Kedua, integrasi program lintas sectoral Selama ini egosektoral tiap tiap instansi masih
berjalan sulit sekali seiring sejalan menyatukan program program yang selaras, sementara
tujuannya sama. Pemerintah adalah stakeholder yang memayungi semua kepentingan dan
aspirasi masyarakat, lebih lebih terkait dengan kesejahteraan dan keberagamaan umat. Untuk
itu sebagai Langkah didalam mewujudkan Kulon Progo Toleran dan Berkeadapan didalam
menyongsong kota metropolis perlu menyatukan Langkah dan program program yang sesuai
lintas sectoral, contoh Muatan Lokal di sekolah-sekolah, ekstrakulikuler yang bisa mengadopsi
pelajaran dan tradisi keraton, Ketahanan keluarga. Program ini selain sudah memiliki payung
hukum juga masing-masing instansi seperti Pemkab dan Kementerian vertical yang sama-sama
memiliki anggaran, namun pada prakteknya masing masing berjalan sendiri sendiri. Dengan
menyatukan program tentu focus garapannya menjadi lebih ringan dan bisa saling
mengevaluasi parameter keberhasilannya. Program program kebudayaan dan keagamaan
selama ini juga masing berjalan sendiri, padahal budaya dan agama itu tidak bisa dipisahkan
satu dengan yang lain. Apalagi berkaitan dengan demografi dan topgrafi suatu daerah sehingga
melalui keduanya dapat ditarik sebuah Langkah di dalam Menyusun program program
berkelanjutan terkait ketertiban dan kesejahteraan masyarakat. Meski tidak dapat dipungkiri
dengan integrasi program ini akan memangkas anggaran yang ada dan pasti ada yang tidak
setuju, namun seiring platform Pemerintah dengan revolusi mental ada baiknya anggaran yang
bisa di minimalis dapat diarahkan ke program lainnya sehingga amunisi yang ada bisa tepat
sasaran dan tidak terbuang percuma. Ibarat pasukan infantry selama ini masing-masing
pasukan memiliki amunisi yang lengkap dan jelas musuh sudah ada di depan, tetapi masing-
masing pasukan tersebut memberondong dan menembakkan senjata dengan membuang
amunisi percuma, padahal musuh dapat dikalahkan dengan satu pasukan saja.
Ketiga, Pemerintah mengintensifkan peran strategis para tokoh masyarakat di tiap tiap
pendukuhan dan dianggarkan khusus untuk penguatan karakter desa dengan berkiblat pada
tradisi yang sudah ada turun menurun. Selain itu konsep di masyarakat yang sudah tidak
mempermasalahkan face to face budaya dan agama perlu mendapat respon dan apresiasi
untuk dikembangkan menjadi sebuah Gerakan moral, missal jamaah tahlil dan yasinan. Jamaah
yasin dan tahlil ini merupakan tradisi yang sudah mandarah daging perlu mendapat perhatian
dari pemerintah sebagai sebuah kearifan local / local wisdom yang bisa dijadikan tolak ukur
Gerakan kebersamaan untuk mewujudkan desa yang toleran dan berkeadaban. Pemerintah
perlu hadir dimajelis majelis pedukuhan untuk memberikan pengarahan dan sumbangan moril
bahwa kedepan Kulon Progo akan menjadi kota besar dan jangan sampai tradisi budaya yang
ada tergerus oleh kemajuan zaman.
Keempat, studi tiru daerah daerah yang masih mempertahankan tradisi lama dengan
mengcreate modernisasi. Contoh Bali, meskipun banyak turis dan masyarakat asing yang mulai
berdomisili di beberapa titik strategis tetapi masyarakat asli tidak kehilangan patronase budaya
dan agama yang sudah ada. Konsep toleran dan kebersamaan perlu diambil apa apa yang
pantas untuk diterapkan di Kulon Progo.
Kelima, Penguatan keagamaan lebih terarah dan diintensifkan dengan memberikan
dukungan khusus terhadapa majelis taklim, dewan masjid, TPA dan TPQ agar didampingi
sehingga pemerintah tahu betul apa yang menjadikan masyarakat berubah menjadi radikal
misalnya. Buku panduan khusus bagi majelis taklim, bagi dewan masjid, bagi TPA/TPQ untuk
menjadikan agama jangan melampui dimensi Ketuhanan, perlu diarahkan bahwa agama
merupakan washilah/ sarana untuk mengenalNya, bukan agama untuk dijadikan alat dan
komoditi kepentingan pribadi dan golongan. Sehingga dengan buku tersebut dapat diketahui
parameter keberhasilan sebuah majelis taklim dan juga dapat diarahkan potensi maupun fungsi
daripada majelis taklim itu sendiri. Karena selama ini terjadi pembiaran terhadap majelis taklim
belum ada pengarahan secara intensif keberadaan majelis taklim tersebut. Secara data jika
masing masing kapanewon -+ ada 100 majelis taklim berarti ada -+1200 majelis taklim se Kulon
Progo, jika masing masing majelis taklim jamaahnya -+50 s/d 100 orang berarti seharusnya 1,2
juta masyarakat Kulon Progo bisa diberdayakan menjadi agen perubahan untuk mengawal
Kulon Progo menjadi Toleran dan Berkeadaban.
Keenam, Tidak bisa dipungkiri Keraton sebagai patronase sekaligus symbol peradaban
berpengaruh sangat dominan didalam pembentukan masyarakat oleh sebab itu perlu juga
melibatkan dan dilibatkan hingga ke desa-desa, ilmu ilmu dan tradisi keraton yang mulai punah
perlu dikenalkan kepada generasi muda lewat karang taruna, anak-anak PAUD dan TK
sehingga generasi kita tahu bahwa kita memiliki warisan adiluhung yang perlu dilestarikan.
Sebab selama ini terkesan ada jarak antara Keraton dengan rakyat, konsep manunggaling
kawulo gusti mulai redup karena asumsi dan perspektif awam merupakan sebuah ajaran yang
tidak sesuai dengan islam, padahal sejatinya tidak demikian. Banyak sekali ilmu ilmu kuno yang
sudah asing dikalangan generasi milenial, seperti tata krama, pencak mataram maupun ilmu
ilmu hasil racikan pujangga-pujangga keraton yang layak untuk dipelajari dan dikenalkan
kepada generasi kita. Dana keistimewaan yang banyak harus diserap dengan penguatan
potensi dan local wisdom dengan mengadopsi tradisi, budaya yang ada dilingkup keraton, kalua
boleh di stresingkan istilah “ Gerakan kratonisasi”.
Kiranya demikian sumbangsih pemikiran yang penulis sampaikan, banyak sekali
kesalahan dan ketidak sesuaian dengan kondisi yang ada karena baru merupakan paradigma
dan perspektif secara umum, untuk lebih pasnya perlu dilakukan riset yang lebih detail dan
mendalam.