbuhan udang baik dari kuantitas dan kualitas air berupa salinitas.
Pengelolaan air meliputi pemeliharaan air yang ada di petak tambak dan
penggantian air. Simulasi pengisian menggunakan Program HEC-RAS 4.1.
Simulasi aliran untuk mengetahui proses pengisian air. Simulasi kualitas air untuk
mengetahui perubahan salinitas karena pengisian air pasok dengan persentase
volume pengisian air pasok 15% dari total volume yang harus ada di petak tambak
dengan perbedaan salinitas di petak tambak dan salinitas air pasok +10 ppt.
Hasil simulasi aliran dan kualitas air, mendapatkan lama waktu pengisian air dan
perubahan salinitas di petak tambak. Pengisian air disesuaikan dengan kondisi
pasang surut di lokasi studi. Dengan membandingkan lama waktu pasang air laut
dan waktu untuk pengisian air sesuai kebutuhan petak tambak serta perubahan
salinitas yang terjadi didapatkan kemudahan menentukan berapa volume dan lama
pengisian air pasok sehingga mampu merubah konsentrasi salinitas air pada petak
tambak sesuai standar kualitas air optimum.
Kata Kunci: tambak udang vannamei, pengisian air, salinitas,
Program HEC-RAS 4.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kabupaten Pacitan merupakan daerah pesisir dengan potensi budidaya perikanan.
Spesies yang dikembangkan yaitu udang vannamei (Penaeus vannamei). Udang
vanammei dikembangkan dengan budidaya semi-intensif. Budidaya tambak udang
vannamei semi intensif memiliki petak kecil dengan padat tebar benih tinggi. Padat
tebar tinggi berpengaruh terhadap kebutuhan pakan udang. Pemberian pakan
mempengaruhi limbah sisa pakan dan feses udang Semakin bertambah umur udang
maka konsumsi pakan akan meningkat dan feses udang akan semakin banyak.
Fenomena ini menyebabkan air pemeliharaan menjadi kurang baik untuk
perkembangan udang.
1
381
Telah dilakukan penelitian oleh Lala. I. P Ray dkk (2013) dengan judul penelitian
Temporal Variation of Water Quality Parameters in Intensively IMC Cultured
Lined Pond. Penelitian ini meneliti pengaruh pemberian air pada petak dengan
padat tebar tertentu terhadap peningkatan produksi tambak. Padat tebar
berpengaruh terhadap konsentrasi air tambaknya. Hasil penelitian menjelaskan
bahwa untuk padat tebar tinggi dengan melakukan penggantian air lebih sering
maka produktifitasnya hampir sama dengan petak dengan padat tebar rendah. Selain
itu, pergantian air dapat membantu dalam perkembangan organisme dan
kemampuan bertahan organisme.
Berdasarkan bertambahnya umur udang, pengelolaan media air yang sesuai dengan
kuantitas dan kualitas air berupa salinitas optimum untuk pertumbuhan udang
vannamei perlu dilakukan. Pengelolaan air berupa pemeliharaan air di petak tambak
dan penggantian air secara berkala.
Kajian Pustaka
Karakteristik Udang Vannamei
Udang vannamei berkembang di media air payau. Kualitas air yang sesuai mampu
meningkatkan produktifitas udang. Air payau sangat dipengaruhi oleh konsentrasi
salinitas yang terkandung pada media air. Kedalaman air di petak tambak
disesuaikan dengan padat tebar udang. Kedalaman air memberikan keleluasaan
udang untuk bergerak. Untuk detail kualitas air standar untuk pemeliharaan udang
tersaji pada Tabel 1 (BSN, 2006).
Tabel 1. Persyaratan Kualitas Air Pemeliharaan Udang Vannamei
No. Parameter Satuan Kisaran
1 Suhu °C 28,5 – 31,5
2 Salinitas ppt 15 - 25
3 PH - 7,5 - 8,5
4 Oksigen terlarut, minimal ppm 3,5
5 Alkalinitas ppm 100 - 150
6 Bahan organik, maksimal ppm 55
7 Ammonia total, maksimal ppm 0,01
8 Nitrit ppm 0,01
9 Nitrat, maksimal ppm 0,5
10 Pospat, minimal ppm 0,1
11 Ketinggian air cm 120 - 200
12 Kecerahan air cm 30 - 45
Vannamei memiliki tubuh berbuku-buku dan aktivitas berganti kulit luar secara
periodik (molting). Lama pemeliharaan udang vaname 90 hari - 120 hari atau
mencapai ukuran konsumsi 15 - 20 g/ekor. Udang vannamei dapat dilihat pada
Gambar 1 (Boone, 1931 dalam FAO, 2006).
Pemeliharaan udang dengan padat tebar tinggi berpengaruh terhadap konsumsi
pakan dan sisa metabolism yang dihasilkan. Semakin bertambah umur udang maka
semakin banyak konsumsi pakan dan sisa metabolism. Hal ini berdampak pada
2
382
konsentrasi air petak tambak. Penggantian air berkala perlu dilakukan untuk
menjaga kualitas air di petak tambak.
b. Persamaan momentum:
Q QV z
gA Sf 0
t x x (2)
c. Komputasi Hidraulik menggunakan Ambang Pintu
Program HEC-RAS mampu memodelkan struktur melintang sungai atau saluran
(inline structure). Dalam pemodelan ini terdapat pemodelan ambang dan pintu air.
Berdasarkan US Army Corps, 2010a, menjelaskan bahwa persamaan standar untuk
aliran di atas ambang adalah sebagai berikut:
3
Q C.L.H 2
(3)
dengan :
Q : debit aliran (m3 /dt)
C : koefisien aliran di atas ambang
L : panjang puncak ambang (m)
H : tinggi energi di atas puncak ambang hulu (m)
3
383
Program HEC-RAS Kualitas Air
Dalam US Army Corps, 2010b, menjelaskan bahwa HEC-RAS modul kualitas air
mampu menganalisis persamaan adveksi-dispersi menggunakan skema numerik
eksplisit. Kontrol dalam masukan maupun keluaran dari reaksi transport polutan
dianalisis menggunakan persamaan adveksi-dispersi sebagai berikut:
V Q Δx ΓA Δx S
t x x x (4)
dengan :
V : volume kualitas air dalam cell (m3 )
Φ : temperature air (C) atau konsentrasi (kg/m-3 )
Q : debit (m3 /s)
Γ : koefisien dispersi (m2 /s)
A : luas penampang melintang (m2 )
S : source atau sink zat (kg/s)
Simulasi kualitas air sederhana untuk salinitas menggunakan arbitrary constituent
parameter tipe konservatif. Polutan dapat berupa polutan konservatif dan non-
konservatif. Polutan konservatif tidak mengalami peluruhan (decay). Persamaan
differensial non-konservatif dalam HEC-RAS adalah sebagai berikut:
Arbitrary constituent source/sink = K.C (5)
dengan :
C : konsentrasi dari arbitrary constituent (mg/lt)
K : koefisien decay (/hari)
Landasan Teori
Pengelolaan air tambak meliputi pemelihaan air dan pengisian air. Pengisian air
pasok ke petak tambak yang memiliki konsentrasi salinitas yang berbeda akan
mempengaruhi perubahan salinitas di petak tambak. Udang vanammei
membutuhkan air sesuai kedalaman optimum di petak tambak yaitu 120-200 cm.
Salinitas optimum yang dibutuhkan untuk pemeliharaan udang vanammei berkisar
antara 15-25 ppt (BSN, 2006).
Program HEC-RAS 4.1 dapat memodelkan aliran (pemodelan aliran 1 dimensi) dan
sebaran polutan konservatif (permodelan kualitas air). Pemodelan aliran untuk
mengetahui parameter hidraulika yang terjadi seperti kecepatan, tinggi muka air dll.
Pengisian air dilakukan pendekatan dengan pemodelan aliran 1 dimensi Unsteady
Flow. Pemodelan kualitas air untuk mengetahui parameter sebaran polutan seperti
perubahan konsentrasi pada petak tambak. Simulasi pengisian air dengan program
HEC-RAS mampu memberikan informasi mengenai lama waktu pengisian air dan
perubahan salintas air tambak setelah pengisian air pasok. Dengan menjaga
kedalaman dan kualitas air yang optimum di petak tambak maka pertumbuhan
udang akan semakin baik dan hasil produksi tambak udang akan meningkat.
4
384
HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN
Pemodelan Aliran
Simulasi yang akan dilakukan adalah simulasi pengisian air tambak. Program HEC-
RAS mengalami kondisi tidak stabil apabila terjadi low flows (aliran rendah) atau
kondisi muka air pada saluran kering. Simulasi yang akan dilakukan pada penelitian
memungkinkan terjadi low flows karena debit inflow yang kecil dan simulasi
pengisian air dimana awal aliran di saluran eksisting seharusnya dalam keadaan
kering. Program HEC-RAS memberikan kemudahan apabila terjadi permasalahan
aliran rendah tersebut. Pilot channels merupakan solusi permasalahan untuk
memodelkan aliran tak permanen dengan kondisi aliran rendah.
HEC-RAS sulit melakukan simulasi dengan tidak ada aliran awal (dry) atau aliran
rendah (low flow). Sehingga, peneliti melakukan simulasi awal untuk mendapatkan
initial condition terlebih dahulu. Initial condition merupakan kedalaman awal di
petak tambak sebelum pengisian. Setelah itu, hasil aliran digunakan sebagai initial
pengisian air.
a. Simulasi Kondisi Awal
Pendekatan yang dilakukan pada simulasi ini dengan menganggap sistem saluran
ini adalah kolam besar yang terisi penuh air. Kemudian, muka air diturunkan sampai
dengan batas muka air tambak yang dinginkan untuk melakukan simulasi
selanjutnya. Bersamaan pula dilakukan pemberian debit kecil sebagai inflow.
Dengan debit kecil sebagai inflow, HEC-RAS akan melakukan perhitungan untuk
mendapatkan parameter hidraulik di tiap penampang melintangnya. Selain itu,
didapatkan muka air awal di sepanjang saluran yang dapat digunakan sebagai
kondisi awal simulasi.
1) Unsteady Flow Data yang digunakan untuk membuat kondisi awal adalah:
2) Boundary Condition Upstream: Flow Hydrograph dengan debit kecil
3) Boundary Condition Downstream : Stage Hydrograph (elevasi muka air awal
ke elevasi muka air yang diinginkan)
4) Boundary Condition Gate : T.S Gate Opening (bukaan pintu air)
5) Initial Condition : debit kecil
5
385
3) Boundary Condition Gate : Rules
1. Pintu akan terbuka apabila muka air di tambak mencapai batas minimum
kedalaman tambak
2. Pintu akan tertutup apabila muka air di tambak mencapai kedalaman
tambak yang diinginkan
4) Initial Condition : hasil simulasi kondisi awal (initial condition)
Tabel 2. Boundary Condition Pengisian Air Sistem 2
Reach Station Debit Elevasi dasar Elevasi muka air Tinggi Energi
Sta. 0 2,60 2,650 2,650
Petak 2
178,68 0,044 2,60 2,706 2,713
Tabel 3. Boundary Condition Pengisian Air Sistem 1
Reach Station Debit Elevasi dasar Elevasi muka air Tinggi Energi
Saluran 0 2,60 2,650 2,650
Sta.
Utama 0,055 2,60 2,690 2,701
471,8
A 0,1 2,60 2,715 2,732
6
386
pengukuran pengisian air tanggal 6 Juni 2013 di seluruh petak tambak. Data
verifikasi selanjutnya diambil dari data pengukuran pengisian air tanggal 3 Juni
2013. Nilai koefisien dispersi didapat dengan melakukan coba-coba untuk
mendapatkan hasil simulasi yang mendekati sama dengan hasil pengukuran. Nilai
dispersi yang digunakan adalah 0,11 m2 /s. Berikut merupakan grafik nilai salinitas
hasil simulasi tersaji pada Gambar 2.
12,5 Observed
20
11,5
Salinitas
15 10,5 HEC-
RAS
10 9,5
0 1 2 3 4 5 6 7 8 0 1 2 3 4 5 6 7 8
Petak Tambak Petak Tambak
7
387
1,8 11,5
Petak 1
1,75
Kedalaman (m)
Petak 2
Salinitas (ppt)
11
1,7 Petak 3
Petak 4
1,65
10,5 Petak 5
1,6 Petak 6
Petak 7
1,55 10
Petak 8
12,15
17,30
22,45
10,30
14,00
15,45
19,15
21,00
24,30
0,00
1,45
3,30
5,15
7,00
8,45
12,15
15,45
21,00
24,30
10,30
14,00
17,30
19,15
22,45
0,00
1,45
3,30
5,15
7,00
8,45
Jam ke- Jam ke-
8
388
b. Penggantian Air Tambak
Dengan penambahan volume yang sama pada petak tambak memiliki lama waktu
perubahan konsentrasi salinitas yang berbeda. Semakin jauh letak petak tambak
maka semakin lama proses perubahan salinitas terjadi. Penambahan volume air
tambak diiringi dengan bertambahnya konsentrasi salinitas. Pada kenyataannya
kondisi pasang surut air laut menyebabkan inflow air laut untuk tambak dengan
salinitas tinggi tidak dapat dilakukan setiap jam.
Semakin berumur udang, maka semakin sering dilakukan penggantian air tambak.
Membuang air dengan konsentrasi buruk dengan penyiphonan dan mengisinya
kembali dengan air pasok. Jumlah penggantian air tandon ke petakan pembesaran
udang dengan kepadatan 30-50 ekor/m2 , diatur oleh BBPBAP, 2007, sebagai
berikut:
Bulan 1 : 5 – 10%, setiap 15 hari
Bulan 2 : 5 – 10%, setiap 7-10 hari
Bulan 3 : 10 – 15%, setiap 7 hari
Bulan 4 : 15 – 30%, setiap 3-5 hari
Berdasarkan wawancara dengan pengelola tambak udang, pengisian jarang
dilakukan lebih dari 8 jam. Hal ini disebabkan oleh lama waktu pasang di lokasi
studi tidak lebih dari 8 jam. Pengisian biasa dilakukan 5-8 jam saja untuk 1 kali
pengisian. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka pengisian air dilakukan
maksimal 5% untuk sekali pengisian air di tiap petak tambak. Dalam rentang 15
hari, pengisian 1 hari langsung dengan persentase 5% atau pengisian 2 hari dengan
persentase total 10%, maka standar penggantian air pada bulan ke-1 dapat
terpenuhi. Dalam rentang 7 hari, penggantian dilakukan pengisian 1 hari langsung
dengan persentase 5% atau pengisian 2 hari dengan persentase total 10%, maka
standar penggantian air pada bulan ke-2 dapat terpenuhi. Dalam rentang 7 hari,
penggantian dilakukan dengan melakukan 2 hari pengisian dengan persentase total
10% atau dengan melakukan 3 hari pengisian dengan persentase total 15%, maka
standar penggantian air pada bulan ke-3 dapat terpenuhi. Dalam rentang 5 hari,
dilakukan pengisian 3 hari dengan persentase total 15%, maka standar penggantian
air pada bulan ke-4 dapat terpenuhi.
Berdasarkan umur udang, penggantian air di petak tambak akan berbeda. Semakin
tua umur udang maka semakin banyak volume penggantian airnya dan semakin
sering penyiphonan dan penggantian air tambak. Dengan standar pemeliharaan
udang vannamei dapat terpenuhi maka produktifitas udang akan semakin
meningkat.
9
389
karena perbedaan salinitas, maka pengelola perlu mempertimbangkan banyak
volume dan konsentrasi salinitas air pasok.
2. Penggantian air
Penggantian air pada petak terjauh dengan volume 15% membutuhkan waktu
hampir 24 jam dengan konsentrasi salinitas konstan. Pengisian air disesuaikan
dengan kondisi pasang surut di lokasi studi sehingga hanya mampu mengalirkan
air laut selama + 8 jam. Membutuhkan waktu 3 hari untuk mampu meningkatkan
konsentrasi salnitas air pada petak tambak sesuai standar optimum.
Rekomendasi
Rekomendasi dari penelitian ini adalah peneliti diharapkan melakukan pendekatan
koefisien dispersi untuk sebaran salinitas kemudian melakukan verifikasi dengan
data pengukuran di lapangan. Selain itu, Program HEC-RAS sulit melakukan
simulasi dengan kondisi saluran tidak ada air. Sehingga, peneliti melakukan
simulasi untuk mendapatkan kondisi awal terlebih dahulu. Kondisi awal adalah
kedalaman awal di petak tambak sebelum adanya pengisian air pasok. Kondisi awal
digunakan untuk mendapatkan parameter hidraulik di sepanjang saluran pembawa.
REFERENSI
BSN, 2006. SNI 01-7246-2006, Produksi Udang Vaname (Litopenaeus vannamei)
di Tambak dengan Teknologi Intensif, Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.
Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP), 2007. Penerapan Best
Management Practices (BMP) pada budidaya udang windu (penaeus monodon
fabricius) intensif, Departemen Kelautan Dan Perikanan Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya BBPBAP Jepara, Jepara.
FAO, 2006. Cultured Aquatic Species Information Programme Penaeus vannamei.
http://www.fao.org/fishery/culturedspecies/Litopenaeus_vannamei/en.
[diakses 4 Februari 2014].
Ray, Lala I.P dkk. 2013. Temporal Variation of Water Quality Parameters ini
Intensively IMC Cultured Lined Pond. UACVM IASI, Faculty of Animal
Sciences. Vol. 52(14).
US Army Corps of Engineers, 2010a. HEC-RAS River Analysis System: Hydraulic
Reference Manual, Hydrologic Engineering Center.
US Army Corps of Engineers, 2010b. HEC-RAS River Analysis System: User’s
Manual, Hydrologic Engineering Center
10
390
ALOKASI AIR UNTUK PENGELOLAAN DAS
Agus Purwadi, Agus Surawan, dan Agung Suseno*
BWRM WISMP II IBRD 8027 ID Jateng & DIY
*agung.suseno@hotmail.co.id
Intisari
Pengelolaan Sumber Daya Air pada setiap Wilayah Sungai (WS) di masing
masing Daerah Aliran Sungai (DAS) berdasarkan Konsep Pola dan Rencana yang
Pembangunan-nya meliputi program : (1) Konservasi, baik Vegetative maupun
Teknis, (2) Pemanfaatan, khususnya Irigasi dan Pelayanan Air Baku, (3)
Pengendalian Daya Rusak Air (4) Sistem Informasi SDA dan (5)Pembinaan
Kelembagaan. Alokasi Air untuk Pengelolaan DAS disini adalah kegiatan pasca
Pembangunan. Studi Kasus ini membahas bahwa Alokasi Air tidak secara partial
hanya ada di Jaringan Irigasi saja, tetapi meliputi Neraca Air dalam 1 DAS dan
interkoneksi antar DAS bila dimungkinkan. Pada saat ini dunia sedang
dihadapkan pada kelangkaan air akibat pemanasan global dan perubahan cuaca
global, berakibat yang sering terjadi kekurangan air untuk rumah tangga, kota,
industri, minum, Irigasi, PLTA, Tambak dan sebagainya. Upaya global juga sudah
dilakukan dimana pada akhir Tahun 2015 salah satu program pembangunan dunia
“Milenium Development Goals” (MDGs) sudah berakhir dan digantikan program
pembangunan baru yang bernama “Sustainable Development Goals” (SDGs)
dengan 17 tujuan (Goal’s) diantaranya adalah : Untuk menjamin ketersediaan dan
pengelolaan air serta sanitasi yang berkelanjutan bagi semua orang dalam 8
sasaran (targets), disini intinya adalah Hak Guna Air dan Alokasi Air.
Keuntungan (benefit) Pengelolaan Sumber Daya Air bisa diperoleh secara
optimal, apabila dilakukan Operasi dan Pemeliharaan didukung analisa
perhitungan hidrologi dan hidrolika yang handal pada kegiatan Alokasi Air.
Kata Kunci: Alokasi Air, Optimalisasi Benefit, Pengelolaan DAS
LATAR BELAKANG
Pendahuluan.
Pembatalan UU No 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, untuk sementara kita
kembali menggunakan UU No. 11 tahun 1974 tentang Pengairan, tindak lanjut
jangka pendek mulai tahun 2015 ; segera menyusun RUU tentang SDA guna
memperbaharui UU No. 11 tahun 1974 tentang Pengairan, seperti diketahui M.K.
mensyaratkan 6 Prinsip Dasar Pembatasan Pengelolaan Sumber Daya Air yaitu :
1. Pengusahaan atas air tidak boleh mengganggu, mengesampingkan, apalagi
meniadakan hak rakyat atas air;
2. Negara harus memenuhi hak rakyat atas air. Akses terhadap air adalah salah
satu Hak Asasi Tersendiri;
3. Kelestarian lingkungan hidup, sebagai salah satu Hak Asasi Manusia, sesuai
dengan Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945;
4. Pengawasan dan pengendalian oleh negara atas air sifatnya mutlak;
1
391
5. Prioritas utama yang diberikan pengusahaan atas air adalah BUMN atau
BUMD;
6. Pemerintah masih dimungkinkan untuk memberikan izin kepada usaha swasta
untuk melakukan pengusahaan atas air dengan syarat-syarat tertentu :
a) Kebijakan setelah kembali ke UU No.11/1974 ttg Pengairan dengan
Juknis PP No.22/1982 Ttg Pengelolaan Sumber Daya Air Bab V
Penggunaan Sumber Air, Bagian Satu Prioritas Penggunaan Air dan atau
Sumber Daya Air; Pasal 13 ayat (1) Air minum merupakan prioritas
utama atas semua kegunaan air lainnya.
b) Alokasi Air yang ditentukan dalam izin yang diberikan oleh negara
secara ketat, termasuk diantaranya pengaturan kegiatan : Pengeringan
dalam Rencana Alokasi Air Tahunan (RAAT) dan Rencana Alokasi Air
Rinci (RAAR) mengikuti Pola dan Rencana Tata Tanam sesuai SK
Bupati ybs tiap tahun.
c) Alokasi Air berguna untuk evaluasi dalam memberikan rekomendasi
teknik bila ada usulan rencana pengembangan, pendayagunaan dan
pemanfaatan sumberdaya air per Sub DAS di suatu DAS.
Kajian Pustaka.
Surat Edaran Dir Jend SDA No : 04/SE/D/2012 tanggal 30 April 2012 Perihal
Petunjuk Teknis Penyusunan Neraca Air dan Penyelenggaraan Alokasi Air,
berdasarkan derivate UU No. 7 Tahun 2008 Tentang SDA walaupun sudah
dibatalkan oleh MK, namun masih relevan diadopsi yaitu PP 42/2008 Tentang
Pengelolaan SDA ; Pasal 43 Ayat (3) Butir a. operasi prasarana sumber daya
air yang terdiri atas kegiatan pengaturan, pengalokasian, serta penyediaan air
dan sumber air; dan Pasal 71 Ayat(3) Rencana penyediaan sumber daya air
terdiri atas rencana penyediaan sumber daya air tahunan dan rencana
penyediaan sumber daya air rinci, dan Ayat (4) Penyusunan rencana penyediaan
sumber daya air tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus
memperhatikan ketersediaan air pada musim kemarau dan musim hujan.
Kebijakan setelah kembali ke UU No.11/1974 ttg Pengairan dengan Juknis PP
No.22/1982 Ttg Pengelolaan Sumber Daya Air Bab V Penggunaan Sumber Air,
Bagian Satu Prioritas Penggunaan Air dan atau Sumber Daya Air; Pasal 13 ayat
(1) Air minum merupakan prioritas utama atas semua kegunaan air lain nya
Landasan Theori
Alokasi Air sangat diperlukan untuk menghindari dampak negatip akibat
pemaksaan Penggunaan Air untuk memenuhi Kebutuhan yg tidak sesuai daya
dukung Ketersediaan Air di suatu Daerah Aliran Sungai (DAS), untuk itu perlu
diciptakan kesepahaman sebagai solusi tanpa merugikan semua pengguna
terutama kegiatan Tata Olah Tanam di pihak petani, justru bisa untuk
Meningkatkan Ketahanan Air Nasional Dalam Menunjang Kedaulatan Pangan
dengan mematuhi Pola dan Rencana Tata Tanam per wilayah Kabupaten yang
telah disahkan Bupati untuk digunakan untuk penetapan Rencana Alokasi Air
Tahunan (RAAT) dan Rencana Alokasi Air Rinci (RAAR) 2 mingguan atau 10
harian dalam pengelolaan layanan di masing2 DAS, dengan mempertimbangkan
2
392
1. Ketersediaan Air per Sub DAS di suatu DAS.
2. Kebutuhan Air per Node Sub DAS di suatu DAS.
3. Neraca Air per Sub DAS di suatu DAS dan supplesi antar DAS bila
dimungkinkan, dengan Simulasi Alokasi Air per Periode didukung analisa
perhitungan hidrologi dan hidrolika yang handal pada kegiatan Alokasi Air.
METODOLOGI STUDI
Metodologi studi Alokasi Air Untuk Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)
pada dasarnya diperlukan untuk Prinsip kerja pengembangan model untuk
Perencanaan alokasi air dengan simulasi berdasar data historis seperti data aliran,
data hujan dan data klimatologi serta kebutuhan air saat ini maupun proyeksi
kebutuhan air pada tahun-tahun mendatang.
Simulasi bertujuan untuk mengevaluasi berbagai skenario guna mendapat alokasi
air yang optimal. Kegunaannya termasuk untuk evaluasi dalam memberikan
rekomendasi teknik bila ada usulan rencana pengembangan, pendayagunaan dan
pemanfaatan sumberdaya air. Alokasi Air Untuk Pengelolaan DAS perlu disiplin
ilmu hidrologi dan hidrolika, dimana data yang diolah dari satu titik pantau
(control point node) di suatu properti DAS, selain debit persatuan waktu,
konsentrasi sedimen indikator kerusakan Sub DAS, konsentrasi limbah (polution)
sesuai kesepakatan sasaran SDGs : Untuk menjamin ketersediaan dan pengelolaan
air serta sanitasi yang berkelanjutan bagi semua orang.
3
393
2. Perhitungan Kebutuhan Air.
a) Inventarisasi dan perhitungan kebutuhan air suatu DAS
b) Inventarisasi dan perhitungan kebutuhan air global per Sub DAS
c) Pola dan Rencana Tata Tanam per Wilayah
d) Penyusunan Rencana Alokasi Air Tahunan (RAAT)
3. Penetapan Control Point: Inventarisasi simpul pengambilan air di Sungai
Utama (Orde 1) maupun di Sub DAS (Orde 2 – 3 dst) untuk pembuatan
Skematisasi Alokasi Air
4. Simulasi Rencana Alokasi Air Rinci (RAAR) Per Control Point: Form A.1 –
A.9 SE Dir Jend SDA No. 04/SE/D/2012 Tgl 30 April 2012 Tentang
Petunjuk Teknis Penyusunan Neraca Air dan Penyelenggaraan Alokasi Air.
5. Monitoring Evaluasi Penetapan Prioritas Alokasi Air.
(2)
agar nilai varian sampel mendekati varian populasi, rumus nilai varian
menjadi:
(3)
dimana: s2 : varian ; s : standar deviasi (simpangan baku) ; xi : nilai x ke-i ;
x : rata-rata ; n : jumlah data ; s : standar deviasi
4
394
(4)
Penentuan data Tahun Basah Tahun Normal dan Tahun Kering
Tahun Basah = Data Tahun Normal + ½ Deviasi Standar
Tahun Kering = Data Tahun Normal - ½ Deviasi Standar
;
dengan I : masukan; O : keluaran ; ΔS adalah perubahan tampungan (delta
storage), formula secara rinci
5
395
d. Pembangkitan Data Debit Berdasarkan Prediksi BMKG.
Pembangkitan data debit berdasarkan hasil prediksi musim untuk tahun yad
dari BMKG Pada setiap tahun BMKG menerbitkan buku perkiraan musim
kemarau maupun musim hujan untuk tahun yad di Indonesia berisi tentang:
1) Fenomena yang mempengaruhi iklim di Indonesia (El Nino dan La Nina,
Dipole Mode, Sirkulasi Monsun Asia – Australia, Daerah Pertemuan Angin
Antar Tropis (Inter Tropical Convergence Zone/ITCZ), Suhu Permukaan
Laut di Wilayah Indonesia)
2) Awal” Musim Kemarau atau musim hujan” di berbagai daerah pada setiap
pulau di Indonesia
3) Prakiraan Hujan Kumulatif selama musim kemarau dan musim hujan.untuk
setiap pulau di Indonesia
4) Berdasarkan data hasil prediksi dari BMKG seperti tergambar dibawah ini
dan dengan didukung analisa transformasi dari hujan menjadi debit, dapat
diperoleh data estimasi ketersediaan air untuk periode yang akan datang.
6
396
Perhitungan ketersediaan air dengan teknik peramalan debit tersebut adalah
sebagai berikut :
1). Metode Running.
a) Metode Running (yang sedang berjalan) ini menganggap bahwa debit aliran
sungai selama periode dua minggu atau 10 harian mendatang adalah sama
dengan debit saat ini. Metode ini dinamakan juga sebagai “Metode Yang
Lalu” sebagai Metode ini adalah yang paling sederhana yaitu dengan cara
meramalkan debit untuk periode yang akan datang adalah sama dengan
data debit rata-rata selama periode saat.
b) Metode ini cocok untuk dipergunakan meramal debit pada musim
kemarau dimana pengaruh curah hujan relatif kecil, atau perubahan debit
aliran relatif konstan.
c) Metode ini menganggap bahwa debit aliran sungai selama periode dua
minggu atau 10 hari mendatang adalah sama dengan debit saat ini. Metode
ini dinamakan juga sebagai “Metode Yang Lalu”.
2). Metode Kurva Resesi.
a) Metode ini berdasarkan pada teori debit aliran musim kemarau dan pada
saat tersebut tidak turun hujan maka aliran dasar yang akan menurun
secara eksponensial.
b) Metode Kurva Resesi merupakan aplikasi dari teori hidrologi bahwa debit
aliran musim kemarau dimana tidak terjadi hujan, merupakan aliran dasar
yg akan menurun secara eksponensial menurut persamaan resesi :
Qt = Q0 e-kt
dengan: Qt : debit aliran pada saat t (m3/detik)
Q0 : debit aliran pada saat ini (m3/detik)
t : waktu (hari)
k : konstanta koefisien resesi
c) Dari data historis beberapa tahun yang lalu, dapat diperkirakan besarnya
koefisien k , dan untuk selanjutnya koefisien k ini dapat digunakan untuk
meramalkan debit aliran dua minggu mendatang.
d) Langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah sbb:
(1). Tahap perhitungan parameter.
(a) Dalam 1 tahun data perlu digambarkan grafik time series debit
agar dapat menentukan awal dan akhir periode resesi,
digambarkan dengan skala semilogaritma agar grafik dapat
tergambar lebih jelas seperti terlihat pada Gambar 4.
(b) Tentukan koefisien resesi dengan cara menggunakan persamaan
diatas, untuk dua kondisi yaitu debit pada awal dan debit pada
akhir musim kemarau sehingga diperoleh nilai k
(c) Lakukan hal yang sama untuk tahun data yang lainnya dan
ambil nilai koefisien resesi k rata-ratanya.
(2). Tahap peramalan
(a) Gunakan nilai k tersebut untuk meramalkan debit aliran sungai
pada jangka waktu mendatang
(b) Jika tidak tersedia cukup data (hanya tersedia satu tahun data),
cukup digunakan nilai koefisien k dari data tersebut.
7
397
1000
100
10
Periode Resesi
8
398
Kebutuhan Air.
Laporan Penelitian Kebutuhan Air Di Indonesia Study FIDEP JICA 1993 ;
Review Balai Hidrologi Tata Air Puslitbang SDA Kem. PUPR, 2011. Kebutuhan
air untuk Irigasi dan Non Irigasi hendaknya disepakati terlebih dahulu dengan
konsensus dalam agenda rapat TKPSDA, membahas perhitungan Kebutuhan Air
untuk berbagai keperluan antara lain :
1. Kebutuhan air untuk irigasi(Padi, Palawija) 2 mingguan atau Dasa harian.
2. Kebutuhan air baku untuk Air Minum Domestik dan Industri
3. Kebutuhan Non Irigasi lainnya ; perikanan, peternakan dsb.
4. Kebutuhan air untuk pemeliharaan sungai untuk menjaga kelestarian aneka
ragam hayati dalam sumber air, perlu ketersediaan debit sungai/debit minimum
di sungai secara teknis ditentukan besaran Debit Pemeliharaan Sungai = Q 95
%
Neraca Alokasi Air.
Neraca pada Alokasi Air adalah perimbangan Ketersediaan dan Kebutuhan Air
pada Node yang paling hilir. Contoh, DAS Serayu ada di Bendung Gerak Serayu
dengan layanan Daerah Irigasi 21.000 Ha Kebutuhan Air 23,10 m3/dt.
Ketersediaan Air pada bulan paling kering September 25,40 m3/dt didapat Faktor
K = 1,1 > 1 disimpulkan Alokasi DAS Serayu Tidak Terjadi Defisit sepanjang
tahun.
SEP 1 DAS SERAYU
SINGOMERTO
50,00
40,00
Bd. SINGOMERTO
30,00
29,51 5,65 20,00
DI Singomerto
5863 Ha 10,00
Qs 23,86 5,65 m3/dt
Sungai Serayu
9
399
Rekomendasi
1. Pelaksanaan Alokasi Air bisa memanfaatkan Hujan Efektif, untuk melakukan
penetapan Neraca Air mengikuti Pola dan Rencana Tata Tanam serta
pergeseran adjustment pelaksanaan “Pengeringan” tidak harus ditetapkan
hanya pada akhir Musim Tanam (MT) III, untuk menghindari terlambatnya
kegiatan pelaksanaan O&P.
2. Peran Sekretariat TKPSDA
a). Membahas Dokumen Rencana Alokasi Air Tahunan (RAAT) yang
disiapkan oleh BBWS/ BWS/ BPSDA
b). Menyimpulkan hasil pembahasan dalam sidang sidang TKPSDA.
c). Memfasilitasi Konflik antar Stake holder / Pengguna Air
d). Merekomendasi usulan RAAT dan Prioritas Alokasi Air berdasarkan
Realisasi Alokasi Air Rinci DAS suatu WS.
REFERENSI
Dit Jend SDA, 1986. Standar Perencanaan Irigasi KP-01.
Balai Hidrologi Tata Air Puslitbang SDA Kementerian PUPR, 2011. Laporan
Penelitian Kebutuhan Air di Indonesia Study FIDEP JICA 1993 ; Review
Balai Hidrologi Tata Air Puslitbang SDA Kementerian PUPR, 2011.
Dir Jend SDA, 2012. Surat Edaran Dir Jend SDA No. 04/SE/D/2012 Tgl 30 April
2012 Ttg Petunjuk Teknis Penyusunan Neraca Air dan Penyelenggaraan
Alokasi Air.
Kementerian PUPR RI, 2015. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat Republik Indonesia No. 17/PRT/M/2015 Tgl 21 April
2015 Ttg Komisi Irigasi
Kementerian PUPR RI, 2015. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat Republik Indonesia No. 14/PRT/M/2015 Tgl 28 April
2015 Tentang Kriteria Dan Penetapan Status Daerah Irigasi.
Kementerian PUPR RI, 2015. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat Republik Indonesia No. 12/PRT/M/2015 Tgl 16 April
2015 Tentang Eksploitasi Dan pemeliharaan Jaringan Irigasi.
Kementerian PUPR RI, 2015. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat Republik Indonesia No. 10/PRT/M/2015 Tgl 6 April
10
400
PENYELAMATAN DANAU KASKADE MAHAKAM
UNTUK MENDUKUNG KETAHANAN AIR DI DAS MAHAKAM
Mislan1*, Arief Rachman2, Sandy Eriyanto2, dan Eko Wahyudi3*
1
FMIPA Universitas Mulawarman/HATHI Cabang Kalimantan Timur
2
BWS Kalimantan III Ditjen SDA Kementerian PUPR/
HATHI Cabang Kalimantan Timur
3
HATHI Cabang Kalimantan Timur
* airmasadepan@yahoo.co.id, sukir_87@yahoo.com
Intisari
Danau Kaskade Mahakam merupakan kawasan paparan banjir dari DAS
Mahakam, memiliki luas sekitar 80.000 ha dan berperan penting secara sosial,
ekonomi dan lingkungan bagi Provinsi Kalimantan Timur. Sebagai salah satu dari
15 prioritas danau nasional, Danau Kaskade Mahakam menghadapi berbagai
permasalahan, diantaranya meningkatnya lahan krits di daerah tangkapan air,
erosi-sedimentasi, pencemaran air, banjir, hilangnya vegetasi perairan danau,
meningkatnya limbah rumah tangga dan sampah. Kondisi memburuknya kualitas
lingkungan Danau Kaskade Mahakam akan mengancam ketahanan air, dan
membutuhkan pemecahan segera yang kompehensif melalui upaya penyelematan
yang harus didukung oleh seluruh pemangku kepentingan. Tulisan ini bersumber
utama pada: (1) hasil review berbagai penelitian, (2) hasil koordinasi pengelolaan
kolaboratif penyelamatan kawasan Danau Kaskade Mahakam, dan (3) dan
observasi lapangan, yang sebagian besar penulis berperan dalam kegiatan-
kegiatan tersebut. Data disajikan secara deskriptif menggunakan peta, tabel dan
grafik, dan selanjutnya program/kegiatan yang dirumuskan disajikan ke dalam
bentuk matrik. Tulisan ini diharapkan menjadi media untuk memperkuat inisiasi,
komitmen dan keterpaduan dalam penyelamatan Danau Kaskade Mahakam, dan
menyepakati bersama program/kegiatan yang akan dijalankan termasuk dalam
pembiayaannya. Penyelamatan Danau Kaskade Mahakam sangat penting untuk
mempertahankan ketahanan air di DAS Mahakam.
Kata Kunci: penyelamatan danau, Danau Kaskade Mahakam, ketahanan air.
PENDAHULUAN
Danau Kaskade Mahakam, terletak di bagian tengah Daerah Aliran Sungai
Mahakam (DAS Mahakam) di Provinsi Kalimantan Timur. Keseluruhan memiliki
luas sekitar 80.000 Ha dengan daya tampung 2,4 Milyar m3. Terdiri dari 17 danau
dengan tiga danau terpenting (besar) yaitu Danau Jempang (15.000 ha), Danau
Semayang (13.000 ha), Danau Melintang (11.000 ha), dan danau-danau kecil
lainnya (Danau Prian, Danau Tempatung, Danau Wis, dan lainnya). Kawasan
danau ini merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem aliran Sungai Mahakam
sehingga kawasan danau ini juga disebut kawasan danau paparan banjir yang
bertipe eutrofik, berlantai lumpur dan berpasir, yang berperan sebagai kawasan
1
401
retensi banjir Sungai Mahakam (Mislan dan Maliki, 2009; Kementerian
Lingkungan Hidup, 2011). Danau Kaskade Mahakam memiliki fungsi yang
sangat penting secara lingkungan, ekonomi dan sosial bagi masyarakat Provinsi
Kalimantan Timur. Dari segi lingkungan, selain sebagai kawasan retensi banjir
Sungai Mahakam, Danau Kaskade Mahakam memiliki keanakeragaman hayati
yang tinggi, diantaranya terdapat 86 jenis ikan tawar, 125 jenis burung, 24 jenis
mamalia dan 16 jenis reptilia dan amphibia serta 300 jenis pohon (Sutedjo dan
Boer, 2003 dalam BWS Kalimantan III, 2006). Dari segi ekonomi, menyumbang
pendapatan sekitar Rp. 75 milyar/tahun dari budidaya perikanan, belum terhitung
pendapatan lainnya seperti pertanian, perkebunan, dan hasil non kayu kehutanan.
Kawasan Danau Kaskade Mahakam dihuni oleh sekitar 81.553 jiwa yang tersebar
dalam 6 kecamatan. Dari jumlah tersebut 20% tinggal di dalam danau atau alur
sungai danau dengan rumah bertiang (Kementerian Lingkungan Hidup, 2011;
Dinas PU Kalimantan Timur, 2012). Begitu pentingnya kawasan Danau Kaskade
Mahakam secara lingkungan, ekonomi dan sosial bagi masyarakat Provinsi
Kalimantan Timur maka dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
Kalimantan Timur (RTRW Provinsi Kaltim), Danau Kaskade Mahakam
ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Provinsi (KSP). Dengan status sebagai
Kawasan Strategis Provinsi (KSP) dan menjadi danau prioritas nasional maka
Danau Kaskade Mahakam wajib mendapat perhatian dan upaya dari seluruh
pemangku kepentingan agar daya dukung lingkungannya tetap terjaga dan mampu
memberikan dukungan kehidupan bagi masyarakat Provinsi Kalimantan Timur.
Seperti danau-danau prioritas lainnya di Indonesia, Danau Kaskade Mahakam
juga mengalami degradasi lingkungan (Haryani, 2013), dan ditetapkan sebagai
salah satu danau prioritas nasional (Kementerian Lingkungan Hidup, 2012).
Sebagai ekosistem, Danau Kaskade Mahakam saat sekarang menghadapi
permasalahan pendangkalan, berkembang pesatnya gulma air, pencemaran,
kekeringan, banjir, rusaknya daerah tangkapan air, rusak dan hilangnya vegetasi
perairan, penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, hilangnya reservat ikan,
peningkatan jumlah penduduk, dan sebagainya. Permasalahan-permasalahan
tersebut diperkirakan terus meningkat dan akan menyebabkan kerugian yang
sangat besar secara ekonomi, lingkungan dan sosial (Mislan dan Maliki, 2009;
Mislan, 2012). Peranan danau yang multifungsi serta pemanfaatan yang tak
terkendali menyebabkan timbulnya permasalahan yang sangat mengancam
eksistensi danau, terutama dari tinjauan ketahanan air. Ketahanan air dapat
digambarkan sebagai kondisi dari keterpenuhan air yang layak dan yang
berkelanjutan untuk seluruh kehidupan, serta kemampuan mengurangi risiko yang
diakibatkan oleh air (Bappenas, 2014; UN-WATER, 2013). Dalam perspektif
ketahanan air dalam DAS, penurunan kemampuan menyimpan air di dalam danau
akan meningkatkan kejadian banjir dan kekeringan di sungai, perubahan tinggi
muka air yang cepat akan mempengaruhi kualitas air, dan berdampak signifikan
terhadap ketersediaan air. Perubahan iklim merupakan faktor yang diperkirakan
akan meningkatkan tekanan pada lingkungan perairan darat yang mengakibatkan
perubahan kemampuan produktivitasnya, kualitas dan kuantitas air, hingga
bencana keairan dalam beberapa dekade mendatang (Haryani, 2013 dan Coats, et.
al, 2010). Danau-danau yang terkoneksi dengan sungai akan terputus akibat
2
402
musim kemarau yang panjang, yang mengakibatkan ekosistem akan terganggu
dan akan berimplikasi terhadap penurunan produktivitas perikanan.
Mengingat pentingnya Danau Kaskade Mahakam dan permasalahan yang terjadi
maka sudah saatnya dilakukan penyelamatan. Diperlukan komitmen yang tinggi,
kerja keras, koordinasi dan kerjasama yang kuat serta manajemen pengelolaan
yang tepat dalam mempertahankan dan memulihkan daya dukung lingkungan
Danau Kaskade Mahakam. Untuk mewujudkan upaya tersebut diperlukan
kampanye publik secara terus menerus, sehingga isu-isu tentang pengelolaan
Danau Kaskade Mahakam mendapat perhatian dan dukungan dari para pemangku
kepentingan terutama para pengambil keputusan di Pemerintah (terutama
Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian
Kehutanan), Pemerintah Provinsi Kaltim, Pemerintah Kab. Kutai Kartanegara dan
Pemerintah Kab. Kutai Barat. Upaya penyelamatan Danau Kaskade Mahakam
dilakukan dengan mempertahankan, melestarikan dan memulihkan fungsi danau
berdasarkan prinsip keseimbangan ekosistem dan daya dukung lingkungan
ditempuh melalui tujuh strategi, yaitu (1) pengelolaan ekosistem danau, (2)
pemanfaatan sumberdaya air danau, (3) pengembangan sistem monitoring, (4)
evaluasi dan informasi danau, (5) penyiapan langkah-langkah adaptasi dan
mitigasi perubahan iklim terhadap danau, 6) pengembangan kapasitas,
kelembagaan dan koordinasi, peningkatan peran masyarakat, dan (7) pendanaan
berkelanjutan. Dalam dimensi ketahanan air, penyelamatan Danau Kaskade
Mahakam mencakup 5 (lima) dimensi, yaitu: (1) keterpenuhan air untuk
kehidupan sehari-hari bagi masyarakat, (2) keterpenuhan air untuk kebutuhan
sosial dan ekonomi produktif, (3) terpelihara dan terpulihkannya sumber air dan
ekosistemnya, (4) ketangguhan masyarakat dalam mengurangi risiko daya rusak
air termasuk perubahan iklim, dan (5) kelembagaan dan tatalaksana yang mantap.
Tulisan ini diharapkan menjadi media untuk memperkuat inisiasi, komitmen dan
keterpaduan dalam penyelamatan Danau Kaskade Mahakam, dan menyepakati
bersama program/kegiatan yang akan dijalankan termasuk dalam pembiayaannya.
Penyelamatan Danau Kaskade Mahakam sangat penting untuk mempertahankan
ketahanan air di DAS Mahakam.
METODOLOGI STUDI
Tulisan ini bersumber utama pada: (1) hasil review berbagai penelitian, (2) hasil
koordinasi pengelolaan kolaboratif penyelamatan kawasan Danau Kaskade
Mahakam, dan (3) dan observasi lapangan, yang sebagian besar penulis berperan
dalam kegiatan-kegiatan tersebut. Data disajikan secara deskriptif menggunakan
peta, tabel dan grafik, dan selanjutnya program/kegiatan yang dirumuskan
disajikan ke dalam bentuk matrik.
3
403
rawa-rawa Kutai (Kutai basin and Swamps) berupa lahan basah dengan luasan
mencapai 400.000 ha. Lokasi penelitian memiliki ciri iklim hutan hujan tropis
humida dengan curah hujan berkisar antara 2.000-4.500 mm per tahun.
Temperatur udara minimum rata-rata 21°C dan maksimum 34°C dengan
perbedaan temperatur siang dan malam antara 5°-7°C. Temperatur minimum
umumnya terjadi pada bulan Oktober sampai Januari, sedangkan temperatur
maksimum terjadi antara bulan Juli sampai dengan Agustus. Kelembaban udara
rata-rata mencapai 86 % dengan kecepatan angin rata-rata 5 knot perjam. Data
curah hujan selama 5 tahun dari tahun 1994-2010 mencatat bahwa rata-rata curah
hujan mencapai 2060,2 mm per tahun.
Di danau paparan banjir, air yang masuk ke danau dapat berasal dari aliran sungai
dari daerah tangkapan airnya, dan juga dari sungai utama melalui inlet dan keluar
melalui outlet berupa sungai. Dalam musim kering, air di danau paparan banjir
akan terkumpul pada alur sungai dan terbentuklah dataran dan rawa-rawa di
sekitarnya. Untuk pengukuran luas genangan, bantaran danau, dan sempadan
maka perbedaan tinggi dan luas genangan pada saat musim hujan dan musim
kering harus menjadi perhatian, terutama sifat datarnya lahan di kawasan danau.
Kawasan Danau Kaskade Mahakam dilalui oleh 7 daerah aliran sungai yaitu S.
Enggelam, Sungai Mahakam, Sungai Kahala, Sungai Ohong, Sungai Kedang
Pahu, Sungai Belayan dan Sungai Bongan. Aliran sungai dalam sistem aliran
sungai di Danau Kaskade Mahakam sangat dinamis, ada yang memiliki aliran
sungai satu arah (sungai yang besar seperti Sugai Belayan, Sungai Kahala, Sungai
Kedang Pahu, dan sebagainya), dan ada yang memiliki aliran dua arah (inlet-
outlet seperti Sungai Kedang Kepala, Sungai Batu Bumbun, dan sebagainya).
Permasalahan di Danau Kaskade Mahakam
Memperhatikan pentingnya keberadaan ekosistem danau dari sudut lingkungan,
ekonomi dan sosial (ekologi, tata air, perubahan iklim mikro, penghasil
sumberdaya hayati, dan kehidupan sosial budaya masyarakat), maka sudah
4
404
seharusnya ekosistem danau dijaga dayadukung lingkungannya melalui
pengelolaan ekosistem danau yang berkelanjutan.
Ekosistem danau merupakan bagian dari daerah aliran sungai (DAS). Sehingga
pengelolaan ekosistem danau harus terintegrasi dalam pengelolaan daerah aliran
sungai (DAS) yang melingkupinya. Oleh karena itu dalam merumuskan
permasalahan pengelolaan ekosistem danau dapat mengacu pada perumusan
masalah pengelolaan daerah aliran sungai (DAS). Beberapa masalah di daerah
aliran sungai (DAS) seperti di bawah ini dapat terjadi di ekosistem danau dalam
bentuk dan intensitas yang berbeda, diantaranya: (1) Masalah pemanfaatan
sumberdaya alam (hayati dan non hayati) yang berlebihan dengan cara yang
merusak, (2) Pencemaran yang diakibatkan adanya buangan minyak, pupuk,
pestisida atau pencemaran bahan buangan padat, (3) Sedimentasi yang berlebihan,
sebagai akibat erosi daerah aliran sungai (DAS) atau sekitar kawasan danau.
Proses ini dapat dipercepat dengan adanya kegiatan manusia berupa penebangan
hutan di DAS atau pengolahan lahan secara tidak benar, (4) Memasukkan spesies
tumbuhan atau hewan baru (eksotik) yang dapat mengganggu keseimbangan
ekosistem dan memusnahkan spesies asli (endemik), (5) Konversi lahan menjadi
lahan pertanian, permukiman, dan sejenisnya sebagai akibat dari peningkatan
jumlah penduduk, (6) Terjadinya eutrofikasi pada perairan dan pertumbuhan
gulma air yang dapat menurunkan kualitas lingkungan perairan, (7) Tidak jelasnya
status lahan dan pengelola (kepemilikan, rencana pengelolaan dan payung
hukum) sehingga tidak tersedia ruang pemecahan masalah yang efektif saat
terjadinya konflik, bencana alam dan kerusakan, (8) Terjadinya masalah banjir
dan kekeringan, yang terjadi secara musiman, (9) Perubahan sosial dan budaya
masyarakat yang tidak sesuai dengan karakteristik lingkungan setempat, (10)
Rendahnya sumberdaya manusia dan akses terhadap pendidikan, dan kesehatan.
Masalah tersebut saling terkait dan mempengaruhi sehingga dapat bersifat
akumulatif.
Permasalahan tersebut di atas, dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut: (1)
Masalah fisiografik, masalah yang berkaitan dengan penggunaan lahan (prediksi
erosi), lereng terjal, hujan lebat, limpasan permukaan yang berlebihan, kesuburan
dan produktivitas yang menurun, dan sebagainya, (2) Masalah pemanfaatan
sumberdaya, masalah yang berkaitan dengan perusakan/pembakaran hutan,
perladangan berpindah, penggembalaan, pertambangan, perikanan, pertanian, dan
sebagainya, (3) Masalah proses/mekanisme akhir, masalah yang berkaitan dengan
pendangkalan/sedimentasi, banjir dan kekeringan, polusi/pencemaran air,
eutrofikasi, dan sebagainya, dan (4) Masalah sosial ekonomi budaya masyarakat,
masalah yang berkaitan dengan rendahnya sumberdaya manusia, pendapatan dan
kemiskinan, persepsi, sikap dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan danau,
sistem pengetahuan lokal (SPL), hukum, dan sebagainya. Masalah-masalaha
tersebut saling terkait dan mempengaruhi sehingga dapat bersifat akumulatif.
Permasalahan di kawasan Danau Kaskade Mahakam diidentifikasi dan
diinventarisir melalui pengamatan, wawancara dan penelusuran bersama secara
partisipatif dan pertemuan konsultasi masyarakat (PKM). Permasalahan tersebut
didekati dari konsep fungsi kawasan danau, permasalahan umum dan dampak
5
405
yang ditimbulkan serta ruang laingkup konservasi sumber daya air. Konsep fungsi
kawasan danau dapat digambarkan seperti Gambar 2.
6
406
dengan didasarkan pada indikator ekosistem yang ditetapkan. Pengelolaan
ekosistem diarahkan pada upaya identifikasi dan perbaikan terhadap kerusakan
yang timbul akibat berbagai aktifitas yang terjadi saat ini, (2) keutuhan dan
keberlanjutan (Integrity & Sustainability); dimaksudkan untuk mewujudkan
kelestarian ekosistem kawasan Danau Kaskade Mahakam yang didasarkan pada
upaya menjaga keutuhan komponen ekosistem (air, udara dan daratan) secara
integral dan berkelanjutan. Implementasi dari aspek ini adalah adanya upaya
perlindungan terhadap komponen ekosistem dari kemungkinan adanya ancaman
gangguan maupun kerusakan yang mungkin timbul dari adanya berbagai aktifitas,
(3) kerangka kemitraan (Partnership Framework); dimaksudkan bahwa setiap
kegiatan pembangunan didasarkan pada prinsip-prinsip rasa memiliki (sense of
belonging), rasa tanggung jawab (sense of responsibility) dan rasa ikut
berpartisipasi (sense of participation) sehingga tercipta upaya pengawasan
bersama dalam menjaga kelestarian ekosistem kawasan Danau Kaskade
Mahakam.
Untuk mendukung ketahanan air di DAS Mahakam, maka upaya menjaga daya
tampung air, kualitas air dan ketersediaan air di Danau Kaskade Mahakam harus
dapat dilaksanakan. Upaya tersebut telah disusun melalui koordinasi pengelolaan
kolaboratif dengan program/kegiatan yang diusulkan sebagai berikut: (1)
peningkatan kelembagaan dan koordinasi pengelolaan danau, (2) penetapan Tata
Ruang Ekosistem Perairan Danau, (3) peningkatan kelembagaan dan koordinasi
pengelolaan danau, (4) penetapan tata ruang ekosistem perairan danau, (5)
pengendalian dan rehabilitasi daerah tangkapan air, (6) pengelolaan kualitas air
dan pengendalian pencemaran air, (7) pengen-dalian erosi-sedimentasi, (8)
pengendalian gulma, (9) penyediaan air bersih dan sanitasi, (10) rehabilitasi
reservat, pengendalian budidaya perikanan dan pembukaan lahan, (11) revitalisasi
perikanan, (12) penanggulangan longsor, banjir dan kekeringan, (13)
pengembangan potensi perikanan, (14) perlindungan fauna endemik, (15) pember-
dayaan masyarakat dalam pengelolaan danau, dan (16) peningkatan riset
ekosistem danau.
Rumusan penyelamatan Danau Kaskade Mahakam yang terbagi ke dalam
Program Super Prioritas dan Program Prioritas yang akan akan dilaksanakan
dalam tahapan 5 tahun-an. Indikator Ouput keberhasilan program penyelamatan
Danau Kaskade Mahakam disesuaikan untuk pencapaian pada tahap 5 tahun
pertama. Pada tahap 5 tahun pertama, program penyelamatan Danau Kaskade
Mahakam baik Program Super Prioritas maupun Program Prioritas akan
diimplementasikan dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang saling bersinergis seperti
diuraikan sebagai berikut:
1. Program Super Prioritas
a) Pengembangan Kelembagaan dan Koordinasi
Kegiatan yang terkait dengan program ini adalah: 1) peningkatan kapasitas
aparatur pemerintah, koordinasi antar Pemerintah, Pemerintah Provinsi
Kaltim, Pemkab Kutai Kartanegara, Pemkab Kutai Barat, dan para
pemangku kepentingan lainnya dalam pengelolaan ekosistem Danau
Kaskade Mahakam, melalui TK-PSDA WS Mahakam dan Dewan Sumber
7
407
Daya Air Provinsi Kaltim, 2) penempatan isu strategi pengelolaan danau
dalam dokumen RTRW Provinsi/Kab/Kota, Pola Pengelolaan Sumber
Daya Air Wilayah Sungai Mahakam, Rencana Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai Mahakam, dan 3) peningkatan kapasitas dan peran para pemangku
kepentingan ekosistem danau.
8
408
pengelolaan sampah dan kualitas air terutama dari segi kesehatan, 3)
pemanfaatan limbah pengolahan ikan untuk suplemen pakan ikan, 4)
pembangunan IPAL komunal skala kecil, pengaturan pembangunan rumah
di sempadan sungai, pengaturan keramba ikan di sungai, pembuatan pakan
ikan yang ramah lingkungan, 5) pembersihan limbah kayu dan upaya
pemanfaatanya untuk bahan bakar, 6) pengaturan lokasi bengkel dan jalur
transportasi, penampungan limbah olie dan BBM cess dan longboat, dan
perawatan mesin cess dan longboat yang benar, dan 7) pemantauan
kualitas air secara online.
e) Program Super Prioritas Pemberdayaan Masyarakat
Kegiatan yang terkait dengan program ini adalah: 1) penyuluhan/pelatihan
pengelolaan kawasan danau, 2) peningkatan peran Forum Masyarakat
Danau dan LSM lainnya, 3) pembuatan plot percontohan dan stimulan
untuk revegetasi danau, 4) pembangkitan budaya lokal, 5) pembangunan
sarana-prasarana sanitasi dan evakuasi bencana, 6) pengembangan
ekonomi ramah lingkungan, 7) peningkatan kapasitas masyarakat dalam
pengurangan resiko bencana dan kesehatan, dan 8) pemanfaatan CSR.
2. Program Prioritas
Program prioritas atau program pendukung penyelamatan ekosistem
Danau Kaskade Mahakam adalah sebagai berikut:
a) Riset dan Pengembangan Sistem Informasi Danau
Kegiatan yang terkait dengan program ini adalah: 1) pengumpulan
data/informasi danau (biogeofisik dan sosial) secara lengkap dan kontinyu,
2) pembuatan peta DAS dan daerah tangkapan air, 3) pembuatan peta
karakteristik danau(biogeofisik dan sosial), 4) pembuatan peta neraca
lingkungan hidup, dan 5) melaksanakan evaluasi kondisi kawasan danau
secara periodik. Indikator capaian dari seluruh kegiatan adalah tersedianya
basis data terbaru tentang kondisi ekosistem danau yang dapat diakses oleh
berbagai pihak. Sasaran atau hasil yang diharapkan setelah implementasi
kegiatan ini adalah: memberikan informasi tentang kondisi terbaru
ekosistem danau secara biologi, geoologi, fisik, kimia, dan sosial sehingga
memudahkan mengevaluasi perubahan-perubahan yang terjadi di dalam
danau.
b) Penyelamatan Ekosistem Lahan Sempadan Danau
Kegiatan yang terkait dengan program ini adalah: 1) penetapan wilayah
sempadan danau dalam bentuk peraturan perundangan; 2) pemasangan
patok pembatas/kontrol sempadan danau; 3) inventarisasi para pemangku
kepentingan di sempadan danau termasuk jumlah penduduk dan
sebarannya; 4) pemantauan dan pembatasan ijin/hak guna usaha
pertambangan dan perkebunan kelapa sawit, dan pengendalian okupasi
lahan untuk permukiman, 5) pencegahan penebangan hutan dan pemulihan
vegetasi sempadan danau; dan 6) penyediaan peta penggunaan lahan
daerah tangkapan air dan sempadan danau secara kontinyu. Indikator
capaian dari kegiatan kegiatan ini adalah: Peraturan daerah tentang
9
409
sempadan danau, terkendalinya sempadan danau dari okupasi, terpulihnya
vegetasi di sempadan danau untuk pengendalian erosi-sedimentasi,
pengendalian kualitas air, dan tersedianya baseline tutupan lahan dan
pemanfaatan lahan di daerah tangkapan air dan sempadan danau.
c) Penyelamatan Daerah Tangkapan Air
Kegiatan yang terkait dengan program ini adalah: 1) pengendalian
pemanfaatan lahan di daerah tangkapan air, 2) revegetasi ekosistem daerah
tangkapan air, 3) pembuatan prasarana pengendalian limpasan dan erosi-
sedimentasi. Sasaran dari kegiatan ini adalah: terkendalinya pemanfaatan
lahan sesuai peruntukannya, terjaganya luas tutupan lahan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan (minimal 30% berupa hutan),
terkendalinya limpasan dan berkurangnya erosi-sedimentasi dan
pencegahan pencemaran air.
d) Rehabilitasi Reservat dan Revitalisasi Budidaya Perikanan
Kegiatan yang terkait dengan program ini adalah: 1) Revegetasi di daerah
reservat ikan, 2) Rehabilitasi kedalaman kolam reservat ikan, 3)
Pengendalian pembukaan lahan dan zero burning, 4) Pengaturan
penangkapan ikan dan peningkatan dukungan terhadap PokMas, 5)
Restocking ikan, dan 6) Pengendalian budidaya ikan invansif dan predator
terutama Ikan Toman.
e) Pengendalian sebaran dan jumlah gulma
Kegiatan yang terkait dengan program ini adalah: 1) Pengendalian sumber
pencemar terutama untuk unsur hara yang menyebab kan perairan danau
terlalu subur, 2) Pemanfaatan gulma untuk pakan sapi, pupuk kompos dan
pakan ikan, Pemanfaatan gulma eceng gondok untuk kerajinan dan biogas,
3) Penyuluhan tentang gulma dan karakteristiknya, dan 4) Penyuluhan
tentang pengelolaan kualitas air dan sampah.
f) Penanggulangan Banjir dan Kekeringan
Kegiatan yang terkait dengan program ini adalah: 1) melaksanakan
pembangunan pos hidrologi di kawasan danau terutama pos curah hujan
dan tinggi muka air, 2) penyuluhan tentang penanggulangan banjir dan
dampaknya, 3) Pembangunan rumah evakuasi untuk korban banjir
terutama untuk Desa Semayang, Tubuhan dan Desa Melintang, Desa
Jantur dan Desa Muara Ohong, 4) Melaksanakan revegetasi di sekitar
permukiman untuk perlindungan dari gelombang air, 5) Pengendalian
perubahan penggunaan lahan di kawasan permukiman, dan 6)
Pengendalian land clearing dan penerapan zero burning.
g) Pengembangan potensi pertanian
Kegiatan yang terkait dengan program ini adalah: 1) Penyuluhan kegiatan
pertanian, 2) Bantuan bibit yang sesuai dengan karakteristik lahan danau,
3) Pembangunan saluran pembuang di lahan rawa/sawah terutama di
Tubuhan dan Kahala, 4) Pemanfaatan kompos dan herbisida organik, dan
5) Pengendalian limbah pertanian setelah pasca panen untuk mengurangi
kesuburan perairan.
h) Perlindungan Fauna Endemik
10
410
Kegiatan yang terkait dengan program ini adalah: 1) Melaksanakan
penyuluhan mengenai keanekaragaman hayati khususnya fauna dan
manfaatnya dalam ekosistem danau, 2) Pengaturan kegiatan penangkapan
fauna yang ada dan pelarangan penangkapan bagi fauna yang terancam
punah dan dilindungi, 3) Melaksanakan kegiatan penangkaran, dan 4)
Pembangunan pos ekowisata untuk pemantauan burung dan pesut.
Upaya konservasi Danau Kaskade Mahakam membutuhkan komitmen yang
tinggi. Sinkronisasi wewenang tanggung jawab antara Pemerintah, Pemerintah
Provinsi Kalimantan Timur, Pemerintah Kab. Kutai Kartanegara dan Pemerintah
Kab. Kutai Barat harus dilaksanakan sehingga program/kegiatan dapat dijalankan
terpadu. Terdapat 4 kendala utama yang telah diidentifikasi terhadap pelaksanaan
konservasi tersebut, yaitu:(1) belum adanya rencana pengaturan kawasan
(termasuk zonasi), (2) kejelasan leading sector, (3) kesepakatan arah pengelolaan
dan berbagi peran, dan (4) kepastian pembiayaan.
DAFTAR PUSTAKA
Bappenas, 2014. Dokumen RPJM 2014-2019. Jakarta.
BWS Kalimantan III, 2006. Studi Konservasi Danau Semayang dan Danau
Melintang. Samarinda. 2006.
BWS Kalimantan III dan BLH Kaltim, 2013. Pengelolaan Kolaboratif Kawasan
Danau di DAS Mahakam. Samarinda.
11
411
Coats, R., Reuter, J., Dettinger, M., Riverson., Sahoo, G., Schladov., Wolf, B.,
dan Cabral, M.C., 2010. The Effects of Climate Change on Lake Tahoe in
The 21st Century: Meteorology, Hydrology, Loading and Lake Response.
Pacific Southwest Research Station, Tahoe Environmental Science Center,
291 Country Club Drive, Incline Village, NV 89451.
Dinas PU Provinsi Kalimantan Timur, 2012. Penyusunan Tata Ruang 3 Danau.
Samarinda.
Freshwater Society, 2004. Guide to Lake Protection and Management. Minnesota
Pollution Control Agency (651) 296-6300.
Haryani, G.S., 2013. Kondisi Danau di Indonesia dan Strategi Pengelolaannya.
Pusat Penelitian Limnologi-LIPI, Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan
MLI I, Cibinong 3 Desember 2013
Kementerian LH, 2011. Profil 15 Danau Prioritas Nasional. Jakarta.
Kementerian LH, 2012. Grand Design Penyelamatan Danau di Indonesia.
Jakarta.
Kreb, Daniele dan Sumaryono, 2009. Deklarasi Danau-Danau di Mahakam
Sebagai Sistem Danau dan Lahan Basah Yang Terancam. Makalah
Konferensi Nasional Danau Indonesia. Bali.
Mislan dan Maliki, A., 2009. Pengelolaan Kolaboratif Kawasan Danau. Makalah
PIT HATHI XXVI, 2009. Banjarmasin.
Mislan, 2012. Adaptasi Perubahan Iklim pada Kawasan Danau di DAS Mahakam.
Makalah PIT HATHI XXIX. Bandung.
Mislan, 2016. Respon Hidrologi sebagai Dampak Perubahan Iklim di Danau
Kaskade Mahakam. Makalah Seminar Nasional MPP-DAS II. Fakultas
Geografi UGM. Yogyakarta.
Vincent, W.F., 2009. Effects of Climate Change on Lakes. Laval University,
Quebec City, QC, Canada. Elsevier Inc. All rights reserved.
12
412
LESSON LEARNT PENGELOLAAN DAERAH SEMPADAN
SUNGAI BENGAWAN SOLO HULU DALAM MENJAGA
KELESTARIAN DAN FUNGSI SUNGAI
Suharyanto1*, Supadi2, Yunitta Chandra Sari3
1
Departemen Teknik Sipil, FT Universitas Diponegoro
2
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Veteran Sukoharjo
3
Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo
*suharyanto20@yahoo.co.id
Intisari
Sungai Bengawan Solo yang merupakan salah satu sungai terbesar di Pulau Jawa
sangat perlu dijaga kelestarian SDA nya dan pengendalian daya rusa air nya.
Salah satu upayanya adalah dengan penjagaan daerah sempadan sungai
sebagaimana diamanatkan dalam Permen PUPR No. 28/PRT/M/2015 tentang
penetapan garis sempadan sungai dan garis sempadan danau. Dalam pasal 27 juga
dicantumkan bahwa Dalam waktu paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak
Peraturan Menteri ini berlaku, Menteri, gubernur, bupati/walikota wajib
menetapkan garis sempadan sungai dan garis sempadan danau yang berada dalam
kewenangannya. Akan tetapi, penentuan garis sempadan sungai sesuai Peraturan
di atas banyak mengalami kendala saat diimplementasikan di lapangan. Dalam
paper ini disajikan hasil kajian penetapan garis sempadan Sungai Bengawan Solo
Hulu beserta identifikasi permasalahan serta penjaringan aspirasi stakeholder guna
melancarkan implementasi penetapan garis sempadan Sungai Bengawan Solo
hulu. Kajian ini menghasilkan segmentasi garis sempadan sungai, inventarisasi
bangunan dan jumlah hunian di daerah sempadan (di bantaran sungai dan di kaki
luar tanggul), aspirasi stakeholder, serta kesepahaman mengenai garis sempadan
sungai Bengawan Solo Hulu. Diharapkan implementasi penetapan garis sempadan
sungai ini dapat dilakukan secara terus menerus, terpadu dan terkoordinir antar
instansi dan antar pemerintah daerah guna mewujudkan pemanfaatan daerah
sempadan sungai Bengawan Solo Hulu yang mendukung kelestarian SDA.
Kata Kunci: Daerah Sempadan Sungai, Sungai Bengawan Solo Hulu, kelesetarian
Sungai, Lesson Learnt.
LATAR BELAKANG
Sungai Bengawan Solo merupakan salah satu sungai terbesar di Pulau Jawa dan
mengalir dari wilayah Provinsi Jawa Tengah sampai bermuara di Provinsi Jawa
Timur. Sungai bengawan Solo sangat berpengaruh pada parikehidupan di wilayah
di laluinya baik dari aspek pendayagunaan Sumber Daya Air nya maupun dari
segi daya rusak nya. Oleh karenanya, penjagaan kelestarian sungai dan SDA nya
1
413
serta keseimbangan pendayagunaan SDA nya harus mendapat prioritas dan
perhatian penuh baik dari tingkat lokal, regional, maupun nasional.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah penetapan daerah sempadan sungai di
wilayah Sungai Bengawan Solo Hulu sesuai dengan amanah Permen PUPR No.
28/PRT/M/2015 tentang penetapan garis sempadan sungai dan garis sempadan
danau. Amanah pelestarian daerah sempadan sungai ini juga sudah ditetapkan
pada beberapa peraturan sebelumnya seperti pada Peraturan Pemerintah No.38
tahun 2011 tentang Sungai dan Pemen PU No. 63/PRT/1993 tentang Garis
Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai dan Bekas
Sungai. Di tingkat daerah, peraturan yang terkait dengan sempadan sungai ini juga
sudah tertuang pada peraturan daerah misal Perda Provinsi Jawa Tengah No
9/2013 tentang Perubahan atas Perda No 11/2004 tentang Garis Sempadan. Secara
spesifik, keingingan untuk menjaga kelestarian SDA sungai diantaranya dengan
melalui garis sempadan sungai juga sudah tertuang di tiap RTRW Provinsi dan
Kabupaten/Kota.
Akan tetapi, upaya yang sudah di mulai sejak tahun 1993 tersebut masih belum
memberikan hasil dan dampak pada pelestarian daerah sempadan sungai dan SDA
nya. Yang terjadi justru penurunan kualitas daerah sempadan sungai dalam
mendukung kelestariannya sehingga SDA nya pun juga mengalami degradasi.
Dalam paper ini disajikan mengenai best practices dan lesson learnt dalam
penetapan garis sempadan sungai di wilayah Sungai Bengawan Solo Hulu.
Metode yang dilakukan meliputi pengumpulan data; inventarisasi kondisi, fungsi,
dan bangunan sungai di daerah sempadan sungai; analisa hidrologi dan hidrolika;
sosialisasi dan FGD (foccused group discussion); dan perumusan strategi
pelestarian daerah sempadan sungai.
Diharapkan dari studi ini dapat mendorong upaya upaya riil, terarah, terpadu, dan
berkesinambungan dalam menjaga kelestarian sungai dan SDA nya, semata mata
demi kelangsungan peradaban.
2
414
4. Survey sosial ekonomi budaya (kegiatan sosial ekonomi budaya
masyarakat yang tinggal di daerah sempadan sungai dan di sekitar nya,
termasuk perilaku masyarakat terhadap sumber daya air sungai).
5. Survey topografi sungai
6. Analisa hidrologi dan hidrolika
7. Klasifikasi kawasan perkotaan dan non perkotaan
8. Penetapan draft garis sempadan sungai
9. Focussed group discussion (FGD) atau PKM
10. Perumusan garis sempadan sungai hasil studi.
3
415
Garis Sempadan Sungai Sesuai dengan Peraturan
Dengan mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat No. 28/PRT/M/2015, maka rencana pengaturan daerah sempadan Sungai
Bengawan Solo Hulu dari Jembatan Timang Kabupaten Wonogiri sampai dengan
Jembatan Jurug Kota Surakarta dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu :
Kategori 1 : Sungai bertanggul di dalam kawasan perkotaan ditentukan paling
sedikit berjarak 3 (tiga) meter dari tepi kaki luar tanggul sepanjang
alur sungai. Pemanfaatan di jalur 3 m di luar kaki tanggul terluar
dapat dijadikan sebagai jalan akses desa/kelurahan dan jalan
inspeksi untuk kegiatan pengawasan, pemantauan dan
pemeliharaan sungai.
Kategori 2 : Sungai bertanggul di luar kawasan perkotaan ditentukan paling
sedikit berjarak 5 (lima) meter tepi kaki tanggul sepanjang alur
sungai. Pemanfaatan di jalur 5 m di luar kaki tanggul terluar dapat
dijadikan sebagai jalan akses desa/kelurahan dan jalan inspeksi
untuk kegiatan pengawasan, pemantauan dan pemeliharaan sungai.
Kategori 3 : Sungai tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan ditentukan
paling sedikit berjarak 100 (seratus) meter dari tepi kiri dan kanan
palung sungai.
1. Ruas 1 Kategori 1 : dari Jembatan Jurug sampai dengan anak sungai Kali
Wingko.
2. Ruas 2 Kategori 2 : dari anak sungai Kali Wingko sampai dengan Jembatan
Tangkisan ke hulu sepanjang 750 meter.
3. Ruas 3 Kategori 3 : dari hulu Jembatan Tangkisan sejauh 750 (tujuh ratus
lima puluh) meter sampai dengan 339,7 (tiga ratus tiga puluh Sembilan koma
tujuh) meter di hilir as Bendung Colo.
4. Ruas 4 Kategori 2 : dari 339,7 m di sebelah hilir Bendung Colo sampai
Bendung Colo ke hulu sepanjang 845 (delapan ratus empat puluh lima) meter.
5. Ruas 5 Kategori 3 : dari as Bendung Colo Hulu ke hulu sejauh 845 (delapan
ratus empat puluh lima) meter sampai dengan Jembatan Timang.
4
416
2. Ruas 2 Kategori 3 : ruas antara muara Kali Jlantah di Desa Tanjung Rejo
Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo sampai dengan hilir as Bendung
Colo (339, 7 meter di sebelah hilir Bendung Colo).
3. Ruas 3 Kategori 2 : ruas dari 339,7 m di sebelah hilir Bendung Colo sampai
ke hulu sepanjang 820 (delapan ratus dua puluh) meter dari Bendung Colo.
4. Ruas 4 Kategori 3 : antara as Bendung Colo Hulu kehulu sejauh 820 (delapan
ratus dua puluh) meter sampai dengan Jembatan Timang.
Permasalahan di Lapangan
1. Hunian permanen di dalam bantaran sungai Bengawan Solo Hulu.
2. Hunian permanen di dalam garis sempadan sungai Bengawan Solo Hulu
(di luar kaki luar tanggul dan di dalam garis sempadan).
3. Terdapatnya home industry di daerah bantaran sungai Bengawan Solo
Hulu seperti pembuatan krupuk, pembuatan kerangka jok/kursi,
pembuatan/pencucian kain, pembuatan batu bata, dan lain sebagainya.
5
417
4. Ada hunian di daerah sempadan sungai yang memiliki sertifikat
kepemilikan yang syah (SHM, HGB, Letter D, Letter C).
5. Ada beberapa daerah yang memang belum di bebaskan. Pada saat
pembangunan tanggul, yang dibebaskan hanya di sepanjang jalur kaki
tanggul (hanya yang untuk konstruksi tanggul saja), sedang daerah di
dalamnya tidak di bebaskan.
6. Di beberapa lokasi dijumpai bahwa bantaran sungai dimanfaatkan sebagai
tempat pembuangan sampah penduduk.
7. Di daerah bantaran juga di tanami tanaman keras (jati, petai, mangga,
sengon, pohon pisang, lamtoro gung, dls) dan juga di manfaatkan sebagai
tempat bercocok tanam (kacang kacangan, jagung, kedelai, cabai, dls).
8. Kondisi tanggul sungai di beberapa lokasi tidak terawat (ada tanaman
keras di badan tanggul, tumbuh tanaman semak belukar yang lebat, timbul
retak retak, timbul penurunan setempat, bentuk badan tanggul sudah tidak
beraturan).
9. Dijumpai beberapa rumah penduduk yang berada di badan tanggul dan ada
yang mendesak (menggali) kaki tanggul.
Aspirasi Stakeholder
Dalam identifikasi keinginan pemerintah daerah setempat maka dapat dirangkum
menjadi 6 keinginan utama dalam menyusun rencana pengaturan dan penetapan
sempadan sungai Bengawan Solo Hulu secara menyeluruh, dan kebutuhan
dimaksud Gambar 2.
6
418
Tabel 3. Jumlah hunian di Daerah Sempadan Sungai Bengawan Solo Hulu.
Kelurahan/ Bantaran Sungai Kaki Tanggul Luar
Kecamatan Jumlah Penduduk (jiwa) Keterangan
Desa Jumlah Hunian Prosentase (%) Jumlah Hunian Prosentase (%)
Sangkrah 11532 300 2.601 1071 9.287 Ki
Ps. Kliwon
Semanggi 34439 555 1.612 1068 3.101 Ki
Jebres Pucang Sawit 13776 30 0.218 1008 7.317 Ki
Palur 14565 120 0.824 54 0.371 Ka
Mojolaban Gadingan 5750 189 3.287 138 2.400 Ka
Laban 4436 201 4.531 33 0.744 Ka
Bulakan 7263 129 1.776 240 3.304 Ka
Sukoharjo Banmati 5016 45 0.897 615 8.468 Ka
Kriwen 5479 45 0.821 165 3.011 Ka
Gupit 4864 15 0.308 285 5.859 Ka
Nguter
Nguter 5903 57 0.966 750 12.705 Ka
Majasto 4559 6 0.132 180 3.948 Ki
Tawangsari
Dalangan 5055 18 0.356 240 4.748 Ki
Pondok 6988 9 0.129 150 2.147 Ka
Telukan 9677 372 3.844 180 1.860 Ka
Grogol Kadokan 4837 150 3.101 615 6.355 Ki
Grogol 4297 150 3.491 360 8.378 Ki
Langenharjo 8101 180 2.222 309 3.814 Ki
Baki Mancasan 4752 105 2.210 75 1.578 Ki
Serenan 3935 69 1.753 60 1.525 Ka
Juwiring Serenan 3935 120 3.050 75 1.906 Ki
Gondangsari 3683 9 0.244 72 1.955 Ki
Nambangan 5611 66 1.176 369 6.576 Ki
Selogiri
Sendang Ijo 5639 168 2.979 69 1.230 Ki
Wonogiri Giriwono 5366 84 1.565 84 1.565 Ki
Pada bantaran sungai dijadikan Pada jalur sempadan di luar kaki Masyarakat yang sudah pernah
sebagai tempat taman rekreasi. tanggul dijadikan sebagai jalan dapat ganti rugi tapi kembali lagi
inspeksi. menempati di bantaran sungai,
mendapat ganti rugi bangunan.
Keinginan
Pengaturan & Penataan
7
419
2. Bantaran Sungai Sebagai Budidaya Tanaman.
a) Penanaman rumput untuk makanan ternak
b) Penanaman rumput raffia/ jepang untuk taman/ dekorasi
c) Penanaman bongsai
d) Untuk lahan penelitian tanaman
8
420
3. Ada beberapa areal di dalam daerah sempadan sungai Bengawan Solo Hulu
yang belum di bebaskan.
4. Perlu peningkatan koordinasi dan kerjasama dengan semua pemangku
kepentingan (stakeholders).
Rekomendasi
1. Perlu penetapan Garis Sempadan Sungai Bengawan Solo Hulu sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
2. Sosialisasi kepada masyarakat yang saat ini menggunakan kegiatan sehari
hari dan/atau tinggal di dalam daerah sempadan sungai Bengawan Solo Hulu.
3. Pemasangan patok batas garis sempadan sungai dengan kerapatan yang cukup
dan ditandai jelas.
4. Pembebasan lahan di dalam daerah sempadan sungai
5. Pemanfaatan daerah sempadan sungai yang sesuai dengan peraturan yang
berlaku.
REFERENSI
Asdak, C., 2010. Hidrologi dan Pengolahan Daerah Aliran Sungai. UGM-Press,
Yogyakarta.
Pemen PU No. 63/PRT/1993 tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat
Sungai, Daerah Penguasaan Sungai dan Bekas Sungai.
Peraturan Pemerintah No.38 tahun 2011 tentang Sungai.
Perda Provinsi Jawa Tengah No 9/2013 tentang Perubahan atas Perda No 11/2004
tentang Garis Sempadan.
Permen PUPR No. 28/PRT/M/2015 tentang penetapan garis sempadan sungai dan
garis sempadan danau.
Subarkah Imam, 1980. Hidrologi untuk Perencanaan Bangunan Air, Idea
Dharma, Bandung.
Suprayogi, Setyawan Purnama, Darmakusuma Darmanto, 2015. Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai. UGM Press, Yogyakarta. ISBN 979-420-866-3.
9
421
OPTIMALISASI PEMANFAATAN AIR TANAH DANGKAL
PADA PENANGGULANGAN KEKERINGAN JARINGAN
IRIGASI
Mustafa1, M. Hasbi1, Taufan1, Subandi1*, M.K. Nizam Lembah2,
Arnold. M. Ratu3, dan Agus Hasanie4
1
BBWS Pompengan Jeneberang
2
Direktorat Irigasi dan Rawa
3
BWS Sulawesi III,
4
BBWS Citanduy,
* subandi_me@yahoo.co.id
Intisari
Sebenarnya, di bawah permukaan sawah ada air tanah dangkal bisa dimanfaatkan
untuk pembasahan menanggulangi kekeringan, sebagai suatu inovasi untuk
meningkatkan layanan irigasi dan drainase. Air Permukaan adalah semua air yang
terdapat pada permukaan tanah. Air Tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan
tanah atau batuan dibawah permukaan tanah. Air tanah dangkal/sedang/dalam
adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan dibawah permukaan
tanah pada kedalaman kategori dangkal (1-30) meter, sedang (31-60) meter, dan
dalam bila > 60 meter. Air Tanah Bebas (unconfined) adalah air dari aquifer
dimana lapisan kedap air hanya berada pada dasar akuifer dan permukaan akuifer
bebas dari lapisan kedap air. Optimalisasi Pemanfaatan Air Tanah Dangkal Pada
Penanggulangan Kekeringan Jaringan Irigasi yang dimaksudkan diaplikasikan
pada Jaringan Irigasi air permukaan konvensional yang telah dibangun dapat
dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan dengan supplesi intermiten
dengan potensi air tanah dangkal yang ada di sekitarnya. Optimalisasi
Pemanfaatan Air Tanah Dangkal dengan Pompa secara intermiten pada jaringan
irigasi air permukaan konvensional yang telah dibangun bertujuan memanfaatkan
potensi air tanah dangkal sebagai suplesi air irigasi Jaringan Irigasi besar secara
partial pada saat kekeringan, juga bermanfaat untuk meningkatkan luas areal
tanam pengembangan irigasi kecil untuk mendukung komoditas hortikultura dan
perkebunan serta budidaya ternak; dan produksi usaha tani.
Kata Kunci: Air Tanah Dangkal, potensi Supplesi, Jaringan Irigasi.
LATAR BELAKANG.
Latar Belakang Studi.
Pada saat ini dunia sedang dihadapkan pada kelangkaan air akibat pemanasan
global dan perubahan cuaca global, berakibat sering terjadi kekeringan pada
jaringan irigasi air permukaan konvensional, sehingga untuk memulihkan fungsi
sesaat jaringan irigasi yang telah dibangun tersebut agar tetap dapat dimanfaatkan
secara optimal dan berkelanjutan perlu investasi tambahan yang mahal antara lain
pembagunan reservoir baik yang skala kecil berupa embung maupun yang beskala
1
422
besar berupa waduk. Secara alami kebutuhan air untuk tanaman dapat dipenuhi
dari air hujan, namun dalam kenyataannya dibeberapa tempat dan dalam waktu-
waktu tertentu jumlah air hujan yang menjadi sumber air yang alami berupa mata
air dan sungai maupun yang buatan berupa embung dan waduk sebagai
pendukung layanan di suatu Jaringan Irigasi tersebut tidak mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan air bagi tanaman. Sedangkan infrastruktur, sarana prasarana
irigasi masih merupakan permasalahan mendasar sektor pertanian. Kondisi ini
menyebabkan pertumbuhan tanaman di Sektor Pertanian menjadi tidak optimal
yang selanjutnya dapat mengganggu tingkat produktivitasnya, sehingga
pengembangan system irigasi air permukaan dengan supplesi air tanah dangkal
merupakan salah satu kebijakan jangka pendek Direktorat Irigasi dan Rawa,
Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian PUPR yang terkait dengan
pencapaian sasaran tercapainya pengembangan sumber air alternatif dan skala
kecil yang diprioritaskan untuk kawasan yang kekurangan air. Kegiatan
pengembangan sumber air tidak hanya ditujukan untuk pembangunan Irigasi
mendukung pertanian di sub sektor tanaman pangan khususnya padi disawah,
namun juga pengembangan sumber air di sub sektor pertanian lainnya yaitu
hortikultura, perkebunan peternakan dan perikanan, sehingga diharapkan, irigasi
air permukaan konvensional dengan supplesi air tanah dangkal dapat bermanfaat
optimal dan berkelanjutan, merupakan salah satu misi Direktorat Irigasi dan
Rawa, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian PUPR mendukung
program Nawacita 2014–2019.
Kajian Pustaka.
Berdasarkan beberapa metode perhitungan debit andalan (Ray K. Linsley, Joseph
B. Franzini, 1972) antara lain: F.J Mock, NRECA dan simulasi hasil dari
beberapa metode antara lain Metode Evapotranspirasi Penmann I, II s/d Metode
Penmann - Modifikasi Evapotranspirasi III serta Metode Thornthwaithe
semuanya terkait perhitungan neraca air, selain data evapotranspirasi potensial
kita bisa mengenali parameter fisik Daerah Aliran Sungai (DAS), dimana suatu
lokasi Daerah Irigasi (DI) berada. Berdasarkan keseimbangan neraca air dari
model Mock antara lain: Kapasitas kelengasan tanah (SMC), defisit kelengasan
tanah mula-mula (ISM), faktor infiltarsi (INF), simpanan air tanah mula-mula
(IGS), faktor resesi air tanah (RC) dan faktor limpasan musim kemarau (PF),
dimana Perhitungan resapan air tanah juga menggunakan beberapa parameter
tersebut diatas, untuk melakukan perhitungan optimalisasi pemanfaatan air tanah
dangkal dengan pompa secara intermiten pada jaringan irigasi air permukaan
konvensional yang telah dibangun, bertujuan memanfaatkan potensi air tanah
dangkal sebagai suplesi air irigasi jaringan irigasi besar maupun pengembangan
irigasi kecil secara partial pada saat terjadi kekeringan.
Risiko Pengambilan Air Tanpa Perbaikan Tumbuhan Air
Tumbuhan air ikut mengkonsumsi kuantitas kebutuhan air dan menurunkan
kualitas air spt enceng gondok di Rawapening harus dibersihkan, tumbuh2an yang
diperlukan untuk Konservasi upper watershed nya utk menyimpan air shg
mengurangi runoff di musim banjir, meningkatkan base flow di musim kering.
2
423
Landasan Teori.
Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah berupa
sungai, danau, mata air, air terjun, banjir dan sebagainya. Air Tanah adalah air
yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan dibawah permukaan tanah.
Pengertian air tanah sendiri terbagi berdasarkan kategori kedalamannya sbb: (a).
Air tanah dangkal, apabila kedalamannya (1-30) meter, (b). Air tanah sedang, bila
kedalamannya (31-60) meter, (c). Air tanah dalam bila kedalamannya > 60 meter.
(d). Air tanah bebas (unconfined) adalah air dari aquifer dimana lapisan kedap air
hanya berada pada dasar aquifer dan permukaan aquifer bebas dari lapisan kedap
air muncul artificial sebagai sebagai mata air artetis. Yang dimaksud dengan
pengembangan system penanggulangan kekeringan pada irigasi air permukaan
konvensional dengan supplesi air tanah dangkal pada kedalamannya (1-30) meter
yang merupakan solusi sumber air tanpa berpotensi menimbulkan permasalahan
baru antara lain Land Subsidence, karena air tanah dangkal merupakan hasil
perkolasi setempat, apabila dinaikkan dengan pompa bisa dimanfaatkan untuk
melakukan “Pembasahan Menanggulangi Kekeringan” yang return flow-nya akan
kembali terperkolasi menjadi air tanah dangkal kembali.
METODOLOGI STUDI.
Nawacita merupakan GBHN Indonesia 2014–2019 pada butir 6 yaitu
Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional melalui
ketahanan pangan, dan butir 7 yaitu Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan
menggerakkan sektor sektor strategis ekonomi domestik, dimana pada saat ini,
dunia sedang dihadapkan pada kelangkaan air akibat pemanasan global dan
perubahan cuaca global, berakibat, sering terjadi kekeringan, terutama pada
jaringan irigasi air permukaan konvensional yang tidak didukung dengan
reservoir waduk atau embung. Untuk penanggulangan Kekeringan pada jaringan
irigasi air permukaan konvensional tanpa harus melakukan investasi sarana dan
prasarana baru yang relative mahal atau sebelum pembangunan reservoir waduk
atau embung terlaksana, bisa dilakukan pengembangan supplesi dengan
memanfaatkan air tanah dangkal tanpa harus melakukan investasi tambahan yang
mahal, cukup membuat sumur obsevasi pemantau kedalaman air tanah yang juga
bisa berfungsi merangkap sumur ekstraksi air tanah dangkal untuk melakukan
“Pembasahan Menanggulangi Kekeringan” saat terjadi kekeringan pada beberapa
Daerah Irigasi (DI) yang ada di Sulawesi Selatan, sebagai pilot percontohan
penanggulangan kekeringan di Indonesia, akibat pemanasan global dan perubahan
cuaca global. Debit yang dibutuhkan untuk pembasahan memperhitungkan
evapotranspirasi formulasi Penman modifikasi:
NFR = Etc + WLR+ P – Re (1)
dengan keterangan :
NFR : Kebutuhan Irigasi (pembasahan)
Etc : Kebutuhan tanaman
WLR : Kebutuhan untuk penggantian layer air
P : Perkolasi rembesan yg bisa di identifikasi dengan Lisy-meter
Re : Hujan effektif pada masa Kekeringan = 0 = nol
3
424
Pemasangan sumur ekstraksi air tanah dangkal dengan kerapatan per sumur
melayani petak tersier seluas 20 s/d 25 Ha dilengkapi pompa air portable yang
pengelolaannya diserahkan kepada P3A.
4
425
Gambar 2. Lokasi Sumur Eksploitasi Air Tanah Dangkal di Kabupaten Takalar
Tabel 2. Kebutuhan Air di Sawah Pada Bulan sesuai Jenis Tanaman (mm/hr)
5
426
Tabel 3. Contoh Perhitungan Kebutuhan Air Pada Tersier Sumur Dangkal 25 Ha
6
427
Gambar 3. Tipikal Sumur Eksploitasi Gambar 4. Typical Piezometer
Air Tanah Dangkal merangkap Sumur Pemantau Kedalaman Air Tanah
Obsevasi Dangkal.
Pemasangan sumur ekstraksi air tanah dangkal dengan kerapatan per sumur
melayani petak tersier seluas 20 s/d 25 Ha dilengkapi pompa air portable yang
pengelolaannya diserahkan kepada P3A. Karena sumur eksploitasi air tanah
dangkal merangkap sumur obsevasi pada awal pembangunannya setelah posisi
kedalaman yang diinginkan tercapai, dilakukan pencucian (flushing) dengan cara
memasukan pipa selang kedasar lubang sumur yang kemudian dialiri air sampai
air yang keluar dari lubang sumur terlihat jernih. Pipa PVC diameter 2 inci yang
telah dilubangi dengan diameter lubang lebih kurang 2 mm dengan jarak antar
lubang 10 cm dimasukkan kedalam lubang sumur dengan ujung pipa PVC
berjarak 30 cm diatas dasar sumur. Kemudian bagian luar pipa PVC diisi dengan
pasir kasar sedemikian rupa sebagai filter dan tidak masuk kedalam pipa PVC.
Pada permukaan tanah Lubang sumur dibuat proteksi sedemikian rupa agar
supaya sumur terlindung dari gangguan perusakan (aman).
Pemantauan Muka Air Tanah Dangkal.
Pemantauan elevasi muka air tanah bila perlu secara automatic menggunakan
Piezometer pada titik tertentu setiap system jaringan seperti pada gambar.4.
Konstruksinya seperti sumur obsevasi dengan penambahan peralatan automatic
berupa water level probe depth meter kedalam lubang pipa PVC dan mengulurnya
sampai probe menyentuh muka air di dalam pipa yang akan ditandai dengan bunyi
alarm. Selanjutnya dicatat kedalaman puncak pipa sampai dengan elevasi muka
air didalam pipa yang ditunjukan angka dalam pita dipmeter pada batas puncak
7
428
pipa PVC. Dengan mengetahui elevasi puncak pipa PVC maka dengan mudah di
dapatkan elevasi muka air tanah di lokasi sumur. Pemasangan Piezometer
dilakukan pengeboran lubang sumur diameter 4 inci pada lokasi, kedalaman
ditentukan untuk posisi tip pisometer ditambah 0,75 m. Setelah posisi kedalaman
yang diinginkan tercapai, dilakukan pencucian (flushing) dengan cara memasukan
pipa selang kedasar lubang sumur yang kemudian dialiri air sampai air yang
keluar dari lubang sumur terlihat jernih. Bentonit Pelet dimasukan kedalam
lubang bor sampai kira-kira ketinggian 50 cm diatas dasar lubang bor. Pipa PVC
diameter 3/4 inci yang telah disiapkan dengan ujung dipasang tip pisometer
dimasukkan kedalam lubang sedemikian rupa sehingga posisi tip pisometer
berada 25 cm diatas permukaan bentonit, kemudian bagian luar pipa PVC diisi
dengan pasir kasar sedemikian rupa sebagai filter dan tidak masuk kedalam pipa
PVC kira-kira sepanjang 100 cm hingga diatas lapis bentonit atau sampai kira-kira
25 cm diatas tip pisometer bagian atas. Selajutnya diatas lapisan pasir ini
dimasukkan bentonit pelet dengan ketinggian kira-kira 50 cm. Setelah dipastikan
bentonit mengembang dan memadat peutupan bagian sumur diluar pipa PVC
dilanjutkan dengan tanah yang dipadatkan sampai ketinggian 1,0 m dibawah
puncak lubang sumur. Pada bagian 1,0 m dibawah permukaan sumur di luar pipa
PVC ditutup diberi casing yang diisi dengan beton tumbuk. Pada permukaan tanah
lubang sumur dibuat proteksi sedemikian rupa agar sumur terlindung dari
gangguan perusakan. Pembacaan tekanan pori pada titik dimana tip pisometer
dipasang dengan memasukkan water level probe Depth meter kedalam lubang
pipa PVC dan mengulurnya sampai probe menyentuh muka air di dalam pipa
yang akan ditandai dengan bunyi alarm. Selanjutnya dicatat kedalaman puncak
pipa sampai dengan elevasi muka air didalam pipa yang ditunjukan angka dalam
pita Dipmeter pada batas puncak pipa PVC. Dengan mengetahui elevasi puncak
pipa PVC maka akan dengan cepat di dapatkan tekanan pori dalam satuan mH2O
dititik tersebut.
Elevasi MAT = Epp – D (2)
PP = Epp – D – Etp (3)
dengan keterangan:
PP : tekanan pori pada titik tersebut (mH2O)
Epp : elevasi puncak pipa PVC
D : kedalaman muka air dalam pipa PVC didapatkan dari pita depth meter.
Etp : elevasi tip Piezometer.
8
429
Gambar 5. Konservasi Holistik
9
430
produktivitas rakyat dan daya saing dipasar internasional melaui ketahanan
pangan. Pada butir 7: Mewujudkan kemandirian ekonomi, menggerakkan sektor
sektor strategis ekonomi domestic dengan dampak yang akan bergulir pada: (a).
Penganggulangan kekeringan secara umum. (b). Swasembada pangan khususnya
swasembada beras berkelanjutan; (c). Diversifikasi pangan dengan nilai tambah,
daya saing dan ekspor dari semua sub sector pertanian dengan dukungan
pengairan yang cukup. (d). Peningkatan kesejahteraan petani sumber penghidupan
67% rakyat Indonesia.
Rekomendasi.
Perlu disusun pedoman teknis pengembangan supplesi irigasi air permukaan
konvensional dengan air tanah dangkal sebagai acuan dalam pelaksanaan
dilapangan sehingga kegiatan dapat terlaksana dengan baik, dengan cara: (a).
Melengkapi umur air tanah dangkal dengan kerapatan tertentu. (b). Melengkapi
pemantau kedalaman air tanah automatic dengan piezometer. (c). Untuk
keberhasilan pengembangan supplesi irigasi air permukaan konvensional dengan
air tanah dangkal, diperlukan sosialisasi.
REFERENSI.
Mario Thadeus, Moch. Sholichin, Linda Prasetyorini, 2014. Perencanaan
Jaringan Irigasi Air Tanah di Kecamatan Negara Kabupaten Jembrana
Provinsi Bali, Full Paper Jurusan Pengairan, Fakultas Teknik, Universitas
Brawijaya, Malang, 2014.
PP No. 22 Tahun 1982 Tentang Tata Pengaturan Air, Departemen Pekerjaan
Umum, Jakarta, 1982
Permen PUPR No 9/ PRT/M/2015 Tentang Penggunaan Sumber Daya Air,
Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta
Ray K. Linsley and Joseph B. Franzini, 1972. Water Resource Engineering, Mc
Graw Hill Kogakusha, Ltd, 1972
Sarwono Sukardi, Bambang Warsito, Hananto Kisworo & Sukiyoto, 2013. River
Management in Indonesia, ISBN 978-979-25-64-62-4, Jakarta, 2013
SNI 03 – 2818 – 1992. Standar Metode Eskplorasi Air Tanah dengan Geolistrik
Susunan Slumberger, Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta, 1992
SNI 19-6728.1-2002. Penyusunan Neraca Sumber Daya Air Spasial, Departemen
Pekerjaan Umum, Jakarta, 2002
UU No 11 Tahun 1974 tentang Pengairan, Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta
10
431
PEMANFAATAN PETA BAHAYA BANJIR DAN PETA GUNA
LAHAN DALAM PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN
Heppy Wahyuni1 * dan Djoko Santoso Abi Suroso2
1Dinas PU Pengairan Provinsi Jawa Timur
2 Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, SAPPK ITB
*heppywah@gmail.com
Intisari
Setiap tahun sering terlihat kejadian bencana banjir di beberapa daerah di Indonesia.
Peningkatan curah hujan ekstrim akibat faktor perubahan iklim serta pemanfaatan
lahan yang tidak sesuai merupakan pemicu terjadinya banjir yang perlu di waspadai.
Daerah dengan pusat perkotaan di sepanjang aliran sungai, memiliki tingkat
kerentanan tinggi terhadap banjir, untuk itu diperlukan pengawasan dan pengendalian
yang ketat terkait pertumbuhan kawasan dan alih fungsi lahan untuk meminimalisir
risiko banjir. Peta bahaya banjir dari hasil kajian penilaian bahaya banjir dapat
digunakan untuk mengidentifikasi tingkat bahaya banjir di suatu daerah, sedangkan
perubahan guna lahan sebagai faktor kerentanan dapat diidentifikasi berdasarkan
peta guna lahan yang terdapat dalam dokumen RTRW. Dengan mengoverlay kedua
peta tersebut dapat diketahui apakah guna lahan tersebut berada di daerah banjir
atau tidak, alih fungsi lahan yang terjadi, serta tingkat potensi banjir yang
mengancam daerah tersebut, sehingga dapat digunakan sebagai acuan dalam
pengendalian alih fungsi lahan, khususnya di daerah sempadan sungai. Dengan
mengetahui gambaran risiko banjir lebih dini diharapkan dapat dengan cepat
membuat kebijakan dalam melakukan upaya pengendalian alih fungsi lahan dan
pengurangan risiko bencana banjir.
Kata Kunci: peta, banjir, guna lahan, alih fungsi lahan
LATAR BELAKANG
Seperti kita ketahui, akhir-akhir ini kejadian banjir semakin meningkat. Peningkatan
volume banjir dapat terjadi akibat perubahan guna lahan yang tidak tepat serta
peningkatan curah hujan. Dari hasil penelitian Adidarma dkk. (2010) perubahan
guna lahan di hilir DAS Bengawan Solo antara tahun 1964 dan 2008 menyebabkan
terjadinya peningkatan puncak dan volume banjir lebih dari 40%. Lebih spesifik
lagi, perubahan guna lahan sawah, ladang, wilayah terbangun dan guna lahan
lainnya di perkotaan Bojonegoro pada tahun 2002-2008 memberikan pengaruh
sebesar 92,7% terhadap kenaikan debit banjir (Putri dkk, 2010).
Banjir diklasifikasikan sebagai jenis bahaya hidrometeorologi (UN-ISDR, 2002).
Menurut Harjadi dkk (2007), yang dimaksud dengan bahaya adalah suatu fenomena
alam atau buatan yang mempunyai potensi mengancam kehidupan manusia, kerugian
harta benda dan kerusakan lingkungan. Curah hujan tinggi di suatu daerah dengan
tingkat resapan air rendah dan tingkat erosi tinggi menyebabkan naiknya volume air
yang masuk ke sungai, disisi lain terjadi penurunan kapasitas sungai akibat
1
432
sedimentasi. Hal ini menyebabkan terjadinya luapan air sungai. Jika kejadian tersebut
berada di daerah yang rentan atau terdapat aktifitas kegiatan manusia, akan
menimbulkan bencana banjir.
Kerentanan (vulnerability) merupakan suatu kondisi atau karakteristik suatu
wilayah yang ditentukan oleh faktor-faktor atau proses-proses fisik, sosial, ekonomi
dan lingkungan dalam jangka waktu tertentu yang dapat mengurangi
kemampuannya untuk mencegah, meredam, mencapai kesiapan serta menghadapi
dampak buruk bahaya tertentu (Harjadi dkk., 2007). Dengan kata lain kerentanan
merupakan fungsi dari paparan, sensitivitas dan kapasitas adaptasi di suatu daerah
(IPCC, 2007). Terkait dengan kejadian banjir, terdapat beberapa komponen yang
menjadi faktor kerentanan, antara lain faktor sosial (kepadatan penduduk, usia,
disabilitas, gender), ekonomi (tingkat kesejahteraan, pusat kegiatan), fisik (jaringan
infrastruktur, guna lahan, elevasi, kemiringan lereng). Dalam kajian ini parameter
kerentanan hanya difokuskan pada faktor penggunaan lahan. Penggunaan lahan perlu
diperhatikan untuk mengurangi tingkat erosi dan meningkatkan infiltrasi.
Penggunaan lahan di kawasan rawan banjir membutuhkan penataan ruang yang
tepat serta pengawasan dan pengendalian agar korban dan kerugian akibat banjir
dapat diminimalisir.
Dengan adanya ketidakpastian fenomena perubahan iklim, menyebabkan tantangan
dalam upaya penanganan banjir menjadi lebih besar dan tidak mungkin dicegah
(Ceccato dkk., 2011). Untuk itu yang dapat dilakukan saat ini adalah melakukan
mitigasi dan beradaptasi terhadap bencana banjir. Salah satu upaya mitigasi adalah
melakukan suatu kajian dengan memanfaatkan peta bahaya banjir dalam rangka
pengendalian alih fungsi lahan untuk meminimalkan risiko banjir, khususnya di
daerah sempadan sungai.
Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu
wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa
terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan
gangguan kegiatan masyarakat (Undang-Undang No.24 Tahun 2007, Pasal 1). Jadi
untuk risiko banjir dapat diartikan sebagai besarnya kerugian atau kemungkinan
terjadi korban manusia, kerusakan dan kerugian ekonomi yang disebabkan oleh
bahaya banjir di suatu daerah pada waktu tertentu.
Untuk mendapatkan gambaran risiko banjir, dilakukan overlay antara peta bahaya
dan peta guna lahan dengan bantuan program GIS (Geographic Information
System). Peta yang dihasilkan oleh GIS berisi informasi geografis, yaitu informasi
mengenai tempat atau posisi obyek serta keterangan atau atribut di permukaan bumi
(Prahasta, 2001) yang menjelaskan informasi dalam peta, misalnya hutan, sawah,
ladang, permukiman dan lain-lain, biasanya juga terdapat informasi tambahan yang
tidak berkaitan dengan posisi geografis, disebut atribut non spasial (Paryono, 1994),
misalnya tingkat bahaya banjir.
Dengan demikian proses pengurangan risiko banjir dilakukan dengan
mempertimbangkan faktor bahaya dan kerentanan sebagaimana unsur kajian risiko
yang terdapat dalam persamaan berikut (Suroso dkk., 2015b).
2
433
R HxV (1)
dengan keterangan :
R : Risk (risiko)
H : Hazard (bahaya)
V : Vulnerability (kerentanan)
Untuk bencana banjir, bantaran sungai merupakan daerah dengan tingkat
kerentanan tinggi, karena daerah tersebut memang diperuntukkan untuk dataran
banjir, sehingga perlu dilakukan pengamanan di sekitar bantaran serta
pemanfaatannya harus diatur agar fungsi sungai dan kegiatan manusia tidak saling
terganggu. Dalam PP No.38 Tahun 2011 Pasal 24, perlindungan dataran banjir
dilakukan dengan membebaskan dataran banjir dari peruntukan yang mengganggu
fungsi penampung banjir, sedangkan perlindungan daerah sempadan sungai
dilakukan melalui pembatasan pemanfaatan sempadan sungai. Selain itu, dalam
penetapan fungsi Kawasan Rawan Bencana juga perlu mempertimbangkan beberapa
hal berikut (Muta'ali, 2014) :
1. Karakter lingkungan fisik terkait dengan besar kecilnya ancaman (hazard).
2. Aspek sosial ekonomi terkait dengan besar kecilnya kerentanan dan kapasitas.
3. Risiko bencana.
Dimana pada kawasan yang memiliki risiko bencana tinggi dilarang untuk
dibudidayakan. Namun untuk beberapa daerah yang sudah berkembang dalam
artian kegiatan budidaya sudah terjadi sebelum ada kebijakan penataan ruang,
selain dilakukan pengawasan dan memperketat perkembangannya juga diupayakan
tindakan adaptasi untuk memperkecil risikonya.
METODOLOGI STUDI
Pada kondisi muka air banjir, luapan sungai akan menggenangi daerah bantaran
yang merupakan dataran banjir. Untuk mengetahui sejauhmana genangan banjir
yang terjadi, ada beberapa teknik atau metode yang dapat dilakukan, salah satunya
melalui kajian penilaian bahaya banjir seperti yang telah dilakukan oleh Lembaga
Afiliasi Penelitian dan Industri Institut Teknologi Bandung (LAPI - ITB) pada
tahun 2015. Hasil dari kajian tersebut berupa peta bahaya banjir, dimana proses
pembuatannya melalui tahapan proses downscaling data iklim selama 30 tahun
(1981-2010), delineasi DAS dari data DEM, menggunakan pemodelan hidrologi-
hidraulik metode SWAT dan HEC-RAS serta pengolahan data GIS, untuk kondisi
baseline dan proyeksi (Suroso dkk., 2015a). Kajian bahaya banjir tersebut
dilakukan untuk DAS Bengawan Solo, namun yang akan digunakan dalam
penelitian ini dibatasi pada bahaya banjir yang terdapat dalam wilayah administratif
Kabupaten Bojonegoro. Peta bahaya banjir tersebut memiliki 5 klasifikasi bahaya
seperti terlihat pada tabel dan gambar berikut.
3
434
Tabel 1. Klasifikasi Tingkat Bahaya Banjir
No. Tingkat Tingkat Kedalaman
Bahaya Banjir Kerusakan (%) Banjir (m)
1 Sangat rendah < 5% < 0.3
2 Rendah 5 – 10% 0.3 – 1
3 Sedang 10 – 50% 1–2
4 Tinggi 50 – 80% 2–3
5 Sangat tinggi > 80% >3
Program GIS
Kesimpulan dan Rekomendasi
A
4
435
Berdasarkan hasil kajian penilaian bahaya banjir, tidak ada perubahan signifikan
antara kondisi baseline (2010) dan proyeksi (2031), sehingga peta bahaya banjir
untuk kondisi baseline dan proyeksi dianggap sama. Peta tersebut dioverlay dengan
peta guna lahan dan peta administratif yang diperoleh dari dokumen RTRW
Kabupaten Bojonegoro tahun 2011-2031 untuk mengetahui daerah terdampak
banjir, guna lahan terdampak banjir dan tingkat bahayanya, baik pada kondisi
baseline (2010) maupun kondisi proyeksi (2031). Skema analisis penelitian dapat
dilihat pada gambar 2.
5
436
Untuk mengurangi risiko banjir, pemanfaatan lahan budidaya seharusnya lebih
dioptimalkan di daerah yang tidak terdampak banjir, sehingga dapat mengurangi
pemanfaatan lahan budidaya di daerah berpotensi banjir. Namun dalam RTRW
Kabupaten Bojonegoro, selain masih banyak pemanfaatan lahan budidaya di daerah
terdampak banjir, juga terdapat pengembangan pemanfaatan lahan budidaya di
daerah yang berpotensi banjir. Hal ini dapat diketahui berdasarkan hasil overlay
peta bahaya banjir dan peta guna lahan (proyeksi).
Berdasarkan hasil identifikasi pemanfaatan lahan antara baseline dan proyeksi,
dapat diketahui perubahan pemanfaatan lahan atau alih fungsi lahan yang akan
terjadi di daerah yang berpotensi terdampak banjir, diantaranya alih fungsi hutan
menjadi kawasan perkebunan (17,97%), ladang (1,26%), semak belukar (3,02%)
dan permukiman (0,16%). Bahkan terdapat alih fungsi lahan menjadi kawasan
pertambangan sebesar 0,37% (0,35% dari ladang, 0,01% dari lahan kering dan
0,01% dari permukiman), serta alih fungsi lahan menjadi kawasan industri sebesar
2,47% (2,45% dari ladang, 0,01% dari lahan basah dan 0,01% dari kawasan
permukiman), seperti terlihat pada Gambar 4 dan Tabel 2.
6
437
permasalahan alih fungsi lahan diatas, terjadi penurunan fungsi tutupan lahan. Hal
ini menyebabkan tingkat kemampuan tanah dalam menyerap air hujan semakin
berkurang, sehingga jika terjadi hujan, limpasan permukaan air ke sungai semakin
meningkat, akibatnya debit banjir di sungai semakin tinggi yang akan memperparah
kejadian banjir. Selain itu terjadinya alih fungsi lahan tersebut menyebabkan tingkat
kerentanan meningkat sehingga risiko banjir meningkat, akibatnya dampak
kerugian banjir yang terjadi juga semakin besar.
9 Kepohbaru - - - - - - - -
11 Margomulyo 33.918 1.067 0.000 0.270 0.000 1.859 0.000 3.195 9.42
Jumlah 86.692 1.093 0.002 15.580 0.136 2.616 0.048 19.476 22.47
1.261% 0.003% 17.972% 0.157% 3.018% 0.055%
Untuk mengantisipasi risiko banjir yang lebih besar, kebijakan terkait pengawasan
dan pengendalian pemanfaatan ruang perlu lebih diperketat, dimana gambaran
risiko banjir sudah dapat diketahui lebih awal melalui metode yang sudah dijelaskan
diatas. Namun, dengan adanya keterbatasan dalam melakukan perencanaan tata
ruang di kawasan rawan banjir, menyebabkan terdapat beberapa kebijakan yang
tidak sesuai, sehingga perlu didukung dengan kebijakan tambahan sebagai bentuk
antisipasi berupa strategi adaptasi di daerah tersebut.
7
438
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut :
1. Berdasarkan peta bahaya banjir kondisi baseline dan proyeksi, terdapat 17
kecamatan di Kabupaten Bojonegoro yang terdampak banjir dengan tingkat
bahaya sangat tinggi (> 3 m) sampai sangat rendah (< 0,3 m).
2. Sebagian besar pemanfaatan lahan di daerah terdampak banjir rentan terhadap
bahaya banjir. Guna lahan pada kondisi baseline (2010) meliputi lahan basah
(35,82%), permukiman (22,15%), lahan kering (15,03%), hutan (17,50%),
ladang (6,62%), sungai (2,02%), danau (0,70%), kebun (0,03%) dan lainnya
(0,14%). Sedangkan pada kondisi proyeksi (2031) pemanfaatan lahannya berupa
lahan basah (31,64%), permukiman (26,46%), lahan kering (14,18%), hutan
(14,00%), perkebunan (6,37%), kawasan industri (2,47%), sungai (2,05%),
ladang (1,67%), semak belukar (0,55%), pertambangan (0,37%) dan danau
(0,16%).
3. Pada daerah terdampak banjir tersebut terjadi alih fungsi lahan menjadi lahan
budidaya yang dapat mengurangi kemampuan resapan air tanah, antara lain alih
fungsi hutan menjadi kawasan perkebunan (17,97%), semak belukar (3,02%),
ladang (1,26%) dan permukiman (0,16%). Selain itu juga terjadi alih fungsi
lahan menjadi kawasan pertambangan sebesar 0,37% (0,35% dari ladang, 0,01%
dari lahan kering dan 0,01% dari permukiman), serta alih fungsi lahan menjadi
kawasan industri sebesar 2,47% (2,45% dari ladang, 0,01% dari permukiman
dan 0,01% dari lahan basah).
Rekomendasi
Berdasarkan hasil analisis kajian diatas, direkomendasikan beberapa hal berikut :
1. Dalam pembuatan kebijakan pemanfaatan lahan, perlu diintegrasikan dengan
peta bahaya banjir.
2. Pemanfaatan lahan di kawasan rawan banjir dikembalikan sesuai ketentuan yang
telah ditetapkan yaitu sebagai kawasan lindung atau daerah resapan. Peruntukan
lain diluar ketentuan harus dikembalikan secara bertahap. Pengembangan lahan
selain kawasan lindung harus dihindari, untuk itu perlu dibuat sistem pengawasan
yang lebih ketat. Jika terdapat kebijakan pemanfaatan lahan untuk kawasan
budidaya yang sudah berjalan, maka perlu dilakukan tindakan adaptasi.
8
439
REFERENSI
Adidarma, W.K., Martawati, L. and Wisuda, M.G., 2010. Perubahan Banjir Akibat
Perubahan Tata Guna Lahan dan Perubahan Iklim Serta Teknik Untuk Menekan
Peningkatan Banjir. Teknik Hidraulik Vol. 1, No.2.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2015. Jumlah Kejadian Bencana.
http://dibi.bnpb.go.id. [diakses pada tanggal 3 April 2015]
Ceccato, L., Giannini, V. dan Giupponi, C., 2011. Participatory Assessment of
Adaptation Strategies to Flood Risk in the Upper Brahmaputra and Danube
River Basins. Elsevier 14: 1163-1164.
Harjadi, P., Ratag, M. A., Karnawati, D., Rizal, S., Surono, Sutardi, Triwibowo,
Sigit, H., Wasiati, A., Yusharmen, Pariatmono, Triutomo, S., Widjaja, B. W.,
2007. Pengenalan Karakteristik Bencana dan Upaya Mitigasinya di
Indonesia, Direktorat Mitigasi, Lakhar Bakornas PB, Jakarta.
IPCC, 2007. Climate Change 2007: Impacts Adaptation Vulnerability.
Contribution of Working Group II to the Fourth Assesment Report of the
Intergovernmental Panel on Climate Change, New York, USA.
Kementerian PU, 2009. Pengurangan Risiko Banjir Bagi Kota-Kota Utama
Indonesia.
Muta'ali, L., 2014. Perencanaan Pengembangan Wilayah Berbasis Pengurangan
Risiko Bencana, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Paryono, P., 1994. Sistem Informasi Geografis, Andi Offset, Yogyakarta.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai
Prahasta, E., 2001. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis, Informatika,
Bandung.
Putri, Dwi R., Suharso, T.W., Usman, Fadly., 2010. Arahan Konservasi Wilayah
Sungai Bengawan Solo yang Melalui Perkotaan Bojonegoro. Jurnal Tata
Kota dan Daerah Volume 2, Nomor 2.
Suroso, D. S. A., Hadi, T. W., Riawan, E., & Arya, D. K., 2015a. Final Report The
Study of Integrating Climate Change Adaptation With Spatial Planning
Policies (Phase 1). Component 1, Assessment of Climate Risk From Spatial
Planning Perspective in Selected Study Sites : Flood Hazard Assessment
Region 1, Kementerian PU, LAPI - ITB, JICA, Bandung.
Suroso, D. S. A., Salim, W., Sagala, S. A. H., Fitriyanto, M. S., Surjaningsih, R. D.,
Ramadhan, M. R., Fuady, M.B., Wimbardana, R., Situngkir, F., Adhitama,
P., Saraswati, G., Kurniawan, Y., Putra, T.N., Triharyadi, A., 2015b. Final
Report The Study of Integrating Climate Change Adaptation With Spatial
Planning Policies (Phase 1). Component 1, Assessment of Climate Risk From
Spatial Planning Perspective in Selected Study Sites : Vulnerability and Risk
Assessment Region 1, Kementerian PU, LAPI - ITB, JICA, Bandung.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana
UN-ISDR, 2002. Living with Risk : A Global Review of Disaster Reduction Initiatives,
United Nations, Inter-Agency Secretariat, International Strategy for Disaster
Reduction (ISDR), Geneva, Switzerland.
1
440
ESTIMASI LAJU POTENSIAL TIMBULAN LIMBAH PADAT
PADA SUB-DAS SUGUTAMU: STUDI KASUS DI SUB DAS
SUGUTAMU, DAS CILIWUNG JAWA BARAT
Evi Anggraheni dan Dwita Sutjiningsih
Departement Teknik Sipil, Fakultas Teknik
Universitas Indonesia, Depok 16424
evi.anggraheni@yahoo.com
Intisari
Sub-DAS Sugutamu merupakan salah satu sub-DAS yang masuk ke sistem DAS
Ciliwung. Sub-DAS ini memiliki hulu di Cibinong (Bogor) hingga bertemu
dengan sungai Ciliwung di Jembatan Juanda Kota Depok. Permasalahan
kepadatan penduduk yang tinggi di sub-DAS Sugutamu mengakibatkan
berkembangnya permukiman di sub-DAS Sugutamu. Berbagai aktivitas penduduk
menghasilkan berbagai jenis limbah. Sistem pengelolaan limbah padat yang
kurang optimal dapat menimbulkan dampak negatif pada lingkungan sekitarnya.
Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Depok pada tahun 2011
melakukan studi penilaian lingkungan, studi tersebut menyebutkan bahwa 83 %
limbah padat yang ada di Kota Depok tidak dikelola dengan baik. masih
didominasi oleh inisiatif masyarakat (ditimbun, dibakar dan dibuang ke badan
air). Sedangkan 17 % lainnya dikelola oleh pemerintahan setempat
(RT/RW/Kelurahan) atau dikelola oleh perusahaan lokal. Berdasarkan hasil
survey di lapangan, didapatkan bahwa laju timbulan timbulan limbah padat pada
DAS sebesar 129 m3/hari/km2 atau 812,886 m3/tahun. Sedangkan berdasarkan
estimasi perhitungan laju timbulan timbulan limbah padat tanpa survey,
beban/laju timbulan timbulan limbah padat di DAS sebesar 621.7 m3/hari/km2
atau 3,917,369 m3/tahun, nilai ini hampir 5 (lima) kali lebih besar jika
dibandingkan hasil perhitungan dengan survey lapangan. Besarnya proporsi lahan
kedap air memungkinkan 83% dari timbulan limbah padat yang tidak terkelola
tersebut akan masuk ke sungai Sugutamu dan mencemari badan air.
Kata Kunci: laju timbulan, limbah padat, pengelolaan limbah padat,
SNI 19-3964-1994, SNI 19-3983-1995, DAS Sugutamu.
LATAR BELAKANG
DAS Ciliwung merupakan salah satu DAS di Indonesia yang masuk dalam
kategori DAS dengan kondisi kritis. Hal ini disebabkan karena terjadinya alih
fungsi lahan pada daerah hulu dari fungsi awalnya adalah sebagai daerah resapan
menjadi kawasan wisata dan permukiman. Berdasarkan data yang dihimpun oleh
Kementerian Lingkungan Hidup mengenai profil Sungai Ciliwung (2010),
Kondisi Ekologis DAS Ciliwung sangat memprihatinkan, yang tercermin dari
penurunan luas tutupan hutan dari 9.4 % pada tahun 2000 menjadi 2.3 % pada
tahun 2010, atau mengalami laju degradasi lingkungan sebesar 7.14 % dalam
1
441
kurun waktu 10 tahun terakhir (0.7 % per tahun). Kondisi tersebut akan
memberikan dampak negatif ke fungsi hidrologis DAS Ciliwung dikarenakan
perubahan tata guna lahan. Selain itu berubahnya fungsi dari kawasan resapan air
menjadi daerah bukan resapan air seperti daera wisata dan pemukiman akan
mengakibatkan meningkatnya jumlah timbulan timbulan limbah padat yang
dihasilkan akibat bertambahnya jumlah penduduk.
DAS Ciliwung merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa Sub-DAS.
Tingginya laju sedimentasi yang ada DAS tidak terlepas dari beban sub-DAS
yang masuk kedalam Sungai Ciliwung. Hal ini seperti yang sudah dijelaskan
(Zielinsky, 2002) tentang pengertian wilayah sungai, DAS, dan Sub-DAS.
Klasifikasi DAS dan Sub-DAS menurut (Zielinsky, 2002) dapat dilihat pada
gambar 1 :
2
442
Gambar 2 Pembagian Sub DAS Ciliwung
Berdasarkan data tersebut, dapat dilihat bahwa pemerintah kota Depok baru dapat
melayani pengelolaan timbulan limbah padat sebesar 35% sedangkan 65% sisanya
merupakan potensi beban timbulan limbah padat yang dapat menjadi beban sungai
atau badan air. Beban tersebut dapat berubah menjadi beban sedimen sungai
dengan cara beberapa cara, baik terdekomposisi di tanah kemudian tererosi, atau
terdekomposisi di dalam badan air itu sendiri (LabHidro_UI, 1998).
3
443
Gambar 3. Proses Timbulan Timbulan limbah padat Menjadi Sedimen di Badan
Air (LabHidro_UI, 1998)
Berdasarkan uraian di atas, pendugaan laju timbulan timbulan limbah padat
potensial berdasarkan komposisi dan karakteristik timbulan limbah padat
merupakan hal yang sangat menunjang dalam menyusun sistem pengelolaan
pertimbulan limbah padatan di suatu wilayah. Karena laju timbulan timbulan
limbah padat tersebut berpotensi menjadi beban sedimen pada badan air, sesuai
dengan penelitian yang dilakukan (Sutjiningsih D, 2015) yang menyatakan bahwa
konsentrasi TTS (Total Suspended Solid) pada Sungai Sugutamu mencapai 1,325
ton per tahun.
Tujuan dari penulisan ini adalah menentukan potensi laju timbulan sampah pada
Sub-DAS Sugutamu dengan menggunakan metode survey dan membandingkan
dengan hasil perhitungan/estimasi laju timbulan sampah potensial dengan
menggunakan data sekunder.
METODOLOGI STUDI
Pengukuran laju timbulan timbulan limbah padat pada Sub-DAS Sugutamu ini
dilakukan dengan dua metode yaitu dilakukan dengan cara melakukan pengukuran
sampel limbah padat di lapangan (survey) sesuai dengan standar yang berlaku
yaitu berdasarkan SNI 19-3964-1995 tentang metode pengambilan dan
pengukuran contoh timbulan dan non survey berdasarkan komposisi timbulan
limbah padat perkotaan dan tata cara ketentuan sampling terdapat pada SNI 19-
3964-1995, mengenai Metode Pengambilan dan Pengukuran Contoh Timbulan
dan Komposisi Timbulan limbah padat Perkotaan. Berikut ini adalah gambar peta
4
444
subDAS Sugutamu dan pembagiannya berdasarkan hulu, tengah dan hilir serta
tutupan lahan berdasarkan kondisi tahun 2011.
5
445
Lokasi pengambilan sampel limbah padat pada 3 (tiga) kelurahan tersebu pada
Sub-DAS Sugutamu dapat dilihat pada gambar 6 berikut ini :
6
446
b. Menentukan jumlah sampel perumahan yang akan diukur dilapangan.
(1)
Keterangan:
P = Jumlah penduduk di sub-DAS
Cd= 0,5 (Populasi < 1 juta)
S= Jumlah sampel penduduk di sub-DAS
c. Menentukan jumlah sampel pertokoan yang akan diukur dilapangan.
(2)
Keterangan:
TS = Jumlah toko per 6000 penduduk
Cd= 1
S= Jumlah sampel toko
Dimana berat total timbulan berupa jumlah total timbulan limbah padat yang
ditimbang pada hari yang sama dalam satuan kg. Sehingga jika laju timbulan
limbah padat dikonversikan dalam satuan m3/orang/hari dapat dilihat pada
persamaan berikut :
7
447
Berat tota l timbulan (m 3 ) dalam 1 hari
m 3 / orang / hari
Jumlahsumbertimbulan(orang ) / hari (4)
2. Estimasi Laju Timbulan Timbulan limbah padat Berdasarkan Perhitungan
Data Sekunder
Menurut SNI 19-3964-1995 & & SNI 19-3983-1995, bila pengamatan
lapangan belum tersedia, maka untuk menghitung besaran timbulan timbulan
limbah padat, dapat digunakan angka timbulan timbulan limbah padat sebagai
berikut:
a. Satuan timbulan timbulan limbah padat kota megapolitan = 2,5 – 3,25
L/orang/hari,
b. Satuan timbulan timbulan limbah padat kota metropolitan = 2 – 2,5
L/orang/hari,
c. Satuan timbulan timbulan limbah padat kota besar = 1,5– 2 L/orang/hari,
d. Satuan timbulan timbulan limbah padat kota sedang/kecil = s/d 1,5
L/orang/hari.
Karena timbulan timbulan limbah padat dari sebuah kota sebagian besar
berasal dari rumah tangga, maka untuk perhitungan secara cepat satuan
timbulan timbulan limbah padat tersebut dapat dianggap sudah meliputi
timbulan limbah padat yang ditimbulkan oleh setiap orang dalam berbagai
kegiatan dan berbagai lokasi. Berdasarkan hasil analisa data (Wira Yudha,
2015) tentang klasifikasi kota pada DAS Ciliwung didapatkan bahwa Kota
Depok dan Kabupaten Bogor masuk dalam klasifikasi kota besar sehingga
perhitungan laju timbulan timbulan limbah padat yang digunakan adalah
(5)
Dimana 1,5 l/hr/org adalah potensi minimum timbulan timbulan limbah padat
untuk kota besar.
8
448
dengan 26,3 kg/ha/hari yang jika dikonversikan kesatuan km2 menjadi 7,74
m3/km2/hari.
Sedangkan hasil perhitungan laju timbulan limbah padat dengan metode estimasi
berdasarkan metode yang ada pada SNI 19-3964-1995 & SNI 19-3983-1995
tentang cara estimasi laju timbulan sampah berdasarkan kategori kota didapatkan
hasil sebagai berikut :
Tabel 4. Tabulasi hasil Perhitungan Laju Timbulan Limbah Padat (SNI)
Persentase luas Sub- Kepadatan penduduk
Potensi timbulan Jumlah penduduk Sub- Jumlah timbulan
Kecamatan Ha Km2 DAS pada setiap per kecamatan
sampah (l/hari/orang) DAS pada Kecamatan sampah
kecamatan 2
(orang/Km )
CIMANGGIS 146.47 1.46 8.5% 1.5 12,900 18,894 28,341
PANCORAN MAS 92.77 0.93 5.4% 1.5 13,100 12,154 18,230
SUKMA JAYA 1076.49 10.76 62.4% 1.5 14,600 157,168 235,751
CIBINONG 410.71 4.11 23.8% 1.5 8,200 33,678 50,517
Dari hasil perhitungan dengan menggunakan metode SNI diperoleh rata-rata laju
timbulan limbah padat/sampah sebesar 35,34 m3/km2/hari
Rekomendasi
Meskipun hasil dari metode survey menunjukan hasil yang lebih kecil, akan tetapi
angka dengan survey lapangan tetap menunjukan bahwa produksi timbulan
sampah di DAS Sugutamu cukup besar dan jika 65 % sampah tersebut tidak
terkelola, maka sampah tersebut akan masuk ke badan air dan dapat mencemari
serta mengurangi kinerja badan air kerena lebih deri 53% sampah tersebut adalah
sampah organic (hasil survey). Pengelolaan sampah akan membantu mengurangi
potensi sampah menjadi pencemar badan air.
9
449
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kami ucapkan kepada Departemen Teknik Sipil UI yang telah
mendukung pelaksanaan penelitian berikut. Dan kepada semua pihak yang telah
membantu pelaksanan penelitian.
REFERENSI
BAPEDADA, 2011. Rencana Program Investasi Jangka Menengah Kota Depok.
Depok.
Damanhuri, E., & Padmi, T., 2011. Teknologi Pengelolaan Sampah. Institut
Teknologi Bandung.
LabHidro_UI., 1998. Evaluasi Sedimen Sungai. Jakarta: KP2L.
Nurhidayat, A., 2013. Komposisi Timbulan Limbah Padat Dan Kualitas Air
Sungai Das Sugutamu. Depok: Universitas Indonesia.
Ruhendi, H., 2014. Analisa Banjir Jakarta Tahun 2012-2013. Retrieved from
http://konservasidasciliwung.wordpress.com/:
http://konservasidasciliwung.wordpress.com/banjir-ciliwung/makalah-
banjir-ciliwung/3875-2/
SNI 19-3964-1995. Metode Pengambilan Dan Pengukuran Contoh Timbulan Dan
Komposisi Sampah Perkotaan.
SNI 19-3983-1995. Spesifikasi Timbulan Sampah Untuk Kota Kecil Dan Kota
Sedang Di Indonesia.
SNI 19-2454-2002. Tata Cara Teknik Operasional Pengelolaan Sampah
Perkotaan.
Sutjiningsih D, S.H., 2015. Estimation of sediment yield in a small urban
ungauged watershed based on the schaffernak approach at sugutamu
watershed, ciliwung, west java. Ijtech.
Wira Yudha, B., 2015. Prediksi laju erosi potensial dan laju timbulan sampah
potensial pada luasan penutup lahan kedap air (studi kasus DAS ciliwung)
berbasis sistem informasi geografis (sig). Depok: Universitas Indonesia.
Zielinsky, 2002. Watershed Vulnerability Analysis.
10
450
PERENCANAAN PINTU KLEP DI MUARA BATANG
MARANSI, SALAH SATU UPAYA PENGENDALIAN BANJIR
DI KAWASAN AIR PACAH KOTA PADANG
Zahrul Umar¹, Bambang Istijono², Rifda Suryani3 , Syafril Daus 3 ,
HATHI Cabang Sumatera Barat
1
2Fakultas Teknik Universitas Andalas
3 Dinas PSDA Provinsi Sumatera Barat
Intisari
Ramalan akan terjadinya gempa dan tsunami melanda Kota Padang dalam waktu
dekat, membuat Pemerintah Kota Padang membagiPkota Padang dalam tiga zona
kerentanan tsunami yaitu: zona merah, kuning dan zona hijau. Zona merah berada
sejauh 1 kmdari pinggir pantai kearah timur kota Padang dan merupakan zona yang
sangat rentan dilanda tsunami, zona kuning berada 1- 3 km dan zona hijau > 3 km
dari pinggir pantai kearah timur. Dampak dari kebijakan ini, banyak perumahan
penduduk, kantor pemerintah dan swasta pindah ke zona hijau disekitar jalan by
pass kawasan Air Pacah. Sayangnya lokasi ini kerendahan, pada musim hujan
kebanjiran. Penyebab utama banjir adalah masuknya air dari Batang Balimbing
muaranya Batang Maransi. Hasil perhitungan didapat elevasi muka air banjir di
muara Batang Maransi = + 3,501m, sedangkan elevasi lahan berkisar + 1,424 m -
2,45 m. Jadi tinggi banjir ± 1,051 m - 2,077 m. Untuk mengendalikan banjir ini
salah satu cara dengan membuat pintu klep di muara Batang Maransi sebanyak 5
buah lebar 4 m. Selama banjir di Batang Balimbing air di simpan sementara di
Batang Maransi yang telah dinormalisasi dengan b = 20m, m = 1,5 dan h = 1,478
m dan kolam retensi seluas 35 ha dalam 2,5 m.
Kata Kunci: Banjir, Pintu Klep, aliran berubah lambat laun, metode tahapan
standard, Kolam retensi
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Adanya ramalan akan terjadinya gempa besar yang diikuti oleh tsunami melanda
Kota Padang dalam waktu dekat ini sehingga Pemerintah Kota Padang membuat
kebijakan dengan membagi kota padang kedalam tiga zona kerentanan tsunami,
yaitu kerentanan tsunami tinggi (zona merah), kerentanan tsunami sedang (zona
kuning) dan kerentanan tsunami rendah (zona hijau). Kawasan zona merah berada
di pinggir pantai hingga 1 km kearah timur kota Padang dan merupakan zona yang
sangat rentan dilanda tsunami, zona kuning berada 1 hingga 3 km dan zona hijau
lebih dari 3 km dari pinggir pantai kearah timur.
Dampak dari kebijakan ini, banyak penduduk yang bermukim di kawasan zona
merah pindah ke zona hijau yang lokasinya berada disekitar jalan by pass di
kawasan Air Pacah termasuk pusat pemerintahan kota padang dan kantor-kantor
1
451
pemerintah serta swasta lainnya. Sayangnya, lokasi yang digunakan untuk
pembangunan kompleks perumahan, perkantoran dan fasilitas umum ini berada
pada topografi yang kerendahan dimana pada musim hujan selalu tergenang. Banjir
besar terakhir yang terjadi tanggal 22 Maret 2016 lalu, kawasan ini tergenang
mencapai ketinggian 1-2 m. Penyebab banjir ini disamping curah hujan yang tinggi,
juga akibat luapan Batang Maransi yang mengalir di dalam kawasan ini, serta
masuknya air banjir dari Batang Balimbing tempat bermuaranya Batang Maransi.
dimana Batang Balimbing sebagai orde kedua dan Batang Maransi sebagai orde
ketiga masih dipengaruhi pasang surutnya air laut yang masuk dari muara batang
Kuranji sebagai orde kesatu. Jika hujan turun dengan intensitas tinggi dan
bersamaan dengan naiknya air pasang maka, dapat dipastikan kawasan ini akan
mengalami banjir.
Dalam usaha untuk mengendalikan banjir yang sering terjadi di kawasan ini
(Gambar 1), salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan membangun
pintu klep di Batang Balimbing tepatnya di muara Batang Maransi sehingga air
pasang dan banjir dari Batang Balimbing tidak bisa masuk ke Batang Maransi.
Selama pintu klep bekerja, debit banjir Batang Maransi di simpan sementara di
badan sungai dan kolam retensi.
KAJIAN PUSTAKA
Banjir adalah peristiwa meluapnya air sungai melebihi palungnya (PP RI No 38
Tahun 2011). Penyebab banjir ini menurut Kodoatie & Sugiyanto (2002)
diklasifikasikan disebabkan oleh tindakan manusia dan oleh alam. Yang termasuk
sebab-sebab banjir oleh tindakan manusia adalah:
1) Perubahan tata guna lahan
2) Pembuangan sampah
3) Kawasan kumuh disepanjang sungai
4) Perencanaan system pengendalian banjir tidak tepat
5) Penurunan tanah dan rob
6) Tidak berfungsinya sistem drainase lahan
7) Bendung dan bangunan air
8) Kerusakan bangunan pengendalian banjir
2
452
Dan yang termasuk sebab-sebab alami diantaranya adalah:
1) Erosi dan sedimentasi
2) Curah hujan
3) Pengaruh fisiografi/geofisik sungai
4) Kapasitas sungai dan drainase yang tidak memadai
5) Pengaruh air pasang
6) Penurunan tanah dan rob
Pengendalian Banjir
Banjir merupakan salah satu kerusakan atau bencana yang disebabkan oleh daya
rusak air, pengendalian daya rusak air dilakukan secara menyeluruh yang mencakup
upaya pencegahan, penanggulangan dan pemulihan. Pencegahan dilakukan baik
melalui kegiatan fisik dan atau non fisik (Siswoko, 2010). Kegiatan yang bersifat
fisik adalah pembangunan sarana dan prasarana serta upaya lainnya diantaranya:
a) Pengurangan puncak banjir yang pada umumnya dengan membuat waduk
pengendalian banjir dibagian hulu
b) Melokalisir aliran banjir di dalam alur sungai yang diterapkan dengan tanggul,
tembok banjir dan saluran tertutup
c) Penurunan muka puncak banjir dengan menaikkan kecepatan aliran dengan
cara perbaikan alur sungai atau sudetan untuk mendapatkan kemiringan ideal
d) Pendistribusian debit banjir melalui pengaliran air pada sudetan atau banjir
kanal kedaerah aliran sungai lain, perbaikan penampang sungai dan
penanganan sedimentasi di muara.
e) Pengelolaan dataran banjir atau rawa-rawa kemudian ditampung pada polder
untuk dialirkan melalui pompa ke banjir kanal menuju laut
f) Pengurangan limpasan banjir dengan pengolahan tanah menurut kontur dan
galudan.
Kolam Retensi
Kolam retensi adalah kolam/waduk penampungan air hujan dalam jangka waktu
tertentuyang fungsinya untuk memotong puncak banjir yang terjadi dalam badan
air/sungai.
Pintu Klep
Pada daerah datar, khususnya daerah pantai sering menghadapi kondisi saluran
drainase mempunyai pembuangan (outlet) di badan air yang muka airnya
berfluktuasi. Saluran drainase yang membuang airnya langsung kelaut dipengaruhi
oleh pasang surut, sedang drainase yang membuang airnya ke sungai dipengaruhi
oleh tinggi banjir. Pada kondisi air di hilir tinggi, baik akibat pasang maupun air
banjir maka air dari drainase tidak dapat mengalir ke sungai yang lebih besar
bahkan akan terjadi aliran balik (back water). Untuk mengatasi hal ini, maka pada
pertemuan saluran drainase dengan sungai perlu dilengkapi dengan bangunan
pengatur berupa pintu pengatur yang salah satunya pintu klep (pintu otomatis).
Pintu klep (pintu otomatis) berfungsi untuk membatasi masuknya air pasang/air
banjir yang melewati kapasitas saluran drainase, dan pintu klep akan terbuka
apabila muka air di hilir sudah berada di bawah ambang kapasitas, sehingga air di
saluran drainase dapat mengalir kembali.
3
453
Gerakan membuka dan menutup pintu klep (pintu otomatis) mengandalkan
keseimbangan momen yang ditimbulkan oleh pemberat pintu dan / atau pelampung
dan tekanan air. Pintu klep terbuka, jika tekanan air di hulu lebih tinggi dari
tekananair di hilir dan dibantu oleh momen dari pemberat pintu. Pintu akan tertutup,
jika air di hilir naik (akibat pasang surut atau banjir), maka tekanan air di hilir lebih
tinggi dari tekanan air di hulu, sehingga mendorong pintu untuk menutup.
Perhitungan profil permukaan aliran berubah lambat laun
Perhitungan lengkung permukaan aliran berubah lambat laun pada dasarnya
merupakan penyelesaian persamaan dinamis dari aliran berubah lambat laun.
Tujuan utama dari perhitungan profil permukaan aliran adalah untuk menentukan
bentuk lengkung permukaan aliran berubah lambat laun dengan cara menghitung
besarnya kedalaman aliran menurut jaraknya dari satu penampang kontrol.
Semua penyelesaian dari persamaan aliran berubah lambat laun harus dimulai dari
penentuan kedalaman aliran di penampang kontrol dan dilanjutkan dengan
perhitungan kedalaman aliran kearah hulu atau kearah hilir, yaitu kearah mana
kontrol aliran beroperasi. Pada batas hulu dan batas hilir permukaan aliran berubah
lambat laun mendekati kedalaman normal secara asymptotis. Dalam hal ini titik
pertemuan dapat diperkirakan beberapa persen di atas atau di bawah kedalaman
normal (Anggrahini, 2005). Cara perhitungan profil permukaan aliran berubah
lambat laun ada beberapa cara diantaranya adalah: Cara perhitungan Integrafis
grafis (the graphical integration method); Cara Integrasi Langsung ((direct
integration method); Cara tahapan langsung (direct step method); Cara tahapan
standar (Standard step method) dan sebagainya.(Ven Te Chow, 1984). Untuk studi
ini dipakai cara tahapan standard (Standard step method).
METODOLOGI STUDI
Makalah ini dilakukan dengan cara:
1) Menghitung hujan rencana
2) Menghitung debit banjir dengan metode hidrograf satuan sintetik
NakayasuSerta metode rasional
3) Berdasarkan data debit yang diperoleh dengan menggunakan metode Nakayasu
ini dihitung profil muka air rencana dengan menggunakan metode tahapan
standar (Standard Step Method) untuk mengetahui tinggi muka air sungai
dengan titik kontrol di muara sungai Batang Kuranjji pada saat air laut pasang
dengan elevasi +0,93 m. Perhitungan ini dimaksudkan untuk mengetahui tinggi
muka air sungai dipertemuan antara Batang Balimbing dengan Batang Kuranji,
dan tinggi muka air di pertemuan Batang Maransi dengan Batang Belimbing.
4) Berdasarkan tinggi muka air di muara Batang Maransi pada Batang Balimbing
dapat dihitung tinggi muka air banjir di kawasan air pacah,
5) Merencanakan dimensi pintu klep dan tinggi tanggul banjir di Batang Maransi.
4
454
HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN
Perhitungan Hujan Rencana
Perhitungan hujan rencana dimulai dengan uji konsistensi data, uji homogenitas
data, Analisa distribusi probabilitas, uji distribusi probabilitas dengan metode Chi-
kuadarat dan metode Smirnov Kolmogorof. Berdasarkan hasil pengujian terpilih
besarnya hujan rencana pada DAS Batang Maransi adalah hujan rencana dengan
metode log Pearson type III sebagai berikut:
Tabel 1. Hujan Rencana
Periode Ulang (tahun) Hujan Rencana (mm)
2 113
5 176
10 233
25 325
Menghitung Intensitas Hujan
Intensitas hujan dihitung dengan menggunakan rumus Mononobe sebagai berikut:
𝑅𝑅 24 2/3
𝐼𝐼𝑡𝑡 = 24𝑡𝑡 𝑥𝑥 ( 𝑡𝑡 ) (1)
dengan :
Rt : hujan rencana untuk berbagai periode ulang (mm)
t : waktu konsentrasi (jam) untuk sarana dalam menit t dilakukan dengan 60
It : intensitas hujan untuk berbagai periode ulang (mm/jam)
Perhitungan Debit Banjir Rencana
Kawasan ini terletak dalam daerah aliran sungai Batang Kuranji, Sub DAS Batang
Belimbing dengan salah satu anak sungainya Batang Maransi (Gambar 2).
Perhitungan debit banjir Batang Kuranji dan Batang Belimbing. dihitung
menggunakan metode hidrograf satuan santetis (HSS) Nakayasu diperoleh debit
banjir Batang Kuranji 995 m³/dt untuk periode ulang 25 tahun (Nikken, 2000).
Batang Maransi 34 m³/dt untuk periode ulang 10 tahundan sub Das Rawang anak
sungai Batang Maransi = 21 m3 /dt (Gambar 3.).
Rencana Lokasi
Pintu Klep
5
455
Gambar 3. Distribusi Debit Banjir DAS Batang Kuranji
Perhitungan tingginya muka air sungai dengan metode Tahapan Standar
(Standar step method)
Kawasan Air Pacah yang dialiri oleh Batang Maransi, muaranya yang berada di
batang Balimbing berjarak 2,6 km dari muara Batang Kuranji di pantai
Padang.Berdasarkan perhitungan tinggi muka air sungai dengan metode tahapan
standard dengan menggunakan titik kontrol muka air di muara batang kuranji pada
saat air pasang (+ 0,93 m), diperoleh tinggi muka air banjir di Batang Balimbing
tepatnya dimuara Batang Maransi + 3,501. Elevasi muka air ini terlihat masih
dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut. (Gambar 4.). Dengan menggunakan
elevasi muka air di muara Batang Maransi +3,501, dapat ditentukan tinggi banjir di
kawasan ini dengan cara mengurangi tinggi banjir dengan elevasi muka tanah
(lahan) di Kawasan Air Pacah antara lain seperti pada patok B10 (+1,904) di dapat
tinggi banjir = 1,597 m,pada patok B9 (+1,694) di dapat tinggi banjir = 1,807 m.
BT LURUS BARU
BT MARANSI
A
US LAM
BT LUR
D 1.7 KM E
C 0.4
+3.699
BT.BALIMBIANG
+4.426
+3.50
1.4 M
1.2 M B
LAUT
Gambar 4. Skematik tinggi muka air sungai hasilperhitungan stndard step metode
6
456
Kondisi Eksisting Batang Maransi
Berdasarkan perhitungan debit banjir Batang Maransi yang memasuki Batang
Balimbing dengan periode ulang 10 tahun (Q = 55 m3 /dt), dan dengan mengunakan
patok B10 sebagai dasar perhitungan dengan lebar (b) = 14 m, kemiringan talud (m
= 0,5), maka diperoleh tinggi air banjir (h) = 2,645m. Dengan h = 2,645 m
dikurangi elevasi dasar sungai = - 0,436m, maka diperoleh muka air banjir = + 2,209
m, elevasi + 2,209 m lebih tinggi 0,306 m dari elevasi lahan (+1,904m). Jadi banjir
yang disebabkan meluapnya Batang Maransi hanya setinggi 0,30 m jauh lebih
rendah dari tinggi banjir yang disebabkan air banjir dari Batang Balimbing 1,597
m s/d 1,807 m. Dari data ini jelaslah bahwa banjir besar yang terjadi di kawasan
ini diakibatkan oleh masuknya air banjir dari Batang Balimbing.
Selama pintu klep tertutup (5jam), maka debit banjir sebesar 55 m3/dtx3600 detikx
5 jam ) = 990.000 m3 disimpan di badan sungai dan kolam retensi, dan pada saat
air laut surut (periode buang) selama 7 jam air ini dialirkan ke Batang Balimbing
dan seterusnya ke laut. Dimensi Batang Maransi yang digunakan untuk menyimpan
air selama periode simpan (5 jam) adalah lebar (b) = 20m; kemiringan talud (m) =
1,5; kemiringan saluran (i) = 0,000793; dalamnya air (h) = 1,478 m dan panjang
saluran = 3.169 m, dapat menyimpan air sebanyak 104.060 m3 . Serta kolam retensi
seluas 35 ha dengan kapasitas tampung 885.940 m3 dengan kedalaman 2,5 m.
Prinsip Dasar Perhitungan Pintu Klep
Dari Gambar 5, pada titik (a) tinggi muka air di Batang Maransi (hulu) dan di
Batang Balimbing (hilir) sama tinggi, kemudian pada saat air surut, tinggi muka air
di hilir turun dan pintu klep secara perlahan-lahan terbuka dan muka air genangan
di Batang Maransi juga turun karena air ini mengalir ke arah hilir. Pada saat air
pasang mulai naik, tinggi air di hilir juga naik secara perlahan-lahan dan pada saat
muka air hulu sama dengan muka air hilir pada titik (b) pintu akan segera tertutup
dan air di Batang Maransi akan tertahan sebagai genangan, demikian seterusnya
sampai tinggi muka air di hulu dan di hilir bertemu di titik (c), dan pintu akan
terbuka kembali demikianlah seterusnya.
a c
7
457
Kondisi aliran pada bangunan pintu klep yang dipengaruhi pasang surut adalah
berubah-ubah antara kondisi aliran kritis (bebas) dan aliran sub kritis (tenggelam).
Kondisi aliran kritis terjadi jika muka air di hulu tidak lagi dipengaruhi oleh muka
air di hilir ( hd≤ 2/3 hu), sedangkan kondisi aliran sub-kritis terjadi jika muka air di
hulu masih dipengaruhi oleh muka air di hilir bangunan, atau ( hd≥ 2/3 hu).
Dengan demikian rumus dasar di atas dapat diterapkan pada daerah pasang surut
dengan dua kondisi batas yaitu:
1. Di hilir bangunan pintu klep: tinggi muka air akibat fluktuasi pasang surut
2. Di hulu bangunan pintu klep:
a) Genangan air tertinggi (high storage level, HSL)
b) Genangan air terendah yang diizinkan (deep storage level, DSL)
Perhitungan Pintu Klep
Dengan menggunakan data pengukuran pasang surut yang dilakukan oleh
Konsultan Nikken Consultants,Inc, tanggal 9-10 April 2001 di pantai Padang, di
ketahui bahwa pasang surut yang terjadi adalah pasang surut harian ganda (semi
diurnal tide), dimana dalam satu hari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut
dengan tinggi yang hampir sama dan pasang surut terjadi secara berurutan secara
teratur. Dari pengukuran tersebut diperoleh tinggi air pasang + 1,025 m dan air surut
– 0,225 m dari muka air laut rata-rata (Gambar 6.).
12 jam 24 menit
30 30 30 Menit
8
458
4. Bagi periode Tddalam periode kecil-kecil∆ t , dimana ∆ t berkisar antara 1500
detik sampai dengan 3000 detik
5. Tentukan tinggi dasar saluran di hilir pintu sesuai dengan desain system
saluran
6. Ukur ∆hn dan hn pada tengah-tengah∆ t
7. Buat tabel untuk menghitung debit yang keluar (qn ), qn dihitung berdasarkan
jenis aliran kritis atau sub-kritis tergantung tinggi hd dibandingkan dengan hu.
Kondisi aliran kritis( hd≤ 2/3 hu), dan aliran sub-kritis ( hd≥ 2/3 hu),
8. Hitung lebar pintu (b) dengan membagi debit inflow dengan debit outflow
𝑄𝑄.𝑇𝑇
atau b = ∑
𝑞𝑞𝑞𝑞
Selanjutnya perhitungan dilakukan seperti pada Tabel 2:
9
459
Batang Balimbing. Muka air banjir di Batang Balimbing tepatnya di muara
Batang Maransi + 3,501 m sedangkan elevasi muka tanah (lahan) di sekitar
Batang Maransi adalah + 1,424 m s/d 2,45 m. Jadi tinggi banjir berkisar antara
1,051 m - 2,077 m
2) Untuk mencegah air masuk dari Batang Balimbing, di muara Batang Maransi
perlu dibangun bangunan pintu klep (pintu otomatis) sebanyak 5 buah dengan
lebar masing- masing 4 m.
3) Untuk menyimpan air banjir Batang Maransi sewaktu pintu klep tertutup,
Batang Maransi ini perlu dinormalisasi dengan ukuran lebar (b) = 20 m;
kemiringan talud (m) = 1,5, dalamnya air (h) = 1,478 m serta pembuatan kolam
retensi seluas 35 ha dengan kedalaman 2,5 m.
Rekomendasi
Karena biaya pembangunan bangunan pintu klep dan normalisasi serta pembuatan
kolam retensi cukup mahal, maka dalam waktu singkat ini pemerintah kota
hendaknya menyarankan pembangunan rumah panggung dalam kawasan ini , hal
ini dapat dilakukan pada saat pengurusan izin membangun rumah (IMB) yang baru.
REFERENSI
Anggrahini, 2005. Hidrolika Saluran Terbuka, halaman 241-295. Penerbit Srikandi
Surabaya
Kementrian Pekerjaan Umum, 2011. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai
Kodoatie, Robert J., dan Sugiyanto, 2002. Banjir - Beberapa Penyebab dan Metode
Pengendaliannya dalam Perspektif Lingkungan. Cetakan 1, Penerbit Pustaka
Pelajar, Yogyakarta
Kamiana, I Made, 2011. Teknik Perhitungan Debit Rencana Bangunan Air,
halaman 124-130. Penerbit Graha Ilmu Yogyakarta.
Nikken Consultants, Inc., 2000. Completion report for Padang flood control project
Volume 1, Main Report, 2001.
Nursyirwan, I., 1984. Pintu air otomatis dari Perrosemen. PIT HATHI I, Mei 1984
di Jakarta
Siswoko, S., 2010. Upaya Mengatasi Banjir Secara Menyeluruh, PT Mediatama
Sapta karya
Subarkah, I., 1980. Hidrologi Untuk Perencanaan Bangunan Air, penerbit Idea
Dharma Bandung.
10
460
PENINGKATAN RETENSI DEBIT DAN WAKTU TINGGAL
SEBAGAI UPAYA TANGGAP DARURAT: STUDI KASUS DI
TAMBANG KPC SANGATTA
Intisari
23% wilayah konsesi PT Kaltim Prima Coal (KPC) di Sangatta telah menjadi
tambang aktif yang terbagi dalam 20 daerah tangkapan air (DTA). Dengan luas
54,9km2, DTA PS adalah yang terluas di antara 20 DTA. DTA PS didukung 11
rangkaian kolam hulu-hilir untuk mengontrol aliran dan menurunkan kadar
polutan (contaminant) secara bertahap. Keluaran DTA ini, yaitu melewati titik
penaatan kolam PS, harus memenuhi baku mutu sesuai Peraturan Pemerintah. Diuji
dengan hujan 110mm/hari (kala ulang 100 tahun), konfigurasi kolam-kolam yang
adamengakibatkan debit puncak 66,5m3/detik. Debit ini besar dan sulit diolah.
Seiring perubahan paradigma kolam pengendap di titik penaatan dari free flow ke
harus dilengkapi pintu air, sistem dimodifikasi. Dua sub-DTA dengan proporsi
luas dominan, masing-masing 14,1% dan 40,5%, ditingkatkan keandalannya
dalam mengontrolaliran. Dengan modifikasi ini debit puncak inflowke kolam
PS bisa diturunkan menjadi 14,5m3/detik. Saluran buang kolam PS kemudian
disesuaikandan dilengkapi pintu air.Seluruh modifikasi selesai paruh kedua Januari
2016. Sistem baru menyediakan waktu tinggal 10 jam sebelum air melimpas, debit
puncak keluaran kolam PS 7,4m3/detik. Waktu tinggal yang cukup dan debit yang
bisa diolah memberi kesempatan untuk memperbaiki kualitas air sebelum diluahkan
ke badan air alam. Resiko terbuangnya air melebihi baku mutu bisa diminimalkan.
Kata kunci: retensi, waktu tinggal
LATAR BELAKANG
Di wilayah tambang aktif PT Kaltim Prima Coal (KPC) Sangatta saat ini ada 20
Daerah Tangkapan Air (DTA). Secara prinsip pembagian DTA itu merujuk ke
pembagian daerah aliran sungai (DAS) kondisi alami saat tambang belum dibuka.
Seiring berlangsungnya operasi tambang, mulai dari eksplorasi pengeboran
(drilling), pembukaan lahan (clearing), pengupasan tanah pucuk (topsoil),
pemindahan lapis tanah penutup batubara (overburden), penambangan (mining),
penimbunan(dumping), hingga penanaman/penghijauan kembali (rehabilitasi),
semua aliran ke luar dari wilayah operasi tambang dikategorikan air tercemar
(contaminated) dan harus diolah (treatment).
Sebagai 20 DTA terbesar, dengan luas total 54,9km2, DTA PS terdiri dari empat
sub-DTA dan didukung 11 rangkaian kolam hulu-hilir. Secara bertahap kolam-
kolam tersebut dimaksudkan untuk mengendalikan aliran buangan dari tambang.
Pengendalian aliran menjadi kunci untuk menurunkan nilai total suspended solid
461
(TSS) dan kadar keasaman secara berjenjang. Pada saat buangan dari DTA dialirkan
ke sungai (natural water body) melalui kolam PS yang merupakan kolam terhilir,
baku mutunya sudah memenuhi kriteria sebagaimana yang disyaratkan dalam
Peraturan Pemerintah.
Sedikit melihat ke belakang, ukuran DTA PS secara bertahap meluas mengikuti
dinamika tambang. Tata kelola air tambang seperti saat ini sudah terbentuk di
lapangan awal 2011. Perubahan skala kecil, utamanya dalam tata guna lahan,
masih berlangsung namun tidak mengubah substansi yang ada. Rangkaian kolam-
kolam hulu hilir itu semuanya bertipe aliran bebas (free flow) dan tidak dilengkapi
pintu air. Jika muka air lebih tinggi dari dasar saluran pembuang aliran akan terjadi.
Pembangunan pintu air secara implisit tidak dianjurkan karena berpotensi untuk
menggelontorkan air tercemar pada malam hari. Dengan free flow pemantauan
lebih mudah mengingat ketaatan pada baku mutu (compliance) berlaku setiap saat.
Dengan konfigurasi kolam-kolam yang ada jika turun hujan dengan kedalaman
setara hujan kala ulang 100 tahun, akan ada aliran dengan debit puncak 66,5m3/
detik ke kolam PS. Kendati sudah dilakukan pengolahan berjenjang di keempat
sub-DTA di hulunya jika terjadi situasi darurat debit puncak itu cukup sulit diolah.
METODOLOGISTUDI
Mengikuti prinsip umum penanganan masalah drainase perbaikan DTA PS dilakukan
dari hulu.DTA PS terdiri dari empat sub-DTA.Merujuk ke Water Management Plan
2014-2018 V2A, ada dua sub-DTA yang mendesak ditingkatkan kemampuannya
dalam menunda/mengendalikan debit aliran. Perlu ditambahkan bahwa rencana tata
kelola air diperbarui setiap tahun menyesuaikan berubahnya rencana penambangan
seiringpenambahan data dari aktivitas pengeboran (drilling).
Gambar
Gambar 1.1.DTA
DTAPSPS dengan
dengan sub-DTA
sub-DTA di di hulunya
hulunya
K.M
DTA 217,5ha
K.PS
DTA 107,6hA
K.M
DTA 217,5ha
K.PS
Agar kemampuannya mengontrol debit optimal, saluran buang (outlet) yang
DTA 107,6hA
berupa gorong-gorong dipasang di dasar kolam. Dari analisis kolam LB mampu
menurunkanGambar
debit puncak sebesar
2. Pola aliran 66,1%,
di DTAdari 13,1m3/detik
PS dan menjadi 4,5m3/detik.
empat sub-DTA-nya
Kolam KC
Kolam KC adalah
adalah bekas
bekas tambang
tambang yang
yang pada
pada mulanya
mulanya penekanan
penekanan fungsinya
fungsinya untuk
untuk
tempat material buangan (dredger disposal).Luas permukaan kolam KC (kolam tipe
tempat material buangan (dredger disposal).Luas permukaan kolam KC (kolam tipe
mangkok)cukup
mangkok) cukup besar,
besar, tampungan
tampungan hidupnya
hidupnya menjanjikan,
menjanjikan, itu
itu sebabnya
sebabnya modifikasi
modifikasi
atas kondisi
atas kondisi eksisting
eksisting dilakukan.Semula outletkolam KC
dilakukan.Semula outletkolam KC berupa
berupa saluran
saluran terbuka
terbuka
dengan lebar dasar 10m.Saluran
dengan lebar dasar 10m.Saluran ini ini ditutup dan sebagai pengganti dipasang gorong-
sebagai pengganti dipasang gorong-
gorong dengan
gorong dengan posisi
posisi di dasar saluran.
saluran. Kemampuan
Kemampuan mengendalikandebit
mengendalikandebit puncak
puncak
yang semula 35,1% meningkat menjadi 94,9%. Debit puncak buangan 76,2m3/detik
yang semula 35,1% meningkat menjadi 94,9%. Debit puncak buangan 76,2m 3
/
3
detikditurunkan
bisa bisa diturunkan
menjadimenjadi 3,9m /detik.
3,9m /detik. 3
Inflow Inflow
Outflow Outflow
OuflowKC (baru)
Modifikasi OutletKolam PS
Retensi debit aliran di dua sub-DTA mampu mengkondisikan agar debit puncak
yang masuk ke kolam PS tinggal 14,5m3/detik. Mengubah cara pembuangan di
kolam PS dari saluran terbuka ke pemasangan gorong-gorong akan memoderasi
debit puncak namun yang diperlukan lebih dari itu. Kolam PS berstatus titik
penaatan.Air yang dialirkan ke badan air alam harus memenuhi baku mutu, dalam
hal ini Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur nomor 002 tahun 2011. Jika
belum memenuhi baku mutu air tidak boleh dialirkan.
Untuk menghentikan aliran satu-satunya cara hanya dengan memasang pintu air.
Jika pintu air ditutup genangan akan terbentuk dan genangan ini harus diolah
(treatment). Dengan melihat karakteristik tiap-tiap sub-DTA pihak operasional
sudah memiliki panduan bagaimana mengolah tampungan secara efektif. Yang
lebih mengemuka untuk dijawab adalah berapa lama pintu air mampu menahan
aliran sebelum terjadi limpasan lewat saluran terbuka (emergency open channel).
464
Gambar 5. Gambar kerja modifikasi saluran buang kolam PS
Kolam PS itu dulunya tambang aktif.Setelah penambangan selesai, sejak awal
2011 rongga tambang yang terbentuk diintegrasikan ke sistem manajemen air,
disatukan dengan DTA di kitarannya untuk mengendapkan sedimen. Karena
kolam PS langsung terhubung ke sungai dasar saluran buangnya tidak bisa lebih
rendah dari elevasi dasar sungai. Di sisi lain elevasi muka air tertinggi di kolam
PS perlu mempertimbangkan backwater effect mengingat adanya beberapa obyek
vital seperti jalan batubara dan overland conveyor di hulunyaDua batasan tersebut
menghasilkan
Kolam tampungan
PS itu dulunya hidupaktif.Setelah
tambang kurang-lebihpenambangan
351.190m3. selesai, sejak awal 2011
rongga
Grafik tambang
di gambaryang terbentuk diintegrasikan
6 menjelaskan ke bersamaan.
dua hal secara sistem manajemen
Pertama,air,jika
disatukan
pintu
dengan DTA di kitarannya untuk mengendapkan sedimen. Karena
ditutup dan tidak ada aliran ke luar perlu sekira 10 jam agar tampungan penuh. kolam PS
langsung terhubungwaktu
Dengan tenggang ke sungai
yangdasar
cukupsaluran buangnya
perbaikan tidak
kualitas air bisa
secaralebih rendahpada
bertahap dari
elevasi dasar sungai. Di sisi lain elevasi muka air tertinggi di kolam
situasi daruratbisa dioptimalkan. Bertahap di sini mulai dari mengidentifikasi PS perlu
mempertimbangkan backwater
sumber masalah, sub-DTA mana yangmengingat
effect mendesakadanya beberapa
ditangani, obyek vital
menemukan dosisseperti
yang
jalan batubara dan overland conveyor
tepat, hingga kapan pintu air dibuka.Kedua,di hulunyaDua
setelah batasan
kualitastersebut
air menghasilkan
bagus dan pintu
tampungan hidup kurang-lebih 351.190m3.
dibuka debit puncak outflownya kurang-lebih 7,4m3/detik.
14,5
Vol. Air
351.190
Outflow
Gambar6.6.Inflow,
Gambar penambahanvolume,
Inflow,penambahan volume, dan
dan waktu
waktu tinggalkolam
tinggalkolam PSPS
Grafik di gambar 6menjelaskan dua hal secara bersamaan. Pertama, jika pintu
ditutup dan tidak ada aliran ke luar perlu sekira 10 jam agar tampungan penuh. 465
Dengan tenggang waktu yang cukup perbaikan kualitas air secara bertahap pada
situasi daruratbisa dioptimalkan. Bertahap di sini mulai dari mengidentifikasi sumber
masalah, sub-DTA mana yang mendesak ditangani, menemukan dosis yang tepat,
Gambar 7. Modifikasi saluran buang kolam PS
466
Gambar 8.Aplikasi injeksi semen mikro dan pemasangangeocell
467
Rekomendasi
1. Konsekuensi penundaan aliran dan moderasi debit puncakadalah air lebih
lama tertahan di hulu. Laju sedimentasi di kolam-kolam hulu akanbertambah.
Ini perlu antisipasi dini dengan pemantauan tampungan dan penjadualan
pengerukan.
2. Untuk mengukur perbaikan kinerja sistem secara kuantitatif perlu
pemasangan (lagi) AWLR di keluaran kolam PS. Ini sekaligus untuk kontrol
pemakaiansenyawa kimia pada pengolahan kualitas air.AWLR pernah dipasang
namun kami menemui kendala di jaminan purna jual dan ketersediaan suku
cadang.
REFERENSI
Agung Febrianto dan Santosa, 2014. Pemanfaatan rongga bekas tambang sebagai
pengendali kualitas air, disajikan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan HATHI
XXXI, 22-24 Agustus 2014, Padang.
C&E Planning, 2014. Water Management Plan 2014-2018 Version 2A (to Support
5YP V2A 2014-2018), halaman 43-45, Arsip Internal (tidak diterbitkan untuk
umum), Sangatta.
Chow, Ven Te, Maidment, David R., Mays, Larry W., 1998. Applied Hydrology,
halaman 242-252, McGraw-Hill International Edition, Singapore.
Istiarto, 2009. Modul Pelatihan Simulasi Aliran 1-Dimensi Dengan Bantuan Paket
Program Hidrodinamika HEC-RAS Jenjang Dasar: Simple Geometry River,
halaman 1-63, tidak diterbitkan untuk umum, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Istiarto, 2009. Modul Pelatihan Simulasi Aliran 1-Dimensi Dengan Bantuan Paket
Program Hidrodinamika HEC-RAS Jenjang Lanjut: Junction and Inline
Structures,, halaman 1-65, tidak diterbitkan untuk umum, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
Soewarno, 1995. Hidrologi Aplikasi Metode Statistik untuk Analisa Data, halaman
97-226, Penerbit Nova, Bandung.
Sri Harto Br, 1993. Analisis Hidrologi, halaman 178-188, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
468
EVALUASI DESAIN HIDROLOGI WADUK SUTAMI
Kamsiyah Windianita*, Fahmi Hidayat, Djuharijono, dan Teguh Winari
Biro Penelitian dan Pengembangan Perum Jasa Tirta I
*kwindianita@jasatirta1.net
Intisari
Bendungan (waduk) Sutami terletak di Desa Karangkates, Kecamatan Sumber-
pucung, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Bendungan Sutami bagian dari
sistem pengendalian alokasi air untuk kebutuhan Pembangkit Listrik Tenaga Air
(PLTA), irigasi, industri, air minum dan pengendalian banjir di dalam sistem aliran
sungai DAS Brantas. Berdasarkan Completion Report (Januari 1981), desain
bangunan pelimpah Bendungan Sutami didasarkan pada design flood dengan kala
ulang 1000 tahunan sebesar 4.200 m3 /dt (inflow) dengan debit keluaran (outflow)
sebesar 1.580 m3 /dt. Dan berdasarkan hasil penelusuran banjir (flood routing) dari
awal elevasi muka air waduk +272,50 m diperoleh muka air banjir maksimum
setinggi +277,50 m, sehingga dengan tambahan freeboard 1,50 m didapatkan
elevasi puncak bendungan setinggi +279,00 m. Mengingat menurut SNI M-18-
1989-F tentang ”Metode Perhitungan Debit Banjir” menunjukkan bahwa;
Bendungan Sutami termasuk bendungan dengan klasifikasi bendungan besar
(tinggi > 80 m) dengan konsekuensi besar, maka banjir desain harus berdasarkan
QPMF dan besarnya kapasitas pelimpah harus lebih besar dari 30% terhadap Q PMF
serta perubahan iklim yang terjadi pada saat ini maka diperlukan perhitungan ulang
desain hidrologi Waduk Sutami. Berdasarkan analisis desain hidrologi kondisi
Bendungan Sutami masih aman terhadap banjir maksimum Q 1000 , tetapi masih
belum aman terhadap kemungkinan terjadinya banjir maksimum Q PMF.
Kata Kunci: Hidrologi, design flood, Sutami, PMF
LATAR BELAKANG
Bendungan (waduk) Sutami merupakan waduk tahunan yang sudah beroperasi
sejak tahun 1973, terletak di Sungai Brantas tepatnya di Desa Karangkates,
Kecamatan Sumberpucung, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur, berjarak
kurang lebih 35 km dari Kota Malang (Gambar 1). Bendungan Sutami bagian dari
sistem pengendalian alokasi air untuk kebutuhan Pembangkit Listrik Tenaga Air
(PLTA), irigasi, industri, air minum dan pengendalian banjir di dalam sistem aliran
sungai DAS Brantas. Sub DAS Bendungan Sutami memiliki catchment area seluas
2.050 km2 yang terdiri dari sub basin Bendungan Sengguruh seluas 1.659 km2 dan
remaining basin yang terdiri dari Sungai Metro dan beberapa sungai kecil lainnya
seluas 391 km2 . Terdapat 11 stasiun penakar curah hujan di sekitar sub DAS
Bendungan Sutami, namun data yang digunakan untuk analisis hanya 8 (delapan)
stasiun, yaitu: Sta. Pujon, Sta. Tangkil, Sta. Poncokusumo, Sta. Dampit, Sta.
Bendungan Sengguruh, Sta. Bendungan Sutami, Sta. Wagir dan Sta. Tunggorono.
1
469
Gambar 1. Lokasi Penelitian
Berdasarkan Completion Report (Januari 1981), desain bangunan pelimpah
Bendungan Sutami didasarkan pada design flood dengan kala ulang 1000 tahunan
sebesar 4.200 m3 /dt (inflow) dengan debit keluaran (outflow) sebesar 1.580 m3 /dt.
Dan berdasarkan hasil penelusuran banjir (flood routing) dari awal elevasi muka air
waduk +272,50 m diperoleh muka air banjir maksimum setinggi +277,50 m,
sehingga dengan tambahan freeboard 1,50 m didapatkan elevasi puncak bendungan
setinggi +279,00 m.
Mengingat menurut SNI M-18-1989-F tentang ”Metode Perhitungan Debit Banjir”
menunjukkan bahwa; Bendungan Sutami termasuk bendungan dengan klasifikasi
bendungan besar (tinggi > 80 m) dengan konsekuensi besar, maka banjir desain
harus berdasarkan Q PMF dan besarnya kapasitas pelimpah harus lebih besar dari
30% terhadap Q PMF. Adanya perubahan iklim yang terjadi saat ini juga dapat
mempengaruhi kondisi hidrologi di sekitar Waduk Sutami, sehingga diperlukan
perhitungan ulang terhadap desain hidrologinya.
METODOLOGI STUDI
Metodologi yang digunakan untuk melakukan analisis hidrologi Waduk Sutami
antara lain:
1. Pengumpulan (peta dan curah hujan)
Untuk analisis hidrologi digunakan data curah hujan harian dan historis debit
banjir yang pernah terjadi selama 20 (dua puluh) tahun terakhir, serta data
historis pengukuran volume waduk (echo sounding).
2
470
2. Pemeriksaan data
Tidak semua stasiun pengukur curah hujan dapat bekerja dengan baik secara
terus-menerus dikarenakan mengalami kerusakan atau gangguan lainnya,
sehingga data curah hujan pada saat-saat tertentu menjadi tidak lengkap. Data
yang hilang atau kosong tersebut dapat diperkirakan analisis Normal Ratio
Method yang didasarkan pada persamaan berikut :
1 N N N
PX ( PA X PB X ..... PM X ) (1)
N NA NB NM
dengan : PX : Hujan pada stasiun X yang diperkirakan
N X, : Hujan rata-rata tahunan di stasiun X
NA, NB, NM : Hujan rata-rata tahunan di stasiun A, B dan M
PA, PB, PM : Hujan di stasiun A, B dan M
N : Jumlah stasiun referensi
Pemeriksaan dilakukan secara statistik melalui 2 (dua) cara, yaitu pemeriksaan
homogenitas dan pemeriksaan outlier. Pemeriksaan homogenitas mengetahui
data tersebut bersifat konsisten atau tidak dengan menggunakan metode RAPS
(Rescaled Adjusted Partial Summs, Boishaand 1982). Pengujian dilakukan
dengan menggunakan data dari stasiun itu sendiri dengan cara berikut:
S 0* 0 (2)
k
S k* (Yi Y ) dengan k = 1, 2, 3, ..., n (3)
i 1
** S k*
S k (4)
Dy
k
(Y i Y )2
(5)
D y2 i 1
n
Q maks S k** 0≤k≤n (6)
R maks S k** min S k** 0≤k≤n (7)
Berdasarkan nilai di atas, maka dapat dihitung nilai dari Q/ n dan R/ n yang
hasilnya dapat dibandingkan dengan batasan (syarat) maksimum sebagaimana
pada tabel berikut :
3
471
Tabel 1. Batasan nilai maksimum Q/ n dan R/ n (Sri Harto, 1983)
N Q/ n R/ n
90% 95% 99% 90% 95% 99%
10 1.05 1.14 1.29 1.21 1.28 1.38
20 1.10 1.22 1.42 1.34 1.43 1.60
30 1.12 1.24 1.48 1.40 1.50 1.70
40 1.31 1.27 1.52 1.44 1.55 1.78
100 1.37 1.29 1.55 1.50 1.62 1.85
X H exp( X K N S ) (8)
X L exp( X K N S ) (9)
3. Perhitungan hujan rencana, hujan rata-rata Daerah Aliran Sungai (DAS), hujan
efektif, distibusi hujan jam-jaman
Ada beberapa metode untuk menghitung/ melakukan analisis distribusi frekuensi
atau hujan rencana yang sesuai dengan data yang tersedia dari pos-pos atau
stasiun penakar hujan yang ada. Analisis frekuensi yang digunakan dalam studi
ini adalah metode Distribusi Log Pearson Tipe III. Probability density function
distribusi ini adalah:
Log X LogX K.Std (10)
1 n
LogX LogX 1
n i 1
(11)
n
(LogX 1 LogX ) 2
(12)
Std i 1
(n 1)
dengan:
X : curah hujan (mm); Log X = rata-rata log X; K = faktor frekuensi
4
472
4. Perhitungan Hidrograf banjir
Perhitungan hidrograf banjir dilakukan dengan metode hidrograf satuan sintetik
Nakayasu untuk membandingkan besaran debit banjir rancangan dengan studi
terdahulu. Rumus dari hidrograf satuan Nakayasu adalah:
C A Ro
Qp (13)
3,6 ( 0,3 Tp T0,3 )
dengan :
Q p : Debit puncak banjir (m3 /det)
Ro : Hujan satuan (mm)
T0,3 : Waktu yang diperlukan oleh penurunan debit, dari puncak sampai 30%
dari debit puncak
A : Luas daerah pengaliran sampai outlet
C : Koefisien pengaliran
5. Flood Routing
Banjir yang masuk ke waduk sebagian akan ditahan oleh waduk dan selebihnya
akan melimpah melalui bangunan pelimpah. Penelusuran banjir lewat waduk
didasarkan pada persamaan kontinuitas sebagai berikut :
ds
I–O= (14)
dt
dengan : I : Aliran yang masuk ke waduk (m3 /det)
O : Aliran yang keluar dari waduk (m3 /det)
ds/dt : Perubahan tampungan tiap periode (m3 /det)
5
473
Tabel 2. Rekapitulasi data curah hujan tahunan Sub DAS Bendungan Sutami
Ponco- Bend. Bend. Tunggo-
Tahun Pujon Tangkil Dampit Wagir
kusumo Sgrh Sutami rono
1988 1,723.5 1,979.4 2,035.5 1,337.9 1,522.6 1,744.9 1,369.8 2,855.1
1989 1,027.0 3,457.6 1,854.2 1,486.2 2,075.0 1,152.2 1,357.1 4,308.5
1990 2,716.4 1,307.1 1,195.7 1,933.0 1,929.0 1,322.6 3,624.0 3,784.3
1991 1,981.0 1,878.0 2,018.0 2,116.0 1,343.0 1,324.0 2,312.0 4,483.0
1992 3,266.0 3,095.0 3,026.0 3,488.0 2,680.0 2,392.0 3,612.0 8,207.0
1993 2,533.0 1,461.0 2,102.0 1,905.0 1,420.0 1,678.0 2,799.0 5,698.0
1994 2,112.0 1,849.0 3,271.0 1,947.0 1,467.0 1,681.0 2,198.0 4,458.0
1995 2,518.0 2,689.0 3,560.0 3,163.0 2,578.0 2,339.0 2,763.0 5,580.0
1996 1,729.0 2,195.0 2,535.0 1,963.0 1,568.0 1,940.0 2,343.0 5,215.0
1997 1,257.0 1,370.0 1,348.0 1,388.0 860.0 1,053.0 1,352.0 3,295.0
1998 2,026.0 2,926.0 3,274.0 3,623.0 2,843.0 2,687.0 3,243.0 8,462.0
1999 1,947.0 2,322.0 2,479.0 2,179.0 1,890.0 1,576.0 2,515.0 6,147.0
2000 1,969.0 2,505.0 2,513.0 2,392.0 2,070.0 1,747.0 1,968.0 6,666.0
2001 939.0 1,219.0 1,327.0 1,203.0 1,253.0 1,206.0 1,120.0 3,691.0
2002 1,168.0 2,159.0 2,012.0 2,007.0 2,035.0 1,696.0 2,194.0 5,148.0
2003 1,458.0 1,611.0 1,554.0 1,293.0 2,068.0 1,518.0 1,087.0 3,891.0
2004 1,188.0 1,983.0 2,018.0 2,225.0 2,324.0 1,619.0 1,915.0 6,033.0
2005 1,278.0 1,969.0 1,827.0 2,330.0 2,330.0 1,463.0 2,385.0 5,784.0
2006 1,253.0 1,913.0 2,101.0 1,223.0 1,828.0 1,060.0 1,865.0 4,708.0
2007 1,936.0 2,534.0 2,135.0 3,949.0 3,336.0 1,512.0 2,128.0 5,829.0
2008 1,905.0 1,755.0 1,951.0 3,264.0 2,546.0 1,608.0 2,074.0 4,836.0
2009 1,414.0 1,571.0 1,904.0 3,235.0 1,712.0 1,171.0 1,969.0 4,416.0
2010 2,692.0 1,829.0 3,290.0 5,726.0 3,864.0 2,457.0 3,638.0 8,401.0
2011 1,382.0 2,120.0 1,585.0 3,755.0 2,394.0 1,025.0 1,255.0 3,077.0
2012 1,609.0 1,918.0 1,617.0 1,967.0 2,135.0 1,280.0 1,637.0 5,010.0
2013 2,553.0 2,326.0 2,530.0 2,737.0 2,495.0 1,774.0 2,325.0 4,139.0
Melalui persamaan (2) s.d persamaan (7) dapat diketahui nilai homogenitas data
dan diperoleh nilai Q/ n dan R/ n sebagai berikut:
Tabel 3. Nilai Q/ n dan R/ n pada masing- masing stasiun penakar curah hujan
No Nama Stasiun (Sta) Nilai Q/ n Nilai R/ n
1 Pujon 0.48 0.77
2 Tagkil 0.50 0.81
3 Poncokusumo 0.42 0.73
4 Dampit 0.61 0.85
5 Sengguruh 0.53 0.91
6 Sutami 0.48 0.74
7 Wagir 0.38 0.68
8 Tunggorono 0.43 0.73
6
474
Tabel 4. Data curah hujan harian maksimum Sub DAS Bendungan Sutami
Ponco- Bend. Bend. Tunggo-
Tahun Pujon Tangkil Dampit Wagir
kusumo Sgrh Sutami rono
1988 69.0 111.0 63.9 62.0 47.3 118.0 67.0 98.9
1989 55.9 212.4 87.5 43.8 103.0 58.7 59.3 153.1
1990 147.3 76.0 37.4 68.0 90.0 90.0 216.0 104.2
1991 79.0 85.8 110.0 118.0 75.0 57.0 108.0 150.0
1992 146.0 125.0 95.0 172.0 123.0 84.0 216.0 187.0
1993 158.0 63.0 128.0 119.0 73.0 101.0 134.0 192.0
1994 87.0 112.0 217.0 153.0 108.0 119.0 86.0 181.0
1995 72.0 101.0 198.0 186.0 126.0 84.0 137.0 150.0
1996 111.0 104.0 184.0 78.0 76.0 76.0 116.0 166.0
1997 66.0 114.0 75.0 80.0 73.0 73.0 100.0 131.0
1998 54.0 95.0 103.0 125.0 82.0 105.0 113.0 256.0
1999 81.0 91.0 91.0 129.0 181.0 132.0 102.0 224.0
2000 68.0 105.0 84.0 127.0 96.0 57.0 101.0 285.0
2001 141.0 114.0 66.0 114.0 70.0 79.0 91.0 186.0
2002 59.0 95.0 86.0 244.0 156.0 148.0 119.0 196.0
2003 95.0 81.0 72.0 54.0 87.0 172.0 93.0 196.0
2004 65.0 86.0 98.0 183.0 126.0 148.0 139.0 236.0
2005 65.0 86.0 87.0 102.0 138.0 70.0 120.0 178.0
2006 107.0 91.0 75.0 45.0 50.0 48.0 71.0 248.0
2007 103.0 135.0 122.0 334.0 216.0 73.0 81.0 246.0
2008 60.0 86.0 170.0 236.0 113.0 77.0 116.0 129.0
2009 67.0 75.0 80.0 168.0 98.0 61.0 102.0 326.0
2010 85.0 86.0 85.0 154.0 149.0 78.0 173.0 210.0
2011 75.0 49.0 79.0 154.0 106.0 63.0 97.0 124.0
2012 109.0 72.0 110.0 170.0 119.0 105.0 81.0 177.0
2013 113.0 81.0 115.0 128.0 77.0 75.0 64.0 155.0
7
475
Tabel 5. Curah hujan maksimum masing-masing stasiun pengamatan
No Stasiun Kala Ulang PT (%) K K.S Log XT Q T (mm)
10 10.00 1.2799 0.1771 2.1131 129.75
1 Pujon 200 0.50 2.5592 0.3541 2.2901 195.04
1000 0.10 3.3705 0.4664 2.4024 252.57
10 10.00 1.2848 0.1237 2.0814 120.62
2 Tangkil 200 0.50 2.6020 0.2505 2.2082 161.53
1000 0.10 3.4304 0.3303 2.2880 194.09
10 10.00 1.2774 0.1874 2.1917 155.50
3 Poncokusumo 200 0.50 2.5399 0.3725 2.3769 238.18
1000 0.10 3.3459 0.4908 2.4951 312.70
10 10.00 1.2834 0.2884 2.3709 234.92
4 Dampit 200 0.50 2.5894 0.5819 2.6644 461.72
1000 0.10 3.4236 0.7693 2.8518 710.93
10 10.00 1.2820 0.2015 2.1999 158.46
5 Sengguruh 200 0.50 2.5762 0.4049 2.4033 253.13
1000 0.10 3.3960 0.5338 2.5322 340.56
10 10.00 1.2800 0.1849 2.1173 131.02
6 Bend. Sutami 200 0.50 2.5603 0.3698 2.3023 200.57
1000 0.10 3.3774 0.4878 2.4203 263.19
10 10.00 1.2799 0.1828 2.2070 161.06
7 Wagir 200 0.50 2.5595 0.3657 2.3898 245.36
1000 0.10 3.7031 0.5290 2.5532 357.42
10 10.00 1.2825 0.1647 2.4206 263.38
8 Tunggorono 200 0.50 2.5808 0.3313 2.5873 386.61
1000 0.10 3.4009 0.4366 2.6926 492.67
Tabel 6. Hasil perhitungan penelusuran banjir yang dilakukan berdasarkan
berbagai kala ulang debit banjir rencana
No Kala Ulang Debit Mak. (m3 /dt) El. M. A. Waduk (m) Keterangan
Inflow Outflow Awal MAB
1 Q10 814 559 272,50 273,00 Aman
2 Q200 2.506 1.110 272,50 275,27 Aman
3 Q1000 3.642 1.580 272,50 276,92 Aman
4 QP MF (Hersfield)
100% 8.234 3.260 272,50 281,68 Tidak aman
90% 7.309 2.900 272,50 280,62 Tidak aman
80% 6.384 2.651 272,50 279,90 Tidak aman
70% 5.460 2.329 272,50 278,98 Kurang aman
60% 4.539 1.969 272,50 277,94 Aman
5 QP MF (Isohyet) 7.182 2.917 272,50 280,67 Tidak aman
Berdasarkan hasil analisis debit banjir rancangan setelah melalui penelusuran banjir
di Sengguruh dan Sutami, tingkat keamanan terhadap kemungkinan terjadinya
limpasan (overtopping) dapat dilihat pada Tabel 7 dibawah ini.
8
476
Tabel 7. Tingkat keamanan terhadap kemungkinan terjadinya limpasan (over
toping) Waduk Sutami
Curah hujan rata-rata tahunan selama 20 tahun terakhir kurang lebih setinggi 2.300
mm, dengan curah hujan minimum setinggi 1.600 mm dan maksimum setinggi
5.200 mm. Tetapi pada lokasi tertentu terdapat daerah yang curah hujannya cukup
tinggi, yaitu di Sta. Tunggorono dengan curah hujan di atas 8.000 mm. Curah hujan
harian maksimum tertinggi tercatat setinggi 344 mm di Sta. Dampit yang terjadi
pada tahun 2007.
9
477
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh manajemen Perusahaan Umum
Jasa Tirta I (PJT I) yang telah memberikan dukungan baik berupa data-data maupun
dukungan finansial.
DAFTAR PUSTAKA
-------, 1994. SNI 03-3432-1994, Tata Cara Penetapan Banjir Rencana dan
Kapasitas Pelimpah untuk Bendungan.
Direktorat Bina Teknik, 1999. Panduan Perencanaan Bendungan Urugan, Volume
II, Analisis Hidrologi, Juli 1999, Departemen Pekerjaan Umum, Direktorat
Jenderal Pengairan, Direktorat Bina Teknik.
Subarkah, Iman, 1980. Hidrologi untuk Perencanaan Bangunan Air, Idea Dharma,
Bandung.
Soemarto, CD., 1999. Hidrologi Teknik, Edisi Dua, Erlangga , Jakarta.
Suyono Sosrodarsono, dan Kensaku Takeda, 1989. Bendungan Tipe Urugan,
Penerbit PT. Pradnya Paramita Jakarta.
10
478
EFEKTIFITAS PENGENDALIAN EROSI DAN SEDIMEN
DI DAS MANIKIN KABUPATEN KUPANG
PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR
Ussy Andawayanti1*, Ery Suhartanto1, Pitoyo Tri Juwuno1, dan Arnoldus Nama2
1
Jurusan Pengairan, Fak.Teknik, Universitas Brawijaya, Malang
2
Program Magister Teknik Pengairan, Fak. Teknik, Universitas Brawijaya, Malang
*uandawayanti@ub.ac.id atau uandawayanti@yahoo.co.id
Intisari
Daerah Aliran Sungai (DAS) Manikin terletak di Kabupaten Kupang Propinsi
Nusa Tenggara Timur. DAS ini mempunyai permasalahan umum berupa erosi
lahan. Tujuan dari penelitian adalah mengidentifikasi Tingkat Bahaya Erosi
(TBE), sebaran kekritisan lahan, dan menentukan teknik konservasi yang sesuai
dengan kondisi DAS Manikin. Analisis Tingkat Bahaya Erosi ditentukan
berdasarkan besarnya laju erosi. Analisis laju aliran air, erosi dan sedimen pada
Daerah Aliran Sungai (DAS) menggunakan Pemodelan AVSWAT 2000. Hasil
analisis menunjukkan Tingkat Bahaya Erosi sedang seluas 984,59 ha, berat
5.069,52 ha dan sangat berat 3.589,26 ha. Kekritisan lahan pada kawasan lindung
yaitu potensial kritis seluas 2.662,21 ha, agak kritis 2.768,83 ha, kritis 585,68 ha,
dan sangat kritis 37,41 ha. Kawasan penyangga yaitu agak kritis seluas 532,52 ha,
kritis 186,91 ha, dan sangat kritis 53,62 ha. Adapun pada fungsi kawasan
budidaya yaitu kritis seluas 2.495,90 ha, dan sangat kritis seluas 320,22 ha. Hasil
analisis efektifitas konservasi lahan secara vegetatif pada daerah kritis dan sangat
kritis dapat menurunkan laju erosi kira-kira sebesar 64,451%, yaitu dari rata-rata
laju erosi sebesar 23,199 ton/ha/thn turun menjadi hanya 8,247 ton/ha/thn.
Dengan membangun check dam sebanyak delapan buah , mampu mereduksi
sedimen sebesar 164.424,2 ton/tahun atau 62.045.861 m3/thn (15,09%) dari dari
total sedimen di outlet DAS Manikin.
Kata Kunci: Tingkat Bahaya Erosi, Kekritisan Lahan, Sedimen, Efektivitas
Upaya Pengendalian
LATAR BELAKANG
Penambahan jumlah lahan kritis di Nusa Tenggara Timur (NTT) sampai dengan
tahun 2004 telah mencapai 2.109.496 ha atau 44,55% dari luas wilayah daratan
NTT yang mencapai 47.349,9 km2. Degradasi lahan Timor Barat dapat dilihat dari
meningkatnya lahan kritis pada Wilayah Sungai Benanain dan Noelmina, yaitu
terjadi peningkatan lahan kritis pada Wilayah Sungai Benanain sebesar 255.960
ha dengan rata-rata 11.635 ha/tahun, sedangkan pada Wilayah Sungai Noelmina
mencapai 50.603 ha dengan rata-rata sebesar 2.300 ha/ tahun. Hidayatullah
(2008), bahwa rata-rata laju peningkatan lahan kritis di NTT selama 20 tahun
terakhir mencapai 15.163,65 ha/tahun. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka
1
479
perlu dilakukan kajian Tingkat Bahaya Erosi (TBE), kekritisan lahan, dan
efektifitas bangunan pengendali sedimen akibat erosi yang terjadi di Daerah
Aliran Sungai (DAS) Manikin.
Erosi adalah suatu peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian tanah
dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami (Arsyad, 2006: 42). Erosi
menyebabkan hilangnya lapisan atas tanah yang subur dan baik untuk
pertumbuhan tanaman serta berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan
menahan air. Tanah yang terangkut tersebut akan diendapkan berupa sedimen di
dalam sungai, waduk, danau, saluran irigasi, diatas tanah pertanian, dan
sebagainya. Menurut Asdak (2002) besarnya laju erosi ditentukan dengan
menggunakan rumus MUSLE (Modification Soil Loss Equation). Analisis laju
erosi dan sedimen dianalisis dengan menggunakan bantuan program AVSWAT
2000 (ArcView Soil and Water Assessment Tool) adalah sebuah software yang
berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG) sebagai exstensi di dalam program
ArcView 3.x (ESRI). AVSWAT dirancang untuk memprediksi pengaruh
manajemen lahan pada aliran air, sedimen, dan lahan pertanian dalam suatu
hubungan yang kompleks pada suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) termasuk di
dalamnya jenis tanah, tata guna lahan dan manajemen kon-disi lahan secara
periodik. Salah satu keluaran model AVSWAT 2000 adalah laju erosi. Model
SWAT menghitung erosi berdasarkan rumus Modifikasi USLE (Neitsch S.L.,
et.al, 2002):
sed 11,8(Qsurf q peak areahru ) 0,56 K USLE
CUSLE PUSLE LSUSLE CFRG (1)
dengan:
sed : Sedimen yied (ton)
Qsurf : Volume limpasan permukaan (mm/ha)
qpeak : Debit puncak (m3/det)
ahru : Luas DAS (ha)
K : Erodibilitas tanah
C : Faktor tanaman
P : Faktor pengelolaan lahan
LS : Faktor lereng
CFRG : Faktor kekasaran material tanah
Besarnya tingkat bahaya erosi (TBE) didefinisikan perbandingan antara laju erosi
potensial terhadap laju erosi yang masih diijinkan. Dengan mengetahui TBE dapat
diketahui pula tingkat kekritisan DAS tersebut.
Menurut Asdak (1995) analisis fungsi kawasan ditetapkan berdasarkan kriteria
dan tata cara penetapan hutan lindung dan hutan produksi yang berkaitan dengan
SK Menteri Pertanian No. 387 dan karakteristik fisik DAS yaitu kemiringan
lereng, jenis tanah menurut kepekaannya terhadap erosi, dan curah hujan harian
rata-rata.
Upaya konservasi yang dilakukan untuk menanggulangi erosi adalah cara vegetasi
dan mekanik. Konservasi secara vegetatif diprioritaskan pada lokasi yang kritis
dan sangat kritis pada masing-masing fungsi kawasan dan disesuaikan dengan
2
480
fungsi kawasan tersebut. Untuk mengatasi sedimen yang masuk ke sungai dapat
dilakukan dengan membangun bangunan pengendali sedimen (check dam).
Tabel 1. Klasifikasi Tingkat Bahaya Erosi (Permenhut No. P32/Menhut-II/2009)
Kelas Bahaya Erosi
I II III IV V
Solum Tanah (cm)
Erosi (ton/ha/tahun)
<15 15-60 60-180 180-480 >480
Dalam (>90) SR R S B SB
Sedang (60-90) R S B SB SB
Dangkal (30-60) S B SB SB SB
Sangat dangkal (<30) B SB SB SB SB
Keterangan : SR : Sangat Ringan S : Sedang B : Berat
R : Ringan SB : Sangat Berat
METODOLOGI STUDI
Lokasi penelitian adalah di DAS Manikin yang terletak dalam Wilayah Kabupaten
Kupang Propinsi Nusa Tenggara Timur. Luas Wilayah 5.431,23 Km2. Kabupaten
Kupang ini memiliki batas-batas wilayah administrasi sebelah Utara: Selat Ombai;
sebelah Selatan: Laut Timor; sebelah Timur: Kabupaten Timor Tengah Selatan
(TTS) dan sebelah Barat: Laut Sawu. Berdasarkan keadaan batuannya, Kabupaten
Kupang terdapat kelompok jenis tanah dominan yaitu Alluvial, Grumosol, Litosol,
Mediteran Merah Kuning dan Kompleks dengan tesktur tanah halus sampai kasar.
Data-data yang diperlukan adalah sebagai berikut :
1. Data curah hujan harian tahun 2005 s.d. 2014 yang bersumber dari Badan
Meterologi dan Geofisika Kupang. Data curah hujan hasil pengamatan Stasiun
yang berada disekitar DAS Manikin.
2. Peta Daerah Aliran Sungai (DAS) dan jaringan sungai Pulau Timor yang
bersumber dari BP DAS Benain Noelmina sebagai alat pembanding dalam
pembuatan batas DAS
3. Peta RBI dengan skala 1: 50.000 digunakan untuk mengetahui kondisi alam,
elevasi, dan arah aliran.
4. Citra penginderaan jauh Satelit Lansat 7 ETM+ dan Lansat 8 (OLI) lokasi
studi tahun perekaman 2004, 2009, dan 2014 yang bersumber dari USGS
3
481
(U.S. Geological Survey) yang digunakan untuk mengidentifikasi kondisi tata
guna lahan di DAS Manikin.
5. Peta tata guna lahan tahun 2009 Kabupaten Kupang sebagai alat pembanding
peta tata guna lahan yang diperoleh dari pengolahan citra penginderaan jauh.
6. Peta jenis tanah digunakan untuk mengetahui jenis tanah pada DAS Manikin
dan menentukan nilai erodiblitas tanah.
7. Peta stasiun hujan digunakan mengetahui penyebaran stasiun penakar hujan.
Selain itu untuk mengetahui luas daerah pengaruh stasiun hujan.
4
482
Gambar 2. Peta Tata Guna Lahan Hasil Klasifikasi
5
483
Gambar 3. Sebaran Laju Erosi DAS Manikin
Hasil analisis spasial memberikan gambaran bahwa rara-rata laju erosi DAS
Manikin adalah 23.199 ton/ha/thn. Laju erosi tertinggi adalah sebesar 66,002
ton/ha/thn yang terjadi di Sub DAS 1 dan laju erosi terendah sebesar 2,081
ton/ha/thn yang terjadi di Sub DAS 76.
Analisis Tingkat Bahaya Erosi
Dari hasil analisis Tingkat Bahaya Erosi (TBE) dapat diketahui bahwa terdapat
tiga (3) Tingkat Bahaya Erosi di DAS Manikin yaitu Tingkat Bahaya Erosi
sedang, Tingkat Bahaya Erosi berat, dan Tingkat Bahaya Erosi sangat berat. Dari
peta tingkat bahaya erosi (Gambar 4) secara visual dapat dilihat bahwa sebagaian
besar Tingkat Bahaya Erosi sangat berat tersebar di bagian tengah dan ke arah
hilir DAS, sedangkan Tingkat Bahaya Erosi sedang dan berat tersebar di bagian
tengah DAS dan bagian Hulu DAS.
Hasil analisis spasial diperoleh gambaran bahwa sebagian besar DAS Manikin
dikategorikan memiliki Tingkat Bahaya Erosi sedang, berat dan sangat berat.
Secara rinci persentase penyebaran tingkat bahaya erosi di DAS Manikin, yaitu:
tingkat bahaya erosi sedang sebesar 10,21% (984,588 ha), tingkat bahaya erosi
berat sebesar 52,58% (5.070,486 ha), dan sangat berat sebesar 37,22% (3.589,264
ha).
Adapun analisis kekritisan lahan juga dilakukan untuk masing-masing fungsi
kawasan. Untuk itu terlebih dahulu dilakukan pemetaan fungsi kawasan DAS
Manikin. Pembuatan peta fungsi kawasan DAS Manikin berdasarkan peta fungsi
kawasan Kabupaten Kupang yang diperoleh dari BAPPEDA Kabupaten Kupang.
Berdasar hasil sepasial terhadap peta fungsi kawasan DAS Manikin diperoleh
gambaran luas masing-masing fungsi kawasan seperti pada Tabel 3.
6
484
Gambar 4. Peta Sebaran Tingkat Bahaya Erosi (TBE) dan Prosentase TBE DAS
Manikin
Tabel 3. Luas Masing-masing Fungsi Kawasan DAS Manikin.
No Kawasan Luas (Ha) Prosentase (%)
1 Budidaya 2.816,12 29,2
2 Penyangga 773,05 8,0
3 Lindung 66.054,20 62,8
Total 9.643,37 100
Gambar 5. Peta sebaran dan Prosentase kekritisan lahan pada fungsi kawasan lindung
DAS Manikin
7
485
Gambar 6. Peta sebaran dan Prosentase kekritisan lahan fungsi kawasan Penyangga
DAS Maniki
Gambar 7. Peta sebaran dan prosentase kekritisan lahan fungsi kawasan Budidaya
DAS Maniki
Hasil analisis kekritisan lahan DAS Manikin diperoleh gambaran bahwa lahan
sangat kritis dan kritis terkonsentrasi dibagian hilir DAS yaitu di bagian DAS
yang berfungsi sebagai kawasan budidaya. Untuk kawasan lindung lahan kritis
dan sangat kritis hanya sekitar 10,292% dari keseluruhan luas lahan kawasan
lindung. Sedangkan kawasan penyangga luas lahan kritis dan sangat kritis
31,144% dari luas lahan kawasan penyangga.
8
486
tanah. Metode-metode budidaya yang disarankan untuk diterapkan di fungsi
kawasan budidaya DAS Manikin adalah: Tanaman Bersusulan (Tumpang Gilir),
Penanaman tanaman penutup tanah sebagai pupuk hijau, Budidaya lorong, Pagar
hidup, Penghijauan lingkungan. Dampak dan manfaatnya memerlukan waktu
beberapa tahun tergantung jenis tanamannya. Oleh karena itu perlu dilakukan
kombinasi dengan upaya konservasi secara mekanik.
Hasil analisis efektifitas konservasi lahan secara vegetatif pada daerah kritis dan
sangat kritis dapat menurunkan laju erosi kira-kira sebesar 64,451%, yaitu dari
rata-rata laju erosi sebesar 23,199 ton/ha/thn turun menjadi hanya 8,247
ton/ha/thn.
2. Konservasi Mekanik
Konservasi mekanik dilakukan pada lokasi-lokasi dengan Tingkat Bahaya Erosi
(TBE) berat dan sangat berat. Berdasarkan peta sebaran Tingkat Bahaya Erosi
(TBE) DAS Manikin direncanakan penempatan bangunan pengendali sedimen
(Check Dam) di delapan lokasi dengan tingkat bahaya erosi berat dan sangat
berat. Data sedimen potensial hasil pemodelan AVSWAT 2000, debit rencana
kala ulang tahun (Q10) hasil perhitungan, peta kontur dan data kemiringan sungai
hasil delinasi batas DAS digunaka untuk merencanakan desain bangunan
pengendali sedimen (check dam). Tabel 4 adalah rekapitulasi hasil perencanaan
dimensi check dam, sedangkan Gambar 8 adalah lokasi penempatan check dam.
Konservasi mekanik berupa perencanaan bangunan pengendali sedimen (check
dam) dibangun pada daerah dengan tingkat Bahaya Erosi berat dan sangat berat
yaitu dibangun pada delapan lokasi. Dengan membangun check dam sebanyak
delapan buah, mampu mereduksi sedimen sebesar 164.424,2 ton/tahun atau
62.045.861 m3/thn (15,09%) dari dari total sedimen di outlet DAS Manikin.
Tabel 4. Rekapitulasi Hasil Perencanaan Dimensi Cek DAM
Usia Guna Sedimen Laju Volume
No Luas Tangkapan
Tam- Slope Model Sedimen Tampungan Debit Lebar
Chek
pungan Sungai AVSWAT Potensial Sedimen (Q10) Sungai
Dam M2 Ha Km2
(Tahun) (ton/thn) (m3) (m3)
1 5 3268750 326.875 3.269 0.02 27252.13 10283.82 51419.12 2.46 25
2 10 912500 91.250 0.913 0.079 6111.478 2306.218 23062.18 1.43 25
3 5 4110625 411.063 4.111 0.024 22456.83 8474.276 42371.38 10.0 25
4 5 1878750 187.875 1.879 0.020 38498.11 14527.59 72637.94 6.26 25
5 20 894375 89.438 0.894 0.011 5264.86 1986.74 39734.79 2.59 25
6 5 4574375 457.438 4.574 0.073 41642.53 15714.16 78570.81 8.72 25
7 5 2383750 238.375 2.384 0.052 18662.58 7042.483 35212.41 6.69 25
8 15 2204375 220.438 2.204 0.034 4535.671 1711.574 25673.61 6.73 25
9
487
vegetatif diberlakukan pada daerah kritis dan sangat kritis. Upaya vegetatif ini
dari hasil analisis efektif dapat menurunkan laju erosi kira-kira sebesar 64,451%,
yaitu dari rata-rata laju erosi sebesar 23,199 ton/ha/thn turun menjadi hanya 8,247
ton/ha/thn. Sedangkan upaya mekanik atau pembangunan check dam diberlakukan
pada daerah dengan tingkat bahaya erosi berat dan sangat berat. Pada DAS
Manikin diperlukan 8 buah check dam. Adapun efektifitas bangunan kedelapan
check dam ini mampu mereduksi sedimen sebesar 164.424,2 ton/tahun atau
62.045.861 m3/thn (15,09%) dari dari total sedimen di outlet DAS Manikin.
Rekomendasi
Oleh karena itu berdasarkan hasil analisis perlu dilakukan segera penanganan
secara serius dan terintegrasi seluruh stake holder dari Pemerintah Pusat,
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Pemerintah Kabupaten
Kupang (Dinas Kehutanan, BP DAS Noelmina, Dinas Pertanian, Dinas
Perkebunan, Dinas PU), untuk mengupayakan langkah-langkah kegiatan
rehabilitasi hutan dan lahan di kawasan DAS Manikin dengan mensosialisasikan
kepada masyarakat kabupaten Kupang guna mendukung program rehabilitasi
hutan dengan penanaman tanaman keras berbasis Agroforestry dan Social
Forestry, pemantapan peraturan pemanfaatan fungsi kawasan.
REFERENSI
Arsyad, Sitanala. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: Penerbit IPB Press
Asdak, C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gajah Mada
University Press. Yogya-karta Hidayatullah, M. 2008. Rehabilitasi Lahan
dan Hutan di Nusa Tenggara Timur. Jurnal Info Hutan. Vol. V No. 1 : 17-
24.
Hidayatullah, M. 2008. Rehabilitasi Lahan dan Hutan di Nusa Tenggara Timur.
Jurnal Info Hutan. Vol. V No. 1 : 17-24.
Kementerian Kehutanan RI, 2009. Peraturan Menteri Kehutanan Republik
Indonesia Nomor: P. 32/MENHUT-II/2009 tentang Tata Cara Penyusunan
Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai
(RTkRHL-DAS)
Limantara, L. M. 2010. Hidrologi Teknik Dasar. Malang: CV. Citra Malang.
Neitsch, S. L., Arnold, J. G., Kiniry, J. R., Srinivasan, R., Williams, J. R. 2002.
Soil and Water Assessment Tool, Theoretical Documentation Version 2000.
Temple, Texas: U.S. Department of Agriculture - Agricultural Research
Service, Grassland Soil and Water Research Laboratory and Texas A&M
University, Blackland Research and Extension Center.
Njurumana, G. ND. 2008. Potensi Pengembangan Mamar sebagai Model Hutan
Rakyat dalam Rehabilitasi Lahan Kritis di Timor Barat. Jurnal Penelitian
Hutan dan Konservasi Alam. Vol. V No. 5: 473-484.
Thompson, S. A. 1999. Hydrology for Water Management. Brookfield, USA:
A.A. Bal-kema Publishers.
10
488
REKAYASA PERLINTASAN SUNGAI BRINGIN
DAN JALAN TOL SEMARANG-BATANG
Suseno Darsono*, Ratih Pujiastuti, Lilis Suryani, dan Susilowati
Pusat Studi Bencana LPPM Universitas Diponegoro
*E-mail: sdarsono@hotmail.com
Intisari
Trase jalan tol Semarang-Batang pada Sta 444+881 melintasi Sungai Bringin yang
beralur meander sepanjang 667,45 m. Untuk melintasi Sungai Beringin, ada 3(tiga)
alternatif perlintasan jalan tol yang diusulkan dalam studi ini. Alternatif perlintasan
ke I adalah menggunakan jalan layang, ke II pemindahan alur sungai, dan yang ke
III adalah kombinasi antara jembatan layang dan pembangunan embung. Sungai
Bringin adalah sungai yang dapat dikategorikan sebagai sungai yang garang, karena
itu masing-masing alternatif tersebut perlu dikaji pengaruhnya pada morfologi
sungai, dan lingkungan daerah hilirnya. Analisis yang dilakukan dalam studi ini
antara lain analisis hidrologi untuk memprediksi debit banjir, analisis hidrolika
untuk melihat pengaruh aliran banjir dan analisis multi kriteria untuk memilih
alternatif yang terbaik berdasarkan beberapa kriteria. Analisis hidrologi
menggunakan HEC-HMS untuk menganalisis volume kolam embung, lebar
bangunan pelimpah, tinggi muka air banjir dan elevasi puncak bendungan. Analisis
hidrolika dilakukan dengan HEC-RAS untuk mengkaji tinggi muka air dan
kecepatan aliran. Pemilihan alternatif dalam pengambilan keputusan dilakukan
dengan kajian analisis multikriteria “Weighted Average” yang paling sederhana
agar analisisnya mudah diikuti oleh pihak-pihak yang berwenang mengambil
keputusan. Penelitian ini bermanfaat untuk menentukan alternatif yang terbaik
berdasarkan aspek hidrologi, hidrolika, morfologi sungai, waktu dan biaya
pelaksanaan.
Kata Kunci: Embung, Perlintasan sungai, Pengendalian Daya Rusak Air.
LATAR BELAKANG
Trase jalan tol Semarang-Batang pada Sta 444+881 melintasi sungai Bringin di
bagian tengah yang beralur meander sepanjang 667,45m. Penelitian ini merupakan
pemilihan rekayasa perlintasan jalan tol Semarang-Batang dengan sungai Bringin
yang semula beralur meander. Salah satu kriteria pemilihan yang paling utama
adalah waktu pelaksanaan agar dapat mencapai target pembangunan sebelum hari
raya Iedul Fitri tahun 2017 jalan tol Semarang-Batang harus sudah fungsional.
Sungai Bringin dapat dikategorikan sungai yang garang dan penyebab banjir di
wilayahnya. Saat ini sedang dilakukan kajian pengendalian banjir dengan perbaikan
sungai bagian hilir dan pembangunan embung-embung di bagian hulu untuk
mengurangi puncak banjir. Hal ini dilakukan karena keterbatasan lahan dibagian
hilir untuk dapat memperbesar palung sungai.
1
489
Alternatif rekayasa perlintasan sungai perlu dipilih dengan metode multikriteria
yang paling sederhana. Kajian terhadap pemilihan usulan rekayasa sungai Bringin
berdasarkan aspek hidrologi, hidraulika, ekonomi dan pengaruh terhadap
lingkungan.
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka tujuan dari studi atau kajian ini
adalah seperti berikut;
1. Menentukan alternatif perlintasan jalan tol dengan Sungai Beringin.
2. Menganalisis debit banjir pada lokasi perlintasan jalan tol dengan Sungai
Bringin.
3. Menganalisis muka air aliran banjir dengan model hidrolika.
4. Menentukan kriteria-kriteria guna menentukan alternatif yang paling unggul.
5. Melakukan pemilihan alternatif yang paling unggul dengan teknik analisis
multikriteria.
METODOLOGI STUDI
Kajian pemilihan alternatif perlintasan Sungai Bringin dengan jalan tol Semarang-
Batang ini dilakukan dengan metodologi seperti berikut:
1. Pengumpulan data sekunder
Data yang diperlukan dalam kajian ini antara lain :
a) Data curah hujan.
b) Peta tata guna lahan dan jenis tanah
c) Data historis pasang surut
d) Data penampang memanjang dan melintang Sungai Bringin
2. Analisis hidrologi
Model yang digunakan dalam analisis debit banjir adalah HEC-HMS. Model
HEC-HMS (Hydrologic Engineering Center’s Hydrologic Modeling System)
adalah software yang dikembangkan oleh U.S Army Corps of Engineering,
yang digunakan untuk analisis hidrologi dengan mensimulasikan proses
curah hujan dan limpasan langsung (run off) dari sebuah wilayah sungai (Sun,
2015). Konsep dasar perhitungan dari model HEC–HMS adalah data hujan
sebagai input air untuk satu atau beberapa sub daerah tangkapan air (sub
basin) yang sedang dianalisis. Jenis datanya berupa intensitas, volume, atau
komulatif volume hujan. Aliran permukaan adalah komponen yang keluar
dari sub basin (Corps of Engineers, 2000). Dalam studi ini digunakan teori
hidrograf satuan sintetik dari SCS (soil conservation service) (Corps of
Engineers, 2000).
3. Analisis hidrolika
Sungai Bringin pada studi ini dimodelkan dengan menggunakan HEC-RAS.
HEC-RAS (Hydrologic Engineering Center’s River Analysis System) adalah
software yang dikembangkan oleh U.S Army Corps of Engineering. HEC-
RAS didesain untuk melakukan perhitungan hidrolika satu dimensi untuk
jaringan saluran secara keseluruhan baik yang alami maupun buatan (Corps
of Engineers, 2010); (Brunner, 2016). HEC-RAS menghitung profil muka air
2
490
di sepanjang alur urut dari satu tampang lintang ke tampang lintang
berikutnya. Muka air dihitung dengan memakai persamaan energi yang
diselesaikan dengan standar step method. Kehilangan (tinggi) energi, he, di
antara dua tampang lintang terdiri dari dua komponen, yaitu kehilangan
energi karena gesekan (friction losses) dan kehilangan energi karena
perubahan tampang (contraction or expansion losses) (Bonner & Brunner,
1996).
4. Analisis multikriteria
Pemilihan alternatif dalam pengambilan keputusan dilakukan dengan kajian
analisis multi kriteria. Tenik pembobotan dipilih sebagai model multi kriteria
yang paling sederhana agar analisanya mudah diikuti oleh pihak-pihak yang
berwenang mengambil keputusan (Clemen, 1996); (Feng & Keller, 2006);
(Feng et al., 2008)
!
BALAI BESAR WILAYAH SUNGAI PEMALI JUANA
! !
!
!
! ! !
!
Laut Jawa
!
!
!
!
0
!
!
! ! !
!
!
! !
!
! !
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
! !
!
!
!
! ! ! !
!
! !
!
!
!
!
! !
!
!
!
0
!
! !
!
!
!
!
!
!
!
PETA
!
!
!
! !
!
!
!
!
!
! ! !
!
!
!
!
! !
!
!
!
!
! ! ! ! !
!
!
!
!
! !
DAS BRINGIN
! !
!
!
!
! !
!
! !
!
!
! ! !
!
!
! ! !
!
! !
!
! ! !
!
!
!
!
!
!
!
!
!
! !
!
!
!
0
!
!
Kec. Tugu
!
0
!
!
.000000
9230000.000000
Keterangan :
!
0
!
0
0
!
!
0
9230000
Sungai
!
!
!
!
!
!
!
Sungai utama
!
!
!
!
!
!
!
! ! !
Batas kecamatan
!
! !
!
! ! ! ! !
0
!
!
! ! !
0
! !
!
!
!
!
!
! ! ! ! !
!
! !
!
Batas DAS
!
! !
! !
!
!
!
!
!
! !
Lokasi Perlintasan
!
!
! ! ! !
!
!
!
!
!
!
!
!
! !
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
! !
!
!
!
Kec. Ngaliyan
!
!
!
!
!
!
! !
!
!
!
!
!
!
DAS BRINGIN
! !
! !
!
!
!
!
!
!
.000000
9225000.000000
!
!
!
!
!
!
!
!
! !
!
9225000
!
!
!
!
!
!
!
!
!
! !
!
!
!
!
! ! !
!
!
!
!
!
! ! ! ! ! !
!
!
! !
!
!
! !
!
! !
!
! !
!
!
!
! ! !
!
!
!
!
! ! ! !
!
!
!
!
!
! ! ! !
!
! !
!
!
!
! !
!
!
!
!
! !
!
!
!
!
!
! !
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
Kec. Mijen
!
!
!
!
!
!
!
!
.000000
9220000.000000
!
Kec. Gunungpati
!
!
!
!
!
!
!
9220000
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
SUMBER :
:
!
!
!
! !
!
!
!
!
!
!
!
0 250 500 1,000 1,500 2,000 2,500 3,000 3,500 4,000 4,500
!
!
!
Meters
!
!
!
!
!
.000000 .000000 .000000 .000000
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
Bringin
!
!
!
! !
!
! ! ! ! !
!
!
!
!
!
! !
!
!
!
!
! ! ! ! !
! !
!
!
!
!
! !
! !
!
!
!
! ! ! !
Kajian alternatif perlintasan jalan tol dengan Sungai Bringin dilakukan terhadap 3
(tiga) alternatif rekayasa perlintasan sungai, yaitu :
1) Pemindahan alur sungai disertai dengan pembangunan bangunan terjun (drop
structure) untuk mempertahankan kemiringan alur sungai.
Pemindahan alur Sungai Bringin dilakukan melalui penampang tunggal
berbentuk trapesium sepanjang 477m di sisi kanan sungai eksisting, dilengkapi
dengan dua buah bangunan drop structure dengan tinggi masing-masing 0,8m
seperti pada Gambar 2.
3
491
Alur Sungai Existing
ROW
ROW
ROW
ROW
ROW
ROW
ROW
ROW
ROW
ROW
ROW
ROW
ROW
ROW
Rencana Pemindahan
ROW
ROW
ROW
ROW
ROW
Alur
ROW
ROW ROW
ROW ROW
STA: 444+822
UB. KALI BERINGIN 2
ROW
ROW
ROW
ROW
ROW
ROW
ROW
ROW
ROW
ROW
ROW
ROW
ROW
ROW
ROW
ROW
3) Gabungan jalan layang, jalan timbunan dan embung sebagai pengatur banjir.
Embung ini direncanakan terlintasi oleh jalan tol pada dua bagian antara lain
hulu dan hilir embung. Pada bagian tengah, jalan tol direncakan dengan
konstruksi urugan tanah. Sedangkan pada daerah perlintasan embung
direncanakan dengan jembatan sepanjang 77.2 m di bagian hilir dan 31.80 m
di bagian hulunya seperti pada Gambar 4 dan Gambar 5.
Data utama yang digunakan dalam kajian ini adalah data hujan harian antara lain
dari Stasiun Mangkang Waduk (41c), Stasiun Simongan (42) dan Stasiun
Sigotek/Gunungpati (65 c). Data hujan harian ini kemudian diolah menjadi curah
hujan maksimum harian rata-rata daerah dengan metode polygon thiessen.
Selanjutnya, curah hujan maksimum harian rata-rata daerah dianalisis menjadi
curah hujan rencana dengan menggunakan program Aprob (Istiarto, 2014).
4
492
AS DAM
A S D A M
A S D A M
C
18 0
100
3 00
2 00
117
B
C
9
43
A
596
5 19
496
57320
A 74000
A
75
ANG
KE SEMAR
260
G 414944
KE BATAN 136000
394
B
74000
328
ALTERNATIF
ANG 2 FLYOVER
(STA.444+900 S.BERINGIN
KE SEMAR LEMBAR
~ 445+300)
G 1-2
57320
C
KE BATAN
A A
45
DENAH
SKALA JEMBAT
1 : 500
AN
1
-
A-A
B-B
CL JEMBATAN
C-C
Gambar 5. Detail Potongan
Tabel 1. Curah Hujan Rencana (mm) DAS Bringin
Kala Ulang
2 th 5 th 10 th 20 th 25th 50 th 100 th
64 90 107 124 128 145 161
Curah hujan rencana (Tabel 1.) tersebut digunakan sebagai input dalam analisis
debit banjir dengan HEC-HMS. Model banjir dianalisis untuk keseluruhan DAS
Bringin. Basin model pada HEC-HMS dan hydrograph debit banjir output model
5
493
HEC-HMS ditampilkan pada Gambar 6. Basin Model HEC-HMS (Kanan),
Hydrograph Debit Banjir di Lokasi Perlintasan (Kiri)
180
160 Hydrograph Debit Banjir
140
120
debit m3/dt
2th
100
5th
80 10t h
60 25t h
40 50t h
20 100th
0
6:00
8:00
8:00
0:00
2:00
4:00
12:00
22:00
16:00
10:00
14:00
16:00
18:00
20:00
10:00
12:00
14:00
18:00
20:00
22:00
jam
Selain analisis model HEC-HMS untuk kondisi existing, dilakukan pula analisis
hidrologi untuk kondisi setelah dilakukan pembangunan embung rencana di lokasi
rencana trase jalan tol Semarang-Batang. Hal ini dilakukan untuk mengetahui debit
banjir di hilir setelah pembangunan embung. Dari hasil analisis diketahui bahwa
embung rencana tersebut dapat mereduksi banjir sebesar 19.9 m3/dt (debit kala
ulang 100th). Debit banjir sebelum dan sesudah dibangun embung pada berbagai
kala ulang ditampilkan pada Gambar 7 dan Tabel 3.
180
160 Hydrograph Debit Banjir
140
120
debit m3/dt
INFLOW 10 0TH
100 OUTFLOW 100TH
80 INFLOW 50 TH
60 OUTFLOW 50TH
40
20
0
10:00
12:00
14:00
16:00
10:00
12:00
14:00
16:00
18:00
20:00
22:00
18:00
20:00
22:00
0:00
2:00
4:00
6:00
8:00
8:00
jam
6
494
Tabel 3. Debit Banjir Rencana di Lokasi Perlintasan Sebelum dan Sesudah
dibangun Embung
Debit Banjir
Kala Ulang
Sebelum dibangun Setelah dibangun
2th 60.50 57.10
5th 77.10 67.70
10th 94.00 82.30
25th 114.30 99.80
50th 134.00 116.80
100th 153.10 133.20
Debit banjir dari hasil model HEC-HMS merupakan salah satu input data boundary
condition (kondisi batas) dalam model HEC-RAS. Kondisi batas hilir sungai
digunakan data pasang tertinggi pada bulan Mei 2016 yang diperoleh dari Stasiun
Meteorologi Maritim Semarang. Data geometri sungai sangat penting untuk input
model HEC-RAS. Data ini diperoleh dari hasil pengukuran yang dilakukan oleh
BBWS Pemali Juana mulai dari muara Sungai Bringin sampai dengan lokasi
perlintasan jalan tol. Running model HEC-RAS dilakukan untuk kondisi eksisting
dan ketiga alternatif diatas. Hal ini bertujuan untuk mengetahui profil muka air serta
kecepatan aliran pada masing-masing alternatif. Sebagai pembanding, untuk
mengetahui pengaruh banjir di hilir, dilakukan kroscek pada cross sungai di hulu
jembatan Jalan Raya Siliwangi. Adapun ringkasan hasil analisis model HEC-RAS
ditampilkan pada Gambar 8, Gambar 9 dan Tabel 4.
semarangbarat1D Pl an: Pl an 21 9/8/2016
bringin 2
Legend
WS 50th
Ground
60
LOB
Elevation (m)
ROB
55
50
306.5
323.5
288.*
289.*
292*
293*
294*
295*
296*
297*
298*
299*
300*
301*
302*
303*
304*
305*
308*
309*
310*
311*
312*
313*
314*
315*
316*
317*
318*
319*
320*
321*
287
290
291
306
323
325
326
65 WS 50th
Ground
LOB
Elevation (m)
60 ROB
55
299.5
301.5
309.5
310.5
313.5
317.5
319.5
296
297
298
299
301
303
304
305
306
307
308
309
312
313
315
316
317
319
321
322
323
324
325
50
7
495
Tabel 4. Ringkasan Hasil Analisis Hidrologi dan Hidrolika
Alternatif 1 Alternatif 2 Alternatif 3
Existing Kombinasi
Pemindahan
Jalan Layang Embung, Jalan
Alur
Layang
Debit (50th) 134 m3/dt 134 m3/dt 134 m3/dt 116.80 m3/dt
Panjang sungai (hulu-hilir
667.45 m 477 m 667.45 m -
rencana shortcut)
Kemiringan (hulu-hilir
0.0072 0.0072 0.0076 -
rencana pemindahan alur)
Kecepatan di hilir rencana
3.99 m/dt 3.35 m/dt 3.99 m/dt -
pemindahan alur
Elevasi muka air di cross
hulu jembatan jalan raya 7.68 m 7.68m 7.68 m 7.64 m
Siliwangi
8
496
Tabel 6. Matriks Analisis Pemilihan Kriteria
Nilai
Alternatif 3
Bobot Alternatif 1 Alternatif 2
No Kriteria (pemindahan alur) (jalan layang) (kombinasi embung,
jalan layang)
Nilai Bobot * nilai Nilai Bobot * nilai Nilai Bobot * nilai
1 waktu pelaksanaan 3 4 12 2 6 4 12
2 biaya pelaksanaan 3 3 9 1 3 3 9
pengaruh banjir di
3 3 3 9 3 9 5 15
hilir
pengaruh pada
4 3 1 3 4 12 4 12
morfologi sungai
TOTAL BOBOT*NILAI 33 30 48
Dari matriks pada Tabel 6 diketahui bahwa alternatif 3 (tiga) mendapatkan skor
paling tinggi dibandingkan dengan yang lain. Hal ini dapat disimpulkan bahwa
alternatif terpilih pada studi ini adalah alternatif 3 (tiga : kombinasi embung, jalan
layang).
9
497
Rekomendasi
Pembangunan embung perlu kajian mendalam terhadap aliran di dalam genangan
embung sehingga tidak menyebabkan gerusan terhadap timbunan jalan. Oleh
karena itu perkuatan dengan geotekstil dan riprap perlu dilakukan. Model hidrolika
2 (dua) dimensi akan dapat melihat distribusi spasial kecepatan yang dapat
digunakan untuk menganalisis erosi dari tubuh jalan yang terendam di dalam
embung.
REFERENSI
Bonner, V., and Brunner, G., 1996. Bridge Hydraulic Analysis with HEC-RAS.
Washington DC: U.S. Army Corps of Engineers Institute for Water Resources
Hydrologic Engineering Center.
Brunner, G. W., 2016. HEC-RAS River Analysis System User’s Manual Version
5.0. Washington DC.: U.S. Army Corps of Engineers Institute for Water
Resources Hydrologic Engineering Center.
Clemen, R., 1996. Making Hard Decisions - An Introduction to Decision Analysis,
2nd ed. Pacific Grove: Duxbury Press.
Corps of Engineers, 2000. Hydrologic Modelling System HEC-HMS Technical
Reference Manual. Washington DC: U.S. Army.
Corps of Engineers, 2010. Hydrologic Engineering Center's River Analys System
User's Manual. Washington, DC: U.S. Army.
Feng, T., and Keller, L., 2006. A Multiple-Objective Decision Analysis for
Terrorism Protection: Potassium Iodide Distribution in Nuclear Incidents.
Decision Analysis 3 (2): 76-93.
Feng, T., Keller, L.R., Zheng, X., 2008. Modelling Multi-Objective Multi-
Stakeholder Decisions: A Case-Exercise Approach. INFORMS Transactions
on Education 8 (3): 103-114.
Istiarto, 2014. Analisis Frekuensi Data Hidrologi (Aprob_4.1). Retrieved from
http://istiarto.staff.ugm.ac.id/index.php/2014/12/analisis-frekuensi-data-
hidrologi-aprob_4-1 [diakses 25 Agustus 2016]
Sun, J., 2015. Hydrologic and hydraulic model development for flood mitigation
and routing method comparison in Soap Creek Watershed, a Thesis for The
Master of Science Degree in Civil and Environmental Engineering. Iowa:
University of Iowa.
10
498
UJI MODEL HIDRAULIK FISIK PENGENDALIAN BANJIR
DENGAN SISTEM PEMOMPAAN
Indrawan*, Isdiyana, dan Indah Sri Amini
Balai Litbang Sungai, Pusat Litbang Sumber Daya Air
*pat.indra86@gmail.com
Intisari
Dalam rangka pengendalian banjir, khususnya di daerah perkotaan, dewasa ini
sering dilakukan dengan sistem pemompaan. Untuk daerah aliran sungai yang luas
akan diperlukan kapasitas pompa yang besar atau jumlah pompa yang banyak.
Salah satu contoh pengendalian banjir dengan sistem pemompaan adalah di Kali
Angke yang berkaitan dengan kegiatan NCICD. Di Kali Angke Hilir telah didesain
stasiun pompa yang terdiri dari 9 buah pompa berkapasitas masing-masing 10 m3 /s
dan 2 buah pompa berkapasitas masing-masing 5 m3 /s, total kapasitas 100 m3 /s.
Pompa-pompa tersebut diharapkan mampu untuk mengendalikan banjir periode
ulang 25 tahun dengan debit puncak sebesar 271 m3 /s. Uji model hidraulik fisik
dilakukan untuk memverifikasi terhadap beberapa aspek seperti, penurunan garis
muka air, sistem pengoperasian pompa, tata letak pompa dan fungsi bangunan lain
seperti pintu air. Model fisik dibuat dengan skala terdistorsi yakni skala horisontal
1:40 untuk dan skala vertical 1:20. Alur sungai yang dimodelkan sepanjang 2400
meter prototip atau 60 meter model. Running model dilakukan dengan pola operasi
pompa seperti yang direncanakan. Pompa mulai dioperasikan dengan debit 5 m3 /s
pada saat elevasi muka air -2,00 meter dan debit ditambah 10 m3 /s setiap elevasi
muka air naik 10 cm sampai mencapai -1,55 meter dengan debit total pemompaan
95 m3 /s. Hasil simulasi dengan model menunjukkan bahwa pada hidrograf banjir
kala ulang 25 tahun dengan debit puncak 271 m3 /s, kapasitas pemompaan sebesar
100 m3 /s belum aman untuk pengendalian banjir. Sistem pengoperasian pompa,
kapasitas tampungan sungai (long storage) dan fungsi dari pintu air perlu dilakukan
peninjauan kembali
Kata kunci: model hidrulik fisik, pompa banjir, penelusuran banjir, kolam retensi.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jakarta sebagai ibukota Negara Republik Indonesia mengalami banjir hampir setiap
tahun, hal ini memberikan dampak yang sangat luas terhadap kota Jakarta sebagai
pusat pemerintahan dan pusat perekonomian Indonesia. Karena alas an itu maka
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat serta Pemerintah Propinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta bersama-sama melakukan inisiatif pengelolaan
banjir secara intensif. Adanya penurunan permukaan tanah (land subsidence) di
DKI Jakarta banyak menimbulkan permasalahan-permasalahan terhadap penataan
1
499
sistem saluran drainase. Saluran drainase yang mengalirkan air secara gravitasi,
lama kelamaan mengalami penurunan kapasitas karena sebagian saluran tenggelam
akibat adanya penurunan permukaan tanah. Oleh karena itu, di beberapa tempat
diperlukan drainase sistem polder yang mengontrol volume air dan elevasi muka
air dengan sistem pompa.
Dalam NCICD (National Capital Integrated Coastal Development), saluran
drainase besar seperti Cengkareng Drain, Cakung Drain, Kanal Banjir Barat dan
Kanal Banjir Timur akan dibiarkan terbuka mengalir ke laut dengan peninggian dan
perkuatan tanggul pada tebing-tebing saluran. Sementara itu, saluran-saluran kecil
seperti Muara Kamal, Muara Angke, Muara Karang, Marina dan Sentiong akan
dijadikan sistem tertutup atau tidak berhubungan dengan laut. Akibatnya, akan
diperlukan sistem pompa agar dapat mengelola aliran banjir yang berasal dari curah
hujan di daerah aliran sungainya.
Alternatif-alternatif pemompaan telah dikaji untuk mengoptimalisasikan
tampungan atau “storage” yang ada pada sistem saluran terbuka di Kali Angke,
Kali Karang, pintu Tubagus Angke dan pintu Grogol. Desain layout pompa
dilakukan terhadap alternatif yang dipilih, yakni alternatif B1 yang menggunakan
Kali Angke Hilir dan Muara karang sebagai tampungan atau retarding basin dengan
tanpa tampungan tambahan.
Uji model hidraulik fisik pengendalian banjir dengan sistem pemompaan, studi
kasus “Desain Layout Pompa Kali Angke”, ditujukan untuk mengetahui kinerja
pompa yang mencakup kapasitas pompa terhadap penelusuran (routing) hidrograf
debit banjir, kapasitas alur sungai dalam penyaluran debit dan penampungan
sementara debit banjir serta profil muka air di sepanjang alur sungai selama
pengoperasian pompa. Hal itu dilakukan mengingat bahwa pada sistem
pengendalian banjir dengan pompa sering terjadi keterlambatan aliran menuju ke
stasiun pompa. Kapasitas saluran atau sungai yang menuju ke kolam retensi sering
lebih rendah dari kapasitas debit pemompaan.
Kajian Pustaka
Kali Angke, yang bermuara di Kanal Banjir Barat, dikategorikan sebagai saluran
kecil dalam NCICD Phase A. Oleh karena itu, sistem drainase pada Kali Angke
akan menjadi sistem tertutup yang tidak berhubungan langsung dengan laut. Debit
aliran Kali Angke berasal dari saluran Mookevart dan saluran Sekretaris yang
sebagian alirannya berasal dari kali Grogol (gambar 1). Debit aliran akan disalurkan
ke hilir, ke Kanal Banjir Barat melalui pemompaan dan sebagian disalurkan ke Kali
Karang melalui siphon yang berada di bawah Kanal Banjir Barat dengan kapasitas
60 m3 /s.
2
500
K. Karang
K. Angke
Sal. Sekretaris
80.00
60.00
40.00
20.00
0.00
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Waktu (jam)
3
501
Hidrograf Debit Banjir - Sal. Mookevart
90.00
Luas CA : 345.5 Ha
80.00 Pjg pengaliran : 3.1 km
Q100th = 80.68 m3 /s Koef Run Off, c : 0.7
70.00 Q50th = 72.97 m3 /s
Q25th = 65.21 m3 /s
60.00
50.00
Debit (m3/dt)
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Waktu (jam)
Luas CA : 1322.6 Ha
Pjg pengaliran : 4.5 km
350.00 Q100th = 335.29 m3 /s Koef Run Off, c : 0.8
Q50th = 303.25 m3 /s
300.00
Q25th = 270.97 m3 /s
250.00
Debit (m3/dt)
200.00
150.00
100.00
50.00
0.00
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Waktu (jam)
@ 5 m3/s
@ 10 m3/s
4
502
Tabel 1. Alternatif-alternatif sistem pemompaan Kali Angke.
Landasan Teori
Salah satu teknik pengendalian genangan akibat banjir dan rob adalah dengan
pengembangan sistem polder. Sistem ini memisahkan areal banjir dan rob secara
hidrologis dengan daerah diluarnya, sehingga pengaruh dari luar daerah polder
dapat ditiadakan (Budinetro et all, 2013). Komponen dari sistem polder adalah:
1) Saluran air, berfungsi untuk sarana penyaluran air di dalam kawasan polder.
2) Tanggul dan bendungan penutup, yang berfungsi untuk mencegah masuknya air
ke dalam kawasan polder, baik yang berasal dari luapan sungai, limpasan
permukaan, atau akibat naiknya muka air laut.
3) Pompa air, berfungsi untuk mengeringkan air pada badan air.
4) Kolam retensi/tampungan memanjang, berfungsi sebagai tempat penampungan
air sementara yang bertujuan untuk menambah waktu konsentrasi air dan
mengurangi debit banjir pada saat terjadi hujan lebat pada kawasan polder
Pola operasi sistem polder menggunakan teknik penelusuran banjir (flood rooting)
yang menggunakan kolam retensi sebagai tampungan sementara untuk
mengimbangi selisih volume antara kapasitas pompa dengan hidrograf debit
banjirnya, yang dirumuskan dengan:
S Qi t Qo t
(1)
dengan : t : Interval waktu
S : Volume tampungan (storage) di kolam retensi dalam waktu t
Qi : Rerata debit air masuk ke kolam retensi (inflow) selama t
Qo : Rerata debit air keluar dari kolam retensi (outflow) selama t
5
503
METODOLOGI STUDI
Pemodelan Hidraulik Fisik
Model fisik dibuat untuk menirukan bentuk geometri prototipe yang akan dibangun
dengan menggunakan skala panjang atau skala lebar (nL) dan skala tinggi (nh ).
Besarnya skala ditentukan berdasarkan ketersediaan sarana laboratorium seperti
kapasitas suplai air, luas atau ukuran lahan, serta tingkat ketelitian yang ingin
dicapai pada saat pengujian model. Model layout pompa Kali Angke dibuat dengan
skala terdistorsi, yaitu skala panjang (nL) tidak sama dengan skala tinggi (nh ). Skala
panjang (nL) ditetapkan 1 : 40, yang berarti panjang atau lebar di prototipe 40,0 m
menjadi 1,0 m di model. Sedangkan skala tinggi (nh ) ditetapkan 1 : 20, yang berarti
tinggi 2,0 m diprototip menjadi 10 cm di model. Skala-skala lainnya seperti skala
kecepatan aliran, skala debit, skala waktu, dll dihitung berdasarkan skala panjang
dan skala tinggi tersebut dengan menggunakan kesebangunan geometri, kinematik
dan kesebangunan dinamik,
Pelaksanaan Studi.
Dengan model hidraulik fisik layout pompa kali Angke, disimulasikan aliran
dengan hidrograf debit banjir periode ulang 25 tahun yang sudah diskalakan.
Demikian juga pengoperasian pompa, disimulasikan dengan metode operasi sesuai
rencana yang ada pada hasil studi terdahulu (PT Muara Wisesa Samodera, 2015),
lihat Tabel 2 (PT Muara Wisesa Samodera, 2015).
Adanya kendala setelah beberapa kali percobaan pengaliran, pola operasi pompa
tersebut disusun kembali secara berurutan dari saat pengoperasian pertama pada
saat elevasi muka air – 2,00 m sampai terakhir pada saat elevasi muka air - 1,55 m
(tabel 3). Pola menghidupkan pompa dibuat dalam 2 pola (table 4) yaitu dengan
penambahan debit 10 m3 /s untuk setiap kenaikan muka air sebesar 0,05 m (9 kali
penambahan) dan dengan penambahan 30 m3 /s untuk setiap kenaikan muka air 0,10
m (3 kali penambahan). Pola ke 2 ini digunakan untuk pengujian apabila perubahan
tinggi muka air berlangsung sangat cepat, yang berarti meningkatnya debit banjir
berlangsung dengan cepat (table 4).
P1 -1.90 -2.90 10
P2 -1.80 -2.80 10
P3 -1.70 -2.70 10
P4 -1.60 -2.60 10
P5 -1.50 -2.50 10
P1 -1.95 -3.00 10
P2 -1.85 -2.90 10
P3 -1.75 -2.80 10
P4 -1.65 -2.70 10
6
504
Tabel 3: Susunan pola operasi pompa dengan kenaikan muka air 0,05 m.
Nomor Elevasi muka air Debit Pompa Total debit pemompaan
Pompa (m) (m3 /s) (m3 /s)
P1 2,00 5,0 5,0
P2 1,95 10 15
P3 1,90 10 25
P4 1,85 10 35
P5 1,80 10 45
P7 1, 70 10 65
P8 1,65 10 75
P9 1,60 10 85
P10 1,55 10 95
Tabel 4: Susunan pola operasi pompa dengan kenaikan muka air 0,1 m..
Nomor Elevasi muka air Debit Pompa Total debit pemompaan
Pompa (m) (m /s)
3 (m3 /s)
P1 2,00 5,0 5,0
P2, P3, P4 1,90 30 35
P5, P6, P7 1,80 30 65
P8, P9, P10 1,70 30 95
Penelusuran banjir (routing) berdasar histogram debit banjir periode ulang 25 tahun
yang telah diskalakan dilakukan dalam 3 seri uji pengaliran dan pemompaan.
1) dilakukan dengan mengalirkan debit sesuai histogram dan pemompaan
dengan pola perbedaan kenaikan muka air 0,05 m untuk penambahan debit 10
m3 /s di prototip (seri 1a)
2) dilakukan dengan mengalirkan debit sesuai histogram debit banjir dan
pemompaan dengan pola perbedaan tinggi mika air 0,10 m untuk penambahan
debit 30 m3 /s prototip (seri 1b)
3) dilakukan dengan mengalirkan debit sesuai histogram periode ulang 25 tahun
dikurangi dengan kapasitas siphon ke Kali Karang sebesar 60 m3 /s.
Pemompaan dilakukan dengan pola perbedaan tinggi muka air 0,05 m untuk
penambahan debit 10 m3 /s prototip (seri 1c)
7
505
Pada pengujian seri 1a), hubungan antara hidrograf debit banjir dan debit
pemompaan hasil pengujian ditunjukkan pada gambar 4. Grafik hubungan antara
elevasi muka air dan debit pemompaan fungsi waktu ditunjukkan pada gambar 5,
sedangkan gambar 6 merupakan gabungan dari gambar 4 dan gambar 5. Dari
gambar 6 dapat dilihat bahwa alur Kali Angke dapat berfungsi sebagai alur
penampungan banjir (long storage). Akan tetapi volume penampungan tersebut
belum mecukupi untuk menampung selisih debit dari hidrograf debit banjir dan
debit pemompaan. Hidrograf debit banjir dan debit pemompaan fungsi waktu
300
250
200
Debit pemompaan
Debit (m3 /dt)
Debit banjir
150
100
50
0
0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00
Waktu (jam)
Gambar 4: Hidrograf debit banjir dan debit pemompaan pengaliran seri 1a)
Hubungan debit pemompaan dan Elevasi Muka Air
350 4.0
300 3.0
100 -1.0
50 -2.0
0 -3.0
0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00
Waktu (jam)
300 9.0
Debit pemompaan
Elevasi Muka Air (m)
200 5.0
Elevasi tebing
150 3.0
100 1.0
50 -1.0
0 -3.0
0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00
Waktu (jam)
Gambar 6: Hidrograf debit banjir, debit pemompaan dan elevasi muka air pada
pengaliran seri 1a.
Grafik hubungan antara elevasi muka air dan debit pemompaan fungsi waktu pada
pengujian seri 1b) ditunjukkan pada gambar 7. Dapat dilihat dari gambar 7 bahwa
alur Kali Angke dapat berfungsi sebagai alur penampungan banjir (long storage).
8
506
Akan tetapi volume penampungan pada model tersebut juga belum mecukupi untuk
menampung selisi histogram debit banjir dengan debit pemompaan. Pada uji
pengaliran ini elevasi muka air di lokasi pompa juga mencapai + 4,0 m peil Priuk
atau terjadi pelimpasan terhadap dinding atau tebing saluran.
Hubungan Debit pemompaan dan Elevasi Muka Air
350 4.0
300 3.0
200 1.0
Elevasi Tebing
150 0.0
100 -1.0
50 -2.0
0 -3.0
0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00
Waktu (jam)
Gambar 7: Debit pemompaan dan elevasi muka air pada model seri 1b
Grafik hubungan antara elevasi muka air dan debit pemompaan fungsi waktu
ditunjukkan pada gambar 8. Dari gambar 8 dapat dilihat bahwa alur Kali Angke
dapat berfungsi sebagai alur penampungan banjir (long storage), akan tetapi
volume penampungan tersebut belum mecukupi untuk menampung selisih debit
dari hidrograf debit banjir dan debit pemompaan.
Hubungan debit dan Elevasi Muka Air
350 4.0
300 3.0
Debit pemompaan
200
Elevasi tebing 1.0
150 0.0
100 -1.0
50 -2.0
0 -3.0
0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00
Waktu (jam)
Gambar 8: Debit pemompaan dan elevasi muka air pada model
Dari ke 3 uji pengaliran seri 1a, 1b dan 1c, elevasi muka air di lokasi pompa
mencapai + 4,0 m peil Priuk sesuai dengan elevasi tebing sungai (terjadi limpasan
aliran). Sementara itu, elevasi muka tanah di sekitar sungai berada pada elevasi 1
m sampai 2 m di bawah elevasi tebing sungai tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa
normalisasi sungai untuk mendapatkan volume kolam retensi sangat penting
dilakukan dan harus selalu terjaga atau terpelihara kapasitas tampungnya
9
507
Rekomendasi
Pola operasi pompa sebanyak 11 buah dengan kapasitas total 100 m3 /s perlu
dilakukan pengkajian secara seksama. Saat mulai pengoperasian pompa pada
elevasi muka air – 2,0 m menunjukkan bahwa pengoperasian pompa akan hidup-
mati secara terus menerus. Pintu air dengan dasar pada elevasi -2,0 m praktis tidak
akan pernah dibuka (elevasi muka air laut surut pada + 1,30 m), lebih baik pintu air
diganti dengan ambang pada elevasi + 2,50 m (elevasi muka air pasang pada + 2,30
m).
Penggunaan pompa dengan kapasitas 10 m3 /s perlu dikaji ulang lebih mendalam
khususnya dalam sistem operasi, pemeliharaan dan kebutuhan dayanya. Kegagalan
operasi 1 buah pompa dapat mengakibatkan kegagalan dalam pengendalian banjir.
Cadangan pompa perlu disiapkan agar pada kondisi darurat kapasitas pompa dapat
ditingkatkan dan kapasitas minimum operasional sebesar 95 m3 /s dapat dicapai.
Perlu dipertimbangkan penggunaan pompa aksial horizontal yang berfungsi untuk
mendorong aliran (tidak untuk mengangkat), sehingga kapasitasnya akan dapat
lebih ditingkatkan dengan kebutuhan daya yang relative rendah.
REFERENSI
Budinetro Hermono S, Septiani Retno W, Tauvan Ari Praja, Diah Ratri N dan M.
Sodiq S, 2013. Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sistem Polder
Banger. Kolokium Hasil Litbang Sumber Daya Air, 15 – 16 Mei 2013,
Bandung.
Deltares, Dinas PU DKI dan BBWS Ciliwung Cisadane, 2014. Technical review
and support Jakarta Flood Management System, Final Report – phase 2.
PT Muara Wisesa Samodera, 2015. Album Gambar (Basic Design) Pekerjaan DED
Pembangunan Rumah Pompa Kali Angke, Ganeshatama Consulting,
Bandung
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air, 2015. Pengembangan
Teknologi Pompa Aksial Horizontal untuk Pengelolaan Banjir, Laporan
Akhir, Bandung
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air, 2015. Uji Model Fisik
Layout Pompa Kali Angke, Laporan Akhir, Bandung.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air, 2002. Kriteria Desain
Bangunan Pengendalian Banjir, ISBN 979 – 3197 – 24 -2, Bandung.
10
508
EVALUASI DAN PENGENDALIAN BANJIR DI KABUPATEN
TRENGGALEK : STUDI KASUS BANJIR AGUSTUS 2016
Kurdianto Idi Rahman*, Fendri Ferdian, Fahmi Hidayat
Perusahaan Umum (Perum) Jasa Tirta I
*kurdi.rahman@jasatirta1.net
Intisari
Banjir akibat meluapnya Kali Tawing yang merendam sebelas desa di Kecamatan
Gandusari dan Kecamatan Kampak Kabupaten Trenggalek, Rabu tanggal 17
Agustus 2016 terjadi akibat curah hujan yang tinggi. Data curah hujan maksimum
yang tercatat pada Automatic Rainfall Record (ARR) Karangrejo sebesar 341 mm
(kumulatif dalam 7 jam) dengan curah hujan maksimum 137 mm per jam (pukul
04.00, tanggal 17 Agustus 2016) dan debit maksimum Parit Raya yang tercatat di
Dam Bendo sebesar 414 m3/det. Banjir mengakibatkan genangan seluas kurang
lebih 125 ha. Anomali cuaca dan menguatnya La Nina akibat perubahan iklim
telah meningkatkan curah hujan secara nyata dan potensi hujan yang tinggi, selain
itu kondisi daerah pengaliran sungai yang telah berubah dan pendangkalan sungai
menjadi penyebab utama terjadinya banjir. Untuk mengendalikan banjir di Sungai
Tawing di Kabupaten Trenggalek perlu dilakukan upaya struktural antara lain
normalisasi sungai, pembangunan tanggul dan merealisasikan rencana
pembangunan Bendungan Kampak.
Kata Kunci: Trenggalek, pengendalian banjir, bendungan
LATAR BELAKANG
Latar Belakang Studi
Banjir adalah aliran air yang relatif tinggi, dan tidak tertampung lagi oleh alur
sungai atau saluran. Di samping terjadi secara alamiah, banjir dapat terjadi karena
ulah manusia yang kurang memperhatikan ekosistem antara lain adanya
penebangan hutan pada areal hutan lindung, penggunaan lahan yang tidak sesuai
dengan Tata Guna Lahan, hunian liar di daerah bantaran, pembuangan limbah
padat/sampah ke sungai, drainase yang kurang sempurna, pembuatan bangunan
yang memperkecil penampang saluran, dan lain sebagainya. (Usman, 1997)
Sungai Tawing yang berhulu di Desa Bogoran Kecamatan Kampak Kabupaten
Trenggalek bermuara di Sungai Parit Raya, mengalir melintasi Kecamatan
Kampak dan Kecamatan Gandusari, Kabupaten Trenggalek. Sungai Tawing yang
merupakan salah satu sungai yang ada di Sub Daerah Aliran Sungai (DAS)
Ngrowo dalam penanganan banjirnya tidak dapat dipisahkan dengan sistem
penanganan banjir Ngrowo – Parit Agung – Ngasinan – Parit Raya. Pengendalian
banjir di sistem utama sub DAS Ngrowo telah berjalan dengan baik melalui upaya
struktural sejak jaman kolonial Belanda tahun 1939, yang kemudian dilanjutkan
oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan pembangunan Terowongan
Tulungagung Selatan (Terowong Neyama), Parit Raya, Parit Agung, Bendungan
1
509
Wonorejo dan prasarana pendukung lainnya. Di beberapa anak sungai di Sub
DAS Ngrowo seperti Sungai Tawing dan Sungai Ngasinan di Kabupaten
Trenggalek sering terjadi banjir setiap tahun karena faktor curah hujan yang tinggi
dan faktor topografi. Kabupaten Trenggalek terdiri dari 2/3 wilayah pegunungan
dan 1/3 wilayah dataran rendah dengan ketinggian antara 0 sampai dengan 1.250
m di atas permukaan laut.
Kejadian banjir tanggal 17 Agustus 2016 ditengarai akibat dari anomali cuaca dan
menguatnya La Nina akibat perubahan iklim yang menyebabkan meningkatnya
curah hujan secara nyata dan potensi hujan yang tinggi, selain itu kondisi daerah
pengaliran sungai yang telah berubah dan pendangkalan sungai ditengarai menjadi
penyebab utama terjadinya banjir. Tujuan dari pembahasaan ini adalah melakukan
evaluasi kejadian banjir Agutus 2016 terhadap desain rencana pengendalian banjir
yang sudah ada dalam studi-studi terdahulu yang pernah dilakukan sehingga dapat
ditarik kesimpulan penyebab banjir dan solusinya. Manfaat yang diharapkan dari
pembasahan ini adalah didapatkannya rekomendasi kepada pengelola sumber
daya air mengenai kegiatan-kegiatan teknis untuk pengendalian banjir di masa
yang akan datang.
Tinjauan pustaka
Dalam paper ini tinjauan pustaka yang digunakan adalah dari studi-studi
terdahulu, laporan kejadian banjir dan informasi dari media serta hasil penelusaran
lapangan pasca banjir.
Landasan teori
Menkimpraswil (2002) menjelaskan bahwa bencana banjir dan longsor yang
terjadi tidak terlepas dari perlakuan manusia terhadap sungai dan daerah aliran
sungainya, baik yang berada di daerah hulu, tengah maupun hilir yang merupakan
satu kesatuan sistem aliran sungai. Meluasnya dampak banjir sangat dipengaruhi
oleh kondisi daerah aliran sungai, terutama kondisi daerah resapan airnya
(catchment area), sedimentasi badan-badan air, dan kondisi waduk/danau/situ
sebagai penahan air (water retention). Selain faktor tersebut, terdapat faktor lain
yang sifatnya kurang dominan namun turut mempengaruhi terjadinya banjir
diantaranya adalah : kondisi geomorfologi (dataran rendah/ perbukitan, ketinggian
dan lereng, bentuk sungai), geologi, hidrologi (siklus, kaitan hulu–hilir, kecepatan
aliran), iklim (kelembaban, angin, durasi dan intensitas curah hujan), dan pasang
surut air laut yang dipengaruhi oleh fenomena perubahan iklim (climate change).
Secara umum, dengan memperhatikan faktor-faktor diatas, maka beberapa
kemungkinan luapan sungai yang dapat terjadi adalah:
1. Luapan sungai akibat debit yang mengalir melebihi kapasitas alur sungainya.
2. Luapan sungai atau pantai akibat back water dari laut pada saat pasang.
3. Luapan akibat curah hujan tinggi dan kurang lancarnya aliran ke saluran
drainase sehingga menimbulkan genangan.
4. Luapan sungai akibat berkurangnya daerah parkir air (retarding basins).
Pengendalian banjir dilakukan berdasarkan konsep pengelolaan sumber daya air
secara utuh dalam kesatuan wilayah sungai dari hulu sampai dengan hilirnya
melalui kerangka “Satu Sungai, Satu Rencana, dan Satu Pengeloaan Terpadu”.
2
510
Kebijakan sumber daya air dengan pedoman pengendalian dan penanggulangan
daya rusak air serta peningkatan kesiapan dan keswadayaan masyarakat
menghadapi bencana banjir dan daya rusak lainnya guna mengamankan daerah
produksi pangan dan permukiman serta memulihkan ekosistem dari kerusakan
akibat daya rusak air. (Usman, 1997)
Terdapat 2 (dua) program utama terkait dengan penanganan banjir, yakni :
1. Pengembangan, pengelolaan dan konservasi sungai, danau, dan sumber-sumber
air lainnya melalui rehabilitasi dan konservasi waduk, situ dan DAS hulu,
pengendalian sedimen, dam serta pengendalian banjir.
2. Pengendalian banjir melalui pembangunan prasarana pengendali banjir,
tanggul, peningkatan kapasitas sungai, saluran banjir, normalisasi alur sungai,
rehabilitasi dan konservasi situ.
METODOLOGI STUDI
Metodologi yang digunakan dalam pembahasan ini adalah dengan melakukan
analisa terhadap kejadian banjir bulan Agustus 2016 terhadap desain rencana
pengendalian banjir DAS Ngrowo yang sudah ada kemudian menarik kesimpulan
dan rekomendasi yang bermanfaat bagi pengambilan keputusan. Data yang
dipergunakan dalam analisa merupakan data sekunder dari sumber-sumber
literatur dan referensi.
3
511
Gambar 1. Peta DAS Ngrowo
4
512
Historis kronologi pengembangan DAS Ngrowo untuk menanggulangi masalah
banjir dan genangan di Kabupaten Trenggalek dan Tulungagung, termasuk
didalamnya meliputi penyediaan air untuk irigasi di kedua kabupaten tersebut,
terangkum sebagai berikut :
1. Pada awalnya sistem drainase DAS Ngrowo bermuara ke Kali Brantas,
meskipun sebelum masuk ke muara parkir terlebih dulu di Rawa Gesikan dan
Rawa Bening. Untuk menembus ke Laut Selatan terhalang bukit kapur yang
memanjang mulai timur di Tulungagung sampai ke barat di Trenggalek.
2. Pada tahun 1939, penanganan banjir dimulai dengan membuat sudetan Kali
Tawing, yang dulunya bermuara di Rawa Bening, dirubah ke Kali Ngasinan.
Sementara Kali Ngasinan juga ditembuskan langsung ke Kali Ngrowo,
sehingga tidak lagi bermuara ke Rawa Gesikan, sehingga pembuangan air lebih
mendekat ke Kali Brantas.
3. Kemungkinan karena tingginya sedimentasi di Kali Brantas akibat aliran lahar
hasil letusan rutin Gunung Kelud, maka pembuangan ke Kali Brantas menjadi
kurang efektif. Untuk mengurangi debit yang masuk Kali Brantas, maka bekas
Kali Tawing dipakai untuk Parit Raya, yang dimulai dari sudetan di Kali
Ngasinan sampai ke selatan dan dialirkan ke Laut Selatan dengan membuat
Terowongan Neyama yang menembus bukit kapur. Pembangunan ini selesai
pada tahun 1962.
4. Pada tahun 1976 kanalisasi Rawa Gesikan dan Bening selesai dilaksanakan.
Genangan air di kedua rawa tersebut dibuang ke Laut Selatan.
5. Kondisi diatas belum bisa membebaskan Kota Tulungagung dari genangan
rutin yang terjadi selama musim hujan, karena muara pembuangan drainasi
Kota Tulungagung ke Kali Ngrowo dan kemudian ke Kali Brantas, masih
terkendala oleh tingginya muka air Kali Brantas pada saat musim hujan,
dimana terjadi aliran balik ke Kali Ngrowo selama musim hujan. Untuk itu
pada tahun 1978 dimulai perencanaan Parit Agung dan pelaksanaan konstruksi
termasuk pembuatan Terowongan Neyama 2 menuju ke Laut Selatan yang
selesai pada tahun 1986, karena Terowongan Neyama 1 didesain hanya untuk
mengalirkan air dari sub sistem Parit Raya. Kapasitas Terowongan Neyama 1
adalah 450 m3/dt sedangkan Terowongan Neyama 2 adalah 570 m3/dtk. Untuk
pengaturan bagi penyediaan air irigasi dan untuk keperluan konservasi yaitu
menjaga kondisi ketinggian muka air tanah agar tidak terlalu rendah, maka di
kedua terowongan tersebut dilengkapi dengan pintu.
6. Karena terdapat debit dan tinggi jatuh yang cukup untuk membangkitkan listrik
di lokasi Terowongan Neyama 1 dan 2, maka dibangun PLTA Tulungagung
yang selesai dilaksanakan pada tahun 1993. Kapasitas terpasang dari PLTA
tersebut adalah 36 MW, dimana water way nya berupa terowongan baru yang
intakenya berada sekitar 80 m di hulu Terowongan Neyama 1.
5
513
Gambar 3. Kronologis Pengembangan Sistem Drainase DAS Ngrowo
6
514
Kejadian Banjir Kali Tawing
Kali Tawing adalah salah satu sungai yang melintasi wilayah Kabupaten
Trenggalek. Dilihat dari sistem pengaliran Kali Brantas, Kali Tawing merupakan
alur ordo 4 bermuara di ordo 3 Kali Ngasinan dan ordo 2 Kali Ngrowo, sedangkan
ordo1 adalah Kali Brantas. Pada alur Kali Tawing telah banyak dibangun
bangunan pengelolaan sumber daya air seperti Bendung Irigasi Munjungan,
Bendung Irigasi Widoro dan bangunan-bangunan pengendalian banjir lainnya,
yang pada saat ini banyak terindikasi kerusakan, gerusan tebing, degradasi dasar
sungai, luapan banjir serta genangan. Dari hasil studi terdahulu diketahui bahwa
wilayah Sub DAS Kali Tawing yang berada di Kecamatan Kampak dan
Kecamatan Gandusari termasuk wilayah yang rawan bencana banjir dan tanah
longsor dengan tingkat kerawanan tinggi. Beberapa desa yang sering terkena
dampak banjir adalah Desa Ngrayung, Desa Gandusari, Desa Karanganyar, dan
Desa Sukorame. Desa – desa tersebut terletak di hulu Kali Tawing sampai dengan
Dam Widoro. Beberapa kejadian banjir yang pernah terjadi di Kali Tawing
disajikan seperti pada Tabel 3.
Tabel 3. Kejadian Banjir Kali Tawing
Kejadian Banjir Lokasi Dampak Banjir
31 Agustus 1992 Kec. Gandusari yang meliputi Mengenanggi Areal sawah,
Ds. Krembangan, Ds Jajar, Ds. Pekarangan, rumah, Tinggi Banjir max
Sukorame, Ds. Wono anti, Ds. ± 3 m dan min ± 1 m, selama 2 hari
Gandusari) pada sawah, 10 jam pada pekarangan
19 April 2006 Desa Sukorame Kec Gandusari. Overtopping,Tanggul Putus (4 Lokasi),
Desa Krandegan, Bendorejo Tanggul Kritis.
Kec Pogalan
26 Desember Kec Pogalan dan Kec. Ratusan Rumah Warga terendam dan
2007 Gandusari putusnya jalur Ponorogo -Trenggalek
19 Mei 2008 Kecamatan Gandusari dan Rusaknya Dam semarangan, Tangkis
kecamatan Kampak Kali Taeing Rusak, Menggenanggi 12
Desa di 2 kecamatan
18 April 2009 Kecamatan Kampak dan Desa Jembatan Ambrol, Jalan dan rumah
Sukorame, Karang anyar, Warga terendam, Sumur tercemar
Sukorejo, Wonorejo, Ngrayung,
Kedungsigit kec Gandusari
24 Mei 2010 Kecamatan Kampak dan desa Merendam Ratusan Rumah Warga dan
Gandusari, karanganyar, merusak lahan pertanian & perkebunan
Ngrayung kec. Gandusari .
Desa Wonocoyo Kec Pogalan
7
515
merendam pemukiman sejumlah 4.991 rumah di sebelas desa, beberapa prasarana
pendidikan dan kantor pemerintahan.
Data curah hujan yang tercatat pada Automatic Rainfall Recorder (ARR) GSM
Perum Jasa Tirta I di Kampak sebesar 125 mm (kumulatif dalam 7 jam) dengan
curah hujan maksimum sebesar 50 mm per jam (pukul 01.00, 17 Agustus 2016).
Sedangkan yang tercatat di ARR GSM Karangrejo sebesar 341 mm (kumulatif
dalam 7 jam) dengan curah hujan maksimum sebesar 137 mm per jam (pukul
04.00, 17 Agustus 2016).
Konsentrasi banjir terjadi pada pukul 08.00 WIB dengan debit puncak Kali Parit
Raya yang tercatat di Dam Bendo sebesar 414 m3/det dan Kali Tawing yang
tercatat di Dam Widoro Sebesar 143 m3/det. Dengan debit 143 m3/det tersebut
dimana masih lebih kecil dan belum melampaui debit banjir rencana kala ulang 10
tahun sebesar 190 m3/det telah mengakibatkan luapan dari Kali Tawing ke
permukiman dan persawahan di Kecamatan Gandusari. Hal ini disebabkan
ketidakmampuan penampang sungai dalam menampung aliran debit banjir akibat
dari pendangkalan dasar sungai.
Gambar 5. Genangan yang terjadi saat banjir pada hari Rabu, 17 Agustus 2016 di
Desa Gandusari, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Trenggalek
(sumber : www.bpbd.trenggalekkab.go.id diakses 13 September 2016)
Evaluasi debit banjir di kali Parit Raya di Dam Bendo dimana debit maksimum
yang terjadi sebesar 414 m3/det masih belum melampaui kapasitas maksimum
Kali Parit Raya sebesar 553 m3/det. Total maksimum debit outflow yang terjadi
berdasarkan pengamatan di Terowongan Neyama sebesar 618 m3/detik dengan
perkiraan volume air yang dialirkan ke Laut Selatan kurang lebih 30 juta m3
seperti pada Gambar 7. Kondisi ini masih belum mencapai debit maksimum banjir
Kali Parit Agung berdasarkan kapasitas pengaliran debit maskimum di
Terowongan Neyama (Terowong I dan II) dengan debit total 1100 m3/det.
Dari hasil evaluasi tersebut dapat disimpulkan bahwa kejadian banjir tidak terjadi
atau masih bisa dikendalikan di sungai utama Parit Raya dan Parit Agung dari
sistem pengendalian banjir DAS Ngrowo. Kejadian banjir akibat luapan sungai
hanya terjadi di Kali Tawing karena ketidakmampuan kapasitas pengaliran sungai
dalam menampung debit besar. Untuk mengatasi banjir yang terjadi di masa yang
akan datang diperlukan kegiatan-kegiatan teknis dalam penanganan banjir seperti
yang telah disebutkan dalam studi-studi terdahulu berupa normalisasi sungai
8
516
berupa peninggian tanggul di segmen Dam Widoro ke arah hulu, pengerukan di
hilir serta pembangunan Bendungan Kampak di hulu untuk mengurangi debit
banjir yang masuk seiring dengan perubahan kondisi daerah tangkapan.
9
517
Tawing karena perubahan kondisi daerah pengaliran sungai dan pendangkalan
sungai. Kejadian banjir hanya terjadi di Kali Tawing dan tidak terjadi di sungai
utama Parit Raya. Untuk mengendalikan banjir di Sungai Tawing di Kabupaten
Trenggalek perlu dilakukan upaya-upaya teknis struktural berdasarkan beberapa
rekomendasi yang ada dalam studi-studi terdahulu antara lain normalisasi sungai,
pembangunan tanggul dan merealisasikan rencana pembangunan Bendungan
Kampak.
Rekomendasi
Dengan adanya kejadian banjir yang sering terjadi di Kabupaten Trenggalek,
maka pengendalian banjir secara teknis dengan melakukan kegiatan normalisasi
sungai dan memanfaatkan fungsi tampungan melalui pembangunan bendungan
maupun retarding basin di Kabupaten Trenggalek merupakan upaya yang harus
segera dilakukan oleh pengelola sumber daya air di wilayah sungai tersebut.
REFERENSI
Menkimpraswil, 2002. Kebijakan dan Program Terpadu Bidang Permukiman dan
Prasarana Wilayah dalam rangka Penanganan Banjir Nasional, Makalah
pada Forum Sains dan Kebijakan Penanganan Bencana Banjir, ITB
Bandung 22 Maret 2002, Bandung.
Nippon Koei Co., Ltd., 1979. The Tulungagung Drainage Project – Final Design
Report, Government of The Republic of Indonesia. Tokyo.
Nippon Koei Co., Ltd., 1998. Final Report: The Study on Comprehensive
Management Plan for The Water Resources of the Brantas River Basin in
the Republic of Indonesia, Directorate General of Water Resources
Deveopment, Ministry of Public Work, Jakarta.
Perum Jasa Tirta I, 2014. Manual Operasi dan Pemeliharaan Terowongan
Tulungagung, Laporan Tidak Diterbitkan. Perum Jasa Tirta I, Malang.
Perum Jasa Tirta I, 2015. Pedoman Siaga Banjir 2015-2016, Laporan Tidak
Diterbitkan. Perum Jasa Tirta I, Malang.
PT. Daya Cipta Dianrancana, 2011. Laporan Akhir: Studi Evaluasi Desain Parit
Raya, Laporan Tidak Diterbitkan. Balai Besar Wilayah Sungai Brantas,
Surabaya.
PT. Ika Adya Perkasa, 2006. Laporan Akhir: SID Sistem Drainasi Kali Ngasinan,
Laporan Tidak Diterbitkan. Balai Besar Wilayah Sungai Brantas, Surabaya.
Usman, Rusfandi 1997. Prinsip Dasar Pengendalian Banjir, disampaikan pada
Seminar Nasional Pengendalian Banjir di Wilayah Perkotaan, ITS
Surabaya, 2 September 1997, Surabaya.
10
518
PENGEMBANGAN FORMULA DEKAY - MC.CLELAND (2003)
DALAM PERHITUNGAN JUMLAH RISIKO KEHILANGAN
JIWA AKIBAT BENCANA KERUNTUHAN BENDUNGAN
DI INDONESIA
Anto Henrianto
PT. Virama Karya (Persero), Universitas Katolik Parahyangan Bandung
anto_henrianto@yahoo.com
Intisari
Dalam penentuan tingkat keamanan terhadap bahaya keruntuhan bendungan (dam
break), faktor karakteristik daerah hilir bendungan menjadi aspek paling penting
yang perlu mendapat perhatian khusus karena memiliki kontribusi dominan
terhadap besarnya kerugian yang dialami bila terjadi bencana keruntuhan
bendungan. Karakterisik daerah hilir yang perlu mendapat perhatian adalah
penduduk terkena risiko (PENRIS) yang berdomisili di daerah terdampak
bencana. Pada PENRIS, ternyata sebenarnya terdapat faktor kehilangan jiwa (
Loss of Life / LoL ) yang bergantung pada lamanya waktu tiba banjir / peringatan
dini. Perkiraan penduduk yang diperkirakan akan meninggal pada sekumpulan
masyarakat yang berada atau berdomisili pada daerah risiko bencana, dapat
dihitung berdasarkan formula DeKay-McClelland (2003). Perhitungan ini bersifat
empiris dan dilakukan berdasarkan pengamatan atas peristiwa keruntuhan 24
bendungan tahun 1959 - 1982 di Amerika Serikat dan dunia. Dengan karakteristik
daerah hilir di Indonesia, peristiwa keruntuhan bendungan yang pernah terjadi di
Indonesia seperti di Sempor, Situ Gintung dan Way Ela serta data Rencana Tindak
Darurat (RTD) terbaru sebagai input model regresi, akan dihasilkan persamaan
jumlah LoL dan indeks kerawanan jumlah LoL, yang lebih mewakili kondisi
Indonesia. Dengan semakin akuratnya persamaan LoL yang akan dihasilkan akan
semakin jelas fasilitas khusus bagi yang perlu disiapkan dengan jumlah lebih
terukur seperti : jumlah rumah sakit siaga, alat transportasi evakuasi, asuransi dan
lain-lain, jika terjadi peristiwa bencana keruntuhan bendungan.
Kata Kunci : PENRIS, LoL, Keruntuhan, Bendungan
LATAR BELAKANG
Indonesia memiliki lebih dari 200 bendungan yang sebagian besar merupakan
bendungan tua yang secara tidak langsung merupakan ancaman bagi keselamatan
jiwa penduduk yang bermukim dan beraktivitas di hilir bendungan. Bendungan-
bendungan tua itu awalnya dibangun sekitar tahun 1900 an sebagai pendukung
sektor irigasi. Indonesia secara geografis, merupakan negara yang rawan gempa
karena terletak pada rangkaian pegunungan berapi sabuk pasifik dimana potensi
terjadi pergeseran lempeng tektonik selalu ada. Di satu sisi, sebagai negara
519
berkembang, kebutuhan akan ruang aktivitas publik membuat sejumlah
masyarakat mengabaikan risiko bencana dengan bermukim di daerah risiko
bencana yaitu di hilir bendungan. Di sisi lain dengan kenyataan bahwa banyak
bendungan tua tersebut belum memiliki Pedoman Operasi dan Pemeliharaan,
maka risiko setiap saat bendungan akan mengalami kegagalan akan semakin
besar. Berdasarkan hasil Risk Assessment 65 bendungan di Indonesia dari
pekerjaan DOISP tahun 2013, hampir 80% kondisi bendungan di Indonesia dalam
kondisi risiko tinggi (High Risk).
ANALISA RISK SCORE BENDUNGAN
90
EXTREME
80
70
60 HIGH
RISK SCORE
50
40
30 MODERATE
20
10
LOW
0
0 10 20 30 40 50 60 70
LANDASAN TEORITIS
Menurut Graham, 1988, memperkirakan jumlah kehilangan jiwa (loss of life-
LoL) dapat didekati dengan persamaan empiris yang mencerminkan tingkat daya
rusak akibat bencana dimana terdapat variabel terkait yaitu faktor peringatan,
tingkatan banjir mematikan dan jumlah penduduk terkena risiko (People at Risk -
PAR atau PENRIS). Jika Waktu peringatan dini (warning time), dinyatakan dalam
WT maka:
WT < 15 menit : LoL = 0,5 (PAR) (1)
15 < WT < 90 menit : LoL = (PAR) 0.6 (2)
WT > 90 menit : LoL = 0,0002 (PAR) (3)
520
Berdasarkan hasil studi dan analisis keruntuhan bendungan dari 24 bendungan di
Amerika Serikat dan karakteristik banjir yang ditimbulkannya, perkiraan LoL
sebagai acuan tingkat risiko keamanan daerah hilir bendungan ( Water Resorces
Buletin, 1988 ), ditabelkan sebagai berikut :
Persamaan DeKay - McClelland tidak dapat dipakai jika tidak terjadi longsor pada
daerah risiko genangan dimana sistem peringatan dini tidak bisa ditentukan.
Koreksi terhadap persamaan Brown-Graham ditabelkan sebagai berikut :
521
LoL
No. Name of Dams Year Failed PENRIS Actual Predict LoL Loss of Life at 29 Dams
( eq. 5)
1 Alleghney County 1986 2.200 9 6
2 Austin Texas 1981 1.180 13 9
3 Baldwin Hills 1963 16.500 5 9 450
4 Bearwallow 1976 8 4 5
5 Big Thompson 1976 2.500 144 59
6 Black Hills 1972 17.000 245 174 400
7 Buffalo Creek 1972 5.000 125 87
8 Busley Hills Pond 1982 400 0 0
350
9 Centralis 1991 150 0 1
10 Denver Colorado 1965 10.000 1 1
11 DMAD Utah 1983 500 1 0 300 Actual Loss of Life
12 Kansas City 1977 23.800 20 57 Predicted LoL
13 Kansas River 1951 58.000 11 0
14 Kelley Barnes 1977 250 39 31 250
15 Laurel Run 1977 150 40 40
16 Lawa Lake 1982 5.000 3 5
17 Lee Lake 1968 80 2 26 200
18 Little Deer Creek Utah 1963 50 1 1
19 Malpasset France 1959 6.000 421 406
150
20 Mohegan Park 1963 1.000 6 4
21 Northern NJ 1984 25.000 2 2
22 Prospect Dam 1980 100 0 0 100
23 Shadyside Ohio 1990 884 24 127
24 Strava Italy 1985 300 270 64
25 Swift and Two Medicine 1964 250 28 8 50
26 Teton 1976 2.000 7 25
27 Teton 1976 23.000 4 4
0
28 Texas Hill Country 1978 2.070 25 26
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
29 Vega de Tera Spain 1959 500 150 89
METODOLOGI STUDI
Metodologi studi diuraikan sebagai berikut :
1. Pengumpulan informasi PENRIS dari hasil studi RTD di Indonesia terbaru.
2. Penghitungan jumlah LoL berdasarkan rumus DeKay - McClelland
3. Pembuatan persamaan jumlah LoL untuk kondisi Indonesia berdasarkan
jumlah kejadian keruntuhan bendungan yang ada di Indonesia.
4. Membuat perbandingan jumlah LoL versi kondisi Indonesia dengan DeKay
dan McClelland.
5. Mengembangkan persamaan prediksi jumlah LoL yang sesuai untuk kondisi
di Indonesia.
Persamaan Matematis sementara yang merupakan fungsi dari PENRIS atau PAR
terhadap LoL dapat dilihat pada Gambar 5.
522
Nama Dam Peta Dam Break Kondisi Hilir Bendungan LoL (Person) Kerugian Bisnis
No. Lokasi
Bendungan Kap. (juta. m3) Tinggi (m) Luas (km2) Tc (hour) Populasi Rumah Irigasi (ha) PLTA (MW) G-Brown DeKay ( Juta Rp.)
1 Wadaslintang Jawa Tengah 421,17 122,00 416,41 0,43 447804 111951 31364 92,00 2458 1346 4.833,13
2 Penjalin Jawa Tengah 8,98 22,64 11,81 0,50 130000 32500 29000 1170 546 329,28
3 Cengklik Jawa Tengah 11,00 14,50 60,91 0,20 1000000 250000 1578 3981 4187 1.380,90
4 Cacaban Jawa Tengah 53,08 38,00 281,71 0,50 519518 129880 17481 2688 1188 985,00
5 Darma Jawa Barat 33,70 37,50 73,74 2,42 142300 35575 22316 28 2 976,83
6 Wlingi Jawa Timur 4,80 47,00 483,00 0,47 361518 90380 13600 188,00 2162 1060 497,00
7 Simo Jawa Tengah 0,44 10,00 60,21 0,50 5000 1250 482 166 87 7,44
8 Sanggeh Jawa Tengah 0,20 10,00 6,14 0,20 5000 1250 263 166 207 44,22
Total 2611140 652785 116084 280,00
4500
4000
3500
3000
2500
G-Brown
2000 DeKay
1500
1000
500
0
1 2 3 4 5 6 7 8
523
2. Semakin banyak data LoL dari peristiwa keruntuhan bendungan yang
dikumpulkan akan membuat persamaan yang dihasilkan menjadi semakin
akurat.
3. Untuk dapat mengembangkan persamaan De Kay - Mc. Clelland maka
diperlukan korelasi khusus antara bendungan-bendungan di Indonesia dan
dunia yang menjadi acuan pembuatan rumusnya.
REFERENSI
Bowles, David.S, 2005. ICOLD Bulettin on Dam Safety Management, Journal of
Dams.
Brown, Graham, 1988. Assessing Threat to Life from Dam Failure,
Published Journal of Dam Safety Office.
Graham, J. Wayne, 1999. A Procedure for Estimating Loss of Life Caused by
Dam Failure, USBR.
McClelland and DeKay, 1993. Predicting Loss of Life in Cases of Dam Failure
and Flash Floods, Journal of Dam Safety Office.
Reiter, Peter, 2001. Loss of Life Caused by Dam Failure, PR Water Consulting.
Ltd Helsinki.
Tosun, H, 2010. Total Risk Analyses for Large Dams in Kizilmark Basin Turkey,
Journal Natural Hazards and earth System Sciences.
Yunita, F.T & D.A Puspitosari, 2014. Risk Management in Dam Break Disaster :
Lesson Learn from Way Ela Natural Dam Break Case, ICOLD
International Symposium 2014.
524
STUDI INTERAKSI GELOMBANG TSUNAMI TERHADAP
STRUKTUR MITIGASI DAN PENGARUHNYA DALAM
PEMBENTUKAN RUN-UP DI DARATAN PANTAI
Benazir*, Radianta Triatmadja, Adam Pamudji Rahardjo, dan Nur Yuwono
Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada, Indonesia
*benazir_27iska@yahoo.com
Intisari
Pengembangan sistem mitigasi tsunami seyogyanya menjadi perhatian khusus
untuk menjaga ketahanan pesisir dan keselamatan penduduk di kawasan pantai.
Sejauh ini, terdapat beberapa alternatif sistem mitigasi yang dapat diaplikasikan
dalam mereduksi daya rusak tsunami di daratan, yaitu relokasi pemukiman,
pengembangan rute evakuasi, konstruksi escape building, penanaman hutan
pantai, dan pembangunan konstruksi pengaman pantai. Artikel ini mengkaji lebih
spesifik tentang karakteristik tsunami ketika berinteraksi dengan sistem mitigasi,
khususnya hutan pantai, breakwater, dan tembok laut serta pengaruhnya terhadap
pembentukan run-up dan genangan tsunami di daratan. Simulasi model tsunami
dilaksanakan dengan model matematik. Model tsunami yang digunakan
berdasarkan sistem koordinat cartesius di mana penyelesaian Nonlinear Shallow
Water Equation didiskritisasi dengan metode beda hingga eksplisit leap-frog.
Inisiasi pembangkitan tsunami dilakukan dengan metode dam break yang telah
diverifikasi sebelumnya dengan data laboratorium. Berdasarkan evaluasi
diperoleh bahwa tinggi gelombang tsunami di sekitar model bangunan mitigasi
sangat bergantung pada elevasi puncak dan sifat porus dari model tersebut. Run-
up tsunami selain dipengaruhi oleh tinggi gelombang di lokasi pembangkitan juga
bergantung pada fungsional bangunan proteksi dalam mereduksi tinggi tsunami.
Berdasarkan hasil studi, kerapatan dan layout dari greenbelt memberikan dampak
yang baik dalam mereduksi tinggi tsunami dan run-up di daratan. Selain itu
elevasi puncak breakwater dan seawall juga berperan dalam mereduksi tinggi
gelombang. Hambatan aliran terjadi di hulu model pada waktu sesaat akibat
refleksi gelombang terhadap model dan selanjutnya gelombang melimpasi puncak
model untuk breakwater dan seawall sedangkan gelombang merambat melalui
gap antara model pepohonan pada model greenbelt.
Kata Kunci: tsunami, simulasi, numerik, genangan, greenbelt
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu zona yang paling aktif dalam hal gempa bumi
sehingga memiliki tingkat probabilitas kejadian tsunami yang tinggi. Diperkirakan
sekitar 75% dari garis pantai Indonesia rentan terhadap kejadian tsunami (Lavigne
dkk, 2007). Hal ini dikarenakan pertemuan beberapa lempeng yang bergerak
dengan kecepatan yang relatif sangat tinggi (McCaffrey, 2009). Wilayah pantai di
Indonesia yang rawan bencana tsunami terutama di pantai barat Sumatera, pantai
selatan Jawa, pantai utara dan selatan Nusa Tenggara, pulau-pulau di Maluku,
pantai utara Irian Jaya, dan hampir sepanjang pantai di Sulawesi. Mengacu kepada
1
525
hasil tabulasi data yang diresensi dari Latief dkk (2000), Puspito & Gunawan
(2005), Løvholt dkk (2012), Pribadi dkk (2013) dan berbagai sumber media
elektronik berdasarkan jenis pembangkitanya dari tahun 1929-2016, persentase
kejadian tsunami di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh gempa tektonik di
dasar perairan, yaitu mencapai 88%, akibat gunung api berkisar 11%, dan hanya
1% yang dipicu oleh longsoran seperti yang diperlihatkan pada Gambar 1. Selain
itu, dari data tersebut juga diperoleh persentase kejadian tsunami per regional di
Indonesia dengan periode yang sama. Kawasan Pantai Sumatera, Nusa Tenggara,
Sulawesi, dan Maluku-Papua memiliki intensitas kejadian yang tinggi, yaitu
berturut-turut 27%, 25%, 24%, dan 21% sedangkan sisanya di Pulau Jawa.
2
526
merupakan model yang dalam tahapan perkembangan oleh Benazir (2016) di
mana source code-nya dibangun dengan Bahasa Pemograman Visual Basic .NET
yang menyediakan tampilan interface sehingga memudahkan dalam tahapan
proses simulasi. Pada model tersebut juga telah ditambahkannya beberapa sub-
program untuk keperluan hasil keluaran data yang dibutuhkan seperti
pembangkitan tsunami berbasis dam break. Main program model ini bersumber
dari Imamura dkk (2006) dan Goto dkk (1997). Model tersebut menyelesaikan
bentuk nonlinear persamaan gelombang panjang bersama gesekan dasar dengan
metode beda hingga serta menghitung fluktuasi permukaan air dan kecepatan
kedalaman rerata pada tiap lokasi meskipun di perairan dangkal dan daratan di
dalam keterbatasan ukuran grid bathimetri dan topografi yang kompleks (Yalciner
dkk, 2008). Persamaan pengatur dapat dituliskan dalam koordinat kartesian
berikut (Imamura dkk, 2006).
(1a)
(1b)
(1c)
adalah total kedalaman air, di mana sebagai kedalaman air diam dan
untuk elevasi permukaan air. dan adalah kecepatan fluks arah x dan y,
yaitu:
(2a)
(2b)
Sedangkan untuk gesekan dasar, umumnya diekspresikan dalam persamaan
berikut (Imamura dkk, 2006).
(3a)
(3b)
(4)
Persamaan tersebut menyatakan bahwa kekasaran menjadi besar ketika
kedalaman total kecil jika konstan. Jadi bentuk gesekan dasar diekspresikan
dengan:
(5a)
(5b)
Pada penelitian ini, 0.012 dipilih sebagai nilai koefisien manning di mana
merepresentasikan bahan pada dasar model pantai dari plywood.
Inisiasi pembangkitan tsunami dipilih dengan metode dam break. Hal ini
dikarenakan simulasi numerik tsunami dengan metode ini telah diverifikasi
3
527
dengan data laboratorium sebelumnya dalam Benazir dkk (2016a) dan Benazir
dkk (2016b) yang diperoleh hasil yang valid dan linear dengan hasil keluaran
model matematik terutama dalam pembacaan run-up tsunami. Desain inisiasi
tinggi tsunami adalah dengan sebagai kedalaman reservoir
dan adalah kedalaman hilir. Domain area ditentukan sebagai sebuah saluran
gelombang dengan dimensi 15.00 x 0.60 x 0.44 m di mana 4.00 m di bagian hulu
sebagai area pembangkitan tsunami. Pada bagian hilir terdapat kedalaman konstan
sepanjang 3 m dari lokasi pembangkitan, yaitu 0.10 m yang selanjutnya terjadi
perubahan bathimetri dengan kemiringan 1:20 vertikal terhadap horizontal
sepanjang 8 m. Dengan demikian lokasi pembangkitan tsunami berada 5 m dari
garis pantai seperti pada Gambar 2.
4m 3m 8m
Gambar 2. Model sloping beach dan tiga variasi bangunan proteksi yang
diinvestigasi serta instalasinya di wave channel
Terdapat tiga jenis model yang dikaji dalam model ini, yaitu seawall, breakwater,
dan greenbelt. Model seawall dan breakwater memiliki lebar sebesar 0.05 m dan
divariasikan elevasi puncak bangunannya (crest) 0.02 m, 0.04 m, dan 0.06 m
terhadap elevasi dasar pantai untuk model seawall dan terdahap muka air diam
untuk model breakwater. Model hutan pantai (greenbelt) divariasikan kerapatan
atau gap 0.02 m dan 0.04 m dan juga layout peletakannya (Gambar 3). Instalasi
model seawall dan greenbelt berada di daratan pantai, yaitu 0.10 m dari garis
pantai, sedangkan model breakwater di letakkan pada kedalaman 0.025 m dari
permukaan air yaitu berada 1.85 m sebelum garis pantai. Model greenbelt
merupakan pernyerderhanaan kasus dengan dimensi batang persegi dan seragam,
yaitu dengan panjang 0.02 m, lebar 0.02 m, dan tinggi 0.20 m .
4
528
Secara fisik, simulasi tsunami dengan metode dam break menghasilkan bentuk
gelombang yang merambat di perairan dangkal atau di daratan. Surge tsunami
berubah dalam bentuk bore, yaitu bentuk gelombang yang dominan pecah seperti
kajian yang dilakukan oleh Benazir dkk (2016a). Bentuk fluktuasi permukaan
aliran gelombang dengan metode ini dipengaruhi oleh rasio kedalaman reservoir
( ) dan kedalaman hilir ( ). Selain itu profil pantai juga merupakan faktor yang
menentukan dalam simulasi tsunami yang berbasis sistem dam break.
Pada Gambar 4 diperlihatkan elevasi permukaan air sepanjang saluran gelombang.
Pada jarak 1 m, 2 m, dan 3 m dari pintu dam break (gate) profil pantai adalah
landai dan sedangkan pada jarak 4 m dari gate, profil pantai merupakan
dalam bentuk sloping beach 1:20. Pengukuran fluktuasi tsunami di daratan
dilakukan pada titik pengukuran dengan jarak 5 m, 6 m, dan 7 m dari lokasi
pembangkitan atau pada 0 m, 1 m, dan 2 m dari garis pantai.
5
529
SLOPING BEACH (WITHOUT MODEL) BEACH PROFILE
BREAKWATER 0.02M BREAKWATER 0.04M
BREAKWATER 0.06M
0.30
0.25
0.20
HMAX (M)
0.15
0.10
0.05
0.00
-4.00 -3.00 -2.00 -1.00 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00
-0.05
-0.10
X (M)
0.25
0.20
0.15
HMAX (M)
0.10
0.05
0.00
-4.00 -3.00 -2.00 -1.00 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00
-0.05
-0.10
X (M)
6
530
Pada model seawall yang diletakkan 0.10 m dari garis pantai memberikan
pengurangan tinggi tsunami yang berarti. Di samping itu, bagian hulu model
mengalami pembendungan pada waktu sesaat yang selanjutnya tinggi gelombang
mampu melimpasi elevasi puncak dari bangunan tersebut. Pembendungan
(backwater) semakin tinggi jika tinggi crest dari seawall semakin besar. Dengan
demikian pada uji coba model ini, seawall dengan elevasi puncak 0.06 m
mengalami backwater yang tinggi dan juga mampu mereduksi tinggi gelombang
yang lebih besar di hilir dari kedua variasi crest yang lebih kecil, yaitu 0.04 m dan
0.02 m seperti diperlihatkan pada Gambar 6.
Dari ketiga model proteksi yang disimulasikan dengan berbagai variasi, reduksi
terbesar tsunami terjadi pada model greenbelt selain dari model breakwater
dengan crest 0.06 m. Fungsional keberhasilan dari hutan pantai sebagai salah satu
alternatif mitigasi tsunami ditentukan oleh beberapa parameter, yaitu lebar,
kerapatan, umur pohon, diameter batang, tinggi pohon, dan jenis pohon seperti
disebutkan oleh Forbes & Broadhead (2007). Selain parameter-parameter tersebut,
layout dari pepohonan juga sangat berperan dalam mereduksi tinggi dan
kecepatan gelombang. Reduksi tinggi gelombang terjadi sangat signifikan pada
model greenbelt dengan layout zigzag variasi kerapatan untuk tiap pohon adalah
0.02 m. Hutan pantai yang memiliki layout zigzag lebih efektif dalam mitigasi
tsunami dibandingkan dengan layout seragam seperti yang umumnya ditanam.
Selain itu berdasarkan hasil studi, kerapatan antar pepohonan juga berperan yaitu
model greenbelt dengan gap, m lebih besar dalam mengurangi tinggi
gelombang di hilir model dan panjang rendaman di daratan pantai dibandingkan
dengan model dengan m. Untuk lebih lengkapnya diperlihatkan hasil
pengukuran di hulu dan hilir model greenbelt untuk setiap variasinya pada
Gambar 7.
0.25
0.20
0.15
HMAX (M)
0.10
0.05
0.00
-4.00 -3.00 -2.00 -1.00 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00
-0.05
-0.10
X (M)
7
531
Gambar 7. Bentuk fluktuasi gelombang di depan dan belakang model greenbelt
Simulasi tsunami di saluran gelombang dengan metode dam break dengan adanya
peletakan model greenbelt zigzag dan m diperlihatkan pada Gambar 8.
Pada s adalah kondisi inisiasi model di mana bagian hilir sebagai reservoir.
Gelombang mulai merambat di saluran dan tiba di perairan dangkal pada
s. Selanjutnya surge menerjang model greenbelt dan merambat melalui gap
yang sebagian gelombang mengalami refleksi dan terjadi backwater di hulu
model. Sebagian gelombang terus merambat dan mendaki pantai berkemiringan
dengan tinggi gelombang yang lebih kecil dari sebelum melewati model sampai
mencapai batas run-up maksimum, yaitu berkisar pada s. kemudian dalam
waktu singkat penjalaran gelombang masuk ke dalam fase run-down di mana
gelombang meluncur dengan cepat dari sloping beach. Kecepatan gelombang
pada fase ini sangat ditentukan dari sudut pantai, semakin landai suatu pantai
maka kecepatan balik gelombang semakin kecil. Gelombang kedua akibat refleksi
dari hulu saluran gelombang tidak diperhitungkan pada studi ini.
t = 0s
t = 20s
t = 40s
t = 50s
t = 60s
t = 70s
t = 80s
t = 90s
t = 100s
t = 120s
t = 140s
t = 160s
t = 180s
Gambar 7. Snapshot penjalaran tsunami pada sloping beach (dalam skala) dengan
model greenbelt zigzag L = 0.5 m dan G = 0.02 m
8
532
Reduksi run-up dan panjang rendaman dari keseluruhan model proteksi yang
diinvestigasi menunjukkan bahwa model breakwater lebih baik dalam
menjalankan fungsionalnya dalam mitigasi tsunami. Selanjutnya model greenbelt
zigzag juga berperan sangat baik dalam mereduksi run-up dan genangan (Gambar
8).
1.20
1.00
Run-up (with)/Run-up (without)
0.80
0.60
0.40
Gambar 8. Hubungan run-up dan genangan untuk tiap varian model proteksi
0.30
0.25
0.00
0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00 4.50 5.00 5.50
INUNDATION (M)
Gambar 9. Hubungan run-up dan genangan untuk tiap varian model test
Gambar 9 adalah hubungan run-up dan panjang rendaman di daratan. Pada
gambar tersebut terlihat bahwa semakin tinggi run-up maka semakin besar
genangan di daratan. Berdasarkan hasil model, genangan mencapai 5.07 m untuk
simulasi model tanpa bangunan proteksi. Reduksi genangan maksimum sebesar
47.79% terjadi pada model breakwater dengan crest +0.06 m dari MSL. Model
greenbelt berhasil mereduksi panjang rendaman sebesar 34.22% untuk variasi =
0.02 m dengan layout peletakan berupa zigzag sedangkan model seawall
mereduksi sebesar 21.07% dengan variasi crest yang maksimum.
9
533
Sebagai saran dalam penelitian selanjutnya, akan lebih baik dalam simulasi
numerik dikaji lebih khusus perihal gelombang yang pecah akibat berinterkasi
dengan bangunan di daratan.
REFERENSI
Benazir, 2016. Pengembangan Metode Simulasi Run-up Tsunami dan Aplikasinya
pada Beberapa Kasus Tsunami di Indonesia, Laporan Komprehensif, Draft
Disertasi, Universitas Gadjah Mada.
Benazir, Triatmadja, R., Rahardjo, A.P., & Yuwono, N., 2016a. Tsunami Run-up
on Sloping Beach based on Dam Break System, Proceeding of the 5th
International Seminar of HATHI, 29-31 July 2016, Bali.
Benazir, Triatmadja, R., Rahardjo, A.P., & Yuwono, N., 2016b. Modeling of
Tsunami Run-up onto Sloping Beach and its Interaction with Low Structure,
Proceeding of the 4th International Conference on Sustainable Built
Environment (ICSBE), 12-14 October 2016, Yogyakarta.
Forbes, K. & Broadhead, J., 2007. The Role of Coastal Forest in the Mitigation of
Tsunami Impact. FAO.
Goto, C., Ogawa, Y., Shuto, N. & Imamura, F., 1997. Numerical Method of
Tsunami Simulation with Leap-Frog Scheme, IOC Manual: IUGG/IOC
Time Project, UNESCO.
Imamura, F., Yalciner, A. C. & Ozyurt, G., 2006. Tsunami Modelling Manual
(TUNAMI Model), Disaster Control Research Center Tohoku University,
Sendai.
Latief, H., Puspito, N. T. & Imamura, F., 2000. Tsunami Catalog and Zones in
Indonesia. Natural Disaster Science, Volume 22, pp. 25-43.
Lavigne, F. dkk, 2007. Field Observations of The 17 July 2006 Tsunami in Java.
Natural Hazard and Earth System Sciences, Volume 7, pp. 177-183.
Løvholt, F. dkk, 2012. Historical Tsunami and Present Tsunami Hazard in Eastren
Indonesia and The Southern Philippines. Journal of Geophysical Research,
Volume 117.
McCaffrey, R., 2009. The Tectonic Framework of The Sumatran Subduction
Zone. Annual Review of Earth and Planetary Sciences, Volume 37, pp. 345-
366.
Muhari, A., Mück, M., Diposaptono, S., and Spahn, H., 2012. Tsunami Mitigation
Planning in Pacitan, Indonesia: A Review of Existing Effort and Ways
Ahead. Science of Tsunami Hazard, Volume 31(4): 244-267.
Pribadi, S., Afnimar, Puspito, N. T. & Ibrahim, G., 2013. Characteristics of
Earthquake-Generated Tsunamis in Indonesia based on Source Parameter
Analysis. J. Math. Fund. Sci, Volume 45 No. 2, pp. 189-207.
Puspito, N. T. & Gunawan, I., 2005. Tsunami Sources in The Sumatra Region,
Indonesia and Simulation of The 26 december 2004 Aceh Tsunami. ISET.
Journal of Earthquake Technology, Volume 42 No. 4, pp. 111-125.
10
534
MITIGASI BANJIR UNTUK BANGUNAN MIKROHIDRO
Bambang Yulistiyanto
Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada
yulis@ugm.ac.id
Intisari
Indonesia sudah 70 tahun merdeka, akan tetapi tingkat kesejahteraan masyarakat
di Desa Lewara, Marawola Barat, Sigi, masih dibawah rata-rata dan sulit
berkembang, dikarenakan tidak adanya fasilitas listrik. Desa tersebut dilewati
sungai dengan kondisi topografi setempat yang terjal, sehingga mempunyai
potensi tinggi energi yang besar untuk dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik
tenaga air dalam skala kecil berupa mikrohidro. Sungai Lewara mempunyai debit
yang mengalir sepanjang tahun dengan fluktuasi debit yang sangat tinggi, untuk
itu agar penempatan bangunan mikrohidro dapat aman terhadap hantaman banjir,
maka perlu dilakukan kajian banjir secara komprehensif. Kajian banjir dilakukan
dengan menggunakan data primer dan sekunder di lokasi studi. Simulasi banjir
dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Hec-RAS. Hasil simulasi banjir
dikalibrasi dengan kejadian banjir yang pernah terjadi di lapangan. Hasil simulasi
hidraulika banjir mengindikasikan adanya luapan muka air ke tebing kanan sungai
di ruas hilir bendung, dimana lokasi tersebut ada pipa penstock. Untuk
menghindarkan kerusakan penstock akibat luapan banjir tersebut, posisi pipa perlu
dinaikkan dengan diberi fondasi/pilar pendukung yang sekaligus berfungsi
sebagai pengunci. Hasil simulasi banjir juga menunjukkan adanya genangan di
bagian hilir tailrace, yang berdampak pada pembendungan aliran pada saluran
pembuang tersebut.
Kata Kunci: mitigasi banjir, mikrohidro, simulasi numerik
LATAR BELAKANG
Desain bangunan mikrohidro di Sungai Lewara akan segera diimplementasikan
tahap konstruksinya, untuk melayani kebutuhan energi listrik penduduk setempat.
Sungai lewara mempunyai debit sepanjang tahun dengan tingkat fluktuasinya
sangat tinggi. Untuk itu agar penempatan bangunan mikrohidro dapat aman
terhadap hantaman banjir, maka perlu dilakukan kajian banjir secara
komprehensif, untuk mengkaji apakah banjir yang terjadi akan sampai ke lokasi
rencana penempatan bagian-bagian bangunan mikrohidro atau tidak. Hasil
simulasi banjir juga akan dipakai untuk menentukan penempatan intalasi
mekanikal dan elektrikal agar tidak terendam air saat terjadi banjir. Hasil simulasi
banjir dikalibrasi dengan kejadian banjir yang pernah terjadi di lapangan,
mengindikasikan kedekatan antara hasil numerik dengan catatan kejadian banjir di
lapangan.
Beberapa peneliti telah melakukan kajian penempatan komponen bangunan
mikrohidro dengan memperhatikan pengaruh banjir yang mungkin terjadi. Uprety
1
535
(2013) mengkaji kerusakan saluran pembawa, penstock dan power house pada
bangunan mikrohidro akibat banjir dan tanah longsor di Manpang, Katmandu.
North Wales Hydro Power Ltd (2014) dalam upaya mitigasi banjir terhadap
bangunan mikrohidro, Powerhouse dirancang kedap air dengan menghindari air
banjir masuk ke rumah pompa, menempatkan instalasi listrik pada powerhouse
lebih tinggi dari elevasi banjir yang mungkin akan terjadi. Cropper A. (2012)
meneliti kondisi banjir di sekitar bangunan mikrohidro, dimana hasil kajiannya
merekomendasikan bangunan Powerhouse, ditempatkan 1,8 m di atas muka air
banjir, dan semua instalasi listrik ditempatkan minimal 1 m di atas muka lantai.
Rencana bangunan mikrohidro yang di Desa Lewara, yang menjadi obyek
penelitian ini, berada di bantaran sungai, sehingga perlu dikaji apakah penempatan
bangunan tersebut aman terhadap banjir atau tidak. Simulasi banjir dilakukan
dengan bantuan perangkat lunak Hec-RAS tipe 4.0 dan AutoCAD. Data topografi
yang ditampilkan dalam AutoCAD diekspor ke Hec-RAS untuk membangun
sistem sungai dan tampang melintang serta memanjang sungai. HEC-RAS
merupakan perangkat lunak yang dapat dipakai untuk mensimulasi hidraulika
sungai/saluran secara satu dimensi (User’s Manual HEC-RAS, 2010). Simulasi
hidraulika sungai dapat dilakukan pada kondisi aliran permanen atau tidak
permanen. Pemodelan juga dapat dilakukan baik untuk kondisi alian superkritik,
kritik, dan sub kritik. Prosedur hitungan didasarkan pada persamaan energi satu
dimensi, dengan kehilangan energi dianalisis berdasarkan kemiringan energi
dengan formulasi Manning, serta memperhiungkan juga kehilangan energi akibat
perubahan tampang lintang sungai (Hydraulic Reference Manual, 2010).
Persamaan energi diberikan sebagai berikut ini (Yulistiyanto B. 2015):
V12 V22
S 0 x y1 1 y2 2
h f12 he
2g 2g (1)
hf dan he masing-masing adalah kehilangan energi akibat gesekan dan kehilangan
energi akibat perubahan bentuk tampang, yang diformulasikan dengan persamaan
berikut ini.
S f1 S f 2
h f S f .x x
2 (2)
2 2
V V
he k 1 2
2g
(3)
Karena aliran tidak seragam, maka kemiringan energi di Tampang 1 dan di
Tampang 2 tidak sama, sehingga untuk menghitung kehilangan energi akibat
gesekan, dilakukan dengan menggunakan nilai kemiringan energi rerata.
Kemiringan energi dapat dihitung dengan menggunakan formulasi Manning,
sebagai berikut ini.
n 2 .V 2
Sf 4
R3 (4)
2
536
Nilai k pada Persamaan 3 di atas merupakan koefisien kehilangan energi akibat
perubahan bentuk tampang lintang saluran, dimana untuk aliran tidak seragam
dipercepat nilai k = 0, sedangkan untuk aliran tidak seragam diperlambat, nilai k
diambil antara 0 sampai 1 (Graf dan Altinakar, 1993).Untuk kondisi terjadi
perubahan muka air secara cepat (Rapidly Varied Non-Uniform Flow), analisa
hidraulis dalam HEC-RAS dilakukan dengan menggunakan persamaan
momentum, seperti disajikan sebagai berikut ini.
P2 P1 W F f Q. .V (5)
Kajian banjir dilakukan dengan menggunakan data-data sekunder, yang berupa
data hidrologi, peta kontur lengkap dengan tampang melintang dan memanjang
sungai, dan foto-foto kondisi daerah setempat. Data tersebut sebagian besar
diperoleh dari Draft Desain Dasar Bangunan Mikrohidro (Suprapto, dkk., 2015),
yang dibuat oleh tim peneliti UGM (dimana penulis merupakan anggota utama)
yang merupakan kegiatan penelitian yang didanai UGM kerjasama dengan
Pemerintah New Zealand. Disamping itu diperlukan data-data catatan kejadian
banjir yang diperoleh dari informasi masyarakat sekitar tentang kondisi banjir di
daerah studi, yang akan dipakai sebagai kalibrasi untuk mengkaji keandalan dari
hasil kajian banjir. Data tersebut dipakai sebagai dasar simulasi banjir dengan
menggunakan perangkat lunak HEC-RAS dan AutoCAD.
METODOLOGI STUDI
Penelitian dilakukan dengan menggunakan data-data sekunder, yang berupa data
hidrologi, peta kontur lengkap dengan tampang melintang dan memanjang sungai,
dan data-data catatan kejadian banjir yang diperoleh dari informasi masyarakat
sekitar tentang kondisi banjir di daerah studi, yang akan dipakai sebagai kalibrasi
untuk mengkaji keandalan dari hasil kajian banjir. Disamping itu dilakukan juga
pengumpulan data primer, yang berupa pengukuran debit sungai dan dokumentasi
kondisi sungai di lokasi studi. Data tersebut tersebut dipakai sebagai dasar
simulasi banjir dengan menggunakan perangkat lunak HEC-RAS dan AutoCAD.
Simulasi banjir dilakukan pada beberapa scenario berikut ini:
1. Kondisi eksisting sungai dengan debit banjir
2. Kondisi banjir dengan kondisi ada bangunan bendung
Hasil simulasi banjir kemudian ditumpang-tindihkan dengan peta lay-out
bangunan mikrohidro di Desa Lewara. Posisi bangunan-bangunan saluran
pembawa, forebay, penstock, rumah pompa serta tailrace diverifikasi terhadap
muka air banjir
3
537
Pengukuran debit yang pertama dilakukan pada Tanggal 21 Agustus 2015, pada
saat masih musim kemarau. Pengukuran kecepatan aliran dilakukan dengan
metode pelampung dan diperoleh hasil debit aliran sebesar 0.17 m/s. Pengukuran
ke-2, dilakukan pada Tanggal 6 September 2015 dengan menggunakan
currentmeter untuk mengukur kecepatan aliran, dan alat ukur kedalaman untuk
mengukur luas tampang lintang sungai, memberikan hasil pengukuran debit
aliran, sebesar 440 l/s. Hasil ini dibandingkan dengan beberapa hasil pengukuran
yang lain, dinilai meragukan dan terlalu besar, mengingat waktu pengukuran
dilakukan masih masuk di musim kemarau dan tidak ada hujan sebelumnya.
Hasil yang meragukan tersebut diindikasikan disebabkan oleh alat ukur yang
sudah lama tidak dilakukan kalibrasi. Pengukuran debit ke-3 dilakukan pada
Tanggal : 26 – 27 September 2015. Pengukuran debit aliran dilakukan di dua
lokasi berbeda, yaitu dihilir jembatan serta beberapa puluh meter di hilir lokasi
yang pertama. Pengukuran kecepatan aliran dilakukan dengan menggunakan
currentmeter yang berbeda dengan currentmeter yang digunakan pada pengukuran
tahap kedua. Currentmeter yang digunakan pada tahap ketiga ini telah dilakukan
kalibrasi di puslitbang pengairan PUPR Bandung, sehingga akurasinya dapat
dipertanggungjawabkan. Pengukuran kecepatan dengan currentmeter dan
pengukuran luas tampang lintang sungai yang dilakukan di hilir jembaran,
memberikan hasil nilai debit sesaat yang tidak besar, sekitar 54 l/s. Nilai debit ini
dirasa tidak mencukupi untuk menghasilkan daya listrik yang layak bagi
masyarakat di desa Lewara, di Kampung 1 dan 2, dimana ada 98 KK. Dari
komunikasi lebih lanjut dengan Bapak Kepala Desa, ditunjukkan bahwa di hilir
lokasi pengukuran tersebut dijumpai anak sungai yang masuk ke sungai utama,
sehingga debit di hilir pertemuan sungai tersebut lebih besar. Untuk itu dilakukan
pengukuran di lokasi di hilir pertemuan sungai tersebut, yang hasilnya
memberikan nilai debit sebesar 90 lt/s, yang selanjutnya dipakai sebagai debit
rencana bangunan mikrohidro.
Sebenarnya untuk penentuan debit aliran rendah sebagai dasar perencanaan
potensi energy bangunan mikrohidro, diperlukan analisa Kurva Durasi Debit
berdasarkan data curah hujan dan data debit selama kurun waktu tertentu. Hasil
kajian Kurva Durasi Debit memberikan nilai debit andalan yang jauh lebih rendah
dibandingkan hasil pengukuran lapangan. Hal ini disebabkan tidak tersedianya
data-data hujan dan klimatologi yang dekat dengan lokasi kegiatan, sehingga
terpaksa menggunakan data yang diperoleh dari stasiun-stasiun yang agak jauh
yang berada di hilir sungai, dimana mempunyai sifat hidroklimatologi yang
berbeda.
Analisis Debit Banjir
Dalam perancangan PLTMH analisis data hidrologi memiliki peranan cukup
besar, untuk mengetahui debit banjir yang dipakai sebagai landasan dalam
perancangan bangunan sipil PLTMH. Dalam perencanaan PLTMH diperlukan
data debit banjir rancangan yang dapat terjadi. Data banjir ini kemudian akan
menjadi faktor yang mempengaruhi dalam perhitungan bangunan bendung, dan
dipakai sebagai kondisi batas hulu pada simulasi numerik dengan Hec-RAS. Debit
banjir diperoleh dari data curah hujan yang sudah diolah dengan analisis statistik
4
538
agar dapat diperkirakan nilai hujan maksimal yang dapat terjadi dalam satu
periode tertentu. Kajian debit banjir dilakukan dengan 2 metode, yaitu Gama-1
dan Nakayasu. Hasil kajian debit banjir tersebut diberikan pada Gambar 1 dan 2
berikut ini, dimana ditampilkan hidrograf banjir untuk berbagai kala ulang.
5
539
pada saat musim kering, dan kondisi aliran di sungai saat kondisi banjir.
Mengingat aliran sungai tidak dipengaruhi oleh fluktuasi pasang surut di hilir, dan
kajian hidraulis ditujukan untuk memperoleh karakteristik hidraulis aliran, maka
simulasi dengan HecRAS dilakukan pada kondisi aliran permanen (steady flow).
Untuk mensimulasi banjir di Sungai Lewara Hulu diperlukan data topografi hasil
pengukuran teristris (Suprapto, dkk., 2015). Gambar 3 berikut ini menampilkan
kontur hasil analisa topogafi di lokasi kegiatan.
6
540
Potongan melintang sungai di berbagai lokasi diperoleh dari hasil pengukuran
topografi. Sepanjang 380 m terdapat 22 data potongan melintang sungai yang
diinputkan ke dalam HecRAS pada Geometric Data. Data hasil analisa topografi
dimasukkan ke dalam Geometric Data pada HecRAS, dimana jenis data yang
diperlukan adalah: koordinat titik-titik pada potongan melintang sungai, jarak
antara potongan melintang, yang meliputi jarak pada tengah, tebing kiri dan tebing
kanan potongan melintang, serta data kekasaran dasar dan tebing yang
dipresentasikan dalam nilai kekasaran Manning.
Nilai Kekasaran Manning
Untuk setiap ruas sungai diperlukan masukan nilai kekasaran dasar dan tebing
sungai. Nilai kekasaran ini sangat dipengaruhi oleh komposisi material dasar dan
tebing, keberaturan tampang lintang sungai, ada tidaknya belokan sungai, dsb.
Nilai kekasaran dasar ditentukan berdasarkan pengamatan dan identifikasi jenis
material permukaan dasar sungai, apakah berupa lempung, lanau, pasir, kerikil,
krakal atau bebatuan. Berdasarkan pengamatan tersebut, dan dengan
menggunakan referensi-referensi yang ada, dapat diprediksi nilai kekasaran dasar
sungai. Untuk memprediksi nilai kekasaran Manning dengan berdasarkan kondisi
lapangan dan dengan menggunakan Persamaan 6, berikut ini diberikan cara
penentuan nilai kekasaran Manning. Chow V.T., 1988, mengembangkan cara
memprediksi nilai kekasaran Manning dengan memasukkan pengaruh
ketidakberaturan permukaan dasar (n1), adanya halangan/hambatan pada aliran
(n2), perubahan tampang lintang sungai (n3), vegetasi (n4), dan belokan sungai
(m). Penentuan nilai kekasaran manning dilakukan dengan menggunakan
formulasi berikut ini.
n = ( n0 + n1 + n2 + n3 + n4 ). m (6)
Nilai n0 didasarkan pada kondisi material dasar sungai dimana di lapangan
kondisinya diberikan pada Gambar 4 berikut ini.
7
541
sebasar 0,028; nilai n1 sebesar 0,02 dimana tingkat keberagaman material sangat
tinggi; nilai n2 = 0,01 dimana ditentukan berdasarkan keragaman tampang lintang
sungai; nilai n3 = 0,05 dimana banyak batuan besar di tebing kanan kiri serta di
tengah sungai yang menjadi penghalang aliran; nilai n4 = 0,01 dengan vegetasi
tingkat sedang terutama di tebing kanan dan kiri; serta nilai m = 1,15 dimana
dijumpai belokan sungai yang tidak terlalu banyak. Dengan nilai-nilai tersebut,
dapat ditetapkan nilai kekasaran manning total n =0,136
Dengan mengasumsikan nilai kekasaran dasar tersebut tidak jauh berbeda
sepanjang ruas sungai yang ditinjau, maka simulasi banjir dilakukan untuk
mengkaji ada tidaknya air yang meluap ke lokasi bangunan mikrohidro.
Hasil Simulasi Banjir
Hasil simulasi hidraulika banjir, diplot ke peta topografi dalam format 3D, dan
hasilnya diberikan pada Gambar 5 berikut ini.
Muka Air
Banjir
8
542
Dari kedua infomasi tersebut, simulasi banjir yang dimodelkan secara kualitatif
merepresentasikan kondisi yang terjadi di lapangan. Dengan mencermati hasil
simulasi model, lokasi bangunan mikrohidro, seperti saluran pembawa, sandtrap,
penstock dan power-house ditempatkan pada daerah yang tidak terkena dampak
banjir atau terkena ndampak banjir dengan resiko terkecil. Gambar 6 berikut ini
memberikan penempatan bangunan-bangunan tersebut.
9
543
banjir.
Hasil simulasi banjir juga menunjukkan adanya genangan di bagian hilir tailrace,
yang berdampak pada pembendungan aliran pada saluran pembuang tersebut.
Rekomendasi
Hasil Kajian banjir di lokasi studi dapat dipakai sebagai acuan dalam
menempatkan bangunan mikrohidro, agar terhindar dari genangan yang bisa
merusak terutama instalasi mekanik dan elektrik yang berada di rumah pompa.
REFERENSI
Cropper Adam, 2012, Longlands WoodMicro-Hydro Scheme – Flood Risk
Assessment.
Energypedia, 2015. Causes and Features of Watershed Degradation related to
MHP Projects,
https://energypedia.info/wiki/Causes_and_Features_of_Watershed_
Degradation_related_ to_MHP_Projects, 8 April 2015
ESHA, 1998, Layman’s Guidebook on How to Develop a Small Hydro Site
Graf W.H. dan M. Altinakar, 1993. Hydraulique Fluviale, EPFL, Switzerland
North Wales Hydro Power Ltd, 2014. Flood Consequences Assessment in Respect
of the installation of a Micro Hydro Electric Scheme at Pandy, Bryncrug
Suprapto, B. Yulistiyanto, A. Sunantyo, Prajitno, 2015. Desain Dasar Bangunan
Mikrohidro Desa Lewara, UGM-Cared Programme.
Uprety Batu Krishna, 2013. Assessment of Non-Functioning Micro-HydroProjects
US Army Corps of Engineering, 2010. HEC-RAS River Analysis System, User’s
Manual US Army Corps of Engineering, 2010, HEC-RAS River Analysis
System, Hydraulic Reference Manual.
Yulistiyanto B., 2015. Bahan Kuliah Hidraulika Saluran Terbuka, DTSL – FT –
UGM.
10
544
STUDI PENGARUH ALIRAN DEBRIS KAYU TERHADAP
KENAIKAN MUKA AIR DI PILAR JEMBATAN
Farouk Maricar1*, M. Islamy Rusyda2, Muhammad Farid Maricar3,
dan Haruyuki Hashimoto3
1
Program Studi Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin
2
Program Studi Teknik Sipil Universitas Muhammadiyah Mataram
3
Program Studi Teknik Sipil Universitas Kyushu
*fkmaricar @yahoo.com
Intisari
Peristiwa hujan deras di Kota Tsuwano Provinsi Shimane, Jepang yang terjadi
pada 28 Juli 2013 menyebabkan aliran debris kayu dan sedimen dalam jumlah
besar di sungai Nayoshi. Berdasarkan hasil investigasi lapangan, ditemukan
beberapa kondisi aliran debris kayu yang menumpuk pada jembatan dan
menyebabkan tersumbatnya aliran sungai serta mengubah alur dari saluran sungai.
Seperti halnya Jepang, Indonesia juga mengalami masalah yang sama berupa
penumpukan kayu pada jembatan. Kondisi ini menggambarkan betapa pentingnya
studi tentang penumpukan debris kayu pada jembatan. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui karakteristik penumpukan debris kayu pada jembatan
melalui penelitian experimental di laboratorium. Berdasarkan hasil penelitian
disimpulkan bahwa aliran debris kayu mempengaruhi kenaikan muka air di hulu
jembatan yang berpotensi menyebabkan kejadian banjir.
Kata Kunci: Debris kayu, kenaikan muka air, jembatan.
LATAR BELAKANG
Pada 28 Juli 2013, hujan deras terjadi di Kota Tsuwano Provinsi Shimane, Jepang.
Hal ini menyebabkan aliran debris pada bagian hulu dari sungai Nayoshi di kota
Tsuwano. Hal ini menyebabkan aliran debris kayu dan sedimen dalam jumlah
besar di sungai Nayoshi. Berdasarkan hasil investigasi di lapangan pada 26-27
Oktober dan 1-4 November 2013, ditemukan beberapa kondisi aliran debris kayu
yang menumpuk pada jembatan dan menyebabkan tersumbatnya aliran sungai
serta mengubah alur dari saluran sungai(Gambar 1). Seperti halnya Jepang,
Indonesia juga mengalami masalah yang sama. Ketika musim hujan datang, hujan
deras mengakibatkan banjir pada wilayah kota. Penyumbatan pada saluran
menyebabkan kerusakan bahkan korban jiwa. Gambar 2 menunjukkan kondisi
penumpukan debris kayu pada jembatan (kasus banjir Jakarta pada tahun 2015).
Berbagai kondisi ini menggambarkan betapa pentingnya studi tentang
penumpukan debris kayu pada jembatan.
1
545
Gambar 1. Penumpukan debris kayu Gambar 2. Penumpukan kayu pada saat
pada jembatan terjadi banjir di Jakarta pada tahun2015.
(http://jkt.life/2015/11/10059/)
2
546
Gambar 3. Lokasi Studi di Jepang
Gambar 4. Peta Longsor dan aliran debris pada daerah aliran sungai Nayoshi.
Selama proses terjadinya banjir, debris kayu tertahan di beberapa titik jembatan
3
547
pada Sungai Nayoshi. Gambar 6 menggambarkan situasi akumulasi debris kayu
pada jembatan.
100
Frequency 100
Site 3
x Log normal distribution Frequency Site 3
N = 161 x Log normal distribution
80 N = 161
80
F(x)
F(x)
60
60
Frequency (%)
Frequency (%)
40 40
20 20
0 0
2.7 6.1 9.5 12.9 16.4 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55
1.0 4.4 7.8 11.2 14.6 18.2
Length (m) x Diameter (cm) x
Pada gambar 7 dan 8 dapat dilihat pendistribusian panjang dan diameter dari
debris kayu pada sepanjang Nayoshi River. Dari hasil pengukuran tersebut,
ditemukan bahwa frekwensi terbesar adalah kayu dengan panjang antara 1 m 3 m;
dan diameter antara 12 cm dan 16 cm. Rata-rata panjang dari sampel pada point B
adalah sekitar 3,4 cm. Adapun untuk rata-rata panjang dari sampel kayu pada
point C adalah sekitar 3,5 cm. Rata-rata diameter sampel kayu yang ada pada
point B adalah 15 cm. Adapun rata-rata diameter sampel kayu yang ada pada
point C adalah 18 cm (Tabel 1).
METODE PENELITIAN
Flume
Di dalam eksperimen tersebut digunakan beberapa alat penelitian berupa: flume
berukuran panjang 12 m, dengan lebar 30 cm (Gambar 9). Bagian movable bed
(dasar yang tidak permanen) sepanjang 6 m dan fixed bed (dasar yang
permenanen) sepanjang 4 m. Model jembatan dipasang pada bagian fixed bed,
sedangkan alat yang digunakan untuk menjatuhkan batang kayu diletakkan pada
bagian movable bed. Kedua dinding pada flume terbuat dari gelas yang halus.
Butiran sedimen diratakan pada bagian movable bed dengan ketebalan 10 cm.
Kepadatan dari butiran sedimen tersebut adalah 2.65 g/cm3 dan diameter d50 =3.6
mm.
4
548
Gambar 9. Flume: (1) Flume; (2) Filter; (3) Figure 10. Laboratory flume: (1)
Flume; (2)Filter; (3) Movable bed; (4) Model Jembatan; (5) Fixed Bed; (6)
Penangkap kayu; (7) Penangkap Air; (8) Kran Air; (9) Keranjang yang
digunakan untuk menjatuhkan kayu.
Model jembatan
Model jembatan berukuran panjang 30 cm, dengan lebar 5.2 cm, dan ketebalan 1
cm. Model jembatan ini dipasang pada jarak 2.5 m dari bagian ujung hilir flume.
Model kayu
Sejumlah model kayu dengan panjang 7 cm dengan diameter 2 mm digunakan di
dalam eksperimen. Perbandingan ukuran model kayu adalah 2/100 (Tabel 2).
Model kayu berbasis pada hasil survey lapangan pada Rusyda et al (2014a). Selain
itu, digunakan juga model kayu dengan panjang 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11 cm
dengan diameter 2 mm (Tabel 3). Debris kayu pada studi lapangan memiliki
ranting dan akar. Akan tetapi, untuk mempermudah pembuatan model, hanya
menggunakan model kayu berbentuk tabung. Untuk mendapatkan kondisi lembab
pada kayu, model kayu direndam di dalam air selama 10 menit dan disusun di
dalam sebuah keranjang. Total massa jenis kayu setelah direndam adalah sekitar
0.65 g/cm³.
Untuk melepaskan model kayu ke dalam flume, keranjang yang diletakkan pada
jarak 4.7 m dari model jembatan. Panjangnya 56.4 cm, lebarnya 30 cm, dan
tingginya adalah 26 cm.
Tabel 1. Karakter dari tiap-tiap batang kayu
Point B Point C
(N=125 batang) (N=125 batang)
Panjan Diameter Panjang Diameter
g (m) (cm) (m) (cm)
Maksimum 18 33 12.7 53
Minimum 1.1 6 1.1 6
Rata-rata 3.4 15 3.5 18
5
549
Tabel 2. Perbandingan kondisi model kayu dan jembatan dengan hasil
pengukuran lapangan
No Hasil Hasil Skala
pengukuran pengukuran Perbandingan
(m) pada model (cm)
Panjang jembatanpada poin A 13.1 30 2/100
Lebar jembatan pada poin A 2.6 5.2 2/100
Panjang jembatan pada poin B 10.8 30 3/100
Panjamg jembatan pada poin B 1.9 5.2 3/100
Rata-rata panjang batang kayu 3.4 7 2/100
pada poin B
Rata-rata diameter batang kayu 0.15 0.2 1/100
pada poin B
Rata-rata panjang batang kayu 3.5 7 2/100
pada poin C
Rata-rata diameter batang kayu 0.18 0.2 1/100
pada poin C
6
550
5) Jumlah kayu yang terhanyut hingga bagian hilir flume akan dihitung.
Gambar 10. Proses terjadinya penumpukan kayu pada jembatan di dalam proses
eksperimen
x (cm)
0 5 10 15 20 25 30
10
Run 1 - 2016.06.27
9 y = 15 cm
2
8 q = 303 cm /s
Water Level (cm)
7
6
5
4 Model Bridge Without Pier
3 Water level with wood jam
2 Water level without wood jam
Water level without bridge
1
0
30 25 20 15 10 5 0
x' (cm)
Gambar 11. Hasil pengukuran kedalaman air pada model jembatan.
PENUMPUKAN KAYU
Pada gambar 10, dapat dilihat proses terjadinya penumpukan kayu pada jembatan.
Selain itu, pada gambar 12 dapat dilihat hubungan antara total volume model kayu
yang dilepaskan dengan total volume kayu yang tertahan pada jembatan.
Berdasarkan grafik tersebut, dapat disimpulkan bahwa hubungan antara total
model kayu yang dilepaskan berbanding lurus dengan total volume model kayu
yang tertahan pada jembatan.
7
551
0.0002 1.5
.
q =. 300 cm /s ; L = 3 ~ 11 cm
2
D
.
Volume of released wood pieces (m )
3
q =. 300 cm /s ; L = 7 cm 1.2
2
D
0.00015
0.9
j
h
ud
0.0001 j
h 0.6
d
0
0 0.00002 0.00004 0.00006 0.00008 0.0001
3
0 Volume of trapped wood pieces (m )
0 0.00005 0.0001 0.00015 0.0002
3
Volume of trapped wood pieces (m )
Gambar 12. Hubungan antara total Gambar 13Hubungan antara kenaikan
volume model kayu yang dilepaskan muka air dengan jumlah model kayu
dengan volume model kayu yang tertahan yang tertahan
pada model jembatan.
8
552
Gambar 14 menggambarkan perbandingan antara koefisien loss dengan jumlah
volume model kayu yang tertahan pada jembatan. Dari gambar tersebut dapat
disimpulkan bahwa kenaikan jumlah model kayu yang tertahan berbanding lurus
dengan koefisien loss. Karenanya, hal ini sangat penting diketahui untuk
penanggulangan banjir.
10
1
d
j
f
0.1 .
q =. 300 cm /s ; L = 3 ~ 11 cm
2
D
q .=. 300 cm /s ; L = 7 cm
2
D
n
Average of f
d
0.01
0 0.00002 0.00004 0.00006 0.00008 0.0001
3
Volume of trapped wood pieces (m )
Gambar 14Hubungan antara koefisien loss dengan jumlah model kayu yang
tertahan
REFERENSI
Bocchiola D., Rulli M.C. and Rosso R., 2006. Transport of large woody debris in
the presence of obstacles. Geomorphology, 76 (1-2), 166-178.
9
553
Bocchiola D., Rulli M.C. and Rosso R., 2008. A flume experiment on the
formation of wood jams in rivers. Water Resources Research, 44 (2),
W02408.
Braudrick C.A., Grant G.E., Ishikawa Y. and Ikeda H., 1997. Dynamic of wood
transport in streams: a flume experiment. Earth Surface Processes and
Landform, 22, 669-683
Diehl T.H., 1997. Potential drift accumulation at bridges. Report FHWA-RD-97-
028, Washington: U.S. Dept. of Transportation, Federal Highway
Administration.
Rusyda M.I., Hashimoto H., Ikematsu S. and Sakada K. 2013a. Characteristic of
woody debris deposition during the Yabe River Flood, Japan: nortern
Kyushu Flood Disaster in July 2012. Advances in River Sediment Research,
Ed. Fukuoka S., Nakagawa H., Sumi T. and Zhang H. London: CRC Press,
181.
Rusyda M.I., Sakada K., Ikematsu S. and Hashimoto H., 2013b. An investigation
into woody debris trapped by riparian trees during the Yabe River Flood in
Japan. Proceedings of the 35th IAHR World Congress, Chengdu, 8-13
September 2013. Beijing: Tsinghua University Press.
Rusyda M.I., Kusukubo M., Maricar M.F., Ikematsu S. & Hashimoto H., 2014a.
Woody debris accumulation during the flood event in the Nayoshi River,
Tsuwano town, Japan. Proceedings of the 19th IAHR-APD Congress 2014,
Hanoi, Vietnam.
Rusyda M.I. Rusyda, . Hashimoto H. & Ikematsu S. (2014b). Log jam formation
by an obstruction in a river. Procedings of River Flow 2014.
Schmocker L. and Hager W.H., 2011. Probability of drift blockage at bridge
decks. Journal of Hydraulic Engineering, 137 (4), 269-274.
10
554
PENANAMAN RUMPUT VETIVER PADA TANGKIS RAWAN
LONGSOR : STUDI KASUS DI SALURAN PRIMER
BONDOYUDO KABUPATEN LUMAJANG
Fachrudin dan Anton Dharma*
Dinas PU Pengairan Provinsi Jawa Timur
*mailantondp@gmail.com
Intisari
Longsor pada tebing-tebing saluran irigasi berpotensi mengganggu layanan air
irigasi. Demikian yang terjadi pada saluran primer Bondoyudo di Kabupaten
Lumajang, tanah yang longsor merusak infrastuktur konstruksi tebing saluran.
Akibatnya, layanan saluran irigasi terganggu akibat debit yang dapat melewati
saluran menjadi berkurang karena penampang saluran yang berubah atau bahkan
debit mengalir keluar saluran akibat bocoran pada tanggul saluran. Secara teknik,
penanganan tebing longsor dapat dilakukan dengan penanganan fisik berupa
bangunan beton, pasangan batu, atau konstruksi fisik lainnya. Alternatif
penanganan melalui vegetasi dalam hal ini penanaman rumput vetiver dapat
diaplikasikan sebagai pengganti konstruksi fisik. Vegetasi ini telah diaplikasikan di
bidang-bidang lain seperti penanganan longsor jalan, penanganan erosi lahan di
daerah hulu, penanganan tebing longsor perumahan. Pemanfaatan metode vegetasi
untuk menahan longsor dan erosi pada tebing/ tanggul saluran dapat diterapkan dan
dapat menyelesaikan permasalahan pada saluran irigasi yang memiliki
permasalahan dan kondisi seperti saluran irigasi Bondoyudo. Keuntungan lainnya
dibandingkan dengan penanganan konstruksi sipil, metode vegetasi lebih murah
dalam pembiayaan, namun perubahan paradigma diperlukan agar metode ini dapat
diterima oleh pengelola irigasi.
Kata Kunci: rumput vetiver, longsor, vegetasi
LATAR BELAKANG
Daerah Irigasi Bondoyudo merupakan daerah irigasi kewenangan pusat
(Kementerian PUPR) yang melayani areal irigasi teknis di Kabupaten Lumajang
dan Kabupaten Jember Provinsi Jawa Timur. Sumber air daerah irigasi ini berasal
dari Kali Bondoyudo dengan pengambilan di Dam Umbul berupa bendung tetap
yang berada di Kabupaten Lumajang. Dengan areal seluas 11.784 Ha, yang terdiri
dari 887 Ha di Kabupaten Lumajang dan seluas 10.897 Ha di Kabupaten Jember.
Untuk melayani areal irigasi yang luas tersebut, DI Bondoyudo memiliki panjang
saluran primer hingga 29.500 m yang mengalirkan air dari Dam Umbul di
Kabupaten Lumajang melintas ke Kabupaten Jember. Disisi kiri saluran primer
Bondoyudo terdapat jalan inspeksi yang telah berubah fungsi menjadi Jalan Arteri
penghubung antara Kabupaten Lumajang dengan Kabupaten Jember. Sedangkan di
sisi kanan saluran primer Bondoyudo terdiri dari bantaran dengan tanggul dari
material tanah yang cukup tinggi antara 5 sd 15 meter. Salah satu masalah yang ada
1
555
pada badan saluran primer Bondoyudo adalah tingkat sedimentasi yang cukup
tinggi. Walaupun telah ada saluran penangkap sedimen di Dam Umbul, namun
tingkat sedimen masih cukup tinggi. Sehingga dalam jangka waktu tertentu
kapasitas tampung saluran primer menjadi berkurang. Ditambah lagi dengan
kondisi tanggul saluran yang cukup tinggi, dan rawan longsor karena tidak
diperkuat dengan konsruksi fisik. Longsor pada tebing-tebing saluran primer
Bondoyudo berpotensi mengganggu layanan air irigasi. Tanah yang longsor masuk
ke dalam badan saluran dan mengurangi penampang basah saluran atau bahkan
debit mengalir keluar saluran akibat bocoran pada tanggul saluran.
Secara teknik, penanganan tebing longsor dapat dilakukan dengan penanganan fisik
berupa bangunan beton, pasangan batu, atau konstruksi fisik lainnya. Sebagai
alternatif penanganan selain konstruksi fisik, dapat diterapkan metode vegetasi,
metode vegetasi ini telah diaplikasikan di bidang-bidang selain irigasi seperti
penanganan longsor jalan, penanganan erosi lahan di daerah hulu, penanganan
tebing longsor perumahan.
Rumput Vetiver dikenal di Indonesia dengan sebutan rumput akar wangi atau nama
latinnya Chrysopogon zizanioides adalah sejenis rumput yang berasal
dari India. Vetiver dapat tumbuh hingga ketinggia 150 cm. Memiliki batang yang
tinggi dan daun yang panjang , tipis , dan agak kaku . Bunganya kecoklatan - ungu.
Tidak seperti kebanyakan rumput , yang membentuk akar horizontal menyebar atau
sistem akar seperti tikar, akar vetiver ini tumbuh ke bawah dengan cukup dalam,
hingga kedalaman antara 2 meter sampai 4 meter (P. Truong, dkk, 2008).
2
556
di India Barat menjadi contoh. Tanaman ini juga menembus dan mengendur tanah
yang telah dipadatkan (P. Truong, dkk, 2008).
Rumput vetiver merupakan salah satu jenis rumput yang dimanfaatkan untuk
pencegah erosi lereng, stabilitas tebing, penahan abrasi pantai, dan rehabilitasi
lahan bekas pertambangan. Beberapa alasan mengapa rumput vetiver ini sangat
tepat untuk stabilitas lereng adalah karena (Truong, 2008):
1. Sistem perakaran yang banyak dan menembus sangat dalam ke dalam tanah
2. Sistem akar yang sangat tebal dan ekstensif dapat mengikat tanah, sehingga
tanaman tersebut sulit dicabut.
3. Membentuk pagar hidup yang padat bila ditanam berdekatan sehingga dapat
mengurangi kecepatan aliran.
4. Mampu tumbuh kembali setelah mengalami kemarau panjang, pembekuan dan
kondisi tanah lainnya.
Keunggulan dari rumput vetiver (Kadek, 2011, Pusjatan, 2008)
1. Tahan terhadap variasi cuaca.
2. Mempunyai daya adaptasi pertumbuhan yang sangat luas pada berbagai kondisi
tanah (bergaram, berpasir dan berbatuan).
3. Tahan terhadap rentang pH tanah 3- 10,5.
4. Kekuatannya paling tinggi di antara rumput jenis lainnya.
5. Kuat geser = 6 sd 9 Kpa/kg akar per m3 tanah atau 3 sd 6 kali akar pohon.
6. Membutuhkan biaya yang sedikit ( 1/6 sd 1/8 biaya konstruksi).
Kelemahan dari rumput vetiver (Kadek, 2011, Pusjatan, 2008)
1. Akan efektif jika ditanam dengan baik.
2. Karena pertumbuhannya yang tegak lurus terhadap tanah, maka harus
dikombinasikan dengan rumput bahia (rumput gajah).
3. Karena vetiver adalah tanaman hidup sehingga tidak dapat langsung berfungsi
dengan baik.
4. Sangatlah sulit untuk menanam pada lereng yang sangat tinggi.
METODOLOGI STUDI
1. Pemilihan Lokasi
Lokasi studi adalah satu segmen pada saluran primer Bondoyudo di Kabupaten
Lumajang. Lokasi dari studi (gambar 3) ditentukan, setelah dilakukan peninjauan
lokasi ke beberapa alternatif calon lokasi studi. Beberapa calon lokasi terdapat di
tanggul sungai, tanggul saluran sekunder, dan tanggul afvour irigasi. Dengan
beberapa pertimbangan kondisi lapangan seperti keberadaan permasalahan longsor
tebing, dan kemudahan akses, maka lokasi di Saluran Primer Bondoyudo menjadi
alternatif pilihan lokasi studi.
3
557
ke
Probolinggo
Dam Umbul
Lokasi ke Jember
2. Deskripsi Lokasi
Lokasi studi merupakan tebing saluran di sisi kanan saluran primer Bondoyudo.
Sisi kanan saluran merupakan tikungan dalam, sehingga terdapat sedimentasi di
kaki tebing saluran sisi kanan. Permasalahan longsor tebing di lokasi studi sudah
terlihat secara visual (gambar 4). Dengan ketinggian lereng hingga 10 meter dan
material lereng berupa tanah, tampak longsoran lereng juga merusak pasangan batu
di saluran primer. Untuk studi dilakukan penanaman pada bentang 200 m.
Longsoran
tebing
10 m
Kerusakan
saluran
3. Penanaman
Sebelum dimulai proses penanaman, lokasi dibersihkan dari segala jenis rumput
dan gulma yang memenuhi lereng. Dengan perlengkapan standard dan
dilaksanakan secara konvensional (gambar 5).
4
558
Gambar 5. Pembersihan lokasi
Selanjutnya, agar proses pertumbuhan tanaman rumput vetiver tidak terganggu
dengan pergerakan tanah di bagian permukaan baik akibat berat sendiri tanah
maupun oleh hujan maupun angin, maka diberi perkuatan berupa konstruksi bambu
sederhana (gambar 6).
5
559
Untuk proses penanaman, dibuatkan lubang-lubang dengan diameter minimal 10
cm dan kedalaman 12 cm dengan jarak antara lubang sekitar 20 cm (gambar 9).
Bibit-bibit tanaman dimasukkan ke dalam lubang. Perlu diperhatikan agar akar
tanaman tidak patah atau rusak saat proses penanaman. Selanjutnya ruang-ruang
kosong diisi dengan campuran tanah dan pupuk, untuk pupuk kandang lebih
direkomendasikan.
Gambar 9. Penanaman bibit rumput vetiver Gambar 10. Rumput vetiver setinggi 20 cm
Peniraman rutin sangat krusial bagi tanaman hingga 3 (tiga) bulan diawal-awal
pertumbuhan. Penyiraman dilakukan setiap hari selama 2 (dua) minggu pertama.
Dan selanjutnya penyiraman dilakukan 2 (dua) hari sekali. (gambar 11).
Untuk pemupukan selain dilakukan sejak awal penanaman juga tetap dilakukan
pada umur 1 minggu dan umur 4 minggu setelah tanam. Penggunaan pupuk NPK
15 gram per 100 liter air untuk 100 bibit.
6
560
Sementara area lokasi memiliki luas 2000 m2, yaitu bentang 200 m dengan
ketinggian 10 m.
Biaya ini relatif jauh lebih murah apabila dibandingkan dengan penanganan secara
konstruksi pada lereng dengan ketinggian 10 m dan 200 m panjang. Untuk
konstruksi dengan ketebalan 1 m, maka volume pasangan adalah 2.000 m3. Dengan
mengambil pendekatan harga konstruksi pasangan batu sekitar Rp. 900.000/ m3
maka untuk konstruksi diperlukan biaya sekitar Rp. 180.000.000,-.
Tabel 1. Rencana Anggaran Biaya
No. Uraian Biaya Rp.
1 Bibit rumput vetiver (Rp.8.000 x 1.000kg) Rp. 8.000.000,-
2 Pekerja Rp. 2.000.000,-
TOTAL Rp. 10.000.000,-
Gambar 13. Kondisi tanggul di lokasi studi stabil dari longsor (dok Supaad)
3. Tindak Lanjut
Terlepas dari keberhasilan tanaman vetiver untuk menahan longsor di saluran
primer Bondoyudo pada satu segmen sepanjang 200 m, ternyata tidak cukup untuk
menarik atau mendorong pengelola infrastuktur sumber daya air untuk
memanfaatkan metode vegetasi ini. Sehingga sampai dengan saat ini belum ada
tindak lanjut pemanfaatan metode ini di lokasi yang lain.
7
561
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
1. Pada lokasi studi, longsor dan erosi tanggul merupakan permasalahan umum
yang terdapat pada sepanjang saluran primer.
2. Biaya yang diperlukan untuk penerapan metode tanaman rumput vetiver jauh
lebih murah dibandingkan dengan metode konstruksi pasangan batu. Dengan
rasio perbandingan sekitar 1 : 18.
3. Kondisi tanggul yang semula mudah longsor menjadi stabil tertahan oleh
vegetasi rumput vetiver. Terutama setelah tanaman mencapai ketinggian di atas
60 cm. Hal ini dikarenakan akar dari tanaman telah cukup dalam untuk
menembus tanah dan menjadikan tanggul stabil.
Rekomendasi
1. Rumput vetiver dapat diterapkan untuk penanganan rawan longsor pada
jaringan irigasi dengan kondisi tanggul tanah cukup tinggi hingga 10 meter.
Selanjutnya diperlukan penerapan atau studi pada lokasi yang lebih ekstrem
seperti tanggul sungai yang mengalami rendaman dan desakan air banjir.
2. Perlu sosialisasi dan penyebaran informasi agar semakin banyak para pemegang
kebijakan yang mengalihkan penanganan konstruksi menjadi metode vegetatif.
REFERENSI
Fachrudin, 2015. Proyek Perubahan Penanaman Rumput Vetiver, Surabaya.
https://en.wikipedia.org/wiki/Chrysopogon_zizanioides#Soil_and_water_conserva
tion [diakses pada tanggal 10 September 2016]
http://www.pusjatan.pu.go.id
http://www.vetiverpr.info/2010/06/recomendaciones-y-guia-del-
departamento.html
http://khasvetiver.blogspot.co.id/2014_12_01_archive.html
http://psdajatim.blogspot.co.id/2016/01/rumput-vetiver.html
I Kadek Bagus WP, 2011. Teknologi Rumput Vetiver. Puslitbang Jalan dan
Jembatan Departemen PU.
Susilawati, 2013. Rekayasa Jebakan Air Berantai dengan Rumput Vetiver dalam
Pengembangan Sumber Daya Air yang Terpadu dan Berkelanjutan,
Universitas Widya Mandira, Kupang.
8
562
ANALISIS PENGARUH PENGEMBANGAN KAWASAN
INDUSTRI CANDI TERHADAP BANJIR SUNGAI BRINGIN
Erlyanto Eko Kurniawan, Rifqi Aditya Halimawan, Dwi Kurniani, Suharyanto*
Program Sarjana, Departemen Teknik Sipil Universitas Diponegoro
*suharyanto20@yahoo.co.id
Intisari
Pengembangan Kawasan Industri Candi yang berada di Kota Semarang yang
dibuat dengan melakukan pengeprasan bukit dan menyebabkan perubahan tata
guna lahan di sekitar lokasi pengembangan secara signifikan. Hal ini berdampak
salah satunya pada meningkatnya debit banjir di sungai yang terkena dampak
pengembangan, salah satunya adalah Sungai Bringin. Intensitas dan frekuensi
banjir di Sungai Bringin dari tahun ke tahun selalu meningkat sejak terjadinya
banjir pada tahun 2010. Salah satu penanganan yang dapat dilakukan akibat
meningkatnya debit banjir ini adalah dengan membuat detention pond. Analisis
debit banjir dilakukan pada kondisi eksisting dan kondisi setelah pengembangan.
Debit banjir yang akan di tangani adalah debit banjir dengan periode ulang 50
tahun. Metode yang digunakan untuk menganalisis adalah Metode Rasional dan
Metode HSS Gama 1. Hasil dari kedua metode tersebut kemudian dibandingkan
dan diambil yang terbesar. Selisih volume banjir pada kondisi setelah
pengembangan terhadap kondisi eksisting akanditampung dengan detention pond.
Desain dari detention pond yang direncanakan adalah tipe long storage, yaitu
berupa tampungan memanjang di badan sungai. Long storage ini dipilih guna
memaksimalkan kapasits tampungan di palung palung Sungai Bringin serta
meminimalkan pembebasan lahan masyarakat. Studi penelitian ini dilakukan
dengan tujuan untuk mengetahui peningkatan besarnya debit banjir akibat
pengembangan Kawasan Industri Candi serta memberikan penanganan terkait
peningkatan debit banjir tersebut. Pemilihan detention pond sebagai bentuk
pengendalian banjir dikarenakan dapat menampung volume air dari debit banjir
dengan memanfaatkan kapasitas tampungan di palung palung sungai tanpa
pembebasan lahan masyarakat. Volume yang tertampung dapat mengurangi banjir
yang terjadi di hilir DAS Bringin, sehingga debit banjir di hilir tidak akan
mengalami peningkatan atau memenuhi delta-Q zero principle.
Kata kunci : pengembangan kawasan industri, detention pond, long storage,
delta–Q zero principle
LATAR BELAKANG
Kota Semarang sebagai ibukota Provinsi Jawa Tengah memiliki kegiatan
perdagangan dan industri yang selalu meningkat setiap tahunnya, yang menurut
data dari BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2015 yaitu perekonomian Kota
Semarang berdasarkan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) 2015 atas dasar
harga berlaku mencapai Rp. 121,26 Triliun. Hal ini ditunjang dengan dimilikinya
1
563
3 kawasan industri yang besar, yaitu Kawasan Industri Wijayakusuma, Candi dan
Genuk. Untuk memenuhi permintaan yang semakin meningkat tersebut, para
pengelola kawasan industri dituntut untuk mengembangkan kawasan industri agar
mampu memenuhi permintaan pasar. Lokasi dari Kawasan Industri
Wijayakusuma dan Genuk yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa
menjadikan kawasan industri tersebut mengalami permasalahan, yaitu terjadi
penurunan tanah (land subsidence) yang menyebabkan banjir rob pada saat air
laut pasang. Sedangkan Kawasan Industri Candi (KIC) tidak mengalami banjir
rob, karena lokasinya yang tidak berbatasan langsung dengan laut. Selain itu, juga
dilewati oleh jalan pantura dan Jalan Tol Krapyak yang menjadikan KIC ini
mudah dijangkau. Sehingga, KIC menjadikan salah satu kawasan industri yang
akan dikembangkan, dibandingkan dengan kawasan industri yang lainnya. PT IPU
(Indo Permata Usahatama) selaku developer KIC akan melakukan pengembangan
perluasan wilayah pada KIC. Lokasi KIC terletak di antara dua sungai besar di
Kota Semarang yaitu Sungai Bringin di sebelah barat dan Sungai Kreo di sebelah
selatan. Pengembangan KIC dilakukan dengan melakukan pengeprasan bukit
bukit di antara dua sungai tersebut.
Dalam paper ini disajikan hasil kajian pengaruh dari pengeprasan bukit
pengembangan KIC pada Banjir di Sungai Bringin. Sungai Bringin yang sudah
sering menyebabkan banjir di Daerah Mangkang, akan semakin besar banjir dan
dampak negatifnya. Lokasi yang dianalisis adalah sub DAS Bringin yang terkena
pengembangan dengan luas sub DAS sebesar 8,18 km2. Dalam paper ini juga
disajikan penanganan dari dampak pengembangan KIC.
METODOLOGI STUDI
Metodologi penyusunan Analisis Pengaruh Pengembangan Kawasan Industri
Candi terhadap Sungai Bringin yang digunakan adalah :
1. Survei dan investigasi pendahuluan.
2. Studi pustaka.
3. Pengumpulan data lapangan.
4. Analisis hidrologi.
5. Perencanaan long storage .
Volume air yang harus ditampung didapatkan dari hasil debit banjir kala ulang 50
tahun pada kondisi eksisting (Q0) dibandingkan dengan kondisi setelah adanya
pengembangan kawasan industri (Qn). Apabila hasil Qn > Qo itu berarti ada
peningkatan volume banjir sungai. Peningkatan volume banjir akibat peningkatan
debit banjir sebesar ΔQ = Qn – Qo akan ditampung di long storage.
Penentuan debit banjir kala ulang 50 tahun didasarkan pada faktor teknis,
ekonomi, sosial, dan lingkungan yang terkena dampak banjir. Padatnya penduduk
Kota Semarang dan segala fasilitas serta utilitasnya, risiko kerugian jiwa, harta
benda, dan materi akan lebih besar bila dibandingkan dengan suatu daerah rural
yang sedikit tau bahkan tak ada penduduknya. (Kodoatie, 2013).
2
564
ANALISA HIDROLOGI
Dalam melakukan kajian terhadap dampak pengembangan KIC serta
penanganannya, dilakukan analisis hidrologi pada kondisi eksisting dan pada
kondisi setelah pengembangan. Analisis hidrologi digunakan untuk menentukan
besarnya debit banjir rencana yang akan berpengaruh terhadap besarnya debit
maksimum sungai dalam perhitungan kapasitas luas penampang sungai. Data
hidrologi yang digunakan adalah data curah hujan harian maksimum sepuluh
tahun terakhir yang didapatkan dari stasiun hujan yang berada di sekitar daerah
kawasan industri. Adapun langkah-langkah dalam analisis hidrologi adalah
sebagai berikut ini.
1. Menentukan batas-batas Daerah Aliran Sungai (DAS) dan luasannya.
2. Menentukan luas pengaruh stasiun hujan terhadap DAS Bringin.
3. Menganalisis curah hujan rencana dengan periode ulang (T) tahun.
4. Analisa debit banjir rencana
Dalam paper ini, analisis hidrologi yang digunakan untuk menghitung besarnya
debit banjir rencana yang akan terjadi digunakan Metode Rasional dan Metode
Hidrograf Satuan Sintetik Gama 1.
1. Metode Rasional
Metode rasional dipilih karena banyak digunakan untuk memperkirakan debit
puncak yang ditimbulkan oleh hujan deras pada daerah tangkapan (DAS) yang
kecil. Suatu DAS disebut kecil apabila distribusi hujan dapat dianggap seragam
dalam ruang dan waktu, dan biasanya durasi hujan melebihi waktu konsentrasi.
Beberapa ahli memandang bahwa luas DAS kurang dari 2,5 km2 dapat dianggap
sebagai DAS kecil (Ponce,1989). Pemakaian metode rasional sangat sederhana,
dan sering digunakan dalam perencanaan drainase perkotaan. Beberapa parameter
hidrologi yang diperhitungkan adalah intensitas hujan, durasi hujan, frekuensi
hujan, luas DAS, abtraksi (kehilangan air akibat evaporasi, intersepsi, infiltrasi,
tampungan permukaan) dan konsentrasi aliran. Metode rasional didasarkan pada
persamaan berikut. (Bambang, 2008)
(1)
dengan :
Q : debit puncak yang ditimbulkan oleh hujan dengan intesitas, durasi, dan
frekuensi tertentu (m3/detik)
I : intensitas hujan (mm/jam)
A : luas daerah tangkapan/luas DAS (km2)
C : koefisien aliran yang tergantung pada jenis permukaan lahan.
3
565
yaitu sisi naik (rising), puncak (crest), dan sisi turun/resesi (recession limb). HSS
Gama 1 terdiri dari empat variable pokok, yaitu waktu naik (time of rise – TR),
debit puncak (Qp), waktu dasar (TB). Debit pada sisi naik (rising) dianggap linier
dari awal sampai TR. Debit pada sisi resesi menurun secara eksponensial dengan
laju penurunan ditentukan oleh nilai koefisien tampungan (K) dan mengikuti
persamaan berikut ini.
(2)
dengan :
: debit aliran yang terjadi pada jam ke – t (m3/detik) pada sisi resesi.
: debit puncak (m3/detik)
: waktu dari saat terjadinya debit puncak (jam)
: koefisien tampungan
Setelah dilakukan analisis debit banjir rencana pada kondisi sebelum dan setelah
pengembangan KIC, selanjutnya dilakukan perencanaan detention pond guna
menampung volume peningkatan banjir dari pengembangan KIC. Pendimensian
kolam terkait erat dengan kapasitas maksimum penampang sungai. Luasan kolam
detensi yang didesain disesuaikan kondisi lahan yang ada, yaitu yang masih
berada di sekitar lokasi pengembangan kawasan industri.
4
566
Gambar 2. Lokasi Pengembangan KIC dan Sub-DAS Bringin.
Dari analisa dispersi sebaran dan memperhatikan syarat teoretis tiap jeis sebaran,
maka dapat dilihat bahwa Distribusi Gumbel dan Distribusi Log Pearson Tipe III
mendekati distribusi data yang dianalisa. Selanjutnya, dari pengujian kecocokan
sebaran dengan menggunakan Uji Chi – Kuadrat dan Uji Smirnov – Kolmogorov
maka jenis distribusi Log-Pearson III memberikan Nilai Chi-square dan nilai
simpangan yang paling kecil. Sehingga jenis sebaran yang dipakai adalah Log
Pearson III sebagai berikut.
5
567
Gambar 3. Plotting Distribusi Hujan dengan Sebaran Log-Pearson III.
Tabel 4. Hujan Rencana di Sub-DAS Bringin di KIC.
Periode Ulang (mm)
(Tahun)
2 2.157 0.123 -0.124 2.14 138.60
5 2.157 0.123 0.785 2.25 179.29
10 2.157 0.123 1.335 2.32 209.48
25 2.157 0.123 1.980 2.40 251.50
50 2.157 0.123 2.430 2.46 285.69
100 2.157 0.123 2.858 2.51 322.46
200 2.157 0.123 3.268 2.56 362.16
Perhitungan besarnya debit banjir rencana pada studi penelitian ini digunakan dua
acara, yaitu Metode Rasional dan Metode HSS Gama 1. Hasil analisa debit banjir
pada berbagai kala ulang disajikan berikut ini.
1. Metode Rasional
Tabel 5. Debit Banjir Rencana Kondisi Tabel 6. Debit Banjir Rencana Setelah
Eksisting Pengembangan
Periode Luas Periode Luas
tc Intensitas Debit tc Intensitas Debit
Ulang DAS C 3 Ulang DAS C 3
2 (menit) (mm/jam) (m /detik) 2 (menit) (mm/jam) (m /detik)
(Tahun) (km ) (Tahun) (km )
2 8.18 0.41334 329.634 15.4023 14.48 2 8.90 0.5215 253.811 18.3360 23.66
5 8.18 0.41334 329.634 19.9247 18.73 5 8.90 0.5215 253.811 23.7198 30.61
10 8.18 0.41334 329.634 23.2792 21.88 10 8.90 0.5215 253.811 27.7132 35.76
25 8.18 0.41334 329.634 27.9497 26.27 25 8.90 0.5215 253.811 33.2733 42.93
50 8.18 0.41334 329.634 31.7480 29.84 50 8.90 0.5215 253.811 37.7950 48.77
100 8.18 0.41334 329.634 35.8349 33.68 100 8.90 0.5215 253.811 42.6604 55.04
6
568
Gambar 4. Jaringan Saluran di Pengembangan KIC dan Sub-DAS Bringin.
7
569
Tabel 9. Rekapitulasi Hasil Analisis Perubahan Debit Banjir di Sungai
Bringin Akibat Pengembangan KIC
3
Debit Banjir Periode Ulang (m /detik)
Kondisi Metode
2 Tahun 5 Tahun 10 Tahun 25 Tahun 50 Tahun 100 Tahun
Rasional 14,48 18,73 21,88 26,27 29,84 33,68
Sebelum Pengembangan
HSS Gama 1 9,59 12,82 15,33 18,81 21,81 25,11
Rasional 23,66 30,61 35,76 42,93 48,77 55,04
Setelah Pengembangan
HSS Gama 1 20,64 26,43 31,07 37,54 42,79 48,45
Perencanaan kolam detensi didasarkan pada prinsip delta-Q zero principle, yaitu
keharusan agar tiap bangunan tidak boleh mengakibatkan bertambahnya debit air
ke sistem saluran drainase atau system aliran sungai (PP 26 Pasal 99 Ayat 3,
2008). Kolam detensi didesain dengan tipe long storage. Untuk membuat
tampungan dengan long storage ini, dibuat bangunan pelimpah yang melintang di
badan sungai, sehingga aliran air dapat tertahan dan tertampung. Volume air yang
tertampung ini rencananya akan digunakan untuk kebutuhan air baku atau PDAM
Kota Semarang.
55
50
Q (m3/detik)
45
40
35
30
25 Qbankfull
20
15
10 Qeksisting
5
0
Qpengembangan
0 200 400 600 800
t (menit)
8
570
Gambar 6. Lokasi Long Storage
Tabel 10. Volume Tampungan Kolam
Tampungan Tinggi Pelimpah (m) Luasan (m²) Volume (m³)
Tampungan 1 5 3750.863 18754.315
Tampungan 2 5 11876.865 59384.325
Tampungan 3 5 16260.027 81300.135
Total 31887.755 159438.775
Perencanaan bangunan pelimpah yang didesain di dalam studi penelitian ini
adalah detention pond nomor 2. Berikut adalah data teknis perencanaan detention
pond :
1. Elevasi dasar saluran = +95
2. Elevasi pucak mercu = +100
3. Lebar efektif (Be) = 25,91 m
4. Jenis kolam olak = USBR Tipe III
5. Panjang kolam olak = 5,6 m
6. Panjang lantai muka = 12 m
7. Tinggi air di atas mercu (H) = 0,96 m
8. Tinggi air di hilir bendung (h) = 0,66 m
9
571
long storage di sepanjang alur sungai, dengan menerapkan prinsip delta-Q
zero principle.
REFERENSI
_____, 2008. Peraturan Pemerintah No 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional.
Badan Pusat Statistik, 2015. Produk Domestik Regional Bruto Menurut
Pengeluaran, Semarang.
Kodoatie, J.R., 2013. Rekayasa Manajemen dan Banjir Kota. Andi Publisher,
Yogyakarta.
Soemarto C. D., 1999. Hidrologi Teknik, Erlangga, Jakarta.
Subarkah Imam, 1980. Hidrologi untuk Perencanaan Bangunan Air, Idea
Dharma, Bandung
Sri Harto, 1993. Analisa Hidrologi, Gramedia Pustaka, Jakarta.
Triatmodjo Bambang, 2008. Hidrologi Terapan, Beta Offset, Yogyakarta.
10
572
PENERAPAN PRINSIP DELTA-Q ZERO DALAM
PENANGANAN DAMPAK PENGEMBANGAN KAWASAN
INDUSTRI CANDI TERHADAP SUNGAI KREO
Luluk Afidah, Nuring Nafisah, Hary Budieny, dan Suharyanto*
Departemen Teknik Sipil, FT Universitas Diponegoro
*suharyanto20@yahoo.ac.id
Intisari
PT IPU (Indo Permata Usahatama) selaku developer KIC (Kawasan Industri
Candi) akan melakukan pengembangan perluasan wilayah pada KIC. Lokasi KIC
terletak di antara dua sungai besar di Kota Semarang yaitu Sungai Bringin di
sebelah barat dan Sungai Kreo di sebelah selatan. Pengembangan KIC
menyebabkan beberapa dampak negatif, salah satunya dengan bertambahnya debit
banjir. Dalam paper ini disajikan hasil kajian pengaruh dari pengembangan KIC
terhadap debit banjir di Sungai Kreo. Perhitungan debit banjir dilakukan dengan
dua metode, yaitu metode rasional dan HSS Gama 1. Debit banjir yang
digunakan, adalah debit banjir kala ulang 50 tahun. Penanganan dari dampak
pengembangan kawasan industri tersebut direncanakan membangun embung
overtopping dengan volume tampungan untuk menampung debit banjir kala ulang
50 tahun yaitu sebesar 1.783.000,00 m3, untuk menangani banjir di Sungai Kreo
akibat pengembangan kawasan industri, menggunakan penerapan Delta-Q zero
principle.
Kata Kunci: Embung, Delta-Q zero principle, Pengembangan Kawasan Industri
LATAR BELAKANG
Kegiatan perdagangan dan industri di Kota Semarang, sebagai kota metropolitan
dan ibukota Provinsi Jawa Tengah selalu meningkat setiap tahunnya. Hal ini
ditunjang dengan adanya pelabuhan laut dan pelabuhan udara sebagai sarana
transportasi barang dan jasa. Selain harus tersedianya sarana transportasi untuk
barang dan jasa, juga harus tersedia suatu wilayah khusus yang digunakan untuk
memproduksi barang dan jasa tersebut agar dapat memenuhi permintaan pasar,
yaitu berupa kawasan industri.
Kota Semarang memiliki 3 kawasan industri yang besar, yaitu Kawasan Industri
Wijayakusuma, Candi dan Genuk. Untuk memenuhi permintaan yang semakin
meningkat tersebut, para pengelola kawasan industri dituntut untuk
mengembangkan kawasan industri agar mampu memenuhi permintaan pasar.
Lokasi dari Kawasan Industri Wijayakusuma dan Genuk yang berbatasan
langsung dengan Laut Jawa menjadikan kawasan industri tersebut mengalami
permasalahan, yaitu terjadi penurunan tanah (land subsidence) dan mengalami
banjir rob pada saat air laut pasang.
1
573
Sedangkan Kawasan Industri Candi (KIC) tidak mengalami permasalahan
penurunan tanah dan banjir rob, karena lokasinya lebih ke hinterland. Selain itu,
KIC juga dekat dengan pintu Tol Krapyak. Sehingga, KIC menjadi salah satu
kawasan industri yang banyak diminati dan akan dikembangkan/diperluas.
PT IPU (Indo Permata Usahatama) selaku developer KIC akan melakukan
pengembangan perluasan wilayah pada KIC. Lokasi KIC terletak di antara dua
sungai besar di Kota Semarang yaitu Sungai Bringin di sebelah barat dan Sungai
Kreo di sebelah selatan. Pengembangan KIC menyebabkan beberapa dampak
negatif, salah satunya dengan bertambahnya debit banjir.
Dalam paper ini disajikan hasil kajian pengaruh dari pengembangan KIC terhadap
debit banjir di Sungai Kreo. Sungai Kreo merupakan salah satu anak Sungai
Garang, dimana Kali Garang pernah menyebabkan banjir besar di wilayah Kota
Semarang (Sampangan dan sekitarnya) pada tahun 1990 an. Sehingga,
penanganan dampak pengembangan KIC ini sangat penting.
Zero delta Q policy adalah keharusan agar tiap bangunan tidak boleh
mengakibatkan bertambahnya debit air ke sistem saluran drainase atau system
aliran sungai. (PP 26 Pasal 99 Ayat 3, 2008)
Daerah Aliran Sungai (catchment area, basin, watershed) adalah semua daerah
dimana semua airnya yang jatuh di daerah tersebut akan mengalir menuju ke
dalam suatu sungai yang dimaksudkan. Aliran air tersebut tidak hanya berupa air
permukaan yang mengalir di dalam alur sungai, tetapi termasuk juga aliran di
lereng-lereng bukit yang mengalir menuju alur sungai sehingga daerah tersebut
dinamakan daerah aliran sungai. Daerah ini umumnya dibatasi oleh batas
topografi, yang berarti ditetapkan berdasarkan air permukaan. Batas ini tidak
ditetapkan berdasarkan air bawah tanah karena permukaan air tanah selalu
berubah sesuai dengan musim dan tingkat kegiatan pemakaian (Sri Harto, 1993).
METODOLOGI STUDI
Metodologi penyusunan Analisis Pengaruh Pengembangan Kawasan Industri
Candi terhadap Sungai Kreo secara umum diperlihatkan pada Gambar 1.
Setelah dilakukan analisis hidrologi, hasil antara debit banjir kala ulang 50 tahun
pada kondisi eksisting (Q0) dibandingkan dengan kondisi setelah adanya
pengembangan kawasan industri (Qn). Apabila hasil Qn > Qo itu artinya ada
peningkatan volume banjir sungai. Peningkatan volume banjir akibat peningkatan
debit banjir sebesar ΔQ = Qn – Qo akan ditampung di kolam detensi.
Penentuan debit banjir kala ulang 50 tahun didasarkan pada faktor teknis,
ekonomi, sosial, dan lingkungan yang terkena dampak banjir. Padatnya penduduk
Kota Semarang dan segala fasilitas serta utilitasnya, risiko kerugian jiwa, harta
benda, dan materi akan lebih besar bila dibandingkan dengan suatu daerah rural
yang sedikit tau bahkan tak ada penduduknya. (Kodoatie, 2013)
2
574
Gambar 1. Bagan Alir Metodologi Studi.
ANALISA HIDROLOGI
Analisa data hidrologi dibutuhkan untuk menentukan besarnya debit rencana yang
akan digunakan dalam perencanaan teknis bangunan air. Adapun langkah-langkah
dalam analisis hidrologi, sebagai berikut :.
1. Menganalisis curah hujan areal.
2. Menganalisis curah hujan rencana.
3. Menghitung debit banjir rencana sebelum dan setelah pengembangan.
Hujan Rencana
Stasiun hujan yang digunakan adalah stasiun Simongan, Gunung Pati, dan
Mangkang Waduk sebagaimana dicantumkan dalam Gambar 2.
Gambar 2. Lokasi Pengembangan KIC, Sub-DAS Sungai Kreo, dan Stasiun Curah
Hujan.
3
575
Gambar 3. Luas Pengaruh tiap Stasiun Curah Hujan pada tiap Sub-DAS Sungai Kreo
yang Terpengaruh oleh Pengembangan KIC.
Curah hujan areal dihitung dengan metode Polygon Thiessen. (Soemarto,
1999).Dari Gambar 1 dan 2, dapat dilihat bahwa terdapat 6 (enam) anak Sungai
Kreo yang terpengaruh oleh pengembangan KIC. Dalam analisa hidrologi, masing
masing sub-DAS Sungai Kreo tersebut di analisa sendiri sendiri.
Tabel 1. Curah Hujan areal di tiap Sub-DAS Sungai Kreo di lokasi KIC.
Curah Hujan Areal
Tahun Sub DAS Sub DAS Sub DAS Sub DAS Sub DAS Sub DAS
1 2 3 4 5 6
2001 93.49 87.00 147.00 131.98 76.85 87.00
2002 103.09 136.00 82.00 87.92 109.65 136.00
2003 74.35 144.00 122.00 108.62 73.74 144.00
Curah Hujan
Analisa frekuensi ini digunakan sebagai dasar pemilihan jenis sebaran yang
sesuai. Jenis sebaran yang dicoba adalah sebaran Normal, Log Normal, Gumbel,
dan Log Pearson Tipe III.Selanjutnya, jenis sebaran yang terpilih dilakukan uji
kecocokan jenis sebaran dengan menggunakan Uji Chi-Kuadrat dan Uji Smirnov-
Kolmogorov. Dari analisa di atas, maka curah hujan rencana untuk tiap tiap sub-
DAS adalah sebagai berikut.
4
576
Tabel 2. Hujan rencana di tiap Sub-DAS Sungai Kreo di KIC.
T Sub-DAS Sub-DAS Sub-DAS Sub-DAS Sub-DAS Sub-DAS
(tahun) 1 2 3 4 5 6
2 107.50 122.00 147.37 132.18 99.12 122.00
5 142.76 172.01 184.46 165.91 140.13 172.01
10 165.70 216.12 204.61 186.87 168.44 216.12
20 188.83 273.46 222.48 207.61 198.70 273.46
50 214.39 351.75 240.17 230.04 233.68 351.75
100 234.61 429.28 252.58 247.49 262.72 429.28
Perhitungan debit banjir rencana dengan metode rasional pada kondisi sebelum
dan sesudah pengembangan KIC dicantumkan di Tabel 3 sampai Tabel 7.
5
577
L1 L2 D A V to td tc
Sub DAS
km m m m² m/s menit menit menit
Tc Sesudah Pengembangan
Sub Nilai Cn
DAS Sebelum Sesudah
1 0.382 0.662
2 0.323 0.607
3 0.447 0.477
4 0.494 0.494
5 0.381 0.381
6 0.376 0.408
Tabel 7. Total Debit Banjir Rencana Cara Rasional (dari semua sub-DAS).
Total Qp dari tiap sub DAS
T Qp Qp
(tahun) sebelum sesudah
2 53.69 67.00
5 69.91 87.45
10 78.40 98.16
25 86.50 108.58
50 93.27 116.91
100 98.67 123.72
6
578
Banjir Rencana Metode HSS Gama 1
HSS Gama 1 dikembangkan oleh Sri Harto (1993 dan 2000) berdasarkan perilaku
hidrologi 30 DAS di Pulau Jawa. HSS Gama 1 terdiri dari empat variable pokok,
yaitu waktu naik (time of rise, TR), debit puncak (Qp), waktu dasar (TB), dan
koefisien tampungan (K). Debit pada sisi naik dianggap linier dari awal sampai
TR. Debit pada sisi resesi menurun secara eksponensial dari waktu TR sampai TB
mengikuti persamaan berikut ini.
(2)
dengan :
: debit aliran yang terjadi pada jam ke – t (m3/detik) pada sisi resesi.
: debit puncak (m3/detik)
: waktu dari saat terjadinya debit puncak (jam)
: koefisien tampungan.
Tabel 8. Parameter untuk Analisa HSS Gama 1 dari tiap Sub-DAS S Kreo.
DAS 1 DAS 2 DAS 6
No Parameter Sat
Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah
2
1 Luas Sub DAS (A) km 2.01 2.30 1.28 1.28 4.53 4.53
2
2 Luas DAS di hulu (Au) km 1.12 1.15 0.65 0.65 2.59 2.59
3 Panjang sungai utama (L) km 0.55 0.55 2.90 2.90 5.99 5.99
4 Panjang sungai tingkat 1 (L1) km 3.662 22 3.867 12 10.410 13,3
5 Panjang sungai semua tingkat (Lst) km 6.754 31 7.214 16 23.510 30
6 Jumlah pertemuan sungai (JN) 14 243 14 80 40 58
7 Lebar DPS pada 3/4 L (Wu) km 0.812 0.812 0.527 0.527 1.326 1.326
8 Lebar DPS pada 1/4 L (WL) km 0.45 0.450 0.994 0.994 1.256 1.256
9 Jumlah sungai tingkat 1 (N1) 17 104 14 50 35 44
10 Jumlah sungai semua tingkat (N) 29 280 30 100 100 80
11 Kemiringan sungai utama (S) 0.055 0.055 0.02619 0.02619 0.0304 0.0304
7
579
Tabel 10. Hasil Perhitungan Metode HSS Gama 1 (DAS 1,2,6)
T (tahun) Qp Sebelum (m3/detik) Qp Sesudah (m3/detik)
2 28,2 42,26
5 35,77 50,85
10 39,92 55,56
25 44,11 60,32
50 47,53 64,18
100 50,33 67,34
Dari analisa dapat dilihat bahwa pengeprasan bukit akan membuat lahan
menjadi lebih landai, memperlambat waktu konsentrasi Tc, dan akan
menyebabkan turunnya debit puncak. Akan tetapi, dengan pengeprasan dan
peruntukan untuk kawasan industri, maka peruntukan lahannya akan makin
mengecilkan terjadinya resapan (sehingga terjadi peningkatan koefisien
limpasan). Dari analisa, pengaruh dari peningkatan koefisien limpasan lebih
besar dibanding dengan perlambatan waktu konsentrasi.
2. Terjadi peningkatan volume karena adanya peningkatan debit sebelum
pengembangan dan sesudah pengembangan baik dengan metode Rasional
maupun dengan metode HSS Gama I.
100 74 100
Q (m3/detik)
Q (m3/detik)
50 0 0
50
0
0 200 400 600 0
t (menit) 1 4 7 10 13 16 19 22 25 28
t (jam)
Q50 tahun QBS
Q eksisting Q sebelum Q sesudah
8
580
3. Untuk menanggulangi peningkatan banjir ini diperlukan Embung di hilir
lokasi pengembangan KIC, yaitu dengan memanfaatkan topografi Sungai
Kreo yang mempunyai potensi tampungan in stream. Volume tampungan
direncanakan mampu menampung debit banjir akibat pengembangan KIC
yaitu sebesar 1.783.000,00 m3 (pada elevasi +65.00).
(dalam ribuan)
200 150 100 Genangan
Luas 50 0
80
Elevasi (m)
140.00 140.00
100.00
100.00
80.00
80.00
60.00
60.00
40.00
40.00
20.00
0.00 20.00
0 5 10 15 20 25 30 35 40
-20.00 0.00
t (jam) 0 5 10 15 20 25 30 35 40
t (jam)
9
581
Pada grafik diatas dapat dilihat bahwa pada kondisi awal embung kosong
(a) volume embung mampu menampung volume banjir akibat
pengembangan KIC (puncak I), sementara itu pada puncak II (akibat
outflow dari Waduk Jatibarang) hanya mampu meredam sedikit. Pada
gambar (b), kondisi awal embung penuh, maka kemampuan peredaman
debit banjir juga minimal.
REFERENSI
_____, 2008. Peraturan Pemerintah 26 Tahun 2008. Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional.
Kodoatie, J.R., 2013. Rekayasa Manajemen dan Banjir Kota. Andi Publisher,
Yogyakarta.
Soemarto, 1999. Hidrologi Teknik. Erlangga, Jakarta.
Sri Harto, 1993. Analisa Hidrologi. Gramedia Pustaka, Jakarta.
10
582
PENGARUH PEMBANGUNAN BENDUNGAN KEUREUTO
PADA PEREDAMAN PUNCAK BANJIR
DI KABUPATEN ACEH UTARA
Evi Anggraheni1, Dwita Sutjiningsih1, Muhammad Hafizh1*, dan Elroy Koyari2
1
Departement Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia
2
Balai Wilayah Sungai Papua Barat, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air,
Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
*mhafizh.s12@gmail.com, evi.anggraheni@yahoo.com
Intisari
Aceh Utara adalah suatu kabupaten yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang
cukup tinggi di Provinsi Aceh. Banjir yang terjadi di daerah ini akan berdampak
pada kerugian material dan non material yang cukup signifikan. Keberadaan
Krueng Keureuto merupakan penyebab utama banjir. Bentuk Kreung Keureuto
tergolong tipe kipas dengan beberapa anak sungai memungkinkan terjadinya flash
flood, karena pada umumnya sungai dengan bentuk kipas memiliki waktu puncak
banjir yang singkat. Untuk mengatasi masalah banjir, pemerintah membangun
Bendungan Keureuto di daerah hulu. Tujuan akhir dari penelitian ini adalah
menentukan seberapa besar pengaruh Bendungan Keureuto terhadap peredaman
puncak banjir di Aceh Utara. Analisis peta DAS Krueng Keureuto dilakukan
dengan bantuan software ArcGIS, sedangkan perhitungan debit banjir dengan
metode SCS-CN (Soil Conservation Service-Curve Number) pada model hidrologi
WIN TR-20, sedangkan perhitungan penelusuran banjir menggunakan level pool
routing sehingga pengaruh peredaman banjir oleh bendungan dapat diketahui
dengan membandingkan hasil simulasi yang diperoleh tanpa menggunakan
bendungan dan dengan bendungan. Berdasarkan hasil simulasi dengan periode
ulang 50, 100 dan 1000 tahunan. Debit banjir maksimum 1000 tahun, sebelum
adanya bendungan adalah 1322 m3/dtk. Sedangkan dengan adanya Bendungan
yang luas genangan rencana adalah 793 ha dan lebar pelimpah yang direncanakan
adalah 50 m, debit banjir maksimum untuk 1000 tahun sebesar 375,6 m3/dtk.
Kata Kunci: Banjir, Aceh Utara, SCS-CN, WIN TR-20, Bendungan Keureuto
LATAR BELAKANG
Banjir dan kekeringan merupakan masalah utama dalam pengelolaan sumber daya
air. Banjir juga menjadi permasalahan rutin yang sering dihadapi oleh masyarakat
yang tinggal pada wilayah aliran sungai, dan menjadi parameter telah terjadi
kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan terjadi akibat beberapa kegiatan
manusia, dalam lingkup Daerah Aliran Sungai (DAS) berupa perubahan tata guna
lahan. Dampak yang disebabkan dapat mempengaruhi aliran air debit limpasan
(runoff) permukaan dari suatu sistem DAS akibat suatu peristiwa hujan dengan
durasi tertentu. Untuk mengurangi hingga mengatasi banjir dan kekeringan
berbagai infrastruktur mulai dikembangkan pada abad 19 hingga 20 untuk
1
583
mengatasi permasalahan banjir. Berdasarkan studi, bendungan dan waduk
memperlihatkan bahwa bangunan tersebut efektif dalam pengendalian banjir dan
kekeringan. Bendungan merupakan sistem yang terdiri dari atas waduk dan
pelimpah dapat berfungsi sebagai sarana pengendalian banjir, penyediaan air
baku, air irigasi dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Adapun manfaat
yang dapat dirasakan oleh suatu daerah adalah kontribusi terhadap perkembangan
kondisi ekonomi, khususnya sektor pertanian dan air baku.
Aceh Utara adalah salah satu kabupaten dari 19 kabupaten dan 4 kotamadya di
Provinsi Aceh, yang memiliki potensi pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
Sektor pertambangan merupakan sektor utama yang menyumbang pendapatan
daerah dengan dibukanya pengolahan gas alam cair PT. Arun LNG di
Lhokseumawe pada tahun 1974. Terdapat juga pabrik-pabrik besar lainnya seperti
Pabrik Kertas Kraft Aceh, Pabrik Pupuk Aceh Asean Fertilizer dan Pabrik Pupuk
Iskanda Muda (PIM). Pada sektor pertanian, Kabupaten Aceh Utara merupakan
sebagai penghasil beras terbesar di Provinsi Aceh. Pengelolaan DAS merupakan
sektor terpenting dalam menunjang pengembangan wilayah yang terencana.
Wilayah disekitar sungai merupakan daerah yag sangat mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sosial masyarakat. Pada daerah agraris
seperti Kabupaten Aceh Utara pengelolaan wilayah sungai menjadi lebih berarti
karena mempengaruhi ekonomi masyarakat.
Terdapat 5 sungai besar dalam wilayah Kabupaten Aceh Utara yaitu Krueng
Jambo Aye, Krueng Keureto, Krueng Pase, Krueng Nisam dan Kreung Mane.
Membentang dari arah hulu di bagian selatan hingga bermuara ke selat malaka di
wilayah pesisir bagian utara. Banjir yang terjadi pada daerah ini akan berdampak
pada kerugian material dan non material yang cukup signifikan. Curah hujan
tahunan di wilayah Kabupaten Aceh Utara berkisar antara 1000 – 2500 mm,
dengan hari hujan 92 hari. Musim hujan terjadi pada bulan Agustus sampai
Januari, dengan curah hujan maksimal terjadi di bulan Oktober-November, yang
mencapai di atas 350 mm per bulan dengan hari hujan lebih dari 14 hari.
Sementara musim dengan curah hujan lebih rendah (cenderung kemarau) terjadi
pada bulan Februari sampai Juli, dan yang cenderung terendah adalah sekitar
bulan Maret-April (Badan Pusat Statistik, 2012). Curah hujan bulanan yang terjadi
di bulan Oktober-November lebih dari 350 mm, menurut Badan Meteorologi,
Klimatologi dan Geofisika (BMKG) curah hujan tersebut masuk kedalam kategori
tinggi (301-400 mm).
Krueng Keureuto merupakan penyebab utama terjadinya banjir di Kota
Lhoksukon dan sekitarnya. Terdapat 6 anak sungai yang memberikan kontribusi
aliran ke dalam alur Krueng Keureuto sehingga puncak banjir di daerah hilir
tinggi, anak sungai tersebut adalah Krueng Pirak, Krueng Ceku, Kreung Aleuhop,
Kreung Kreh, Kreung Peuto dan Kreung Aluganto. DAS Krueng Keureuto
sebagian besar terletak di Kabupaten Aceh Utara dan sebagiannya lagi di
Kabupaten Bener Meriah. Wilayah hulunya terletak di Gunung Tungkuh Tige.
Krueng Keureuto membentang dari arah barat daya ke arah utara. Pada bagian
hilirnya, Kreung Keureuto melintasi di tengah Kota Lhoksukon. Menurut Surat
Keterangan Menteri Kehutanan dan Perkebunan (Kementrian Kehutanan, 1999)
2
584
menyatakan bahwa DAS Krueng Keureuto masuk dalam katagori DAS Kritis
dengan tingkat erosi dan sedimentasi yang cukup besar. Selain itu, bentuk DAS
Kreung Keureuto yang tergolong dalam tipe cabang kipas dengan beberapa anak
sungai memungkinkan terjadinya flash flood karena pada umumnya sungai
dengan bentuk kipas memiliki waktu puncak banjir yang singkat (Zoccatelli,
2011). Pada daerah tropis, banjir dan kualitas air merupakan masalah utama dalam
pengelolaan limpasan hujan. (Gilles Rivard, 2006). Berbagai upaya untuk
mengendalikan limpasan permukaan diteliti dan dikembangkan. Salah satunya
adalah membuat rantai pengelolaan limpasan hujan secara berantai untuk
pengelolaan kualitas dan kuantitas air sebelum masuk ke badan air (Committee,
2008), salah satu usaha pemerintah untuk menanggulangi banjir di daerah Aceh
Utara adalah dengan membangun Bendungan Keureuto di daerah hulu.
Bendungan tersebut difungsikan selain untuk pengendalian banjir juga digunakan
sebagai suplai air irigasi seluas 9.420 Ha, penyediaan air baku (0,50m3/dtk) dan
PLTA (6,3 Megawatt).
Analisis data hidrologi sangat diperlukan untuk mengetahui tingkat peredaman
puncak banjir oleh infrastruktur yang ada. Limpasan permukaan adalah salah satu
komponen yang berpengaruh dan menjadi masalah apabila jumlahnya berlebih
karena dapat menyebabkan banjir. Nilai Limpasan dapat dianalisis dengan SCS-
CN (Soil Conservation Service Curve Number) awalnya dikembangkan oleh U.S.
Department of Agriculture dengan menggunakan suatu indeks yang disebut CN
(Curve Number). Indeks ini terdiri dari kombinasi antara unsur penggunaan lahan
dan jenis tanah. Sehingga diperlukan penyelidikan yang menyeluruh terhadap
semua variabel yang mempengaruhi besarnya nilai CN, sehingga nilai limpasan
permukaan dapat dihitung. Dalam mengumpulkan beberapa informasi seperti
karakteristik wilayah, tipe dan penyebab banjir dapat dianalisis dengan
menggunakan pemodelan ArcGIS. ArcGIS merupakan perangkat yang digunakan
untuk menampilkan suatu bentuk permukaan secara grafis dalam bentuk
penggabungan lembaran peta. Selanjutnya, software untuk model hidrologi yang
mewaikili perilaku DAS untuk memprediksi limpasan akibat curah hujan di DAS
dengan menggunakan WIN TR-20, yaitu model yang mengadopsi dari SCS-CN.
Data yang diperoleh dari ArcGIS menjadi input untuk WIN TR-20. WIN TR-20.
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk meninjau pengaruh dari pembangunan
Bendungan Keureuto sebagai salah satu alternatif peredaman puncak banjir di
Kabupaten Aceh Utara.
METODOLOGI STUDI
Lokasi Studi
Lokasi penelitian ini bertempat di Kabupaten Aceh Utara, secara geografis lokasi
Bendungan Keureuto dan sekitarnya terletak pada koordinat, 04° 56’ 03,42”
Lintang Utara dan 97° 09’ 09,44” Bujur Timur yang memiliki Luas DAS 230
km2, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kota Lhokseumawe dan Selat Malaka
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bener Meriah
3
585
3. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Aceh Timur
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Bireun
Adapun tahapan untuk menyelesaikan penelitian ini terdiri dari pengumpulan data
berupa data curah hujan dan data AWLR, analisis perilaku DAS berbasis GIS
(ArcGIS) serta menggunakan SCS-CN, dan analisis hidrograf puncak banjir
dengan menggunakan WIN TR-20.
4
586
Stasiun Hujan
Tahun
Cot Girek Malikussaleh Takengon
1986 81 95 84
1987 141 139 125
1988 114 105 107
1989 190 93 140
1990 91 119 122
1991 126 63 84
1992 88 128 105
1993 121 102 87
1994 72 98 125
1995 63 74 76
1996 126 123 75
1997 90 80 120
1998 65 99 96
1999 69 121 124
2000 158 209 185
2001 195 127 172
2002 28 49 52
2003 53 80 97
2004 109 96 145
2005 60 87 77
2006 51 123 126
2007 41 76 78
2008 63 86 97
2009 107 107 119
Kemudian analisis hujan rencana dilakukan dengan dua metode yaitu Gumbel dan
Log Pearson Tipe III. Setelah dilakukan uji konsistensi terhadap 2 metode
tersebut, metode Log Pearson Tipe III digunakan untuk perhitungan banjir dengan
model hidrologi WIN-TR 20. Distribusi Log Pearson Tipe III merupakan hasil
transformasi dari distribusi Pearson Tipe III dengan menggantikan data menjadi
nilai logaritmik. Persamaan distribusi Log Pearson Tipe III dapat ditulis sebagai
berikut:
LogX LogX G.S log X (1)
CS
n. log X log X 3
CK
n 2 log X log X
4
(3)
n 1. n 2. n 3. S log X
4
dengan keterangan :
Log X : nilai logaritma data X yang diharapkan terjadi pada peluang atau
periode ulang tertentu
LogX : rata-rata nilai logaritma data X hasil pengamatan
S log X : deviasi standar logaritma nilai X hasil pengamatan
CS : koefisien kemencengan
CK : koefisien kurtosis
5
587
terdapat dalam suatu DAS dapat dideteksi dengan menggunakan Digital Elevation
Model (DEM) (Frastiansyah, 2010). Untuk membuat DEM, perlu dilakukan
interpoloasi topografi menjadi data raster. DEM adalah data digital yang
menggambarkan geometri dari bentuk permukaan bumi atau bagiannya dari
himpunan titik-titik koordinat hasil sampling dari permukaan dengan algoritma
yang mendefinisikan permukaan tersebut menggunakan himpunan koordinat
(Tempfli, 1991).
Dengan hasil studi dari banyak DAS, hubungan empiris dikembangkan menjadi
persamaan SCS-CN
dimana nilai
6
588
Dimana nilai Ct adalah koefesien limpasan dan Pt adalah total jumlah curah hujan
dalam milimeter pada satu waktu (t), S adalah kapasitas retensi di daerah
tangkapai dengan satuan milimeter (mm).
dengan :
Q : Debit yang melewati Pelimpah (m3/s)
Cd : Koefisien Debit (1.28)
L : Lebar Pelimpah
h : Tinggi Muka Air diatas Pelimpah
7
589
Dengan metode Log Pearson tipe III untuk beberapa variasi periode ulang
diperoleh hasil analisis hujan rancangan yang dapat dilihat pada tabel 2 di bawah
ini
1 2 96.934
2 5 129.513
3 10 148.894
4 25 171.290
5 50 186.660
6 100 244.287
Berdasarkan hasil analisis dan perhitungan dengan menggunakan Arc GIS dan
WinTR 20 diketahui luas DAS Keureuto sampai pada lokasi rencana
pembangunan bendungan adalah 230 km2.
8
590
Gambar 5. Skematik Sub DAS Keureuto Dengan Bendungan
Berdasarkan analisis tutupan lahan pada DAS, didapatkan nilai CN pada DAS
Keureuto adalah 53.
Debit banjir dihitung dengan periode ulang 100 dan 1000 tahunan dengan debit
banjir maksimum untuk 100 tahun adalah 866 m3/dt dan kala ulang 1000 tahun
adalah 1322 m3/dtk.
9
591
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
Potensi banjir di Kabupaten Aceh Utara disebabkan karena luapan Sungai
Keureuto. Potensi banjir yang ada merupakan hubungan antara hujan dan aliran
pada DAS. Karakteristik DAS Keureuto diakomodir dengan menggunakan model
hidrologi Win–TR 20 yang mengadopsi metode SCS-CN. Berdasarkan hasil
perhitungan didapatkan debit banjir dengan kala ulang ulang 100 tahun adalah
sebesar 866 m3/dt sedangkan untuk debit banjir 1000 tahun sebesar 1322,8 m3/dt.
Pembangunan Bendungan Keureuto di Kabupaten Aceh Utara sebagai sarana
pengendalian banjir berdasarkan hasil simulasi mampu meredam puncak banjir
lebih dari 40%. Sehingga pembangunan Bendungan Keureuto sebagai
pengendalian banjir dinilai efektif.
Rekomendasi
Perubahan fungsi lahan pada daerah genangan Bendungan harus tetap
diperhitungankan karena akan mempengaruhi lingkungan. Selain itu konservasi
hulu bendungan harus diperhatikan para pihak terkait agar keberlanjutan air pada
daerah tangkapan bendungan tetap terjaga.
REFERENSI
Chow, V. T., 1988. Applied Hydrology. Mc Grown Hill.
Committee, M. S., 2008. Minnesota Stormwater Manual version 2. Minnesota:
Minnesota Pollution Control Agency.
Frastiansyah, F., 2010. Pengembangan Simulator Limpasan Berbasis Sistem
Informasi Geografis Menggunakan Horton Infiltration Excess Model.
Gilles Rivard, L. A., 2006. Applying Strormwater Management Concept in
Tropical Countries. Journal of Water Management Modelling.
Kementrian Kehutanan, d. P., 1999. Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan
Perkebunan No 248/KPTS-II/1999. Jakarta.
Soulis, 2011. SCS-CN parameter determination using rainfall-runoff data in
heterogeneous watersheds – the two-CN system approach. Hydrological and
Earth System Sciences, 1001-1015.
Tempfli, K., 1991. DTM and Differential Modelling In: proceedings ISPRS and
OEEPE Joint Workshop on Updating Data by Photogrammetric Records.
OEEPE Publication No. 27, 193-200.
10
592