Anda di halaman 1dari 10

1

BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pedikulosis kapitis sudah lama menjadi penyakit yang sangat menganggu
kenyamanan. Penyakit ini diakibatkan oleh Pediculus humanus capitis (kutu
rambut) yang merupakan ektoparasit pada rambut dan kulit kepala manusia yang
menyebabkan rasa gatal berlebih. Akibatnya, penurunan konsentrasi belajar sampai
terganggunya waktu istirahat pun tidak dapat dihindari. Infestasi kutu rambut pada
kasus berat dapat menyebabkan iritasi kulit kepala akibat goresan dan garukan yang
berlebih, anemia hingga penyakit glomerulonefretis (Vahabi et al., 2012).
Pedikulosis kapitis biasanya terjadi pada anak sampai remaja, kisaran usia 3-
12 tahun dan lebih sering ditemukan pada anak perempuan (Al-Bashtawy dan
Hasna, 2012; Tyring et al., 2012). Penularan pedikulosis dapat melalui kontak
langsung antarkepala dan penggunaan sisir atau aksesoris rambut bersama (Tyring
et al., 2004).
Prevalensi penyakit ini cukup tinggi dan menjadi masalah kesehatan di seluruh
negara di dunia salah satunya Indonesia. Tingginya penyebaran infestasi kutu
rambut di Indonesia juga di dukung dengan banyaknya lingkungan padat penghuni
dari berbagai macam daerah seperti pondok pesantren maupun asrama pendidikan
sejenis. Rendahnya personal higiene rambut antar penghuni menjadi faktor utama
tingginya kasus pedikulosis kapitis di tempat tersebut, sehingga ketika masing-
masing dari mereka kembali ke tempat asal tanpa disadari sudah membantu
dispersal dari kutu rambut (Lukman dkk, 2018). Persentase prevalensi pedikulosis
kapitis di Indonesia sendiri belum diketahui secara pasti karena luasnya wilayah
yang dimilki. Restiana (2010) menyatakan 71,3% santri di Yogyakarta mengalami
pedikulosis kapitis, kemudian Zhen (2011) menyatakan di daerah perkotaan di
Yogyakarta, terdapat 12,3% anak sekolah dasar terinfestasi pedikulosis kapitis,
sedangkan Munusamy (2011) menyatakan daerah pedesaan di Yogyakarta,
infestasi pedikulosis kapitis pada anak sekolah adalah sebesar 19,6%. Penelitian
yang dilakukan oleh Lukman dkk (2017) juga menyatakan 76,6% santri di Jember
mengalami pedikulosis kapitis.
Upaya pengobatan pedikulosis di Indonesia lazimnya menggunakan senyawa
insektisida kimiawi seperti permethrin. Mekanisme kerja senyawa ini adalah
mengikat natrium yang peka terhadap tegangan pada saluran syaraf kutu rambut
(Brownell et al., 2020). Namun, upaya pengobatan dengan cara ini masih memilki
tingkat keberhasilan yang cukup rendah dan menyebabkan terjadinya peningkatan
resistensi kutu rambut akibat adanya mutasi sel T917I (Hogdon et al., 2010). Selain
itu kebanyakan senyawa pembasmi kutu hanya menyerang induk kutu saja, tidak
untuk telurnya. Telur kutu memiliki tingkat ketahanan diri yang cukup kuat (Leung
et al., 2005). Atas dasar tersebut, apabila pembasmian sudah dilakukan dari fase
telur maka penyembuhan pedikulosis kapitis akan berjalan efektif.
Penelitian oleh Di Campli et al. (2012), mendapati bahwa senyawa aktif
nerolidol dapat merangsang terjadinya kerusakan 50% telur kutu pada konsentrasi
2

1% dalam waktu 4 hari. Uji nerolidol pada konsentrasi 1% efektif terhadap


perkembangan telur kutu (Priestley et al.,2006). Chin (2017), menyatakan
penambahan nerolidol pada 4% dimeticone memberikan hasil yang lebih baik
dalam mengatasi telur kutu dibandingkan dengan 4% dimeticone. Berbagai
penelitian lain menunjukkan bahwa nerolidol memiliki aktivitas biologis sebagai
insektisida, antibakteri, antimikroba, antioksidan, antiparasit, anti-inflamasi, dan
antikanker (Chan et al., 2016).
Nerolidol merupakan komponen kimia aromatik berupa seskuiterpen alkohol
yang banyak ditemukan pada berbagai tanaman yang memiliki bau tajam dan
menghasilkan minyak esensial, seperti tea tree, kayu putih, tumbuhan suku
Piperaceae: Piper crassinervium, Piper arantia L., Piper aleyreanum C. DC, Piper
claussenianum (Miq.) C. DC., dan pada tanaman pare (Momordica charantia L.)
(Chan et al., 2016; Krinski et al., 2018; da Silva et al., 2020). Pada tanaman pare,
nerolidol dapat ditemukan pada bijinya. Kandungan trans-nerolidol yang
terkandung didalam biji pare mencapai 61% (Braca et al., 2008).
Penggunan bahan alami untuk pengobatan pedikulosis di Indonesia masih
rendah karena minimnya informasi yang ada. Beberapa penelitian yang telah
dilakukan hanya membahas sampai efektivitas nerolidol dalam membasmi kutu
rambut dan kandungan nerolidol yang terdapat pada berbagai spesies tumbuhan
namun belum menjelaskan bagaimana bahan tersebut bisa diaplikasikan pada kulit
kepala. Maka dari itu, pada penelitian ini akan dilakukan efek ovisidal ekstrak biji
pare pada kutu rambut yang kemudian akan dijadikan dasar pembuatan hair mist
berbahan dasar alami sebagai salah satu cara pembasmi kutu rambut.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah
dalam kajian ini ialah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah efek ovisidal ekstrak n-heksan biji pare (M. charantia L.)
terhadap kutu rambut (P. humanus var. capitis De Geer, 1778)?
2. Berapakah konsentrasi efektif ekstrak n-heksan biji pare (M. charantia L.)
dalam mengambat perkembangan telur kutu rambut (P. humanus var.
capitis De Geer, 1778)?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, tujuan umum
kajian ini ialah menanggulangi prevalensi pedikulosis kapitis pada santri. Tujuan
khusus kajian ini ialah menganalisis efek ovisidal ekstrak n-heksan biji pare (M.
charantia L.) terhadap kutu rambut (P. humanus var. capitis De Geer, 1778 dan
mengetahui konsentrasi efektif ekstrak n-heksan biji pare (M. charantia L.) dalam
mengatasi telur kutu dan menghambat perkembangan telur kutu rambut (P.
humanus var. capitis De Geer, 1778).
1.4 Manfaat dan Kontribusi Penelitian terhadap Ilmu Pengetahuan
Manfaat dari kajian ini ialah sebagai berikut.
1. Aspek Teoritis
3

Hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai efek
ovisidal ekstrak n-heksan biji pare (M. charantia L.) terhadap kutu rambut (P.
humanus var. capitis De Geer, 1778) dan tingkat konsentrasi efektif ekstrak n-
heksan biji pare dalam menghambat perkembangan telur kutu rambut.
2. Aspek Praktis
Hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi dasar pembuatan produk
penghambat perkembangan kutu rambut berbahan alam dalam bentuk hair mist
sehingga mudah diaplikasikan kepada penderita Pedikulosis dari berbagai
kalangan usia.
Kontribusi yang dapat diberikan melalui penelitian ini ialah, dapat
membuktikan adanya efek ovisidal kandungan nerolidol pada biji pare sebagai
solusi alternatif pengobatan pedikulosis berbahan alam, berperan dalam
pengembangan senyawa metabolit sekunder tumbuhan, memberikan sumbangan
referensi ilmiah bagi penelitian di masa mendatang.
1.5 Temuan Yang Ditargetkan
Temuan yang ditargetkan dalam penelitian ini ialah adanya efek ovisidal dari
ekstrak n-heksan biji pare (Momordica charantia L.) terhadap kutu rambut.
1.6 Luaran PKM Riset Eksakta
Luaran yang diharapkan pada penelitian ini berupa :
1. Laporan kemajuan, laporan akhir dan artikel ilmiah yang berjudul “Efek
Ovisidal Ekstrak N-Heksan Biji Pare (M. charantia L.) terhadap Kutu Rambut
(P. humanus var. capitis, De Geer)”.
2. Produk hairmist pembasmi kutu berbahan alam.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Kutu Rambut (Pediculus humanus capitis)
Pediculus humanus capitis merupakan insecra ektoparasit obligat yang hidup
dengan menghisap darah (hemophagydea) dari kulit kepala manusia (Madke dan
Khopkar, 2012). Kutu rambut menghisap darah 4-5 kali per hari. Mereka
mengambil darah dari inang dan menginjeksikan salivanya untuk mencegah
pembekuan darah. Saliva kutu biasanya menyebabkan reaksi alergi yang
menimbulkan rasa gatal. Bagi beberapa individu yang tidak menimbulkan reaksi
alergi, akan terjadi asimptomatik (Ko dan Elston, 2004). Rasa gatal yang terus
menerus dapat mengganggu tidur dan menggaruk kulit kepala yang berlebihan
dapat menyebabkan impetigo dan adenopati (Burgess, 2004; Ko dan Elston, 2004;
Leung, 2005).
Siklus hidup kutu rambut membutuhkan waktu sekitar 15-16 hari mulai dari
telur, nimfa, dan dewasa yang seluruhnya terjadi di rambut dan kulit kepala manusia
(Burkhart dan Burkhart, 2012; Lukman dkk, 2018). Kutu rambut betina dewasa
mampu memproduksi hingga 200-250 telur selama masa hidupnya (Mehlhorn,
2015). Telur kutu akan dilekatkan pada rambut inangnya dengan perekat khusus
yang disebut cement. Kutu rambut betina dewasa akan mengeluarkan cairan
menyerupai lem dari organ reproduksinya yang mengeras menjadi nit sheath
4

mengelilingi rambut dan telur kecuali bagian operkulum, tempat embrio bernafas
(Madke dan Khopkar, 2012).
Nimfa belum memiliki organ seksual eksternal. Panjang nimfa sekitar 1 mm
(Taulu, 2004). Nimfa menjalani tiga kali proses metamorfosis selama 9-15 hari.
Kutu rambut dalam stadium nimfa biasanya terlihat lebih transparan dan berubah
menjadi merah atau kecoklatan setelah mereka menghisap darah (Madke dan
Khopkar, 2012). Kutu rambut jantan dewasa memiliki ukuran panjang 2 mm dan
betina dewasa 3 mm. Kutu jantan biasanya mati setelah kopulasi. Pada kepalanya,
kutu rambut memiliki lima segmen antena, sepasang mata dan mulut penusuk
(Taulu, 2004).
2.2 Potensi Nerolidol sebagai Antiparasit
Nerolidol atau peruviol merupakan senyawa metabolit sekunder tumbuhan
golongan terpenoid, khususnya seskuiterpen alkohol yang memiliki dua isomer,
yakni cis-nerolidol dan trans-nerolidol. Adanya ikatan rangkap membuat senyawa
ini memiliki sifat hidrofobik sehingga mudah berikatan dengan membran sel.
Nerolidol biasanya diekstrak dengan metode hidrodistilasi dan apparatus
Clevenger-type pada berbagai macam organ tumbuhan penghasil minyak esensial,
seperti daun tumbuhan Piper claussanianun (Miq). C. DC, batang Oploplanas
horridus (Sm.) Miq., bunga Cananga odorata (Lam.) Hook.f. & Thomson, dan biji
pare (Momordica charantia L.). Nerolidol juga dapat diperoleh dari sintesis
senyawa linalool. Hasil ekstrak nerolidol berwarna kuning pucat dan memiliki bau
bunga-bungaan (Chan et al., 2016).
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menganalisis potensi dari nerolidol,
seperti potensi antioksidan, antibakteri terhadap Staphylococcus aureus, anti-jamur
terhadap Candida albican, dan insektisida terhadap lalat rumah, nyamuk dan juga
kutu rambut (Chan et al., 2016). Pada kutu rambut, nerolidol dapat bertindak
sebagai ovisida. Hal ini disebabkan oleh karakter fisikokimia nerolidol yang
merupakan senyawa terpenoid monosiklik yang mengandung gugus -OH sehingga
menghasilkan aktivitas surfaktan yang rendah dan mampu melewati aerophil pada
telur kutu rambut (Priestley et al., 2006). Penelitian ini didukung oleh Di Campli et
al. (2012), dimana nerolidol bertindak sebagai ovisida yang efektif menyebabkan
75% sampel telur kutu rambut yang diujikan gagal menetas dalam 5 hari setelah
perlakuan penambahan konsentrasi nerolidol sebesar 1%.
2.3 Biji Pare (Momordica charantia L.)
Pare (Momordica charantia L.) atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan
bitter melon merupakan tanaman yang dapat tumbuh baik di daerah tropis maupun
subtropis. Setiap bagian dari tanaman pare memiliki manfaat yang beragam. Pare
mengandung bahan aktif berupa saponoid, flavonoid, dan alkaloid yang bermanfaat
sebagai antikanker, antimikrobia, antiparasit, dan antitumor (Gupta et al., 2011).
Salah satu bagian pare yang memiliki aktivitas antiparasit terdapat pada bijinya. Hal
ini disebabkan oleh kandungan nerolidol yang tinggi pada biji pare (sebesar 61%)
5

dapat bertindak efektif membunuh berbagai macam parasit, salah satunya adalah
kutu rambut (Chan et al., 2016).

BAB 3. METODE PENELITIAN


3.1 Alat dan Bahan Penelitian
3.1.1 Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah cawan Petri Pyrex®,
serit kutu, pipet Pyrex®, blender, rotary evaporator IKA™ RV 10 Control V,
tabung reaksi Pyrex®, GC-MS (Gas Chromatography-Mass Spectrometry)
Thermo Scientific ISQ 7000, pengaduk, timbangan, mikroskop cahaya, corong,
erlenmeyer, stirrer, gelas ukur Pyrex®, gelas beker Pyrex® dan gunting.
3.1.2 Bahan Penelitian atau Subjek Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah telur kutu rambut,
biji pare, n-heksan, metanol, aquades, permethrin 200 g/l Klensect 200 EC, kertas
saring Whatmann no. 1, kain kassa, handscoon dan label.
3.2 Jenis, Variabel, Tempat dan Desain Penelitian
Penelitian yang dilakukan merupakan eksperimental laboratoris (true
experimental laboratories) secara in vitro. Variabel bebas dalam penelitian ini
adalah pemberian ekstak n-heksan biji pare dengan konsentrasi yang berbeda.
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah perkembangan telur kutu rambut.
Desain penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif eksperimental yang
dilaksanakan dalam tempat bulan dari bulan April-Juli 2021.
3.3 Jalannya Penelitian
3.3.1 Brainstorming Ide (Virtual Digital)
Tahapan ini dilakukan secara daring melalui aplikasi WhatsApp dan video
conference Zoom untuk mendiskusikan permasalahan dan solusi pada penelitian
ini serta melaporkan setiap kemajuan penelitian kepada dosen pembimbing.
3.3.2 Uji Kelayakan Etik dan Ijin Penelitian (Luring dengan protokol
kesehatan)
Uji kelayakan etik dilakukan sebagai pedoman peneliti agar diajukan
kepada komisi etik kedokteran dan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik
(BANGKESBANGPOL).
3.3.3 Pembuatan Ekstrak N-Heksan Biji Pare (Momordica caharntia L.)
(Luring di laboratorium dengan protokol kesehatan)
Biji pare dikoleksi dari pare segar yang berasal dari perkebunan Pusat
Inovasi Agroteknologi (PIAT) Universitas Gadjah Mada. Prosedur pengekstrakan
dilakukan dengan tahap penghalusan biji pare kering hingga didapatkan serbuk
kemudian dimaserasi dengan n-heksan pada suhu kamar selama 24 jam dan
diaduk sesekali. Ekstrak disaring lalu dipekatkan dengan rotary evaporator pada
suhu 40 ̊C hingga didapatkan ekstrak kental.
6

3.3.4 Uji Kandungan Nerolidol (Luring di laboratorium dengan protokol


kesehatan)
Ekstrak biji pare yang diperoleh dianalisis dengan kromatografi gas-
spektrometri massa. Hasil analisis menggunakan GC-MS adalah kromatogram
untuk menentukan profil senyawa penyusun ekstrak dan spektrum massa untuk
menentukan struktur senyawa ekstrak flavor. Interpretasi pola fragmentasi
spektrum massa senyawa ekstrak biji pare dibandingkan dengan spektrum massa
senyawa standar dari suatu bank data (WILEY) (Wartini dkk., 2010).
3.3.5 Pembuatan Larutan Uji (Luring di laboratorium dengan 6rotocol
kesehatan)
Ekstrak kental yang didapatkan kemudian diencerkan menggunakan
metanol hingga diperoleh beberapa konsentrasi berbeda yaitu 20%; 40%; 50%;
60% dan 80%.
3.3.6 Persiapan Sampel (Luring dengan protokol kesehatan)
Populasi penelitian ini adalah telur kutu rambut. Telur kutu yang diambil
adalah telur kutu matang berjarak kurang dari 1 cm dari kulit kepala. Total jumlah
sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 210 telur kutu dari 10
probandus. Sampel penelitian didapatkan dari santriwati Pondok Pesantren Ali
Maksum yang beralamat di Jalan K.H. Ali Maksum, Krapyak Kulon,
Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa
Yogyakarta.
3.3.7 Pemberian Perlakuan (Luring di laboratorium dengan protokol kesehatan)
Sebanyak 210 telur dibagi dalam 7 kelompok yang terdiri dari 2 kelompok
kontrol yaitu kontrol negatif menggunakan aquades dan kontrol positif berupa
permethrin serta 5 kelompok perlakuan untuk 5 konsentrasi yang berbeda (20%;
40%; 50%; 60%; 80%) dengan 3 kali pengulangan pada masing-masing kelompok
yang berjumlah 10 telur kutu rambut.
3.3.8 Luaran dan Indikator Capaian
Luaran yang diharapkan adalah adanya efek ovisidal ekstrak murni biji pare
terhadap telur kutu rambut. Indikator dalam penelitian ini adalah persentase
kegagalan telur kutu rambut setelah diberi perlakuan.
3.3.9 Skema Penelitian
Penelitian yang dilakukan memiliki skema penelitian sebagai berikut.
Uji Kandungan Pembuatan Larutan
Brainstorming ide
Nerolidol Uji

Uji Kelayakan Etik Uji Aktivitas


Uji Pendahuluan
dan Ijin Penelitian Ekstrak Biji Pare

Pembuatan Ekstrak Persiapan sampel Analisis Data

Gambar 3.1 Skema Penelitian


7

3.4 Cara Analisis Data


Perhitungan dilakukan dengan membagi jumlah telur kutu yang gagal
berkembang dengan jumlah awal telur yang diuji kemudian dikalikan dengan
100%. Data kemudian diolah menggunakan software SPSS meliputi uji parametrik
ANOVA untuk mengetahui perbedaan makna dari konsentrasi yang diuji, lalu uji
non-parametrik post-hoc Mann Whitney untuk mengetahui konsentrasi mana yang
paling bermakna. Dilakukan analisis probit menggunakan software minitab untuk
mengetahui respon subyek yang diteliti oleh adanya stimuli dalam hal insektisida
dengan mengetahui respon berupa terjadinya kegagalan berkembang. Pendugaan
toksisitas diukur dengan nilai LC50 (Negara, 2003). Uji Probit LC50 dideskripsikan
apabila 30 mg/L maka bersifat sangat toksik, apabila 31 mg/L – 1000 mg/L maka
bersifat toksik dan apabila 1000 mg/L maka bersifat tidak toksik.

BAB 4. BIAYA DAN JADWAL KEGIATAN


4.1 Anggaran Biaya
Tabel 4.1. Rekapitulasi Rencana Anggaran Biaya
No Jenis Pengeluaran Biaya (Rp)
1 Perlengkapan yang Diperlukan 2.185.000
2 Bahan Habis Pakai 4.140.000
3 Perjalanan dalam Kota 450.000
4 Lain-lain 300.000
Jumlah 7.075.000
4.2 Jadwal Kegiatan
Bulan Person
Jenis
No 1 2 3 4 Penanggung-
Kegiatan
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 jawab
1 Brainstormin
Desti Putri A
g ide
2. Studi pustaka
Nisrina S
dan orientasi
3. Rancangan
Auliya N I
penelitian
4 Pengajuan Desti Putri
kode etik Amartia
5 Koleksi
Auliya N I
sampel
6 Pembuatan
Auliya N I
ekstrak
7 Uji nerolidol Nisrina S
8 Pembuatan
Auliya N I
larutan uji
9 Uji aktivitas Desti Putri A
8

10 Analisis hasil Nisrina S


12 Kesimpulan
Auliya N I
penelitian
13 Laporan
Nisrina S
kemajuan
14 Laporan akhir Desti Putri A

DAFTAR PUSTAKA
Al-Bashtawy, M., dan F. Hasna. 2012. Pediculosis Capitis Among Primary School
Children in Mafraq Governorate, Jordan. East Mediter Health Journal. 18(1):43-
84.
Braca, A., Tiziana, S., Manuela, D. A., dan Maria, P. G. 2008. Chemical
Composition and Antimicrobial Activity of Momordica charantia Seed Essential
Oil. Fitoterapia. 79: 123-125
Brownell, N., Sakone, S., Kobpat, P., Nirin, S., Switt, K., Atchara, P., dan Padet, S.
2020. Presence of The Knockdown Resistance (kdr) Mutations in The Head Lice
(Pediculus humanus capitis) Collected from Primary School Children of Thailand.
Plos Neglected Tropical Diseases. 14(12) : 1-13
Burgess, I. F. 2004. Human Lice and Their Control. Annual Review of Entomology.
49: 457-481.
Burkhart, C. G.dan Burkhart, C. N. 2006. Safety and Efficacy of Pediculicides for
Head Lice. Expert Opin. Drug Saf. 5(1): 169-179.
Chan, W. K., Tan, L. T. H., Chan, K. G., Lee, L. H., dan Goh, B. H. 2016. Nerolidol:
A Sesquiterpene Alcohol with Multi-faceted Pharmacological and Biological
Activities. Molecules. 21(529):1 – 40.
Chin, W. 2017. Detection and recommended treatment of head lice in Prescriber.
Oxford : Wiley, p. 35.
Di Campli, E., Di Bartolomeo, S., Delli Pizzi, P., Di Giulio, M., Grande, R., Nostro,
A., dan Cellini, L. 2012. Activity of Tea Tree Oil and Nerolidol Alone or In
Combination against Pediculus capitis (Head Lice) and Its Eggs. Parasitology
Research. 111 (5):1985 – 1982.
Gupta, M. Sushil, S., Ajay K. G., dan Rekha B. 2011. Momordica charantia linn.
(karela): Nature’s Silent Healer. International Journal of Pharmaceutical Sciences
Review and Research. 11(1): 32-37.
Hogdon, H.E., Kyong, S. Y., Domenic, J. P., Hyo, J. K., Gamal, E. A., Si, H. L.,
dan Marshall, C. 2010. Determination of Knockdown Resistance Allele
Frequencies in Global Human Head Louse Populations Using The Serial Invasive
Signal Amplification Reaction. Pest Management Sains. 66(9): 1031-1040.
Leung, A. K. C., Fong, J. H. S., dan Rojas, A. P. 2005. Pediculosis Capitis. Journal
of Pediatric Health Care. 19(6): 369-373.
9

Lukman, N., Yunita A., dan Dini A. 2018. Hubungan Faktor Risiko Pediculus
capitis Terhadap Kejadiannya pada Santri di Pondok Pesantren Miftahul Ulum
Kabupaten Jember. Journal of Agromedicine and Medical Sciences. 4(2): 102-109.
Madke, B. dan Khopkar, U. 2012. Pediculosis Capitis: An Update. Indian Journal
of Dermatology, Venereology, and Leprology, 78(4) : 429-438.
Mehlhorn, H. 2015. Pediculus Humanus Capitis. Encyclopedia of Parasitology.
Edisi Keempat. German: Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
Munusamy, H., Murhandarwati, E. E. H., dan Umniyati, S. R. 2011. The
Relationship Between The Prevalence of Head Lice Infestation with Hygiene and
Knowledge among The Rural School Children in Yogyakarta. Tropical Medicine
Journal. 1(2): 102-109.
Negara, A. 2003. Penggunaan Analisis Probit Untuk Pendugaan Tingkat Kepekaan
Populasi Spodoptera exigua Terhadap Deltametrin di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Informatika Pertanian, 12: 1-9.
Priestley, C. M., Burgess, I. F., dan Williamson, E. M. 2006. Lethality of Essential
Oil Constituents towards The Human Louse, Pediculus humanus, and Its Eggs.
Fitoterapia. 77(4):303 – 309.
Rahmawati, R. K., Teresa, A., Mutiasari, D., Jelita, H., dan Agustina, I. 2020.
Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Perilaku Penggunaan Sampo Terhadap
Kejadian Pedikulosis Kapitis di Panti Asuhan X Palangka Raya. Jurnal
Kedokteran, 8(1): 965-972.
Restiana, R. 2010. Hubungan Berbagai Faktor Risiko Terhadap Angka Kejadian
Pedikulosis kapitis di Asrama. Tesis. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta.
Taulu, M. L. S. 2004. Biology and Control of Head Lice (Pediculus capitis de Geer)
(Phthiraptera: Pediculidae). Disertasi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Tyring, S. K., Lupi, O., Hengge, U. R. 2004. Tropical Dermatology. Amsterdam :
Elsevier, p. 387.
Vahabi, A., Shemshad, K., Sayyadi, M., Biglarian, A., Vahabi, B., Sayyad, S.,
Shemshad, M. Dan Rafinejad, J. 2012. Prevalence and Risk Factors of Pediculus
humanus capitis (Anoplura: Pediculidae), in Primary Schools in Sanandaj City,
Kurdistan Province, Iran. Tropical Biomedicine. 29(2): 207–211.
Wartini, N. M., Ina, P. T., dan Putra, G. P. G. 2010. Perbedaan Kandungan Senyawa
Volatil Daun Salam (Eugenia Polyantha Wight) Pada Beberapa Proses Curing.
AGRITECH, 30(4): 231-236.
Zhen, A. J. L. Y., Murhandarwati, E. E. H., Umniyati, S. R. 2011. Head Lice
Infestation and Its Relationship with Hygiene and Knowledge among Urban School
Children in Yogyakarta. Tropical Medicine Journal. 1(1): 35-41.

Anda mungkin juga menyukai