Anda di halaman 1dari 66

Penafsiran Alkitab

Alkitab adalah Firman Tuhan. Tetapi beberapa penafsiran atas Alkitab bukanlah Firman Tuhan.
Ada banyak kultus dan kelompok-kelompok Kristen yang memakai Alkitab dan mengklaim
bahwa penafsiran merekalah yang paling tepat. Seringkali, penafsiran-penafsiran tersebut
berbeda satu sama lain bahkan bisa sangat bertentangan. Hal ini tidaklah berarti bahwa Alkitab
adalah dokumen yang membingungkan. Melainkan, masalahnya ada pada mereka yang
menafsirkannya dan metode yang mereka pakai.

Karena kita adalah orang-orang berdosa, kita tidaklah mampu menafsirkan Firman Tuhan secara
sempurna setiap saat. Tubuh, pikiran, keinginan, dan emosi kita dipengaruhi oleh dosa dan
menyebabkan penafsiran yang akurat 100% adalah hal yang tidak mungkin kita lakukan. Hal ini
tidaklah lalu berarti pemahaman yang akurat atas Firman Tuhan adalah hal yang tidak mungkin.
Tetapi ini bermakna kita harus mendekati Firman-Nya dengan lebih hati-hati, rendah hati, dan
menggunakan akal sehat. Lagipula, kita perlu bimbingan dari Roh Kudus dalam menafsirkan
Firman Tuhan. Bagaimanapun, Alkitab itu diinspirasikan oleh Allah dan ditujukan kepada umat-
Nya. Roh Kudus selalu membantu kita memahami makna dari Firman Tuhan dan bagaimana
mengaplikasikannya.
Sebagai manusia, dalam rangka mengurangi kesalahan dalam penafsiran kita, kita perlu untuk
memahami beberapa metode-metode dasar dalam menafsirkan Alkitab. Saya akan mendaftarkan
beberapa prinsip-prinsip dalam bentuk pertanyaan, lalu menjawabnya satu persatu melalui
contoh.

Saya menawarkan prinsip-prinsip berikut sebagai petunjuk dalam memeriksa suatu bagian
Alkitab. Prinsip-prinsip ini tidaklah terlalu mendalam ataupun diset secara kaku.

1. Siapakah yang menulis/ mengatakan bagian Alkitab ini dan kepada siapakah perkataan
ini ditujukan?
2. Apakah yang dikatakan oleh bagian Alkitab ini?
3. Adakah kata-kata atau frasa di dalam bagian Alkitab tersebut yang perlu periksa secara
seksama (karena kurang jelas maknanya)?
4. Apakah konteks langsungnya?
5. Apakah konteks yang lebih luas dalam pasal atau kesuluruhan kitab di mana bagian
Alkitab tersebut berada?
6. Apakah ayat-ayat yang berhubungan dengan pokok bahasan bagian Alkitab tersebut dan
bagaimana efek dari ayat-ayat tersebut terhadap pemahaman atas bagian Alkitab
tersebut?
7. Apakah latar belakang sejarah dan kebudayaannya?
8. Apakah yang dapat saya simpulkan dari bagian Alkitab ini?
9. Apakah kesimpulan saya ini sesuai atau tidak dengan bagian-bagian lain Alkitab yang
berhubungan dan pendapat orang lain yang telah mempelajari bagian Alkitab ini?
10. Apakah yang telah saya pelajari dan harus saya terapkan dalam hidup saya?

Guna menunjukkan kepada anda bagaimana jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini dapat
mempengaruhi penafsiran anda atas suatu bagian Alkitab, Saya telah memilih satu bagian
Alkitab yang jika dipelajari secara baik-baik, akan menuntun anda pada penafsiran yang sangat
berbeda dari yang biasa diterima orang. Saya membiarkan anda untuk menentukan apakah
penafsiran saya ini akurat atau tidak.

Bagian yang akan saya pakai adalah Mat. 24:40, "Pada waktu itu kalau ada dua orang di ladang,
yang seorang akan dibawa dan yang lain akan ditinggalkan;".

1. Siapakah yang menulis/ mengatakan bagian ini dan kepada siapakah perkataan ini
ditujukan?

Yesus yang mengatakan kata-kata tersebut dan dicatat oleh Matius. Yesus mengatakannya
kepada murid-murid-Nya sebagai reapons dari suatu pertanyaan, yang akan kita lihat nanti.

2. Apakah yang dikatakan oleh bagian Alkitab ini?

Bagian ini semata-mata hanya mengatakan bahwa ada satu dari dua orang yang di ladang yang
akan dibawa. Tidak dikatakan ke mana, mengapa, kapan, atau bagaimana. Hanya dikatakan
bahwa satu orang akan dibawa. Tidak dijelaskan apakah ladang itu milik seseorang atau berada
di suatu lokasi tertentu.

3. Adakah kata-kata atau frasa di dalam bagian Alkitab tersebut yang perlu periksa secara
seksama (karena kurang jelas)?

Tidak ada kata khusus dalam ayat ini yang jelas-jelas perlu diperiksa lebih jauh (sudah cukup
jelas), tetapi demi keperluan latihan ini, saya akan menelaah kata"diambil". Dengan memakai
Strong Concordance dan sebuah kamus kata-kata Perjanjian Baru (Vine's, contohnya), saya dapat
mencek kata Yunani yang dipakai dan memahaminya. Bahasa Yunani yang dipakai di sini adalah
paralambano. Artinya "1) membawa, membawa berikut orangnya  2) menerima sesuatu
kiriman."

Satu hal yang perlu dijelaskan di sini adalah bahwa dalam mempelajari suatu kata, suatu kata itu
baru memiliki makna ketika berada dalam konteks. Sebagai contoh, kata "kasih" dalam bahasa
Yunaninya "agapao." Umumnya diartikan sebagai "kasih illahi." Hal ini jelas terlihat dalam
pemakaiannya dalam Yohanes 3:16 . Bagaimanapun, kata yang sama dipakai oleh Yesus dalam
Lukas 11:43 dengan arti yang berbeda.  Yesus berkata, "Celakalah kamu, hai orang-orang Farisi,
sebab kamu suka duduk di tempat terdepan di rumah ibadat dan suka menerima penghormatan di
pasar.". Kata suka yang dipakai di sini adalah terjemahan dari bahasa Yunani "agapao." Dari
konteksnya tampak jelas bahwa arti kata agapao di sini lebih cocok diartikan sebagai "total
komitmen kepada."

Terus, kita juga haruslah berhati-hati jangan sampai memasukkan/ memaksakan makna
kontekstual suatu kata dalam suatu kalimat tertentu ke kata yang sama dalam kalimat yang lain
tanpa memperhatikan konteks barunya. Sebagai contoh: 1) Teruna itu masih hijau. 2) Pohon itu
hijau. Kata hijau yang pertama bermakna "baru dan belum berpengalaman." Yang kedua
bermakna warna hijau. Bisakah kita memaksakan makna kontekstual dari kalimat yang satu ke
yang lain? Itu bukanlah ide yang baik.
4. Apakah konteks langsungnya?

Di sinilah ayat tersebut akan memiliki maknanya, konteks langsungnya adalah sebagai berikut:
Mat. 24:37-42, "Sebab sebagaimana halnya pada zaman Nuh, demikian pula halnya kelak pada
kedatangan Anak Manusia. 38Sebab sebagaimana mereka pada zaman sebelum air bah itu
makan dan minum, kawin dan mengawinkan, sampai kepada hari Nuh masuk ke dalam bahtera,
39dan mereka tidak tahu akan sesuatu, sebelum air bah datang dan melenyapkan mereka semua,
demikian pulalah halnya kelak pada kedatangan Anak Manusia. 40Pada waktu itu kalau ada dua
orang di ladang, yang seorang akan dibawa dan yang lain akan ditinggalkan; 41Kalau ada dua
orang perempuan sedang memutar batu kilangan, yang seorang akan dibawa dan yang lain akan
ditinggalkan. 42Karena itu berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu pada hari mana Tuhanmu
datang."

Secara langsung dapat kita lihat bahwa orang yang dibawa dalam ayat 40 adalah sejajar dengan
orang yang dibawa pada ayat 39. Dan makna kata diambil pun sama.

Suatu pertanyaan lain patut ditanyakan. Siapakah yang dibawa dalam ayat 39? Apakah itu Nuh
atau orang-orang yang sedang makan dan minum itu? Jawaban atas pertanyaan ini akan
membantu kita memahami lebih baik makna dari bagian Alkitab ini. Karenanya, langkah
penafsiran berikut akan sangat membantu kita.

5. Apakah konteks yang lebih luas dalam pasal atau kesuluruhan kitab di mana bagian
Alkitab tersebut berada?

Suatu bagian Alkitab seharusnya dilihat dalam konteksnya, tidak hanya dalam konteks langsung
dari ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, tetapi juga dalam konteks pasal di mana ia berada dan
kitab di mana ia tertulis.

Pembahasan Kristus dari mana ayat kita diambil, dimulai dengan sebuah pertanyaan. Yesus yang
baru saja meninggalkan bait Allah dan dalam ayat 2 mengatakan kepada murid-muridnya:
"...sesungguhnya tidak satu batupun di sini akan dibiarkan terletak di atas batu yang lain;
semuanya akan diruntuhkan." Lalu di ayat ke 3 murid-murid bertanya kepada Yesus,
"Katakanlah kepada kami, bilamanakah itu akan terjadi dan apakah tanda kedatangan-Mu dan
tanda kesudahan dunia?"  Yesus lalu melanjutkan dengan nubuat mengenai hal-hal yang akan
terjadi pada akhir zaman. Ia berbicara mengenai Mesias palsu, penderitaan, matahari yang akan
menjadi gelap, kedatanganNya yang kedua, dan mengenai dua orang di ladang di mana salah
satu akan dibawa dan yang lain ditinggalkan.

Konteksnya menjadi jelas yaitu mengenai eskatologi. Artinya, bagian Alkitab ini berurusan
dengan hal-hal akhir zaman, atau suatu waktu sesaat sebelum kembalinya Kristus untuk kedua
kalinya. Kebanyakan orang berpikir bahwa Mat. 24:40 mengacu kepada rapture (pengangkatan)
seperti yang dibicarakan pada  1 Tes. 4:16-17. Mungkin. Tetapi menarik rasanya untuk mencatat
bahwa konteks dari ayat tersebut tampaknya menunjukkan seolah orang yang jahatlah yang akan
diambil, bukan yang baik.
Lalu, saat ini mungkin anda berpikir bahwa metode pernafsiran ini sebenarnya tidak bagus-bagus
amat. Bagaimanapun, ayat "satu dibawa, satu ditinggal" jelas-jelas mengenai rapture. Benar?
Well, mungkin. Coba anda perhatikan, kita semua mendekati Alkitab dengan membawa serta
praduga kita. Ada kalanya hal ini benar, ada kalanya salah. Kita harus selalu siap sedia
mendapati bahwa apa yang kita pikirkan ternyata berbeda dengan apa yang dikatakan Alkitab.
Jika kita tidak bersedia, maka kita adalah orang yang sombong. Dan Allah jauh dari orang yang
sombong (Mazmur 138:6).

6. Apakah ayat-ayat yang berhubungan dengan pokok bahasan bagian Alkitab tersebut
dan bagaimana efek dari ayat-ayat tersebut terhadap pemahaman atas bagian Alkitab
tersebut?

Kebetulan ada ayat-ayat yang berhubungan, kenyataannya, suatu bagian lain Alkitab yang
paralel dengan yang di atas dapat ditemukan dalam Lukas 17:26-27. "Dan sama seperti terjadi
pada zaman Nuh, demikian pulalah kelak pada hari-hari Anak Manusia: 27mereka makan dan
minum, mereka kawin dan dikawinkan,sampai kepada hari Nuh masuk ke dalam bahtera, lalu
datanglah air bah dan membinasakan mereka semua."

Segera kita temukan bahwa ayat-ayat yang berhubungan dalam Lukas ini sungguh
mempengaruhi pemahaman kita mengenai ayat Matius yang kita bahas di atas. Tampak jelas dari
ayat-ayat dalam Lukas ini bahwa mereka yang akan dibawa oleh banjir adalah mereka yang
makan minum dan kawin mengawinkan itu. Dengan kata lain, bukan anak Tuhan yang akan
diambil, tetapi mereka yang fasik.

Seperti yang dapat anda lihat, hal ini memiliki akibat yang besar pada bagaimana kita memahami
bagian Alkitab di Mat. 24:40. Apakah konteks yang ada sungguh-sungguh menunjukkan bahwa
orang yang ada di ladang yang akan dibawa itu adalah mereka yang jahat? Juga, bagaimanakah
akibat yang dibawa oleh konteks ini atas praduga saya sebelumnya? Mari kita baca sekali lagi
ayat tersebut dalam konteknya. Mat. 24:37-42,"Sebab sebagaimana halnya pada zaman Nuh,
demikian pula halnya kelak pada kedatangan Anak Manusia. 38Sebab sebagaimana mereka pada
zaman sebelum air bah itu makan dan minum, kawin dan mengawinkan, sampai kepada hari Nuh
masuk ke dalam bahtera, 39dan mereka tidak tahu akan sesuatu, sebelum air bah datang dan
melenyapkan mereka semua, demikian pulalah halnya kelak pada kedatangan Anak Manusia.
40Pada waktu itu kalau ada dua orang di ladang, yang seorang akan dibawa dan yang lain akan
ditinggalkan; 41Kalau ada dua orang perempuan sedang memutar batu kilangan, yang seorang
akan dibawa dan yang lain akan ditinggalkan. 42Karena itu berjaga-jagalah, sebab kamu tidak
tahu pada hari mana Tuhanmu datang."

Jadi bagaimana pendapat anda sekarang? Apakah yang akan dibawa itu yang baik atau yang
jahat? Lalu, apakah ayat ini mengacu kepada rapture atau tidak?

Hanya sekedar bertanya.

Bagian yang berhubungan lainnya adalah Mat. 13:24-30 di mana Yesus memberikan
perumpamaan mengenai penabur yang menabur benih yang baik pada ladangnya dan seseorang
yang lain menabur ilalang pada ladang yang sama. Pembantu-pembantu bertanya kepada tuannya
apakah mereka harus segera menuai gandumnya. Tetapi, dalam ayat 30, Yesus berkata,
"Biarkanlah keduanya tumbuh bersama sampai waktu menuai. Pada waktu ituaku akan berkata
kepada para penuai: Kumpulkanlah dahulu lalang itu dan ikatlah berberkas-berkas untuk dibakar;
kemudian kumpulkanlah gandum itu ke dalam lumbungku."

Hal yang patut dicatat di sini adalah bahwa yang pertama-tama dikumpulkan adalah ilalang-
ilalang, bukan gandum. Hal ini sangat menarik karena Yesus menjelaskan perumpamaan ini
dalam Mat. 13:36-43 dan menyatakan bahwa mereka akan dilempar ke dalam tungku
pembakaran.

Tambahan lagi, ketika kita kembali ke Lukas 17:1, yang merupakan ayat paralel dari Mat 24, kita
mendapati bahwa murid-murid bertanya kepada Yesus suatu pertanyaan yang dijawab oleh
pernyataan Yesus "Pada waktu itu kalau ada dua orang di ladang, yang seorang akan dibawa dan
yang lain akan ditinggalkan." Dalam ayat ke 37 Kata mereka kepada Yesus:"Di mana, Tuhan?".
Kata-Nya kepada mereka:"Di mana ada mayat, di situ berkerumun burung nasar"

Mereka akan dibawa ke tempat maut.

7. Apakah latar belakang sejarah dan kebudayaannya?

Pertanyaan ini lebih sulit dijawab. Dibutuhkan lebih banyak riset. Komentari-komentari layak
dipelajari di sini karena komentari umumnya menyediakan latar belakang sejarah dan
kebudayaan yang akan membantu mengungkapkan makna suatu teks.

Dalam konteks ini, Israel sedang dalam penjajahan Romawi. Mereka telah dilarang memakai hak
atas hukum yang utama, pemerintahan sendiri, dan dikebiri dari kemampuan berperang. Romawi
telah mendominasi negara kecil tersebut. Yudaisme ditolerir oleh para pemimpin Romawi.
Lagipula, bagi mereka Israel hanyalah suatu negara kecil yang jauh dan penduduknya sangat
fanatik dengan agama mereka. Jadi, Romawi memperbolehkan Israel untuk dipimpin oleh
boneka politik yang berasal dari orang Yahudi sendiri.

Bait Allah adalah tempat pemujaan bagi komunitas Yahudi. Di sanalah darah korban dicurahkan
oleh imam agung untuk penebusan seluruh bangsa. Dibutuhkan 46 tahun untuk membangun bait
tersebut (Yohanes 2:20). Yesus mengatakan bahwa bait tersebut akan dihancurkan, pernyataaan
ini kemudian memunculkan pertanyaan yang pada gilirannya membawaNya memberi penjelasan
yang salah satunya adalah bagian yang sedang kita telaah ini.

Dari segi kebudayaan, orang Yahudi sangat taat kepada Perjanjian Lama. Di antara halaman-
halaman perjanjian lama terdapatlah nubuat mengenai Mesias, mengenai akhir zaman, dan
pelepasan dari pembelengguan.  Orang Yahudi tahu akan hal tersebut dan mereka sedang dalam
situasi menantikan hal itu terjadi.  Lalu datanglah Yesus dengan segala mukjizat dan Firman
yang penuh kuasa.  Semestinya, mereka menganggap dia sebagai Sang Mesias itu.
8. Apakah yang dapat saya simpulkan dari bagian Alkitab ini?

Karena konteks dari bagian Alkitab yang ada menunjukkan bahwa mereka yang jahatlah yang
akan dibawa, saya akan menyimpulkan bahwa orang yang akan dibawa dari ladang adalah bukan
yang baik, tetapi orang yang jahat. Saya juga menyimpulkan bahwa orang jahat tersebut dibawa
ke tempat penghakiman.

9. Apakah kesimpulan saya ini sesuai atau tidak dengan bagian-bagian lain Alkitab yang
berhubungan dan pendapat orang lain yang telah mempelajari bagian Alkitab ini?

Saya telah mempresentasikan ayat-ayat lain yang kiranya berhubungan dengan bagian Alkitab
yang kita bahas di atas. Bagaimanapun, tidak terdapat kesepakatan mengenai ayat tersebut dalam
semua komentari yang pernah saya baca. Pada titik ini saya harus menyampaikan kesimpulan
saya guna melihat apa kira-kira pendapat orang lain mengenai kesimpulan saya itu. Walaupun
saya mempelajari Firman dan mendapatkan kesimpulan tidaklah otomatis berarti kesimpulan
saya itu benar. Tetapi tidak pula berarti salah.

Dengan konsultasi dengan orang lain, mempelajari lagi kata-kata dalam ayat tersebut, dan
mencari Allah dan penerangannya, saya hanya bisa berharap akan bisa sampai kepada
kesimpulan terbaik yang mungkin dibuat atas bagian Alkitab tersebut.

10. Apakah yang telah saya pelajari dan harus saya terapkan dalam hidup saya?

Penafsiran Alkitab memiliki tujuan: Memahami Firman Allah dengan lebih akurat. Dengan
pemahamanan yang lebih baik akan FirmanNya, kita dapat menerapkannya dengan lebih akurat
dalam bidang-bidang yang disinggung oleh ayat atau bagian Alkitab tersebut. Dalam kasus ini,
bagian Alkitab ini berhubungan dengan hal-hal masa yang akan datang dan mengenai
penghakiman. Itu adalah informasi yang disampaikan oleh Yesus yang Ia ingin kita ketahui.
Aplikasi dari bagian Alkitab tersebut adalah Allah akan menjatuhkan hukuman atas
ketidakbenaran pada akhir zaman.

Catatan kesimpulan:

Artikel ini hanyalah ilustrasi. Ini hanyalah dasar dan tidak mencakup keseluruhan poin-poin
dalam penafsiran Alkitab. Tetapi ini memberikan arah dan contoh mengenai bagaimana anda
bisa mengaplikasikannya. Seperti yang saya katakan sebelumnya, berdoalah. Baca FirmanNya.
Lihatlah ke dalam FirmanNya semampu yang anda bisa dengan menggunakan sebanyak
mungkin pemahaman dan kemampuan yang ada. Rendah hatilah dan ujilah segala sesuatu
dengan Alkitab.

Satu hal lagi: setujukah anda dengan kesimpulan saya?

Pemahaman Alkitab Pribadi dan Penafsiran Pribadi


Editorial: 

Dear e-Reformed netters,


Untuk melengkapi diskusi kita tentang "Memakai Terjemahan Alkitab yang Tepat", maka
posting artikel untuk bulan Juli adalah artikel pendek yang saya ambil dari buku tulisan R.C.
Sproul tentang "Pemahaman Alkitab Pribadi dan Penafsiran Pribadi".

Selamat membaca dan berdiskusi.


In Christ,
Yulia
Penulis: 
R.C. Sproul
Edisi: 
018/VII/2001
Isi: 

Dua warisan yang kita peroleh dari gerakan Reformasi adalah prinsip penafsiran pribadi dan
terjemahan Alkitab ke dalam bahasa setempat. Kedua prinsip tersebut bergandengan tangan dan
baru diselesaikan setelah terjadi dua perdebatan sengit dan penganiayaan. Banyak orang menjadi
martir dengan menjalani hukuman dibakar hidup-hidup (terutama di negeri Inggris) karena
berani menerjemahkan Alkitab ke dalam mereka sendiri. Salah satu pencapaian Luther yang
terbesar adalah terjemahan Alkitab ke dalam bahasa Jerman sehingga setiap orang yang melek
huruf dapat membacanya sendiri.

Luther sendirilah yang meruncingkan persoalan penafsiran Alkitab secara pribadi pada abad ke-
16. Di balik respons Bapak Reformasi itu terhadap penguasa-penguasa gereja dan negara di
Majelis Worms, sebenarnya terdapat prinsip penafsiran pribadi.

Pada waktu Luther diminta untuk menarik kembali tulisan-tulisannya, ia menjawab, "Kecuali
kalau saya diyakinkan oleh Kitab Suci atau oleh alasan yang nyata, saya tidak dapat menarik diri.
Karena hati nurani saya ditawan oleh Firman Allah, maka tidak benar dan tidak aman melawan
hati nurani itu. Di sini saya berdiri. Saya tidak dapat berbuat lain. Allah menolong saya."
Perhatikan, Luther berkata, "kecuali kalau saya diyakinkan..." Pada perdebatan-perdebatan yang
lebih awal di Leipzig dan Augsburg, Luther telah berani menafsir Alkitab berlawanan dengan
interpretasi-interpretasi atau penafsiran-penafsiran Paus dan majelis-mejelis gereja. Begitu
beraninya ia, sehingga dituduh congkak oleh pejabat-pejabat gereja. Luther tidak menganggap
enteng tuduhan-tuduhan itu, melainkan menderita sekali karena mereka. Ia berpendapat ia dapat
saja salah, namun ia juga bersikeras mengatakan bahwa Paus dan majelis-majelis juga bisa salah.
Bagi dia hanya satu saja sumber kebenaran yang bebas dari salah. Ia berkata, "Alkitab tidak
pernah salah." Jadi, kecuali jika pemimpin-pemimpin gereja dapat menyakinkan dia mengenai
kesalahannya, ia merasa diikat oleh kewajiban untuk mengikuti apa yang hati nuraninya
diyakinkan oleh ajaran Alkitab. Melalui perdebatan ini lahirlah konsep penafsiran pribadi, yang
langsung dibaptis oleh api.

Setelah deklarasi Luther yang berani dan menyusul karyanya menerjemahkan Alkitab ke dalam
bahasa Jerman di Wartburg, Gereja Roma Katolik tidak tergelimpang mati. Gereja itu
memobilisasikan kekuatannya untuk serangan balasan seolah-olah dengan tombak berujung tiga.
Serangan balasan ini dikenal sebagai "Counter Reformation." Salah satu ujung tombak yang
ditikamkan adalah seperangkat formulasi melawan Protestanisme oleh Konsili Trent. Trent
berbicara melawan banyak pokok bahasan yang dikemukakan oleh Luther dan tokoh-tokoh
Reformasi lainnya. Di antara pokok-pokok bahasan itu ada yang mengenai penafsiran. Trent
berkata;

Untuk mengekang semangat-semangat liar, Konsili Trent menetapkan bahwa tidak ada seorang
pun diperbolehkan menafsirkan secara pribadi persoalan-persoalan iman dan moral yang
berhubungan dengan pembangunan doktrin Kristen. Itu berarti membengkokkan Kitab Suci
menurut pemikirannya sendiri dan berani melawan penafsiran Gereja Induk Suci (Katolik
Roma). Hak menafsirkan makna Kitab Suci yang sebenarnya ada pada Gereja Induk Suci,
meskipun penafsiran itu berlawanan dengan pengajaran yang telah disepakati bersama oleh
Bapak-bapak gereja. Tidak seorang pun boleh menafsirkan Kitab Suci secara pribadi meskipun
tafsirannya itu tidak untuk diterbitkan.

Pernyataan itu antara lain berkata bahwa Gereja Katolik Romalah yang berkewajiban
menguraikan dan menyatakan makna Alkitab serta mengajarkannya. Pernyataan Trent ini jelas
dirancang untuk melawan prinsip penafsiran pribadi pihak Reformasi.

Namun jika kita memeriksa pernyataan di atas lebih teliti, kita dapat melihat salah pengertian
yang serius tentang prinsip Reformasi. Apakah tokoh-tokoh Reformasi mengembangkan ide
penafsiran liar? Apakah penafsiran pribadi berarti bahwa setiap orang berhak menafsirkan
Alkitab sesuka hatinya, menuruti apa yang cocok dengan dirinya sendiri? Bolehkah orang
menafsirkan Alkitab dengan cara tidak keruan, tidak konsisten, tanpa kendali? Apakah setiap
pribadi harus menghargai penafsiran-penafsiran orang lain, misalnya yang berspesialisasi dalam
mengajar Alkitab? Jawaban-jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut jelas. Tokoh-tokoh
Reformasi juga berprihatin terhadap cara-cara dan sarana-sarana untuk mengekang semangat-
semangat liar. Ini jugalah salah satu alasan mengapa mereka bekerja giat untuk menjelaskan
prinsip-prinsip sehat penafsiran Alkitab sebagai pengekangan dan keseimbangan menghadapi
penafsiran yang fantastis. Tetapi cara mereka berusaha mengekang semangat-semangat liar
bukanlah dengan menyatakan bahwa pengajaran-pengajaran pemimpin-pemimpin gereja tidak
bisa salah.

Mungkin istilah yang paling penting yang muncul dalam deklarasi Trent tersebut ialah kata
membengkokkan. Trent mengatakan bahwa tidak seorang pun memiliki hak pribadi untuk
membengkokkan Alkitab. Para Reformasi dengan sebulat hati menyetujuinya. Penafsiran pribadi
tidak pernah dimaksudkan agar setiap pribadi berhak membengkokkan Alkitab. Bersama dengan
hak penafsiran pribadi adalah tanggung jawab yang penuh kesadaran untuk penafsiran akurat.
Penafsiran pribadi memberikan izin menafsir tapi tidak memberikan izin membengkokkan
Alkitab.

Jika kita melihat kembali pada zaman Reformasi beserta dengan respons kejam pihak Inkuisisi
(suatu badan milik Gereja Katolik Roma di abad ke-13 untuk menyelidiki dan menghukum
bidat-bidat) dan penganiayaan-penganiayaan terhadap orang-orang yang mengalihbahasakan
Alkitab, kita menjadi ngeri. Kita heran bagaimana para pemimpin Gereja Katolik Roma dapat
begitu jahat menyiksa orang-orang karena membaca Alkitab. Namun apa yang sering tidak
dilihat dalam perenungan historis seperti itu adalah itikad baik orang-orang yang terlibat dalam
tindakan tersebut. Roma yakin bahwa jikalau Alkitab diletakkan di tangan kaum awam yang
tidak berpendidikan teologi dan membiarkan mereka menafsir Alkitab, maka pembengkokan-
pembengkokan atau penyimpangan-penyimpangan besar akan terjadi. Hal ini akan menyesatkan
domba-domba, mungkin juga akan membawa mereka ke neraka kekal. Jadi untuk melindungi
domba-domba supaya jangan memasuki jalan yang membawa kepada pemusnahan diri pada
akhirnya, Gereja menempuh cara hukuman badan, bahkan sampai kepada hukuman mati.

Luther menyadari bahaya-bahaya gerakan Alkitab di tangan awam, tapi yakin tentang kejelasan
Alkitab. Jadi meskipun bahaya penyimpangan besar, ia berpendapat bahwa faedah
memperlihatkan berita dasar Injil yang jelas kepada orang banyak akan pada akhirnya lebih
banyak membawa orang kepada keselamatan daripada kepada kebinasaan. Luther bersedia
mengambil resiko mendobrak pintu air yang akan mengakibatkan banjir kesalahan.

Penafsiran pribadi membuka Alkitab untuk kaum awam, tapi tidak membuang prinsip
pendidikan rohaniwan. Kembali kepada zaman-zaman Alkitab, para Reformasi mengakui bahwa
dalam praktik dan pengajaran Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru ada kedudukan penting untuk
para rabi (guru), ahli Taurat dan pelayanan di bidang pengajaran. Bahwa para guru harus ahli
dalam bahasa-bahasa asli Alkitab, adat istiadat zaman Alkitab, sejarah suci dan analisis sastra,
masih menjadi ciri penting gereja Kristen. Doktrin Luther yang terkenal, "imamat rajani" sering
disalahfahami. Doktrin ini tidak berarti tidak ada perbedaan antara rohaniwan dan awam. Doktrin
ini hanya menegaskan bahwa setiap orang Kristen harus berperan dan berfungsi untuk
melangsungkan pelayanan gereja secara keseluruhan. Kita semua dipanggil untuk menjadi
"Kristus bagi sesama kita" dalam pengertian tertentu. Namun ini tidak berarti bahwa gereja tidak
memiliki gembala-gembala atau guru-guru.

Banyak orang telah dikecewakan oleh gereja yang terorganisasi di zaman kebudayaan masa kini.
Sebagian di antara mereka bereaksi melampaui batas ke arah anarki gereja. Muncul dari revolusi
budaya tahun 60-an dengan kedatangan "Jesus movement" (gerakan Yesus) dan gereja "bawah
tanah" muncul pada slogan-slogan pemuda, "Saya tidak perlu mencari pendeta. Saya tidak
mempercayai gereja yang terorganisasi ataupun pemerintahan tubuh Kristus yang berstruktur."
Di tangan orang-orang seperti itu prinsip penafsiran pribadi dapat menjadi izin untuk
subjektivisme radikal.

OBJECTIVITAS DAN SUBJECTIVITAS

Bahaya penafsiran pribadi yang besar adalah bahasa subjectivisme dalam penafsiran Alkitab
masa kini. Bahayanya lebih meluas daripada yang dapat kita lihat secara langsung. Saya telah
melihat bahaya yang sulit dilihat oleh sembarang orang pada waktu saya ikut serta dalam diskusi
dan perdebatan teologis.

Baru-baru ini saya ikut diskusi panel bersama dengan para ahli Alkitab. Kami sedang
mendiskusikan pro dan kontra mengenai Perjanjian Baru tertentu yang makna dan penerapannya
mengundang perdebatan. Dalam pernyataan pembukaannya, seorang ahli Perjanjian Baru
berkata, "Saya berpendapat bahwa kita harus terbuka dan jujur mengenai bagaimana metode
pendekatan kita terhadap Perjanjian Baru. Pada analisis terakhir kita akan membacanya seperti
apa yang kita ingin baca. Itu tidak menjadi soal." Hampir saya khawatir salah dengar. Saya
begitu kaget sehingga tidak membantahnya. Keterkejutan saya bercampur dengan perasaan
kesia-siaan dalam mengusahakan kemungkinan bertukar pendapat yang cukup berarti. Jarang
sekali mendengar ahli yang menyatakan prasangkanya begitu terang-terangan di depan umum.
Kita semua mungkin bergumul melawan kecenderungan yang berdosa melawan keinginan
membaca Alkitab sesuai dengan keinginan kita, namun saya harap kita tidak selalu memakai cara
itu. Saya percaya ada sarana-sarana yang tersedia bagi kita untuk mengekang kecenderungan itu.

Pada tingkat umum, kemudahan untuk menerima semangat subjectivisme penafsiran Alkitab ini
juga sama lazimnya. Sering terjadi, setelah saya selesai membahas makna suatu pasal, orang
mendebat pernyataan saya dengan mengatakan, "Ah, itu kan pendapatmu." Komentar itu
menunjukkan apa? Pertama, jelas sekali bagi semua orang yang hadir di situ bahwa tafsiran yang
saya kemukakan adalah pendapat saya sendiri. Saya hanya seseorang yang baru saja
mengemukakan pendapat. Tetapi bukan demikian pendapat orang lain.

Kedua, mungkin komentar itu menunjukkan perdebatan tanpa suara dengan memakai asosiasi
yang salah. Dengan cara menunjuk bahwa pendapat yang saya kemukakan itu hanya pendapat
saya sendiri, mungkin orang tersebut merasa bahwa itu saja yang diperlukan untuk mendebat,
karena setiap orang beranggapan sama menganai saya meskipun tidak dikatakan, yaitu begini:
apa saja pendapat yang ke luar dari mulut R.C. Sproul pasti salah karena ia tidak pernah dan
tidak akan pernah betul. Betapapun bermusuhannya mereka terhadap pendapat-pendapat saya,
saya tidak yakin bahwa itulah yang mereka maksudkan ketika mereka berkata, "Ah, itu kan
pendapatmu."

Saya kira alternatif yang paling mungkin dapat digambarkan dengan kata-kata ini, "Itu
penafsiranmu yang baik untukmu saja. Saya tidak menyetujuinya, tetapi tafsiran saya sama
absahnya. Meskipun tafsiran-tafsiran kita bertentangan, keduanya mungkin betul. Apa yang saya
sukai itu betul bagi saya dan apa yang saya sukai itu betul bagimu." Inilah subjektivisme.

Subjektivisme tidak sama dengan subjektivitas. Mengatakan bahwa kebenaran memiliki elemen
subjektif, lain daripada mengatakan bahwa kebenaran itu sepenuhnya subjektif. Supaya
kebenaran atau kepalsuan dapat bermakna untuk hidup saya, haruslah diterapkan kepada hidup
saya dengan cara tertentu. Pernyataan, "Hujan turun di tempat itu" pada kenyataannya boleh
benar secara objektif, tetapi tidak relevan dengan hidup saya. Saya baru dapat melihat
relevansinya, misalnya, kalau ditunjukkan bahwa hujan itu begitu derasnya sehingga banjir dan
merusakkan sawah ladang saya di dekat situ yang baru saja saya tanami. Baru waktu itu
pernyataan itu mempunyai relevansi subjektif dengan hidup saya. Pada waktu kebenaran suatu
proposisi memukul dan mencekam saya, barulah persoalannya menjadi subjektif. Penerapan teks
Alkitab kepada kehidupan saya mungkin bernada sangat subjektif. Tapi ini bukan yang kita
maksudkan dengan subjektivisme. Subjektivisme terjadi jikalau kita membengkokkan makna
objektif istilah-istilah supaya cocok dengan minat-minat kita sendiri. Mengatakan, "Hujan turun
di tempat itu" mungkin tidak berelevansi dengan hidup saya di sini, tetapi perkataan itu tetap
bermakna. Perkataan itu bermakna bagi kehidupan manusia di sana, bagi tanaman-tanamannya
dan binatang-binatangnya.

Subjektivisme terjadi apabila kebenaran suatu pernyataan tidak hanya diperluas atau diterapkan
pada subjeknya, tetapi apabila kebenaran itu secara mutlak ditetapkan oleh subjeknya. Jika kita
ingin menghindarkan diri dari pembengkokan atau penyimpangan Alkitab dari awal kita sudah
harus menghindari subjektivisme.

Dalam usaha memahami Alkitab secara objektif, kita tidak dapat menciutkan Alkitab menjadi
sesuatu yang dingin, abstrak dan mati. Yang harus kita lakukan adalah berusaha memahami apa
yang dikatakan olehnya di dalam konteksnya sebelum kita melaksanakan tugas yang sama
pentingnya, yaitu menerapkan pada diri kita sendiri. Suatu pernyataan tertentu boleh saja
mempunyai kemungkinan adanya sejumlah penerapan-penerapan pribadi, tetapi pernyataan itu
hanya dapat memiliki satu arti saja yang benar. Penafsiran-penafsiran yang berlain-lainan yang
saling kontradiksi dan tidak dapat disatukan, tidak mungkin benar, kecuali kalau Allah berbicara
dengan lidah bengkok. Kita akan membahas persoalan kontradiksi dan makna tunggal
pernyataan-pernyataan secara lebih lengkap belakangan. Namun sekarang ini kita membahas
penetapan sasaran-sasaran penafsiran Alkitab yang sehat. Sasaran pertama ialah kepada makna
Alkitab yang objectif dan menghindari perangkap-perangkap pembengkokan yang disebabkan
oleh membiarkan penafsiran-penafsiran dikuasai oleh subjektivisme.

Ahli-ahli Alkitab membuat perbedaan penting antara apa yang mereka sebut sebagai eksegesis
dan eisogesis. Eksegesis berarti menerangkan apa yang dikatakan oleh Alkitab. Kata itu berasal
dari kata Yunani yang berarti, "memimpin ke luar." Kunci kepada eksegesis ada pada awalan
"eks" yang berarti "dari" atau "ke luar dari". Melakukan eksegesis kepada Alkitab berarti
mengeluarkan makna yang terdapat pada kata-katanya, tanpa ditambahi dan tanpa dikurangi.
Sebaliknya kata eisogesis berasal dari akar kata yang sama, tetapi dengan awalan yang berlainan.
Awalan eis, juga berasal dari bahasa Yunani yang berarti "ke dalam". Jadi, eisogesis menyangkut
memasukkan ide sendiri ke dalam teks yang sebenarnya sama sekali tidak terdapat dalam kata-
kata teks tersebut. Eksegesis adalah usaha yang objektif. Eisogesis menyangkut praktik
subjektivisme.

Kita semua harus bergumul dengan problem subjektivisme. Alkitab sering mengatakan hal-hal
yang tidak ingin kita dengar. Dalam hal ini kita dapat menutup telinga dan mata kita. Jauh lebih
mudah dan jauh lebih tidak menyakitkan untuk tidak mengkritik Alkitab daripada dikritik oleh
Alkitab. Tidak heran Yesus sering menutup pembicaraan-Nya dengan, "Siapa mempunyai
telinga untuk mendengar, hendaklah ia mendengar!" (Luk. 8:8; 14:35).

Subjektivisme tidak saja menghasilkan kesalahan dan penyimpangan, tetapi juga kesombongan.
Mempercayai apa yang saya percayai hanya karena saya mempercayainya, atau mempertahankan
kebenaran pendapat saya hanya karena itu adalah pendapat saya, adalah contoh kesombongan.
Jikalau pandangan-pandangan saya tidak dapat lulus ujian analisis subjektif dan pembuktian,
kerendahan hati menuntut supaya saya meninggalkan pandangan itu. Seorang penganut
subjektivisme memiliki kesombongan untuk mempertahankan pendapatnya tanpa dukungan atau
bukti-bukti objektif. Perkataan, "jika kau ingin mempercayai apa yang kau percayai, baiklah.
Saya akan ingin mempercayai apa yang saya percayai," kedengarannya hanya rendah hati di kulit
saja.

Pandangan-pandangan pribadi harus dinilai dengan bukti dan pendapat di luar karena kita
cenderung membawa kelebihan bobot kepada Alkitab. Tidak ada seorang pun di bumi ini yang
memiliki pengertian tentang Alkitab dengan sempurna. Kita semua berpegang pada pandangan-
pandangan dan menyukai ide-ide yang bukan dari Allah. Mungkin jika kita tahu secara tepat
pandangan-pandangan kita yang mana yang salah itu sulit. Jadi pandangan-pandangan kita
memerlukan peralatan yang dapat mengeceknya, yaitu berupa riset dan keahlian orang-orang
lain.

PERANAN GURU

Dalam gereja-gereja Reformed pada abad ke-16 diadakan perbedaan antara dua macam tua-tua:
tua-tua pengajar dan tua-tua pengatur. Tua-tua pengatur dipanggil untuk memerintah dan
mengurus persoalan-persoalan jemaat. Tua-tua pengajar, atau gembala-gembala, terutama
bertanggung-jawab untuk mengajar dan melengkapi orang-orang suci untuk pelayanan.

Kira-kira dekade terakhir ini mengalami waktu yang luar biasa dalam pembaruan di banyak
tempat. Organisasi-organisasi para gereja (organisasi-organisasi Kristen yang tidak dapat disebut
gereja tetapi menjalankan aktivitas-aktivitas yang sejajar dengan gereja) telah berbuat banyak
untuk memulihkan fungsi penting kaum awam bagi gereja lokal. Konperensi-konperensi
pembaruan kaum awam sudah umum. Penekanannya tidak lagi pada pengkhotbah-pengkhotbah
besar, tapi pada program-program besar untuk dan oleh kaum awam. Ini bukan zaman untuk
pengkhotbah besar, tetapi zaman untuk jemaat besar.

Salah satu perkembangan penting gerakan pembaruan kaum awam ialah munculnya sejumlah
kelompok pemahaman Alkitab kecil-kecil yang dilaksanakan di rumah-rumah tangga. Di sini
suasana keakraban dan informalitas terasa. Orang-orang yang dengan cara lain di tempat lain
tidak akan tertarik kepada Alkitab di sini maju dalam hal mempelajari Alkitab. Dinamika
kelompok dalam bentuk kecil pada dasarnya merupakan kunci untuk membuka hati kaum awam.
Kaum awam saling mengajar atau mengumpulkan ide-ide mereka sendiri dalam kelompok-
kelompok pemahaman Alkitab seperti itu. Kelompok-kelompok seperti itu telah berhasil
membarui gereja. Mereka akan lebih berhasil waktu mereka makin ahli memahami dan menafsir
Alkitab. Bahwa orang mulai membuka Alkitab dan mempelajarinya bersama-sama adalah hal
yang luar biasa besar. Tetapi ini juga sangat berbahaya. Mengumpulkan pengetahuan
membangun gereja. Mengumpulkan ketidaktahuan merusak gereja dan menunjukkan problem
orang buta memimpin orang buta.

Meskipun kelompok-kelompok kecil pemahaman Alkitab di rumah-rumah tangga dapat menjadi


sarana sangat efektif untuk pembaruan gereja dan perubahan masyarakat, ada waktunya mereka
harus menerima pengajaran sehat dari pihak yang dapat dipertanggungjawabkan. Saya tetap
yakin bahwa gereja memerlukan rohaniwan yang telah terdidik. Studi pribadi dan interpretasi
pribadi harus diimbangi oleh kebijaksanaan guru-guru secara kolektif. Jangan salah paham. Saya
tidak memanggil gereja untuk kembali pada situasi pra-Reformasi waktu Alkitab ditawan oleh
para rohaniwan. Saya bergembira melihat orang mulai mempelajari Alkitab secara berdikari.
Dengan demikian darah para martir tidak percuma tumpah. Tapi saya ingin mengatakan bahwa
orang awam itu bijaksana kalau mengadakan pemahaman Alkitab yang tidak lepas dari otoritas
gembala-gembala atau guru-guru mereka. Kristus sendirilah mengaruniai gereja-Nya dengan
karunia mengajar. Karunia itu dan jawatan itu harus dihormati kalau umat Kristus ingin
menghormati Kristus.
Penting bagi para guru untuk mendapatkan pendidikan yang memadai. Sudah barang tentu
kadang-kadang muncul guru-guru yang meskipun tidak mendapatkan pendidikan formal, namun
memiliki wawasan ke dalam Alkitab yang luar biasa. Namun orang-orang seperti itu jarang
sekali. Lebih sering kita menghadapi problem dari orang-orang yang mengaku dirinya guru tapi
sama sekali tidak berkualitas mengajar. Seorang guru yang baik harus memiliki pengetahuan
yang sehat dan keahlian-keahlian yang diperlukan untuk menguraikan bagian-bagian Alkitab
yang sulit. Di sini diperlukan penguasaan bahasa asli, sejarah dan teologi, bahkan amat
diperlukan.

Jika meneliti sejarah orang Yahudi zaman Perjanjian Lama, kita melihat bahwa ancaman yang
paling keras dan terus menerus adalah ancaman dari pihak nabi atau guru palsu. Israel lebih
sering jatuh ke dalam kekuasaan guru pembohong yang membujuk mereka daripada jatuh ke
dalam tangan orang Filistin.

Perjanjian Baru menyaksikan problem yang sama dalam Gereja Kristen awal. Nabi palsu itu
seperti gembala upahan yang hanya berminat kepada upahnya sendiri daripada kepada
kesejahteraan domba-dombanya. Tidak semua bermaksud menyesatkan umat Allah, atau
memimpin mereka untuk berbuat kesalahan atau kejahatan. Banyak yang melakukannya karena
tidak tahu. Kita harus lari dari pemimpin-pemimpin yang tidak berpengetahuan dan tidak
berpikir panjang.

Sebaliknya, salah satu berkat besar bagi Israel ialah waktu Allah mengutus kepada mereka nabi-
nabi dan guru-guru yang mengajar mereka sesuai dengan pikiran Allah. Dengarlah peringatan
yang sungguh-sungguh yang Tuhan sabdakan kepada nabi Yeremia:

"Aku telah mendengar apa yang dikatakan oleh para nabi, yang bernubuat palsu demi nama-Ku
dengan mengatakan: Aku telah bermimpi, aku telah bermimpi! Sampai bilamana hal itu ada
dalam hati para nabi yang bernubuat palsu dan yang menubuatkan tipu rekaan hatinya sendiri,
yang merancang membuat umat-Ku melupakan nama-Ku dengan mimpi-mimpinya yang mereka
ceritakan seorang kepada seorang, sama seperti nenek moyang mereka melupakan nama-Ku oleh
karena Baal? Nabi yang beroleh mimpi, biarlah menceritakan mimpinya itu, dan nabi yang
beroleh firman-Ku, biarlah menceritakan firman-Ku itu dengan benar! Apakah sangkut-paut
jerami dengan gandum? demikianlah firman TUHAN. Bukankah firman-Ku seperti api,
demikianlah firman TUHAN dan seperti palu yang menghancurkan bukit batu?" (Yer. 23:25-
29).

Dengan perkataan penghakiman seperti ini, tidak heran kalau Perjanjian Baru mengingatkan,
"Saudara-saudaraku, janganlah banyak orang di antara kamu mau menjadi guru; sebab kita tahu,
bahwa sebagai guru kita akan dihakimi menurut ukuran yang lebih berat" (Yak. 3:1). Kita
membutuhkan guru-guru yang memiliki pengetahuan sehat dan hatinya tidak melawan Firman
Allah.

Pemahaman Alkitab pribadi adalah sarana anugerah yang sangat penting bagi orang Kristen. Itu
adalah hak istimewa dan kewajiban kita semua. Dalam anugerah-Nya dan kebaikan-Nya kepada
kita, Allah tidak saja menyediakan guru-guru yang berkarunia dalam gereja-Nya untuk menolong
kita. Ia juga menyediakan Roh Kudus-Nya sendiri untuk menerangi Firman-Nya dan untuk
menunjukkan penerapan-Nya kepada kehidupan kita. Allah memberkati pengajaran sehat dan
studi yang rajin.

Sumber diambil dari:


Judul Buku : Kebenaran-kebenaran Dasar Iman Kristen
Judul Artikel : -
Penulis : R.C. Sproul
Penerjemah : -
Penerbit : Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang, 1997
Halaman : 26-39

TAFSIR ALKITAB
TAFSIR, MENAFSIRKAN, PENAFSIRAN, Study Kata 2 Tawarikh 24:27, "Tentang anak-
anaknya dan ucapan-ucapan ilahi yang banyak terhadap dia, serta tentang perbaikan rumah
Allah, semua itu tertulis dalam tafsiran kitab raja-raja. Maka Amazia, anaknya, menjadi raja
menggantikan dia." ÛVÂNÂV VIREV HAMASÂ' 'ÂLÂV VÏSÕD BÊYT HÂ'ELOHÏM
HINÂM KETÛVÏM 'AL-MIDERASY SÊFER HAMELÂKHÏM VAYIMELOKH
'AMATSYÂHÛ VENÕ TAKHETÂV. Kata Ibrani MIDRASY, berasal dari kata kerja srd-
DÂRASY yang bermakna mencari, meminta, menghendaki, dan secara konseptual merujuk
kepada suatu metode membaca rincian ke dalam atau ke luar dari suatu naskah Alkitab. Kata
MIDRASY dapat digunakan sebagai verba, yaitu sebagai cara menafsirkan (to interprete) ayat
Alkitab. Di samping itu dapat digunakan sebagai nomina, tafsiran, yaitu merujuk kepada ayat-
ayat tertentu dan penafsirannya. Jadi seseorang dapat berkata bahwa MIDRASY dari Kejadian
1:1 bermakna .... terus diisi dengan penafsiran yang dilakukan oleh para Midrasyik. Akhirnya
MIDRASY juga dapat merujuk kepada suatu kitab yang berisikan pengajaran tentang
MIDRASY, misalnya BERESYIT RABAH adalah suatu kitab berisikan MIDRASY tentang
kitab Kejadian. Kumpulan MIDRASY terdiri atas dua bagian yaitu HALAKHA dan HAGADA.
* 1 Korintus 2:13, "Dan karena kami menafsirkan hal-hal rohani kepada mereka yang
mempunyai Roh, kami berkata-kata tentang karunia-karunia Allah dengan perkataan yang bukan
diajarkan kepada kami oleh hikmat manusia, tetapi oleh Roh." ha kai laloumen ouk en didaktois
anthrôpinês sophias logois all en didaktois pneumatos hagiou pneumatikois pneumatika
sugkrinontes Kata menafsirkan kurang tepat diterjemahkan dalam ayat di atas karena kata
Yunani laloumen dari kata laleô secara harfiah berarti berbicara, berkata, menceritakan hal-hal
tertentu meskipun dapat saja bermakna mengucapkan penafsiran, tetapi pengertiannya terlalu
luas. * 1 Korintus 12:10, "Kepada yang seorang Roh memberikan kuasa untuk mengadakan
mujizat, dan kepada yang lain Ia memberikan karunia untuk bernubuat, dan kepada yang lain lagi
Ia memberikan karunia untuk membedakan bermacam-macam roh. Kepada yang seorang Ia
memberikan karunia untuk berkata-kata dengan bahasa roh, dan kepada yang lain Ia memberikan
karunia untuk menafsirkan bahasa roh itu." allô de energêmata dunameôn allô de prophêteia allô
de diakriseis pneumatôn heterô de genê glôssôn allô de hermêneia glôssôn Kata menafsirkan
menurut ayat di atas diterjemahkan dari kata Yunani hermênia, dan kata inilah yang akhirnya
digunakan untuk HERMENEUTIKA, ilmu penafsiran. Kata hermêneia berasal dari kata kerja
hermêneuô, menafsirkan, menjelaskan dengan kata-kata. Tujuan utama dari hermeneutika adalah
menggali apa maksud penulis Alkitab yang sebenarnya. Praktek hermeneutika juga dikenal
dengan istilah eksegesis, menggali makna penulis, dan bukan eisegesis, memasukkan ide sendiri
ke dalam Alkitab. * 1 Korintus 12:30, "atau untuk menyembuhkan, atau untuk berkata-kata
dalam bahasa roh, atau untuk menafsirkan bahasa roh? mê pantes kharismata ekhousin iamatôn
mê pantes glôssais lalousin mê pantes diermêneuousin Kata diermêneuousin yang diterjemahkan
dengan menafsirkan, berasal dari dari kata kerja diermêneuô yaitu gabungan dari preposisi dia,
oleh, melalui; dan kata kerja hermêneuô yang telah dijelaskan di atas. Makna kata diermêneuô
tidak jauh berbeda yaitu membuka makna apa yang dikatakan, memberi penjelasan, dan bahkan
menerjemahkan sesuatu ke dalam bahasa tertentu. Kata ini juga dijumpai dalam 1 Korintus 14:5,
13, 27-28. * 2 Petrus 1:20, "Yang terutama harus kamu ketahui, ialah bahwa nubuat-nubuat
dalam Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri," touto prôton ginôskontes
hoti pasa prophêteia graphês idias epiluseôs ou ginetai Rasul Petrus menggunakan kata benda
epilusis, penafsiran, yang berasal dari kata epiluô, menguraikan, secara konseptual berarti
melepaskan dari ikatan. Makna umum dari kata ini adalah penjelasan tetapi kata epilusis ini
tidak ditemukan lagi di dalam Perjanjian Baru Yunani sedangkan kata epiluô dapat ditemukan
dalam Markus 4:34 saat Yesus Kristus menguraikan segala sesuatu tanpa perumpamaan.
Biasanya orang menganggap keterangan Petrus ini menyatakan, bahwa nubuat hanya dapat
dimengerti oleh seseorang bila orang itu dipimpin Roh Kudus yaitu Roh yang sama yang
memimpin para penulis, namun anggapan ini memutarbalikkan kata kerja dalam ayat tersebut
dengan pengertian yang tidak umum. Lebik baik dimengerti dari segi asal mula Alkitab dan
bukan dari tafsirannya, artinya, tidak ada nubuat dalam Alkitab yang berasal dari pendapat
seseorang, yaitu penjelasan tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lampau, sekarang
dan kemudian, karena alasan-alasan tertentu. <ðððð>

BP- 11-01-2005

Perlunya Menafsirkan Alkitab Sering kali kita mendengar seseorang berkata "kita tidak perlu
menafsirkan Alkitab. Cukup baca saja, dan lakukan apa yang dikatakannya". Biasanya ucapan
tersebut dikatakan oleh orang awam untuk menentang para teolog, pengajar Alkitab, atau para
'profesional' lainnya. Sering juga kita mendengar "para teolog dan para pengajar alkitab itu justru
memperkeruh air. Apa yang sudah jelas bagi kita ketika kita pertama kali membaca tidak akan
bisa lebih jelas lagi". Protes tersebut ada benarnya. Seorang kristen harus membaca,
mempercayai, dan menuruti apa kata Alkitab. Alkitab bukanlah buku misterius jika dipelajari
dan dibaca dengan sungguh-sungguh. Justru, biasanya problemnya bukanlah bahwa pembaca
tidak bisa mengerti apa kata Alkitab, melainkan karena pembaca kadang mengerti terlalu baik!
Masalah dengan ayat seperti "Lakukanlah segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan
berbantah-bantahan" (Fil 2:14) bukanlah bahwa pembaca tidak bisa mengerti ayat tersebut, tapi
terletak pada mematuhi nya -- mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan dari
penafsiran yang baik bukanlah keunikan. Penafsiran yang unik biasanya salah. Ini bukannya
mengatakan bahwa penafsiran yang benar terhadap sebuah text tidak akan terdengar unik
dikuping orang yang pertama kali mendengarnya. Yang mau dikatakan adalah bahwa kita
menafsirkan bukan supaya penafsiran itu menjadi unik. Keunikan bukanlah tujuan dari
penafsiran. Tujuan dari penafsiran yang baik adalah untuk menangkap arti yang jelas dari text.
Penafsiran yang bagus harus diuji yaitu apakah tafsiran tersebut pas dengan konteks. Tapi jika
tujuan dari penafsiran adalah untuk menangkap arti yang jelas, kenapa harus menafsirkan?
kenapa tidak sekedar baca saja? Pembaca sebagai Penafsir Alasan pertama kenapa orang harus
belajar menafsirkan adalah karena, suka atau tidak suka, semua pembaca adalah penafsir. Kita
biasanya cenderung berpikir bahwa pengertian kita, setelah membaca Alkitab, sama dengan apa
yang Roh Kudus atau penulis Alkitab maksudkan. Bagaimanapun juga, kita sering memasukan
kedalam text tersebut sesuatu seperti misalnya pengalaman, budaya, dan pengertian kita sendiri.
Misalnya, ketika kita membaca Alkitab yang bercerita tentang 'gereja yang sedang beribadah',
kadang kita langsung membayangkan orang-orang sedang duduk rapi didalam sebuah gedung
seperti layaknya gereja jaman skrg. Ketika Paulus berkata "...dan janganlah merawat tubuhmu
(flesh) untuk memuaskan keinginannya (Rom 13:14) para pembaca biasanya berpikir bahwa
flesh disini berarti body. Jadi mereka yang pertama kali membaca ayat tersebut akan berpikir
bahwa Paulus sedang berbicara tentang 'keingingan badan'. Tapi kata flesh yang Paulus gunakan
jarang berarti badan dan dalam konteks ini flesh lebih berarti 'penyakit spiritual'. Walaupun
pembaca tidak bermaksud untuk memasukan pengertiannya sendiri kedalam text, tanpa
disengaja, hal ini sering terjadi dan sayangnya biasanya salah. Dalam Penterjemahan Alkitab
sendiri dibutuhkan penafsiran sehingga bisa diterjemahkan kedalam bahasa masing-masing.
Alkitab kita , versi apapun yang kita pakai, adalah hasil dari banyak pekerjaan sarjana-sarjana
Alkitab. Para penterjemah harus memilih arti dari sebuah kata, dan arti tersebut akan
mempengaruhi pengertian kita. Jadi secara tidak langsung, kita sendiri sudah terlibat dalam
penafsiran. Contoh, Rom 13:14, apakah para penterjemah harus menerjemahkan 'flesh' (seperti
KJV, RSV, NRSV, NASB dll) karena kata itulah yang dipakai oleh Paulus dan menyerahkan
pada para penafsir untuk menjelaskannya bahwa Paulus disini tidak bermaksud 'badan/tubuh' ?
atau para penterjemah langsung menolong para pembaca bahwa Paulus disini tidak bermaksud
'badan' dan menerjemahkannya langsung menjadi 'natur berdosa' (sinful nature seperti NIV,
GNB dll) karena memang inilah yang Paulus maksudkan? Banyak gereja sekarang melarang
wanita untuk berbicara digereja berdasarkan 1Kor 14:34-35 dan pada saat yang sama menolak
validitas berbahasa lidah dan bernubuat, yang ayatnya muncul pada konteks yang sama dengan
larangan wanita berbicara digereja (1Kor 14). Untuk sebagian orang, Alkitab dengan tegas
mengajarkan bahwa baptisan itu harus diselam: sebagian percaya bahwa bayi harus dibaptis. Ada
yang percaya bahwa Alkitab mengajarkan bahwa sekali selamat tetap selamat sampai akhir;
sedangkan yang lainnya percaya bahwa orang kristen bisa kehilangan keselamatan. Keduanya
dikotbahkan digereja, tapi tidak pernah oleh orang yang sama! Kedua pihak mengklaim bahwa
pandangannya lah yang sesuai dengan Alkitab. Mereka membaca Alkitab yang sama, dan
berusaha untuk menuruti apa yang Alkitab katakan. Ada aliran yang mengklaim bahwa orang
kristen itu harus makmur dalam segala hal termasuk materi. Aliran ini mengklaim bahwa inilah
yang diajarkan Alkitab. Aliran ini mengutip ayat 3Yoh 2 untuk membuktikan kebenaran doktrin
yang dianutnya. Padahal ayat 3Yoh 2 ini tidak berbicara apa-apa tentang materi. Karena
banyaknya perbedaan dalam penafsiran inilah , bahkan dikalangan scholars yang mestinya
mengetahui 'peraturan' nya, maka tidak heran muncul klaim "tidak usah menafsir, baca saja dan
turuti". Tapi ini adalah pilihan yang salah. Lawan dari penafsiran yang buruk bukanlah tidak
menafsir, melainkan penafsiran yang baik. Fakta bahwa Alkitab mempunyai aspek/element
manusia adalah alasan mengapa kita harus menafsirkan Alkitab. 2 Hal perlu dicatat dalam hal
ini: 1. Firman Allah berbicara lewat pribadi yang nyata (real person), dalam periode lebih dari
1500 tahun, dinyatakan dalam kata-kata dan gaya dari pribadi tersebut dan dipengaruhi juga oleh
kebudayaan dan lingkungan pada jaman tersebut. Artinya, firman Allah kepada kita pada
pertamanya adalah firman-Nya kepada mereka yang hidup pada jaman tersebut. Jika mereka
mendengar firman tersebut, itu hanya karena lewat kejadian atau bahasa yang mereka bisa
mengerti. Masalah kita adalah kita jauh terpisah dengan mereka dari segi waktu dan kadang juga
cara berpikir. Ini adalah alasan utama kenapa kita harus belajar menafsirkan Alkitab. Sebelum
kita menafsirkannya, kita harus belajar mendengar firman yang mereka dengar. 2. Salah satu
aspek terpenting dari element manusia dalam Alkitab adalah untuk mengkomunikasikan firman-
Nya kepada semua kondisi manusia, Allah memilih hampir semua jenis komunikasi: narasi
sejarah, hukum, kotbah, genealogi, drama, puisi, nubuat dll. Untuk mendapatkan arti firman yang
sama seperti yang didengar oleh para pendengar pertamanya, , kita tidak hanya harus mengenal
beberapa aturan dasar yang bisa diaplikasikan kepada seluruh Alkitab, tetapi juga kita harus
mengenal aturan khusus yang hanya bisa diaplikasikan kepada bentuk tertentu. Sebagai contoh,
kita harus mengerti bagaimana Mazmur, bentuk yang biasanya ditujukan kepada Allah, bisa
menjadi firman Tuhan bagi kita. Exegesis Tugas pertama dari seorang penafsir adalah exegesis.
Tujuannya adalah untuk mendengar firman yang diterima oleh penerima originalnya ('plain
meaning') karena kalau tidak ayat Alkitab akan menjadi subyektif dan bisa berarti apa saja.
Contoh, ada yang mengklaim bahwa Alkitab sudah menubuatkan televisi,radio dll berdasarkan
ayat Mzm 19:2-7. Banyak yang bilang biasanya ini adalah tugas dari seorang 'ahli', yaitu mereka
yang sudah mempelajari bahasa asli dan keadaan text tersebut. Faktanya, seseorang tidak perlu
menjadi seorang ahli supaya bisa ber eksegesis yang baik. Semua orang adalah exegete.
Pertanyaannya adalah apakah kita akan menjadi exegete yang baik. Sering kali kita mendengar
"apa yang Yesus maksud disini adalah..." atau "pada jaman tersebut memang hal itu
dimaklumkan". Ekspresi-ekspresi seperti itu merupakan bagian dari exegesis. Dinegara yang
tidak akrab dengan ciuman dipublik, biasanya 'holy kiss' diganti menjadi berjabat tangan (2Kor
13:12). Kita tidak harus memulai dengan berkonsultasi dengan 'ahli'. Tapi jika diperlukan,
pergunakanlah sumber yang baik. Sebagai contoh, dalam Markus 10:23 (Mat 19:23 ; Luk 18:24),
dikatakan bahwa orang kaya susah masuk surga. Banyak yang mengatakan bahwa 'lubang jarum'
disini (ayat 25) adalah nama sebuah gerbang di Yerusalem, dimana unta hanya bisa lewat sambil
berlutut. Masalah dengan 'exegesis' ini adalah itu tidak benar. Karena tidak ada dalam sejarah
gerbang seperti itu di Yerusalem. 'Bukti' paling tua dari ide ini dapat ditemukan dalam
commentary seorang kristen Yunani pada abad ke 11 yang bernama Theopylact, yang
mempunyai kesulitan juga ketika berusaha menafsirkan ayat ini. Belajar untuk ber exegesis
Pada level tertinggi, exegesis membutuhkan pengetahuan bahasa alkitab asli, budaya israel pada
jaman kitab ditulisl; bagaimana menentukan text asli nya ketika manuscript² terdapat perbedaan;
penggunaan sumber primer dll. Tapi kita tetap bisa berexegesis walaupun tidak punya akses ke
hal-hal diatas. Untuk itu kita harus belajar bagaimana menggunakan kemampuan kita dan
bagaimana menggunakan karya orang lain. Kunci dari exegesis adalah belajar untuk membaca
text secara hati-hati dan menanyakan pertanyaan yang tepat dari text. Pertanyaan dasar yang
harus ditanyakan ketika kita membaca text Alkitab, yaitu pertanyaan yang berhubungan dengan
kontext. Pertanyaan yang berhubungan dengan kontext dasarnya terbagi 2 yaitu sejarah dan
literal. Konteks Sejarah berbeda-beda dalam tiap buku. Ini berhubungan dengan budaya dan
jaman sang penulis dan pembaca pada jamannya. Untuk itu kita butuh sumber luar seperti kamus
Alkitab (Bible Dictionary) misalnya International Standard Bible Encyclopedia dll. Konteks
literal ini adalah bagian vital untuk kita bisa berexegesis dengan baik. Dan bagian ini bisa
dilakukan semua orang tanpa harus berkonsultasi dengan 'ahli'. Ketika kita membaca sebuah text,
kita harus bertanya apakah pointnya disini? apakah yang dikatakan penulis dan mengapa dia
menuliskannya disini?

cozia- 12-21-2005

Bahas tentang hermeneutika dong.....thx


BP- 12-21-2005

Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani, dari kata kerja hermêneuô, menafsirkan; hermêneus,
penafsir. Maka, Hermeneutika adalah ilmu teoretis mengenai ilmu tafsir. Maksudnya, dalam
ilmu hermeneutika diterangkan prinsip-prinsip ilmu tafsir. Dalam hermeneutika ilmu tafsir
dipertanggung-jawabkan secara ilmiah, khususnya secara teologis. Maka hermeneutika adalah
suatu ilmu tambahan untuk mendasari dan mempertanggungjawabkan ilmu tafsir. Hermeneutika
hanya mempunyai arti dalam hubungan dengan ilmu tafsir. Dan oleh karena membicarakan
prinsip-prinsip teoretis, maka sebetulnya hanya berguna bagi mereka yang menjadi ahli dalam
bidang itu. Dalam artikel-artikel di Forum ini, pembahasan Alkitab memang menggunakan ilmu
tafsir ini, yang dalam membahas suatu ayat atau pengajaran dalam Alkitab dijelaskan secara
Hermeneutika : Seperti contoh penafsiran PERUMPAMAAN : BENDAHARA YANG TIDAK
JUJUR forumer.com/viewtopic.php?p=1147#1147"
target="_blank">http://sarapanpagi.6.forumer.com/viewtopic.php?p=1147#1147 Pembahasan
ajaran Yesus tentang "BERBAHAGIALAH ORANG YANG MISKIN" di
forumer.com/viewtopic.php?p=318#318"
target="_blank">http://sarapanpagi.6.forumer.com/viewtopic.php?p=318#318 Penjelasan apa
yang dimaksud Yesus mengenai "PIKULLAH KUK, dalam MATIUS 11:28-30" di
forumer.com/viewtopic.php?p=370#370"
target="_blank">http://sarapanpagi.6.forumer.com/viewtopic.php?p=370#370 Pembahasan
"YESUS MENOLAK DISEBUT BAIK?" di forumer.com/viewtopic.php?p=26#26"
target="_blank">http://sarapanpagi.6.forumer.com/viewtopic.php?p=26#26 dan lain-lain...
=============================== Hermeneutik: Ilmu Tafsir Banyak perdebatan
modern mengenai Alkitab berkisar sekitar persoalan- persoalan mengenai hermeneutika. Ilmu
Hermeneutika adalah ilmu penafsiran Alkitab. Dalam mitos Yunani, dewa Hermes adalah
pembawa berita para dewa. Tugasnya adalah menafsirkan kehendak dewa-dewa. Karena itu
hermeneutika berhubungan dengan penyampaian berita yang dapat dimengerti. Tujuan
hermeneutika adalah menetapkan garis-garis pedoman dan aturan- aturan menafsir.
Hermeneutika telah berkembang menjadi ilmu yang teknis dan rumit. Dokumen tertulis mana
saja adalah subjek salah tafsir. Karena itu kita telah mengembangkan aturan-aturan untuk
menjaga kita dari kesalahpahaman seperti itu. Penelitian ini akan kita batasi hanya sampai pada
aturan-aturan dan garis-garis pedoman yang dasar saja. Secara historis Amerika Serikat memiliki
badan khusus yang secara teoritis berfungsi sebagai majelis agung hermeneutika negaranya.
Badan ini disebut Mahkamah Agung. Salah satu tugasnya yang utama ialah menafsirkan
Konstitusi Amerika Serikat. Konstitusi itu merupakan dokumen tertulis dan memerlukan
penafsiran. Asalnya, prosedur menafsir konstitusi itu mengikuti apa yang disebut metode
gramatis historis. Maksudnya, konstitusi itu ditafsirkan dengan cara mempelajari kata-kata
dokumennya sendiri melalui arti kata-kata tersebut pada waktu dipakai untuk menyusun
dokumen itu. Sejak karya Oliver Wendell Holmes, metode penafsiran konstitusi itu telah berubah
secara radikal. Krisis dalam hukum dan kepercayaan masyarakat yang terjadi sekarang ini
terhadap mahkamah agung nasional langsung berhubungan dengan problem dasarnya, yaitu
metode penafsiran. Pada waktu Mahkamah Agung menafsirkan konstitusi menurut cara-cara
modern, hasilnya adalah perubahan konstitusi itu melalui penafsiran ulang. Hasil akhirnya ialah
bahwa dengan cara yang sangat halus Mahkamah Agung itu menjadi badan legislatif, jadi telah
berubah dari fungsinya yang semula sebagai badan penafsir. Krisis yang sama telah terjadi
dengan penafsiran Alkitab. Ketika ahli- ahli Alkitab memakai metode penafsiran yang
menyangkut "memodernkan Alkitab" melalui penafsiran ulang, maka makna asli Alkitab
menjadi kabur dan beritanya dikompromikan dengan tren-tren (kecenderungan) zaman ini.
ANALOGI IMAN Ketika para tokoh Reformasi memisahkan diri dari Roma dan menyatakan
pandangan mereka bahwa Alkitab harus menjadi otoritas utama gereja (Sola Scriptura), dengan
cermat mereka mendefinisikan prinsip-prinsip dasar penafsiran. Aturan utama penafsiran disebut
"analogi iman." Analogi iman adalah aturan yang mengatakan bahwa Alkitab harus menafsirkan
Alkitab: Sacra Scriptura sui interpres (Kitab Suci adalah penafsirnya sendiri). Artinya cukup
sederhana, yaitu bahwa tidak ada bagian Alkitab yang dapat ditafsirkan sedemikian rupa
sehingga konflik dengan apa yang dengan jelas diajarkan di bagian Alkitab yang lain. Misalnya,
jika suatu ayat tertentu memungkinkan adanya dua macam penerjemahan atau penafsiran yang
berlainan dan salah satu penafsiran itu berlawanan dengan bagian-bagian Alkitab yang lain, dan
penafsiran yang kedua itu cocok dengan keseluruhan makna Alkitab, maka penafsiran yang
kedualah yang harus dipakai. Prinsip itu bertumpu pada kepercayaan sebelumnya kepada Alkitab
sebagai Firman Allah yang diwahyukan. Karena itu mereka juga percaya bahwa Alkitab itu
konsisten dan koheren (tetap dan berkaitan). Mereka beranggapan bahwa Allah tidak akan
berkontradiksi dengan diri-Nya sendiri. Karena itu memilih suatu interpretasi yang menyebabkan
Alkitab bertentangan dengan dirinya sendiri, yang sebenarnya tak perlu demikian adalah sama
dengan menghujat Roh Kudus. Di zaman kita sekarang ketelitian inspirasi Alkitab sering
diabaikan. Sudah umum terdapat para penafsir modern yang tidak hanya menafsirkan Alkitab
dengan melawan Alkitab sendiri, tetapi juga menyimpang untuk melakukannya. Usaha-usaha
oleh ahli-ahli Alkitab ortodoks untuk menyerasikan pasal-pasal yang sulit dihina dan sangat
diabaikan oleh mereka. Terpisah dari persoalan inspirasi, metode analogi iman adalah metode
yang sehat untuk menafsir buah sastra. Norma sederhana mengenai kesopanan yang umum
seharusnya melindungi penulis mana saja dari tuduhan-tuduhan berkontradiksi dengan diri
sendiri yang tidak berdasar. Jikalau saya dihadapkan kepada pilihan untuk menafsirkan ulasan-
ulasan seseorang. Pilihan pertama ialah menyatakan bahwa ulasan-ulasan tersebut konsisten
(tetap, tidak berubah-ubah dan tidak kontradiksi). Pilihan kedua ialah menyatakan bahwa ulasan-
ulasan tersebut perlu berkontradiksi. Jikalau demikian tampaknya orang tersebut perlu
dibebaskan dari tuduhan bahwa ulasan-ulasannya berkontradiksi, karena saya yakin tidak
mungkin seseorang berkontradiksi dengan dirinya sendiri. Pernah orang-orang bertanya kepada
saya mengenai pasal-pasal yang telah saya tulis dalam buku-buku saya. Misalnya mengapa saya
dapat mengatakan begini dalam pasal 6, sedangkan dalam pasal 4 saya mengatakan begini dan
begitu. Saya kemudian menjelaskan apa yang saya maksudkan dalam pasal 6, maka orang
tersebut lalu melihat bahwa pada akhirnya kedua macam pemikiran saya itu sebenarnya tidak
bertentangan. Perspektif saya dalam pasal 6 agak berbeda dengan perspektif saya dalam pasal 4.
Pada pandangan pertama tampaknya kedua perspektif tersebut bertentangan, namun dengan
memakai "falsafah melihat kembali kedua kalinya" maka problem itu dapat dipecahkan. Kita
semua telah melakukan kesalahfahaman seperti itu, sebab itu kita perlu peka terhadap kata-kata
orang lain kalau kita ingin memahaminya. Sudah barang tentu, mungkin kata-kata saya memang
bertentangan. Jadi metode kepekaan dan falsafah "pembebasan dari tuduhan karena diragukan si
pelaku memang bersalah" itu hanya dapat diterapkan kalau ada keragu- raguan. Kalau tidak ada
keraguan bahwa saya telah berkontradiksi dengan diri saya sendiri, maka yang boleh dilakukan
hanyalah mengevaluasi saja. Meskipun demikian, jikalau kita tidak berusaha untuk menafsirkan
kata-kata dengan cara konsisten, maka kata-kata yang kita baca itu menjadi sangat kacau. Kalau
hal ini terjadi dalam penafsiran Alkitab, maka Alkitab menjadi seperti bunglon yang berubah-
ubah warna kulitnya kalau latar belakangnya berubah. Jadi yang dimaksud ialah penafsiran
berubah kalau yang menafsir lain. Jadi jelas bahwa pandangan kita mengenai hakiki dan asal
Alkitab memberikan dampak penting pada bagaimana kita akan menafsirkannya. Jika kita
memandang Alkitab sebagai Firman Allah yang diwahyukan, maka analogi iman bukanlah
metode pilihan, tetapi merupakan tuntutan penafsiran. Sumber : Judul Buku : Mengenali Alkitab
Penulis : R.C. Sproul Penerbit : Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang Tahun : 1994

Forumer™ is Voted #1 Free Forum Hosting provider


Build your own community today with the largest message board hosting company.
Terms
BAB 1
MENGAPA ALKITAB PERLU DITAFSIRKAN?

Pertanyaan paling utama, di dalam bagian ini adalah mengapa Alkitab perlu ditafsirkan? Kalau
kita mau bersikap jujur terhadap diri sendiri, maka setiap hari kita mau tidak mau menafsirkan
sesuatu, baik itu buku, perkataan seseorang, dll. Di dalam jurusan Sastra Inggris, saya
mempelajari pelajaran Discourse Analysis, sebuah analisa wacana, baik dalam bentuk perkataan,
bacaan, dll. Di dalam percakapan sekalipun, kita sering mengalami miscommunication,
diakibatkan kekurangmengertian kita di dalam menanggapi perkataan orang lain.
Kekurangmengertian kita itu pasti akibat dari tafsiran kita akan perkataan orang lain. Di dalam
pelajaran tersebut, saya belajar tentang Speech Act yang dibagi menjadi tiga hal, pertama,
Locutionary Act, kedua, Illocutionary Act dan ketiga Perlocutionary Act. Lalu, juga ada istilah
Illocutionary Force yang berarti maksud orang yang berbicara agar orang lain dapat mengerti
dan meresponi apa yang dikatakan oleh si pembicara dengan tepat. Misalnya, Ani berkata kepada
Budi, “Saya lapar.” Ini dikategorikan sebagai Illocutionary Act yang berarti bahwa perkataan Ani
tidak sedang memberikan informasi kepada Budi bahwa Ani lapar, tetapi ada maksud Ani dalam
mengatakan hal tersebut, yaitu supaya Budi membelikan dia makanan atau menyiapkan makanan
bagi Ani. Maksud Ani inilah yang disebut Illocutionary Force. Kalau di dalam kehidupan sehari-
hari, kita menafsirkan sesuatu dan bisa terjadi miscommunication, maka Alkitab pun mau tidak
mau tidak lepas dari penafsiran ketika kita membacanya. Lalu, apakah tafsiran kita terhadap
Alkitab itu bisa salah ? Tentu bisa, seperti yang saya kemukakan di dalam pelajaran Discourse
Analysis tadi khususnya contoh Ani dan Budi di atas, di mana Budi bisa saja salah menafsirkan
perkataan Ani lalu hanya mengangguk-angguk saja tanpa meresponi perkataan Ani dengan tepat.
Kemudian, bagaimana supaya tidak terjadi miscommunication ? Hanya satu, yaitu bertanya
langsung kepada yang berbicara (dalam hal ini, Ani) agar pendengar (dalam hal ini, Budi) dapat
mengerti yang diucapkan oleh yang berbicara. Demikian pula, supaya tidak terjadi
misinterpretation terhadap Alkitab, kita perlu memahami kaidah-kaidah tafsiran Alkitab.

Alkitab adalah Firman Allah yang diwahyukan langsung dari Allah melalui sarana para nabi dan
rasul-Nya. KeKristenan khususnya theologia Reformed mempercayai ketidakbersalahan Alkitab
baik dari segi sejarah maupun pesan (inerrancy and infallibility of the Bible) di dalam naskah
asli/autographanya. Mengapa harus naskah aslinya tidak bersalah ? Karena naskah asli itu yang
asli langsung diwahyukan Allah melalui para nabi dan rasul-Nya. Lalu, apakah berarti
terjemahan-terjemahan yang kita pakai sekarang mengandung kesalahan dan tidak dapat
dipercaya seperti naskah aslinya ? Kita percaya bahwa naskah asli Alkitab sudah tidak ada,
mengapa ? Itu adalah kedaulatan Allah yang mengizinkan segala sesuatu terjadi. Tetapi kalau
mau ditafsirkan, naskah asli Alkitab sudah tidak ada, mungkin ada kedaulatan Allah sengaja
membiarkannya dengan maksud agar orang Kristen tidak memberhalakan naskah asli tersebut,
karena manusia cenderung mengeramatkan hal-hal yang dianggap “suci” (misalnya, kain kafan
Tuhan Yesus dikeramatkan, lalu tempat Tuhan Yesus dilahirkan di Betleham dikeramatkan dan
dibangun gereja, dll), padahal itu tidak sesuai dengan Alkitab. Memberhalakan sesuatu atau
menganggap sesuatu yang “suci” sekalipun sebagai “ilah” itu melanggar Titah Pertama di dalam
Dasa Titah (10 Perintah Allah) yang mengatakan, “Jangan menyembah ilah-ilah lain. Sembahlah
Aku saja.” (Keluaran 20:3 ; Bahasa Indonesia Sehari-hari) Kembali, karena naskah asli kita
sudah tidak ada dan yang ada pada kita sekarang hanyalah naskah-naskah terjemahan Alkitab,
maka kita perlu mengerti satu prinsip yaitu ketika Alkitab diterjemahkan dari bahasa Ibrani (PL)
dan Yunani (PB) ke dalam bahasa-bahasa lokal, maka pasti ada suatu gap bahasa, kebudayaan,
dll.

Pertama, adanya gap bahasa. Misalnya, di dalam bahasa Yunani, kata “kebenaran” diartikan
aletheia (=Truth) dan dikaiosune? (=Righteousness), sedangkan di dalam bahasa Indonesia, kata
dikaiosune? (dalam Perjanjian Baru) mayoritas diterjemahan kebenaran, 9 ayat diterjemahkan
sebagai keadilan (Kisah Para Rasul 17:31; Roma 3:25, 26; Efesus 5:9; 1 Timotius 6:11 ; 2
Timotius 2:22; Ibrani 1:9; 2 Petrus 1:1; dan Wahyu 19:11) dan 1 ayat diterjemahkan sebagai
kebaikan/yang baik (Titus 3:5). Sedangkan kata aletheia terdapat di dalam 97 ayat Alkitab
Perjanjian Baru, hanya 8 ayat Alkitab di dalam PB yang tidak diterjemahkan sebagai kebenaran,
di antaranya : 4 ayat di dalam PB diterjemahkan sebagai jujur (Matius 22:16; Markus 12:14;
Roma 2:2; Filipi 1:18), 3 ayat di dalam PB diterjemahkan sebagai sungguh/sesungguhnya (Lukas
22:59; Kisah 4:27; 10:34) dan 1 ayat di dalam PB diterjemahkan sebagai tulus (Markus 5:33).
Kata “kebenaran” di dalam bahasa Indonesia bisa memiliki begitu banyak arti di dalam bahasa
Yunani, demikian pula kata “kasih” yang dalam bahasa Yunani memiliki 4 kata yang berbeda,
yaitu Agape, Philia, Storge dan Eros. Kalau kita tidak menyelidiki Alkitab sampai ke bahasa
aslinya, kita akan kehilangan begitu banyak berkat Firman Tuhan yang dilimpahkan-Nya kepada
kita. Banyak orang Kristen mengira bahwa studi Alkitab sampai ke bahasa asli atau
menggunakan terjemahan bahasa lain (misalnya, Inggris, Mandarin, dll) adalah terlalu akademis.
Anggapan ini adalah anggapan yang sama sekali tidak bertanggungjawab.

Kedua, adanya gap budaya. Ketika di dalam Roma 16:16, Paulus berkata, “Bersalam-salamlah
kamu dengan cium kudus. Salam kepada kamu dari semua jemaat Kristus.”, maka beberapa
kelompok sekte sesat di dalam “keKristenan”, yaitu children of “God” menafsirkan ayat ini lalu
diterapkan ke dalam anggota jemaat gereja. Mengapa Paulus memerintahkan jemaat Roma untuk
saling berciuman kudus ? Apakah ini budaya free-sex ala Alkitab ? TIDAK ! Kata holy kiss
diterjemahkan secara harafiah sebagai cium kudus, tetapi kata kiss di sini dari bahasa Yunani
phile?ma yang akar katanya dari phileo? yang merupakan kasih persaudaraan. Jadi, cium kudus
ini berarti cium sebagai tanda persaudaraan, bukan berdasarkan kasih birahi atau eros. Lalu,
ketika Paulus berkata kepada Timotius di dalam 1 Timotius 5:23, “Janganlah lagi minum air saja,
melainkan tambahkanlah anggur sedikit, berhubung pencernaanmu terganggu dan tubuhmu
sering lemah.”, apakah itu berarti bahwa anggur diperintahkan Paulus untuk diminum terus-
menerus oleh Timotius dan kita juga? TIDAK ! Pada waktu itu, anggur dianggap sebagai obat.
Begitu pula halnya dengan kata “minyak” di dalam Yakobus 5:14, “Kalau ada seorang di antara
kamu yang sakit, baiklah ia memanggil para penatua jemaat, supaya mereka mendoakan dia serta
mengolesnya dengan minyak dalam nama Tuhan.” yang jangan sembarangan ditafsirkan bahwa
itu adalah minyak urapan seperti yang digembar-gemborkan oleh Pariadji/Tiberias. Kata
“minyak” di sini dalam bahasa Yunaninya elaion berarti olive oil atau minyak zaitun dan minyak
ini adalah sebagai obat. Itu adalah budaya setempat, jangan dipaksakan ke dalam budaya lain,
termasuk Indonesia, lalu mengoleskan sembarangan minyak, yang penting minyak menurut
Alkitab, itu salah. Kemudian, kata “Kerajaan Allah” di dalam Injil Matius hanya digunakan
sebanyak 6x, sedangkan kata “Kerajaan Surga” dipakai sebanyak 34x di dalam Injil Matius
(menurut Alkitab terjemahan baru Lembaga Alkitab Indonesia/LAI), mengapa ? Prof. Anthony
A. Hoekema, Th.D. di dalam bukunya Alkitab dan Akhir Zaman mengungkapkan, “Alasannya,
orang-orang Yahudi yang berusaha untuk menghindari nama Allah, telah memakai kata sorga
sebagai ganti nama Allah ; ...” (Hoekema, 2004, p 57). Kalau kita tidak mengerti perbedaan
kedua kata ini, kita tidak akan mengerti keseluruhan berita utama di dalam Injil Matius yang
menekankan Kristus adalah Raja dan IA merekrut kita sebagai umat pilihan-Nya untuk menjadi
anggota warga Kerajaan Surga yang melayani-Nya. Contoh lain, di dalam 1 Korintus 14:34,
“Sama seperti dalam semua Jemaat orang-orang kudus, perempuan-perempuan harus berdiam
diri dalam pertemuan-pertemuan Jemaat. Sebab mereka tidak diperbolehkan untuk berbicara.
Mereka harus menundukkan diri, seperti yang dikatakan juga oleh hukum Taurat.” Seorang
teman “Kristen” saya menafsirkan ayat ini dan tanpa pikir panjang langsung berkomentar bahwa
Paulus itu melakukan diskriminasi. Inilah akibat tidak mempelajari gap budaya di dalam Alkitab.
Perempuan tidak boleh berbicara di dalam surat Korintus ini dikarenakan di dalam kota Korintus,
perempuan diidentikkan dengan pelacur (sebagian besar orang yang bertobat itu berasal dari latar
belakang kafir/penyembah berhala—Handbook to the Bible,” 2002), karena banyak perempuan
bekerja sebagai pelacur. Oleh karena itu, Paulus melarang perempuan berbicara.

Ketiga, adanya gap latar belakang. Semua kitab di dalam Alkitab ketika ditulis pasti memiliki
latar belakang tertentu. Kalau kita tidak memahami dengan jelas, latar belakang setiap kitab,
maka kita akan kehilangan makna aslinya yang akhirnya itu juga tidak membawa berkat bagi kita
sebagai pembaca di masa sekarang. Seringkali banyak orang Kristen menganggap kitab-kitab di
dalam Alkitab ditulis untuk kita di masa sekarang, lalu mereka mengabaikan konteks dan latar
belakang yang ada. Oleh karena itu, Alkitab perlu ditafsirkan karena adanya gap latar belakang
antara penulis kitab di dalam Alkitab dengan kita sebagai pembaca di masa sekarang. Misalnya,
ketika Paulus di dalam Roma 10:13, “Sebab, barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan, akan
diselamatkan.” Banyak hamba Tuhan Injili memakai ayat ini ketika memberitakan Injil dan
menyuruh orang yang diinjili untuk berseru kepada nama Tuhan saja, nanti orang tersebut akan
diselamatkan. Ini akibat dari mengabaikan latar belakang di dalam kitab Roma. Kecenderungan
banyak hamba Tuhan yang dipengaruhi oleh Arminianisme/mayoritas theologia Injili adalah
mengabaikan latar belakang yang ada dan langsung menyampaikan relevansi Alkitab terhadap
kehidupan masa sekarang. Ini kesalahan di dalam penafsiran Alkitab. Kembali, Kitab Roma
ditulis oleh Rasul Paulus kepada jemaat di Roma yang sedang mengalami penganiayaan oleh
Romawi yang pada waktu itu melarang orang Kristen menyembah Allah selain Kaisar Romawi,
jika melanggar, akan dihukum mati. Oleh karena itu, Paulus menyerukan kepada jemaat di Roma
bahwa barangsiapa yang berseru kepada Tuhan, tentu dengan resiko mati, akan diselamatkan.
Nah, kalau ayat ini dilepaskan dari konteksnya, akan berakibat fatal, lalu Injil yang diberitakan
adalah “injil” murahan, seperti yang banyak diberitakan di dalam banyak gereja kontemporer
yang pop di mana banyak “injil” palsu yang diberitakan, misalnya, yang miskin setelah percaya
kepada “Kristus” pasti kaya, dll.
BAB 2
PRINSIP-PRINSIP DASAR (UMUM) DALAM PENAFSIRAN ALKITAB

Penafsiran Alkitab atau lebih dikenal dengan hermeneutika Alkitab bukanlah salah satu bidang di
dalam theologia sistematika yang diajarkan di sekolah theologia yang berdiri sendiri, tetapi
hermeneutika ini pasti berkaitan dengan semua theologia sistematika lainnya, misalnya Doktrin
Allah, Doktrin Alkitab, Doktrin Kristus, dll dan tentu dipengaruhi juga oleh berbagai hal dalam
diri manusia sebagai si penafsir Alkitab. Oleh karena itu, marilah kita menyelidiki prinsip-prinsip
dasar apa saja yang perlu diperhatikan di dalam menafsirkan Alkitab.

1. Dipengaruhi oleh presuposisi dan iman


Presuposisi atau praanggapan adalah suatu pola pikir manusia sebelum dia memiliki anggapan
tertentu. Misalnya, sebelum dia menyatakan bahwa X adalah seorang pencuri, mungkin sekali
dia sudah memiliki presuposisi yang mengakibatkan dia berhati-hati dalam memperhatikan si X.
Jadi, presuposisi seseorang menentukan tindakan selanjutnya dari orang tersebut. Begitu pula, di
dalam menafsirkan Alkitab, pengaruh presuposisi ini tidak bisa dilepaskan, karena presuposisi
ini nantinya pasti mengakibatkan si penafsir Alkitab dapat menafsir Alkitab dengan baik atau
malahan buruk dan menyesatkan. Di dalam istilah atau konsep presuposisi ini, unsur iman
termasuk di dalamnya. Konsep iman yang dari titik awal sudah tidak beres, maka seluruh
penafsiran Alkitab yang dihasilkannya pun tidak beres, meskipun mengutip ribuan ayat Alkitab.
Perhatikan, kutipan ribuan ayat Alkitab tidak menjamin seorang pengkhotbah atau hamba Tuhan
benar-benar mengerti presuposisi dasar Alkitab sesungguhnya, mungkin sekali si pengkhotbah
ini kurang persiapan di dalam berkhotbah lalu mengutip banyak ayat Alkitab di luar konteks
aslinya. Kembali, mengapa iman menjadi kriteria pertama dalam mempengaruhi penafsiran
Alkitab ? Karena iman itu adalah anugerah Allah kepada umat pilihan-Nya. Iman sejati pasti
menentukan penafsiran Alkitab yang beres. Tetapi masalahnya, iman itu sendiri kadang kala
disalahmengerti sebagai tindakan manusia, sehingga dari konsep iman yang salah pasti
mengakibatkan konsep penafsiran Alkitab yang salah (metode eisegese yang berarti mencocok-
cocokkan ide manusia dengan dukungan ayat Alkitab). Mari kita selidiki dengan teliti kaitan
antara doktrin Kristen di dalam theologia sistematika dengan konsep penafsiran Alkitab.
Pertama, doktrin Alkitab. Penafsiran Alkitab tentu tidak bisa dilepaskan dari kepercayaan akan
doktrin Alkitab si penafsir Alkitab. Misalnya, seorang yang mempercayai ketidakbersalahan
Alkitab dalam naskah asli/autographanya (ini prinsip yang benar, theologia Reformed), maka si
penafsir Alkitab akan memandang Alkitab sebagai satu-kesatuan yang menyeluruh, sehingga
bagian Alkitab yang tidak seberapa jelas di dalam kitab tertentu akan dijelaskan di dalam bagian
kitab lainnya sehingga membentuk totalitas Alkitab yang dapat dipercaya keotentikannya.
Sebaliknya, jika di dalam diri si penafsir Alkitab, timbul suatu keraguan akan ketidakbersalahan
Alkitab, lalu mempercayai bahwa Alkitab itu sepenuhnya karya manusia dan tidak diinspirasikan
Allah (pandangan “theologia” liberal), maka sudah tentu si penafsir Alkitab ini akan
menganggap semua data di Alkitab khususnya berkaitan dengan kelahiran Anak Dara Maria, hal-
hal supranatural yang diberitakan oleh Alkitab, dll adalah karangan manusia belaka. Misalnya,
ketika di dalam Alkitab diceritakan bahwa Musa membelah Laut Teberau, dan lautnya kering,
maka para penafsir Alkitab yang liberal akan mengartikannya dengan menggunakan rumus-
rumus fisika yang pada akhirnya menolak terjadinya hal supranatural tersebut. Lain pula halnya,
ketika si penafsir Alkitab memiliki kepercayaan bahwa Alkitab itu bukan firman Allah, tetapi
berisi firman Allah (pandangan theologia Neo-Orthodoks dari Karl Barth dan Emil Brunner)
yang mengajarkan bahwa Alkitab hanya salah satu kunci manusia memahami firman Allah, yang
penting adalah pengalaman pribadi dalam mendengar suara Allah. Pandangan ini akan
mengakibatkan si penafsir Alkitab menganggap Alkitab itu hanya salah satu firman Allah dan
yang penting baginya adalah pengalaman pribadi mendengar suara Allah. Tidaklah heran,
banyak gereja kontemporer yang pop saat ini dipengaruhi oleh theologia Neo-Orthodoks yang
muncul setelah Perang Dunia I, lalu menganggap bahwa Alkitab itu tidak perlu ditafsirkan
dengan metode yang sulit-sulit, karena Alkitab itu bukan buku akademis, sehingga marilah
masing-masing orang dengan pengalaman pribadinya menafsirkan Alkitab. Meskipun pernyataan
ini tidak berani diungkapkan oleh mereka, tetapi secara implisit mereka mengakui dengan bulat
di samping mengakui ketidakbersalahan Alkitab secara akademis dan perkataan. Seorang
apologet Reformed ternama, Dr. Cornelius Van Til di dalam bukunya The Defense of the Faith
mengatakan bahwa banyak theolog Injili mempercayai Alkitab itu firman Allah, tetapi
sayangnya mereka tidak benar-benar mempercayainya, lalu mulai membuktikan keberadaan
Allah bukan dari Alkitab, tetapi dari bukti-bukti ilmiah dan rasio manusia. Lalu, tidak heran
ketika Mazmur 1:3 bisa ditafsirkan seenaknya lalu mengajarkan bahwa orang yang percaya
kepada Tuhan pasti berhasil. Ini adalah akibat dari kepercayaan Neo-Orthodoks yang
dimodernkan oleh banyak gereja kontemporer yang pop yang tidak memperhatikan kaidah
penafsiran Alkitab.

Kedua, doktrin Allah. Setelah penafsiran Alkitab berkaitan dengan doktrin Alkitab, maka
hermeneutika pun berkaitan juga dengan doktrin Allah. Theologia Reformed yang dipengaruhi
oleh John Calvin menekankan akan kedaulatan Allah (the Sovereignty of God), Allah yang
berada di dalam diri-Nya sendiri, Allah yang tidak bergantung pada apa dan siapapun, Allah
yang tidak berubah, dll. Iman Reformed sangat menentukan sekali terhadap metode penafsiran
Alkitab yang lebih mendekati Alkitab (metode eksegese). Kedaulatan Allah yang dipercaya oleh
Reformed akan sangat menentukan dan memimpin arah penafsiran Alkitab yang para theolog
Reformed dan penganut theologia Reformed kerjakan. Misalnya, ketika Kejadian 6:6, Allah
bersabda, “maka menyesallah TUHAN, bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi, dan hal itu
memilukan hati-Nya.”, maka para penganut theologia Reformed yang menekankan kedaulatan
Allah akan menafsirkan dan mengajarkan bahwa Allah itu adalah Allah yang Berdaulat sehingga
Ia tak mungkin menyesal (lalu “mengubah” rencana yang sudah ditetapkan-Nya), maka ketika
ayat ini berkata, “maka menyesallah TUHAN”, maka sesungguhnya perkataan ini dimengerti
dalam cara pandang manusia, bukan Tuhan. Kalau kita memperhatikan tafsiran ini, maka konsep
ini akan sinkron dengan keseluruhan bagian Alkitab lainnya (misalnya, Mazmur 93:2, dll).
Sedangkan para penganut theologia Arminian yang sama sekali menolak kedaulatan Allah dan
lebih menekankan kehendak bebas manusia, ketika membaca Kejadian 6:6 di atas, lalu
menafsirkan bahwa Allah itu dapat mengubah rencana-Nya ketika manusia gagal mematuhi-Nya.
Masalah yang selanjutnya terjadi, presuposisi mereka dengan mudah dapat dijatuhkan, ketika
Mazmur 93:2 berkata, “takhta-Mu tegak sejak dahulu kala, dari kekal Engkau ada.” Kata “kekal”
tidak dapat diartikan lain, kecuali selama-lamanya dan tidak berubah. Kalau Allah itu adalah
Allah yang kekal, apakah Ia dapat mengubah rencana-Nya yang telah Ia tetapkan sebelum dunia
dijadikan ? Kalau Allah yang kekal dapat mengubah rencana-Nya, lalu apa bedanya Allah yang
adalah Pencipta dengan manusia sebagai ciptaan-Nya ? Ini suatu ketidakmungkinan dan
kesalahan paradigma di dalam bertheologia dan memahami Alkitab. Di sini, kegagalan sangat
fatal dari para penganut theologia Arminian (kebanyakan Injili) dalam bertheologia secara
mendasar dengan tidak membedakan secara kualitas antara Allah sebagai Pencipta yang tidak
terbatas (kekal) dan manusia sebagai ciptaan yang terbatas.
Lalu, doktrin Allah ini akan membuat jalur perbedaan yang sangat tajam antara para penganut
theologia Reformed yang menekankan supremasi Allah dan penundukan manusia dengan para
penganut theologia Arminian yang sama-sama mengagungkan supremasi Allah dan manusia
(meskipun tidak secara eksplisit mereka ungkapkan). Para penganut theologia Reformed yang
menekankan kedaulatan Allah akan melihat seluruh bagian Alkitab sebagai bagian yang Kristo-
sentris (berpusat kepada Kristus), sehingga manusia harus taat mutlak kepada-Nya. Ini
ditegaskan di dalam jawaban pertanyaan nomer satu dalam Katekismus Singkat Westminster
(salah satu pengakuan iman Reformed) yang berkata, “Tujuan utama manusia adalah
memuliakan Allah dan menikmati-Nya selama-lamanya.” (Meade : 2004, p. 1) Meskipun Rick
Warren di dalam bukunya The Purpose Driven Life mengungkapkan hal yang sama dengan
konsep Reformed ini, tetapi jika kita terus meneliti satu per satu, maka dapat disimpulkan bahwa
buku ini bukan buku yang berdasarkan sentralitas Alkitab dan kedaulatan Allah, tetapi lebih ke
arah human-centered, meskipun Warren menyangkali pernyataan ini. Sebaliknya, konsep
theologia Arminian yang human-centered sudah kelihatan dari cara penafsiran Alkitabnya yang
mencari-cari ayat-ayat Alkitab sekehendak hatinya cenderung kurang memperhatikan
konteksnya untuk mendukung bahwa manusia memiliki “supremasi” untuk menolak atau
menerima anugerah Allah. Misalnya, banyak theolog Injili dengan aliran theologia Arminian
yang dianutnya memahami Alkitab bukan dari presuposisi kedaulatan Allah, tetapi kehendak
bebas manusia, sehingga meskipun jelas-jelas Alkitab mengajarkan tentang anugerah Allah,
mereka pasti menafsirkannya dengan tetap menekankan kehendak bebas manusia, contoh,
meskipun Allah memberikan anugerah kepada manusia, manusia tetap harus meresponinya,
karena kalau tidak, manusia tersebut tidak dapat diselamatkan. Inilah gaya penafsiran Alkitab
yang keliru. Pandangan theologia Arminian ini diadaptasi dari konsep pemikiran Semi-
Pelagianisme yang merupakan “jalan tengah” dari ajaran Pelagius (yang mengajarkan bahwa
manusia dilahirkan tanpa dosa) dan Augustinus (manusia dilahirkan dalam keadaan berdosa).
Bapa Gereja Augustinus telah lama berperang melawan Pelagianisme dan Semi-Pelagianisme,
tetapi rupa-rupanya humanisme terus berjaya, dan sampailah kepada paham Arminianisme.

Ketiga, doktrin keselamatan (Soteriologi). Doktrin keselamatan dapat mempengaruhi posisi


penafsiran Alkitab seseorang. Misalnya, seorang penganut theologia Reformed yang memegang
kepercayaan bahwa anak-anak Tuhan sejati tidak mungkin kehilangan keselamatannya akan
mengerti keseluruhan Alkitab lebih teliti dan bertanggungjawab. Yohanes 3:16 ; 10:27-29 ;
Roma 8:33-35 adalah bagian-bagian Alkitab yang mengajarkan secara ketat akan kepastian
jaminan Kristen tentang keselamatan (tanpa mengabaikan konteks aslinya). Sedangkan para
penganut theologia Arminian dan Katolik Roma yang mempercayai perbuatan baik lebih penting
daripada iman akan mengutip ayat-ayat Alkitab menurut kehendak mereka untuk mendukung
ajaran mereka. Hal ini akan dibahas pada poin 2.3 tentang problematika penafsiran Alkitab di
kalangan keKristenan.
Keempat, doktrin Kristus (Kristologi). Kristologi juga dapat mempengaruhi penafsiran Alkitab.
Misalnya, seorang penganut theologia Reformasi dan Reformed yang menganut paham dwi-
natur sifat Kristus, yaitu 100% Allah dan 100% manusia akan menafsirkan Alkitab dengan kedua
pandangan ini. Dan hal ini jelas dibuktikan Alkitab secara eksplisit yaitu di dalam Yohanes 1:1
dan Roma 1:3-4. Tetapi para penganut theologia non-Reformasi, misalnya theologia Orthodoks
(Syria) yang menekankan kemanusiaan Yesus dan menolak keilahian-Nya, maka mereka akan
mengutip Yohanes 1:1 secara sebagian yaitu dengan menghilangkan pernyataan, “Firman itu
adalah Allah.” Hal ini dikhotbahkan seorang pemimpin gereja yang dulunya beragama mayoritas
di Indonesia, lalu kemudian menjadi “pendeta” yang sekarang ingin membawa keKristenan
kembali kepada agama dahulunya agar menurutnya, keKristenan boleh diterima oleh agama
dahulunya. Seorang penganut Orthodoks Syria ini akan kebingungan dalam menafsirkan Roma
1:4 yang menyebutkan Tuhan Yesus itu juga bernatur Ilahi selain bernatur manusia. Dengan kata
lain, mereka akan berkontradiksi dan melawan diri sendiri jika menjumpai ayat-ayat Alkitab
yang tidak cocok dengan formulasi doktrin mereka.

Kelima¸ doktrin Roh Kudus (Pneumatologi). Pneumatologi, baik dengan konsep yang benar
maupun salah, sama-sama mempengaruhi cara menafsirkan Alkitab. Theologia Reformasi dan
Reformed yang percaya 100% bahwa Roh Kudus adalah Pribadi Ketiga Allah Trinitas yang
berperan melahirbarukan umat pilihan-Nya untuk percaya di dalam Kristus dan
menyempurnakan mereka serupa seperti Kristus kelak akan menafsirkan Yohanes 15:26 dengan
mengatakan bahwa Roh Kudus datang untuk memuliakan Kristus dan juga Yohanes 16:8 bahwa
Roh Kudus datang untuk menginsyafkan dunia akan dosa, kebenaran dan penghakiman. Hal ini
sinkron dengan keseluruhan berita Alkitab. Misalnya, di dalam 1 Korintus 12:3, “Karena itu aku
mau meyakinkan kamu, bahwa tidak ada seorangpun yang berkata-kata oleh Roh Allah, dapat
berkata: "Terkutuklah Yesus!" dan tidak ada seorangpun, yang dapat mengaku: "Yesus adalah
Tuhan", selain oleh Roh Kudus.”, 1 Petrus 1:2 yang mengajarkan, “yaitu orang-orang yang
dipilih, sesuai dengan rencana Allah, Bapa kita, dan yang dikuduskan oleh Roh, supaya taat
kepada Yesus Kristus dan menerima percikan darah-Nya. Kiranya kasih karunia dan damai
sejahtera makin melimpah atas kamu.” Jadi, apa yang Tuhan Yesus ucapkan di dalam Injil
Yohanes tentang Roh Kudus juga diajarkan dengan konsep yang sama persis oleh para rasul-
Nya, baik Paulus, maupun Petrus, dll. Inilah kekonsistenan seluruh berita Alkitab yang tidak
mungkin berkonflik (berkontradiksi) dengan dirinya sendiri. Puji Tuhan. Lalu, kalau ada
theologia Kristen yang non-Reformasi, misalnya, dipengaruhi oleh Arminian yang human-
centered, akan mengatakan secara implisit bahwa Roh Kudus bisa diatur manusia, sehingga
manusia seolah-olah dapat memerintah Roh Kudus. Kemudian, mereka mengklaim kepada Roh
Kudus jika mereka tidak dapat berkarunia lidah. Yang paling aneh lagi, seorang penganut
Karismatik Katolik yang tidak bisa berbahasa roh akan mengomel kepada Maria ibu Yesus untuk
membujuk Tuhan Yesus untuk memberikan karunia roh tersebut. Sungguh aneh dan ajaran ini
sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan secara Alkitab. Konsep yang tidak beres ini
nantinya akan mempengaruhi cara menafsirkan Alkitab dengan sengaja mencocok-cocokkan
konsepnya yang salah itu agar bisa diterima oleh masyarakat Kristen umum. Ambil contoh,
banyak pemimpin gereja dari kalangan gereja kontemporer yang pop sangat suka mengutip Yoel
2:28-32, “Kemudian dari pada itu akan terjadi, bahwa Aku akan mencurahkan Roh-Ku ke atas
semua manusia, maka anak-anakmu laki-laki dan perempuan akan bernubuat; orang-orangmu
yang tua akan mendapat mimpi, teruna-terunamu akan mendapat penglihatan-penglihatan.  Juga
ke atas hamba-hambamu laki-laki dan perempuan akan Kucurahkan Roh-Ku pada hari-hari itu.
Aku akan mengadakan mujizat-mujizat di langit dan di bumi: darah dan api dan gumpalan-
gumpalan asap.  Matahari akan berubah menjadi gelap gulita dan bulan menjadi darah sebelum
datangnya hari TUHAN yang hebat dan dahsyat itu.  Dan barangsiapa yang berseru kepada nama
TUHAN akan diselamatkan, sebab di gunung Sion dan di Yerusalem akan ada keselamatan,
seperti yang telah difirmankan TUHAN; dan setiap orang yang dipanggil TUHAN akan
termasuk orang-orang yang terlepas.” lalu menafsirkan bahwa zaman inilah zaman Roh Kudus,
maka mari kita menantikannya. Ini adalah tafsiran yang dicocok-cocokkan. Tafsiran ini salah di
titik pertama, yaitu sengaja mengabaikan referensi yang ada di bawah bagian Alkitab yang
menunjukkan kedua ayat ini merupakan nubuat yang nantinya digenapi di dalam peristiwa
Pentakosta, Kisah Para Rasul 2:1-16, lalu Petrus mengutip Yoel 2:28-32 di dalam khotbah
perdananya di dalam Kisah Para Rasul 2:17-21.

Keenam, doktrin gereja (ekklesiologi). Ekklesiologi sebagai theologia sistematika yang boleh
saya kategorikan sebagai hal praktis pun dapat mempengaruhi penafsiran Alkitab. Misalnya,
gereja-gereja Reformed yang mengakui adanya baptisan anak (infant baptism) akan memandang
seluruh Alkitab secara totalitas yang mengajarkan secara berkesinambungan akan perjanjian
(covenant) Allah. Meskipun istilah “baptisan anak” tetapi secara implisit istilah ini nampak jelas
dari keseluruhan Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Kisah Para Rasul 16:33
mengatakan, “Pada jam itu juga kepala penjara itu membawa mereka dan membasuh bilur
mereka. Seketika itu juga ia dan keluarganya memberi diri dibaptis.” Konteks ayat ini jelas,
bahwa setelah kepala penjara itu menjumpai para tahanan yang masih ada di dalam penjara
padahal penjara pada waktu itu sudah rusak, maka ia bertanya kepada Paulus dan Silas tentang
apa yang harus ia perbuat supaya ia selamat. Kemudian, Paulus dan Silas memberitakan tentang
Injil Kristus, yang disusul dengan pembaptisan kepala penjara ini. Di dalam ayat ini, dikatakan
bahwa kepala penjara ini beserta keluarganya memberi diri dibaptis. Kata “keluarga” tentu juga
mencakup anak-anak. Tidaklah mungkin, anak-anak tidak dibaptis, jikalau anak-anak tidak turut
dibaptis, maka Alkitab akan mengecualikannya, tetapi faktanya tidak demikian. Mengapa gereja-
gereja Reformed melaksanakan baptisan anak ? Karena baptisan bukan tanda orang masuk Surga
atau diselamatkan, tetapi baptisan adalah konfirmasi seseorang percaya kepada (di dalam) Tuhan
Yesus. Seorang yang sudah percaya di dalam Kristus meskipun tidak sempat dibaptis (mungkin
alasan kesehatan yang sangat buruk atau kasus penjahat di sebelah salib Tuhan Yesus),
nyawanya tetap bersama-Nya di Surga. Tetapi hal ini tidak berarti kita boleh bebas untuk tidak
perlu dibaptis. Baptisan pasti berkaitan erat dengan keselamatan (soteriologi). Kalau baptisan
adalah konfirmasi, maka pasti sebelum baptisan, ada karya Allah yang membuat orang yang
dibaptis ini akhirnya dapat mempercayai Kristus. Itulah karya Roh Kudus. Anak-anak pun (yang
termasuk umat pilihan Allah) juga diselamatkan bukan melalui “iman” pribadi, tetapi melalui
anugerah Allah yang telah memberikan iman kepada mereka. Sehingga theologia Reformed
dengan tegas menyatakan bahwa anugerah Allah mendahului respon manusia, sehingga manusia
murni diselamatkan melalui anugerah Allah, dan oleh karena itulah, anak-anak perlu dibaptis
tanpa perlu menunggu pengakuan iman yang keluar dari mulut mereka. Sedangkan kelompok
Anabaptis yang berkembang dan mempengaruhi gereja-gereja kontemporer yang pop dewasa ini
dengan menolak baptisan anak karena menurut mereka, anak-anak tidak dapat mengakui
imannya secara sadar adalah pandangan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara prinsip
Alkitab tentang perjanjian (covenant).
Demikian pula halnya dengan konsep Perjamuan Kudus. Gereja-gereja Reformed mengikuti
tradisi dari John Calvin menganggap bahwa Perjamuan Kudus hanya sebagai simbol kematian
Kristus tetapi juga memiliki makna karena ada berkat Kristus di dalamnya. Ini berbeda dengan
konsep Luther yang mengajarkan bahwa Kristus menyertai/menaungi Perjamuan Kudus (disebut
dengan paham consubstansiasi ; hampir mirip dengan pandangan Katolik Roma :
transubstansiasi yang mengajarkan bahwa roti dan anggur Perjamuan Kudus langsung berubah
menjadi tubuh dan darah Kristus, dipengaruhi oleh filsafat Aristoteles yang membedakan antara
form dan matter) dan konsep Zwingli yang mengajarkan bahwa Perjamuan Kudus hanya
lambang dan tidak memiliki makna. (Tong, 1991, pp 65-67) Paham Katolik Roma akan
Perjamuan Kudus (transubstansiasi) diangkat kembali ke permukaan oleh seorang “pendeta”
bernama Yesaya Pariadji lalu mengajarkan bahwa roti dan anggur Perjamuan Kudus bukan
sekedar lambang, lalu Pariadji mengutip perkataan Tuhan Yesus sendiri, “Dan ketika mereka
sedang makan, Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu
memberikannya kepada murid-murid-Nya dan berkata: "Ambillah, makanlah, inilah tubuh-Ku." 
Sesudah itu Ia mengambil cawan, mengucap syukur lalu memberikannya kepada mereka dan
berkata: "Minumlah, kamu semua, dari cawan ini. Sebab inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang
ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa.” (Matius 26:26-28) lalu mengajarkan
bahwa roti itu benar-benar tubuh Kristus dan anggur adalah darah Kristus, oleh karena itu
Perjamuan Kudus berkhasiat dan “berkuasa” karena ada tubuh dan darah Kristus yang tercurah
di kayu salib. Ini tafsiran Alkitab yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini akan dibahas
pada poin 2.3.

Ketujuh, doktrin akhir zaman (eskatologi). Eskatologi menurut Prof. Anthony A. Hoekema,
Th.D. di dalam bukunya Alkitab dan Akhir Zaman adalah “sebuah paham yang integratif dengan
seluruh bagian Alkitab.” (Hoekema, 2004, p 3). Eskatologi ini menurut beliau dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu eskatologi yang telah ditegakkan (inaugurated eschatology) dan eskatologi
yang akan datang (future eschatology) (Hoekema, 2004, p 1 dan 2). Di dalam bukunya, beliau
memaparkan bahwa konsep paradoks yang ada di dalam eskatologi ini menyangkut suatu
paradoks antara eskatologi yang sudah dan akan terjadi (ketegangan antara yang sudah terjadi
dengan yang belum terjadi). Inilah konsep eskatologi yang dipegang oleh theologia Reformed
yang lebih mendekati Alkitab. Kemudian, theologia Reformed mempercayai bahwa Kerajaan
Allah bukanlah kerajaan secara literal dalam arti Kerajaan itu terjadi secara nyata melalui
wilayah/teritori tertentu di dalam suatu bangsa, tetapi Kerajaan Allah adalah kerajaan rohani. Di
dalam paham eskatologinya, theologia Reformed berpaham amillenialisme. Sedangkan, para
penganut theologia Injili yang mayoritas cenderung Arminian akan berpaham premillenialisme
yang bisa dikategorikan menjadi dua, yaitu premillenialisme historis dan premillenialisme
dispensasionalis yang berusaha membagi sejarah/zaman menjadi 3, yaitu zaman Allah Bapa
(sebelum kedatangan Kristus pertama), zaman Allah Anak (pada waktu Kristus berinkarnasi) dan
terakhir, zaman Roh Kudus (setelah kebangkitan Kristus dan sebelum kedatangan Kristus yang
kedua kalinya). Konsep pembagian zaman ini (dispensasionalisme) sudah salah di titik awal
yaitu berusaha memisahkan peran masing-masing Pribadi Allah Trinitas, sehingga seolah-olah di
zaman sebelum kedatangan Kristus pertama, hanya Allah Bapa yang berperan (sedangkan Allah
Anak dan Roh Kudus “pensiun” alias tidak berperan), nanti pada giliran Kristus berinkarnasi,
maka Allah Anak yang berperan (sedangkan Allah Bapa dan Roh Kudus “pensiun”), dan
terakhir, setelah kebangkitan Kristus, Allah Roh Kudus lah yang berperan (sedangkan Allah
Bapa dan Anak “pensiun”). Konsep ini sudah menyeleweng dari kebenaran Alkitab. Dengan kata
lain, paham premillenialisme memandang Kerajaan Allah ini hadir secara literal di bumi ini,
lebih tepatnya di kota Yerusalem, sehingga tidak heran di kalangan Kristen, muncul istilah
Kristen Zionis, ini karena pengaruh premillenialisme yang ekstrim yang tidak diajarkan oleh
Alkitab. Sebaliknya, kelompok liberal yang menganut paham postmillenialisme yang
mengajarkan bahwa Kerajaan Allah itu sudah terjadi akan menafsirkan Alkitab dengan konsep
liberalnya dan akan menutup mata akan fakta-fakta Alkitab tentang Kerajaan Allah di masa akan
datang, lalu konsep ini akan mengakibatkan mereka sendiri tidak memiliki pengharapan yang
pasti di masa akan datang. Inilah ketimpangan-ketimpangan yang terjadi. Di satu sisi, terlalu
menekankan akhir zaman, padahal keliru (paham premillenialisme), sedangkan di sisi lain,
terlalu menyepelekan akhir zaman, sehingga jatuh ke dalam paham postmillenialisme yang
mengakibatkan para penganutnya berada di dalam kondisi tak berpengharapan.

2. Dipengaruhi oleh perasaan hati


Perasaan hati atau mood manusia dapat berubah-ubah setiap saat tergantung situasi dan kondisi.
Masalah yang banyak terjadi, banyak manusia dengan perasaan hati yang berbeda pun diterapkan
dalam menafsirkan Alkitab. Tidak heran, misalnya, seorang pria yang putus cinta akan sangat
senang membaca Alkitab khususnya bagian Mazmur dan Amsal yang menguatkannya bahwa
meskipun pacarnya meninggalkannya, Tuhan tetap besertanya, dan orang yang sama akan
melewatkan membaca kitab Kidung Agung yang mengajarkan tentang cinta.

3.  Dipengaruhi oleh kondisi sekitar


Terakhir, penafsiran Alkitab juga dipengaruhi oleh kondisi sekitar. Ini adalah pengaruh yang
amat sangat buruk. Di dalam keKristenan, ada dua contoh ekstrim yang mencoba menafsirkan
Alkitab dengan pengaruh dari lingkungan/kondisi sekitar. Misalnya, pertama, gereja-gereja
kontemporer yang pop yang gemar sekali cho gereja (atau mencari untung di gereja) akan
mencomot ayat Alkitab sekehendak hatinya (2 Korintus 9:6, “Camkanlah ini: Orang yang
menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai
banyak juga.”) untuk mendukung pengajaran mereka misalnya tentang perpuluhan yang akan
dikembalikan berlipat kali ganda. Ayat ini dilepaskan dari ayat-ayat selanjutnya, ayat 7, yang
mengajarkan, “Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan
sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita.”
Kalau ayat 7 ini dibacakan, maka jemaat akan berpikir beratus kali untuk memberikan
persembahan. Jadi, untuk mendapatkan profit sebanyak-banyaknya dari persembahan jemaat,
maka ayat 7 dengan sengaja tidak dibacakan, agar jemaat dapat memberikan uang sebanyak-
banyaknya. Ini namanya gereja yang memperhatikan demand dari jemaat (hukum supply and
demand di dalam gereja). Inilah corak gereja materialisme di abad postmodern ini. Di sisi lain,
banyak gereja-gereja Protestan mainline yang mengaku berlabel “Reformed” (sebenarnya: no-
formed atau de-formed) sudah mendegradasi fondasi theologia yang Alkitabiah dan
menggantinya dengan “theologia” religionum atau social “gospel”. Akibatnya, paham ini akan
mempengaruhi cara mereka menafsirkan Alkitab yang cocok dengan paham mereka. Mereka
akan menafsirkan Yohanes 14:6 bukan dengan menekankan finalitas Alkitab. Kemudian, saya
pernah membaca sebuah artikel yang ditulis oleh “pendeta” macam ini dengan mengutip
Yohanes 17:21, “supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam
Aku dan Aku di dalam Engkau,…” lalu menafsirkan bahwa orang Kristen dan orang-orang non-
Kristen seharusnya bersatu sama seperti Kristus dan Bapa bersatu. Ini tafsiran yang sangat tidak
bertanggungjawab. Pdt. Dr. Stevri Indra Lumintang di dalam bukunya Theologia Abu-abu,
Pluralisme Agama (Edisi Revisi) mengetengahkan fakta tentang seorang “theolog” pluralis dari
gereja Presbyterian, Taiwan, Choan-Seng Song yang menggunakan pendekatan penafsiran yang
berhubungan dengan isu-isu sosial untuk mendukung “Theologia” Transposisinya. Berikut
penuturan beliau,
“Song juga menggunakan metode penafsiran radikal dalam membangun Teologi Transposisinya
yang liberal dan yang anti finalitas Yesus. Song memulai usahanya dengan menggunakan cerita-
cerita rakyat dan fakta-fakta mengenai keprihatinan sosial, kemudian mensinkronisasikannya
dengan Alkitab untuk membangun Teologi Transposisinya... Dalam hal ini, Alkitab berperan
hanya untuk mendukung konsep yang telah dibangunnya dari kesimpulan awalnya mengenai
situasi kondisi sosial yang pincang. Sistem hermeneutika Song, dikenal dengan istilah penafsiran
yang situasional mengenai isu-isu sosial (Socio-Critical Interpretation). Penafsiran kritik sosial
dapat diartikan : ‘tertarik kepada bentuk yang kelihatan untuk menyatakan suatu penafsiran yang
alamiah dalam kerangka pikir dari suatu tradisi mengenai asumsi sosial dan praktiknya.
Penafsiran teks-teks Alkitab mengenai perbudakan, kaum perempuan, kaum miskin. Contohnya
ialah Teologi Pembebasan dan Hermeneutika Feminisme.’... Dengan kata lain, Song membangun
Teologi Transposisinya dengan dasar penafsiran kritik sosial yang lahir dari keprihatinan sosial
di Asia. Song sangat prihatin dengan isu-isu sosial-politik di Asia...” (Lumintang, 2004, pp 335,
337)
Dengan jelas, semua ayat Alkitab dijadikan pendukung bukan sumber bagi pembentukan
“Theologia” model ini yang justru melawan Alkitab. Ini adalah “gereja” yang bercorak
humanisme di dalam era postmodern. Kedua contoh ini dapat mewakili apa yang Alkitab telah
nubuatkan di dalam 2 Timotius 3:1-2, “Ketahuilah bahwa pada hari-hari terakhir akan datang
masa yang sukar. Manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang. Mereka akan
membual dan menyombongkan diri, mereka akan menjadi pemfitnah, mereka akan berontak
terhadap orang tua dan tidak tahu berterima kasih, tidak mempedulikan agama,” Kalimat
“manusia akan mencintai dirinya sendiri” adalah ciri dari humanisme dan kalimat “menjadi
hamba uang” adalah ciri dari materialisme.

__________________
Pendahuluan

Pada bulan Desember 2006 yang lalu, saya dan suami saya mendapat kesempatan untuk
berziarah ke Shrine of the Most Blessed Sacrament di Hanceville, Alabama. Saya sungguh
terkagum-kagum melihat kompleks gereja itu. Alangkah indahnya! Gereja beserta biara terletak
di tanah seluas 400 acres, begitu luas dan memukau. Apalagi setelah melihat ke dalam bangunan
gereja. Wah, cantik sekali! Begitu juga ketika kami mengunjungi studio TV EWTN (Eternal
Word Television Network), sebuah stasiun TV Katolik yang terbesar di Amerika yang
berdekatan dengan shrine itu. Terlebih-lebih lagi, kami tertegun dan tak habis memuji Tuhan,
setelah membaca riwayat dibangunnya kedua kompleks itu. Ya, kompleks studio EWTN yang
begitu lengkap dan ‘canggih’ itu bermula dari gudang biara pada tahun 1981, dimulai oleh
seorang biarawati Poor Clare (ordo Fransiskan) yang bernama Mother Angelica. Kejadian demi
kejadian melengkapi dalam kesatuan rencana pembangunan sampai selesai dan semua itu
menyatakan kebesaran penyelenggaraan Ilahi.

Demikianlah dari pengalaman tersebut, saya belajar bahwa untuk lebih memahami dan
menghargai suatu kejadian, kita perlu mempelajari latar belakang terjadinya kejadian tersebut.
Maka untuk mempelajari Kitab Suci, kita perlu melihat kaitan antara Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru, antara ayat yang satu dengan ayat yang lainnya, untuk mendapat pengertian
yang menyeluruh dan pemahaman yang benar akan Sabda Allah itu. Perjanjian Lama yang
merupakan latar belakang Perjanjian baru, merupakan kesatuan dengan Perjanjian Baru. Sebab
“Perjanjian Baru terselubung dalam Perjanjian Lama, sedangkan Perjanjian Lama tersingkap
dalam Perjanjian Baru.”[1]

Alkitab merupakan Sabda Allah yang disampaikan melalui tulisan penulis kitab yang ditunjuk
oleh Allah untuk menuliskan hanya yang diinginkan oleh Tuhan.[2] Maka jika kita ingin
memahami Alkitab, kita perlu mengetahui makna yang disampaikan oleh para pengarang kitab
dan apakah yang ingin disampaikan oleh Allah melalui tulisannya. Dan karena Alkitab
bersumber pada Allah yang satu, maka kita harus melihat keseluruhan Alkitab sebagai satu
kesatuan yang saling melengkapi. Inilah yang menjadi dasar bagaimana kita memperoleh
pengertian yang mendalam tentang Kitab Suci, dan dengan cara demikianlah jemaat awal
mengartikan Kitab Suci.

Ke-4 Prinsip Mengartikan Alkitab

Secara umum, Alkitab mempunyai dua macam arti. Yang pertama disebut ‘literal/ harafiah’
sedangkan yang kedua disebut sebagai ‘spiritual/ rohaniah’. Kemudian arti rohaniah ini terbagi
menjadi 3 macam, yaitu: alegoris, moral dan anagogis.[3] Ke-empat macam arti ini secara jelas
menghubungkan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

1. Arti literal/ harafiah.

Arti harafiah adalah arti yang berdasarkan atas penuturan teks yang ada secara tepat. Mengikuti
ajaran St. Thomas Aquinas, kita harus berpegang bahwa, “Tiap arti [Kitab Suci] berakar di
dalam arti harafiah”.[4] Jadi dalam membaca Kitab suci, kita harus mengerti akan arti kata-kata
yang dimaksud secara harafiah yang ingin disampaikan oleh pengarangnya, baru kemudian kita
melihat apakah ada maksud rohani yang lain. Arti rohani ini timbul berdasarkan arti harafiah.

2. Arti alegoris

Arti alegoris adalah arti yang lebih mendalam yang diperoleh dari suatu kejadian, jika kita
menghubungkan peristiwa tersebut dengan Kristus. Contohnya:

a) Penyeberangan bangsa Israel melintasi Laut Merah adalah tanda kemenangan yang diperoleh
umat beriman melalui Pembaptisan (lih.Kel14:13-31; 1Kor 10:2).
b) Kurban anak domba Paska di Perjanjian Lama merupakan tanda kurban Yesus Sang Anak
Domba Allah pada Perjanjian Baru (Kel 12: 21-28; 1 Kor 5:7)).
c) Abraham yang rela mengurbankan anaknya Ishak adalah gambaran dari Allah Bapa yang rela
mengurbankan Yesus Kristus Putera-Nya (Kej 22: 16; Rom 8:32).
d) Tabut Perjanjian Lama adalah gambaran dari Bunda Maria, Sang Tabut Perjanjian Baru.
Karena pada tabut Perjanjian Lama tersimpan dua loh batu kesepuluh perintah Allah (Kel 25:16)
dan roti manna (Kel 25:30); sedangkan pada rahim Maria Sang Tabut Perjanjian Baru tersimpan
Sang Sabda yang menjadi manusia (Yoh 1:14), Sang Roti Hidup (Yoh 6:35).

3. Arti moral

Arti moral adalah arti yang mengacu kepada hal-hal yang baik yang ingin disampaikan melalui
kejadian-kejadian di dalam Alkitab. Hal-hal itu ditulis sebagai “contoh bagi kita …sebagai
peringatan” (1 Kor 10:11).

a) Ajaran Yesus agar kita duduk di tempat yang paling rendah jika diundang ke pesta (Luk
14:10), maksudnya adalah agar kita berusaha menjadi rendah hati.
b) Peringatan Yesus yang mengatakan bahwa ukuran yang kita pakai akan diukurkan kepada kita
(Mrk 4: 24) maksudnya agar kita tidak lekas menghakimi orang lain.
c) Melalui mukjizat Yesus menyembuhkan dua orang buta, yang berteriak-teriak, “Yesus, Anak
Daud, kasihanilah kami!” (Mat 20: 29-34) Yesus mengajarkan agar kita tidak lekas menyerah
dalam doa permohonan kita.

4. Arti anagogis

Arti anagogis adalah arti yang menunjuk kepada surga sebagai ‘tanah air abadi’. Contohnya
adalah:

a) Gereja di dunia ini melambangkan Yerusalem surgawi (lih. Why 21:1-22:5).


b) Surga adalah tempat di mana Allah akan menghapuskan setiap titik air mata (Why 7:17).

Pepatah mengenai ke-4 arti Alkitab

Berikut ini adalah pepatah yang berasal dari Abad Pertengahan:

“Huruf [dari kata letter/ literal] mengajarkan kejadian; apa yang harus kau percaya, alegori;
moral, apa yang harus kau lakukan; ke mana kau harus berjalan, anagogi.”[5]

Contoh interpretasi Alkitab menggunakan ke-4 prinsip

Maka semua kejadian di dalam Alkitab memiliki makna harafiah, walaupun dapat mengandung
arti rohaniah juga. Contohnya adalah kisah Allah menurunkan roti manna di padang gurun (Kel
16).[6]

 Secara harafiah, memang Allah memberi makan bangsa Israel dengan manna yang turun dari
langit selama 40 tahun saat mereka mengembara di padang gurun.
 Secara alegoris, roti manna menjadi gambaran Ekaristi, di mana Yesus sebagai Roti Hidup adalah
Roti yang turun dari surga (Yoh 6:51), menjadi santapan rohani kita umat beriman yang masih
berziarah di dunia ini.
 Secara moral, kisah ini mengajarkan kita untuk tidak cepat mengeluh dan bersungut-sungut (Kel
16:2-3) kepada Allah. Umat Israel yang bersungut-sungut akhirnya dihukum Allah sehingga tak
ada dari generasi mereka yang dapat masuk ke tanah terjanji (selain Yoshua dan Kaleb).
 Secara anagogis, kita diingatkan bahwa seperti roti manna yang berhenti diturunkan setelah
bangsa Israel masuk ke Tanah Kanaan, maka Ekaristi juga akan berakhir pada saat kita masuk ke
Surga, yaitu saat kita melihat Tuhan muka dengan muka.

Peran Gaya Bahasa dalam Alkitab

Seperti halnya pada sebuah karya tulis pada umumnya, peran gaya bahasa adalah sangat penting.
Demikian juga pada Alkitab, sebab Allah berbicara pada kita dengan menggunakan bahasa
manusia. Maka kita perlu memahami gaya bahasa yang digunakan, agar dapat lebih memahami
isinya. Secara umum, gaya bahasa yang digunakan dalam Alkitab sebenarnya tidaklah rumit,
sehingga orang kebanyakan dapat menangkap maksudnya. Dalam hampir semua perikop
Alkitab, sebenarnya cukup jelas, apakah pengarang Injil sedang membicarakan hal yang harafiah
atau yang rohaniah. Memang ada kekecualian pada perikop-perikop tertentu, sehingga kita perlu
mengetahui beberapa prinsipnya:[7]

1. Simili: adalah perbandingan langsung antara kedua hal yang tidak serupa. Misalnya, pada
kitab Dan 2:40, digambarkan kerajaan yang ke-empat ‘yang keras seperti besi’, maksudnya
adalah kekuatan kerajaan tersebut, yang dapat menghancurkan kerajaan lainnya.

2. Metafor: adalah perbandingan tidak langsung dengan mengambil sumber sifat-sifat yang satu
dan menerapkannya pada yang lain. Contohnya, “Jiwaku haus kepada Allah Yang hidup” (Mzm
42:3). Sesungguhnya, jiwa yang adalah rohani tidak mungkin bisa haus, seperti tubuh haus ingin
minum. Jadi ungkapan ini merupakan metafor untuk menjelaskan kerinduan jiwa kepada Allah.

3. Bahasa perkiraan: adalah penggambaran perkiraan, seperti jika dikatakan pembulatan angka-
angka perkiraan. Misalnya,“Yesus memberi makan kepada lima ribu orang laki-laki” (Mat 14:
21; Mrk 6:44; Luk 9:14; Yoh 6:10) dapat berarti kurang lebih 5000 orang, dapat kurang atau
lebih beberapa puluh.

4. Bahasa fenomenologi: adalah penggambaran sesuatu seperti yang nampak, dan bukannya
seperti mereka adanya. Kita mengatakan ‘matahari terbit’ dan ‘matahari terbenam’, meskipun
kita mengetahui bahwa kedua hal tersebut merupakan akibat dari perputaran bumi. Demikian
juga dengan ucapan bahwa ‘matahari tidak bergerak’ (Yos 10: 13-14).

5. Personifikasi/ antropomorfis : adalah pemberian sifat-sifat manusia kepada sesuatu yang


bukan manusia. Contohnya adalah ungkapan ‘wajah Tuhan’ atau ‘tangan Tuhan’ (Kel 33: 20-
23), meskipun kita mengetahui bahwa Tuhan adalah Allah adalah Roh (Yoh 4:24) sehingga tidak
terdiri dari bagian-bagian tertentu.

6. Hyperbolisme: adalah pernyataan dengan penekanan efek yang besar, sehingga kekecualian
tidak terucapkan. Contohnya adalah ucapan rasul Paulus, “Semua orang telah berbuat dosa dan
telah kehilangan kemuliaan Allah” (Rom 3:23); di sini tidak termasuk Yesus, yang walaupun
Tuhan juga sungguh-sungguh manusia dan juga tidak termasuk Bunda Maria yang walaupun
manusia tetapi sudah dikuduskan Allah sejak dalam kandungan (tanpa dosa asal).

Selanjutnya, ada juga kekecualian juga terjadi pada kondisi berikut:

1. Jika Alkitab jelas mengatakan bahwa yang disampaikan adalah perumpamaan. Contoh Yoh 10:6
“Itulah yang dikatakan Yesus dalam perumpamaan kepada mereka…” yang kemudian
dilanjutkan oleh Yesus, yang mengumpamakan Ia sebagai ‘pintu’ (Yoh 10:7). Demikian juga
dengan Mat 13:33 yang mengatakan bahwa Yesus mengajar dengan perumpamaan. Di sini
perumpamaan belum tentu terjadi secara nyata.
2. Interpretasi harafiah dilakukan sejalan dengan akal sehat, namun jika tidak masuk akal, maka
tidak mungkin dimaksudkan secara harafiah. Jadi misalnya, pada saat Yesus mengatakan bahwa
raja Herodes adalah ‘serigala’ (Luk 13:32), maka kita tidak akan mengartikan bahwa pada waktu
itu pemerintah di jaman Yesus dikepalai oleh mahluk mamalia, berambut, berekor, berkuping
lancip yang bernama Herodes.
3. Jika pengartian secara harafiah malah menujukkan kontradiksi pada Allah, maka gaya bahasa
yang diucapkan tidak dimaksudkan untuk diartikan secara harafiah. Dalam hal ini penting sekali
kita melihat ayat-ayat lain untuk melihat gambaran yang lebih jelas akan makna ayat tersebut.
Contoh: Dalam Mat 23:9, Yesus berkata “Jangan memanggil seorangpun sebagai bapa di bumi
ini”, padahal baru sesaat sebelumnya Yesus mengulangi perintah ke-4 dari kesepuluh perintah
Allah, “Hormatilah ibu bapa-mu” (Mat 19:19) dan Ia juga menyebut Abraham sebagai “bapa”
(Mat 3:9). Selanjutnya kita melihat bagaimana Rasul Paulus kemudian menyebut dirinya sendiri
sebagai “bapa” bagi umat di Korintus (1 Kor 4:15) dan kepada Onesimus (Flm 10). Maka ayat
Mat 23:9 tidak mungkin diartikan secara harafiah. Dalam hal ini, Yesus menggunakan gaya
bahasa hyperbolisme untuk menyatakan otoritas ilahi yang mengatasi otoritas duniawi.

Tips utama dan contohnya

Jadi di sini kita perlu mengingat bahwa jika bahasa yang dipakai tidak menunjuk kepada arti
figuratif, dan jika tidak ada kondisi kekecualian seperti yang disebutkan di atas, maka kita harus
menginterpretasikan perikop secara harafiah, kecuali adanya argumentasi yang sangat
meyakinkan untuk mengartikan sebaliknya. Kita tidak boleh memilih-milih ayat mana yang
kelihatannya baik dan mudah untuk dicerna, dan mana yang tidak, untuk menentukan apakah
dapat diartikan secara harafiah atau tidak. Misalnya, ada banyak orang tidak menyukai adanya
neraka, maka mereka menganggap perkataan Yesus tentang neraka hanya sebagai ucapan
simbolis. Ini tentu saja keliru! Atau misalnya, banyak orang salah mengartikan perikop tentang
Roti Hidup pada Injil Yohanes 6. Mereka tidak dapat menerima ucapan Yesus secara
harafiah,“Jikalau kamu tidak makan daging-Ku dan minum darah-Ku, kamu tidak mempunyai
hidup di dalam dirimu; dan barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai
hidup yang kekal …” (Yoh 6:53-54). Mereka mengartikannya bahwa Yesus hanya berbicara
secara simbolik saja. Hal ini tentu adalah sikap yang keliru, yaitu mengartikan suatu perikop
secara harafiah atau simbolik hanya berdasarkan ‘selera’ saja atau terbatas pada
pemikiran yang sempit.

Jika seseorang menganggap perikop Roti Hidup sebagai ‘ayat yang sulit sehingga lebih baik
tidak diartikan secara literal tetapi figuratif saja’, maka orang itu memasukkan dirinya dalam
golongan orang-orang yang pada jaman Yesus juga menganggap ayat itu terlalu sulit, dan
memilih untuk meninggalkan Yesus. “Perkataan ini keras, siapakah yang sanggup
mendengarkannya?” (Yoh 6:60). Dan sungguh banyak murid-murid-Nya yang pergi
mengundurkan diri dan tidak lagi mengikuti Dia, setelah Yesus mengajarkan demikian. (Yoh
6:66). Jika pengajaran ini hanya bermaksud simbolis, tentu Yesus akan mencegah mereka pergi.
Namun Alkitab mengatakan yang sebaliknya. Menanggapi hal ini, Yesus malah bertanya kepada
para rasulnya, apakah mereka mau pergi juga. Dan Petrus, mewakili para rasul menjawabNya,
“Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? PerkataanMu adalah perkataan hidup yang kekal”
(Yoh 6: 68). Maka kita ketahui bahwa hanya para Rasul dan mereka yang setia memegang ajaran
ini, adalah mereka yang kepadanya Yesus telah berjanji, “Barangsiapa yang memakan Aku, akan
hidup oleh Aku… ia akan hidup selama-lamanya.” (Yoh 6: 57-58). Sekarang memang kita perlu
menilik ke dalam diri kita, termasuk golongan manakah kita ini: yang menerima ayat tersebut
secara harafiah ataukah yang figuratif? Jika kita menerima ayat itu secara harafiah sesuai
kehendak Yesus, dan kita sudah percaya kepada kehadiran Yesus yang nyata dalam Ekaristi,
selanjutnya, apakah sikap kita dalam menyambut Ekaristi sudah mencerminkan iman kita itu?

Contoh yang lain adalah cerita Nabi Yunus yang ditelan oleh ikan besar selama 3 hari (Yun
1:17), sebelum dimuntahkan ke laut. Banyak orang menganggap kisah ini tidak masuk akal,
sehingga lebih baik dianggap figuratif saja. Namun bagi kita yang percaya pada Sabda Allah,
maka sesungguhnya tidaklah sulit bagi kita untuk percaya bahwa hal ini harafiah terjadi, apalagi
kisah inilah yang dipakai oleh Yesus untuk menggambarkan kematian-Nya sebelum Ia bangkit
pada hari ketiga (Mat 12:39-41; Luk 11:29-32). Melihat pentingnya misteri wafat dan
kebangkitan-Nya, tentulah Yesus tidak sekedar hanya mengambil kisah simbolis, namun kisah
yang sungguh terjadi.

Di sini kita melihat, jika kita mulai mempertanyakan terus dan hanya mau menerima apa yang
dapat dibuktikan dengan akal, maka kita dapat terjebak pada memilih-milih ayat sesuai dengan
keinginan kita, dan akhirnya dapat mempertanyakan segala mukjizat yang ada dalam Kitab Suci.
Hal inilah yang dimiliki oleh banyak ahli Kitab suci jaman modern, yang berusaha
merasionalisasikan Alkitab, dan sedapat mungkin mencoret unsur mukjizat dan intervensi ilahi.
Sikap yang demikian bukanlah sikap yang rendah hati yang disyaratkan untuk membaca Sabda
Tuhan, dan kita sungguh perlu berdoa agar kita tidak mempunyai sikap yang demikian.

Kesimpulan

Keempat prinsip untuk menginterpretasikan Alkitab adalah pedoman bagi kita untuk
mendapatkan pengertian yang lebih mendalam akan ayat-ayat Kitab Suci. Prinsip-prinsip
tersebut membantu kita untuk dapat “membaca dan menginterpretasikan Kitab Suci dengan
semangat roh yang sama dengan bagaimana kitab tersebut dituliskan”,[8] dan dengan
demikian kita dapat mendapatkan gambaran yang lebih menyeluruh tentang makna ayat-ayat
dalam Kitab suci, karena kita melihat juga kaitan satu ayat dengan ayat-ayat yang lain. Sudah
menjadi Tradisi Gereja bahwa ayat-ayat Alkitab tidak untuk dipertentangkan satu dengan
yang lain, tetapi selalu dilihat dalam satu kesatuan yang utuh dan saling melengkapi. Mari
kita belajar dari teladan kebaikan Tuhan, yang walaupun tetap mempertahankan kebenaran dan
kekudusan-Nya, telah sedemikian menyesuaikan Diri-Nya untuk menjangkau kita semua dengan
menggunakan bahasa manusia. Mari kita melakukan bagian kita, dengan berusaha untuk
memahami apa yang hendak disampaikan-Nya kepada kita.
http://docs.google.com/viewer?pid=bl&srcid=ADGEESjN-
ymRH0tQljfT9V_f0KrzH0UHC8M5KxfACAbHTgi2eouBU6UTcb2V7rIQTM_BXmVlTuEDW1GXTyLvRkDtb5-
ZzWSzoi7Suy6zgHrqf5vxlY0cdd6kP7feSjt7MBJkXPPaG2h9&q=cache%3ABis4pdMauLoJ%3Awww.gkri-
exodus.org%2Fimage-upload%2FBIB%252003%2520Hermeneutika%25203.pdf%20prinsip-prinsip
%20penafsiran%20alkitab&docid=6262737d48f290b27d4a20105dc6207f&a=bi&pagenumber=1&w=800
TAFSIR ALKITAB PERJANJIAN BARU 
oleh: Dianne Bergant,CSA/Robert J.Karris
> Religius » Katolik » General

Penerbit :    Kanisius


Tgl
05-12-2002
Penerbitan :   
Bahasa :    Indonesia
 
Halaman :    520
Ukuran :    155x225
Eksegese Narasi : TINJAUAN TERHADAP METODE PENAFSIRAN ALKITAB - Artikel
Pendahuluan

Perkembangan

metode cara menafsirkan Alkitab secara khusus pada tahun 70-an ditandai dengan adanya
pengaruh dari aliran strukturalisme yang

mulai mempermasalahkan berbagai metode eksegese yang dipakai selama ini.[1] Metode
struktural ini mempunyai kaitan yang sangat

erat dengan ilmu bahasa yang kemudian mempengaruhi di dalam bidang sastra. Penyelidikan
terhadap karya sastra sebagai cerita

kemudian membawa pengaruh terhadap metode tafsir. Bentuk cerita (narasi) dianalisa dan
diperbandingkan satu sama lain dalam

usaha memahami apakah maksud penulis yang tersembunyi di balik cerita yang disampaikannya
itu.

Eksegese dengan

menggunakan metode strukturalis ini menggunakan anggapan bahwa hanya dengan


memperhatikan setiap teks yang ada sudah cukup

untuk menangkap maksud penulis. Hal-hal sebagaimana yang dianggap sangat penting seperti
penyelidikan latar belakang sejarah,

konteks jaman, siapa penulis dan penerima pertama dari suatu surat/kitab tertentu di dalam
Alkitab dianggap tidak perlu lagi

menempati tempat utama di dalamnya. Cara sedemikian, di kalangan para ahli tafsir disebut
dengan istilah “close reading.”

Di dalam konteks metode struktural semacam inilah muncul eksegese narasi yang pada dasarnya
mempunyai kemiripan

karena juga memusatkan perhatian hanya pada teks dan tidak terlalu merasa perlu bertanggung
jawab semua aspek lain yang ada di
belakang teks tersebut. Pada akibatnya, cara pandang semacam ini mengakibatkan apresiasi yang
sedemikian tinggi terhadap suatu

teks tertentu.

Metode eksegese ini pada akibatnya memberikan proposal baru bagaimana mendekati Alkitab
dengan cara

memahami suatu cerita dan juga memakainya dengan kaidah-kaidah yang tepat dan efektif.
Tidak dapat dipungkiri pula perkembangan

keilmuan dalam bidang bahasa dan sastra juga memberikan pengaruh yang tidak sedikit di
dalamnya. Metode ini diharapkan dapat

memperkaya pekerjaan menafsirkan dan menyimpulkan suatu teologia tertentu atau makna yang
terkandung dalam suatu cerita, baik

itu cerita lisan dalam tradisi masyarakat dalam bentuk teks tertulis. Itulah sebabnya cara baru ini
kemudian menimbulkan

semacam kegairahan baru di dalam semangat menggali dan memahami setiap kebenaran yang
ada di dalam Alkitab. Banyak buku mulai

ditulis dan berusaha menyatakan setiap detail bagaimana menggunakan dan menarik
kemanfaatan dari metode baru ini.[2]

Pengertian

Adalah seorang yang bernama Robert Alter[3] di dalam bukunya, The Art of Biblical

Narrative, ia mencoba membawa pembaca menggali dan menghargai seni-seni di dalam Alkitab
oleh karena setiap cerita yang ada di

dalamnya sarat dengan makna. Ia mencoba mengungkapkan berbagai macam seni cerita yang
ada di dalam Alkitab dan mengajak setiap

pembaca untuk lebih menghargai setiap seni itu sekaligus mencari makna yang ada di dalamnya.
Di dalam usahanya ini,

ia mulai beranjak dari pendekatan eksegese selama ini yang dianut oleh para pakar yang
menggunakan metode

historikal-gramatikal. Ia mengajak untuk bergeser dari analisis struktur formal ke pengertian-


pengertian yang lebih mendalam

terhadap nilai serta pandangan moral yang terwujud dalam sebuah narasi. Di dalam upayanya ini,
Alter menggunakan pendekatan

Midrash, yaitu menggabungkan menjadi satu kesatuan dari teks-teks yang berbelit-belit.[4]
Menurutnya tidak ada ayat atau

perikop yang merupakan tambahan atau sisipan yang lepas dari rangkaian cerita, melainkan
saling terkait dan

berkesinambungan.[5] Ini adalah cara yang baik untuk melihat Alkitab secara utuh.

One of the attractions a

narrative approach to the Bible offers is its way of seeing the Bible as a whole. Educational
research has established that the

biggest variable in a learner’s ability to assimilate data is the presence or absence of a unifying
framework within which to

place individual items. Viewing the Bible as a story provides such a framework for the Bible as a
whole.[6]

Cerita-cerita di dalam Alkitab menyatakan tindakan atau perbuatan aktual yang terlalu beragam
dan bahkan tidak

teratur untuk di kategorikan di dalam suatu kerangka sistimatis tertentu.

Selain itu, Alter juga mengasumsikan

sebuah tafsiran tertentu tidak harus akan disetujui oleh pembaca. Ia mencoba memfokuskan diri
hanya pada hal-hal yang unik

dalam seni cerita Alkitab, misalnya seni dalam kata-kata, seni dalam tindakan, seni dalam dialog,
seni dalam cerita. Yang

penting adalah memperhatikan bagaimana penulis cerita mengungkapkan sebuah pesan tertentu
dengan menggunakan berbagai cara

seni-seni tersebut. Meskipun demikian tidak berarti ia menolak teks yang pernah dipikirkan
memiliki arti absolut. Yang perlu

ditegaskan adalah bahwa ia menolak doktrin kontemporer tentang semua makna literar. Alkitab
sendiri yang akan berbicara dan

bercerita melalui berbagai seni yang ada di dalamnya. Dengan demikian pembaca akan lebih
dekat dengan makna yang dimaksud

Alkitab, baik makna teologi, moral, psikologi maupun makna lainnya.

Alter sangat memberikan perhatian pada “close

reading,” maksudnya dengan membaca seperti ini pembaca akan ditolong memelihara aspek-
aspek tertentu di dalam pikiran untuk

kemudian mengajukan pertanyaan-pertanyaan tertentu agar dapat memahami secara tepat cerita
Alkitab yang menurutnya sangat

singkat dan dinyatakan secara halus.

Berpikir Kritis-Literaris

Realita sastra

dari Alkitab dapat dipelajari dengan menggunakan metode berpikir kritis-literaris. Cara kritis-
literatis ini berbeda dengan

pola historis-kritis dari kelompok H. Gunkel. Ada dua istilah yang diusulkan, yaitu “Narratologi”
dan “poetic of narrative” di
dalam kritis-literaris. Baik “Narratology” yang muncul tahun 1976 maupun “Poetician” yang
muncul tahun 1982 memiliki pengertian

sejalan yaitu studi terhadap naratif teks. Keduanya mengambil pengertian sastrawi sebagai dasar
penyelidikan.[7] Meir Sternberg

memberikan beberapa anggapan dasar di dalam studi kritis-literaris ini[8].

1. Pendekatan terhadap Alkitab sebagai

literatur berarti memberikan penekanan kepada teks itu sendiri. Dengan kata lain, sama sekali
tidak mempertimbangkan latar

belakang dan sejarah sebagaimana yang biasa dilakukan di dalam metode penelitian hermeneutik
yang digunakan selama ini.

2.

Mengasumsikan adanya kesatuan teks.

3. Fokus perhatian ditujukan pertama-tama pada bagaimana sebuah teks

distrukturkan.

4. Realita sastra dipahami sebagai metode-metode kritis-literaris yang digunakan oleh setiap teks

Alkitab

Sebagai sebuah literatur, Alkitab akan mempunyai kedudukan yang sama dengan berbagai
macam literatur

lainnya. Hal ini dikatakan sebagai benar apapun alasannya Alkitab itu dihargai apakah sebagai
laporan karya Tuhan dalam sejarah

(His-story) atau sebagai penuntun di dalam keputusan etis.[9]


Prinsip Eksegese Narasi :

Bagaimana Membaca sebuah Cerita

Bagaimanakah kiranya cara Alkitab menjalin sebuah komunikasi dengan pembacanya?

Cerita Alkitab di dalam metode narasi merupakan suatu ungkapan tertulis dari suatu fakta
tertentu. Cerita yang dipaparkan

sebenarnya sedang menunjukkan kepada pembaca suatu dunia lain yang disebut sebagai “Dunia
cerita.” Dunia cerita ini menjadi

semacam sarana/alat yang dipakai penulis untuk mengungkapkan “sesuatu” yang bukan hanya
sekedar sebuah gambaran yang bersifat

fiksi belaka, melainkan sebuah gambaran yang diambil dari kehidupan sehari-hari. Di dalam
dunia ini semua benda yang muncul

adalah sebuah konsep dan sama sekali tidak menunjuk kepada benda itu ansich. Walaupun tidak
diragukan bahwa benda cerita itu

bersumber dari sejarah yang sungguh-sungguh terjadi.

Stories are full of the concrete experiences of everyday life.

Storytellers are never content with abstract propositions. Their impulse is to show, not merely to
tell about event. Stories

help readers relive an experience in the order in which the events happened and as vividly as
possible. Stories incarnate their

meaning in concrete form.[10]

Ketika seseorang atau pembaca ingin mengerti apa yang dimaksud oleh penulis di dalam

ceritanya, maka pertama-tama yang harus dilakukan adalah masuk ke dalam dunia cerita yang
dibangun oleh penulis tersebut. Di

sini berarti dunia cerita tersebut menjadi sebuah objek penelitian. Dapat dikatakan, proses
eksegese narasi dan semua
kerumitannya terjadi di dalam dunia ini. Kondisi semacam ini sekaligus berarti pembaca akan
memasuki dunia pemikiran teologia

dari penulis atau iman penulis. Semua dinamika pergumulan imannya menjadi begitu dekat dan
menjadi bagian yang dialami juga

oleh pembaca. Setiap detail pergumulan iman penulis menjadi begitu nyata sehingga pembaca
dapat merasakan bagaimana pengalaman

itu secara pribadi. Hal ini berarti pula terbukanya kesempatan dialog iman antara penulis sebagai
sumber iman dengan pembaca.

Komunikasi iman semacam ini yang menjadikan cerita itu hidup dan sekaligus menjadi “milik”
pembaca pula. Pergumulan iman yang

begitu konkrit dimunculkan dengan cara yang sangat nyata dengan cara penulis membawa setiap
pembaca ceritanya untuk mengalami

dan menghayati peristiwa tersebut. Pembaca diajak menghayati peran dari tokoh utama, situasi
dan segala aspek yang ada di dalam

cerita. Dengan cara semacam ini jarak antara penulis Alkitab dan pembaca kontemporer menjadi
semakin kecil, demikian pula

antara pembaca (ahli tafsir) dan jemaat.

Metode Eksegese Narasi

Dalam

mengerjakan eksegese narasi, seorang penafsir harus bertindak berada di bawah penulis untuk
menghindari adanya kerancuan posisi

antara dirinya dan penulis. Di sini pembaca harus melihat dan mengerti semua yang ada di dalam
teks dari sudut pandang penulis

(the narrators point of view). Hal ini harus dilakukan oleh karena setiap penulis memiliki cara
pandang, sikap, perilaku,
perasaan dari setiap pemeran yang dimunculkan di dalam ceritanya. Oleh karena itu pembaca
harus mengajukan berbagai pertanyaan

di dalam usahanya mengerti apakah yang dapat diberikan oleh sebuah pembacaan di dalam cerita
Alkitab bagi kehidupannya,

misalnya seperti apakah karakter dari subjek di dalam pembacaannya? Bagaimanakah komunitas
subjek dan bagaimanakah relasinya

dengan subjek tersebut? Bagaimana konteks dan relasi yang ada di dalamnya menajamkan
peranan subjek? Apakah yang menjadi

worldview yang dapat memberikan pengertian keutuhan cerita itu? Apakah yang menjadi pusat
keyakinan antara subjek dan

komunitas? Apakah yang menjadi central image atau metafora (baik bersifat teologis, biblical,
moral, etika, dsb) yang dapat

memberikan pengertian kehidupan subjek pada masa itu dan apakah artinya serta bagaimana
semua hal ini dapat memberikan sebuah

pengertian di dalam kehidupan iman Kristen?[11]

Berdasarkan pada prinsip dan metode di atas, kemudian di bangun

semacam dasar bagaimana mendekati Alkitab dengan cara eksegese narasi ini.

1. Allah akan selalu menempati

posisi karakter pusat. Alkitab adalah cerita

tentang Allah. Itulah sebabnya perlu diwaspadai karakter sentral yang

lain,

misalnya hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sosial, sejarah atau ilmu

tidak dapat mengambil alih

posisi ini.
2. Narasi tidaklah merupakan sebuah laporan data yang utuh dan karena itu tidak

akan

memberikan jawaban terhadap setiap pertanyaan yang pembaca ajukan.

3. Alkitab tidak selalu memberikan pengajaran

secara langsung. Alkitab bukanlah

sebuah proposition tentang segala sesuatu. Kerap pengajaran Alkitab bersifat

tidak langsung dan bersifat interaktif, bahkan memanggil kita untuk memutuskan

apakah yang menjadi inti atau pesan

yang hendak disampaikan, dan apakah setiap

karakter yang ada di dalamnya bertindak sebagaimana seharusnya.

4. Tidak semua narasi memberikan pesan yang positif. Narasi memang mencoba

mengungkapkan suatu kehidupan yang

nyata, namun karakter yang ada di dalamnya

tidaklah selalu merupakan seorang pahlawan. Terkadang mereka menunjukkan

sikap

yang menurut pembaca tidak seharusnya dilakukan olehnya. Terkadang pula, hal-hal

seperti berdoa

ditunjukkan dengan cara yang negatif untuk menunjukkan cara

yang tidak boleh dilakukan oleh seseorang ketika


mendekati Allah.

5. Konteks mempunyai tempat yang penting. Setiap perkataan tidak langsung secara

otomatis memiliki pesan moral; cerita yang lebih utuh selalu menjadi bingkai

untuk menetapkan apakah arti dari sebuah

perkataan di dalam cerita tertentu.

6. Narasi harus menjadi titik tolak memahami narasi itu sendiri, bukan memakai

berbagai elemen yang ada di luar dan memasukkannya ke dalam cerita, kecuali

elemen tersebut menjadi bagian

dari setting cerita. Itulah sebabnya narasi

harus dipahami dari konteks yang lebih besar.

7. Setiap

elemen yang ada di dalam cerita adalah pembimbing untuk memahami

arti yang ada. Ada banyak petunjuk atau tanda di

dalam sebuah cerita. Terkadang

hal ini disebut sebagai konteks dekat. Misalnya apakah sebuah cerita harus

dibaca secara sarkastik atau ironis perlu memperhatikan setiap petunjuk yang

ada di dalamnya. Mengabaikan setiap


petunjuk yang diberikan akan menghilangkan

inti cerita.

8. Narasi tidak akan memberikan sebuah model

yang bersifat langsung dari sudut

historis dan konteks budaya pada sebuah cerita oleh karena pembaca pada masa

ini tidak akan dapat berbagian di dalamnya. Itulah sebabnya tindakan dari

setiap karakter yang ada di dalam

Alkitab tidak secara langsung memberikan

pembaca norma hidup untuk kehidupan di dalam konteks pembaca – walaupun

memberikan ilustrasi secara positif atau konsekuensi secara negatif dari sebuah

tindakan

tertentu.

9. Aplikasi sebuah pesan dari narasi harus dimengerti di dalam konteks yang

memberikan

beberapa dimensi dari cerita yang ada. Dengan kata lain, semua

narasi bukanlah kebenaran tentang segala sesuatu; they

are “incarnated”

truth. Sebuah cerita tidak dapat digunakan untuk menyatakan sesuatu.


10. Narasi biblikal

bukan dan tidak akan pernah menjadi atau mengembangkan sebuah

sistimatik teologi. Narasi biblikal muncul sebagai

sebuah komunitas iman yang

merefleksikan dan menjadi sebuah proses dari cerita tentang Allah di dalam

cara

berpikir, situasi, kondisi serta kebutuhan yang berbeda dari sebuah komunitas

iman tertentu.

Sumbangsih : Metode Penafsiran yang dapat diterima?

Memang perlu diakui bahwa

penggunaan metode narasi di dalam upaya mendekati, memahami dan mengaplikasikan isi
Alkitab menjadi sebuah cara baru yang sangat menarik. Betapa tidak! Pada waktu seseorang
membaca Alkitab, ia dibawa masuk menelusuri setiap pergumulan yang terjadi
pada masa lalu, ke dalam dunia cerita yang diciptakan penulis. Dunia itu menjadi begitu nyata
dan membawa setiap pembaca “hadir” di sana dan terjun ke dalam setiap peristiwa yang terjadi
tersebut. Merasakan dan mengalami secara nyata setiap detail kejadian.
Melalui jalan masuk ke dalam dunia cerita ini, apabila kemudian pembaca “disadarkan kembali”
ke dalam dunia saat ini, ia akan banyak sekali ditolong untuk memahami realita pergumulan
iman yang seharusnya dimasukinya. Sebuah pergumulan iman dengan titik tolak yang benar oleh
karena ia “pernah hadir di sana.” Sehingga jika kemudian sebuah tuntunan di
dalam pergumulan imannya dibangun, maka akan berada pada dasar pijak yang tepat, dasar pijak
yang sama seperti yang dialami oleh penulis di dalam setting ceritanya itu. Misalnya bagaimana
seorang pembaca Alkitab dapat memahami catatan yang ada di dalam kitab Yudas 4, “… mereka
adalah orang-orang yang fasik … dan yang menyangkal satu-satunya Penguasa dan Tuhan kita,
Yesus Kristus.” Kitab ini memang diakui oleh para ahli, ditulis Yudas, adik kandung dari Yesus
Kristus. Pertanyaan yang dimunculkan di sini adalah bagaimana pergeseran pengakuan iman dari
melihat Yesus Kristus dari seorang kakak – oleh karena lahir dari satu rahim yang sama, pernah
tinggal di dalam satu atap, dsb menjadi melihat Yesus Kristus sebagai Tuhan. Pergeseran ini
pasti tidak mudah untuk dilakukan kecuali mengalami sendiri berbagai peristiwa yang
membawanya kepada kesimpulan bahwa Yesus Kristus sungguh bukan sekedar seorang
manusia, melainkan adalah Tuhan. Pergumulan iman – pergeseran atau perubahan sikap – di
dalam memandang Kristus sebagai Tuhan seperti yang dialami seorang Yudas adalah
pergumulan iman yang sungguh nyata. Bagaimana proses tersebut terjadi dan bagaimana
kemudian ia dapat sampai kepada sebuah kesimpulan yang benar perlu dicermati dengan
seksama.

Proses yang dilewati ini akan juga menjadi proses nyata yang akan dialami oleh setiap pembaca
kontemporer. Mereka akan dibawa masuk ke dunia pada masa itu, mengalami berbagai kesulitan
iman dan kemudian akan dituntun oleh penulis (sang Yudas) sampai pada kesimpulan yang
sama.

Pertanyaan yang perlu diajukan di sini adalah, apakah penggunaan metode eksegese narasi dapat
membawa dan membantu pembaca membangun iman sejati? Apakah memang metode ini dapat
dipertanggungjawabkan? Tidak mudah menjawab pertanyaan semacam. Untuk itu perlu
dipertimbangkan beberapa catatan di bawah ini.

Problema Kebenaran Pewahyuan

Jika Alkitab dipercaya berisi beragam peristiwa semenjak kejadian sampai kepada akhir jaman

dan semua ini dinyatakan di dalam keindahan sastra dalam runtutan kisah-kisah, maka pembaca
akan dibawa kepada suatu

kemustahilan. Maksudnya, secara nyata pembaca tidak akan pernah hadir di dalam masa
penciptaan. Namun Narator mampu untuk

mengatasi kemustahilan ini. Ia dapat menceritakan secara detail peristiwa tersebut dan bahkan
dapat mengungkapkan pula apa yang

akan terjadi kelak di masa mendatang. Secara sastra, inilah yang disebut sebagai sebuah seni,
namun sekaligus pula membuka

pintu untuk mempertanyakan kebenaran cerita itu. Kalau memperhatikan karya-karya sastra yang
indah lain, model semacam ini juga

akan dengan mudah dijumpai, namun sekaligus dianggap sebagai sebuah kemustahilan. Ada
banyak manipulasi yang dilakukan dengan

tujuan meyakinkan para pembaca bahwa cerita tersebut adalah objektif adanya.

Dengan demikian, Alkitab juga akan

dianggap sarat dengan muatan manipulasi yang bertujuan untuk menimbulkan efek tertentu
kepada para pembacanya. Semua ini

dilakukan oleh penulis agar pembaca dapat melihat adanya dimensi-dimensi lain dalam sebuah
kisah.[12]

Problem Otoritas

Problem memasuki dunia cerita dan mengalami pergumulan yang sama dengan penulis Alkitab
menjadikan kedudukan pembaca dan penulis pertama tersebut menjadi setara atau setingkat.
Pembaca dan penulis akan sama benarnya padahal di dalam kondisi semacam ini komunikasi
atau dialog iman antara pembaca dan penulis tidak pernah terjadi. Pembaca tidak akan pernah
dapat menghayati sebuah cerita jika tidak ada penulis atau pencerita berdiri di antara peristiwa
dan pendengar. Kedudukan para penulis Alkitab mempunyai keunikan tersendiri oleh karena
mereka adalah yang dipilih dan dipercaya menerima wahyu pertama kali.
Kesamaan kedudukan pembaca dan penulis di sini mengaburkan konsep wahyu dan pewahyuan.
Memang sebagai jalan keluar untuk mengatasi masalah ini, para pembaca diharapkan tunduk
dibawah otoritas penulis, sudut pandang penulis atau mengembangkan sikap percaya dan
mempercayai penulis akan segala hal yang disampaikannya.

Problem Imajinasi

Masuk ke dalam “dunia cerita” dan membayangkan kira-kira pergumulan apakah yang dialami
penulis pada masa itu akan membuka peluang penafsiran sekehendak hati. Mengapa? Karena di
sini pembaca mengambil alih keunikan pergumulan penulis. Walaupun pembaca masuk ke dalam
dunia semacam ini, tetap perlu diakui bahwa dunia kreasi yang ada di dalam pikiran pembaca
tidak dapat mewakili atau bahkan menyatakan dunia yang dialami penulis. Dunia penulis adalah
unik, khusus dan “dunia pada saat itu” dengan segala macam dinamikanya. Tentu hal ini juga
tidak terlepas dari maksud Allah di dalam sejarah pewahyuan. Pembaca tidak akan pernah dan
tidak akan mungkin kembali ke masa itu. Yang mungkin dilakukan adalah berupaya
mendekatinya dengan sederetan perlengkapan pengetahuan yang ia ketahui tentang dunia saat itu
dari berbagai sumber literatur tertentu.

Problem Narator

Kehadiran narator dan perannya dalam menyatakan setiap

kisah/kejadian di dalam Alkitab sangat dominan. Ia seakan mewakili suara seseorang tetapi
sebenarnya bukan orang. Keberadaannya

tidak sama dan tidak dapat dicampur-adukkan dengan penulis. Narator hanya ada sebagai sebuah
konstruksi dari pembaca yang
mengolahnya sedemikian rupa di dalam usaha mengerti sebuah cerita. Ia adalah sebuah fungsi
yang mengekspresikan diri dalam

bahasa yang membentuk kisah. Kesan yang ditimbulkan dari keistimewaan narator membawa dia
sampai pada posisi “tahu segalanya.”

Mengapa? Karena ia adalah seorang yang memiliki jalan masuk ke peristiwa di masa lalu,
mengetahui pikiran dan perasaan karakter

mulai dari Tuhan sampai manusia biasa. Ia adalah seorang yang membawa suara kenabian
sehingga pembaca harus percaya kepadanya

dan mendapatkan informasi yang perlu.

Sebenarnya ada banyak cerita di dalam Alkitab yang menunjukkan ketidak-tahuan

narator. Misalnya kejadian Yesus menulis ditanah pada peristiwa seorang perempuan yang
tertangkap berbuat zinah. Jika ditanya,

tulisan apakah yang dibuat Yesus di tanah itu? Narator akan menggelengkan kepala dan
mengangkat bahu tanda ketidak-tahuannya.

Selain itu pembedaan antara narator dan penulis seperti disebutkan di atas akan membawa
kepada problem otorisasi di dalam

pewahyuan pula, maksudnya apakah narator dapat dikatakan seseorang atau “sesuatu” yang juga
menerima wahyu? Sekali lagi, muncul

masalah pengertian wahyu dan pewahyuan.

Problem Hermeneutik

Pendekatan narasi yang cenderung

mengabaikan prinsip hermeneutika justru membawa ke suatu problem hermeneutika baru.


Memang hasil pendekatan ini membawa pembaca

dan pendengar masuk ke dalam dimensi cerita yang unik dan bersifat pribadi. Mereka di bawa
masuk “bertualang” di dalam “dunia

cerita” yang diciptakan oleh penulis. Namun jika dicoba telusuri, maka terdapat problem serius
yang terjadi di dalam pendekatan

ini. Titik tolak perdekatan yang digunakan justru mengabaikan keutamaan Alkitab sebagai
firman dengan memilih-milah sedemikian

rupa perihal pewahyuan sehingga tidak dilihat sebagai suatu kesatuan yang utuh.

1. Penekanan kepada “dunia cerita”

ciptaan penulis mengabaikan prinsip “segala tulisan yang diilhamkan Allah.” Pembaca akan
terfokus perhatian kepada “dunia

cerita” tersebut dan mengabaikan Alkitab sebagai firman Allah, di mana di dalamnya nyata
segala kebenaran Allah. Tuntutan atau ajaran tertentu yang muncul menjadi bagian refleksi dari
sebuah cerita dan bukan karena tuntutan Allah di dalam firmanNya.

2. Alkitab menjadi salah satu dari sekian banyak buku cerita yang agung, hanya bedanya adalah
label yang diberikan kepadanya sebagai “Firman Allah.” Label ini menjadi Alkitab sedikit lebih
tinggi dari buku-buku cerita lain itu, namun pada intinya atau hakekatnya, secara posisi tetap
sama. Karena adanya label ini pulalah pembaca mau tidak mau harus memberikan pengakuan
bahwa Alkitab lebih dari sekedar sebuah buku cerita.

3. Posisi pembaca dan penulis menjadi setara dan

mungkin sekali pembaca mengatas namakan pendapat pribadi sebagai pendapat penulis. Ini
dikarenakan hal penulis pertama tidak mendapat posisi penting di dalam upaya mengerti apakah
maksud pertama dari isi tulisannya di dalam Alkitab. Memang jalan keluar yang diusulkan
adalah menempatkan diri di bawah posisi penulis, namun hal ini tidak serta merta menjadi
sebuah jaminan tidak adanya unsur subjektivitas semacam ini.

4. Hal pengabaian konteks pembaca atau penerima pertama dari tulisan

penulis pertama juga menjadi problema serius. Setiap tulisan yang lahir dari tangan penulis
pertama tidak pernah lahir di dalam kevakuman, dalam arti pasti ada suatu alasan tertentu yang
melatar-belakangi munculnya tulisan tersebut. Dalam kaitannya dengan peristiwa pewahyuan,
memang hal ini dipercaya sebagai bentuk intervensi Ilahi pula di dalam penyataan wahyuNya.

Rangkum Pikiran

Cerita merupakan salah satu wahana penting dan efektif di dalam penyampaikan dan
penyimpanan suatu pesan. Semua orang dari berbagai golongan usia akan menyukai apa yang
disebut sebagai cerita. Untuk dapat memahami suatu cerita tertentu dan memakainya dengan
baik, perlu dipelajari berbagai kaidah dan segi-segi dari sebuah cerita.
Pada waktu berbicara tentang Alkitab, perlu diakui bahwa di dalamnyapun ada banyak cerita.

Tidak sedikit para ahli Alkitab menggunakan metode bercerita – pendekatan literer kritis – untuk
menggali isi Alkitab ini dan menyajikan hasil penggalian tersebut sebagai sebuah “penemuan
baru.” Tentu akibatnya akan menimbulkan kesan bahwa pendekatan gramatikal-historis
yang selama ini dipakai disingkirkan jauh-jauh karena tidak membawa hasil yang lebih
membumi. Metode ini hanya menghasilkan kumpulan dogmatik yang dingin, kaku dan tidak
bersangkut paut secara langsung. Walaupun memang harus diakui pendekatan ini telah
memberikan “sesuatu” yang baru di dalam disiplin ilmu hermeneutik, namun hal ini diperoleh
dengan mengorbankan banyak prinsip penting di dalam konsep Alkitab tentang wahyu dan
pewahyuan, konsep wahyu dan inspirasi.

Eksegese narasi memang berhasil merekonstruksi pengalaman hidup untuk menyatakan suatu
kehidupan yang mendalamdan sangat hakiki, namun pengalaman ini berada pada level
horizontal. Aspek vertikal antara seseorang dengan Allah menjadi kabur atau bahkan cenderung
terabaikan sama sekali.

Terlalu banyak dunia simbolik yang dihasilkannya daripada memberikan tempat kepada dunia
realitas. Dunia semacam ini mendapatkan tempat yang sangat ultimat dan Eksegese yang
dilakukan justru mengajak para pembaca ke dalam situasi penyesuaian diri kepadanya. Semua ini
dilakukan dengan suatu anggapan bahwa narasi Alkitab mampu mengatasi semua hambatan
dunia Alkitab dan dunia kontemporer.

Eksegese semacam ini dapat dikatakan sebuah eisegese terselubung karena telah mengabaikan
fakta kebenaran yang bersifat sejarah dan semua yang terkait di dalamnya di dalam sejarah
pewahyuan dan hanya memberikan fokus perhatian pada hasil akhirnya belaka. Meminjam
perkataan Ronald Thiemann, “Teks berdiri di tempat di mana seharusnya Allah berdiri.”[13]

Kepustakaan

1. Alter, Robert & F. Kermode (Ed). The Literary Guide to the Bible. Fontana
Press. 1986.
2. Alter, Robert. The Art of Biblical Narrative. London: George Allen & Unwin. 1981
3. Berlin, Adele. Poetics and Interpretation of Biblical Narrative. Sheffield: The Almond
Press, 1983.
4. Meir Sternberg. The Poetics of Bibical Narrative, Ideological Literature and the Drama of
Reading, Bloomington: Indiana University Press, 1987.

5. Leland Ryken. “Words of Delight”: The Bible as Literature. Bibliotheca Sacra. Vol. 147.
No. 585.
6. __________ . “And It Came to Pass”: The Bible as God’s Storybook. Bibliotheca Sacra.
Vol. 147. No. 586.
7. __________ . “I Have Used Similitudes”: The Poetry of the Bible. Bibliotheca Sacra.
Vol. 147. No. 587.
8. __________ . “With Many Such Parables”: The Imagination as a Means of Grace.
Bibliotheca Sacra. Vol. 147. No. 588.
9. __________ . How to Read the Bible as Literature. Grand Rapids: Zondervan, 1984.
10. Santosa, Jakub. “Metode Exegese Narasi,” Gema Duta Wacana. No. 41. Th.
11. Setio, Robert. “Alkitab sebagai Kumpulan Narasi.” Gema Duta Wacana No. 41/1991
12. Thiemann, Ronald. “Response to George Lindbeck.” Theology Today 48:3 (October
1986)
--------------------------------------------------------------------------------
[1] Secara

garis besar metode tafsir Alkitab terdiri dari tiga fase, yaitu (1). metode tafsir tradisional.
Ini merupakan metode yang paling banyak digunakan hingga saat ini dan bersifat
historikal-gramatikal. (2). Metode historis kritis. Pengaruh sejarah
sangat kuat di dalam metode ini. Setiap kitab di teliti sebagai dokumen sejarah dan
mempertanyakan “kesungguhan terjadinya”
setiap peristiwa tersebut. (3). Metode struktural. Pada prinsipnya metode ini memusatkan
perhatian pada teks tanpa merasa perlu memperhitungkan konteks.

[2] Misalnya, J.D. Kingsbury, Matthew as Story (Philadelphia: Fortress Press, 1988),
Paul D. Duke, Irony in the Fourth Gospel (Atlanta: John Knox Press, 1985), J.P.
Fokkelman, Narrative Art and Poetry in the
Books of Samuel, 2 Vols (Dover NH: Van Gorcum, 1986).

[3] Robert Alter adalah Guru Besar Ibrani dan Kesusastraan Perbandingan di Universitas
Barkeley, California. Sebagai seorang kritikus, ia banyak menulis hal-hal yang
berkaitan dengan cerita dan novel. Dua bukunya yang sangat terkenal, The Art of Biblical
Narrative (1981) dan The Art of Biblical Poetry (1985).

[4] Di sini Alter membedakan dengan pendekatan modern yang menurutnya cenderung
melihat setiap bagian teks sebagai dokumen yang berbeda dan terkadang memisah-
misahkankan teks.

[5] Misalnya cerita tentang Yehuda dan Tamar di dalam Kejadian 38 yang oleh beberapa
ahli diterima sebagai sebuah sisipan di dalam cerita Yusuf, baginya merupakan suatu
rangkaian dan mempunyai keterkaitan yang erat dengan cerita Yusuf (Kejadian 37-39).
Dengan pembacaan close reading ia melihat kemiripan kedua cerita ini, khususnya akan
hal pengenalan Yakub atas jubah Yusuf dengan pengenalan Yehuda atas cap materai,
kalung dan tingkat yang dibawa oleh para pembantu Tamar kepadanya. top

[6] Leland Ryken, “’And it Came to Pass’: The Bible as God’s Storybook.” Bibliotheca
Sacra. Vol. 147. No. 586. Hal. 131.

[7] Robert Setio, “Alkitab sebagai Kumpulan Narasi,” Gema Duta Wacana No. 41/1991
hal. 5.

[8] Sternberg, Meir. The Poetics of Bibical Narrative, Ideological Literature and the
Drama of Reading, (Bloomington: Indiana University Press), 1987.

[9] Alter, Robert & F. Kermode (Ed). The Literary Guide to the Bible. (Fontana Press),
1986, hal..3.

[10] Leland Ryken, “’And it Came to Pass’: The Bible as God’s Storybook,” hal. 133. top
[11] Leland Ryken di dalam bukunya How to Read the Bible as Literature, memberikan
beberapa prinsip/aturan

pendekatan literaris ini (1). Perhatikan dan mempertimbangkan setting, karakter dan plot
cerita. (2). Perhatikan setiap detail

cerita dan analisa kaitannya dengan keutuhan cerita, (3). Gunakan setiap detail untuk
mengenal setiap karakter di dalam cerita

tersebut, (4). Identifikasi masalah sebenarnya dari konflik yang terjadi. Perhatikan
perkembangan dan akhir dari konflik

tersebut, (5). Analisa bagaimana sebuah narasi dapat menciptakan minat dan
keingintahuan. Lihat: How to Read the Bible as

Literature Grand Rapids: Zondervan, 1984), hal. 35-43. Lihat juga: Leland Ryken, “’And
it Came to Pass’: The Bible as God’s

Storybook.” Bibliotheca Sacra. Vol. 147. No. 586. Hal. 134-137.

[12] Untuk lebih jelasnya silahkan membaca, Adele Berlin, Poetics and Interpretation of
Biblical Narrative, (Sheffield: The Almond Press, 1983).

[13] Ronald Thiemann, “Response to George Lindbeck,” Theology Today 48:3 (October
1986), hal. 378.

Thomy J.

Matakupan

(dikutip dari situs Gereja Reformed injili Surabaya dengan ijin kemudian)

Anda mungkin juga menyukai