Anda di halaman 1dari 18
Bali Uro-Nephrology Scientific Communication 2017 PENILAIAN STATUS NUTRISI PADA PASIEN DIALISIS | Wayan Sudhana Divsi Ginjal dan Hipertensi, Bagian/SMIF IImu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah Pendahuluan Pasien penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) yang menjalani dialysis sering banyak mengalami protein energy wasting (PEW) yang sebelumnya dikenal dengan nama PEW pada pasien dialysis. PEW merupakan suatu kondisi yang merujuk pad status gizi yang ditandai dengan adanya kehilangan protein dan massa tubuh yang disertai dengan penurunan kapasitas fungsional. Dalam beberapa tahun terakhir ini banyak penelitian membuktikan bahwa PAW berhubungan erat dengan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas penderita PGTA, sehingga penggkajian status nutrisi menjadi penting dilakukan sebag: redictor angka morbiditas dan mortalitas akibat penyakit kardio vaskuler, juga berguna untuk melakukan tindakan intervensi maupun dalam pencegahan timbulnya komplikasi lainnya. Sampai saat ini belum ada parameter biokmia yang dapat dipakai sebagai parameter PEW. Serum albumin merupakan parameter tersering yang digunakan untuk menilai status gizi pada pada pasien dial Tetapi serum albumin dipengaruhi oleh bayak factor, salah satunya adalah faktor inflamasi. Sehingga kombinasi dari beberapa parameter biokimia untuk mengukur cadangan protein tubuh dan pengukuran antropometri dapat digunakan untuk mengkaji status nutrisi pasien. 109 Bali Uro-Nephrology Scientific Communication 2017 Parameter penilaian status nutrisi meliputi: 1. Antropometri Tinggi badan (TB) Berat badan(BB) Indeks massa tubuh (IMT) Lingkar lengan atas (LLA), tebal lipatan kulit (TLK) 2. Biokimia © Albumin serum + Kolesterol total Kreatinin serum © Transferin serum © Prealbumin serum © Bikarbonat serum Status inflamasi: seperti C-reactive protein (CRP) 3. Klinis/fisik « Interdialytic weight gain (IDWG) * Bioelectrical Impedance Analysis (BIA) ‘* Subjective Global Assessment (SGA) 4. Riwayat makan * Food recall and food record Malnutrition Inflammation Score (MIS) Metode Penilaian Status Nutrisi Penilaian status nutrisi merupakan prosedur yang sangat kompleks. Tidak ada jenis pemeriksaan golden standard yang dapat digunakan sebagai satu-satunya pemeriksaan yang dapat diandalkan dalam menilai status nutrisi pasien dialisis. Gabungan dari berbagai metode pemeriksaan meningkatkan sensitivitas hasil 110 Bali Uro-Nephrology Scientific Communication 2017 pemeriksaan terhadap PEW. Sehingga beberapa panel pengukuran dianjurkan, termasuk mengukur asupan energi dan protein, pengukuran massa tubuh (indeks massa tubuh) dan komposisinya, serta paling sedikit salah satu pemeriksaan darah terkait status protein. Anamnesis dan pemeriksaan fisik ‘Anamnesis dan pemeriksaan fisik sering dapat memberikan petunjuk penting untuk pasien PEW paa pasien dialisis, seperti : adanya gejala mual, muntah, anoreksia, penurunan berat badan atau peningkatan berat badan. Peningkatan berat badan interdialitik yang berlebihan tidak disarankan karena dianggap mencerminkan adanya retensi cairan dan asupan garam yang berlebihan. Dalam beberapa kasus, peningkatan berat badan dapat mewakili peningkatan status gizi. Sehingga kita harus berhati- ‘ati dalam membedakan kemungkinan keadaan keduanya. Adanya penyakit/komplikasi lainnya yang dapat mempengaruhi nutrisi, seperti diabetes melitus, dan penyakit gastrointestinal. Masalah psikososial lainnya seperti akses dan keterjangkauan pangan, kemampuan untuk menyiapkan makanan, dan peran anggota keluarga dalam persiapan makanan, Tanda-tanda klinis sering mengakibatkan ketidak tertarikan dan penurunan asupan kalori dan protein. Pemeriksaan fisik harus mencakup penilaian status volume pasien seperti berat kering pasien yang harus dibandingkan dengan berat badan yang dianjurkan. Presentase perubahan dari erat kering juga harus dinilai setiap bulan. 11 Bali Uro-Nephrology Scientific Communication 2017 Asupan makanan Penilaian yang akurat dari asupan makanan pasien dialysis merupakan komponen penting dari penilaian gizi. Penilaian asupan makanan ini sebaiknya dilakukan setiap enam bulan. Recall terhadap makanan pasien harus mencakup waktu yang relatif singkat, misalnya tiga hari, mencakup hari dialisis dan non dialisis. Buku harian makanan sangat berguna, terutama jika pasien menimbang makanannya, sehingga asupan protein, lemak dan karbohidrat dapat dihitung berdasarkan daftar standar makanan. Asupan protein juga dapat diperkirakan dengan menghitung tingkat katabolic protein (protein catabolic rate = PCR), juga disebut the protein equivalent of nitrogen appearance (nPNA), dengan menggunakan kinetic modelling. Tabel 1. Klasifikasi berat badan berdasarkan indeks massa tubuh Klasifikasi Indeks massa tubuh (kg/m2) BB kurang (underweight) < 185 Normal 18.5-22.9 BB lebih (overwight) 223 Dengan risiko (at risk) 23.0-24.9 Kegemukan (obese) | 25-29.9 Kegemukan (obese) I! 230.00 Tujuan penilaian status nutrisi: 1, Menentukan status nutrisi 2. Menentukan derajat PEW 3. Memperkirakan risiko komplikasi 112 Bali Uro-Nephrology Scientific Communication 2017 4. Merekomendasi dan memonitor kceukupan nutrisi Indikator PEW: a. SGA (B) dan (C) b. Albumin serum < 4.0 g/dl c.Kreatinin serum < 10 mg/dl d._Indeks massa tubuh (IMT) < 20 ke/m2 e. Kolesterol < 147 mg/dL. f. Prealbumin serum < 300 mg/L Antropometri Antropometri dapat digunakan sebagai indikator status gizi_ karena pertumbuhan seseorang berlangsung optimal jika asupan gizi cukup dan seimbang. Keunggulan antropometri yaitu prosedur sederhana dan aman, relatif tidak membutuhkan tenaga ahli, alatnya murah, mudah dibawa dan tahan lama, hasilnya tepat dan akurat, dapat mendeteksi riwayat gizi yang lalu dan dapat digunakan untuk skrining. Kelemahannya tidak dapat menilai Zn, Fe dan lain-lain serta dapat terjadi kesalahan karena cara ukur yang salah sehingga menghasilkan analisis yang keliru Teknik antropometri dapat secara tidak langsung menilai massa lemak dan massa bebas lemak serta variasi dari jumlah dan proporsinya sehingga dapat digunakan sebagai status gizi. Parameter antropometri yang sering digunakan yaitu lingkar lengan atas (LLA), tebal lemak bawah kulit, rasio lingkar pinggang dan pinggul (RLPP), massa bebas lemak dan Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT merupakan rasio berat badan (dalam kg) terhadap tinggi badan yang dikuadratkan (dalam m’) yang sering digunakan untuk mengklasifikasikan status gizi. IMT tidak membedakan kompartemen tubuh karena berat badan 113 Bali Uro-Nephrology Scientific Communication 2017 bisa berasal dari massa bebas lemak dan massa lemak tubuh serta status hidrasi sehingga IMT yang tinggu bisa berasal dari jaringan lemak yang tinggi, jaringan otot yang tinggi atau edema. Pada individu yang tergolong PEW, pemeriksaan IMT tidak dapat secara akurat menentukan derajat PEWnya karena pada kondisi PEW energi protein terdapat penurunan massa lemak dan massa otot terkait dengan peningkatan volume air ekstraselular. Evaluasi akurat penilaian derajat PEW memerlukan metode yang lebih baik dan lebih akurat secara kuantitatif intuk mengukur massa tubuh dan distribusi air tubuh. Pemeriksaan antropometri pada pasien HD sebaiknya diakukan segera setelah HD atau setelah berat badan kering tercapai. Berat badan kering adalah berat badan terendah yang masih dapat ditoleransi pasien tanpa menimbulkan gejala Klinis seperti kram, pusing dan hipotensi. Berat badan, IMT dan berat badan kering dapat digunakan untuk memperkirakan jaringan massa otot. Indeks massa tubuh pada pasien dialisis berhubungan dengan mortalitas dan morbiditas. Target IMT yang dianjurkan adalah > 20 kg/m’. Pasien dialisis terjadi fenomena “obesity paradox” yaitu pasien dengan overweight (BMI 25-30) dan obesitas (BMI >30) memiliki tingkat survival yang lebih tinggi dibandikan dengan pasien dengan IMT yang rendah. Pasien dialisis dengan IMT dibawah 19 kg/m? justru lebih tinggi angka mortalitasnya. Biokimia Pengukuran beberapa parameter biokimia terutama kadar protein telah digunakan untuk menilai status gizi pada pasien dengan fungsi ginjal normal. Kadar protein yang sama dapat dipantau pada pasien HD. Namun demikian, terdapat keterbatasan pada penggunaannya terkait perubahan distribusi atau metabolisme protein akibat gagal ginjal dan kondisi komorbiditas lainnya, 14 Bali Uro-Nephrology Scientific Communication 2017 sehingga interpretasi dari nilai yang diperoleh harus dilakukan dengan hati- hati. Albumin Konsentrasi albumin plasma berkorelasi dengan cadangan protein tubuh, hipoalbuminemia merupakan manifestasi PEW yang sudah terlambat karena albumin memiliki waktu paruh yang panjang dan cadangan sintesis hati sangat besar. Namun, perubahan volume ekstraseluler merupakan sumber potensial kesalahan dalam menilai konsentrasi albumin plasma. Beberapa penelitian telah menunjukkan korelasi negatif antara konsentrasi albumin plasma dan kematian pada pasien yang menjalani perawatan HD atau PD. Peningkatan angka kematian dengan hipoalbuminemia terjadi bahkan pada tingkat albumin mendekati normal (3,5 g/dL atau 35 g/l); Namun, resikonya lebih besar dengan hipoalbuminemia lebih parah, menjadi terbesar pada pasien dengan konsentrasi albumin plasma < 3 g/dL. (30 g/L). Konsentrasi serum albumin < 3,8 g/dL mendukung diagnosis protein-energy wasting. Hal ini penting untuk menunjukkan bahwa hipoalbuminemia tidak selalu identik dengan PEW atau underdialisys. Transferin Konsentrasi trasnferin plasma umumnya digunakan untuk menilai status gizi pada subyek dengan fungsi ginjal normal. Pada beberapa penilitian terbukti kadar transferin yang rendah pada pasien dialisis terkait PEW. Namun, nilai trasnferin plasma yang rendah pada gagal ginjal independen terhadap PEW, mungkin disebabkan oleh berfluktuasinya cadangan besi. Hal ini dapat menjadi masalah pada saat terapi eritropoietin inisiasi karena anemia uremi. 115 Bali Uro-Nephrology Scientific Communication 2017 Prealbumin Kadar prealbumin plasma pada penderita dialisis juga mungkin berbeda dengan keadaan starus nutisi pada pasien dengan fungsi ginjal normal Prealbumin biasanya secara normal iekskresikan dan dimetabolisme oleh ginjal, dan cenderung terakumulasi pada gagal ginjal. Dengan demikian, kadar prealbumin saja tidak menjadi prediktor yang sangat akurat untuk penilaian status nutrisi. Namun, kita dapat memantau kadar prealbumin ini secara serial untuk menilai starus nutrisi apabila kita mengetahui kadar prealbumin baseline pada pasien dialisis. Asam amino Pada pasien dialisis kadar asam amino plasma bervariasi. Secara umum, terdapat penurunan kadar asam amino esensial, sedangkan asama amino nonesensial normal atau meningkat. Sebagai contoh, pada pasien gagal ginjal kadar fenilalanin menurun, dan tirosin biasanya normal atau meningkat, mengakibatkan penurunan rasio fenilalanin-tirosin. Hal yang sama terjadi pada valin dan glisin dan pada rasio asam amino esensial terhadap nonesensial Perubahan ini terlihat pada hampir semua pasien kemungkinan disebabkan karena uremia itu sendiri, bukan mencerminkan PEW. Kolesterol plasma Terdapat penurunan kadar kolesterol plasma pada pasien PEW dengan fungsi ginjal normal. Kadar kolesterol juga lebih rendah pada pasien dialisis. Terdapat hubungan terbalik antara mortalitas dan kadar kolesterol. Kadar kolesterol < 100 mg/dl. menunjukkan adanya PEW pada pasien HD. 116 Bali Uro-Nephrology Scientific Communication 2017 Blood urea nitrogen (BUN) Pengukuran serial BUN dapat sangat membantu dalam memantau asupan protein dan status nutrisi. PasienPEW sering menunjukkan penurunan bertahap kadar BUN. Kadar BUN predialisis yang rendah pada pasien terkait dengan peningkatan mortalitas. Jika kita tidak mempertimbangkan asupan protein yang berkurang, penurunan kadar BUN predialisis akan menyebabkan berkurangnya preskripsi dialisis. Hal ini pada gilirannya dapat memperburuk PEW disebabkan under-dialysis mengakibatkan anoreksia dan penurunan lebih lanjut dalam asupan protein. Sehingga hal ini menjadi alasan untuk dilakukan pemantauan PCR pada pasien dialisis karena parameter PCR dapat memperkirakan asupan protein pada pasien yang stabil. Kreatinin Kreatinin dihasilkan dari metabolisme kreatin nonenzimatik pada otot rangka, maka estimasi produk kreatinin dengan mengukur kadar urine 24 jam digunakan untuk menilai lean body mass (LBM) pada pasien dialisis yang stabil Estimasi LBM dibawah normal antara 47-66% pada pasien HD dan PD merefleksikan adanya asupan nutrisi yang tidak adekuat. Terdapat hubungan yang signifikan antara LBM dengan konsentrasi albumin plasma. Terdapat penurunan angka survival pada pasien dialisis dengan konsentrasi kreatinin plasma yang lebih rendah. 117 Bali Uro-Nephrology Scientific Communication 2017 Subjective global asessment (SGA) dan malnutrition inflammation score (mis) Subjective global asessment (SGA) merupakan salah satu penilaian nutrisi pada pasien HD berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang direkomendasikan oleh NKF K/DOQI. Detsky dkk pertama kali mengembangkan SGA untuk penilaian status gizi pasien yang akan menjalani operasi dan untuk prediksi infeksi paska operasi. Penilaian SGA dapat dilakukan dengan cepat dan mudah pada populasi pasien usia lanjut, pasien kanker, pasien cangkok hati dan pasien dengan HD rutin. Komponen riwayat medis yang dinilai pada SGA ada 5 yaitu penurunan berat badan dalam 6 bulan terakhir, gejala gangguan saluran cerna, asupan makanan, kapasitas fungsional komorbiditas. Hasil penilaian adalah A, B, atau C yang mencerminkan gizi baik sampai PEW berat. Pemeriksaan fisik meliputi dua komponen yaitu hilangnya lemak subkutan dan penyusutan otot. Edema atau asites adalah komponen pemeriksaan fisik ketiga dari SGA yang tidak digunakan untuk pasien yang menjalani dialisis. Kedua komponen diklasifikasikan dari 0 (normal) sampai 3 (sangat abnormal). Data dinilai secara subyektif, dan pasien diklasifikasikan dalam 3 skor yaitu A nutrisi baik, B PEW ringan sampai sedang, dan C PEW berat. Kalantar-Zadeh (1999) mengembangkan modifikasi SGA yang disebut dialysis malnutrition score (DMS). Metode ini dilakukan untuk mengurangi subyektivitas dengan melakukan pembobotan penilaian dari kriteria penilaian SGA yang sudah ada sebelumnya. Nilai yang diberikan berkisar 1 (normal) sampai dengan 5 (berat), dengan demikian skor berkisar dari 7 (normal) sampai 35 (berat). Metode ini berkolerasi kuat dengan indikator nutrisi yang 118 Bali Uro-Nephrology Scientific Communication 2017 obyektif seperti total iron-binding capacity (TIBC), dan berkolerasi moderat dengan albumin serum, BMI, biceps skinfold, umur dan lama dialisis. Kalantar-Zadeh dkk juga mengembangkan sistem skoring Malnutrition Inflammation Score (MIS). Sistem ini terdiri dari 10 komponen yang merupakan gabungan dari 7 komponen SGA dengan 3 komponen baru yaitu BMI, albumi serum dan TIBC. MIS terdiri dari empat bagian yaitu riwayat gizi, pemeriksaan fisik, BMI dan parameter laboratorium. Skor ini menunjukkan 4 tingkat keparahan mulai dari 0 (normal) sampai dengan 3 (sangat abnormal). Nilai dari 10 komponen masing-masing berkisar dari 0 (normal) sampai dengan 30 (PEWi berat). Skor yang lebih tinggi mencerminakan tingkat status gizi kurang dan inflamasi yang berat. Pada penelitian Kalantar-Zadeh, skor ini berkaitan erat dengan inflamasi, presentase lemak tubuh dan kekerapan dirawat di rumah sakit serta kematian Nilai MIS sangat berhubungan dengan perawatan di rumah sakit dan resiko kematian, seperti halnya dengan status gizi, inflamasi, dan anemia pada pasien HD. Penelitian multisenter terhadap 378 pasien HD pada tahun 2004 menyimpulkan bahwa MIS dapat dibandingkan dengan kadar CRP serum dan IL-6. Beberapa penelitian pada pasien PGTA yang menjalani PD menunjukkan adanya hubungan antara MIS dan indeks rawat inap rumah sakit (frekuensi rawat inap dan lama perawatan total), resiko terjadinya peritonitis, anemia, dan laboratorium serta parameter antropometrik yang dianalisis dan dibandingkan dengan SGA dan DMS. 119 Bali Uro-Nephrology Scientific Communication 2017 PENJELASAN: Patogenesis MEP pada PGK bersifat multifaktorial. Penyebab utamanya adalah buruknya asupan gizi, gangguan metabolisme lemak dan karbohidrat, ketidak seimbangan asam amino, respon hormon yang abnormal, kehilangan nutrien, toksisitas uremik dan katabolisme. Kandungan air pada pasien PGK meningkat sehingga pengukuran antropometri sulit dilakukan. Antropometri pada pasien HD sebaiknya dilakukan segera setelah dialisis dan setelah berat badan kering tercapai. Berat badan, IMT dan berat badan kering dapat digunakan untuk memperkirakan jaringan massa otot. Berat badan kering adalah berat badan terendah yang masih dapat ditoleransi pasien tanpa menimbulkan gejala- gejala klinis seperti rasa kram, pusing, dan hipotensi. Target IMT yang dianjurkan adalah >20kg/m’ karena bila nilai IMT <20 kg/m’ angka morbiditas dan mortalitasnya meningkat. Lingkar lengan atas (LLA) adalah lingkaran yang diukur pada pertengahan lengan atas yang tidak dominan. Tebal lipatan kulit (TLK) adalah tebal lemak dibawah kulit pada otot trisep pada lengan yang tidak dominan untuk akses vaskuler. Merupakan indikator yang baik dari lemak tubuh total SGA (A) adalah giz baik atau normal, SGA (8) adalah gizi kurang dan SGA (C) adalah gizi buruk (lihatLampiran 1). Kadar albumin pada PGK HD diharapkan >4 g/dl karena pasien dengan kadar albumin <3.5 g/d! dihubungkan dengan kekerapan perawatan di rumah sakit dan risiko mortalitas yang lebih tinggi dengan survival 2 tahun sebesar 20% dibandingkan 80% pada kelompok dengan albumin >4g/dl Malnutrition-Inflammation Score (MIS) adalah sistem skoring yang murah dan mudah dikerjakan terdiri dari skor 0 sampai 30 untuk menilai PEW energi 120 Bali Uro-Nephrology Scientific Communication 2017 protein dan inflamasi. MIS terdiri dari 4 bagian (riwayat nutrisi, pemeriksaan fisik, IMT, dan nilai laboratorium) dan 10 komponen. Masing-masing komponen memi 4 tingkat derajat berat PEW, mulai dari 0 (normal) sampai 3 (sangat abnormal). Penjumlahan dari kesepuluh komponen MIS dapat berkisar dari 0 (normal) sampai 30 (PEW berat); skor yang lebih tinggi menunjukkan derajat PEW dan inflamasi yang lebih berat (Tabel Kreatinin serum pre-dialisis menggambarkan total kreatinin yang berasal dari diit (kreatin dan kreatinin dari daging) dan yang dibentuk secara endogen dari jaringan otot skeletal, lebih sedikit dari kreatinin yang dibuang oleh fungsi ginjal sisa dan dialisis. Kreatinin dibentuk secara ireversibel dari kreatinin di jaringan otot skeletal dengan kecepatan yang konstan yang proporsional terhadap massa otot secara langsung. Sehingga pada kondisi diit dan dialisis yang stabil, kreatinin serum pre-dialisis proporsional terhadap massa tubuh tanpa lemak. Penurunan kreatinin serum pre-dialisis pada pasien yang stabil menunjukkan adanya kehilangan massa otot skeletal. Kreatinin serum dan penurunan kreatinin serum sepanjang waktu dapat memprediksi all-cause mortality yang independen terhadap PEW (misalnya diukur dengan CRP). Kreatinin serum berhubungan secara langsung dengan albumin dan prealbumin serum. Hubungan antara kreatinin serum dan kematian pada pasien dialisis rutin digambarkan dengan huruf "J" terbalik, dengan angka kematian terendah muncul pada kadar kreatinin pre-dialisis 9-11 mg/dL dan meningkat secara bermakna pada kadar yang lebih rendah dan sedikit pada kadar yang lebih tinggi. Kadar kreatinin serum pre-dialisis yang rendah menggambarkan asupan diit kreatinin yang rendah serta massa tubuh bebas lemak yang rendah. Guideline tentang nutrisi dari KDOQI 121 Bali Uro-Nephrology Scientific Communication 2017 merekomendasikan evaluasi diit dilakukan pada pasien dengan kreatinin serum <10 mg/dL. Idealnya setiap pasien dialisis harus mendapatkan konseling gizi oleh dietisien (ahi giz). Tabel 2. Malnutrition inflammation Score Komponen MIS Skor 0 1 2 3 ‘A. Riwayat Medis 1. Perubahan 4 ‘tahun Sedang Sedang aktivitas Fisik minimal sampai tidak ada Setiap komorbiditas berat, multiple (22kKM} Berat Berat 123 Bali Uro-Nephrology Scientific Communication 2017 © Ukuran Tubuh Indeks massa 2 20 1819.9 16.17.99 <6 tubuh (kg/m) D. Parameter laboratorium 9. Albumin 24 35-39 303.4 30 serum (g/dl) 40. Totaliron- 2250 200-249 150-199 <150 binding capacity serum (mg/dl) Catatan : Total MIS sama dengan penjumlahan 10 komponen tersebut, dengan range 0 (tanpa PEW) sampai 30 (mainutiris berat). Singkatan : Gl, gastrointestinal; KKM, kondisi komorbiditas mayor; MIS, Malnutrition-Inflammation score KKM meliputi gagal jantung kongestif klas ill atau IV, acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) stadium akhir, penyakit jantung coroner berat, penyakit paru obstruktif kronik sedang-berat, sekuele neurologis berat, metastasis keganasan, atau baru mendapatkan kemoterapi Tabel Subjective Global Assessment Perubahan berat badan sejak lebih dari 2 minggu yang lalu dan berlangusng _Nllai selama 6 bulan Berat bertambah, tidak ada perubahan, penuruna berat badan ringan (0.5 kg 1-2, ramun 1 kg) Penurunan berat badan sedang (> 1 kg naum < 5%) 35 Penurunan berat badan berat (>5%) 67 Perubahan asupan makanan Tidak ada perubahan, atau sedikit perubahan dalam waktu singkat 12 Asupan sedang namun makin meningkat 35 ‘Asupan sedang atau jelek namun makin menurun 67 Gejala Gastrointestinal Kadang-kadang atau tidak ada gejala 12 124 Bali Uro-Nephrology Scientific Communication 2017 Beberapa gejala selama > 2 minggu atau gejala berat namun membaik 35 Gejala berlangsung tiap hari atau sering selama > 2 minggu 67 Kapsitas fungsional: Tidak ada penurunan stamina/kekuatan atau terjadipenurunan 1-2 stamina/kekuatan ringan-sedang namun membaik Terjadi penurunan stamina/kekuatan ringan-sedang dalam aktivitas sehari- 3-5 hari atau terjadi penurunan stamina/kekuatan ringan-sedang _namun membaik Terjadi penurunan stamina/kekuatan berat atau hanya berbaring di tempat 6-7 tidur Kehilangan lemak subkutan Sedikit atau tidak ada 12 Ringan-sedang di seluruh area 35 Banyak di beberapa atau kebanyakan area 67 Pelisutan otot : Sedikit atau tidak ada 12 Ringan sedang di seuruh area 35 Banyak di beberapa atau kebanyakan area 67 Edema Edema sedikit atau tidak ada 12 Edema ringan sedang 35 Edema berat 67 Catatan = Risiko sangat ringan sampai status nutrisi normal: peringkat 6 atau 7 pada sebagian besar kategori atau signifikan, lanjutkan usaha perbaikan nutrisi (SGA A) iingan-sedang: peringkat 3, 4 atau 5. Tidak ditemukan tanda yang nyata dari status nutrisi normal atau PEW berat (SGA B) - PEW berat: peringkat 1 atau 2 pada sebagian besar kategori/tanda fisik PEW yang nyata (SGA C) 125 Bali Uro-Nephrology Scientific Communication 2017 Daftar Pustaka 1. Ahmad G, Seong Hi, Ngo IY, Meng O/, Ghazalli R, Choon TC, et ai, editors. Clinical practice guidelines: Renal replacement therapy. 3" ed. Kuala lumpur: Ministry of Health Malaysia; 2009. 2. Bailey JI, Franch HA. Core curriculum in nephrology: Nutritional considerations in kidney disease: Core curriculum 2010. AJKD. 2010; 55 (6): 1146-61. 3. Beekley MD. Update on nutrition and chronic kidney disease [Internet). 2007 [updated 2007 Ju17; cited 2011 Aug 8] 4. International Dietetic & Nutrition Terminology (IDNT) Reference Manual: Standardized Language for the Nutrition Care Process. 3'd ed. American Dietetic Association; 2010. 5. Konsensus Gangguan Mineral dan Tulang pada Penyakit Ginjal Kronik (GMTPGK). ed.Jakarta: Perhimpunan Nefrologi Indonesia; 2009. 6. Konsensus Manajemen Anemia pada Penyakit Ginjal Kronik. 1" ed. Jakarta: Perhimpunan Nefrologi Indonesia; 2011 7. Mitch WE, Klahr S. Handbook of nutrition and the kidney. 6” ed Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2010. 8. Peckenpaugh NJ. Nutrition essentials and diet therapy. 11th ed. Portland: Elsevier Saunders; 2010. 9. Wright M, Jones C. Clinical Practice Guidelines. Nutrition in CKD. UK Renal Association. Sth ed. 2010. 126

Anda mungkin juga menyukai