Tentu kita semua tidak menyangka ada dugaan keterlibatan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dalam sejumlah kasus besar (skandal) yang muncul di Tanah Air. Bagaimana tidak, dengan wajah innocentnya Airlangga justru memanfaatkan itu untuk menumpuk pundi-pundi kekayaan dengan keserakahan dan kerakusan dalam merampok kekayaan negara. Dari sejumlah fakta yang muncul di sejumlah media nasional, terdapat sejumlah dosa besar yang diduga didalangi dan dilakukan Airlangga Hartarto baik saat menjabat sebagai Anggota DPR RI, Menteri Perindustrian hingga kini menjabat sebagai Menko Perekonomian.
KASUS KORUPSI !!!
Pertama, dugaan keterlibatan dalam kisruh kelangkaan dan mahalnya minyak goreng (migor) yang kini sudah dilakukan pemeriksaan dan pendalaman oleh Kejaksaan Agung RI. Dan Dugaan penyelewengan dana BPDPKS Jabatannya sebagai Menko Perekonomian dan juga ketua komite pengarah Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS) diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum karena kesalahan penyaluran dana ratusan triliun yang dimiliki BPDPKS. Seperti diketahui bahwa BPDPKS memang dibentuk atas dasar UU nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan, Peraturan Presiden nomor 61 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit;, serta Peraturan Menteri Keuangan nomor 133 tahun 2015 tentang Pungutan Ekspor yang pelaksanaannya ditujukan untuk menyetabilkan harga CPO dengan tujuan ekspor. menyejahterakan petani dan menciptakan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan dan ramah lingkungan didukung pengembangan dan penyaluran dana sawit yang terpadu dan tepat guna secara profesional dan akuntabel. Namun di tengah tingginya mimpi negara dalam mengatur dan meraih untung besar dari ekspor kelapa sawit, tetap mengabaikan salahsatu tugas utama BPDPK yakni gagal melakukan perbaikan kesejahteraan bagi para pekebun sawit rakyat yang kini tetap terabaikan. Rantai pasokan dan rendahnya daya saing pekebun rakyat tetap terjadi. Bahkan termasuk rendahnya dukungan BPDPKS dalam melakukan konversi sawit untuk green fuel. Hal itu terungkap dengan rendahnya penyaluran dana BPDPKS bagi petani sawit rakyat. Dari 130 triliun duit BPDPKS, hanya 7,6 triliun yang dikembalikan ke petani sawit rakyat melalui peremajaan kebun kelapa sawit. Sementara paling dominan duit mengali ke pengusaha produsen kelapa sawit yang mencapai Rp 110,3 triliun. Ini jumlah yang sangat fantastis. Anggaran kementerian dan lembaga saja tidak sampai raturan triliun seperti itu. Produsen kelapa sawit yang disubsidi ratusan triliun inilah yang justru menjadi akar persoalan kelangkaan minyak goreng. Di satu sisi produsen minyak goreng mendapat untung sangat besar dengan kenaikan harga CPO dunia akibat perang Rusia-Ukraina, di sisi lain produsen juga disubsidi dari BPDPKS ratusan triliun dengan dalih produksi biodiesel B30 yang kini tak jelas rimbanya. Oleh karena itu, teriakan untuk segera dilakukan audit menyeluruh terhadap pengelolaan dana BPDPKS terus menggema. Dengan audit menyeluruh atau audit forensik akan diketahui, lari kemana duit BPDPKS itu. Apakah larinya duit ratusan triliun itu ke pengusaha produsen kelapa sawit itu sesuai dengan permintaan Ketua Komite Pengarah BPDPKS yakni Menko Perekenomian atau memang Menko Perekonomian itu menyogok produsen untuk mendanai kampanye pilpres yang seperti mengusung sendal jepit jadi presiden? Ini semua hanya bisa dijawab oleh Kejaksaan Agung, BPK RI dan lembaga penegak hukum lainnya. Nah kelangkaan migor disebabkan bahan baku migor dari CPO terserap untuk subsidi biodiesel yang pelaksanannya hingga kini juga masih dipertanyakan. Di sisi lain, kenaikan harga CPO dunia membuat korporasi produsen CPO lebih getol cari untung dengan mengutamakan ekspor ketimbang memenuhi kebutuhan dalam negeri. Ini semua di bawah kendali Menko Perekonomian. Kedua, kasus impor besi dan baja ringan yang membuat besi dan baja ringan produksi dalam negeri tidak terserap di sector Proyek Strategis Nasional (PSN). Sebagai Menteri Perindustrian, Airlangga diduga kuat mengatur agar ketersediaan besi dan baja ringan dalam negeri dipenuhi melalui pembukaan kran impor. Padahal BUMN produsen besi dan baja ringan telah disubsidi triliunan rupiah untuk bisa menggenjot produksi dan diharapkan bisa diserap pasar domestik. Alih-alih menggunakan produk dalam negeri, sebagai Menteri Perindustrian Airlangga justru mengeruk kekayaan bagi kartelnya dengan memrioritaskan produk impor. Ini jelas tidak sejalan dengan visi misi Nawacita Presiden dan Wakil Presiden Jokowi-Maruf.
KASUS AMORAL !!!
Setelah kasus korupsi adalagi dosa besar Airlangga Hartarto sebagai seorang Menteri Koordinator bidang Perekonomian. lebih parah lagi karena ini adalah kasus asusila yang diakibatkan ketidakmampuannya menahan libido seks dan fantasi liar nya terhadap istri sah orang lain. Ini adalah kasus asusila Airlangga terhadap Rifa Handayani seorang model yang tak sengaja bertemu dengan sang Menko. Cinta itu buta dan membutakan. Sempat menjadi bucin, Rifa Handayani marah besar karena dirinya diintimidasi dan diteror oleh istri Airlangga. Padahal perselingkuhan itu awalnya dianggap sudah selesai dengan damai. Namanya juga pejabat tinggi yang statusnya beda tipis dengan konglomerat. Money is Power, tidak ada toleransi bagi seorang pejabat negara dengan kasus sebanyak itu! Atas dasar dosa-dosa besar Airlangga Hartarto inilah, FORMASI menyatakan sikap : 1. Menuntut setiap Instansi Aparat Penegak Hukum (Yudikatif) terutama Kejaksaan Agung, KPK dan POLRI untuk segera memeriksa, menangkap dan mengadili Airlangga Hartarto atas semua dugaan tindak pidana korupsi. 2. Menuntut Presiden RI – Joko Widodo untuk segera mencopot Airlangga Hartarto dari jabatannya sebagai Menteri Koordinator bidang Perekonomian karena telah gagal dalam melaksanakan tugas nya sebagai pejabat negara terutama mengatasi kelangkaan dan mahalnya minyak goreng bagi masyarakat miskin. 3. Mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk terus memantau dan bergerak dalam penanggulangan tindakan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Indonesia.