Anda di halaman 1dari 6

BONEKA PANDA

Oleh Subhi

Warna putih boneka panda itu sudah menguning. Warna hitamnya pun sudah buram.
Namun, setiap pulang kerja, dia selalu menatap boneka panda yang terletak di atas meja di kamar
tidurnya. Rasanya, bagi lelaki itu belum sepurna bila dia keluar dan memasuki rumah kontrakan
yang dihuninya itu tanpa menatap boneka panda itu. Bahkan, ketika dia mau tidur dia
meluangkan waktu untuk menatapnya sepuas-puasnya. Terkadang dia bawa ke tempat tidur.
Dibaringkannya perlahan-lahan, diselimutinya lalu dia menembang sebisanya sambil memukul-
mukul lembut tangan panda itu. Kalau sudah begitu, lelaki itu sering tidak dapat menahan air
matanya.
Jika dia merasa sudah mengantuk, dia membisikkan ke telinga boneka panda, “Selamat
tidur Sayang, besok kita keliling kota lagi dengan sepeda, biarkan saja orang menertawakan kita,
karena hanya sepeda yang mampu kita miliki”.
Bagi lelaki itu, hanya boneka panda itulah teman satu-satunya yang tersisa dalam
hidupnya. Dia melewati hari-hari dalam kesunyian. Malam yang terasa menggerahkan
dilewatinya bertemankan boneka panda itu. Dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi kecuali
kenangan yang memperpanjang derita yang akan dilaluinya bila dikenang.
Lelaki itu terus menatap boneka panda itu. Perlahan dia melangkah mendekati meja lalu
membungkuk dan meraih benda itu lalu didekapnya erat-erat. Matanya pun terpejam. Kini, mata
batinnya menyibak tabir masa lalu dan menerobos lorong-lorong kesunyian.
Lelaki itu seorang perantau. Dengan berbekal ijazah SPG dipertaruhkan nasipnya di kota
Banda Aceh. Tak ada sanak saudaranya di kota ini. Pada awalnya, dia berusaha mencari
pekerjaan yang bisa mendapatkan uang lumayan banyak, tetapi karena semua pekerjaan yang
sudah dilakukan tidak mendatangkan kepuasan batin, dia tinggalkan itu. Dia berpikir, untuk apa
dulu dia bekerja banting tulang di kota kelahirannya kalau bulan karena ingin menjadi seorang
guru. Alangkah bodohnya aku, kalau ijazah sudah kuraih tapi tidak dapat kugunakan
sebagaimana mestinya.
Pendapatannya sebagai guru honorer tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,
apalagi untuk dikumpulkan sebagai tabungan masa depan atau untuk menyogok supaya lulus
dalam setiap tes. Selain dia tidak mampu, dia meyakini bahwa jika sesuatu dimulai dengan suatu
kesalahan, untuk menutupi kesalahan tersebut, orang harus melakukan kesalahan yang baru.
Beberapa tahun sesudah menjadi guru bakti di salah satu SD, dia berkenalan dengan
seorang gadis. Gadis itu bernama Nurul Amelia. Gadis itu sangat peduli terhadap kehidupannya.
Semula dia belum yakin terhadap pengakuan Nurul Amelia yang mencintainya setulus hati.
Namun, dari hari ke hari, dari kepedulian yang ditunjukkannya ketika lelaki itu menghadapi
permasalahan, dia pun yakin, Nurul Amelia mencintainya apa adanya. Oleh karena itulah dia
bertekad bulan untuk menikahi Nurul Amelia.
Pada mulanya, ada kegamangan yang merasuki pikiran lelaki itu. Hal itu terjadi ketika
dia mendengar orang tua Nurul Amelia tidak menyetujui anaknya bersuamikan seorang guru,
apalagi status lelaki itu masih guru honorer. Yang menyakitkan lagi, alasan mereka sangat
sederhana. Mereka tidak mau putri mereka kelaparan. Bagi mereka, cinta bukanlah jaminan
kebahagiaan sebuah rumah tangga. Cinta tanpa materi dalam sebuah rumah tangga tak ubahnya
seperti lokomotif tanpa rel. Tetapi, karena dia tidak ingin mengecewakan perempuan yang
kemudian menjadi istrinya itu, Lelaki itu nekat menikah walau apapun yang terjadi.
Sikap orang tua Nurul Amelia ternyata tidak pernah berubah. Bagi mereka Nurul Amelia
bukan lagi kerabat. Walau demikian, lelaki itu dan isterinya selalu datang bersilahturrahmi ke
rumah mereka terutama pada hari baik dan bulan baik. Tapi, kedatangan mereka selalu disambut
dingin. Tidak pernah ditanya keadaan mereka. Menyakitkan memang, terutama bagi Nurul
Amelia yang merasa bahwa mereka masih orang tuanya. Semua itu mereka terima dengan lapang
dada.
Sebagai seorang suami, dia harus mampu menghidupi keluarga. Untuk membuktikan
kepada keluarga istrinya bahwa ia mambahagiakan istrinya dan membiayai keluarganya, Segala
usaha dia lakukan, sepulang mengajar dia menjadi kuli bangunan. Pada malam hari dia mengajar
privat ke rumah-rumah.
Begitulah pergulatan hidup yang dilakoni lelaki itu. Namun, kehidupan mereka masih
tergolong sederhana. Istrinya tidak pernah mengeluh soal uang belanja yang diberikan oleh lelaki
itu. Tak pernah istrinya meminta hal-hal yang tidak mungkin dapat dipenuhi oleh lelaki itu walau
dulu dia dibesarkan dalam kehidupan serba ada.
Bahkan ketika lelaki itu murung karena ia tahu uang yang dibawa pulang tidak cukup
untuk belanja sehari, isterinya selalu membangkitkan harapan-harapan lelaki itu. Tak jarang
mereka harus menahan lapar. Namun, tidak pernah terlihat  mereka bertengkar karena urusan
belanja. Kiranya, cinta memerlukan pengorbanan dan sikap saling mengerti. Itulah yang
diperlihatkan oleh istrinya.
Memasuki tahun keempat usia perkawinan mereka, lahirlah seorang anak perempuan.
Mereka beri nama Habibah Lestari yang berarti kasih sayang yang abadi. Mereka memberi
namanya Habibah Lestari, habibah Lestari terlahir dalam segala kesederhanaan. Semula, lelaki
itu berpikir, sekiranya dia dikaruniai anak, pasti sikap mertuanya akan berubah. Namun, sampai
tiga tahun kemudian, lahir pula anaknya yang kedua, seorang lelaki yang mereka beri nama
Teguh Sutrisno, sikap mertuanya tidak juga pernah berubah. Walau ketika Teguh Sutrisno lahir,
istrinya mengalami pendarahan dan karena ketidakmampuan biaya jugalah,  dia tidak mendapat
pertolongan yang wajar.
Tiga jam istrinya bergelut dengan maut. Sementara ia hanya bisa membesarkan hati istri
dengan memberi harapan-harapan. Di akhir pergelutannya dengan maut istrinya sempat berujar,
“Tuhan, jangan ambil nyawaku, aku ingin mengasuh anak-anakku dengan cinta kasih”. Kata-kata
itu pulalah yang selalu terngiang di telinganya. 
Semenjak ditinggalkan istrinya, lelaki itu merawat anak-anaknya dengan penuh kasih
sayang sebagai seorang ayah sekaligus ibu bagi anak-anaknya. Kedua anaknya dirawatnya
dengan baik, bila ia pergi mengajar, mereka dititipkan pada tetangganya.
Tetangganya itu belum dikarunia seorang anak pun walau sudah hampir sepuluh tahun
berkeluarga. Itulah sebabnya tetangganya itu memperlakukan mereka seperti anak kandung
mereka.
Sepulang mengajar, sebelum dia pergi bekerja sebagai buruh bangunan separuh hari, dia
bergegas memenuhi kebutuhan kedua anaknya. Setelah itu, mereka kembali dititipkan kepada
tetangganya.
Tetangganya itu selalu dengan senang hati menerima kehadiran Habibah Lestari dan Teguh
Sutrisno. Bahkan keluarga itu sudah menganggap mereka sebagai anak kandungnya, walaupun
lelaki itu sudah berulang kali menolak permintaan mereka untuk menjadikan kedua anak-anak itu
menjadi anak asuh mereka. Karena, bagi lelaki itu kedua anak-anaknya merupakan karunia dari
Tuhan yang dititipkan melalui istrinya dan itu boleh disia-siakan.
Setiap pulang sore hari, dia selalu melihat keadaan anak-anaknya sudah rapi, diurus oleh
tetangganya dengan senang hati. Setelah selesai dia mandi, kedua anaknya dibawanya berjalan-
jalan sore dengan mengenderai sepeda jantan pemberian kepala sekolahnya. Teguh Sutrisno
didudukkan di depan, di atas besi batangan setelah besi itu dibalut dengan kain, sedangkan
Habibah Lestari duduk di boncengan belakang. Dengan menyanyikan lagu-lagu yang disukai
anak-anaknya, lelaki itu mendayung sepeda menuju kota Banda Aceh. Begitulah setiap sore
dilakukan oleh lelaki itu untuk membahagiakan kedua anaknya.
Suatu hari, ketika mereka sedang berjalan-jalan dengan mengenderai sepeda jantan, Teguh
Sutrisno melihat seorang anak sedang bermain dengan sebuah boneka panda di teras rumah.
Tiba-tiba dia meminta ayahnya berhenti. Lelaki itu pun berhenti. Teguh Sutrisno
memperhatikannya dengan senang hati. Dia melonjak-lonjak kegirangan di atas batangan sepeda,
tempat dia duduk. Namun karena hari hampir magrib, lelaki itu mengajak mereka pulang.
Dalam perjalanan pulang itu, Teguh Sutrisno terus merengek-rengek meminta dibelikan
boneka panda seperti yang dia lihat itu.
“Iya, nanti ayah belikan setelah ayah mendapat uang”, jawab lelaki itu karena tidak ingin
anaknya kecewa.
Beberapa hari kemudian, lelaki itu membawa pulang uang hasil bekerja sebagai.buruh. Dia
pulang lebih cepat dari biasanya. Dalam perjalan pulang dia teringat janjinya untuk membeli
boneka panda yang diminta Teguh Sutrisno, tetapi karena kontrakan rumah yang belum
dibayarnya, dia mengurungkan niat untuk membeli boneka panda itu,
“Teguh, Habibah, ayo kita jalan-jalan, sekalian ayah mau bayar kontrakan rumah kita”,
ajak lelaki itu.
“Sesudah itu kita beli panda boneka, kan?” tagih Teguh Sutrisno.
“Bukan panda boneka, dek. Boneka panda”, sahut Habibah Lestari memperbaiki kesalahan
pengucapan adiknya.
“Uang kita belum cukup untuk beli boneka panda, Nak”, lelaki itu mencoba memberi
pengertian.
“Tadi, Teguh lihat uang ayah banyak”, protes Teguh.
“Banyak, memang, tapi hanya cukup untuk membayar kontrakan rumah kita. Kalau tidak
membayar kontrakan rumah, kita tinggal di mana?” kilah lelaki itu.
“Kan, bisa tinggal di rumah Buk Marni?”
“Buk Marni itu memang baik, tapi kita tidak boleh merepotkan  dia. Buk Marni sudah banyak
sekali membantu kita. Bagaimana kalau sudah kita bayar uang kontrakan rumah, kita jalan-jalan
ke Pasar Aceh melihat-lihat saja, nanti kalau sudah ada uang ayah belikan boneka panda itu?”
bujuk lelaki itu sangat hati-hati.
“Asik!” teriak Teguh.
“Tapi, Dek. Jangan minta beli boneka panda. Ayah tidak punya uang”, timpa Habibah
mengingatkan adiknya yang masih berumur empat tahunan itu.
Lelaki itu menghentikan laju sepedanya. Perlahan didorongnya sepeda itu memasuki
pekarangan sebuah rumah mewah. Sesudah kedua anaknya diturunkannya dan didudukkan di
kursi yang ada di teras rumah itu, dia memberi salam dan memasuki rumah tersebut. Tak lama
kemudian, lelaki itu keluar dan meneruskan perjalanan menuju kota.   
Sesampai mereka di Pasar Aceh, mereka berjalan-jalan. Sampai di depan sebuah toko yang
menjual mainan anak-anak, Teguh melihat sebuah boneka panda yang masih berbalut plastik.
Matanya menatap penuh minat.
“Jangan diturunkan, Dek. Kami Cuma melihat-lihat saja”, kata lelaki itu sebaik melihat
penjaga toko mau mengambil boneka itu dari rak.
“Lihat-lihat saja pun boleh, mana tahu cocok”, jawab penjaga toko seperti tidak mendengar
larangan lelaki itu.
Penjaga toko pun menurunkan boneka panda itu dari tempatnya dan membuka plastiknya.
“Ini tinggal satu lagi, Pak”.
“Ayo, Yah, besok kehabisan”, rengek Teguh.
“Tadi, Teguh sudah janji, kan?”  kata lelaki itu dan Habibah hampir serentak mengingatkan
Teguh.
“Untuk membeli boneka panda ini harus punya uang banyak, Ayah belum punya uang untuk
membelinya. Ayo, kita pulang sayang. Nanti kalau sudah cukup uangnya kita beli, ya?” bujuk
lelaki itu dengan sabar.
Penjaga toko itu terus saja berusaha menawarkan boneka panda itu.
“Tolong mengerti, Dek, aku tidak punya uang. Jadi jangan ngotot seperti itu menawarkan
barang”, tegur lelaki itu mulai kesal.
“Ini pasar, Pak. Penjual bebas menawarkan barang. Bapak bebas pula memutuskan untuk
membeli atau tidak. Kalau Bapak bilang tidak ada uang, yah, saya mau bilang apa?” jawab
penjaga toko sekenanya saja sambil kembali membungkus boneka panda itu dengan plastik.
“Teguh, mari kita pulang, Nak. Hari sudah mendung, nanti keburu hujan”, lelaki itu
membujuk sembari menggendong Teguh.
Teguh tetap saja bersikeras untuk dibelikan boneka panda itu. Dia menangis dan meronta-
ronta sambil memukul-mukul wajah ayahnya. Bahkan sepanjang jalan dia terus menangis
walaupun lelaki itu menjanjikannya untuk membeli sepulang dia dari kerja besok.. Ada
kegalauan merasuki relung-relung hati lelaki itu. Permintaan Teguh itu tidaklah berlebihan dalam
penilaiannya. Tetapi, ketiadannya jugalah membuat dia merasa gagal menjadi ayah bagi anak-
anaknya.
Sepeda itu terus dikayuhnya. Cepat, semakin cepat. Dia melihat langit semakin mendung.
Menjelang tiba di rumah, gerimis pun turun.
Pada malam harinya, Teguh mengigau. Dari igauannya terdengar dia menyebut-nyebut
boneka panda. Terkadang terlihat dia tersenyum, terkadang menangis. Lelaki itu merasa hatinya
semakin pilu. Dia hanya bisa duduk termenung di depan anaknya yang sedang bermain-main di
alam mimpi. Semakin lama dia mendengar igauan Teguh, semakin hanyut pula lelaki itu dalam
arus kesedihan yang amat deras. Tangis lelaki itu pun tiba-tiba pecah ketika mendengar kata-kata
Teguh, “Ayah tidak sayang pada Teguh. Ayah tidak mau beli boneka panda untuk Teguh. Biar
Teguh pergi jauh”.
Lelaki itu memeluk Teguh yang sedang tertidur dan menciumnya berulang-ulang. Air
matanya  bagai mata air kecil yang mengalir dari sumber yang baru digali. “Ayah janji, Nak.
Besok pagi-pagi sekali akan ayah beli”, katanya sambil kembali merebahkan tubuh anaknya ke
atas kasur. Sementara itu, dia melihat Habibah tertidur pulas di dipan yang tidak jauh dari tempat
tidurnya.
Keesokan harinya, hari Minggu. Seusai mereka sarapan, lelaki itu bergegas mengeluarkan
sepeda dari rumah. Teguh melihat lelaki itu dan minta ikut. “Teguh tidak usah ikut, Teguh
nonton teve saja dengan kakak. Ayah mau cepat. Ayah ingin membeli boneka panda boneka
panda untuk Teguh”, kata lelaki itu memberi pengertian.
“Hore, ayah beli boneka panda. Nanti kita bermain berdua, Kak!” kata Teguh kegirangan.
Beberapa menit setelah keberangkatan lelaki itu, ketika Teguh dan Habibah asyik
menonton televisi, terjadi gempa sangat kuat. Orang-orang berlarian ke luar rumah. Sedangkan
lelaki itu, begitu gempa reda, dia bergegas kembali ke rumah. Dia merasa cemas dengan keadaan
anaknya. Namun, tiga kilometer menjelang rumahnya, dia melihat orang-oarng kampung
berlarian sambil berteriak, “Air laut naik ke darat sangat deras, selamatkan diri! Air! Air!”
Lelaki itu pun memutar arah sepedanya, dia mengayuhnya sekuat tenaga. Hatinya cemas
memikir anaknya, sepeda itu terus dikayuhnya sekuat tenaga. Akhjirnya sampailah dia di depan
Mesjid Baiturrahman, sepedanya ditinggali begitu saja dan dia berlari ke dalam mesjid. Bersama
orang yang ada di situ, dia menaiki tangga mesjid. Selang beberapa menit dia berada di lantai
dua mesjid itu, dia melihat air laut memenuhi kota Banda Aceh. Air itu mengalir sangat deras,
mengahanyutkan jutaan manusia, runtuhan bangunan, dan mobil-mobil hanyut bagaikan kotak
sabun yang yang terbawa arus sungai. Sepedanya entah hanyut kemana.
Kejadian itu terjadi bagaikan berlangsung sangat cepat. Baru beberapa menit  yang lalu
kota Banda Aceh kehidupannya berjalan seperti layaknya sebuah kota. Tetapi, sekarang menjadi
kota mati. Mayat-mayat bergelimpangan sepanjang jalan. Dia berbegas pulang. Dia berlari.
Berlari sekuat tenaga. Sesampai di tempat kediamannya, dia melihat pemukiman itu sudah
kupak-kapik. Rumahnya yang terbuat dari kayu dan berjarak setengah kilometer dari pantai Ule
Lhee pun tersapu air laut. Teguh dan Habibah entah di mana sekarang.
Dua hari lelaki itu mencari kedua anaknya. Dia hampir putus asa. Dalam kepiluan hatinya,
dia terus mencari kedua anaknya. Menjelang magrib barulah dia menemukan kedua anaknya di
bawah reruntuhan bangunan rumah beton. Hatinya semakin pilu ketika dia melihat Teguh
memeluk boneka panda. Entah dari mana datangnya boneka panda itu.             

Anda mungkin juga menyukai