Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Wanita usia subur (WUS) adalah wanita yang organ reproduksinya masih bekerja
dengan baik (sejak mendapat haid pertama dan sampai berhenti haid) dengan rentang usia
antara 15- 49 tahun dengan status belum menikah, sudah menikah, ataupun janda yang masih
berpotensi mempunyai keturunan (Novitasary,2013). Namun puncak kesuburan ada diusia 20
sampai 29 tahun. Indonesia menduduki wanita usia subur (WUS) terbanyak di ASEAN yaitu
sebanyak 65 juta jiwa (Buletin Kesehatan Reproduksi, 2016). Pernikahan terbanyak pada
wanita usia subur (WUS) usia 15-19 tahun sebesar 40,1%, sementara pada usia 20-24 tahun
sebesar 39,8%. Wanita usia subur (WUS) memiliki riwayat pertama kali hamil pada usia 20-
24 tahun dengan persentase 45% kemudian diikuti rentang usia 15-19 tahun sebesar 33,1%
dan rentang usia 25-29 tahun sebesar 16,4%. Hal ini berarti bahwa semakin muda seorang
perempuan menikah atau hamil maka akan semakin besar potensi melahirkan dan memiliki
anak jika tidak dicegah (Lely,2016).
Indonesia merupakan negara dengan penduduk tertinggi keempat didunia setelah Cina,
India, dan Amerika Serikat (Sanjivan,2017). Menurut data Kependudukan Badan Pusat
Statistik (BPS) pada tahun (2015), penduduk Indonesia berjumlah 255,5 juta jiwa dengan laju
pertumbuhan penduduk di Indonesia rata-rata 1,49% per tahun. Kementrian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia tahun (2017) mengatakan bahwa
Angka Kelahiran Total (Total Fertility Rate/TFR) per wanita usia subur (15-49 tahun) di
sebagian provinsi, meliputi Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, dan Sumatera Utara masih
menyentuh angka cukup tinggi yakni di atas 2,5. Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi
dapat berdampak pada berbagai sektor seperti penyediaan pangan, perumahan, lahan
pertanian, dan barang konsumsi lainnya (Surapaty S, 2016).
Mengatasi permasalahan tersebut pemerintah berupaya untuk mengurangi jumlah
pertumbuhan penduduk melalui program Keluarga Berencana (KB) dari Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Hasil Survei Demografi
Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012, Internasioanal dan nasional telah mengakui bahwa
Program Keluarga Berencana (KB) sudah berhasil menurunkan angka kelahiran sebesar 2,6
anak per wanita menurun menjadi 2,4 anak per wanita dalam SDKI (2017). BKKBN Kepri
sudah berhasil menekan penurunaa angka kelahiran dari 2,5% menjadi 2,3% (BKKBN,2017).
Salah satu bentuk dukungan dari program Keluarga Berencana adalah Pelayanan kontrasepsi,
pelayanan kontrasepsi terdiri dari beberapa metode dengan salah satu metode kontrasepsi
yang digunakan untuk mencegah kehamilan yaitu kontrasepsi hormonal. Berdasarkan survei
yang dilakukan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional tahun 2016,
didapati dari semua wanita usia subur yang menggunakan kontrasepsi hormonal sebesar
13,46%.
Pemakaian KB memiliki manfaat untuk menurunkan tingkat kelahiran dengan cara
menunda atau memberi jarak kehamilan melalui pendekatan kebijaksanaan kependudukan
terpadu dalam rangka mencapai keluarga yang sejahtera dan berkualitas (Saskara, Ida, &
Marhaeni,2015) . Jika pil KB digunakan sesuai dengan aturan penggunaannya, maka
efektivitasnya bisa mencapai 99,5% sampai 99,9% (Handayani,2010). Banyak wanita
diseluruh dunia telah menggunakan kontrasepsi dalam satu atau bentuk lain selama ribuan
tahun. Menurut United Nations New York (2015) mengatakan, bahwa prevalensi penggunaan
kontrasepsi di dunia mengalami kenaikan dari tahun 1970 sampai tahun 2015 sebesar 8,3%.
Di Asia prevalensi penggunaan kontrasepsi mengalami kenaikan sebesar 10,6%. Kontrasepsi
pil banyak digunakan di Negara Iran sebesar 78%, Eropa sebesar 21,9%. Kontrasepsi suntik
banyak digunakan di wilayah Asia khususnya di Indonesia sebesar 32,6% . Penggunaan
kontrasepsi di Kepulauan Riau mengalami peningkatan dari 65,2% menjadi 66%
(BKKBN,2019). Sementara itu, pengunaan kontrasepsi oral pada tingkat wanita yang
menikah umur 15-45 tahun di Amerika sekitar 16% dan Inggris 28%. Tahun 2015
penggunaan kontrasepsi di Indonesia mengalami peningkatan 21,3% dari sebelumnya
sebanyak 840.422 peserta, dimana persentasenya adalah sebagai berikut: 60.979 peserta IUD
7,26%, 9.185 peserta MOW 1,09%, 1.959 peserta MOP 0,23%, 69.960 peserta kondom
8,32%, 5.306 peserta implant 6,46%, 406.602 peserta suntikan 48,38%, dan 237.431 peserta
pil 28,25% (www.bkkbn.go.id, 2016). Berdasarkan data tersebut penggunaan kontrasepsi
oral/pil KB banyak digunakan masyarakat Indonesia setelah metode kontrasepsi suntikan.
Dalam memilih kontrasepsi wanita harus mempertimbangkan berbagai faktor termasuk
status kesehatan mereka, seperti efek samping yang dialami dalam kurun waktu yang lama.
Kontrasepsi hormonal mempengaruhi hampir semua sistem dalam tubuh seperti sistem saraf
dalam bentuk perubahan suasana hati dan sakit kepala, saluran pencernaan dalam bentuk
mual dan sirosis hati, payudara dalam bentuk nyeri payudara, sistem reproduksi dalam bentuk
keputihan dan serviks, sistem pembuluh darah dalam bentuk tromboemboli vena dan
hipertensi (Wala,2018). Kontrasepsi hormonal mengandung hormon estrogen dan
progesteron yang dapat meningkatkan tekanan darah. Karena terjadi hipertropi jantung dan
peningkatan respon presor angiotensin II yang melibatkan jalur Renin Angiotensin Sistem.
Selain itu, di dalam kontrasepsi terdapat kandungan etinilestradiol yang menjadi penyebab
terjadinya hipertensi. Dimana etinilestradiol dapat meningkatkan angiotensinogen 3-5 kali
dari kadar normal. Sedangkan progesteron memiliki pengaruh yang kecil terhadap tekanan
darah (Baziad 2008).
Hipertensi merupakan suatu penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan dan
menyita perhatian nasional dan global saat ini. Menurut WHO, pada tahun (2015) bahwa
sedikitnya 893 juta kasus hipertensi dan di perkirakan pada tahun (2025) menjadi 1,15 milyar
atau sekitar 29% dari total penduduk dunia. Dengan penderita wanita lebih banyak 30%
dibandingkan laki-laki 29%. Afrika menduduki peringkat dengan hipertensi tertinggi dengan
29,6%, Mediterania Timur 26,9%, Asia Tenggara 24,7%. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) (2018) prevalensi hipertensi mengalami peningkatan sebesar 34,1% .
Prevalensi hipertensi pada umur 18 tahun ke atas berdasarkan hasil pengukuran sebesar
31,7%, pada perempuan sebesar 31,9% dan laki-laki 31,3%.4, hipertensi pada perempuan
cenderung lebih tinggi dibanding laki-laki (Riskesdas ,2015).
Wanita usia subur (WUS) memiliki resiko lebih tinggi mengalami hipertensi. Hal ini
dikarenakan WUS kurang memperhatikan kesehatan, gaya hidup yang tidak sehat sepeti
penggunaan obat-obat hormonal (Yeni, 2010). Prevalensi hipertensi pada usia 25-49 tahun
adalah 19,9% sedangkan pada WUS dengan rentang usia 15-25 tahun hanya 1,3%
(Kristina,2015) . Hasil data Riskesdes (2013) yang dilakukan oleh Krisna, Pangaribuan dan
Bisara (2015) dengan prevalensi hipertensi sebesar 21,3% pada WUS usia 15-49 tahun.
Bertambahnya usia menjadikan faktor resiko terkena prehipertensi dan hipertensi lebih besar.
Hal ini diakibatkan karena elastisitas dinding pembuluh darah semakin menurun dengan
bertambahnya usia tersebut. Berdasarkan Laporan Studi Cohort Tumbuh Kembang Anak
tahun (2016), pada wanita usia muda (<20 tahun) beresiko prehipertensi mencapai 42,5% ,
wanita usia 20-34 tahun resiko prehipertensi mendekati setengahnya dan seperlimanya
beresiko hipertensi, sedangkan pada usia yang lebih tua (>35 tahun) beresiko terkena
prehipertensi dan hipertensi sebesar 40%
Ali Baziad (2008) mengatakan bahwa semua jenis kontrasepsi hormonal menjadi
kontraindikasi dalam arti setelah menghentikan kontrasepsi pil biasanya tekanan darah akan
normal kembali. Akan tetapi, apabila hal ini tidak terjadi maka perlu diberi obat
antihipertensi dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa WUS menggunakan kontrasepsi
dalam jangka waktu yang lama akan meningkatkan tekanan darahnya dan ketika berhenti
memakai kontrasepsi hormonal akan membuat tekanan darahnya kembali normal.
Penelitian yang dilakukan oleh Hyejin Park (2013) mengenai Association Between Oral
Contraseptive Use and Risk of Hypertension and Prehypertension in A Cross Sectional Study
of Korean Women diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan antara kontrasepsi oral dan
hipertensi pada wanita korea dengan p=<0,001 dan memiliki nilai OR=1,96 b
Penelitian yang sama dengan hasil yang berbeda dilakukan oleh Karabay (2013) di
Universitas Padua Italy dengan 1851 responden menunjukkan tidak adanya hubungan
kontrasepsi oral dengan hipertensi. Kesimpulan dari penelitian tersebut mengatakan bahwa
progestin memiliki aktivitas androgen yang lebih sedikit dengan efek diuretik anti
mineralokortikosteroid yang menyebabkan tekanan darah rendah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan peneliti tertarik untuk mengetahui
pengaruh kontrasepsi hormonal terhadap hipertensi pada wanita usia subur dipuskesmas x.

1.2. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah
: “ bagaimanakan pengaruh penggunaan kontrasepsi hormonal terhadap hipertensi pada
wanita usia subur di wilayah kerja puskesmas x ? “

1.3. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kontrasepsi hormonal terhadap
hipertensi pada wanita usia subur di puskesmas x

1.4. TUJUAN KHUSUS

1.untuk mengetahui tingkat hipertensi pada wanita usia subur di wilayah kerja puskesmas x
2.untuk mengetahui tingkat penggunaan kontrasepsi hormonal pada wanita usia subur di
wilayah kerja puskesmas x

1.4. MANFAAT PENELITIAN

1. Dalam keilmuan

Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan ilmu . Meningkatkan dan


menambah referensi bidang kedokteran khususnya mengenai pengaruh penggunaan
kontrasepsi hormonal terhadap hipertensi pada wanita usia subur di wilayah kerja
puskesmas x.
2. Bagi institusi pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu
kedokteran dan informasi serta pengetahuan mengenai pengaruh penggunaan
kontrasepsi hormonal terhadap hipertensi pada wanita usia subur di wilayah kerja
puskesmas x
3. Bagi puskesmas
Hasil penelitian ini memberikan manfaat sebagai bahan pengetahuan bagi tenaga
kesehatan puskesmas untuk lebih mengetahui pengaruh kontrasepsi hormonal dengan
kejadian hipertensi di wilayah kerja puskesmas x.
4. Bagi peneliti selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi penelitian untuk peneliti selanjutnya
dengan ruang lingkup yang sama ataupun merubah variabel dan tempat penelitian.

Anda mungkin juga menyukai