Anda di halaman 1dari 10

ICODEV: Indonesian Community Development Journal

Vol. 2, No. 1, Juni 2021, 13-22


ISSN: 2775-1538 (online)

Pengembangan Dakwah Multikultural di Era Digital

Wahyu Budiantoro1*, Khafidhoh Dwi Saputri2


1,2
UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto-Indonesia

Abstrak
Era digital memberikan insentif besar bagi masyarakat, kemudahan memperoleh infromasi, mes-
ki bias infromasi kerap terjadi. Ruang digital mengikis sekat teriotorial antarmanusia. Dari sini
umat manusia berinteraksi dengan bebas dan terbuka, terutama pada wilayah agama. Dalam pe-
nelitian ini, dakwah multikultural melalui platform digital akan dikaji. Menggunakan pendekatan
kualitatif dan multikulturalisme dakwah sebagai theoretical framework, penelitian ini menerang-
kan mengenai hakikat dakwah, substansi dakwah multikultural pada ruang digital. Hasil peneli-
tian ini menunjukan adanya masifikasi isu perdamaian, kemanusiaa, cinta kasih dan perkemban-
gan ilmu pengetahuan Islam yang didistrisbusikan melalui platform digital.

Kata Kunci: Dakwah, Mulltikultural, Era Digital

Pendahuluan beragama. Karena manusia diberi insting dan


Islam hadir pertama kali di tengah pengetahuan maka, manusia sering berinovasi
masyarakat Arab yang heterogen. Karena (bid’ah), kreatif dalam bidang teknologi,
kecerdasan Nabi Muhammad Saw, Islam pengetahuan atau kebudayaan. Bukan hanya
dapat diterima dengan baik oleh berbagai manusianya yang beragam (watak, sifat
komunitas. Sehingga, Islam dapat tersebar dan karakter), secara geografis Indonesia
ke seluruh penjuru negeri dalam waktu yang (Nusantara) juga memiliki karakteristik yang
relatif singkat (Huda 2015). Nabi berdakwah berbeda.
dengan sangat efektif. Beliau diterima oleh Sebagai tempat bernaung, Nusantara
beragam suku dan budaya. Karenanya, nilai- merupakan lokasi pertemuan antara dua
nilai luhur Islam dapat disebarkan oleh Nabi peradaban (tradisi): Barat dan Timur. Tradisi
dengan cara yang santun, menggunakan lokal saja sudah banyak. Tercatat ada 1500
pendekatan akhlak (Q.S. al-Qalam: 4). pulau, 300 bahasa lokal, 700 dialek bahasa
Al Makin (2016) mengatakan bahwa dari berbagai etnis. Agama juga jumlah
manusia dari satu wilayah ke wilayah banyak (Hindu dan Budha dari India, Islam
lain berbeda. Begitu juga cara manusia dan Kristen (Semitik). Belum lagi Eropa

*Author Correspondence: Wahyu Budiantoro, email: budiantoro.wahyu@yahoo.co.id

Copyright © 2021 Wahyu Budiantoro, Khafidhoh Dwi Saputri

ICODEV: Indonesian Community Development Journal−Vol 2, No. 1 (2021) 13


Wahyu Budiantoro, Khafidhoh Dwi Saputri

(via Belanda) menjajah begitu lama di bumi Keimanan dan kesalehan sosial menjadi
Nusantara (Makin, 2016). pondasi dan perhatian utama dalam risalah
Data tersebut menunjukan adanya Nabi Muhammad Saw (Math’ani, 1993).
ciri khas dari bangsa Indonesia dalam Nabi Saw telah mencontohkan dakwah
melaksanakan praktik agama dan yang santun kepada pemeluk agama atau
penyebarannya (sosialisasi, dakwah). Artinya, kepercayaan yang lain, selain juga budaya
dakwah dalam konteks ke-Indonesiaan harus yang berbeda. Nabi Saw selalu menggunakan
dilakukan dengan mempertimbangkan latar metode kisah, nasihat, cerita atau tanya
belakang budaya dan tradisi setiap individu, jawab. Nabi Saw selalu dapat “memenangkan”
komunitas, kelompok ataupun daerah diskusi dengan lawan bicaranya karena beliau
tertentu, tidak bisa disamaratakan. mendapatkan bimbingan langsung dari Allah
Nurcholish Madjid via Suparta menyebut SWT melalui wahyu (al-Qur’an).
bahwa “agama adalah pesan” (al-dinu al- Metode kisah kerap digunakan Nabi
nashihah). Agama juga menjadi petunjuk Saw untuk memberikan tanzir (peringatan)
(hidayah). Tidak ada paksaan dalam kepada kaum yang menentang. Metode nasihat
beragama. Oleh karena itu, dakwah yang ideal juga sering digunakan Nabi Saw melalui direct
hendaknya tidak memaksakan kehendak message dari al-Qur’an (seperti Q.S. al-‘Ashr:
kepada orang lain. Karena agama adalah 1-3). Sedangkan, metode tanya jawab Nabi
nashihah (pesan) maka, konten dakwah harus Saw gunakan untuk menyadarkan kaumnya
berisikan pesan-pesan yang baik, dan dapat agar mereka memahami dan menerima konten
digunakan sebagai petunjuk bagi umatnya dakwah Islam secara rasional (Huda, 2015).
(Suparta, 2003). Ketiga metode tersebut sangat berdampak
Sejarah mencatat bahwa pada periode bukan hanya pada prosentase atau jumlah
awal Islam, Nabi menghadapi beragam pemeluk agama Islam baru, tetapi, Nabi Saw
komunitas dengan tradisi dan kultur yang juga berhasil menanamkan nilai-nilai luhur
berbeda. Masyarakat telah memiliki tradisi dan budi pekerti yang agung. Sehingga,
dan kearifan yang khas dalam bidang antara beragama dan keberagamaan (sosial)
ekonomi, sosial, maupun kepercayaan. Pada berjalan selaras.
wilayah multikultural semacam itulah dakwah Dalam konteks keberagamaan,
dijalankan dengan metode dan pendekatan khususnya di Indonesia, sebagaian umat
tertentu (Huda, 2015). beragama umumnya belum mensosialisasikan
Nabi selalu melakukan dakwah dengan ajaran agamanya dengan tidak mengindahkan
bijaksana, menyesuaikan kondisi kelompok wajah pluralitas kehidupan masyarakat
atau daerah yang dijadikan subjek dakwah dari berbagai aspek. Di sinilah urgensi
(mad’u). Terhadap kaum Ahli Kitab (Yahudi atau signifikansi pengembangan dakwah
dan Nasrani) misalnya, Nabi membimbing multikultural yang perlu dimiliki oleh
mereka dari perilaku penyelewengan siapapun yang hendak menyampaikan pesan-
terhadap ajaran murni dalam kitab suci pesan agama, sebagaimana analogi Nurcholish
masing-masing. Sebab itulah, materi Madjid di atas. Perspektif multikultural ini
dakwah kepada mereka seputar keimanan menyuntikan semangat (ghirah) pengakuan
dan kesalehan sosial (Q.S. ali-‘Imran: 110). terhadap pluralitas budaya, tradisi atau

14 ICODEV: Indonesian Community Development Journal−Vol 2, No. 1 (2021)


Pengembangan Dakwah Multikultural di Era Digital

kepercayaan kepada kelompok liyan dan tradisi keagamaan. Begitu juga saat Islam
(Zaprulkhan, 2017), sebagaimana contoh mengglobal. Sejarah menunjukan bahwa
metode dakwah Nabi Saw kepada komunitas tidak ada kesepakatan dalam pola atau
yang berbeda keyakinan dan budaya. model praktik beragama. Seluruh elemen
Dalam pada itu, di era digital, ruang berkembang dengan cara beragam. Sangat
dakwah semakin luas. Perlu banyak jamak saat ini melihat Islam dipraktikan
penyesuaian dan pendekatan yang efektif dengan pendekatan yang berbeda. Karena
untuk menyampaikan nilai-nilai dakwah agama (Islam) dipeluk oleh ratusan juta
Islamiah. Dalam berdakwah, di era digital orang maka, banyak corak keberagamaan
(cum milenial), para da’i, aktivis dakwah yang tumbuh, menyesuaikan zaman dan
atau praktisi yang lainnya tidak hanya konteksnya (Marfu’ah, 2017).
menunggu permasalahan, melainkan “jemput Oleh sebab itu, perkembangan digital
bola”. Istilah “jemput bola” ini dipopulerkan menjembatani realitas multikultural tersebut.
oleh Ziauddin Sardar, untuk membangun Platform digital dan prinsip multikultural
interaksi, komunikasi dan kelekatan antar menjadi tawaran jalan keluar untuk mengikis
umat (Budiantoro, 2017). eksklusifisme, kebebalan dan kekakuan
Sardar menyadari, revolusi media digital terhadap kelompok liyan (Turhamun, 2016).
mempengaruhi nalar dan perilaku manusia Keniscayaan tersebut, dalam riset Nawawi,
modern. Oleh sebab itu, dalam perspektif disebutkan bahwa era digital (teknologi)
kultural, media digital memainkan peranan seperti sekarang tak ada lagi batas-batas
penting dalam sistem tata kelola kehidupan budaya dan teritorial (Nawawi, 2012).
manusia. Media digital bagi masyarakat Sehingga, dakwah akan “ditolak” apabila
modern tidak lagi diposisikan sebagai sesuatu tidak mengindahkan unsur keragaman
yang mentransmisikan pesan. Akan tetapi, dan keberagamaan budaya kelompok lain.
menjadi representasi identitas yang vital Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw musti
(Fakhruroji, 2010). diinterpretasi ulang agar tidak ada lagi
gap yang mencolok praktik dakwah yang
Di era digital, dakwah dikemas secara
seharusnya (das sein) dan praktik dakwah
modern, melalui media youtube, instagram,
penganut agama yang dipengaruhi budaya
facebook dan platform digital lainnya. Akun
dan pandangan hidup berbeda (das sollen).
seperti “Santri Gayeng”, “Santri Official”,
“Gus Baha Channel”, “Noice” mewarnai dunia
digital dengan konten dakwah Islam yang METODE
moderat dan plural. Sehingga, umat dengan Dalam penelitian ini, metode yang
latar belakang agama dan kebudayaan yang digunakan adalah kualitatif. Sugiyono
berbeda memiliki ruang untuk belajar, di mengatakan bahwa pendekatan kualitatif
samping menelaah, meneliti atau melakukan memiliki corak artistik dan seni dan juga
kritik. sebagai pendekatan interpretive karena
Perkembangan Islam tidak didominasi hasil penelitian lebih berkenaan dengan
oleh satu faktor, melainkan banyak faktor, interpretasi data yang diperoleh, baik data
antara lain faktor ekonomi, sosial dan politik lapangan maupun pustaka (Sugiyono, 2007).

ICODEV: Indonesian Community Development Journal−Vol 2, No. 1 (2021) 15


Wahyu Budiantoro, Khafidhoh Dwi Saputri

Data dalam penelitian ini, di samping Istilah dakwah dalam al-Qur’an


melalui studi pustaka, juga observasi. disebut dalam bentuk fi’il maupun mashdar
Observasi digunakan dalam proses sebanyak lebih dari seratus kali. Al-Qur’an
pengamatan terhadap perilaku manusia dan menggunakan kata dakwah untuk mengajak
gejala yang lain, pada responden atau subjek kepada kebaikan yang disertai dengan risiko
riset yang tidak terlalu besar (Sugiyono, masing-masing pilihan (Zaprulkhan, 2017).
2007). Obervasi dalam konteks penelitian ini Dalam al-Qur’an dakwah dalam arti mengajak
digunakan untuk mengamati video pengajian ditemukan sebanyak 46 kali, 39 kali dalam
online Ulil Abshar Abdalla dan video podcast arti mengajak kepada Islam dan kebaikan,
Habib Husein Ja’far. Sedangkan kepustakaan dan 7 kali mengajak ke neraka atau kejahatan
berfungsi menggali data dari jurnal, buku (Munir and Ilahi, 2006). Berdasarkan itu,
dan media massa terkait dengan dakwah berarti dakwah yang “dimaksud” al-Qur’an
multikultural di era digital. adalah ajaran untuk mengajak kepada
Analisis data menyasar pada deskripsi kebaikan Islam, kebaikan agama, kebaikan
dan penempatan data pada konteksnya tauhid juga peringatan akan bahayanya
menggunakan argumentasi (Faisal, 2010). kejahatan, penyangkalan, pembangkangan
Argumen yang dibangun berdasarkan pada atau ketidakpatuhan kepada ajaran Islam
penelusuran teori multikulturalisme dakwah yang mengakibatkan dimasukannya manusia
di era digital beserta varian pengembangan ke dalam neraka.
dakwahnya melalui media sosial. Dakwah juga berarti seruan atau ajakan
kepada keinsafan atau usaha mengubah situasi
kepada situasi yang lebih baik dan sempurna
PEMBAHASAN
terhadap pribadi maupun masyarakat.
1. Hakikat Dakwah Konsep dakwah tersebut ditawarkan oleh
Kata “dakwah” secara etimologis M. Quraish Shihab. Dia melanjutkan bahwa
berarti seruan, panggilan, ajakan, undangan, dakwah bukan sekedar usaha peningkatan
doa, dorongan permintaan. Akar kata pemahaman keagamaan dalam tingkah laku
“dakwah” adalah da’aa yad’un yang berarti dan pandangan hidup saja, tetapi juga menuju
berdoa, mengajak, memanggil, menyeru, sasaran yang lebih luas. Apalagi pada masa
mengundang, mendorong (Huda, 2015). sekarang ini, dakwah harus lebih berperan
Sayyid Qutb memberi penjelasan sederhana menuju kepada pelaksanaan ajaran Islam
tentang hakikat dakwah. Dia mengatakan secara lebih menyeluruh dalam berbagai
bahwa dakwah mengajak manusia untuk aspek kehidupan (Shihab, 1994).
menuju jalan Allah (Qutb, 1976). Sedangkan, Pendapat Quraish Shihab di atas
secara leksikal, masih menurut Zainol Huda, memiliki korelasi dengan firman Allah SWT:
dakwah bermakna ajaran atau seruan yang “baginya (manusia) ada malaikat-malaikat
mengisyaratkan adanya pengajak atau yang selalu menjaganya bergiliran, dari
penyeru, yang diajak atau diseru atau sasaran depan dan belakang. Mereka menjaganya
(mad’u). Artinya, dakwah merupakan aktivitas atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak
mengajak dan menyeru kepada orang lain akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum
untuk menuju ke jalan Allah (tauhid). mereka mengubah keadaan diri mereka

16 ICODEV: Indonesian Community Development Journal−Vol 2, No. 1 (2021)


Pengembangan Dakwah Multikultural di Era Digital

sendiri. Dan apabila Allah menghendaki ke dunia maya. Persentase pengguna internet
keburukan terhadap suatu kaum maka, tak berusia 16 hingga 64 tahun yang memiliki
ada yang dapat menolaknya dan tidak ada jenis perangkat, di antaranya: mobile phone
pelindung bagi mereka selain Dia” (Q.S. ar- (96%), smartphone (94%), non-smartphone
Ra’d: 11). (21%), laptop atau komputer desktop (66%),
Dakwah adalah satu sisi. Mengajak table (23%), konsol game (16%), hingga
kebaikan sisi yang lain. Akan tetapi, semua virtual reality device (5,1%) (Ummah and
proses itu tidak akan maksimal apabila tidak Athik, 2020).
akan keinginan dari dalam diri manusia Data statistik di atas menunjukan
untuk senantiasa mendagayagunakan amat tingginya kecenderungan masyarakat
akal dan pikirannya serta hatinya untuk Indonesia untuk menggunakan platform
bergerak menuju keadaan yang lebih baik digital. Artinya, sangat terbuka peluang
(Islami). Tentunya, di atas semua upaya itu, untuk masyarakat Indonesia menyaksikan
ada kehendak dan hidayah Allah SWT yang acara dakwa Islamiah, tentunya dari berbagai
menentukan. model dan inovasinya. Athik Hidayatul
Ummah menambahkan bahwa sebagaian
besar pengguna internet dan media sosial
2. Dakwah Digital
adalah net generation atau generasi yang
Abdul Basit dalam bukunya berjudul lahir dan tumbuh di tengah perkembangan
Dakwah Milenial menerangkan bahwa teknologi. Masyarakat urban middle-class
dakwah melalui media digital di satu sisi umumnya menjadi konsumen utama internet
dapat memberikan manfaat bagi umat. (Ummah and Athik, 2020), meskipun agama di
Mereka yang malas membaca buku agama dan dunia digital dapat dipelajari dari segmentasi
sulit datang ke lokasi pengajian dapat dengan manapun.
mudah untuk memperoleh ilmu pengetahuan
Perkembangan literatur keislaman
mengenai agama. Akan tetapi, fanatisme
secara online semakin jamak. Agus Iswanto
kelompok, ujaran kebencian, wawasan yang
menjelaskan:
kurang mendalam, juga berpotensi muncul
“literatur online yaitu seluruh pengeta-
akibat adanya media digital (Basit, 2021). huan keagamaan yang tersedia secara
Dakwah melalui media digital akan online, baik melalui website yang dicari
melalui mesin pencari google, maupun
sangat dipengaruhi oleh ketercukupan dan yang tersebar di media sosial. Jadi, tidak
kemampuan masyarakat mengakses internet. hanya sebatas buku elektronik atau eb-
ook. Literatur keislaman disebarkan se-
Laporan terbaru We Are Social, sebagaimana
cara online oleh sekelompok aktivis Islam
disampaikan Athik Hidayatul Ummah, untuk menyampaikan sebuah opini terh-
menyebutkan bahwa pada tahun 2020 ada adap sebuah permasalahan atau untuk
menggerakan massa (Iswanto, 2018).
175,4 juta pengguna internet di Indonesia.
Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, ada Di facebook misalnya, Ulil Abshar Abdalla
kenaikan 17% (25 juta pengguna internet). rutin menyelenggarakan ngaji online kitab
Berdasarkan total populasi Indonesia yang Ihya Ulumaddin dan Misykat al-Anwar karya
berjumlah 272,1 juta jiwa, 64% setengah Imam al-Ghazali. Keteranan melalui gambar
penduduk Indonesia telah merasakan akses terdapat di bawah ini:

ICODEV: Indonesian Community Development Journal−Vol 2, No. 1 (2021) 17


Wahyu Budiantoro, Khafidhoh Dwi Saputri

3. Substansi Dakwah Multikultural


Dakwah multikultural terdiri dari 2 kata
yaitu dakwah dan multikultural. Dakwah
merupakan sebuah aktivitas mengajak
manusia untuk melaksanakan perintah Tuhan
menuju jalan kebaikan dan menjauhi apa
yang sudah dilarang oleh Allah dan Rasulnya.
Sedangkan multikultural sendiri berasal dari
Gambar 1. Ulil Abshar Abdalla pada Forum kata multi (banyak/ beragam) dan kultural
Ngaji Online 1 (budaya/ kebudayaan) yang secara etimologi
Gambar tersebut diambil pada saat live berarti keberagaman budaya (Ali, 2011).
kajian kitab Misykat al-Anwar pada tanggal Negara Indonesia terbentuk dari
31 Agustus 2021 pukul 22.44. Sebanyak beragam kelompok dari mulai etnis, budaya,
1305 orang menyukai (like), 600 komentar suku, agama, bahasa, dan dalam dakwah
(feedback), serta 424 kali video tersebut antarbudaya keragaman merupakan
dibagikan oleh pengguna (user). Ulil membagi tantangan da’i agar mampu meramu pesan-
naskah kitab Misykat al-Anwar secara online pesan dakwah yang lebih bijaksana dengan
malalui form pdf. Artinya, dalam kasus mempertimbangkan kondisi budaya mad’u,
ngaji online Ulil, dakwah digital pada saat termasuk di dalamnya mengkondisikan cara-
yang bersamaan mampu merangkul animo cara dan media yang dianggap tepat dengan
khalayak dengan masif. Meskipun, ngaji ukuran budaya suatu masyarakat (Nawawi,
online seperti yang dilakukan oleh Ulil 2012).
sangat segmentatif, tidak semua orang dapat Dalam kaitannya dengan dakwah
mengikuti. multicultural, Masdar Hilmy berpandangan
Lev Monovich via Rustam Aji menyatakan bahwa adanya keberagaman budaya
bahwa era digital bukanlah digitalisasi konten merupakan kenyataan sosial yang sudah
media ke bit, melainkan kehidupan yang niscaya meskipun demikian hal itu tidak
dinamis dari “new media” isi dan hubungan secara otomatis penerimaan yang positif
interaktif dengan konsumen media itu pula (Mahfus, 2006). Dakwah multikultural
sendiri. Jadi, sirkulasi komunikasi melalui sejatinya berangkat dari pandangan klasik
media digital adalah melalui pengaksesannya dakwah kultural yakni pengakuan doktrinal
secara real time (kapan saja dengan mudah) Islam terhadap keabsahan eksistensi kultur
(Aji 2016). Sirkulasi ngaji online Ulil tersebut dan kearifan lokal yang tidak bertentanagan
dapat dilihat kapan saja dengan mudah. Kitab dengaan prinsip tauhid. Perbedaanya adalah
Misykat al-Anwar juga dapat diakses secara adalah dakwah multikultural berangkat
real time. Penyebaran dakwah menjadi efektif. lebih jauh dalam hal intensitas atau keluasan
Di sinilah insentif bagi pengguna media digital cakupan kulturnya. Dakwah Islam harus dapat
dalam konteks pemenuhan kebetuhan ilmu disampaikan lewat kompromi dengan budaya
dan pengetahuan agama. tertentu. Sehingga, pesan-pesan melalui
1 Gambar diunduh melalui laman Facebook Ulil dakwah multikultural dapat disampaikan
Abshar Abdalla, tanggal 31 Agustus 2021, pukul 22.44
WIB.

18 ICODEV: Indonesian Community Development Journal−Vol 2, No. 1 (2021)


Pengembangan Dakwah Multikultural di Era Digital

dalam situasi masyarakat yang plural, tanpa hari sudah mengatakan pentingnya sikap
melibatkan unsur monisme moral yang bisa toleran. Pengetahuan yang dimiliki, termasuk
merusak pluralitas budaya dan keyakinan di dalamnya pengetahuan tentang syari’at
itu sendiri (Zaprulkhan, 2017). Dakwah Islam, harus ditransformasikan ke dalam
multikultural adalah aktivitas menyeru sikap etis (Bertens, 1999). Seseorang yang
kepada jalan Allah melalui usaha-usaha belum memiliki sikap etis berarti belum
melalui karakter budaya suatu masyarakat mengetahui dan memahami apa yang
sebagai kunci utama untuk memberikan dimilikinya (pengetahuan). Oleh sebab itu,
pemahaman dan mengembangkan dakwah dakwah Islam harus bisa membuka wawasan
(Aripudin, 2011). umat Islam.
Dakwah Islam dengan formula Dalam syiar dakwah Islam, Nabi
mulikultural bertujuan untuk memanusiakan Muhammad Saw harus menjadi acuan.
manusia, kata K.H. A. Mustofa Bisri (Bisri, Fakhruddin al-Razi berpendapat bahwa:
2013). Sedangkan budaya, kata Haidar “Nabi Muhammad Saw diutus sebagai
Bagir adalah soal menjadi manusia; manusia rahmat bagi dunia dan agama. R a h -
mat bagi agama karena saat itu manusia
moral, manusia spiritual, manusia estetis, dalam kebodohan dan kesesatan ser-
dan manusia sadar-berpikir (Haidar Bagir, ta para ahli kitab bingung dengan urusan
2017). Artinya, dakwah harus bisa membawa agama mereka, maka Allah mengutus
Muhammad sebagai petunjuk jalan. Se-
ragam kebudayaan serta menginisiasinya dangkan rahmat bagi dunia menyebab-
sebagai maqasid al-syariah kepada seluruh kan manusia yang terbiasa berperang
meninggalkan perang” (Al-Razi, n.d.).
masyarakat. Dalam konteks inilah, dakwah
multilutural “diuji” ketahanan filosofi dan Membangun dakwah multikultural untuk
aksiologisnya. menciptakan perdamaian harus berdasarkan
konsep cinta kasih, toleransi, dan dialog
antar iman (A. Bisri, 2014). Sebagaiman
4. Pengembangan Dakwah
dikatakan Fethullah Gulen, dakwah tidak bisa
Multikultural di Era Digital
hanya sekedar mengandalkan tekstualitas,
Aktivitas Agama Islam diturunkan oleh melainkan gerakan. Gerakan ini menyesuaikan
Allah kepada umat manusia sebagai syari’at kondisi budaya, intelektual, ekonomi dan
yang bersifat rahmatan lil-’aalamiin. Dengan sosial suatu daerah. Di Indonesia banyak
sifatnya yang memberikan rahmat bagi alam gerakan dakwah yang mengedepankan cinta
semesta maka, Islam bersifat dan berlaku kasih, seperti gerakan Gusdurian. Gusdurian
universal. Universalisme ajaran Islam inilah, Surabaya misalnya, selalu mengedepankan
menurut Jailani, menjadikan ajarannya bisa dakwah perdamaian, toleransi dan kerukunan
tersebar dan diterima di seluruh penjuru antar umat bergama (A. Bisri, 2014).
dunia, termasuk Indonesia (Jailani, 2014).
Dalam konteks internasional,
Penyiaran Islam (dakwah) dewasa ini implementasi dakwah multikultrual pernah
harus disertai dengan argumentasi yang menemukan momentumnya saat Gus Yahya
mendukung prinsip toleransi, misalnya Cholil Tsaquf berpidato di depan “jamaah”
menggerakan seseorang untuk mengambil Yerusalem, terkait isu internasional Palestina
sikap toleran (Ihsani, 2020). Socrates jauh vs Israel. Potongan pidatonya berikut ini:

ICODEV: Indonesian Community Development Journal−Vol 2, No. 1 (2021) 19


Wahyu Budiantoro, Khafidhoh Dwi Saputri

“Izinkanlah saya mengatakan sesuatu Platform youtube menjadi media dakwah


yang semua orang sudah tahu tapi entah digital Habib Husein Jafar. Dalam gambar
kenapa enggan mengingatnya, apalagi
melaksanakannya. Bahwa keadilan bu- tersebut, beliau menggunakan pendekatan
kan hanya soal menuntut, tetapi, juga dialog dan tanya jawab, sebagaimana Nabi
soal memberi. Maka, keadilan tak mun-
gkin terwujud tanpa kasih sayang. Orang Muhammad Saw lakukan ketika berdakwah
yang tidak bersedia memberikan kasih dengan umat berbeda agama, bersama tokoh
sayang tidak mungkin mau mempersem- agama Buddha, Biksu Zhuan Ziu. Sebanyak
bahkan keadilan. Ini adalah ruh agama.
Ini adalah ruh iman.” 9500 orang menyukai (like) video tersebut.
Terdapat 1400 komentar netizen (dari
Pidato tersebut menggunakan prinsip
ragam budaya dan agama berbeda). Akun
kisah, nasihat dan cinta kasih. Sehingga,
“Noice” sendiri sudah di-subscribe sebanyak
nilai-nilai Islam rahmah dapat dibumikan
58.900 kali. Transmisi dakwah Habib Husein
di mana saja sebagai pedoman perdamaian.
Jafar dalam konteks ini sangat efektik untuk
Al-Qur’an mengajarkan damai dalam surat
menyampaikan wacana kemanusiaan dalam
ke 36 ayat 58: “Damai, demikianlah sapaan
hubungan antaragama dan antarbudaya.
dari Tuhanmu Yang Maha Penyayang kepada
Sebagaimana firman Allah Swt dalam Q.S.
mereka yang cinta damai.” Selain itu al-
al-Hujurat ayat 13: “kami jadikan manusia
Qur’an surat 7 ayat 199 juga mengatakan:
itu bersuku-suku, berbangsa-bangsa untuk
“Berikanlah pengampunan, bimbinglah kearah
saling mengenal satu sama lain.
kesepakatan (damai) dan jangan bodoh
(melawan kekerasan dengan kekerasan).” Dengan demikian, dakwah multikultural
adalah ikhtiar kolektif untuk mempertahankan
Dakwah harus membangun sensitifitas
dan menyuburkan nilai kemanusiaan
kemanusiaan, tidak radikal-konfrontatif.
universal. Sensitifitas kemanusiaan inilah
Sensitifitas di sini adalah membangun rasa
sebagai salah satu indikator Islam rahmatan
kebersamaan dala upaya menuju kebaikan
lil-’aalamiin. Karena, Allah SWT dan Nabi
bersama sebagai umat manusia. Terlepas
Saw selalu menyuruh umat manusia
dari perbedaan suku, ras, dan agama, setiap
untuk senantiasa hidup dalam kerukunan
individu diikat oleh hak-hak kemanusiaannya
(kesalehan sosial), bukan hanya kesalehan
(Dermawan, 2018).
ritual (formalisme syari’at).
Di Indonesia khususnya, sosok seperti
Habib Husein Jafar dapat menjadi contoh
praktik dakwah multikultural. PENUTUP
Dakwah multikultural menjadi pen-
dekatan yang penting dilakukan pada era
modern saat ini. Dakwah multikultural harus
mampu membuahkan rasa kemanusiaan.
Rasa kemanusiaan itu ditunjang oleh prinsip
toleransi, cinta kasih dan dialog antar iman.
Dakwah tidak boleh dilakukan dengan
“marah”, melainkan dengan sikap “ramah”.
Gambar 2. Podcast “Noice” Habib Husein Jafar2 internasional/20180612062434-120-305376/isi-
pidato-yahya-staquf-di-yerusalem-soal-israel-palestina.
2 Dikutip dari https://www.cnnindonesia.com/

20 ICODEV: Indonesian Community Development Journal−Vol 2, No. 1 (2021)


Pengembangan Dakwah Multikultural di Era Digital

Karena, sikap “ramah” itulah cerminan Bisri, Achmad. 2014. “Islam Rahmatan Li’l-
Islam rahmatan lil-’aalamin. Dakwah berarti Aalamin Sebagai Landasan Dakwah
mengajak, menyeru, sedangkan Islam Multikultural Persepektif Muhammad
berarti selamat maka, dakwah multikultural Fethullah Gulen”.” Walisongo 22(2).
meskipun beda suku, ras dan agama harus Budiantoro, Wahyu. 2017. “Dakwah Di Era
senantiasa menyeru dan mengajak manusia Digital.” Komunika 11, No. 2.
pada keselamatan.
Dermawan, Andy. 2018. “Konsep Dakwah
Di era digital seperti saat ini, upaya Perdamaian Di Era Kontemporer”.”
untuk mentransimikan pesan-pesan Jurnal Humanika 18(2).
kemanusiaan dalam logika agama lebih
Faisal, Sanipah. 2010. Format-Format
efektif. Platform seperti facebook, youtube,
Penelitian Sosial. Jakarta: Raja Grafindo
atau instagram memudahkan umat beragama
Persada.
saling mengenal secara virtual. Lebih penting
lagi, isu-isu perdamaian dunia, cinta kasih, Fakhruroji, Moch. 2010. “Dakwah Islam Dan
memanusiakan manusia jadi lebih membumi Inovasi Media: Peluang Dan Ancaman
dan diharapkan mampu dipraktikan dalam Media Global Atas Dakwah Islam”.”
kehidupan seluruh umat beragama. Komunika 4(1).
Haidar Bagir. 2017. Islam Tuhan Islam
Manusia. Bandung: Mizan.
DAFTAR PUSTAKA
Huda, Zainol. 2015. “Dakwah Multikultural
Aji, Rustam. 2016. “Digitalisasi, Era Tantangan
(Metode Dakwah Nabi Saw Kepada Umat
Media (Analisis Kritis Kesiapan Fakultas
Agama Lain)”.” Jurnal Religia 19(1).
Dakwah Dan Komunikasi Menyongsong
Era Digital.” Islamic Communication Ihsani, A. Fikri Amiruddin. 2020. Dakwah
Journal 01(01). Multikultural Gerakan Gusdurian
Surabaya”. Tesis. Surabaya: Pascasarjana
Al-Razi, Fakhruddin tt. Tafsir Al-Kabir, Jilid XI.
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel.
Beirtu: Dar al-Kutub.
Iswanto, Agus. 2018. “Membaca
Ali, Maksum. 2011. Pluralisme Dan
Kecenderungan Pemikiran Islam
Multikulturalisme. Malang: Aditya Media
Generasi Milenial Indonesia”.” Jurnal
Publishing.
Multikultural dan Multireligius 17.
Aripudin, Acep. 2011. Pengembangan Metode
Jailani, Imam Amrusi. 2014. “Dakwah
Dakwah. Jakarta: Raja GrafindoPersada.
Dan Pemahaman Islam Di Ranah
Basit, Abdul. 2021. Dakwah Milenial. Multikultural”.” Walisongo 22(2).
Banyumas: Wawasan Ilmu.
Mahfus, Choirul. 2006. Pendidikan
Bertens, Kees. 1999. Sejarah FIlsafat Yunani. Multikultural. Yogyakarta: Pustaka
Yogyakarta: Kanisius. Pelajar.
Bisri, A.Mustofa. 2013. Agama Anugerah, Makin, Al. 2016. Keberagamaan Dan
Agama Manusia. Rembang: Penerbit Perbedaan: Budaya Dan Agama Dalam
MataAir. Lintas Sejarah Manusia. Yogyakarta:
Suka Press.

ICODEV: Indonesian Community Development Journal−Vol 2, No. 1 (2021) 21


Wahyu Budiantoro, Khafidhoh Dwi Saputri

Marfu’ah, Usfiyatul. 2017. “Strategi Turhamun. 2016. “Dakwah Multikulturalisme


Komunikasi Dakwah Berbasis (Multikulturalisme Sebagai Realita
Multikultural”.” Islamic Comunication Dalam Dakwah)”.” Komunika 10(1).
Journal 2(2). https://doi.org/10.24090/komunika.
Math’ani, Abd al-‘Azim Ibrahim Muhammad. v10i1.870.
1993. Samahah Al-Islam Fi Al-Dakwah Ummah, Hidayatul, and Athik. 2020. “Dakwah
Ila Alah Wa Al-‘Alaqah Al-Insaniyyah Digital Dan Generasi Milenial (Menelisik
Manhajan Wa Sirah. Kairo: Maktabah Strategi Dakwah Komunitas Arus
Wahbah. Informasi Santri Nusantara)”.” Tasamuh
Munir, M, and Wahyu Ilahi. 2006. Manajemen 18(1).
Dakwah. Jakarta: Prenada Group. Zaprulkhan. 2017. “Dakwah Multikutural”.”
Nawawi. 2012. “Dakwah Dalam Masyrakat Mawa’iz: Jurnal Dakwah dan
Multikultural”.” Komunika 6. Pengembangan Sosial Keagamaan 8(1).

Qutb, Sayyid. 1976. Fi Zilal Al-Qur’an. Beirut:


Ihya’. Website:
Shihab, M.Quraish. 1994. Membumikan Al- https://www.cnnindonesia.com/internasion
Qur’an. Bandung: Mizan. al/20180612062434-120-305376/isi-
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif, pidato-yahya-staquf-di-yerusalem-soal-
Kualitatif Dan R&D. Bandung: Alfabeta. israel-palestina.

Suparta, Munzier dan Harjani Hefni. 2003.


Metode Dakwah. Jakarta: Rahmat
Semesta.

22 ICODEV: Indonesian Community Development Journal−Vol 2, No. 1 (2021)

Anda mungkin juga menyukai