Anda di halaman 1dari 3

Postulat HUKUM PROGRESIF yang digagas oleh Satjipto Rahardjo ini disarikan dari

tulisan-tulisan Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku


Kompas, Jakarta, 2007 dan Shidarta, Posisi Pemikiran Hukum Progresif Dalam
Konfigurasi Aliran-Aliran Filsafat Hukum: Sebuah Diagnosis Awal, Satjipto Rahardjo
dan Hukum Progresif – Urgensi dan Kritik, Epistema Institute dan HuMA, Jakarta,
2011, hal. 55-58):

1. Hukum progresif itu untuk manusia dan bukan manusia untuk hukum. Pada
hakikatnya setiap manusia itu baik, sehingga sifat ini layak menjadi modal
dalam membangun kehidupan berhukumnya. Hukum sekedar alat bagi
manusia untuk memberi rahmat kepada dunia dan kemanusiaan. Hukum
tidak ada untuk dirinya sendiri melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan
lebih besar. Maka setiap ada masalah dalam dan dengan hukum, hukumlah
yang ditinjau serta diperbaiki bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk
dimasukkan ke dalam skema hukum;
2. Hukum progresif harus pro-rakyat dan pro-keadilan. Hukum harus berpihak
kepada rakyat. Keadilan harus didudukkan di atas peraturan. Para penegak
hukum harus berani menerobos kekauan teks peraturan jika ternyata teks itu
mencederai rasa keadilan rakyat;
3. Hukum progresif bertujuan mengantarkan manusia kepada kesejahteraan dan
kebahagiaan;
4. Hukum progresif selalu dalam proses menjadi (law as a process, law in the
making). Hukum bukan institusi yang final melainkan ditentukan oleh
kemampuannya mengabdi kepada manusia. Is etrus menerus membangun
dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang lebih baik.
Setiap tahap dalam perjalanan hukum adalah putusan-putusan yang dibuat
guna mencapai ideal hukum, baik yang dilakukan legislatif, yudikatif maupun
eksekutif. Setiap putusan bersifat terminal menuju kepada putusan berikutnya
yang lebih baik. Hukum tidak pernah bisa meminggirkan sama sekali
kekuatan otonom masyarakat untuk mengatur ketertibannya sendiri.
kekuatan-kekuatan tersebut akan selalu ada, sekalipun dalam bentuk
terpendam (laten). Pada saat-saat tertentu ia akan muncul dan mengambil
alih pekerjaan yang tidak bisa diselesaikan dengan baik oleh hukum Negara.
Maka sebaiknya memang hukum itu dibiarkan mengalir saja;
5. Hukum progresif menekankan hidup baik sebagai dasar hukum yang baik.
Dasar hukum terletak pada perilaku bangsanya sendiri karena perilaku
bangsa itulah yang menentukan kualitas berhukum bangsa tersebut.
Fundamen hukum tidak terletak pada bahan hukum (legal stuff), sistem
hukum, berpikir hukum, dan sebagainya, melainkan lebih pada manusia atau
perilaku manusia;
6. Hukum progresif memiliki tipe responsif. Dalam tipe ini hukum akan selalu
dikaitkan pada tujuan-tujuan di luar narasi tekstual hukum itu sendiri, yang
disebut oleh Nonet dan Selznick sebagai the sovereignty of purpose.
Pendapat ini sekaligus mengkritik due process of law. Tipe responsif menolak
otonomi hukum yang bersifat final dan tidak dapat digugat;
7. Hukum progresif mendorong peran publik. Harus disadari bahwa kemampuan
hukum adalah terbatas. Secara empiris terbukti bahwa untuk melakukan
tugasnya, hukum selalu membutuhkan bantuan, dukungan dan tambahan
kekuatan dari publik. Masyarakat (publik) sesungguhnya menyimpan
kekuatan otonom untuk melindungi dan menata diri sendiri. Namun karena
Negara ingin memonopoli kekuasaan maka tidak ada kekuatan lain yang
boleh menyainginya sehingga kekuatan otonom masyarakat menjadi
tenggelam. Hal yang tidak mudah dilakukan di sini adalah menjaga agar
dorongan ke arah partisipasi publik tidak memberikan hasil yang sebaliknya.
Maknanya adalah bahwa jangan membiarkan kehidupan hukum dimonopoli
kekuasaan, proses dan institusi formal saja, namun oleh bangkitnya kekuatan
otonom masyarakay guna memulihkan hukum sebagai institusi bermartabat
dan membuat bangsa ini sejahtera dan bahagia;
8. Hukum progresif membangun negara hukum yang berhatinurani;
9. Hukum progresif dijalankan dengan kecerdasan spiritual. Kecerdasan ini tidak
ingin dibatasi patokan (rule bound) juga tidak hanya bersifat kontekstual tetapi
ingin keluar dari situasi yang ada dalam usaha mencari kebenaran makna
atau nilai yang lebih dalam. Catatan: perlu dibedakan antara “peraturan” dan
“kaidah”. Saat kita membaca UU maka pertama-tama yang dibaca adalah
peraturan, pasal-pasal. Berhenti pada pembacaan UU sebagai peraturan bisa
menimbulkan kesalahan besar karena kaidah yang mendasari peraturan jadi
terluputkan. Peraturan merupakan penerjemahan dalam kata-kata dan
kalimat sedangkan kaidah merupakan basis spiritual dari peraturan. Selain itu
perlu diingat adanya bermacam logika dalam hukum, seperti logika peraturan,
logika kepatutan sosial dan logika keadilan. Logika peraturan jelas
mendasarkan diri pada peraturan atau kesesuaian dengan kalimat UU, logika
kepautatn sosial di antaranya adalah dengan mempertimbangkan “Apakah
yang ingin dilakukan sudah sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat?”,
logika keadilan memerlukan perenungan dan pemaksaan lebih mendalam.
Jadi membaca kaidah (bukan saja peraturan) dengan menggunakan
kecerdasan spiritual adalah pedoman yang baik dalam penegakan hukum.
10.Hukum progresif itu merobohkan, mengganti, dan membebaskan. Hukum ini
menolak status quo yang bisa menyebabkan kita tidak berani melakukan
perubahan dan menganggap doktrin sebagai suatu yang mutlak untuk
dilaksanakan.

Beberapa kritik terhadap hukum progresif:


1. Menggantungkan hukum pada itikad baik manusia penting namun tidaklah
cukup untuk menjadikan hukum lebih adil. Kenyataan bahwa manusia
bertemali dengan pelbagai jaringan kekuasaan membuat dominasi dan
represi menjadi hal yang tidak bisa diingkari. Bagaimana manusia-
manusia bermoral baik dapat mempraktikkan cara berhukum yang baik
jika terkungkung oleh relasi kuasa yang absen dengan moralitas keadilan?
2. Membangun negara hukum adalah proyek besar suatu bangsa yang tidak
akan sekejap diperoleh hasilnya. Membangun negara hukum dalam
pengertian hukum progresif berarti mengacu pada hari nurani agar
bangunan yang tercipta dapat membahagiakan rakyat. Namun demikian
bagaimanakah hal ini secara operasional dapat dilakukan dan dinilai?

Anda mungkin juga menyukai