Anda di halaman 1dari 6

MEWUJUDKAN KULONPROGO YANG TOLERAN DAN BERKEADABAN

*Fariq Nur Rokhim

Untuk menelusuri perkembangan kebudayaan dan keberagamaan di suatu daerah, perlu


mengkaji terlebih dahulu sejarah babad alasnya, demikian juga Kulon Progo. Secara umum wilayah
Yogyakarta bisa dibagi menjadi dua kategori yaitu prasejarah periode klasik dan sejarah yaitu era
penetrasi agama Islam. Jamak memahami wilayah Jawa Tengah dan sekitarnya merupakan basis
dan pusat agama Hindu Budha hal ini dapat dilihat dari peninggalan sejarah Borobudur, Prambanan,
arca arca dewa sebagai sarana pemujaan dan ibadah, maupun lingga dan yoni di wilayah Kulon
progo. Hal ini dapat disimpulkan zaman prasejarah sebelum era kedatangan para walisongo kedua
agama tersebut yang juga dominan di wilayah ini. Kemudian masuk di era sejarah yaitu masuknya
agama Islam di Jawadwipa akulturasi tradisi menjadi media paling berhasil, yaitu dari akulturasi adat
kelahiran, pernikahan, kematian maupun adat adat keagamaan lainnya. Awal berdirinya keraton
Yogyakarta tidak terlepas peran dari walisongo, yaitu Sunan Kalijaga. Menurut sejarah yang ada
beliau adalah guru spiritual Raja-raja Jawa termasuk Panembahan Senopati hingga Sultan Agung
Hanyokrokusumo. Keberadaan Kadipaten Kulon Progo sendiri berawal dari geger trunojoyo pada
tahun 1674, Keraton Mataram, Yogyakarta diserang oleh Trunojoyo yang mendapat bantuan dari
Makasar mengakibatkan kerusakan pada Keraton dan terdesaknya Amangkurat I melarikan diri
untuk meminta bantuan kepada Belanda, hingga meninggal di Tegal dalam pelariannya.
Untuk mengantisipasi serangan dari pengikut Trunojoyo, pada tahun 1677 keraton Mataram
di pimpin oleh Amangkurat II yang merupakan putera mahkota dari Amangkurat I meminta bupati
Ponorogo untuk mendapatkan penjagaan keraton oleh bala Warok yang terkenal pandai dalam
perang dan meminta bantuan kepada kolonial Belanda untuk menangkap Trunojoyo.
Setelah dijaganya keraton Mataram oleh para Warok dari Ponorogo, Tronojoyo kesulitan menembus
keraton dan ditangkap serta dijatuhi hukuman mati pada tahun 1679. Para Warok yang berhasil
menjaga Keraton mendapat hadiah tempat tinggal di sebelah barat keraton untuk memudahkan
penjagaan keraton ketika terjadi penyerangan terhadap keraton. Daerah tersebut diberi nama Kulon
Ponorogo hingga di kenal saat ini menjadi Kulon Progo yang berarti Keraton Mataram sebelah Barat
Ponorogo.
Daerah yang saat ini termasuk wilayah Kabupaten Kulon Progo hingga berakhirnya
pemerintahan kolonial Hindia Belanda merupakan wilayah dua kabupaten, yaitu Kabupaten Kulon
Progo yang merupakan wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kabupaten
Adikarto yang merupakan wilayah Kadipaten Pakualaman. Kedua kabupaten ini digabung
administrasinya menjadi Kabupaten Kulon Progo pada tanggal 15 Oktober 1951.1
1
https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Kulon_Progo
Menilisik dari paparan sejarah dan babad alas Kulon Progo, maka ciri khas dan konsep
keberagamaan pada dasarnya tidak terlepas dari hegemoni dan rezim yang bertahta pada waktu itu,
yakni masih seputar pergulatan antara kaum abangan dan santri dan mengejawantah dalam konsep
keraton. Yang mana pemahaman keagamaan keraton pun masih dipengaruhi vis to vis kaum
abangan dan santri, kaum abangan diwakili instisab susur galur Mataram kuno dan Mataram Islam,
kaum santri diwakili wali sanga. Sementara proses pergulatan keduanya juga selalu dinamis
mengingat perkembangan zaman dan juga pengaruh Sultan yang bertahta di Yogyakarta, dilain sisi
migrasi penduduk yang memandang Yogyakarta sebagai kota Pendidikan juga ikut berpengaruh
terhadap dinamisasi pergulatan keduanya, apalagi di era milenial 4.0 perseteruan keduanya
semakin menghangat dalam dasawarsa terakhir ini.
Penulis sendiri mengamati medio tahun 1990 an, dinamisasi keduanya mulai mengalami
pemekaran kubu, yang mana kaum abangan melebur dengan santri yang mampu mengadopsi
tradisi yang ada, sementara kaum santri terpecah menjadi kaum putihan an sich, yang notabene
tidak bisa melebur terhadap segala macam tradisi dan kultur budaya setempat. Meskipun ada usaha
usaha yang tidak terlalu signifikan untuk meredam baina manzilataini ( diantara dua kubu) akan
tetapi hanyalah sebuah retorika panggung yang sulit untuk direalisasikan. Pergulatan dan peta
penetrasi berubah arah dan menjadi komoditas politik di akhir rezim Orde baru. Yang mana
keduanya bertransformasi kepada partai partai nasionalis dan partai partai agamis. Dinamisasi
agama berubah menjadi konfrontasi politik, ibarat senam berakhirnya rezim Orde baru merupakan
warming up untuk dasawarsa kedepan.
Keraton sebagai sentral peradaban nampaknya juga tidak bisa 100% memberikan kontribusi
dinamisasi agama, sebab kemajemukan yang semakin komplek berpengaruh terhadap patronase
kekuasaan. Konsep manunggaling kawula gusti hanya pada tataran luang lingkup Negaragung
berbeda dengan pangulon. Suasana yang demikian nampaknya teradopsi hingga ke kabupaten lain,
tidak terkecuali Kulon Progo. Tidak jauh berbeda dengan Negaragung, Kulon Progo sebagai
Kabupten terkecil nampaknya lebih menyukai “hangat-hangat kuku” kalau tidak mau dibilang
pergulatan dan memang lebih dinamis dibanding negaragung dan kabupaten lain. Kulon Progo lebih
terkesan “emoh rame” dalam arti sebenarnya.
Era reformasi hingga tahun 2010 konflik interes keberagamaan masyarakat Kulon Progo
masih dinamis bahkan hampir tidak ada kasus mencuat kepermukaan. Namun medio 2011 ada
sedikit letupan pergerakan pergulatan, ini pun karena ekspektasi dari kabupaten lain, yaitu hadirnya
penceramah muallaf yang coba membenturkan adat tradisi dengan agamanya semula, namun
Alhamdulillah dapat di redakan fihak keamanan. Tetapi konsep yang sudah terbangun oleh
penceramah nampaknya tidak sebegitu mudahnya hilang masih menjadi kasak kusuk di akar rumput
meski tidak terlalu mencolok. Puncak daripada letupan pergulatan tersebut era pilpres beberapa
waktu lalu, yang mana mortal combat terjadi sedemikian mirisnya di media sosial, saling serang
secara verbal hingga personal melalui dunia maya dan terus berjalan hingga hari ini meski hanya
satu dua personal tidak seperti awal awal pilpres. Yang patut disyukuri adalah perang yang terjadi
hanya tataran media maya tidak sampai terjadi di dunia nyata meski tidak menutup kemungkinan
aksi reaksi ada dibeberapa tempat bahkan di medio maret 2020 di negaragung juga terjadi aksi
reaksi tersebut. Tetapi masyarakat Kulon Progo khususnya lebih bijak di dalam menyikapi berbagai
konflik interes keagamaan yang ada. Sekali lagi kami sampaikan ciri khas masyarakat Kulon Progo
“emoh rame”.
Bandara YIA, sebagai salah satu megaproject satu sisi sebuah anugerah bagi perekonomian
Kulon Progo, saatnya masyarakat gumregah menyongsong perubahan peradaban yang pasti akan
terjadi di Kulon Progo, tetapi di sisi lain, tidak bisa tidak infiltrasi dan penetrasi budaya “metropolis”
pasti akan terjadi dan boleh jadi dinamisasi yang sudah tertata dengan anggun bisa berubah,
dinamisasi sudah terjalin akan menghadapi problematika baru yang semua tidak tahu akan seperti
apa perubahan tersebut. Ada beberapa Analisa yang akan terjadi terkait dengan peradaban di Kulon
Progo. Pertama peralihan dari masyarakat abangan nyantri menjadi masyarakat hegemonis, Kedua
peralihan masyarakat putihan menjadi ekslusif normative. Hal ini bisa terjadi karena perputaran
hukum alam, pada awalnya masyarakat Kulon Progo dibabat alas oleh para warok yang di
datangkan dari daerah manca untuk mengamankan wilayah, pemahaman keberagamaan akan
terdegradasi oleh watak awal para leluhur yang memuja dunia karena perubahan keadaan.
Kemudian masyarakat akan enggan disibukkan dengan hal hal yang “ribet” lebih memilih yang
simple hingga berpengaruh juga terhadap keberagamaannya, mereka akan memilih normative halal
haram, boleh atau tidak, dan akibatnya akan menjadikan sikap eksklusif hingga kedua hal ini akan
berujung kepada memudarnya sikap toleransi, tenggang rasa dan mengikis sifat adikodrati sebagai
mahluk sosial yang berkeadaban.
Perubahan alam adalah sunatullah, bahkan perputaran kehidupan sudah tertulis di lauhil
Mahfud yang terejawantahkan dalam firmanNya. Sebagai hambaNya yang berlaku hukum titah
sakwantah diperbolehkan merubahnya dengan usaha dan doa. Kulon Progo sebagai kabupaten
yang akan berkembang perlu mempersiapkan segala sesuatu terhadapa tantangan dan perubahan
zaman. Langkah Langkah konkrit tidak hanya dirumuskan tetapi harus benar benar dapat
dilaksanakan untuk menyongsong perubahan tersebut, jangan sampai potensi yang baik di Kulon
Progo justru menjadi bumerang bagi warga terdampak perubahan zaman. Usaha-usaha yang
mungkin perlu dilaksanakan untuk terus menjadikan Kulon Progo Toleran dan Berkeadaban adalah :
Pertama, demi menjaga kondusifitas Kulon Progo perlu menyatukan visi dan misi antara
stakeholder dan pimpinan instansi terkait untuk mejaga toleransi di segala lini kehidupan. Heterogen
masyarakat Kulon Progo nampaknya tidak menyulitkan pemerintah kabupaten itu satu kata hal ini
dapat dilihat selama kurun dua dasawarsa terakhir political will mampu membuat masyarakat Kulon
Progo dinamis tidak ada gejolak berarti di masyarakat. Selain itu ciri dan watak masyarakat Kulon
Progo yang “emoh rame” merupakan potensi positif yang perlu dilestarikan. Ormas-ormas
keagamaan harus dilibatkan didalam pengambilan kebijakan pemerintah terkait tusi nya, sehingga
kekuatan ormas dapat menjadikan mitra Bersama untuk mewujudkan Kulon Progo yang baldah
toyyibah. Namun jangan sampai oramas tersebut malah dijadikan tunggangan hegemoni politik
tetapi dijadikan mitra Bersama untuk selalu dilibatkan peran aktifnya dalam pembangunan Kulon
Progo khususnya dalam bidang sosial, budaya dan agama.

Kedua, integrasi program lintas sectoral Selama ini egosektoral tiap tiap instansi masih
berjalan sulit sekali seiring sejalan menyatukan program program yang selaras, sementara
tujuannya sama. Pemerintah adalah stakeholder yang memayungi semua kepentingan dan
aspirasi masyarakat, lebih lebih terkait dengan kesejahteraan dan keberagamaan umat. Untuk
itu sebagai Langkah didalam mewujudkan Kulon Progo Toleran dan Berkeadapan didalam
menyongsong kota metropolis perlu menyatukan Langkah dan program program yang sesuai
lintas sectoral, contoh Muatan Lokal di sekolah-sekolah, ekstrakulikuler yang bisa mengadopsi
pelajaran dan tradisi keraton, Ketahanan keluarga. Program ini selain sudah memiliki payung
hukum juga masing-masing instansi seperti Pemkab dan Kementerian vertical yang sama-sama
memiliki anggaran, namun pada prakteknya masing masing berjalan sendiri sendiri. Dengan
menyatukan program tentu focus garapannya menjadi lebih ringan dan bisa saling
mengevaluasi parameter keberhasilannya. Program program kebudayaan dan keagamaan
selama ini juga masing berjalan sendiri, padahal budaya dan agama itu tidak bisa dipisahkan
satu dengan yang lain. Apalagi berkaitan dengan demografi dan topgrafi suatu daerah sehingga
melalui keduanya dapat ditarik sebuah Langkah di dalam Menyusun program program
berkelanjutan terkait ketertiban dan kesejahteraan masyarakat. Meski tidak dapat dipungkiri
dengan integrasi program ini akan memangkas anggaran yang ada dan pasti ada yang tidak
setuju, namun seiring platform Pemerintah dengan revolusi mental ada baiknya anggaran yang
bisa di minimalis dapat diarahkan ke program lainnya sehingga amunisi yang ada bisa tepat
sasaran dan tidak terbuang percuma. Ibarat pasukan infantry selama ini masing-masing
pasukan memiliki amunisi yang lengkap dan jelas musuh sudah ada di depan, tetapi masing-
masing pasukan tersebut memberondong dan menembakkan senjata dengan membuang
amunisi percuma, padahal musuh dapat dikalahkan dengan satu pasukan saja.
Ketiga, Pemerintah mengintensifkan peran strategis para tokoh masyarakat di tiap tiap
pendukuhan dan dianggarkan khusus untuk penguatan karakter desa dengan berkiblat pada
tradisi yang sudah ada turun menurun. Selain itu konsep di masyarakat yang sudah tidak
mempermasalahkan face to face budaya dan agama perlu mendapat respon dan apresiasi
untuk dikembangkan menjadi sebuah Gerakan moral, missal jamaah tahlil dan yasinan. Jamaah
yasin dan tahlil ini merupakan tradisi yang sudah mandarah daging perlu mendapat perhatian
dari pemerintah sebagai sebuah kearifan local / local wisdom yang bisa dijadikan tolak ukur
Gerakan kebersamaan untuk mewujudkan desa yang toleran dan berkeadaban. Pemerintah
perlu hadir dimajelis majelis pedukuhan untuk memberikan pengarahan dan sumbangan moril
bahwa kedepan Kulon Progo akan menjadi kota besar dan jangan sampai tradisi budaya yang
ada tergerus oleh kemajuan zaman.
Keempat, studi tiru daerah daerah yang masih mempertahankan tradisi lama dengan
mengcreate modernisasi. Contoh Bali, meskipun banyak turis dan masyarakat asing yang mulai
berdomisili di beberapa titik strategis tetapi masyarakat asli tidak kehilangan patronase budaya
dan agama yang sudah ada. Konsep toleran dan kebersamaan perlu diambil apa apa yang
pantas untuk diterapkan di Kulon Progo.
Kelima, Penguatan keagamaan lebih terarah dan diintensifkan dengan memberikan
dukungan khusus terhadapa majelis taklim, dewan masjid, TPA dan TPQ agar didampingi
sehingga pemerintah tahu betul apa yang menjadikan masyarakat berubah menjadi radikal
misalnya. Buku panduan khusus bagi majelis taklim, bagi dewan masjid, bagi TPA/TPQ untuk
menjadikan agama jangan melampui dimensi Ketuhanan, perlu diarahkan bahwa agama
merupakan washilah/ sarana untuk mengenalNya, bukan agama untuk dijadikan alat dan
komoditi kepentingan pribadi dan golongan. Sehingga dengan buku tersebut dapat diketahui
parameter keberhasilan sebuah majelis taklim dan juga dapat diarahkan potensi maupun fungsi
daripada majelis taklim itu sendiri. Karena selama ini terjadi pembiaran terhadap majelis taklim
belum ada pengarahan secara intensif keberadaan majelis taklim tersebut. Secara data jika
masing masing kapanewon -+ ada 100 majelis taklim berarti ada -+1200 majelis taklim se Kulon
Progo, jika masing masing majelis taklim jamaahnya -+50 s/d 100 orang berarti seharusnya 1,2
juta masyarakat Kulon Progo bisa diberdayakan menjadi agen perubahan untuk mengawal
Kulon Progo menjadi Toleran dan Berkeadaban.
Keenam, Tidak bisa dipungkiri Keraton sebagai patronase sekaligus symbol peradaban
berpengaruh sangat dominan didalam pembentukan masyarakat oleh sebab itu perlu juga
melibatkan dan dilibatkan hingga ke desa-desa, ilmu ilmu dan tradisi keraton yang mulai punah
perlu dikenalkan kepada generasi muda lewat karang taruna, anak-anak PAUD dan TK
sehingga generasi kita tahu bahwa kita memiliki warisan adiluhung yang perlu dilestarikan.
Sebab selama ini terkesan ada jarak antara Keraton dengan rakyat, konsep manunggaling
kawulo gusti mulai redup karena asumsi dan perspektif awam merupakan sebuah ajaran yang
tidak sesuai dengan islam, padahal sejatinya tidak demikian. Banyak sekali ilmu ilmu kuno yang
sudah asing dikalangan generasi milenial, seperti tata krama, pencak mataram maupun ilmu
ilmu hasil racikan pujangga-pujangga keraton yang layak untuk dipelajari dan dikenalkan
kepada generasi kita. Dana keistimewaan yang banyak harus diserap dengan penguatan
potensi dan local wisdom dengan mengadopsi tradisi, budaya yang ada dilingkup keraton, kalua
boleh di stresingkan istilah “ Gerakan kratonisasi”.
Kiranya demikian sumbangsih pemikiran yang penulis sampaikan, banyak sekali
kesalahan dan ketidak sesuaian dengan kondisi yang ada karena baru merupakan paradigma
dan perspektif secara umum, untuk lebih pasnya perlu dilakukan riset yang lebih detail dan
mendalam.

Anda mungkin juga menyukai