Anda di halaman 1dari 9

JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN

VOLUME 12 No. 04 Desember l 2009 Halaman 209 - 217


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
Artikel Penelitian

EKSISTENSI UNIT PENGELOLA OBAT DI BEBERAPA KABUPATEN/KOTA


SUATU ANALISIS PASKA DESENTRALISASI
THE EXISTENCE OF DRUG MANAGEMENT UNIT IN SEVERAL DISTRICTS/CITIES AND ANALYSIS
AFTER THE DECENTRALIZATION

Max Joseph Herman, Rini Sasanti Handayani


Puslitbang Sistem dan Kebijakan Kesehatan,
Badan Litbangkes Departemen Kesehatan RI,
Jakarta

ABSTRACT planning and drug availability. More support and commitment


Background: Accessibility to essential drugs is a public right, from the district government is a must considering that regional
therefore it’s the government responsibility to make them development can not be separated from the health development
available. Previously before the era of regional autonomy, public of the subject themselves.
drug management in all districts/cities was performed by the
so-called District Pharmaceutical Warehouses (GFK). However, Keywords: decentralization, District Pharmaceutical
nowadays the situation has changed because of the difference Warehouse, public drugs, drug management
in vision and perception of each regional government on the
former warehouses. Some public drug management units in ABSTRAK
certain districts/cities are not functioning optimally. Inefficient Latar belakang: Akses kepada obat esensial adalah hak
drug procurement regarding the number and kind of drugs as masyarakat dan merupakan kewajiban pemerintah untuk
well as timeliness results in gap between drug need and menyediakannya. Sebelum otonomi daerah, fungsi pengelolaan
procurement. Furthermore, loosening in drug supply procedure obat di seluruh kabupaten/kota dilaksanakan oleh Gudang
makes essential drugs more unavailable to public. Farmasi Kabupaten (GFK) yang bertanggung jawab
On the other hand, decentralization policy in drug sepenuhnya atas kebutuhan obat di tingkat kabupaten/kota.
management also undeniably brings advantages to the districts, Hal tersebut, dewasa ini telah berubah akibat pengaruh visi
for example capacity building in drug procurement, increasing dan persepsi Pemerintah Daerah terhadap GFK yang
capability in budget management and negotiation with district bervariasi. Sebagian Unit Pengelola Obat dewasa ini kurang
decision makers as well as enhancing regional economic berfungsi, sehingga pengadaan obat menjadi tidak efisien dan
activity. In revitalizing district pharmaceutical warehouses so tidak sesuai dengan kebutuhan baik jumlah, jenis maupun
as to attain minimal health care standards in districts/cities, waktunya. Keadaan di atas ditambah dengan kelonggaran
baseline data in drug management and financing in several dalam prosedur suplai obat yang sebelumnya sudah baik
districts/cities should make a valuable contribution. sehingga mengakibatkan obat esensial semakin tidak terjangkau
Methods: A cross sectional descriptive study had been carried masyarakat.
out during July-December 2006 in 26 districts/cities out of 11 Tidak dapat dipungkiri bahwa desentralisasi membawa
provinces. Samples were 26 district health offices (Dinas beberapa keuntungan kepada daerah misalnya proses
Kesehatan Kabupaten/Kota) and 26 District Pharmaceutical pembelajaran dalam rangka peningkatan petugas terutama
Warehouses (GFK) where as respondents were head of drug dalam aspek pengadaan obat, meningkatkan kemampuan staf
section and head of warehousing respectively. Data were pengelolaan obat kabupaten/kota dalam hal penyusunan
collected by means of structured questionnaires and in-depth anggaran dan melakukan negosiasi dengan pemegang
interviews as well as the collection of secondary data of drug keputusan di tingkat kabupaten/kota, meningkatkan aktivitas
logistics. Qualitative and quantitative analysis was performed. perekonomian di daerah. Dalam upaya revitalisasi GFK untuk
Results: The study shows that: 1) although health budget in mencapai Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di
general had risen, the average percentage of drug budget Kabupaten/Kota dibutuhkan data dasar pengelolaan dan
allocation from 21 district health authorities was only 12.06%, pembiayaan obat yang ada di kabupaten/kota.
reflecting the low drug priority in district health policy because Metode: Penelitian deskriptif secara potong lintang dilakukan
drug expenditures may amount up to 40% of the total health dalam bulan Juli-Desember 2006 di 26 Kabupaten/Kota dari 11
budget. 2) Public drug management was mostly performed by Provinsi. Sampel adalah 26 Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
the so-called regional technical provider unit (UPTD) with some dan 26 GFK/Unit Pengelola Obat dan sebagai responden adalah
limitations concerning human resources and material in Kepala Seksi Obat, serta Kepala GFK/Unit Pengelola Obat. Data
achieving an effective and efficient drug management, and 3) dikumpulkan dengan cara wawancara mendalam dan
there was still lack of pharmacist assistants to manage drugs wawancara terstruktur dengan kepala seksi yang menangani
in primary health care (Puskesmas) up to 20% and even more bidang obat di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan pengelola
piteously the lack of pharmacist in district drug management obat di Unit Pengelola Obat serta pengumpulan data sekunder
unit (GF/UPOP Kabupaten/Kota, 12,5%). tentang penerimaan, penggunaan obat untuk mengukur indikator
Conclusions: Apart from the achievement of predetermined pengelolaan obat. Analisis data secara kualitatif dan kuantitatif.
indicators stated in minimal health care standards in districts/ Hasil: Hasil analisis menunjukkan bahwa, 1) meskipun
cities, especially regarding essential and generic drugs, drug anggaran kesehatan pada umumnya telah meningkat, rata-
management in general has been well performed concerning rata persentase alokasi anggaran obat dari 21 Dinas Kesehatan

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 4 Desember 2009 l 209
Max Joseph Herman, dkk.: Eksistensi Unit Pengelola Obat ...

Kabupaten/Kota hanya 12,06% yang mencerminkan rendahnya pokok dan fungsi pengelolaan obat di bawah seksi.
prioritas obat dalam kebijakan kesehatan kabupaten/kota karena Ada pula yang menempatkannya di bawah
pengeluaran untuk obat bisa mencapai 40% dari total anggaran
kesehatan, 2) sebagian besar pengelolaan obat publik dilakukan Puskesmas kecamatan. Beberapa kabupaten ada
oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) dengan keterbatasan yang mengakomodasinya sebagai Unit Pelaksana
sumber daya untuk mencapai pengelolaan obat yang efektif Teknis Daerah (UPTD) dan bahkan masih ada yang
dan efisien, dan 3) masih ada kekurangan asisten apoteker belum/tidak jelas statusnya dalam struktur
sebagai pengelola obat di Puskesmas hingga mencapai 20%
dan bahkan kekosongan tenaga apoteker di Unit Pengelola organisasi Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Di
Obat kabupaten/kota. masa mendatang dirasa penting untuk lebih
Kesimpulan: Terlepas dari pencapaian standar pelayanan mengedepankan fungsi dan struktur Unit Pengelola
kesehatan minimal di kabupaten/kota, secara umum Obat Kabupaten/kota.
pengelolaan obat telah berjalan dengan baik berkaitan dengan
perencanaan dan ketersediaan obat. Dukungan dan komitmen Beberapa daerah yang mempunyai kedekatan
pemerintah daerah mutlak dibutuhkan karena pembangunan dengan sarana distribusi dan produksi seperti di
daerah tidak dapat dipisahkan dari pembangunan kesehatan Pulau Jawa merasa lebih senang melakukan
daerah itu sendiri. pengadaan ini secara mandiri. Tidak dapat dipungkiri
Kata kunci: desentralisasi, Gudang Farmasi Kabupaten, obat bahwa desentralisasi selain mempunyai dampak
publik, pengelolaan obat negatif ketidakjelasan terhadap kedudukan GFK,
pengelolaan obat secara mandiri membawa beberapa
PENGANTAR keuntungan kepada daerah, misalnya proses
Demi terwujudnya ketersediaan dan pembelajaran dalam rangka peningkatan
keterjangkauan obat, pemerintah pada tahun 2005 kemampuan petugas terutama dalam aspek
telah merevisi Kebijakan Obat Nasional (Konas) 1983 pengadaan obat, penyusunan anggaran dan
menjadi Konas 2005 (Permenkes No.189/20061) negosiasi dengan pemegang keputusan di tingkat
yang merupakan dokumen resmi komitmen semua kabupaten/kota, serta meningkatkan aktivitas
pihak baik pusat, provinsi maupun kabupaten/kota perekonomian di daerah terutama dari aspek obat.
dalam menetapkan tujuan dan sasaran nasional Dalam mendukung upaya revitalisasi Unit
dibidang obat beserta prioritasnya. Kebijakan Obat Pengelola Obat/GFK untuk mencapai Standar
Nasional (Konas) menggariskan strategi dan peran Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan di
berbagai pihak dalam penerapan komponen- Kabupaten/Kota (Keputusan Menteri Kesehatan/
komponen pokok kebijakan untuk pencapaian tujuan Kepmenkes No.1457/2003 3) dibutuhkan studi
pembangunan kesehatan. tentang analisis eksistensi Unit Pengelola Obat di
Sebelum otonomi daerah, fungsi pengelolaan kabupaten/kota.
obat di seluruh kabupaten/kota dilaksanakan oleh
Gudang Farmasi Kabupaten (GFK) yang BAHAN DAN CARA PENELITIAN
bertanggung jawab sepenuhnya atas kebutuhan obat Penelitian deskriptif secara potong lintang
ditingkat kabupaten/kota. Pengadaan obat dilakukan dilakukan dalam bulan Juli-Desember 2006 di 11
oleh pemerintah pusat dalam hal ini Departemen provinsi yaitu DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa
Kesehatan, sedangkan setelah desentralisasi Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat,
pengadaan obat dilakukan oleh daerah masing- Sulawesi Tenggara, Kalimantan Selatan, Sumatera
masing yaitu Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota Utara, Kepulauan Riau dengan 26 Kabupaten/Kota
(Undang-Undang/UU No.32/20042). Hal tersebut yaitu Jakarta Pusat dan Timur, Kota Tangerang,
dewasa ini telah berubah akibat pengaruh visi dan Kabupaten Tangerang dan Serang, Kota Bandung,
persepsi Pemerintah Daerah terhadap GFK yang Kabupaten Bandung dan Subang, Kota Semarang,
bervariasi. Pengaruh ini tampak pula pada keadaan Kabupaten Semarang dan Temanggung, Kota
Unit Pengelola Obat/GFK yang sebelumnya telah Surabaya, Kabupaten Gresik dan Mojokerto, Kota
dikembangkan disetiap kabupaten/kota dan Denpasar dan Kabupaten Badung, Kota Mataram
dilengkapi dengan sistem informasi yang dapat dan Kabupaten Lombok Barat, Kota Kendari dan
diandalkan, serta sumber daya manusia yang telah Kabupaten Konawe Selatan, Kota Banjarmasin dan
terlatih. Kabupaten Banjar, Kota Tanjung Pinang dan Kota
Tiap daerah mempunyai kebutuhan lokal Batam, serta Kota Medan dan Kabupaten Serdang
spesifik yang beragam antar kabupaten/kota, Bedagai.
sehingga kedudukan Unit Pengelola Obat/GFK Sampel adalah 26 Dinas Kesehatan Kabupaten/
menjadi tidak jelas serta tugas pokok dan fungsinya Kota, 26 GFK/Unit Pengelola Obat dan sebagai
diterapkan di kabupaten/kota secara beragam. responden Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota adalah
Beberapa kabupaten/kota menempatkan tugas Kepala Seksi Obat, Responden GFK adalah Kepala

210 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 4 Desember 2009
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

GFK/Unit Pengelola Obat. Data dikumpulkan dengan Organisasi dan Tata Kerja Gudang Perbekalan
cara wawancara mendalam dan wawancara Kesehatan di bidang farmasi di kabupaten/kota5 dan
terstruktur dengan Kepala Seksi yang menangani setelah desentralisasi kedudukan GFK menjadi
bidang obat di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan bermacam-macam tergantung visi dan persepsi
pengelola obat di Unit Pengelola Obat, serta pemerintah daerah masing-masing.
pengumpulan data sekunder tentang penerimaan,
penggunaan obat untuk mengukur indikator 1. Kedudukan Unit Pengelola Obat
pengelolaan obat. Pengukuran indikator berdasarkan Hasil survei di 24 kabupaten/kota tentang
Pedoman Supervisi dan Evaluasi Obat Publik dan karakteristik Unit Pengelola Obat menunjukkan bahwa
Perbekalan Kesehatan.4 sebagian besar (61,54%) status pengelola obat di
Adapun indikator yang diukur meliputi antara kabupaten/kota adalah UPTD. Jumlah Puskesmas
lain persentase kesesuaian obat dengan DOEN, obat yang dilayani antara 1-30 Puskesmas (66,7%),
generik dan pola penyakit, waktu tunggu kedatangan sedangkan persentase Unit Pengelola Obat dengan
obat, persentase jenis obat dengan stok tetap hanya 1 orang apoteker terbesar (54,2%) dan asisten
selama 6 bulan, persentase simpangan jumlah obat apoteker 1-3 orang (66,6%). Adanya kekosongan
didistribusikan, tingkat ketersediaan obat rata-rata, apoteker maupun asisten apoteker di Unit Pengelola
persentase obat dengan kecukupan aman, rata-rata Obat Kabupaten/Kota tentunya merupakan hal yang
bobot variasi sediaan, ketepatan perencanaan, rata- menyedihkan dan sekaligus menunjukkan kurangnya
rata hari kosong obat dalam 1 tahun, rata-rata waktu atau kurang meratanya distribusi tenaga farmasi di
kosong obat, obat yang kadaluarsa, nilai obat yang kabupaten/kota (Tabel 1).
kadaluarsa, obat yang rusak dan nilai obat yang Kedudukan UPTD setara dengan eselon IV di
rusak. Analisis data secara kualitatif dan kuantitatif. lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Sebagai Kepala UPTD adalah seorang apoteker
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN dengan pangkat paling rendah III C. Selebihnya
Analisis eksistensi Unit Pengelola Obat setelah (23,08%) menyatakan bahwa GFK menjadi Seksi
desentralisasi di beberapa kabupaten/kota Farmasi di Dinas Kesehatan dan 7,69% sampai saat
mempunyai beberapa keterbatasan seperti ini struktur organisasi GFK masih belum ditetapkan.
pengumpulan data secara potong lintang sehingga Pengelolaan obat juga dilakukan oleh Puskesmas
jawaban responden dipengaruhi oleh kondisinya saat kecamatan di dua kota.
wawancara, kemampuan, sikap dan perilaku Seluruh responden berpendapat bahwa sesuai
pewawancara, kelengkapan data sekunder yang dengan tugas dan fungsi Unit Pengelola Obat, maka
berbeda-beda antar kabupaten/kota, serta dari 26 sebaiknya Unit Pengelola Obat harus berkedudukan
Dinas Keseahatan Kabupaten/Kota dan 26 Unit sebagai UPTD yang bertanggung jawab langsung
Pengelola Obat yang direncanakan hanya 22 Dinas kepada Kepala Dinas Kesehatan, selain itu jumlah
Kesehatan Kabupaten/Kota dan 24 Unit Pengelola Sumber Daya Manusia (SDM) di Unit Pengelola Obat
Obat yang bersedia diwawancarai. minimum tiga orang.
Sebelum era desentralisasi Unit Pengelola Obat Beberapa kabupaten/kota yang belum
di kabupaten/kota berupa GFK sesuai Kepmenkes menetapkan struktur organisasi Unit Pengelola Obat
RI No. 610/Menkes/SK/XI/81 tahun 1981 tentang menyatakan bahwa dalam waktu dekat akan

Tabel 1. Pengumpulan Data

! " !
!

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 4 Desember 2009 l 211
Max Joseph Herman, dkk.: Eksistensi Unit Pengelola Obat ...

menetapkan struktur tersebut dan akan disesuaikan 2. Sumber Daya Manusia, Sarana dan
dengan tugas serta fungsi yang diemban oleh Unit Prasarana Unit Pengelola Obat
Pengelola Obat selama ini. Sebagian responden (37,5%) merasakan bahwa
Pada umumnya pengadaan obat dilakukan oleh SDM di Unit Pengelola Obat belum mencukupi
bagian pengadaan dari Dinas Keseahatan seperti halnya sarana yang ada. Lebih dari separuh
Kabupaten/kota. Hanya sebagian saja yang responden menyatakan SDM dan sarana di Unit
dilakukan oleh UPTD/Seksi Farmasi yaitu 4 UPTD Pengelola Obat telah cukup (tidak ada keluhan).
dan 2 Seksi Farmasi. Tabel 2 menunjukkan bahwa Sebagian besar (66,67%) Unit Pengelola Obat
meskipun struktur organisasi Unit Pengelola Obat mengeluhkan tentang ketidakcukupan prasarana
berbeda yaitu UPTD maupun seksi farmasi, tetapi yang ada.
pada hakekatnya tugas, fungsi dan wewenang tidak Pendapat tentang kecukupan SDM, sarana dan
ada perbedaannya.6 prasarana yang dimiliki Unit Pengelola Obat terurai
dalam Tabel 3.

Tabel 2. Distribusi Unit Pengelola Obat di Kabupaten/Kota Berdasarkan Status,


Jumlah Puskesmas yang Dilayani, Jumlah Apoteker dan Asisten Apoteker Tahun 2005

! "#
$ %
$ %

& " "#


& " $
& !" $ %
! & " "#
' " !
!"
# $
!
( !
( "
! ( #!
!"
# # $

( !
( % !$
! (
(
' ( "
!"
Keterangan: * dua Unit Pengelola Obat kabupaten/kota tidak bersedia
diwawancara

Tabel 3. Tugas dan Fungsi Unit Pengelola Obat di Kabupaten/Kota (n = 24)


& '
& $ (
) *
( ) )

) *
! /
+ , (
- (( ( !
*
, .
. . / /

212 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 4 Desember 2009
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Tabel 4. Kecukupan Sumber Daya Manusia, Sarana dan Prasarana (n=24)

3. Mekanisme Perencanaan, Pengadaan, dan bahwa disetiap dinas mempunyai Panitia Anggaran
Distribusi Obat Eksekutif-Legislatif. Panitia ini bertugas untuk
Sebelum era desentralisasi perencanaan dan membahas dan menetapkan anggaran kabupaten/
pengadaan obat dilakukan oleh pemerintah pusat kota setempat, dengan mempertimbangkan usul dan
yaitu Departemen Kesehatan. Unit Pengelola Obat prioritas kegiatan/program, bersama dengan Bagian
yang waktu itu dilakukan oleh GFK hanya menerima, Perencanaan setiap dinas di kabupaten/kota. Salah
menyimpan dan mendistribusikan ke Puskesmas. satu kebijakan yang dianut oleh setiap Dinas
Setelah desentralisasi penyusunan perencanaan Kesehatan Kabupaten/Kota adalah memperhatikan
obat setiap tahunnya dilaksanakan oleh Unit urutan prioritas program atau kegiatan masing-
Pengelola Obat/GFK bersama dengan Badan masing. Selanjutnya anggaran yang telah disusun,
Perencanaan Daerah (Bapeda), dan diadvokasikan disampaikan kepada Pemerintah Daerah untuk
melalui suatu pertemuan dengan Bupati dan DPRD ditetapkan lebih lanjut dengan persetujuan DPRD II.
setempat. Pada proses advokasi dilakukan Hal yang menarik ada satu Dinas Kesehatan
presentasi mengenai kebutuhan obat untuk tahun Kabupaten yang dalam menetapkan anggaran selalu
mendatang, dimulai dari penyusunan perencanaan, memperhatikan visi-misi Dinas Kesehatan tersebut.
sampai dengan pengadaan obat. Dalam pertemuan Advokasi penyediaan anggaran kepada
advokasi ini pada umumnya dihadiri oleh Dinas Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota pada umumnya
Kesehatan Kabupaten/Kota, Pemerintah Daerah dilakukan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/
setempat dan DPRD II. Bila sudah mendapat Kota atau wakilnya dengan memaparkan gambaran
persetujuan, pengadaan biasanya dilakukan oleh status kesehatan masyarakat, masalah-masalah dan
bagian pengadaan Dinas Kesehatan Kabupaten/ cara mengatasinya, serta menjelaskan standar
Kota, hanya sebagian saja (6 kabupaten/kota) yang pelayanan minimal yang harus dikerjakan oleh
dilakukan oleh Unit Pengelola Obat (Tabel 2). kabupaten/kota melalui forum komunikasi terutama
Sementara penyimpanan dan distribusi dilaksanakan dengan Bupati, Sekretaris Daerah, Bapeda,
oleh Unit Pengelola Obat. Pemerintah Daerah, Pengendalian Program dan
Beberapa Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota DPRD.
menyatakan bahwa melalui advokasi anggaran Selanjutnya disampaikan kebutuhan obat
kesehatan termasuk obat dapat diusulkan untuk berdasarkan jenis penyakit yang ada dan prediksi
ditingkatkan. Dengan demikian, kebutuhan obat baik penyakit yang mungkin timbul di masa yang akan
jenis maupun jumlahnya dapat tercukupi. Jenis obat datang serta hasil evaluasi tahun lalu tentang
yang disusun dalam perencanaan adalah obat kecukupan obat sebagai dasar penambahan obat
esensial untuk keperluan pengobatan sepuluh untuk tahun mendatang, terutama untuk pelayanan
penyakit terbanyak di daerah tersebut dan sesuai masyarakat miskin.
dengan Standar Pengobatan Dasar Puskesmas. Proses pengadaan obat dilakukan melalui
Untuk keperluan buffer stock obat bisa diperoleh perencanaan secara bottom up dari Puskesmas
dari provinsi. Ada daerah yang memberi wewenang setiap setahun sekali. Perencanaan kebutuhan obat
kepada Puskesmas untuk mengadakan obat sendiri disusun oleh tim perencanaan obat terpadu yang
(swadana), sehingga bisa meningkatkan kesesuaian anggotanya terdiri dari Kepala Unit Pengelola Obat,
dengan kebutuhan. Selain anggaran obat yang Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan
disediakan dalam APBD II, anggaran obat berasal Kabupaten/Kota, Puskesmas-Puskesmas dan lintas
dari Askes, Askeskin dan buffer stock dari provinsi sektor yaitu Bapeda dan Bidang Hukum.
melalui APBD I walaupun kadang-kadang jumlahnya Rekapitulasi perencanaan kebutuhan obat dihitung
terbatas. dengan metoda konsumsi dan epidemiologi dengan
Advokasi penyediaan anggaran kepada memperhatikan stok/persediaan yang masih ada di
Pemerintah Daerah setempat dilaksanakan Unit Pengelola Obat dan Puskesmas, kemudian
berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri diserahkan kepada Tim Pengadaan Obat untuk
(Permendagri) No. 13/ 20067 yang menyatakan dilaksanakan tender. Selanjutnya pengadaan obat

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 4 Desember 2009 l 213
Max Joseph Herman, dkk.: Eksistensi Unit Pengelola Obat ...

pada umumnya dilakukan secara tender. Tender distribusi ke kecamatan yang terpencil. Pencatatan
dilakukan satu kali dalam setahun dengan jumlah permintaan obat dan pelaporannya tiap bulan untuk
pembanding sebanyak tiga rekanan/distributor obat seluruh kabupaten/kota menggunakan suatu
yang telah lulus dalam seleksi, baik kelengkapan Formulir LPLPO.
administrasinya maupun kualifikasi obat, serta harga
yang bersaing. 4. Manajemen Mutu
Setelah obat yang dipesan datang, diterima Secara umum di seluruh Dinas Kesehatan
panitia penerima obat sesuai dengan persyaratan Kabupaten/Kota yang terpilih tidak memiliki peraturan
teknis dan ketentuan pada kontrak, dicatat dan daerah yang mengatur tentang Unit Pengelola Obat
disimpan sesuai dengan peraturan penyimpanan dan Tatacara Pelaksanaan Standar Pelayanan
(obat dalam, obat luar, menggunakan lemari es, di Minimal (SPM) Bidang Kesehatan, terutama tentang
ruang ber-AC) untuk kemudian didistribusikan ke obat. Dikatakan bahwa Peraturan Daerah SPM
Puskesmas-Puskesmas setiap 1 atau 3 bulan sekali Bidang Kesehatan yang berlaku mengacu kepada
yang dihitung sesuai dengan kebutuhan Puskesmas Peraturan tentang SPM Departemen Kesehatan dan
yang bersangkutan. Pencatatan dan pelaporan Kepmenkes No. 1202/Menkes/SU/VIII/2003 tentang
dilaksanakan dengan menggunakan Formulir Indikator Sehat 2010, serta beberapa Peraturan
Lembar Permintaan dan Lembar Penggunaan Obat Bupati setempat; antara lain di salah satu kabupaten
(LPLPO). tentang Tupoksi GFK: Instalasi farmasi dan Alat
Sebagai dasar penentuan jenis obat adalah obat Kesehatan SK Bupati No. 1302/088/2001, Peraturan
sangat esensial dan esensial dalam bentuk generik Daerah No. 41/2004 tentang Dinas Kesehatan
untuk 10 jenis penyakit utama. Untuk obat yang Daerah, UPT Dinas Keseahatan Kabupaten dan
dibutuhkan tetapi tidak ada generiknya, diadakan SPM tentang obat dijabarkan dalam Renstra Dinas
obat dengan merek dagang tertentu yang harganya Kesehatan Kabupaten.
terjangkau di salah satu kota. Selain itu dikatakan Dalam hal ini tidak diperoleh keterangan dari
juga bahwa dasar penentuan jenis obat sesuai Kabupaten/Kota yang terpilih lainnya. Pembinaan
dengan SK MenKes RI tentang pengadaan obat dan supervisi baik oleh Pusat maupun oleh Dinas
Pelayanan Kesehatan Dasar.6 Penentuan jumlah Kesehatan Provinsi sampai tahun 2006 belum pernah
obat berdasarkan pola konsumsi, yaitu 12 bulan x dilakukan. Atas inisiatif sendiri dalam hal ini satu
pemakaian rata-rata + buffer stock atau kurang lebih Dinas Kesehatan Kabupaten pada pertengahan
18 bulan x pemakaian rata-rata, sedangkan tahun 2004 telah mengundang narasumber dari pusat
penentuan pabrikan kelengkapan persyaratan untuk mengadakan pelatihan manajemen obat di
administrasi (terdaftar di Departemen Kesehatan/ kabupaten.
Badan POM, mempunyai sertifikat CPOB, produk Berbagai indikator pengelolaan obat yang dicapai
generik, dan lain-lain. Selain itu, juga dikatakan oleh pada Unit Pengelola Obat Kabupaten/Kota dapat
sebagian responden bahwa penentuan pabrikan tidak dilihat pada Tabel 4. Dari 16 UPTD rata-rata
dinyatakan secara eksplisit, namun harus memenuhi persentase kesesuaian jenis obat dengan Daftar
dokumen tender. Obat Esensial Nasional (DOEN), obat generik dan
Pada umumnya pemenang tender adalah pola penyakit berturut-turut adalah 86,04, 83,40,
rekanan/distributor suatu pabrik farmasi Badan dan 121,50. Adapun dari 6 Seksi Farmasi berturut-
Usaha Milik Negara (BUMN). Dengan demikian, jenis turut 88,04; 87,74; 214,70. Waktu tunggu
obat yang ditawarkan juga merupakan produk pabrik kedatangan obat di 16 UPTD rata-rata 4,28 bulan
farmasi BUMN, namun dalam proses penyerahannya dan rata-rata persentase jenis obat dengan stok tetap
jenis obat kadang-kadang tidak sesuai dengan 6 bulan terakhir 5,36%, sedangkan di 6 Seksi
permintaan. Farmasi 3,50 dan 4,55. Persentase penyimpangan
Proses distribusi obat ke Puskesmas dilakukan jumlah obat yang didistribusikan mencapai 100,0%
tiap bulan berdasarkan permintaan Puskesmas. dengan rata-rata 50,04% untuk 16 UPTD dan 83,98
Hanya ada satu kota yang permintaannya dilakukan dan 45,86 untuk 6 Seksi Farmasi. Tingkat
tiap triwulan. Apabila terjadi kekurangan obat di suatu ketersediaan obat rata-rata di 16 UPTD mencapai
Puskesmas, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota 18 bulan lebih dengan rata-rata persentase obat
dapat memenuhi permintaan kekosongan obat dengan kecukupan aman sebesar 78,80%, serta
tersebut kepada Puskesmas yang bersangkutan rerata dari persentase rata-rata variasi bobot
melalui nota dinas yang dikemudian hari akan persediaan 13,44%. Untuk Seksi Farmasi tingkat
merupakan bagian permintaan berikutnya. Hal ini ketersediaan obat rata-rata hampir 22 bulan, dengan
sering dilakukan di salah satu kabupaten, terutama rata-rata persentase obat dengan kecukupan aman

214 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 4 Desember 2009
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

sebesar 76,53 serta rerata dari persentase rata-rata kesesuaian obat dengan DOEN dan obat generik.
variasi bobot persediaan 0,00. Secara umum pengelolaan obat dalam hal
Dalam hal perencanaan rata-rata ketepatan perencanaan di UPTD lebih baik dari pada di Seksi
hanya 94,75% dengan rata-rata hari kosong obat Farmasi, sedangkan mengenai kecukupan obat
dalam setahun selama 25 hari dan persentase waktu sudah mencukupi baik di UPTD maupun di Seksi
kosong obat rata-rata 6,78% untuk 16 UPTD dan 16 Farmasi.
hari dan 4,48% untuk 6 Seksi Farmasi. Rata-rata
persentase obat yang kadaluarsa tidak besar 5. Kendala Dalam Pengelolaan Obat
(11,59%) dengan nilai rata-rata Rp3.562.172 untuk Masalah atau kendala dalam pengadaan obat
16 UPTD, sedangkan rata-rata persentase obat yang meliputi kekurangan obat pada awal tahun yang
kadaluarsa dan nilai rata-rata obat kadaluarsa untuk sangat terasa sebelum pesanan obat datang,
6 Seksi Farmasi lebih besar yaitu 16,64% dengan kekurangan obat jenis tertentu karena adanya
nilai rata-rata Rp11.815.334. Untuk obat yang rusak peningkatan kebutuhan dibanding tahun sebelumnya
4,28% dengan nilai rata-rata Rp1.573.441 (UPTD) akibat wabah penyakit, adanya obat yang hampir
dan 4,72% dengan nilai rata-rata Rp24.408.044 kadaluarsa karena dikirim tanpa adanya
(Seksi Farmasi). (Tabel 5). perencanaan yang baik yaitu pada masa pengalihan
Bila dilihat dari keberadaan obat kadaluarsa dan subsidi bahan bakar minyak ke subsidi obat tahun
obat rusak dari 16 UPTD, pada 4 UPTD (25%) 2001-2002. Demikian pula obat Program Jaminan
ditemukan adanya obat kadaluarsa dan pada 6 UPTD Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin
(27,5%) ditemukan obat rusak. Adapun dari 6 Seksi (PJPKMM) tahun 2005 baru datang bulan Desember
Farmasi 3 (50%) di antaranya ditemukan obat 2005 dan tidak sesuai dengan jumlah keluarga miskin
kadaluarsa dan obat rusak. Hal ini menunjukkan setempat, sehingga pelayanan kepada masyarakat
adanya indikasi bahwa perencanaan di UPTD pada miskin terhambat. Masalah lain menyangkut tenaga
umumnya lebih baik dari pada di Seksi Farmasi teknis di Unit Pengelola Obat yang pada saat ini
(Tabel 6). sangat terbatas serta pendidikan SDM tersebut tidak
Jadi dapat disimpulkan bahwa Unit Pengelola sesuai dengan tugas dan fungsi Unit Pengelola Obat.
Obat belum memenuhi persyaratan indikator SPM3 Dalam menghadapi masalah tersebut di atas,
bidang kesehatan tentang obat seperti terlihat dari beberapa alternatif telah dilakukan seperti:

Tabel 5. Gambaran Indikator Pengelolaan Obat di Unit Pengelola Obat Kabupaten/Kota

Tabel 6. Distribusi Unit Pelayanan dengan


Obat Kadaluarsa dan Obat Rusak

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 4 Desember 2009 l 215
Max Joseph Herman, dkk.: Eksistensi Unit Pengelola Obat ...

pengadaan sendiri oleh Puskesmas dari anggaran dari anggaran daerah sehingga lebih cepat turun,
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah II atau peningkatan sumber daya manusia daerah dalam
Asuransi Kesehatan untuk mengatasi kekurangan mengelola obat. Sebaliknya dampak negatif yang
obat pada awal tahun dan untuk mengatasi timbul antara lain birokrasi panjang karena harus lewat
penumpukan obat di Puskesmas, serta pemanfaatan Dinas Keseahatan, Pemerintah Daerah dan disahkan
obat yang mendekati kadaluarsa, maka obat tersebut oleh DPRD, anggaran obat lebih kecil, biaya
dikirim ke rumah sakit pemerintah agar dapat pemeliharaan gudang dan biaya operasional kurang
digunakan oleh pasien secepat mungkin atas dasar memadai, dana operasional dari Dinas Keseahatan
surat Keputusan Walikota. yang jumlahnya terbatas dan tidak dikelola sendiri,
Alokasi obat PJPKMM yang tidak sesuai obat yang disediakan tidak sesuai dengan daftar obat
dengan kebutuhan diatasi dengan penyusunan data pelayanan kesehatan dasar.
alokasi yang sebenarnya dan telah dikirim ke tim
JPKMM dan untuk mengatasi SDM yang terbatas KESIMPULAN DAN SARAN
serta pendidikannya tidak sesuai, diperlukan Kesimpulan
pengawasan yang ketat terhadap cara kerja mereka, Tanggung jawab Unit Pengelola Obat setelah
di samping mendapatkan pelatihan secukupnya. desentralisasi lebih besar dan berbeda antar daerah.
Kendala yang dihadapi dalam mencapai target Sebelum desentralisasi hanya bertugas sebagai
yang ditetapkan dalam SPM, dikemukakan sebagai penerima, menyimpan dan mendistribusikan ke
berikut: di beberapa kabupaten/kota mengeluhkan Puskesmas, saat ini juga meliputi perencanaan
sulitnya mendapatkan beberapa jenis obat tertentu bahkan di sebagian kabupaten/kota juga melakukan
yang harganya murah dan hanya dibutuhkan dalam pengadaan obat. Karena perencanaan dan
jumlah sedikit misalnya asetosal, retinol, ekstrak pengadaan dilakukan sendiri maka kebutuhan obat
belladona. Jumlah nominal rupiah yang sangat kecil baik jenis dan jumlahnya dapat tercukupi. Meskipun
menyebabkan para suplier kurang berminat untuk demikian, sesuai dengan tugas dan fungsi Unit
melayani. Hambatan lain yang sering dialami adalah Pengelola Obat, semua responden berpendapat
kurangnya obat kusta dan filariasis yang diperoleh sebaiknya Unit Pengelola Obat berkedudukan
dari Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan sebagai UPTD yang bertanggung jawab langsung
Penyehatan Lingkungan (Dit.Jen P2-PL). ke Kepala Dinas Kesehatan.
Daerah tidak memiliki peraturan daerah yang
6. Dampak Positif dan Negatif Desentralisasi mengatur tentang SPM Bidang Kesehatan terutama
Menurut Pengelola Obat tentang obat, tetapi mengacu pada Peraturan Menteri
Dampak positif desentralisasi pengelolaan obat Kesehatan tentang SPM, serta tidak ada pembinaan
(Tabel 7) antara lain daerah dapat merencanakan dan supervisi baik oleh Departemen Kesehatan atau
dan mengadakan obat sesuai kondisi setempat / Dinas Kesehatan Provinsi.
kebutuhan dan ketersediaan obat lebih terjangkau, Unit Pengelola Obat belum memenuhi
advokasi/usulan kebutuhan lebih mudah karena persyaratan indikator SPM bidang kesehatan
karena tidak perlu ke pusat, biaya pengadaan obat tentang obat seperti terlihat dari kesesuaian obat

Tabel 7. Dampak Positif dan Negatif Pengelelolaan Obat di Kabupaten/Kota Setelah Desentralisasi

-
2
3 8 )
% *
" &
*
% 9 *
3 *
% +
(
: (
; &
# &

&
&
4 : &

216 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 4 Desember 2009
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

dengan DOEN dan obat generik. Secara umum baru. Peremajaan atau pengadaan sarana dan
pengelolaan obat dalam hal perencanaan di UPTD prasarana pengelolaan obat untuk mendukung
lebih baik daripada seksi farmasi. Hal ini tampak kinerja dalam memenuhi SPM bidang kesehatan,
pada rata-rata persentase dan nilai rata-rata obat khususnya tentang obat.
kadaluarsa dan obat rusak.
Kendala dalam pengelolaan obat yang dirasakan KEPUSTAKAAN
sebagian responden adalah kekurangan SDM dan 1. Peraturan Menteri Kesehatan RI, No. 189/
sarana, bahkan sebagian besar responden MenKes/SK/III/2006 tentang Kebijakan Obat
merasakan adanya ketidakcukupan prasarana. Nasional, Jakarta, 2006
Beberapa kabupaten/kota mengeluhkan sulitnya 2. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
mendapatkan beberapa jenis obat yang harganya Pemerintah Daerah, Jakarta, 2004.
murah dan dibutuhkan dalam jumlah kecil karena 3. Keputusan Menteri Kesehatan RI, No. 1457/
para pemasok kurang berminat untuk melayani. Di MenKes/SK/X/2003 tentang Standar Pelayanan
lain pihak dampak positif yang dirasakan antara lain Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota,
daerah dapat merencanakan dan mengadakan obat Jakarta, 2003.
sendiri sesuai dengan kebutuhan, usulan lebih 4. Departemen Kesehatan, RI, Ditjen Pelayanan
mudah karena tidak perlu ke pusat dan anggaran Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Pedoman
lebih cepat turun. Dampak negatif yang dirasakan Supervisi dan Evaluasi Obat Publik dan
antara lain birokrasi yang panjang, anggaran obat Perbekalan Kesehatan, Jakarta, 2003.
lebih kecil dan biaya pemeliharaan gudang dan 5. Keputusan Menteri Kesehatan RI, No. 610/
operasional kurang memadai. Menkes/SK/XI/81 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Gudang Perbekalan Kesehatan di Bidang
Saran Farmasi di Kabupaten/Kota, Jakarta, 1981.
Dirasa perlu adanya suatu advokasi lebih jauh 6. Keputusan Menteri Kesehatan RI, No. 1436/
dan dukungan serta komitmen lebih besar dari MenKes/SK/XI/2002 tentang Pedoman
Pemerintah Daerah setempat mengingat Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan
pembangunan daerah tidak bisa dilepaskan dari Kesehatan, Jakarta, 2002.
pembangunan kesehatan subyeknya, di samping 7. Peraturan Mendagri No. 13 Tahun 2006 tentang
perlu penempatan atau recruitment asisten apoteker Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah,
Jakarta, 2006.

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 4 Desember 2009 l 217

Anda mungkin juga menyukai