Anda di halaman 1dari 2

DISKUSI

Secara historis, pemeriksaan kulit belum memiliki peran penting dalam praktek otopsi.
Sedangkan penampilan dari kulit dicatat dan setiap temuan kelainan dermatologi
dideskripsikan secara jelas, pengamatan ini digunakan untuk:
(i) Mengidentifikasi pasien
(ii) memberikan petunjuk mengenai kebiasaan sebelum meninggal
(iii) Menentukan penyebab
(iv) waktu perkiraan kematian (2 - 6).

Tabel 1. Temuan Dermatologi yang berkaitan dengan penyebab kematian


Diagnosis No (%) kasus
selulitis 4 (1)
Kulit luka 3 (0.8)
Sklerosis sistemik 3 (0.8)
Metastasis dermal 2 (0.5)
Abses kulit 1 (0.3)
Ulkus dekubitus 1 (0.3)
calciphylaxis 1 (0.3)
melanoma 1 (0.3)
Nekrolisis epidermal toksik 1 (0.3)

Tabel 2. Temuan dermatologi yang memberikan kontribusi langsung penyebab kematian


Diagnosis No (%) kasus
Necrotizing fasciitis 1 (0.3)
Metastasis dermal 1 (0.3)
Ruam obat eksfoliatif 1 (0.3)
scleroderma 1 (0.3)
selulitis 1 (0.3)
Ulkus dekubitus 2 (0.5)
Sindrom steven-johnson 1 (0.3)
Luka bakar 1 (0.3)
Cutaneous T-sel limfoma 1 (0.3)
amiloidosis 1 (0.3)

Inspeksi kulit jarang dilakukan untuk penegakan diagnosis penyebab kematian.


Dermatopathologic tidak dianggap sebagai standar otopsi. Selanjutnya, kulit dianggap
sebagai organ kosmetik yang sensitif, sehingga ahli patologi tidak memasukkan lesi yang
dicurigai sebagai sampel untuk menghindari terjadinya kecacatan atau kesalahan.

Terlepas dari keterbatasan di atas, pemeriksaan kulit yang benar merupakan hal yang
penting. Dalam studi ini, diagnosis dermatologis secara langsung terlibat dalam penyebab
kematian dalam 4% kasus, dengan penyebabkematian sekunder paling banyak terjadi
karena sepsis dari selulitis atau infeksi kulit lainnya.Temuan pada kulit berkontribusi
dalam kematian pada 20% kasus.Temuan pada kulit juga berguna sebagai manifestasi
kulit pada penyakit dalam (misalnya, scleroderma atau calciphylaxis) dan sebagai
penunjang diagnosis lain (misalnya, amiloidosis sistemik) (7 - 9).

Diagnosa dermatologi secara kasar memiliki angka yang lebih rendah dari
pemeriksaan mikroskopik (32% dan 10% dari kasus, masing-masing). Perbedaan ini
menunjukkan bahwa sampel kulit diarahkan memiliki hasil diagnostik rendah, karena
insisi kulit perut tidak menunjukkan kelainan secara pemeriksaan kasar atau mikroskopis
di sebagian besar pasien. Sementara random sampling dapat membantu mengedukasi
warga mengenai histologi kulit normal. (10), dan juga penting untuk keperluan arsip di
institusi pendidikan, beberapa pengambilan sampel tersebut bukan merupakan cara yang
paling efektif dalam mendiagnosis atau mendokumentasikan manifestasi kulit dari suatu
penyakit.

Sebagian besar perbedaan antara jumlah temuan kasar dan mikroskopis dalam
penelitian ini dapat dijelaskan bahwa hampir semua kelainan kasar yang terletak jauh dari
daerah abdominal secara rutin dibuatkan sampel untuk pemeriksaan mikroskopi. Oleh
karena itu peneliti memutuskan untuk tidak membutuhkan penelitian lebih lanjut untuk
mendokumentasikan beberapa kelainan makroskopik seperti ulkus dekubitus, stasis, atau
perdarahan subkutan. Dalam beberapa kasus, lesi kulit yang yang tidak memungkinkan
untuk dibiopsi karena alasan kosmetik seperti kepala, leher, dan lengan atau, pada wanita,
dada bagian atas.

Anda mungkin juga menyukai