Anda di halaman 1dari 5

2.

5 Body Without Organs

Terminologi ini pertama kali diadaptasi Deleuze dari Antonin Artaud, kemudian

dibuat sebagai cara untuk melepaskan diri dari psikoanalisis tradisional (pemikiran Freud dan

Lacan).1

Body without Organs dijelaskan dalam buku A Thousand Plateaus (ATP) sebagai

keadaan (state) yang hanya bisa dicapai melalui eksperimentasi. BwO dapat dikatakan sebagai

batas, atau kondisi maksimal ketika tubuh tidak lagi menjadi organisme – tubuh yang diatur,

yang berfungsi hanya dengan organ-organnya yang tunduk pada ketentuan medis.

Apakah sangat menyedihkan dan berbahaya jika muak dengan melihat dengan matamu,
bernafas dengan paru-parumu, menelan dengan mulutmu, berbicara dengan lidahmu, berpikir
dengan otakmu, memiliki anus dan laring, kepala dan kaki? Kenapa tidak berjalan dengan
kepalamu, bernyanyi dengan hidungmu, melihat dengan kulitmu, (…) 2

Cara kerja atau fungsi demikianlah yang penulis sebut dengan ketentuan medis, dan

bukan biologis. Kita perlu selalu mengingat bahwa Deleuze juga mengkaitkan salah satu jarring

laba-labanya pada biologi molekuler. BwO adalah pemberontakan dari tubuh yang

tersubjektivikasi, tubuh yang statis dan mati rasa. Melalui BwO, Deleuze ingin membangunkan

kemampuan tubuh untuk menangkap daya-daya, menjadi medan persilangan daya-daya virtual.

Contoh konkret dari keadaan BwO yang disebut dalam ATP adalah tari bali – dalam hemat

penulis yang dimaksud adalah tari kecak dimana penarinya melakukan atraksi-atraksi yang

secara akal sehat dapat mencelakainya, namun mereka tidak terluka sedikitpun.

1
Parr, Adrian, Ibid., hlm.37-38
2
Deleuze, Gilles, A Thousand Plateaus, hlm.150-151
Kembali pada Antonin Artaud, BwO lahir dari empirisme transendental Artaud yang

mempertanyakan oposisi antara yang ‘kodrati’ dan ‘kultural’ karena tubuh menjadi keduanya.

Tubuh menjadi tidak tergantikan dan impulsif, terpilah dan terhimpun, inheren dan asertif; tubuh

menjadi budayanya sendiri, melahirkan keasliannya sendiri (innateness).3 Bagaimana BwO ini

menjadi substansial dalam konsep estetika Deleuze akan dibahas pada bab III.

BAB III
Percept adalah sebuah pelarutan atau pelunturan ego di dalam sebuah karya, di mana tokoh larut

dalam lanskap ruang dan waktu. Konsep percept ini terkait erat dengan konsep subjektivitas

Deleuze dimana tidak ada “Aku” yang tetap pada subjek. Subjek hanyalah persilangan atau

himpunan (assemblage) dari garis-garis jiwa yang akan dijelaskan pada sub bab berikutnya.

Dalam pemahaman penulis, percept secara praktis adalah teknik yang digunakan untuk

menghasilkan affect.Teknik ini adalah teknik dimana penulis bergulat sedemikian rupa dengan

persepsi agar melampauinya dan menjadikannya percept. Bukan sebuah lembah dan horizonnya,

namun karakter khas dari sebuah lembah dan segala probabilitasnya. Bukan memori masa kecil

namun peristiwa kanak-kanak. Persepsi personal dilampaui sedemikian rupa hingga menjadi

latar atau nuansa yang bersifat impersonal. Bagi Deleuze, kita harus melihat dunia, bukan

sebagai sesuatu yang kita tahu lewat persepsi, tetapi sebagai sebuah ranah persepsi impersonal.

Manusia, sebagai subjek, selama ini selalu bertindak sebagai titik ada yang stabil atau sebuah

identitas yang bagaimanapun harus mengetahui atau melihat dunia luar. Keadaan itu selalu

3
Massumi, Brian, A Shock to Thought, hlm.89
Perlu diketahui bahwa BWO yang diajukan Antonin Artaud dan yang diajukan Deleuze-Guattari mungkin beririsan,
namun berbeda. Artaud, melalui BWO nya ingin membebaskan manusia dari politisasi tubuh, seperti pada kasus
hipokondria atau psikoanalisis Freud yang membuat salah satu organ sebagai simbol hasrat dan kondisi
kekurangan.
demikian adanya bahkan ketika ‘orang’ diintepretasi secara historis dan kultural, karena bahkan

dalam konteks ini sejarah dan budaya dianggap sebagai menjadi dari lelaki4

Percepts bukan lagi persepsi; percept tidak tergantung pada keadaan mereka yang

mengalaminya. Sebagaimana juga affect bukan lagi perasaan atau afeksi; affect melampaui

kekuatan mereka yang menjalani atau mengalaminya. Sensasi, percept, dan affect adalah ada

yang validitasnya terletak pada dirinya sendiri dan melampaui yang hidup (exceeds any lived).

Percept, affect, dan sensasi bisa dikatakan eksis dalam ketidakhadiran orang, karena begitu ia

tercerap dalam batu, pada kanvas, atau oleh kata-kata, dia sendiri adalah sehimpun percept dan

affect5. Hal ini dibahas oleh Deleuze dengan menelaah bagaimana Paul Cezanne mengkomposisi

lukisannya dengan percept.

Percept, ungkap Deleuze, memparafrase Cezanne, adalah lanskap dalam

ketidakhadiran manusia, kodrat inhuman dari lanskap, sementara affect menyingkap dirinya

sebagai zona material dari indeterminasi dan ketakrterbedaan (indiscernability); sebagai contoh,

antara manusia dan binatang.6 Enigma yang dihadapkan pada kita di sini adalah pada ‘logika

inderawi’ Cezanne: orang tidak hadir namun berada di dalam lanskap secara seluruhnya. Seni

Cezanne, seperti juga ditunjukkan oleh Merleau-Ponty (Le Doute de Cezanne), dibangun dari

usaha mencerap realitas tanpa meninggalkan sensasi, tanpa menanggalkan permukaan yang

secara estetis begitu merangsang (sensuous). Cezanne, oleh karena itu, mengambil jalan yang

lebih sulit dari musisi, karena yang spekulatif-pragmatis cenderung mendominasi penglihatan,

sementara yang pathic mendominasi dalam pendengaran: Aku menghadapi yang terlihat,

4
Colebrook, Claire, Giles Deleuze, hlm.139-140
5
Deleuze, Gilles, What is Philosophy?, hlm.164
6
Louis Schreel, The Work of Art as Monument: Deleuze and The Afterlife of Art
sementara yang nyaring mengelilingiku dan selalu mengandaikan partisipasiku, bahkan

menulariku.7

Untuk meraih lanskap dan agar visi lebur dalam ranah pathic, Cezanne harus

merobek percept dari persepsi benda-benda dan keadaan subjek yang melihat. Jika seni, bagi

Deleuze, ingin ‘menjadikan momen di dunia bertahan (durable) dalam dirinya sendiri, dibuat

eksis oleh dirinya sendiri’ (Gilles Deleuze, WP hlm.172), maka ini berarti bahwa seni

menghasilkan suatu momen ketika persepsi subjektif larut dalam apa yang dipersepsikan, maka

persepsi itu menaikkan daya hidup yang tidak terlihat8. Berkaitan dengan hal ini, dalam hemat

penulis, merupakan tugas seniman untuk membuat karya seni itu berdiri kokoh sebagai sebuah

singularitas yang tidak terpengaruh oleh berbagai hal, diantaranya adalah konteks waktu. Ketika

sebuah karya masih sangat terikat dengan relevansi waktu, maka yang hadir dalam karya itu

hanyalah objek-objek persepsi yang tidak bisa dilepaskan dari peristiwa yang terjadi saat itu.

Sementara percept menjadikan karya seni sebuah peristiwa itu sendiri. Ia ada pada dan untuk

dirinya sendiri dan tidak akan lekang dimakan waktu karena yang dihadirkan oleh karya seni

semacam ini adalah daya hidup dan bukan objek-objek kehidupan.

Pemaparan penulis diperkuat dengan argumen Deleuze bahwa karya seni, adalah

komponen sensasi yang tidak ditujukan pada apapun yang di luar dirinya – oleh karena itu karya

seni mengacu bukan pada tindakan penciptaan yang mendahuluinya dan tidak juga menceritakan

atau menggambarkan sejarah. Dalam What is Philosophy, dikatakan bahwa Seni bukanlah

sebuah alibi untuk sesuatu yang secara kronologis atau logis mendahuluinya, sesuatu yang

menggambarkan dan mewakilinya. Alih-alih menjadi seperti itu, seni menetapkan sesuatu yang

menjadi dapat dilewati hanya melalui karya seni itu sendiri, karya seni mengekspos kondisi
7
Louis Schreel, Ibid.
8
Louis Schreel, Ibid.
inhuman kehidupan dalam cara yang disiplin lain tidak bisa melakukannya: ‘untuk membuat

terlihat daya-daya yang tidak dapat dilihat, yang memenuhi dunia ini, mengenai atau

mempengaruhi kita, dan membuat kita menjadi’.9

Untuk menjelaskan lebih jauh tentang realitas karya seni ini, Deleuze membagi

dua jenis sensasi, ‘percept’ dan ‘affect’, yang secara eksplisit berlawanan dengan pembacaan

atau meditasi manusia. Percept bukanlah persepsi dari hal-hal yang terlihat, tetapi sensasi yang

dibuat terlihat atau, dalam kasus sastra, dapat dibaca (legible) dalam cara yang menggagalkan

jarak spekulatif atau pragmatis. Visi atau percept semacam inilah yang tertinggal ketika jarak

spekulatif ditanggalkan: kebetulan dengan sesuatu yang material yang hanya bisa dirasakan. 10

Yang dimaksud dengan jarak pragmatis dalam sastra, menurut penulis, adalah elemen-elemen

dalam sebuah karya sastra yang hanya bertujuan untuk membangun narasi cerita, seperti setting

geografis dan historis yang dibangun dalam tulisan agar pembaca memahami konteks sosial

historis dari cerita. Deleuze menantang pendekatan semacam ini.

9
Deleuze, Gilles, What is Philosophy?, hlm.182
10
Louis Schreel, Ibid.

Anda mungkin juga menyukai