Anda di halaman 1dari 120

LAPORAN PRAKTIKUM

PERANCANGAN GEOMETRIK JALAN

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK XLIX
ALYA RAMADIANISA 20/460483/TK/51072
MOHAMMAD MOSES 20/460512/TK/51101
LUTHFIANA RAFIFDA 20/463562/TK/51554

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA
2022
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PRAKTIKUM
PERANCANGAN GEOMETRIK JALAN
SEMESTER GENAP T.A. 2021/2022

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK XLIX
ALYA RAMADIANISA 20/460483/TK/51072
MOHAMMAD MOSES 20/460512/TK/51101
LUTHFIANA RAFIFDA 20/463562/TK/51554

Disahkan Oleh :
Dosen Pengampu Asisten

Anissa Noor Tajudin, S.T., M.Sc. Nofal Alif Zulanda


Tanggal : Tanggal :
KORPS ASISTEN TEKNIK SIPIL
DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNIKUNIVERSITAS GADJAH MADA
Sekretariat: Jalan Grafika 2 Yogyakarta 55281 telp (0274)545675

LEMBAR ASISTENSI
PRAKTIK STUDIO
PERANCANGAN GEOMETRIK JALAN

Kelompok : XLIX

Asisten : Nofal Alif Zulanda

Anggota Kelompok Paraf Asisten


No Tanggal Kegiatan
NIM Nama Paraf
1. 19/03/2022 Asistensi 51072 Alya Ramadianisa
Umum
51101 Mohammad Moses
(Nofal Alif
Zulanda)
51554 Luthfiana Rafifda
2. 20/03/2022 Asistensi 51072 Alya Ramadianisa
Trase, Bab
I dan II 51101 Mohammad Moses
(Nofal Alif
Zulanda)
51554 Luthfiana Rafifda
3. 11/04/2022 Asistensi 51072 Alya Ramadianisa
Bab III
51101 Mohammad Moses
(Nofal Alif
Zulanda)
51554 Luthfiana Rafifda
4. 20/04/2022 Responsi 51072 Alya Ramadianisa
Bab I, II,
dan III 51101 Mohammad Moses
(Muhammad
Fadly Akbar)
51554 Luthfiana Rafifda
5. 24/04/2022 Asistensi 51072 Alya Ramadianisa
Bab IV
51101 Mohammad Moses
(Nofal Alif
Zulanda)
51554 Luthfiana Rafifda
KORPS ASISTEN TEKNIK SIPIL
DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNIKUNIVERSITAS GADJAH MADA
Sekretariat: Jalan Grafika 2 Yogyakarta 55281 telp (0274)545675

6. 13/05/2022 Responsi 51072 Alya Ramadianisa


Bab IV
51101 Mohammad Moses (Yasyfa Aulia
Riyadi)
51554 Luthfiana Rafifda
7. 16/05/2022 Asistensi 51072 Alya Ramadianisa
Bab V, VI,
dan VII 51101 Mohammad Moses
(Nofal Alif
Zulanda)
51554 Luthfiana Rafifda
8. 03/06/2022 Responsi 51072 Alya Ramadianisa
Bab V, VI,
dan VII 51101 Mohammad Moses

(Davina
51554 Luthfiana Rafifda Daudina)
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan Laporan Praktik Studio
Perancangan Geometrik Jalan ini dengan baik tanpa adanya suatu kendala yang
berarti.
Laporan ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Perancangan
Geometrik Jalan. Selain itu laporan ini juga dibuat untuk membahas dan
melaporkan hasil dari praktik studio dan juga untuk memperdalam ilmu
pengetahuan yang terkait dengan mata kuliah Perancangan Geometrik Jalan.
Selama penyusunan laporan praktikum ini, penulis telah banyak dibantu
oleh berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu
penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya,
2. Dosen pengampu Mata Kuliah Perancangan Geometrik Jalan Ir. Latif Budi
Suparma, M.Sc., Ph.D.; Imam Muthohar, S.T., M.T., D.Eng.; dan Anissa
Noor Tajudin, S.T., M.Sc.
3. Saudara Nofal Alif Zulanda., selaku asisten dosen Mata Kuliah Perancangan
Geometrik Jalan Kelompok 49
4. Orangtua yang telah memberikan dukungan
5. Teman-teman yang telah memberikan dukungan
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak sekali kekurangan dalam
penyusunan laporan praktikum ini, oleh karena itu dengan rendah hati dan
tanganterbuka penulis memohon kesediaan pembaca untuk memberikan kritik,
saran, dan masukan yang membangun untuk menyempurnakan laporan ini.

Yogyakarta, Juni 202


DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN

LEMBAR ASISTENSI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR TABEL

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Sejarah Jalan


1.2 Klasifikasi Jalan
1.3 Karakteristik Jalan
1.4 Dasar Perencanaan Jalan

BAB II PERANCANAAN TRASE JALAN


2.1 Pengertian Trase
2.2 Dasar Pemikiran Trase
2.3 Proses Penetapan Trase Terbaik
2.4 Penentuan Kriteria Pemilihan Trase
2.5 Alternatif Trase

BAB III ALINEMEN HORIZONTAL

3.1 Definisi Alinemen Horizontal


3.2 Bagian Lurus
3.3 Bagian Lengkung (Tikungan)
3.4 Landai Relatif
3.5 Superelevasi
3.6 Hitungan

BAB IV ALINEMEN VERTIKAL

4.1 Definisi Alinemen Vertikal


4.2 Kelandaian Maksimum dan Minimum
4.3 Panjang Kritis
4.4 Lajur Pendakian
4.5 Perlambatan Longitudinal
4.6 Jarak Pandang
4.7 Lengkung Vertikal
4.8 Perhitungan

BAB V ANALISIS KEBUTUHAN MATERIAL KONSTRUKSI

5.1 Dasar Perencanaan Analisis Kebutuhan Material Konstruksi


5.2 Perhitungan Kebutuhan Material Perkerasan Jalan
5.3 Perhitungan Volume Galian dan Timbunan

BAB VI DRAINASE JALAN

6.1 Pengertian Drainase


6.2 Fungsi Drainase
6.3 Ketentuan Perancangan
6.4 Perhitungan

BAB VII RAMBU, MARKA, DAN PERLENGKAPAN LAINNYA

7.1 Rambu
7.2 Marka Jalan
7.3 Perlengkapan Jalan
DAFTAR GAMBAR

GAMBAR 1.1 BAGIAN-BAGIAN JALAN


GAMBAR 3.1 FAKTOR KEKESATAN MELINTANG
GAMBAR 3.2 LENGKUNG LINGKARAN
GAMBAR 3.3 LENGKUNG SPIRAL-CIRCLE-SPIRAL
GAMBAR 3.4 LENGKUNG SPIRAL-SPIRAL
GAMBAR 3.5 KEMIRINGAN NORMAL PADA BAGIAN JALAN LURUS
GAMBAR 3.6 KEMIRINGAN MELINTANG PADA TIKUNGAN BELOK
KANAN
GAMBAR 3.7 KEMIRINGAN MELINTANG PADA TIKUNGAN BELOK
KIRI
GAMBAR 3.8 PERUBAHAN SUPERELEVASI
GAMBAR 3.9 DIAGRAM SUPERELEVASI FULL-CIRCLE
GAMBAR 3.10 DIAGRAM SUPERELEVASI SPIRAL-SIRCLE-SPIRAL (S-C-
S)
GAMBAR 3.11 DIAGRAM SUPERELEVASI LENGKUNG SS
GAMBAR 3.12 DETAIL TIKUNGAN 1 (LENGKUNG S-C-S)
GAMBAR 3.13 DETAIL TIKUNGAN 2 (LENGKUNG S-C-S)
GAMBAR 4.1 PANJANG KELANDAIAN KRITIS TIPIKAL TRUK DENGAN
WPR 120 KG/KW, VAWAL = 110KM/JAM
GAMBAR 4.2 TIPIKAL LAJUR PENDAKIAN
GAMBAR 4.3 JARAK ANTARA DUA LAJUR PENDAKIAN
GAMBAR 4.4 KONSEP JPH
GAMBAR 4.5 MANUVER MENDAHULUI
GAMBAR 4.6 TIPIKAL LENGKUNG VERTIKAL PARABOLA SEDERHANA
GAMBAR 4.7 JENIS-JENIS LENGKUNG VERTIKAL
GAMBAR 5.1 RUMUS ILUSTRASI PERHITUNGAN VOLUME GALIAN
DAN TIMBUNAN
GAMBAR 6.1 BENTUK DRAINASE
GAMBAR 6.2 POTONGAN MELINTANG JALAN
GAMBAR 6.3 DIMENSI PENAMPANG SALURAN DRAINASE
DAFTAR TABEL

TABEL 1.1 EKIVALEN MOBIL PENUMPANG (EMP)


TABEL 1.2 PENENTUAN NILAI FAKTOR K DAN FAKTOR F
BERDASARKAN VLHR
TABEL 2.1 PERHITUNGAN ANALISIS PEMILIHAN TRASE
TABEL 3.1 PANJANG BAGIAN LURUS MAKSIMUM
TABEL 3.2 PANJANG JARI-JARI MINIMUM
TABEL 3.3 HUBUNGAN LS DENGAN VR UNTUK R, EN=2%, EMAX=8%,
PADA JALAN DENGAN LEBAR LAJUR 3,5 M
TABEL 3.4 HUBUNGAN LS DENGAN VR UNTUK R, EN=2%, EMAX=8%,
PADA JALAN DENGAN LEBAR LAJUR 3 M
TABEL 3.5 HUBUNGAN LS DENGAN VR UNTUK R, EN=2%, EMAX=8%,
PADA JALAN DENGAN LEBAR LAJUR 2,75 M
TABEL 3.6 HUBUNGAN LS DENGAN VR UNTUK R, EN=2%, EMAX=6%,
PADA JALAN DENGAN LEBAR LAJUR 3,5 M
TABEL 3.7 HUBUNGAN LS DENGAN VR UNTUK R, EN=2%, EMAX=6%,
PADA JALAN DENGAN LEBAR LAJUR 3 M
TABEL 3.8 HUBUNGAN LS DENGAN VR UNTUK R, EN=2%, EMAX=6%,
PADA JALAN DENGAN LEBAR LAJUR 2,75 M
TABEL 3.9 HUBUNGAN LS DENGAN VR UNTUK R, EN=2%, EMAX=4%,
PADA JALAN DENGAN LEBAR LAJUR 3,5 M
TABEL 3.10 HUBUNGAN LS DENGAN VR UNTUK R, EN=2%, EMAX=4%,
PADA JALAN DENGAN LEBAR LAJUR 3 M
TABEL 3.11 HUBUNGAN LS DENGAN VR UNTUK R, EN=2%, EMAX=4%,
PADA JALAN DENGAN LEBAR LAJUR 2,75 M
TABEL 3.12 HUBUNGAN LS DENGAN VR UNTUK R, EN=3%, EMAX=8%,
PADA JALAN DENGAN LEBAR LAJUR 3,5 M
TABEL 3.13 HUBUNGAN LS DENGAN VR UNTUK R, EN=3%, EMAX=8%,
PADA JALAN DENGAN LEBAR LAJUR 3 M
TABEL 3.14 HUBUNGAN LS DENGAN VR UNTUK R, EN=3%, EMAX=8%,
PADA JALAN DENGAN LEBAR LAJUR 2,75 M
TABEL 3.15 HUBUNGAN LS DENGAN VR UNTUK R, EN=3%, EMAX=6%,
PADA JALAN DENGAN LEBAR LAJUR 3,5 M
TABEL 3.16 HUBUNGAN LS DENGAN VR UNTUK R, EN=3%, EMAX=6%,
PADA JALAN DENGAN LEBAR LAJUR 3 M
TABEL 3.17 HUBUNGAN LS DENGAN VR UNTUK R, EN=3%, EMAX=6%,
PADA JALAN DENGAN LEBAR LAJUR 2,75 M
TABEL 3.18 HUBUNGAN LS DENGAN VR UNTUK R, EN=3%, EMAX=4%,
PADA JALAN DENGAN LEBAR LAJUR 3,5 M
TABEL 3.19 HUBUNGAN LS DENGAN VR UNTUK R, EN=3%, EMAX=4%,
PADA JALAN DENGAN LEBAR LAJUR 3 M
TABEL 3.20 HUBUNGAN LS DENGAN VR UNTUK R, EN=3%, EMAX=4%,
PADA JALAN DENGAN LEBAR LAJUR 2,75 M
TABEL 3.21 BESARNYA LANDAI RELATIF
TABEL 3.22 RANGKUMAN HASIL PERHITUNGAN
TABEL 4.1 KELANDAIAN MAKSIMUM YANG DIIJINKAN UNTUK
JALAN ARTERI PERKOTAAN
TABEL 4.2 KELANDAIAN MAKSIMUM BERDASARKAN MEDAN
TABEL 4.3 PANJANG KELANDAIAN KRITIS
TABEL 4.4 JPH MOBIL PENUMPANG PADA KELANDAIAN DATAR,
MENURUN, DAN MENANJAK
TABEL 4.5 NILAI D3 UNTUK BERBAGAI VARIASI KECEPATAN
RENCANA
TABEL 4.6 KONTROL PERENCANAAN UNTUK LENGKUNG VERTIKAL
CEKUNG BERDASARKAN JARAK PANDANG HENTI
TABEL 4.7 KONTROL PERENCANAAN UNTUK LENGKUNG VERTIKAL
CEMBUNG BERDASARKAN JARAK PANDANG HENTI
TABEL 4.8 KONTROL PERENCANAAN UNTUK LENGKUNG VERTIKAL
CEMBUNG BERDASARKAN JARAK PANDANG MENDAHULUI
TABEL 6.1 KECEPATAN ALIRAN AIR YANG DIIZINKAN
BERDASARKAN JENIS MATERIAL
TABEL 6.2 KOEFISIEN MANNING
TABEL 7.1 RAMBU-RAMBU YANG DIGUNAKAN
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Sejarah Jalan


Jalan dibuat untuk memenuhi kebutuhan manusia bergerak dan
berpindah dari suatu tempat ke tempat lain agar dapat mempertahankan
kelangsungan hidupnya. Selain untuk perpindahan manusia, jalan juga
diperuntukkan untuk perpindahan barang. Jalan raya sudah ada sejak manusia
memerlukan akses untuk berjalan kaki, saat ditemukan kendaraan beroda
seperti gerobak dan kereta kuda, hingga saat ini dilalui mobil. Tidak diketahui
pasti peradaban mana yang lebih dulu menciptakan jalan, tapi nyaris semua
peradaban tidak terlepas dari adanya jalan raya. Salah satu sumber
mengatakan bahwa jalan raya muncul pada 3000 SM. Jalan pada masa itu
masih berupa jalan setapak dengan konstruksi berdasarkan kendaraan beroda
yang digunakan saat itu.
Dari perkembangan sejarah manusia yang telah ditemukan oleh para
ahli, dapat diketahui bahwa pembangunan jalan sudah dilakukan di berbagai
bangsa, mulai dari yang sederhana sampai modern. Jalan yang berkembang
membentuk jalur-jalur dan akhirnya terangkai menjadi jaringan jalan. Berikut
ini merupakan sejarah jalan secara singkat:
1. Jalan Mesopotamia-Mesir
Merupakan jalan yang menghubungkan antara Mesopotamia dengan
mesir pada 3000 SM yang berfungsi untuk perkembangan budaya
maupun jalur berperang. Penemuan jalan ini dipandang sebagai awal
dan sejaran kebudayaan jalan raya.
2. Jalan Raya di Eropa dan China
Jalan tertua yang berada di Eropa disebut jalur kurung yang
mebghubungkan Yunani, Tuscany, hingga Laut Baltik. Sedangkan di
China, jalan sepanjang 3000 km dibangun untuk menghubungkan kota-
kotanya.
3. Jalan Romawi
Pada masa kejayaannya, bangsa Romawi membangun jalan sepanjang
8000 km yang terbentang dari Inggris sampai ke Afrika Utara, dan
Pantai Samudera Atlantik di Semenanjung Uberia hingga Teluk Persia
(756-476 SM).
Pada masa setelah masehi, banyak penemuan-penemuan tentang
jalan, di antaranya:
1. Pada tahun 1595, ditemukan danau aspal di Trinidad oleh Sir Walter
Raleigh. Temuan ini menjadi awal mula berkembangnya sejarah
teknologi perkerasan yang digunakan untuk membangun jalan.
2. Pada tahun 1764, Pierre Marie Jerome Tresaguet dari Perancis
mengenalkan konstruksi jalan dengan pendekatan ilmiah. Konstruksi
jalan yang direncanakan meliputi lapisan bawah berupa batuan besar
yang bagian atasnya dilapisi kerikil.
3. Pada tahun 1790, Thomas Telford dari Skotlandia menemukan metode
prinsip desak, yaitu suatu konstruksi perkerasan jalan yang dibuat untuk
jembatan lengkung dari batu belah, serta menambahkan susunan batu-
batu kecil di atasnya.
4. Pada tahun 1816, Jon Loudon McAdam memperkenalkan prinsip
tumpang tindih atau konstruksi Makadam.
5. Pada tahun 1860, ditemukan mesin penggilas oleh Lemoine.
6. Pada tahun 1872, imigran Belgia Edward de Smedt di Columbia
University, New York berhasil merekayasa aspal dengan kepadatan
maksimum. Aspal itu dipakai di Battery Park dan Fifth Avenue, New
York (1872) dan Pennsylvenia Avenua, Washington DC (1877).

Jalan terpanjang yang pertama kali dibangun di Indonesia merupakan


jalan dari Anyer ke Panarukan. Jalan ini dibangun pada masa penjajahan
Belanda sekitar tahun 1808 yang sekarang berkembang jadi jalur Pantura
(Pantai Utara). Jalan ini dibangun sebagai jalur penyaluran keperluan militer
untuk perang dan juga distribusi pertanian maupun perkebunan.

1.2 Klasifikasi Jalan


Jalan dapat diklasifikasikan berdasarkan sistem jaringan, fungsi, status,
dan kelas. Berikut adalah klasifikasi jalan:
1.2.1 Klasifikasi jalan umum berdasarkan sistem jaringan
a. Sistem jaringan jalan primer merupakan sistem jaringan jalan
dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk
pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan
menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang berwujud
pusat-pusat kegiatan.
b. Sistem jaringan jalan sekunder merupakan sistem jaringan jalan
dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk
masyarakat di dalam kawasan perkotaan.
1.2.2 Klasifikasi jalan umum berdasakan fungsi
a. Jalan arteri merupakan jalan umum yang berfungsi melayani
angkutan utama dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan
rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara berdaya
guna.
b. Jalan kolektor merupakan jalan umum yang berfungsi melayani
angkutan pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak
sedang, kecepatan rata-rata sedang, dan jumlah jalan masuk
dibatasi.
c. Jalan lokal merupakan jalan umum yang berfungsi melayani
angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan
rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
d. Jalan lingkungan merupakan jalan umum yang berfungsi
melayani angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak
dekat, dan kecepatan rata-rata rendah.
1.2.3 Klasifikasi jalan umum berdasarkan status
a. Jalan nasional merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam
sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan antaribukota
provinsi, dan jalan strategis nasional, serta jalan tol.
b. Jalan provinsi merupakan jalan kolektor dalam sistem jaringan
jalan primer yang menghubungkan ibukota provinsi dengan
ibukota kabupaten/kota, atau antaribukota kabupaten/kota, dan
jalan strategis provinsi.
c. Jalan kabupaten merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan
jalan primer yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan
ibukota kecamatan, antaribukota kecamatan, ibukota kabupaten
dengan pusat kegiatan lokal, antarpusat kegiatan lokal, serta
jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder dalam
wilayah kabupaten, dan jalan strategis kabupaten.
d. Jalan kota adalah jalan umum dalam sistem jaringan jalan
sekunder yang menghubungkan antarpusat pelayanan dalam
kota, menghubungkan pusat pelayanan dengan persil,
menghubungkan antarpersil, serta menghubungkan antarpusat
permukiman yang berada di dalam kota.
e. Jalan desa merupakan jalan umum yang menghubungkan
kawasan dan/atau antarpermukiman di dalam desa, serta jalan
lingkungan.
1.2.4 Klasifikasi jalan umum berdasarkan kelas
a. Jalan Kelas I, yaitu jalan arteri dan kolektor yang dapat dilalui
dengan kendaraan bermotor dengan ukuran lebar tidak lebih
dari 2.500 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000
milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 milimeter, dan muatan
sumbu terberat 10 ton.
b. Jalan Kelas II, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan
yang dapat dilalui kendaraan bermotor dengan ukuran lebar
tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi
12.000 milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 milimeter, dan
muatan sumbu terberat 8 ton.
c. Jalan Kelas III, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan
yang dapat dilalui kendaraan bermotor dengan ukuran lebar
tidak melebihi 2.100 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi
9.000 milimeter, ukuran paling tinggi 3.500 milimeter, dan
muatan sumbu terberat 8 ton.
d. Jalan kelas khusus, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui
kendaraan bermotor dengan ukuran lebar melebihi 2.500
milimeter, ukuran panjang melebihi 18.000 milimeter, ukuran
paling tinggi 4.200 milimeter, dan muatan sumbu terberat lebih
dari 10 ton.

1.3 Karakteristik Jalan


1.3.1 Bagian-bagian jalan
a. Ruang manfaat jalan
b. Ruang milik jalan
c. Ruang pengawasan jalan
Bagian-bagian jalan dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1.1 Bagian-bagian jalan

1.3.2 Potongan melintang jalan


a. Badan jalan adalah bagian jalan yang meliputi seluruh jalur lalu
lintas, median, dan bahu jalan.
b. Bahu jalan adalah bagian ruang manfaat jalan yang berdampingan
dengan jalur lalu lintas untuk menampung kendaraan yang
berhenti, keperluan darurat, dan untuk pendukung samping bagi
lapis fondasi tanah dan lapis permukaan.
c. Jalur lalu lintas adalah bagian ruang manfaat jalan yang
direncanakan khusus untuk lintasan kendaraan bermotor.
d. d. Lajur adalah bagian pada jalur lalu lintas yang ditempuh oleh
satu kendaraan bermotor dalam satu jurusan.
e. Median adalah bagian jalan yang membagi dua jalur lalu lintas
yang berlawanan arah.

1.3.3 Kriteria perencanaan


a. Kendaraan rencana adalah kendaraan yang dimensi radius
patahnya dipakai sebagai acuan dalam perancangan geometrik.
b. Satuan mobil penumpang (SMP) adalah angka satuan kendaraan
dalam hal kapasitas jalan, dimana mobil penumpang ditetapkan
memilik satu SMP.
Tabel 1.1 Ekivalen mobil penumpang (emp)
Medan Jalan
No. Jenis Kendaraan
Datar/perbukitan Pegunungan
Sedan, jeep, station
1. 1 1
wagon
Pick-up, bus kecil, truk
2. 1,2 – 2,4 1,9 – 3,5
kecil
3. Bus dan truk besar 1,2 – 5 2,2 – 6
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar kota Nomor
038/TBM/1997)
c. Volume lalu lintas harian rencana (VLHR) adalah perkiraan
volume lalu lintas harian pada akhir tahun rencana lalu lintas,
dinyatakan dalam SMP/hari.
d. Volume jam rencana (VJR) adalah perkiraan volume lalu lintas
pada jam sibuk tahun rencana lalu lintas, dinyatakan dalam
SMP/jam. VJR dapat dihitung dengan rumus
𝐾
𝑉𝐽𝑅 = 𝑉𝐿𝐻𝑅 𝑥
𝐹
Keterangan:
K = faktor volume lalu lintas sibuk
F = faktor variasi tingkat lalu lintas per-seperempat jam dalam
satu jam
Besarnya faktor K dan faktor F dapat dilihat dalam Tabel 1.2
berikut:
Tabel 1.2 Penetuan nilai faktor K dan faktor F berdasarkan VLHR
VLHR Faktor K Faktor F
(smp/jam) (%) (%)
> 50.000 4-6 0,9 - 1
30.000 - 50.000 6-8 0,8 - 1
10.0000 - 30.000 6-8 0,8 - 1
5.000 - 10.000 8 - 10 0,6 - 0,8
1.000 - 5.000 10 - 12 0,6 - 0,8
< 1.000 12 - 16 < 0,6
(Sumber : Tata Cara Perncanaan Geometrik Jalan Antar Kota Nomor
038/TBM/1997)
e. Kecepatan rencana (Vr) pada suatu ruas jalan adalah kecepatan yang
dipilih sebagai dasar perencanaan geometrik jalan. Yang
memungkinkan kendaraan dapat bergerak dengan aman dan nyaman,
dengan kondisi cuaca cerah, jalan lenggang, dan pengaruh hambatan
jalan tidak berarti.
1.4 Dasar Perencanaan Jalan
Perencanaan dan perancangan jalan dilakukan dengan memperhatikan
beberapa peraturan sebagai acuan, antara lain:
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2006
tentang Jalan
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021
Tentang Penyelenggaraan Bidang Lalu Lintas dan Angkutan Umum
4. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor
19/PRT/M/2011 Tentang Persyaratan Teknis Jalan dan Kriteria
Perencanaan Teknis Jalan
5. Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
2014 tentang Rambu Lalu Lintas.
6. Tata Cara Perencanaan Geomterik Jalan Antar Kota Tahun 1997,
Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga
7. Tata Cara Geometri Jalan Bebas Hambatan Untuk Jalan Tol
No.007/BM/2009
8. Pedoman Perencanaan Sistem Drainase Jalan Pekerjaan Umum Tahun
2006
9. Spesifikasi Umum 2018 Untuk Pekerjaan Konstruksi Jalan dan
Jembatan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Direktorat Jenderal Bina Marga.
BAB II
PERENCANAAN TRASE JALAN

2.1 Pengertian Trase


Trase jalan adalah garis tengah sumbu jalan yang merupakan garis
lurus saling terhubung dengan peta topografi serta menjadi acuan dalam
menetapkan tinggi muka tanah dasar.

2.2 Dasar Pemikiran Trase


Dalam perencanaan dan pemilihan trase jalan raya baru, dibutuhkan
data - data sebagai dasar pemilihan trase, antara lain:
1. Data sosial - ekonomi
Di kawasan studi ini terdapat daerah yang memiliki potensi ekonomi
yang baik, diantaranya perkebunan, pertambangan, dan persawahan.
2. Pola sebaran penduduk
Pemukiman penduduk terdapat di bagian barat dan timur kawasan,
tepatnya di bagian barat laut dan tenggara.
3. Sumber daya
Potensi alam di kawasan ini berupa daerah hutan di bagian timur sungai,
pertambangan dan perkebunan bagian barat sungai, dan sawah yang
berada di daerah sungai.
4. Data teknis tanah
Kawasan studi ini berupa daerah perbukitan yang tersusun atas tanah
normal, tanah berpasir, tanah keras, dan tanah lunak.
5. Peta gura lahan
Peta gura lahan terdapat pada peta kontur

2.3 Proses Penetapan Trase Terbaik


Setelah mengetahui data dan informasi di kawasan studi ini maka trase
jalan dapat dirancang jalan. Penentuan trase jalan memiliki maksud dan
tujuan tertentu dengan berbagai pertimbangan. Trase tersebut haruslah sesuai
dengan visi awal pembangunan jalan tersebut. Maka alternatif trase sebisa
mungkin memenuhi kriteria:
1. Menghubungkan potensi - potensi ekonomi di kawasan ini.
2. Memacu perngembangan kegiatan di daerah industri, perdagangan,
pertanian dan perkebunan, serta daerah - daerah lainnya yang berpotensi.
3. Mengakomodasi kawasan permukiman.
4. Menghindari daerah tanah lunak.
5. Jauh dari kawasan lindung, seperti cagar alam dan cagar budaya.
6. Menghindari kawasan hutan.
7. Menghindari kemungkinan konflik sosial.

2.4 Penetuan Kriteria Pemilihan Trase


kriteria dasar dalam penentuan dan pemilihan trase yang perlu
diperhatikan diantaranya:
a. Faktor Teknis
Faktor teknis merupakan ketentuan teknis yang harus dipenuhi oleh suatu
ruas jalan agar jalan dapat berfungsi secara optimal. Faktor teknis
mempengaruhi pembuatan trase karena berpengaruh terhadap tingkat
kesulitan dalam pelaksanaan konstruksi. Faktor teknis
memertimbangkan aspek geologi, topografi, desain trase,panjang jalan,
dan daya dukung tanah.
b. Faktor Ekonomi
Trase yang dipilih harus memiliki keunggulan yang dapat meningkatkan
sektor industri, perkebunan, sawah, dan perdagangan, serta sektor lain
yang dapat meningkatkan perekonomian.
c. Faktor Lingkungan
Dampak dari trase yang dipilih terhadap lingkungan harus seminimal
mungkin. Konflik terhadap masyarakat juga harus dihindari dengan cara
tidak memulai konstruksi pada daerah yang menyangkut kepentingan
banyak orang, seperti kuburan.
d. Faktor Tata ruang
Faktor tata ruang berpengaruh dalam penentuan trase jalan agar
memenuhi aspek perencanaan umum tata ruang wilayah, kebutuhan
pelayanan, dan pengembangan wilayah.
2.5 Alternatif Trase
Nilai Sub Nilai x Bobot
Kriteria Bobot
Alternatif 1 Alternatif 2 Alternatif 3 Bobot Alternatif 1 Alternatif 2 Alternatif 3
Teknis
1 Kondisi geologi dan topografi 3 3 3 20% 0,18 0,18 0,18
2 Desain trase 5 2 3 20% 0,3 012 0,18
3 Panjang jalan 3 3 3 30% 15% 0,135 0,135 0,135
4 Anlinyemen vertikal dan horizontal 4 3 3 20% 0,24 0,18 0,18
5 Daya dukung tanah 3 5 3 25% 0,225 0,375 0,225
Ekonomis Total 1,08 0,99 0,9
1 Kebutuhan dana 4 4 4 20% 0,2 0,2 0,2
2 Manfaat ekonomi 4 4 3 20% 0,2 0,2 0,15
3 Biaya pembuatan jalan 3 2 3 25% 20% 0,15 0,1 0,15
4 Biaya ganti rugi 3 2 4 20% 0,15 0,1 0,2
5 Pelaksanaan galian dan timbunan 3 5 4 20% 0,15 0,25 0,2
Lingkungan Total 0,85 0,85 0,9
1 Lahan pertanian 3 2 2 30% 0,225 0,15 0,15
2 Konflik sosial 3 1 3 25% 50% 0,375 0,125 0,375
3 Kelestarian hutan 5 5 3 20% 0,25 0,25 0,15
Tata Ruang Total 0,85 0,525 0,675
1 Pengembangan wilayah 4 4 2 50% 0,4 0,4 0,2
20%
2 Industri Pertambangan 4 4 4 50% 0,4 0,4 0,4
Total 0,8 0,8 0,6
Total Bobot 3,58 3,165 3,075
Keterangan nilai:
A. Teknis
1. Kondisi Geologi dan Topografi
1 : Sangat banyak tanah lunak dan sangat banyak pegunungan
2 : Banyak tanah lunak dan banyak pegunungan
3 : Cukup banyak tanah lunak dan sedikit pegunungan
4 : Sedikit tanah lunak dan sedikit pegunungan
5 : Tidak ada tanah lunak dan pegunungan
2. Desain Trase
1 : Sangat banyak tikungan
2 : Banyak tikungan
3 : Cukup banyak tikungan
4 : Sedikit tikungan
5 : Tidak ada tikungan
3. Panjang jalan
1 : Panjang jalan 2000 meter dengan range error +100 m
2 : Panjang jalan 2000 meter dengan range error +80 m
3 : Panjang jalan 2000 meter dengan range error +60 m
4 : Panjang jalan 2000 meter dengan range error +40 m
5 : Panjang jalan 2000 meter dengan range error +20 m
4. Anlinyemen Vertikal dan Horizontal
1 : Sangat banyak timbunan + galian
2 : Banyak timbunan + galian
3 : Cukup banyak timbunan + galian
4 : Sedikit timbunan + galian
5 : Tidak ada timbunan + galian
5. Daya Dukung Tanah
1 : Sangat tidak mendukung
2 : Tidak mendukung
3 : Cukup mendukung
4 : Sedikit mendukung
5 : Sangat mendukung
B. Ekonomis
1. Kebutuhan Dana
1 : Biaya sangat besar
2 : Biaya besar
3 : Biaya cukup besar
4 : Biaya tidak terlalu besar
5 : Biaya sedikit
2. Manfaat Ekonomi
1 : Tingkat pengembalian kecil
2 : Tingkat pengembalian tidak terlalu besar
3 : Tingkat pengembalian cukup besar
4 : Tingkat pengembalian besar
5 : Tingkat pengembalian sangat besar
3. Biaya pembuatan Jalan
1 : Sangat banyak
2 : Banyak
3 : Cukup banyak
4 : Sedikit
5 : Sangat sedikit
4. Biaya Ganti Rugi
1 : Sangat banyak
2 : Banyak
3 : Cukup banyak
4 : Sedikit
5 : Sangat sedikit
5. Pelaksanaan Galian dan Timbunan
1 : Sangat banyak biaya
2 : Banyak biaya
3 : Cukup banyak biaya
4 : Sedikit biaya
5 : Sangat sedikit biaya
C. Lingkungan
1. Pembukaan Lahan
1 : Pembukaan lahan sangat tinggi
2 : Pembukaan lahan tinggi
3 : Pembukaan lahan cukup tinggi
4 : Pembukaan lahan rendah
5 : Pembukaan lahan sangat rendah
2. Konflik Sosial
1 : Tingkat kebisingan dan polusi sangat tinggi
2 : Tingkat kebisingan dan polusi tinggi
3 : Tingkat kebisingan dan polusi cukup tinggi
4 : Tingkat kebisingan dan polusi rendah
5 : Tingkat kebisingan dan polusi sangat rendah
D. Tata Ruang
1. Pengembangan Wilayah
1 : Pengembangan wilayah sangat rendah
2 : Pengembangan wilayah rendah
3 : Pengembangan wilayah cukup rendah
4 : Pengembangan wilayah tinggi
5 : Pengembangan wilayah sangat tinggi

Berdasarkan hasil analisis multikriteria, dapat diketahui bahwa trase


alternatif 1 adalah trase terbaik. Nilai dari trase alternatif 1 merupakan nilai
yang tertinggi dibandingkan kedua trase lainnya. Oleh karena itu, trase
alternatif 1 adalah trase terpilih.
BAB III
ALINEMEN HORIZONTAL

3.1 Definisi Alinemen Horizontal


Alinemen horizontal atau trase suatu jalan merupakan proyeksi sumbu
jalan yang tegak lurus bidang kertas (peta). Pada umumnya dalam peracangan
alinemen horizontal akan ditemui dua bagian jenis jalan, yaitu bagian jalan
lurus (tangent) dan bagian jalan lengkung (tikungan). Tikungan dibagi
menjadi tiga jenis, yaitu
a. Lingkaran (Full Circle)
b. Spiral-Cirlce-Spiral (S-C-S)
c. Spiral-spiral (S-S)

3.2 Bagian Lurus


Panjang bagian lurus pada suatu jalan diperhitungkan untuk
mempertimbangkan faktor keselamatan jalan pemakai. Panjang bagian lurus
(tangent) maksimum bagian jalan yang lurus harus ditempuh dalam waktu
tidak lebih dari 2,5 menit dengan kecepatan rencana. Hal ini dipertimbangkan
karena memerhatikan keselamatan pengemudi dan pengendara akibat
kelelahan. Panjang bagian lurus maksimum untuk masing-masing fungsi
jalan dapat dilihat dalam Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Panjang bagian lurus maksimum

Desain Teknis Jalan Panjang bagian lurus maksimum (m)

Jalan Antarkota 3000


Jalan Perkotaan 1000
Jalan Bebas Hambatan 2500
Sumber: Surat Edaran Direktur Jenderal Bina Marga Nomor 20/SE/Db/2021 tentang
Pedoman Geometrik Jalan

3.3 Bagian Lengkung (Tikungan)


Bagian yang paling kritis dari suatu alinemen horizontal ialah bagian
lengkung atau tikungan. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu gaya
sentrifugal yang akan melemparkan kendaraan keluar daerah tikungan
tersebut. Berikut beberapa pertimbangan dalam merencanakan jalan adalah
hal-hal sebagai berikut:
3.3.1 Jari-jari minimum (Rmin)
Agar kendaraan stabil saat melalui tikungan, diperlukan suatu
kemiringan meilintang jalan pada tikungan yang disebut superlevasi
(e). Kendaraan yang melalui daerah superlevasi akan mengalami
gesekan arah melintang jalan antara ban dan kendaraan dengan
permukaan aspal yang menimbulkan gaya gesekan melintang.
Perbandingan gesekan melintang dengan gaya normal disebut koefisien
gesekan melintang (f). Dengan adanya jari-jari minimum bertujuan agar
memberikan kenyamanan dan keselamat kepada pengguna kendaraan
yang melaluinya. Adapun besarnya jari-jari minimum sebagai berikut:

Vr 𝟐
𝑹𝒎𝒊𝒏 =
𝟏𝟐𝟕 (𝒆𝒎𝒂𝒙 + 𝒇𝒎𝒂𝒙)
Dengan,
Rmin = Jari-jari tikungan minimum (m)
VR = Kecepatan rencana (km/jam)
emax = Superelvasi maksimum
fmax = Koefisien gesek melintang maksimum
Menurut Surat Edaran Direktur Jenderal Bina Marga Nomor
20/SE/Db/2021 tantang Pedoman Geometrik Jalan, 𝑅𝑚𝑖𝑛 lengkung
horizontal untuk kecepatan desain yang ditetapkan dan 𝑒𝑚𝑎𝑘𝑠 untuk
rentang superelevasi 4%, 6%, dan 8% dapat dilihat dalam Tabel 3.2.

Tabel 3.2 Panjang jari-jari minimum

Kekesatan
Vd (km/jam) emax = 4% emax = 6% emax = 8%
samping (f)
20 0,18 15 15 10
30 0,17 35 30 30
40 0,17 60 55 50
50 0,16 100 90 80
60 0,15 150 135 125
70 0,14 215 195 175
80 0,14 280 250 230
90 0,13 375 335 305
100 0,12 490 435 395
110 0,11 - 560 500
120 0,09 - 755 665
Sumber: Surat Edaran Direktur Jenderal Bina Marga Nomor 20/SE/Db/2021 tantang
Pedoman Geometrik Jalan
3.3.2 Kekesatan melintang
Kendaraan yang melintasi suatu busur lingkaran horizontal akan
mengalami percepatan sentripetal yang bekerja menuju pusat lingkaran.
Akselerasi sentripetal ini disamakan dengan gaya sentrifugal yang
bekerja pada pusat “mass” kendaraan yang diimbangi oleh komponen
berat kendaraan akibat adanya superelevasi dan gaya gesek yang terjadi
antara ban dan permukaan jalan. Jika gaya gesek tidak mencukupi,
kendaraan akan cenderung bergeser menyamping ke arah alinemen
memanjang jalan.
Faktor kekesatan ke arah samping (kekesatan melintang)
bervariasi terhadap kecepatan desain yaitu dari 0,18 untuk kecepatan
20Km/Jam, hingga sekitar 0,15 untuk kecepatan 70km/jam. Catatan,
bahwa VD < 80km/jam dikategorikan sebagai kecepatan desain rendah
dan VD ≥ 80 km/jam dikategorikan sebagai kecepatan desain tinggi.
Besarnya faktor kekesatan menyamping dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti jenis dan kondisi ban, tekanan ban, kekasaran
permukaan perkerasan, kecepatan kendaraan, dan keadaan cuaca. Nilai-
nilai faktor kekesatan melintang pada Gambar 3.1 direkomendasikan
untuk digunakan dalam mendesain kurva horizontal.

Gambar 3.1 Faktor Kekesatan melintang

3.3.3 Bentuk busur lingkaran (Full Circle)


Full circle adalah jenis tikungan yang hanya terdiri dari bagian
satu lingkaran saja. Tikungan full circle digunakan untuk R yang besar
dan nilai Pcek < 0,25 agar tidak terjadi patahan karena dengan R kecil
maka diperlukan superlevasi yang besar. Hubungan kecepatan rencana
(VR) dengan jari-jari minimum (Rmin) lengkung lingkaran dapat dilihat
dalam Tabel 3.3.

Gambar 3.2 Lengkung Lingkaran

1
𝑇𝑐 = 𝑅𝑐 × 𝑡𝑎𝑛 ( Δ)
2

1
𝐸𝑐 = 𝑇𝑐 × 𝑡𝑎𝑛 ( Δ)
2

Δ × 2𝜋 × 𝑅𝑐
𝐿𝑐 =
360°

Dengan,
Δ = sudut tikungan
Tc = Panjang tangen jarak dari TC ke PI atau PI ke CT (m)
Rc = jari-jari lingkaran (m)
Ec = jarak luar dari PI ke busur lingkaran
Lc = panjang busur lingkaran (m)

3.3.4 Lengkung Peralihan


Lengkung peralihan dibuat untuk menghindari terjadinya
perubahan alinemen yang secara tiba-tiba berbentuk lurus menjadi
lingkaran. Lengkung peralihan ini diletakkan antara bagian lurus dan
bagian lingkaran (circle), yaitu pada sesudah dan sebelum tikungan
berbentuk busur lingkaran. Kegunaan utama lengkung peralihan
adalah:
1. Lengkung peralihan akan memberikan jalur belok alami
kendaraan yang mudah dilalui dan menyebabkan gaya lateral
meningkat dan menurun secara gradual seiring gerakan
kendaraan memasuki dan keluar tikungan. Lengkung peralihan
meminimalkan kemungkinan kendaraan berpindah lajur ke lajur
yang berdampingan dan cenderung mendukung kecepatan
lintasan yang konstan.
2. Di sepanjang lengkung peralihan merupakan lokasi yang cocok
bagi pembentukan superelevasi dari kemiringan melintang
normal pada bagian lurus ke bagian dengan superelevasi penuh
pada tikungan, dan dapat didesain sesuai dengan perbandingan
kecepatan dan radius bagi kendaraan yang melintasinya.
Lengkung peralihan ini digunakan untuk nilai penentuan jenis
lengkung (pcek) > 0,25. Lengkung peralihan memiliki dua jenis, yaitu
Spiral-Circle-Spiral (S-C-S) dan Spiral-spiral (S-S).
Panjang lengkung peralihan (Ls) dapat ditentukan dengan
menggunakan tabel yang ada pada Surat Edaran Direktur Jendral Bina
Marga Nomor 20/SE/Db/2021 tentang Pedoman Desain Geometrik
Jalan. Beikut merupakan beberapa tabel penentuan Ls yang ada pada
peraturan tersebut.

Tabel 3.4 Hubungan LS dengan Vr untuk R, e n=2%, emax=8%, pada jalan


dengan lebar lajur 3,5m
Tabel 3.5 Hubungan LS dengan Vr untuk R, en=2%, emax=8%, pada jalan
dengan lebar lajur 3m

Tabel 3.6 Hubungan LS dengan Vr untuk R, en=2%, emax=8%, pada jalan dengan
lebar lajur 2,75m

Tabel 3.7 Hubungan LS dengan Vr untuk R, en=2%, emax=6%, pada jalan dengan
lebar lajur 3,5m
Tabel 3.8 Hubungan LS dengan Vr untuk R, en=2%, emax=6%, pada jalan dengan
lebar lajur 3m

Tabel 3.9 Hubungan LS dengan Vr untuk R, en=2%, emax=6%, pada jalan dengan
lebar lajur 2,75m

Tabel 3.10 Hubungan LS dengan Vr untuk R, en=2%, emax=4%, pada jalan dengan
lebar lajur 3,5m
Tabel 3.11 Hubungan LS dengan Vr untuk R, en=2%, emax=4%, pada jalan dengan
lebar lajur 3m

Tabel 3.12 Hubungan LS dengan Vr untuk R, en=2%, emax=4%, pada jalan dengan
lebar lajur 2,75m

Tabel 3.13 Hubungan LS dengan Vr untuk R, en=3%, emax=8%, pada jalan dengan
lebar lajur 3,5m
Tabel 3.14 Hubungan LS dengan Vr untuk R, en=3%, emax=8%, pada jalan dengan
lebar lajur 3m

Tabel 3.15 Hubungan LS dengan Vr untuk R, en=3%, emax=8%, pada jalan


dengan lebar lajur 2,75m

Tabel 3.16 Hubungan LS dengan Vr untuk R, en=3%, emax=6%, pada jalan dengan
lebar lajur 3,5m
Tabel 3.17 Hubungan LS dengan Vr untuk R, en=3%, emax=6%, pada jalan dengan
lebar lajur 3m

Tabel 3.18 Hubungan LS dengan Vr untuk R, en=3%, emax=6%, pada jalan dengan
lebar lajur 2,75m

Tabel 3.19 Hubungan LS dengan Vr untuk R, en=3%, emax=4%, pada jalan dengan
lebar lajur 3,5m
Tabel 3.20 Hubungan LS dengan Vr untuk R, en=3%, emax=4%, pada jalan dengan
lebar lajur 3m

Tabel 3.21 Hubungan LS dengan Vr untuk R, en=3%, emax=4%, pada jalan dengan
lebar lajur 2,75m

Bentuk-bentuk lengkung peralihan yang digunakan dalam desain


alinemen jalan, antara lain:

1. Tikungan Spiral-Circle-Spiral (SCS)


Lengkung berbentuk spiral-circle-spiral adalah lengkung
dengan busur lingkran yang diapit oleh lengkung peralihan atau
spiral pada sebelum dan sesudah tikungan berbentuk lingkaran.
Bentuk tikungan ini umum digunakan pada daerah-daerah
perbukitan atau pegunungan. Hal ini karena tikungan jenis ini
memiliki lengkung peralihan yang memungkinkan perubahan
menikung tidak secara mendadak dan membuat tikungan tersebut
menjadi aman. Jari-jari atau radius yang diambil untuk tikungan
spiral-circle-spiral ini haruslah sesuai dengan kecepatan rencana
dan tidak mengakibatkan adanya kemiringan tikungan atau
superelevasi yang melebihi harga maksimum yang telah
ditentukan, yaitu:
• Kemiringan maksimum atau super elevasi untuk jalan antar
kota adalah sebesar 0,10
• Kemiringan maksimum atau super elevasi untuk jalan
perkotaan adalah sebesar 0,06

Lengkung spiral-circle-spiral ini dapat digunakan apabila


nilai Lc >25. Rumus-rumus yang berlaku untuk tikungan spiral-
circle-spiral sebagai berikut:
a. Jarak lurus lengkung peralihan
𝐿𝑠 2
𝑋𝑠 = 𝐿𝑠 (1 − )
40 𝑅𝑐 2
Dengan,
Xs : Jarak lurus lengkung peralihan (m)
Ls : Panjang lengkung peralihan (m)
Rc : Jari-jari atau radius rencana (m)

b. Jarak tegak lurus ke titik SC pada lengkung


𝐿𝑠 2
𝑌𝑠 =
6 𝑅𝑐
Dengan,
Ys : Jarak tegak luruske titik SC pada lengkung (m)
Ls : Panjang lengkung peralihan (m)
Rc : Jari-jari atau radius rencana (m)

c. Sudut lengkung spiral


90 𝐿𝑠
𝜃𝑠 =
𝜋 𝑅𝑠

Dengan,
θs : Sudut lengkung spiral atau peralihan (derajat)
Ls : Panjang lengkung peralihan (m)
Rc : Jari-jari atau radius rencana (m)
d. Pergeseran tangen terhadap spiral
𝐿𝑠 2
𝑝= − 𝑅𝑐(1 − cos 𝜃𝑠)
6 𝑅𝑐
Dengan,
p : Pergeseran tangen terhadap spiral (m)
Ls : Panjang lengkung peralihan (m)
Rc : Jari-jari atau radius rencana (m)
θs : sudut lengkung spiral atau peralihan (derajat)

e. Absis dari p pada garis tangen spiral


𝐿𝑠 2
𝑘 = 𝐿𝑠 − − 𝑅𝑐 sin 𝜃𝑠
40 𝑅𝑐 2
Dengan,
k : Absis dari p pada garis tangen spiral (m)
Ls : Panjang lengkung peralihan (m)
Rc : Jari-jari atau radius rencana (m)
θs : Sudut lengkung spiral atau peralihan (derajat)

f. Panjang tangen dari titik P1 ke titik TS atau titik ST


1
𝑇𝑠 = (𝑅𝑐 + 𝑝) tan ∆ + 𝑘
2

Dengan,
Ts : Panjang tangen dari titik P ke titik TS atau ke titik
ST (m)
p : Pergeseran tangen terhadap spiral (m)
Rc : Jari-jari atau radius rencana (m)
k : Absis dari p pada garis tangen spiral (m)
Δ : Sudut belok pada tikungan (derajat)

g. Jarak dari P1 ke busur lingkaran


1
𝐸𝑠 = (𝑅𝑐 + 𝑝) sec ∆ − 𝑅𝑐
2

dengan,
Es : Jarak dari P ke busur lingkaran (m)
p : Pergeseran tangen terhadap spiral (m)
Rc : Jari-jari atau radius rencana (m)
Δ : Sudut belok pada tikungan (derajat)

h. Panjang busur lingkaran


(∆ − 2 𝜃𝑠)
𝐿𝑐 = 𝜋 𝑅𝑐
180

dengan,
Lc : Panjang busur lingkaran (m)
θs : Sudut lengkung spiral atau peralihan (derajat)
Rc : Jari-jari atau radius rencana (m)

i. Panjang lengkung atau tikungan spiral-circle-spiral


𝐿𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 = 𝐿𝑐 + 2 𝐿𝑠

Dengan,
Lc : Panjang busur lingkaran (m)
Ls : Panjang lengkung peralihan (m)

j. Sudut Lengkung Lingkaran


𝜃𝑐 = ∆ − (2. 𝜃𝑠)

Dengan,
θc : Sudut lengkung lingkaran (derajat)
Δ : Sudut belok pada tikungan (derajat)
θs : Sudut lengkung peralihan (derajat)

k. Jarak Lurus Lengkung Peralihan


𝐿𝑠 2
𝑋𝑠 = 𝐿𝑠 (1 − )
40 𝑅𝑐 2

dengan

Xs : Jarak lurus lengkung peralihan (m)


Ls : Panjang lengkung peralihan (m)
Rc : Jari-jari atau radius rencana (m)

l. Jarak Tegak Lurus ke Titik SC pada Lengkung


𝐿𝑆 2
𝑌𝑠 =
6. 𝑅𝑐
dengan
Ys : Jarak tegak lurus ke titik SC pada lengkung (m)
Ls : Panjang lengkung peralihan (m)
Rc : Jari-jari atau radius rencana (m)

Gambar 3.3 Lengkung Spiral-Circle-Spiral

2. Tikungan spiral-spiral (SS)


Tikungan berbentuk spiral-spiral adalah lengkung horizontal
tanpa busur lingkaran, sehingga titik SC berhimpit dengan titik CS.
Panjang busur lingkaran adalah sama dengan nol (Lc = 0) dan nilai
sudut lengkung spiral adalah setengah dari sudut belok (θs = ½ Δ).
Lengkung spiral-spiral dapat digunakan apabila nilai Lc < 25
meter. Rumus-rumus untuk lengkung berbentuk spiral-circle-spiral
dapat digunakan atau diterapkan untuk lengkung spiral-spiral
dengan syarat harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut ini:
a. Panjang busur lingkaran atau Lc adalah sama dengan nol,
Lc=0 meter.
b. Sudut lengkung peralihan adalah sebesar setengah sudut belok
1
𝜃𝑠 = ∆
2
Dengan
θs : Sudut lengkung spiral atau peralihan (derajat)
Δ : Sudut belok pada tikungan (derajat)
c. Panjang lengkung peralihan atau lengkung spiral
𝜃𝑠 𝜋 𝑅𝑐
𝐿𝑠 =
90
Dengan
Ls : Panjang lengkung peralihan (m)
θs : Sudut lengkung spiral atau peralihan (derajat)
Δ : Sudut belok pada tikungan (derajat)
Rc : Jari-jari atau radius rencana (m)

Gambar 3.4 Lengkung Sprial-Spiral

3.4 Landai Relatif


Landai relatif adalah besarnya kelandaian akibat perbedaan elevasi tepi
perkerasan sebelah luar sepanjang lengkung peralihan. Perbedaan elevasi
didasarkan pada tinjauan perubahan bentuk penampang melintang jalan,
belum merupakan gabungan dari perbedaan elevasi akibat kelandaian vertikal
jalan. Agar pengemudi tidak merasakan perubahan yang mendadak pada saat
manuver kendaraan terhadap tepi luar perkerasan, maka besarnya landai
relatif yang digunakan pada tahap perencanaan mempunyai batas maksimum
seperti pada tabel dibawah ini.
Tabel 3.22 Besarnya Landai Relatif

Kecepatan Rencana Kelandaian Relatif Maksimum


(km/jam) (%)
20 0,80
30 0,75
40 0,70
50 0,65
60 0,60
70 0,55

80 0,50
90 0,47
100 0,44
110 0,41
120 0,38
130 0,35
Sumber: Surat Edaran Direktur Jendral Bina Marga Nomor 20/SE/Db/2021 tentang
Pedoman Desain Geometrik Jalan

Selain berdasarkan tabel diatas besarnya landai relatif juga dapat dicari
dengan rumus berikut ini :
1 (𝑒 + 𝑒𝑛 ) 𝐵
=
𝑚 𝐿𝑠

Dengan
1/m : landai relatif (%)
e : superelevasi rencana
en : superelevasi normal
B : lebar lajur satu arah untuk jalan 2 lajur 2 arah (m)
Ls : panjang lengkung peralihan (m)

3.5 Superelevasi
Superelevasi adalah kemiringan melintang jalan pada daerah tikungan.
Untuk bagian jalan lurus, jalan mempunyai kemiringan melintang yang biasa
disebut lereng normal atau Normal Trawn yaitu diambil minimum 2 % baik
sebelah kiri maupun sebelah kanan AS jalan. Hal ini dipergunakan untuk
system drainase aktif. Harga elevasi (e) yang menyebabkan kenaikan elevasi
terhadap sumbu jalan di beri tanda (+) dan yang menyebabkan penurunan
elevasi terhadap jalan di beri tanda (-).

Gambar 3.5 Kemiringan normal pada bagian jalan lurus

Gambar 3.6 Kemiringan melintang pada tikungan belok kanan


Gambar 3.7 Kemiringan melintang pada tikungan belok kiri

Superelevasi tidak diperlukan apabila R cukup besar, sehingga


cukup dengan memutar lereng luar sebesar lereng normal (Lp) atau dapat
juga menggunakan lereng normal (Ln).

3.5.1 Panjang Pencapaian Superelevasi


Panjang pencapaian superelevasi adalah transisi kemiringan
melintang jalan dari kemiringan badan jalan normal pada bagian
jalan lurus hingga kemiringan melintang jalan superelevasi penuh
pada busur lingkaran. Panjang total yang diperlukan untuk
pencapaian superelevasi disebut panjang pencapaian superelevasi
(Ls)
Panjang ini terdiri dari dua elemen utama:
1. panjang superelevation runoff (Sro) adalah panjang jalan yang
diperlukan untuk mencapai perubahan kemiringan melintang
jalan dari yang datar (dalam gambar disebut level) menjadi
superelevasi penuh.
2. panjang tangent runout (Tro) adalah panjang jalan yang
diperlukan untuk mencapai perubahan kemiringan melintang
jalan dari kemiringan normal menjadi datar.

Sumber : “Dasar-Dasar Perencanaan Geometrik Jalan Raya” karya Silvia


SukirmanGambar 3.8 Perubahan Superelevasi
3.5.2 Diagram Superelevasi
Dalam perencanaan, superelevasi sering digambarkan dengan
sebuah diagram yang disebut diagram superelevasi. Diagram
superelevasi ini mewakilkan nilai-nilai yang terdapat pada gambar
tikungan sesungguhnya. Seperti awal dan akhir lengkung, panjang
lengkung (Ls), kemiringan sisi jalan (e), dan sumbu utama jalan.
Berdasarkan jenis lengkung, terdapat tiga jenis diagram
superelevasi. Pertama diagram superelevasi untuk lengkung
lingkaran penuh (full circle), diagram superelevasi untuk lengkung
peralihan (spiral-circle-spiral), dan diagram superelevasi untuk
lengkung spiral-spiral. Bentuk ketiga jenis tersebut pada dasarnya
hampir sama, namun berbeda.

Sumber : Surat Edaran Direktur Jenderal Bina Marga Nomor 20/SE/Db/2021


tantang Pedoman Geometrik Jalan
Gambar 3.9 Diagram Superelevasi Full-Circle
Sumber : Surat Edaran Direktur Jenderal Bina Marga Nomor 20/SE/Db/2021
tantang Pedoman Geometrik Jalan
Gambar 3.10 Diagram Superelevasi Spiral-Circle-Spiral (S-C-S)

Sumber : RSNI-T-14-2004
Gambar 3.11 Diagram superelevasi lengkung SS

Ada tiga cara untuk mencapai superelevasi antara lain sebagai


berikut:
1. Memutar perkerasan jalan terhadap profil sumbu.
2. Memutar perkerasan jalan terhadap tepi jalan sebelah dalam.
3. Memutar perkerasan jalan terhadap tepi jalan sebelah luar.
Pembuatan diagram superelevasi dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Cara AASHTO, penampang melintang sudah berubah pada titik
TS.
2. Cara Bina Marga, penampang melintang pada titik TS masih
berupa penampang melintang normal.

3.6 Hitungan
3.6.1 Sudut azimuth dan sudut belok
Koordinat A : 2200 ; 7500
Koordinat P1 : 2866,547 ; 7692,533
Koordinat P2 : 3260,918 ; 7340,404
Koordinat B : 3944,531 ; 7728,66

2866,547−2200
𝛼𝐴 = tan−1 |7692,533−7500|

𝛼𝐴 = 73,89°
3260,918−2866,547
𝛼𝑃1 = 180° - tan−1 |7340,404−7692,533|

𝛼𝑃1 = 131,76°
3944,531−3260,918
𝛼𝑃2 = tan−1 | 7728,66−7340,404 |

𝛼𝑃2 = 60,41°
3944,531−3260,918
𝛼B = 90° - tan−1 | 7728,66−7340,404 |

𝛼B = 29,59°

Δ1 = ABS |𝛼𝑃1 – 𝛼𝐴|


Δ1 = ABS|131,76°− 73,89°|
Δ1 = 57,873° ≈ 58°

Δ2 = 𝛼𝑃2 – 𝛼𝑃1
Δ2 = ABS |60,41° − 131,76°|
Δ2 = 71,356° ≈ 72°

3.6.2 Tikungan (P1)


Sistem jaringan jaringan : Jalan Primer
Fungsi jalan : Jalan Arteri Kelas Jalan I
a. Jari-jari tikungan
VR = 60 km/jam
emaks = 8%
= 0,08
fmaks = -0,00065 VR+0,192
= -0,00065 x 60 + 0,192
= 0,153
𝑅
𝑉 2
Rmin = 127 (𝑒𝑚𝑎𝑘𝑠+𝑓𝑚𝑎𝑘𝑠)
602
= 127 (0,1+0,16)

= 121,659 m

Diambil nilai R rencana > Rmin, maka nilainya R rencana sebesar


140m.
𝑉 2
Ec = 127𝑥𝑅 𝑅𝑐 − 𝐹𝑚𝑎𝑘𝑠
602
= 127𝑥 140 − 0,153

= 0,0495

b. Lengkung Peralihan
Karena nilai:
Rmin = 130m
en = 2%
emax = 8%
lebar lajur = 3,5 m
maka nilai Ls dapat dilihat pada Tabel 3.4. Nilai Ls rencana sesuai
tabel pada jumlah lajur 4 adalah 70m.
𝐿𝑠2
Pcek = 24𝑥𝑅
𝐶

702
= 24𝑥140

= 1,458
Nilai Pcek > 0,25, maka lengkung peralihan berbentuk S-C-S atau
S-S.
90 𝐿𝑠
θS = 𝑥 𝑅𝑐
𝜋
90 70
= 𝑥 140
𝜋

= 14,324°
∆1 −2𝜃𝑠
Lc = 𝑥 𝜋 𝑥𝑅𝐶
180
57,873−2𝑥14,324°
= 𝑥 𝜋 𝑥140
180

= 71,41 m
Lc > 25 maka tikungan berbentuk S-C-S
Ls rencana = 70 m
𝐿𝑠2
P = 6𝑅𝑐 − 𝑅𝑐 𝑥 (1 − cos 𝜃𝑠)
702
= − 140 𝑥 (1 − cos 14,324 °)
6𝑥140

= 1,481 m
𝐿𝑠3
K = 𝐿𝑠 𝑥 (1 − 40𝑅𝑐 2) − 𝑅𝑐 sin 𝜃𝑠
702
= 70 𝑥 (1 − 40𝑥1402) − 140 sin 14,324 °

= 34,926 m
∆1
TS = (𝑅𝑐 + 𝑝) tan( 2 ) + 𝑘
57,873°
=(140 + 1,481) tan( ) + 34,926
2

= 113,145 m

∆1
ES = (𝑅𝑐 + 𝑝) sec( 2 ) − 𝑅𝑐

57,873°
=(140 + 1,481) sec( ) − 140
2

= 21,664 m

𝐿𝑠2
XS = 𝐿𝑠 𝑥 (1 − 40𝑅𝑐 2)

702
= 70 𝑥 (1 − 40𝑥1402 )

= 69,563 m

𝐿𝑠2
Ys = 6𝑅𝑐

702
= 6𝑥140

= 5,833 m

Panjang tikungan 1 (Ltotal)

Ltotal= Lc + 2 x Ls
Ltotal = 71,41 + 2 x 70

= 211,41 meter

Gambar 3.12. Detail Tikungan 1 (Lengkung S-C-S)

3.6.3 Tikungan (P2)


Sistem jaringan jaringan : Jalan Primer
Fungsi jalan : Jalan Arteri Kelas Jalan I
a. Jari-jari tikungan
VR = 60 km/jam
emaks = 8%
= 0,08
fmaks = -0,00065 VR+0,192
= -0,00065 x 60 + 0,192
= 0,153

𝑅
𝑉 2
Rmin = 127 (𝑒𝑚𝑎𝑘𝑠+𝑓𝑚𝑎𝑘𝑠)

602
= 127 (0,08+0,153)

= 121,659 m

Diambil nilai R rencana > Rmin, sehingga diambil R rencana (Rc)


sebesar 140 m.

𝑉 2
Ec = 127𝑥𝑅 𝑅𝑐 − 𝐹𝑚𝑎𝑘𝑠
602
= 127𝑥 140 − 0,153

= 0,0495

b. Lengkung Peralihan
Karena nilai:
Rmin = 140m
en = 2%
emax = 8%
lebar lajur = 3,5 m
maka nilai Ls dapat dilihat pada Tabel 3.4. Nilai Ls rencana sesuai
tabel pada jumlah lajur 4 adalah 70m.
𝐿𝑠2
Pcek = 24𝑥𝑅
𝐶

702
= 24𝑥140

= 1,458

Nilai Pcek > 0,25, maka lengkung peralihan berbentuk S-C-S atau
S-S.

90 𝐿𝑠
θS = 𝑥 𝑅𝑐
𝜋

90 70
= 𝑥 140
𝜋

= 14,324°

∆2 −2𝜃𝑠
LC = 𝑥 𝜋 𝑥𝑅𝐶
180

71,356°−2𝑥14,324°
= 𝑥 𝜋 𝑥140
180°

= 104,355 m

Lc > 25 maka tikungan berbentuk S-C-S

Ls rencana = 70 m
𝐿𝑠2
p = 6𝑅𝑐 − 𝑅𝑐 𝑥 (1 − cos 𝜃𝑠)

702
= 6𝑥140 − 140 𝑥 (1 − cos 14,324°)

= 1,481 m
𝐿𝑠3
k = 𝐿𝑠 𝑥 (40𝑅𝑐 2) − 𝑅𝑐 sin 𝜃𝑠

703
= 70 𝑥 (40𝑥1402 ) − 130 sin 14,324°

= 34,926 m

∆2
TS = (𝑅𝑐 + 𝑝) tan( 2 ) + 𝑘

71,356°
=(140 + 1,481) tan( ) + 34,926
2

= 136,507 m

∆2
ES = (𝑅𝑐 + 𝑝) sec( 2 ) − 𝑅𝑐

71,356°
=(140 + 1,481) sec( ) − 140
2

= 34,171 m

𝐿𝑠2
XS = 𝐿𝑠 𝑥 (1 − 40𝑅𝑐 2)

702
= 70 𝑥 (1 − 40𝑥1402 )

= 69,563 m

𝐿𝑠2
Ys = 6𝑅𝑐

702
= 6𝑥140

= 5,833 m

Panjang tikungan (Ltotal)

Ltotal = Lc + 2 x Ls

Ltotal = 104,355 + 2 x 70

= 244,355 m
Gambar 3.13. Detail Tikungan 1I (Lengkung S-C-S)

RANGKUMAN HASIL
Variabel P1 P2
Paramater Hitungan Hitungan Satuan
Δ 57,873 71,36 °
Vr 60 60 km/jam
Rc 140 140 km/jam
θc 29,225 42,708 °
θs 14,324 14,324 °
Lc 71,410 104,355 m
Ls 70 70 m
L Total 211,410 244,355 m
Xs 69,563 69,563 m
Ys 5,833 5,833 m
P 1,481 1,481 m
K 34,926 34,926 m
Ts 113,145 136,507 m
Es 21,664 34,171 m
BAB IV
ALINEMEN VERTIKAL

4.1 Definisi Alinemen Vertikal


Alinemen vertikal merupakan profil memanjang sepanjang garis
tengah jalan, yang terbentuk dari serangkaian segmen dengan kelandaian
memanjang dan lengkung vertikal. Profilnya tergantung topografi, desain
alinemen horizontal, kriteria desain, geologi, pekerjaan tanah, dan aspek
ekonomi lainnya.
Untuk membedakan topografi, medan dibagi menjadi tiga
kategori, yaitu: datar, bukit, dan gunung. Pada medan datar biasanya jarak
pandang lebih mudah dipenuhi tanpa kesulitan mengkonstruksinya atau
tidak berbiaya besar. Pada medan bukit, lereng alami naik dan turun secara
konsisten terhadap jalan. Kadang kala, lereng curam membatasi desain
alinemen horizontal dan vertikal yang normal. Pada medan gunung,
perubahan elevasi permukaan tanah baik memanjang maupun melintang
sepanjang alinemen jalan muncul secara mendadak, sehingga sering
menyebabkan dibutuhkannya penggalian yang terjal dan pembuatan lereng
bertangga (benching) untuk memperoleh alinemen horizontal dan vertikal
yang dapat diterima.
Alinemen vertikal terdiri atas bagian lurus dan bagian lengkung.
Ditinjau dari titik awal perencanaan, bagian lurus dapat berupa landai positif
(tanjakan), atau landai negatif (turunan), atau landai nol (datar). Bagian
lengkung vertikal dapat berupa lengkung cekung atau lengkung cembung.
Lengkung vertikal disediakan pada lokasi yang mengalami perubahan
kelandaian untuk:
1. Menyesuaikan jalan dengan kondisi topografi setempat
2. Memberikan variasi kepada pengemudi
3. Menekan jumlah volume pada galian dan timbunan.
Ada beberapa factor yang mempengaruhi perencanaan alinemen
vertikal jalan sebagai berikut:
1. Kondisi lapisan tanah sepanjang badan jalan
Karakteristik badan jalan didapatkan dari uji pemboran atau geo listrik dan
secara rinci didapatkan dari Standar Penetration test (SPT) serta Uji
Laboratoriun terhadap benda Uji Undisturbed. Infrormasi karakteristik
badan jalan akan memberikan masukkan informasi kepada perencana terkait
dengan jenis perkerasan serta banyaknya galian maupun timbunan yang
diperlukan.
2. Kondisi tanah disekitar daerah galian
Kondisi tanah pada segmen galian ini, diperlukan agar perecana
mempertimbangkan kestabilan lereng daerah galian, keberadaan wilayah
aquifer yang sering menjadi masalah di kemudian hari, rembesan air
(seepage) pada daerah lereng.
3. Muka air tanah
Posisi muka air tanah atau muka air banjir terhadap perkerasan jalan,
diperlukan perencana pada saat menentukan sistem drainase jalan pada
bagian segmen tersebut.
4. Fungsi jalan.
Fungsi jalan mewakili karakter lalu-lintas yang akan melewati ruas jalan.
Jalan arteri dengan karakteristik kendaraan seperti, kecepatan tinggi,
kendaraan barang dengan volume besar, tentunya memerlukan desain
geometrik yang berbeda, misalnya dengan jalan lokal dengan ciri kendaraan
lambat dan volume barang yang relatif sedikit. Terutama terkait dengan
kelandaian jalan.
5. Keseimbangan antara galian dan timbunan
Keseimbangan antara galian dan timbunan lebih menekankan pada nilai
ekonomis pembangunan jalan.
6. Pertimbangan lingkungan
Alinemen vertikal jalan seyogyanya didesain atau direncanakan dengan
mempertimbangkan tuntutan lalu-lintas untuk masa yang akan datang dan
juga tidak merusak lingkungan yang ada.

4.2 Kelandaian Maksimum dan Minimum


4.2.1 Karakteristik Kendaraan pada Kelandaian
Hampir seluruh kendaraan penumpang dapat berjalan dengan baik
dengan kelandaian 7% sampai 8 % tanpa adanya perbedaan
dibandingkan dengan bagian datar. Pengamatan menunjukan bahwa
mobil penumpang pada kelandaian 3% hanya sedikit sekali
pengaruhnya dibandingkan dengan jalan datar. Sedangkan untuk truk,
kelandaian akan lebih besar pengaruhnya.
4.2.2 Kelandaian Maksimum
Landai/kelandaian maksimum adalah kelandaian yang diizinkan
yang memungkinkan kendaraan terus bergerak/melaju tanpa
kehilangan kecepatan yang berarti. Penetapan kelandaian maksimum
didasarkan pada kecepatan truk yang bermuatan penuh yang mampu
bergerak dengan penurunan kecepatan tidak lebih dari separuh
kecepatan semula tanpa harus menggunakan gigi rendah.
Berdasarkan RSNI T-14-2004, kelandaian maksimum untuk
berbagai kecepatan rencana (VD) dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 4.1 Kelandaian Maksimum yang Diijinkan untuk Jalan Arteri
Perkotaan
Mengacu pada Permen PU No.19/PRT/M/2011,
kelandaian maksimum yang diterapkan menurut spesifikasi penyediaan
prasarana jalan dengan jenis medan yang berbeda dapat dilihat pada
tabel berikut.
Tabel 4.2 Kelandaian Maksimum Berdasarkan Medan

4.2.3 Kelandaian Minimum


Kelandaian minimum jalan diperlukan untuk kepentingan drainase
jalan atau surface drain supaya secepatnya air hujan dapat mengalir ke
saluran samping, sehingga tidak terjadi genangan pada permukaan
jalan. Genangan ini selain akan merusak lapis perkerasan, juga akan
menurunkan tingkat keselamatan kendaraan yang melalui ruas jalan
tersebut. Perencana perlu mempertimbangkan beberapa hal sebagai
berikut :
a. Landai datar (atau kelandaian 0%) untuk jalan jalan tanpa kerb dan
terletak diatas tanah timbunan. Pada kondisi ini lereng melintang
jalan cukup untuk mengalirkan air diatas perkerasan jalan
kemudian ke talud.
b. Landai 0,30% sampai 0,50 % untuk jalan yang menggunakan kerb
dan terletak diatas tanah timbunan. Kerb yang digunakan sebaiknya
kerb dengan saluran.

4.3 Panjang Kritis


Panjang kritis adalah panjang landai maksimum yang harus disediakan
agar kendaraan dapat mempertahankan kecepatannya sedemikian sehingga
penurunan kecepatan tidak lebih dari separuh kecepatan rencana atau VD
yang ditetapkan. Lama perjalanan tersebut ditetapkan tidak lebih dari 1
(satu) menit.
Landai maksimum saja belum merupakan faktor penentu dalam desain
alinemen vertikal, karena landai dengan jarak yang pendek memeberikan
pengaruh yang berbeda dibandingkan dengan landai yang sama tetapi
dengan jarak yang lebih panjang.
Menurut Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Bina Marga
Nomor 20/SE /Db/2021 tentang Penentuan Geometrik Jalan, panjang kritis
dapat ditentukan dari gambar dan tabel berikut ini.
Gambar 4.1 Panjang kelandaian kritis tipikal truk dengan WPR 120
kg/kw, Vawal = 110 km/jam

Tabel 4.3 Panjang Kelandaian Kritis

4.4. Lajur Pendakian


Lajur pendakian dimaksudkan untuk menampung truk-truk yang
bermuatan berat atau kendaraan lain yang berjalan lebih lambat dari
kendaraan-kendaraan lain pada umumnya, agar kendaraan kendaraan lain
dapat mendahului kendaraan lambat tersebut tanpa harus berpindah lajur
atau menggunakan lajur arah berlawanan. Menambahkan lajur pendakian
pada jalan dua lajur dua arah dapat mengimbangi penurunan kecepatan
operasi lalu lintas yang disebabkan oleh efek kelandaian, peningkatan arus
lalu lintas, dan keberadaan kendaraan berat (truk), serta menyediakan cara
yang relatif murah untuk menunda rekonstruksi dalam waktu lama.
Ketentuan dalam pembuatan lajur pendakian antara lain sebagai berikut.
a. Lajur pendakian dimaksudkan untuk menampung truk-truk yang
bermuatan berat atau kendaraan lain yang lebih lambat dari
kendaraan-kendaraan lain pada umumnya, agar kendaraan-kendaraan
lain dapat mendahului kendaraan lambat tersebut tanpa harus
berpindah lajur menggunakan lajur arah berlawanan.
b. Lajur pendakian harus disediakan pada ruas jalan yang mempunyai
kelandaian yang besar, menerus, dan volume lalu lintasnya relatif
padat.
c. Penambahan lajur pendakian dilakukan dengan ketentuan:
1) Pada jalan arteri atau kolektor, dan
2) Apabila panjang tanjakan melampaui panjang kritis; memiliki LHRTD ≥
3.750 SMP/hari (ekivalen dengan Ratio Volume per Kapasitas, RVK
≥ 0,3), dan persentase truk > 15%.
d. Lebar lajur pendakian sama dengan lebar lajur desain.
e. Lajur pendakian dimulai 30m dari awal perubahan kelandaian dengan
serongan sepanjang 45m dan berakhir 50m sesudah puncak
kelandaian dengan serongan sepanjang 45m (Gambar 4.2).
f. Jarak minimum antara 2 lajur pendakian adalah 1,5Km (Gambar 4.3).
g. Ketika panjang kelandaian kritis maximum tercapai, harus disediakan
Bordes dengan panjang tertentu sebelum tanjakan berikutnya
berlanjut.

Gambar 4.2 Tipikal Lajur Pendakian

Gambar 4.3 Jarak antara Dua Lajur Pendakian

4.5 Perlambatan Longitudinal


Untuk memilih atau menentukan koefisien gesekan memanjang atau
fp yang digunakan untuk menghitung jarak pandang henti sangat kompleks.
Nilai koefisien friksi desain pada permukaan aspal dan beton ditetapkan
sebesar 0,35 untuk mobil penumpang dan 0,29 untuk truk. Nilai tersebut
cukup untuk mendukung umumnya nilai perlambatan longitudinal desain
sebesar 3,4 m/det2. Faktor utama yang berpengaruh terhadap koefisien
gesekan memanjang meliputi:
1. Kondisi Jalan
Jalan basah biasanya diasumsikan untuk menentukan faktor koefisien
gesekan memanjang atau fp.
2. Kualitas Ban Kendaraan
Ban yang berpola diasumsikan untuk menentukan faktor koefisien
gesekan memanjang atau fp.
3. Kecepatan
Kecepatan kendaraan yang lebih tinggi mengurangi kontak ban
kendaraan dengan perkerasan jalan.
4. Kekasaran Permukaan
Semakin kasar permukaan jalan, maka semakin besar pula nilai
koefisien gesekan memanjang atau fp dan semakin licin permukaan
jalan, maka semakin kecil nilai koefisien gesekan memanjang atau fp

4.6 Jarak Pandang


4.6.1 Definisi Jarak Pandang
Jarak Pandang adalah suatu jarak yang diperlukan oleh seseorang
pengemudi pada saat mengemudikan kendaraan, sedemikian sehingga
jika pengemudi melihat suatu halangan yang membahayakan, maka
pengemudi dapat melakukan suatu tindakan untuk menghindari bahaya
tersebut dengan aman. Jarak pandang dapat dimanfaatkan pula dalam
perencanaan penempatan rambu lalu lintas dan marka jalan, baik secara
geometric maupun kondisi lingkungan yang kurang memenuhi syarat
atau pesyaratan. Jarak pandang terdiri dari jarak pandang henti dan
jarak pandang mendahului.
4.6.2 Jarak Pandang Henti (JPH)
Jarak pandang henti (JPH) adalah jarak minimum yang diperkukan
oleh setiap pengemudi untuk menghentikan kendaraannya dengan
aman begitu melihat adanya halangan di depan. Ketentuan teknis untuk
JPH adalah bahwa pada jalan Antarkota, jalan perkotaan, dan JBH, pada
seluruh panjang alinemen jalannya baik pada bagian lurus maupun
tikungan harus memenuhi JPH. Jalan harus direncanakan sehingga
dapat memberikan jarak pandang henti minimum tersebut. Jarak
pandang henti diukur berdasarkan asumsi bahwa tinggi mata
pengemudi adalah 105 cm dan tinggi halangan adalah 15 cm yang
diukur dari permukaan jalan. Jarak pandang henti atau Jh terdiri atas 2
(dua) elemen jarak, yaitu:
a. Jarak tanggap (JHT) adalah jarak yang ditempuh oleh kendaraan
sejak pengemudi melihat suatu halangan yang menyebabkan ia
harus berhenti sampai saat pengemudi menginjak rem
b. Jarak pengereman (JHF) adalah jarak yang dibutuhkan untuk
menghentikan kendaraan sejak pengemudi menginjak rem sampai
kendaraan berhenti.
Gambar 4.4 Konsep JPH

Persamaan untuk mencari jarak pandang henti adalah sebagai


berikut.

𝑉𝐷 𝑉𝐷 2
JPH = 𝑡 + 𝑎
3,6 2 𝑥 3,62 𝑥 9,81 (9,81 ± 𝐺)

𝑉𝐷 2
JPH = 0,278 𝑉𝐷 𝑡 + 𝑎
254 (9,81 ± 𝐺)

Dengan:
𝑉𝐷 = kecepatan desain, km/jam
𝑡 = waktu reaksi, 2,5 detik
𝐺 = kelandaian memanjang jalan, tanda positif untuk
menanjak
a = perlambatan longitudinal, m/det2

Berikut merupakan tabel JPH mobil penumpang pada kelandaian


datar, menurun, dan menanjak berdasarkan Surat Edaran Direktur
Jenderal Bina Marga Nomor 20/SE /Db/2021 tentang Penentuan
Geometrik Jalan.
Tabel 4.4 JPH Mobil Penumpang pada Kelandaian Datar, Menurun,
dan Menanjak

4.6.3 Jarak Pandang Mendahului


Jarak pandnag mendahului (JPM) yaitu panjang jalan didepan
pengemudi yang terlihat dan cukup panjang untuk melakukan
mendahului kendaraan yang ada didepannya dengan aman. Ketentuan
teknis untuk JPM adalah bahwa JPM harus dipenuhi hanya pada jalan
dua lajur dua arah tanpa median (2/2-TT) di jalan Antarkota dan porsi
pemenuhannya paling sedikit 20% dari seluruh panjang ruas yang
didesain. Pemenuhan JPM tidak diterapkan baik di Jalan perkotaan
maupun di JBH.

Gambar 4.5 Manuver Mendahului


Jarak pandang mendahului diukur berdasarkan asumsi
bahwa tinggi mata pengemudi adalah 105 cm dan tinggi halangan
adalah 105 cm. Jarak dalam satuan meter ditentukan sebagai berikut :

𝐽𝑃𝑀 = 𝑑1 + 𝑑2 + 𝑑3 + 𝑑4
Dengan
JPM = Jarak pandang mendahului (m)
d1 = Jarak yang ditempuh selama waktu tanggap (m)
d2 = Jarak yang ditempuh selama mendahului sampai dengan
kembali ke lajur semula (m)
d3 = Jarak antara kendaraan yang mendahului dengan
kendaraan yang datang dari arah berlawanan setelah proses
mendahului selesai (m)
d4 = Jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang datang dari
arah berlawanan (m)
Untuk masing-masing komponen jarak pada rumus atau
persamaan jarak pandang mendahului akan dijabarkan pada uraian
dibawah ini :
1. Jarak yang ditempuh selama waktu tanggap
Jarak yang ditempuh selama proses pengamatan ditambah
waktu reaksi dan waktu mulai memakai jalur lain, dirumuskan
sebagai berikut.

𝑎 𝑇1
𝑑1 = 0,278 𝑇1 (𝑉𝑅 − 𝑚 + )
2
Dengan
d1 = Jarak yang ditempuh selama waktu tanggap (m)
VR = Kecepatan rencana (km/jam)

T1 = Waktu penyesuaian awal T1 = 2,12 + 0,026 VR (±3,7


detik – 4,3 detik)
a = Percepatan rata-rata kendaraan yang menyiap, a = 2,052
+ 0,0036 VR (km/jam/detik)
m = Selisih kecepatan kendaraan yang menyiap dan disiap,
biasanya diambil antara 10-15 km/jam (km/jam)
2. Jarak yang ditempuh selama mendahului sampai dengan
kembali ke jalur semula
𝑑2 = 0,278 𝑉𝑅 𝑇2
Dengan
d2 = Jarak yang ditempuh selama mendahului sampai dengan
kembali ke lajur semula (m)
VR = Kecepatan kendaraan yang menyiap (km/jam)
T2 = Waktu kendaraan menyiap di jalur lawan T2 = 6,56 +
0,048 VR (detik)
3. Jarak antara kendaraan yang mendahului dengan kendaraan yang
dating dari arah berlawanan setelah proses mendahului selesai
Jarak kendaraan menyiap diakhir gerakan dengan kendaraan
diarah lawan. Diambil 100 ft sampai 300 ft (1 meter = 3,28 ft).
Berikut adalah nilai d3 untuk variasi kecepatan rencana,
Tabel 4.5 Nilai d3 untuk Berbagai Variasi Kecepatan Rencana

4. Jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang datang dari arah


berlawanan Jarak tempuh kendaraan arah lawan, jalur lalu lintas
terpakai kendaraan yang menyiap dapat dihitung dengan
persamaan berikut ini.
2
𝑑4 = 𝑑2
3
Dengan
d4 = Jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang datang dari
arah berlawanan (m)
d2 = Jarak yang ditempuh selama mendahului sampai dengan
kembali ke lajur semula (m)

4.7. Lengkung Vertikal


Pergantian dari satu kelandaian ke kelandaian yang lain dilakukan
dengan menggunakan lengkung vertikal. Lengkung vertikal harus
disediakan pada setiap lokasi yang mengalami perubahan kelandaian
dengan tujuan mengurangi goncangan akibat perubahan kelandaian;
dan menyediakan jarak pandang henti. Titik perpotongan dua bagian
tangent vertikal dinamakan Titik Perpotongan Vertikal (TPV), dikenal
dengan nama Point of Vertikal Intersection (PVI) atau sering disebut
Poin Perpotongan Vertikal (PPV). Lengkung Vertikal berbentuk
lengkung parabola sederhana. Penentuan panjang lengkung vertikal dan
elevasi setiap titik pada lengkung digunakan asumsi sebagai berikut:
1. Panjang lengkung vertikal sama dengan panjang proyeksi lengkung
vertikal.
2. Titik PPV terletak di tengah-tengah garis proyeksi lengkung
vertikal.

Gambar 4.6 Tipikal Lengkung Vetikal Parabola Sederhana


Dengan keterangan :
Titik PLV : titik permulaan lengkung vertikal
Titik PTV : titik permulaan tangen vertikal
L : panjang proyeksi lengkung vertikal atau panjang
lengkung vertikal (m)
g1 : kelandian bagian tangen vertikal sebelah kiri (%)
g2 : kelandian bagian tangen vertikal sebelah kanan (%)
A : perbedaan aljabar kelandaian, A = |g1-g2| (%)
Ev : pergeseran vertical titik PPV terhadap lengkung vertikal
(m)

Lengkung vertikal disediakan pada lokasi yang mengalami


perubahan kelandaian dengan tujuan untuk mengurangi goncangan
akibat perubahan kelandaian dan untuk menyediakan jarak pandang
henti yang proposional. Lengkung vertikal memiliki 2 macam yaitu
lengkung vertikal cekung dan lengkung vertikal cembung.
Gambar 4.7 Jenis-Jenis Lengkung Vertikal
Pada umumnnya lengkung vetikal didesain menggunakan persamaan
berikut ini.

𝐿=𝐾𝐴

𝑠2
𝐾= 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑆 ≤ 𝐿
200 2√ℎ1 − ℎ2
2
25 200 ( 2√ℎ1 − 2√ℎ2 )
𝐾= − 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑆 ≥ 𝐿
𝐴 𝐴2
Dengan
L : Panjang lengkung vertikal, m
K : Panjang lengkung vertikal dalam meter untuk setiap perubahan
kelandaian 1%
A : Perubahan kelandaian aljabar, %
S : Jarak panjang, m
h1 : tinggi mata pengemudi, digunakan untuk menetapkan jarak
pandang, m
h2 : tinggi objek, digunakan untuk menetapkan jarak pandang, m

4.7.1 Lengkung Vertikal Cekung


Lengkung vertikal cekung, adalah lengkung dimana titik PPV
berada dibawah permukaan jalan. Terdapat empat kriteria untuk
menetukan Panjang lengkung vertikal cekung yaitu:
a. Kenyamanan pengemudi
b. Silau sorot lampu
c. Pengendalian drainase
d. Penampilan
Panjang lengkung vertikal cekung direncanakan dan dirancang
dengan mempertimbangkan jarak pandang henti yaitu:
1. Jarak pandang
a. Jika jarak pandang lebih kecil dari panjang lengkung vertikal
cekung, panjangnya ditetapkan dengan rumus (S≤L):

𝑠2
𝐿=
200 2√ℎ1 − ℎ2

Dengan
L : panjang lengkung vertikal (m)
K : panjang lengkung vertikal dalam meter untuk setiap
perubahan kelandaian 1%
A : perubahan kelandaian aljabar (%)
S : jarak pandang (m)
h1 : tinggi mata pengemudi, digunakan untuk menetapkan
jarak pandang, m
h2 : tinggi objek, digunakan untuk menetapkan jarak pandang,
m
b. Jika jarak pandang henti lebih besar dari panjang lengkung
vertikal cekung, panjangnya ditetapkan dengan rumus
(S>L):
2
25 200 ( 2√ℎ1 − 2√ℎ2 )
𝐿= −
𝐴 𝐴2
Dengan
L : panjang lengkung vertical (m)
K : panjang lengkung vertical dalam meter untuk setiap
perubahan kelandaian 1%
A : perubahan kelandaian aljabar (%)
S : jarak pandang (m)
h1 : tinggi mata pengemudi, digunakan untuk menetapkan
jarak pandang, m
h2 : tinggi objek, digunakan untuk menetapkan jarak pandang,
m
2. Jarak pandang henti
Untuk mencari nilai lengkung vertikal cekung, dapat pula
digunakan rumus sebagai berikut.

𝐿=𝐾𝐴

Dengan
L : panjang lengkung vertical (m)
K : kontrol desain
A : perubahan kelandaian aljabar (%)
Berikut merupakan tabel untuk menentukan nilai control desain
(K) untuk lengkung vertikal cekung berdasarkan jarak pandang henti.
Tabel 4.6 Kontrol Perencanaan untuk Lengkung Vertikal Cekung
Berdasarkan Jarak Pandang Henti

Keterangan : Besaran kelengkungan vertikal, K, adalah Panjang lengkung


(L)/persentase perbedaan kelandaian aljabar pada kelandaian yang saling
bersinggungan (A), K = L/A.

3. Nilai lengkung vertikal cekung K minimum untuk kriteria


kenyamanan

𝑉𝐷 2
𝐾=
1296𝑎
Dengan
K : panjang lengkung vertikal dalam meter untuk setiap
perubahan kelandaian 1%
a : akselerasi vertikal yang nilai terbesarnya 0,05 m/detik2
VD : kecepatan kendaraan desain (km/jam)

4.7.2 Lengkung Vertikal Cembung


Lengkung vertikal cembung adalah lengkung dimana titik
PPV berada di atas permukaan jalan. Lengkung vertikal
Cembung dirancang berbentuk parabola, sedangkan panjang
lengkung ditentukan dengan memperhatikan hal hal sebagai
berikut:
1. Jarak pandang
a. Jika jarak pandang lebih kecil dari panjang lengkung
vertikal cembung, panjangnya ditetapkan dengan rumus (S≤L):

𝑠2
𝐿=
200 2√ℎ1 − ℎ2

Dengan
L : panjang lengkung vertikal (m)
K : panjang lengkung vertikal dalam meter untuk
setiap perubahan kelandaian 1%
A : perubahan kelandaian aljabar (%)
S : jarak pandang (m)
h1 : tinggi mata pengemudi, digunakan untuk
menetapkan jarak pandang, m
h2 : tinggi objek, digunakan untuk menetapkan jarak
pandang, m
b. Jika jarak pandang henti lebih besar dari panjang lengkung
vertikal cembung, panjangnya ditetapkan dengan rumus
(S>L):
2
25 200 ( 2√ℎ1 − 2√ℎ2 )
𝐿= −
𝐴 𝐴2
Dengan
L : panjang lengkung vertical (m)
K : panjang lengkung vertical dalam meter untuk
setiap perubahan kelandaian 1%
A : perubahan kelandaian aljabar (%)
S : jarak pandang (m)
h1 : tinggi mata pengemudi, digunakan untuk
menetapkan jarak pandang, m
h2 : tinggi objek, digunakan untuk menetapkan jarak
pandang, m
2. Jarak pandang henti
Untuk mencari nilai lengkung vertikal cembung, dapat pula
digunakan rumus sebagai berikut.

𝐿=𝐾𝐴

Dengan
L : panjang lengkung vertical (m)
K : kontrol desain
A : perubahan kelandaian aljabar (%)
Berikut merupakan tabel untuk menentukan nilai kontrol
desain (K) untuk lengkung vertikal cembung berdasarkan jarak
pandang henti.
Tabel 4.7 Kontrol Perencanaan untuk Lengkung Vertikal
Cembung Berdasarkan Jarak Pandang Henti

Keterangan : Besaran kelengkungan vertikal, K, adalah Panjang


lengkung (L)/persentase perbedaan kelandaian aljabar pada
kelandaian yang saling bersinggungan (A), K = L/A.

3. Jarak pandang mendahului


Untuk mencari nilai lengkung vertikal cembung,
dapat pula digunakan rumus sebagai berikut.

𝐿=𝐾𝐴

Dengan
L : panjang lengkung vertical (m)
K : kontrol desain
A : perubahan kelandaian aljabar (%)
Berikut merupakan tabel untuk menentukan nilai kontrol
desain (K) untuk lengkung vertikal cembung berdasarkan jarak
pandang mendahului.
Tabel 4.7 Kontrol Perencanaan untuk Lengkung Vertikal Cembung
Berdasarkan Jarak Pandang Mendahului

Keterangan : Besaran kelengkungan vertikal, K, adalah Panjang


lengkung (L)/persentase perbedaan kelandaian aljabar pada
kelandaian yang saling bersinggungan (A), K = L/A.

4.8. Perhitungan
Data Awal
a. Kecepatan desain (VD) : 60 km/jam
b. Kelandaian maksimum : 8%
c. Selisih kecepatan kendaraan rencana : 15 km/jam
d. Perlambatan longitudinal, a : 0,35
e. Waktu reaksi (T) : 3 detik

4.8.1 Lengkung Vertikal Cekung 1


Kelandaian memanjang jalan (G) = 5%
1. Jarak pandang henti

𝑉𝐷 𝑉𝐷 2
JPH = 𝑡 + 𝑎
3,6 2 𝑥 3,62 𝑥 9,81 (9,81 ± 𝐺)

60 602
JPH = 3 +
3,6 0,35
2 𝑥 3,62 𝑥 9,81 ( )
9,81
JPH = 90,451 𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟

2. Karakteristik tanjakan
Kelandaian awal, g1 = -5%
Kelandaian akhir, g2 = 0%
Perbedaan aljabar kelandaian, A = |g1-g2|
= |-5%-0%|
= 5%
3. Panjang Lengkung Vertikal
Untuk JPH ≤ L atau S ≤ L

𝐴 𝐽ℎ2
𝐿=
120 + 35 𝐽ℎ
5 𝑥 90,4512
𝐿=
120 + 35 𝑥 90,451
L = 93,699 meter (memenuhi)
Untuk JPH > L atau S > L
120 + 3,5𝐽ℎ
𝐿 = 2Jh −
𝐴
120 + 3,5 𝑥 90,451
𝐿 = 2 x 90,451 −
5
L = 93,586 meter (tidak memenuhi)
Berdasarkan tabel control nilai K
K = 18
L=KxA
L = 18 x 5
L = 90 meter
Grafik panjang Lengkung vertical, Lmin = 65 meter
Untuk kriteria kenyamanan
Berdasarkan tabel = 40-80 meter
L dipilih = 92 meter
4. Menentukan komponen lengkung
𝐴𝐿
𝐸𝑉 =
800
5 𝑥 92
𝐸𝑉 =
800
Ev = 0,575
5. Perhitungan titik-titik penting
Elevasi PPV2 = 183 m
Elevasi PLV2 = PPV2 – 0,5 Lv x g1
= 183 – 0,5 x 92 (-5%)
= 185,3 m
Elevasi PTV2 = PPV2 – 0,5 Lv x g2
= 183 – 0,5 x 92 (0) %
= 183 m
Stationing PPV2 = sta A + jarak (A – PPV2)
= 360
Stationing PLV2 = sta A + jarak (A – PPV2) – 0,5 Lv
= 360 – 0,5 x 92
= 314
Stationing PTV2 = sta A + jarak (A – PPV2) – 0,5 Lv
= 360 + 0,5 x 92
= 406

4.8.2 Lengkung Vertikal Cekung 2


Kelandaian memanjang jalan (G) = 5%
1. Jarak pandang henti

𝑉𝐷 𝑉𝐷 2
JPH = 𝑡 + 𝑎
3,6 2 𝑥 3,62 𝑥 9,81 (9,81 ± 𝐺)

60 602
JPH = 3 +
3,6 0,35
2 𝑥 3,62 𝑥 9,81 (9,81)

JPH = 90,451 𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟

2. Karakteristik tanjakan
Kelandaian awal, g1 = -5%
Kelandaian akhir, g2 = 0%
Perbedaan aljabar kelandaian, A = |g1-g2|
= |-5%-0%|
= 5%
3. Panjang Lengkung Vertikal
Untuk JPH ≤ L atau S ≤ L

𝐴 𝐽ℎ2
𝐿=
120 + 35 𝐽ℎ
5 𝑥 90,4512
𝐿=
120 + 35 𝑥 90,451
L = 93,699 meter (memenuhi)
Untuk JPH > L atau S > L
120 + 3,5𝐽ℎ
𝐿 = 2Jh −
𝐴
120 + 3,5 𝑥 90,451
𝐿 = 2 x 90,451 −
5
L = 93,586 meter (tidak memenuhi)
Berdasarkan tabel control nilai K
K = 18
L=KxA
L = 18 x 5
L = 90 meter
Grafik panjang Lengkung vertical, Lmin = 60 meter
Untuk kriteria kenyamanan
Berdasarkan tabel = 40-80 meter
L dipilih = 92 meter
4. Menentukan komponen lengkung
𝐴𝐿
𝐸𝑉 =
800
5 𝑥 92
𝐸𝑉 =
800
Ev = 0,575
5. Perhitungan titik-titik penting
Elevasi PPV4 = 179 m
Elevasi PLV4 = PPV4 – 0,5 Lv x g1
= 179 – 0,5 x 92 (-5%)
= 181,3 m
Elevasi PTV4 = PPV4 – 0,5 Lv x g2
= 179 – 0,5 x 92 (0) %
= 179 m
Stationing PPV4 = sta A + jarak (A – PPV4)
= 1420
Stationing PLV4 = sta A + jarak (A – PPV4) – 0,5 Lv
= 1420 – 0,5 x 92
= 1374
Stationing PTV4 = sta A + jarak (A – PPV4) – 0,5 Lv
= 1420 + 0,5 x 92
= 1466
4.8.3 Lengkung Vertikal Cekung 3
Kelandaian memanjang jalan (G) = 5%
1. Jarak pandang henti

𝑉𝐷 𝑉𝐷 2
JPH = 𝑡 + 𝑎
3,6 2 𝑥 3,62 𝑥 9,81 (9,81 ± 𝐺)

60 602
JPH = 3 +
3,6 0,35
2 𝑥 3,62 𝑥 9,81 (9,81 + 5%)

JPH = 85,395 𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟

2. Karakteristik tanjakan
Kelandaian awal, g1 = 0%
Kelandaian akhir, g2 = 5%
Perbedaan aljabar kelandaian, A = |g1-g2|
= |0%-5%|
= 5%
3. Panjang Lengkung Vertikal
Untuk JPH ≤ L atau S ≤ L

𝐴 𝐽ℎ2
𝐿=
120 + 35 𝐽ℎ
5 𝑥 85,3952
𝐿=
120 + 35 𝑥 85,395
L = 87,045 meter (memenuhi)
Untuk JPH > L atau S > L
120 + 3,5𝐽ℎ
𝐿 = 2Jh −
𝐴
120 + 3,5 𝑥 85,395
𝐿 = 2 x 85,395 −
5
L = 87,014 meter (tidak memenuhi)
Berdasarkan tabel control nilai K
K = 18
L=KxA
L = 18 x 5
L = 90 meter
Grafik panjang Lengkung vertical, Lmin = 65 meter
Untuk kriteria kenyamanan
Berdasarkan tabel = 40-80 meter
L dipilih = 92 meter
4. Menentukan komponen lengkung
𝐴𝐿
𝐸𝑉 =
800
5 𝑥 92
𝐸𝑉 =
800
Ev = 0,575
5. Perhitungan titik-titik penting
Elevasi PPV6 = 179 m
Elevasi PLV6 = PPV4 – 0,5 Lv x g1
= 189 – 0,5 x 92 (0%)
= 179m
Elevasi PTV6 = PPV4 – 0,5 Lv x g2
= 179 – 0,5 x 92 (-5) %
= 181,3 m
Stationing PPV6 = sta A + jarak (A – PPV4)
= 1560
Stationing PLV6= sta A + jarak (A – PPV4) – 0,5 Lv
= 1560 – 0,5 x 92
= 1514
Stationing PTV6 = sta A + jarak (A – PPV4) – 0,5 Lv
= 1560 + 0,5 x 92
= 1606
4.8.4 Lengkung Vertikal Cembung 1
Kelandaian memanjang jalan (G) = 5%
1. Jarak pandang henti

𝑉𝐷 𝑉𝐷 2
JPH = 𝑡 + 𝑎
3,6 2 𝑥 3,62 𝑥 9,81 (9,81 ± 𝐺)

60 602
JPH = 3 +
3,6 0,35
2 𝑥 3,62 𝑥 9,81 (9,81)

JPH = 90,451 𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟

2. Jarak pandang mendahului


a. Jarak yang ditempuh selama waktu tanggap

𝑎 𝑇1
d1 = 0,278 𝑇1 (𝑉𝑅 − 𝑚 + )
2
d1 = 0,278 x (2,12 + (0,026 x 60))(60 − 15
0,35 (2,12 + (0,026 x 60))
+ )
2
d1 = 50,306 meter
b. Jarak yang ditempuh selama mendahului sampai dengan kembali
ke jalur semula

d2 = 0,278 𝑉𝑅 𝑇2

d2 = 0,278 𝑥 60 𝑥 (6,56 + (0,048 x 60))


d2 = 157,459 meter
c. Jarak antara kendaraan yang mendahului dengan kendaraan yang
dating dari arah berlawanan setelah proses mendahului selesai
d3 = 30 meter
d. Jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang dating dari arah
berlawanan
2
d4 = 𝑑2
3
2
d4 = 𝑥 157,459
3
d4 = 104,973 meter
e. Jarak pandang mendahului
JPM = d1 + d2 + d3 + d4
JPM = 342,738 meter
3. Karakteristik tanjakan
Kelandaian awal, g1 = 0%
Kelandaian akhir, g2 = -5%
Perbedaan aljabar kelandaian, A = |g1-g2|
= |0%--5%|
= 5%
4. Panjang Lengkung Vertikal
Untuk JPH ≤ L atau S ≤ L

𝐴 𝐽ℎ2
𝐿=
399
5 𝑥 90,4512
𝐿=
399
L = 102,524 meter (memenuhi)
Untuk JPH > L atau S > L
399
𝐿 = 2Jh −
𝐴
399
𝐿 = 2 x 90,451 −
5
L = 101,102 meter (tidak memenuhi)
Untuk JPM ≤ L atau S ≤ L

𝐴 𝐽𝑑 2
𝐿=
840
5 𝑥 342,7382
𝐿=
840
L = 699,222 (memenuhi)
Untuk JPM > L atau S > L
840
𝐿 = 2Jd −
𝐴
399
𝐿 = 2 x 342,738 −
5
L = 517,476 (tidak memenuhi)
Berdasarkan tabel kontrol nilai untuk jarak pandang berhenti
K = 11
L=KxA
L = 11 x 5
L = 55 meter
Grafik panjang Lengkung vertical, Lmaks = 65 meter
Untuk kriteria kenyamanan
Berdasarkan tabel = 40-80 meter
L dipilih = 55 meter
5. Menentukan komponen lengkung
𝐴𝐿
𝐸𝑉 =
800
5 𝑥 55
𝐸𝑉 =
800
Ev = 0,344
6. Perhitungan titik-titik penting
Elevasi PPV1 = 190 m
Elevasi PLV1 = PPV1 – 0,5 Lv x g1
= 190 – 0,5 x 55 (0) %
= 190 m
Elevasi PTV1 = PPV1 – 0,5 Lv x g2
= 190 – 0,5 x 55 (5) %
= 188,63 m
Stationing PPV1 = sta A + jarak (A – PPV1)
= 220
Stationing PLV1 = sta A + jarak (A – PPV1) – 0,5 Lv
= 220 – 0,5 x 55
= 192,5
Stationing PTV1 = sta A + jarak (A – PPV1) – 0,5 Lv
= 220 + 0,5 x 55
= 247,5
4.8.5 Lengkung Vertikal Cembung 2
Kelandaian memanjang jalan (G) = 5%
1. Jarak pandang henti

𝑉𝐷 𝑉𝐷 2
JPH = 𝑡 + 𝑎
3,6 2 𝑥 3,62 𝑥 9,81 (9,81 ± 𝐺)

60 602
JPH = 3 +
3,6 0,35
2 𝑥 3,62 𝑥 9,81 (9,81 )

JPH = 90,451 𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟


2. Jarak pandang mendahului
a. Jarak yang ditempuh selama waktu tanggap

𝑎 𝑇1
d1 = 0,278 𝑇1 (𝑉𝑅 − 𝑚 + )
2
d1 = 0,278 x (2,12 + (0,026 x 60))(60 − 15
0,35 (2,12 + (0,026 x 60))
+ )
2
d1 = 50,306 meter
b. Jarak yang ditempuh selama mendahului sampai dengan kembali
ke jalur semula

d2 = 0,278 𝑉𝑅 𝑇2

d2 = 0,278 𝑥 60 𝑥 (6,56 + (0,048 x 60))

d2 = 157,459 meter
c. Jarak antara kendaraan yang mendahului dengan kendaraan yang
dating dari arah berlawanan setelah proses mendahului selesai
d3 = 30 meter
d. Jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang dating dari arah
berlawanan
2
d4 = 𝑑2
3
2
d4 = 𝑥 157,459
3
d4 = 104,973 meter
e. Jarak pandang mendahului
JPM = d1 + d2 + d3 + d4
JPM = 342,738 meter
3. Karakteristik tanjakan
Kelandaian awal, g1 = 0%
Kelandaian akhir, g2 = -5%
Perbedaan aljabar kelandaian, A = |g1-g2|
= |0%--5%|
= 5%
4. Panjang Lengkung Vertikal
Untuk JPH ≤ L atau S ≤ L

𝐴 𝐽ℎ2
𝐿=
399
5 𝑥 90,4512
𝐿=
399
L = 102,524 meter (memenuhi)
Untuk JPH > L atau S > L
399
𝐿 = 2Jh −
𝐴
399
𝐿 = 2 x 90,451 −
5
L = 101,102 meter (tidak memenuhi)
Untuk JPM ≤ L atau S ≤ L

𝐴 𝐽𝑑 2
𝐿=
840
5 𝑥 342,7382
𝐿=
840
L = 699,222 (memenuhi)
Untuk JPM > L atau S > L
840
𝐿 = 2Jd −
𝐴
399
𝐿 = 2 x 342,738 −
5
L = 517,476 (tidak memenuhi)
Berdasarkan tabel kontrol nilai untuk jarak pandang berhenti
K = 11
L=KxA
L = 11 x 5
L = 55 meter
Grafik panjang Lengkung vertical, Lmaks = 60 meter
Untuk kriteria kenyamanan
Berdasarkan tabel = 40-80 meter
L dipilih = 55 meter
5. Menentukan komponen lengkung
𝐴𝐿
𝐸𝑉 =
800
5 𝑥 50
𝐸𝑉 =
800
Ev = 0,344
6. Perhitungan titik-titik penting
Elevasi PPV3 = 183 m
Elevasi PLV3 = PPV3 – 0,5 Lv x g1
= 183 – 0,5 x 55 (0) %
= 183 m
Elevasi PTV3 = PPV3 – 0,5 Lv x g2
= 183 – 0,5 x 55 (5) %
= 181,63 m
Stationing PPV3 = sta A + jarak (A – PPV3)
= 1340
Stationing PLV3 = sta A + jarak (A – PPV3) – 0,5 Lv
= 1340 – 0,5 x 55
= 1312,5
Stationing PTV3 = sta A + jarak (A – PPV3) – 0,5 Lv
= 1340 + 0,5 x 55
= 1367,5
4.8.6 Lengkung Vertikal Cembung 3
Kelandaian memanjang jalan (G) = 5%
1. Jarak pandang henti

𝑉𝐷 𝑉𝐷 2
JPH = 𝑡 + 𝑎
3,6 2 𝑥 3,62 𝑥 9,81 (9,81 ± 𝐺)

60 602
JPH = 3 +
3,6 0,35
2 𝑥 3,62 𝑥 9,81 (9,81 + 5%)

JPH = 85,395 𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟


2. Jarak pandang mendahului
a. Jarak yang ditempuh selama waktu tanggap

𝑎 𝑇1
d1 = 0,278 𝑇1 (𝑉𝑅 − 𝑚 + )
2
d1 = 0,278 x (2,12 + (0,026 x 60))(60 − 15
0,35 (2,12 + (0,026 x 60))
+ )
2
d1 = 50,306 meter
b. Jarak yang ditempuh selama mendahului sampai dengan kembali
ke jalur semula

d2 = 0,278 𝑉𝑅 𝑇2
d2 = 0,278 𝑥 60 𝑥 (6,56 + (0,048 x 60))
d2 = 157,459 meter
c. Jarak antara kendaraan yang mendahului dengan kendaraan yang
dating dari arah berlawanan setelah proses mendahului selesai
d3 = 30 meter
d. Jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang dating dari arah
berlawanan
2
d4 = 𝑑2
3
2
d4 = 𝑥 157,459
3
d4 = 104,973 meter
e. Jarak pandang mendahului
JPM = d1 + d2 + d3 + d4
JPM = 342,738 meter
3. Karakteristik tanjakan
Kelandaian awal, g1 = 5%
Kelandaian akhir, g2 = 0%
Perbedaan aljabar kelandaian, A = |g1-g2|
= |5%-0%|
= 5%
4. Panjang Lengkung Vertikal
Untuk JPH ≤ L atau S ≤ L

𝐴 𝐽ℎ2
𝐿=
399
5 𝑥 85,3952
𝐿=
399
L = 91,382 meter (memenuhi)
Untuk JPH > L atau S > L
399
𝐿 = 2Jh −
𝐴
399
𝐿 = 2 x 85,395 −
5
L = 90,99 meter (tidak memenuhi)
Untuk JPM ≤ L atau S ≤ L

𝐴 𝐽𝑑 2
𝐿=
840
5 𝑥 342,7382
𝐿=
840
L = 699,222 (memenuhi)
Untuk JPM > L atau S > L
840
𝐿 = 2Jd −
𝐴
399
𝐿 = 2 x 342,738 −
5
L = 517,476 (tidak memenuhi)
Berdasarkan tabel kontrol nilai untuk jarak pandang berhenti
K = 11
L=KxA
L = 11 x 5
L = 55 meter
Grafik panjang Lengkung vertical, Lmaks = 65 meter
Untuk kriteria kenyamanan
Berdasarkan tabel = 40-80 meter
L dipilih = 55 meter
5. Menentukan komponen lengkung
𝐴𝐿
𝐸𝑉 =
800
5 𝑥 55
𝐸𝑉 =
800
Ev = 0,344
6. Perhitungan titik-titik penting
Elevasi PPV5 = 189 m
Elevasi PLV5 = PPV3 – 0,5 Lv x g1
= 189 – 0,5 x 55 (5) %
= 187,63 m
Elevasi PTV5 = PPV3 – 0,5 Lv x g2
= 189 – 0,5 x 55 (0) %
= 189 m
Stationing PPV5 = sta A + jarak (A – PPV3)
= 1760
Stationing PLV5= sta A + jarak (A – PPV3) – 0,5 Lv
= 1760 – 0,5 x 55
= 1732,5
Stationing PTV5 = sta A + jarak (A – PPV3) – 0,5 Lv
= 1760 + 0,5 x 50
= 1787,5
Scanned with CamScanner
Scanned with CamScanner
Scanned with CamScanner
Scanned with CamScanner
Scanned with CamScanner
Scanned with CamScanner
BAB V
ANALISIS KEBUTUHAN
MATERIAL KONSTRUKSI

5.1 Dasar Perancaan Analisis Kebutuhan Material Konstruksi


Banguan jalan atau konstruksi perkerasn jalan biasanya terbuat dari material dasar
berupa agregat dan aspal. Agregat adalah batuan yang terdiri dari batu berukuran besar
hingga kecil, sedangkan aspal yang biasa digunakan adalah jenis hot mix atau aspal yang
dicampur dalam keadaan panas.
Perkerasan jalan raya dibuat berlapis-lapis bertujuan untuk menerima beban kendaraan
dan meneruskan ke lapisan dibawahnya. Pada umumnya material yang digunakan pada
lapisan-lapisan perkerasan jalan semakin bawah akan semakin besar ukurannya dengan
tujuan untuk dapat menahan beban berat.
Lapisan-lapisan perkerasan jalan terdiri dari
• Lapisan permukaan (surface course)
Lapisan permukaan merupaka lapisan paling atas pada suatu jalan raya, lapisan
bias akita pijak atau lapisan yang bersentuhan langsung dengan roda kendaraan.
Lapisan ini berfungsi sebagai penahan ban, dan memiliki stabilitas yang sangat
tinggi serta kedap air untuk menahan air dan mengalirkan ke saluran drainase
agar lapisan di bawahnya tetap terlindungi
• Lapisan Pondasi Atas (Base course)
Lapisan pondasi atas adalah. Bagian lapis perkerasan yang terletak diantara
lapis permukaan dan lapis pondasi bawah ( atau tanah dasar bila tidak
menggunakan lapis pondasi dari bawah). Lapisan ini berfungsi untuk menahan
gaya lintang dari beban roda dan menyebarkan lapisan di bawahnya. Lapisan
ini juga berfungsi sebagai bantalan terhadap lapisan permukaan
• Lapisan Pondasi Bawah (Subbase Course)
Lapisan ini terletak diantara lapis pondasi atas dengan tanah dasar. Fungsi
lapisan ini adalah menyebarkan beban roda ke tanah dasar serta untuk efisiensi
penggunaan material, karena lapisan ini lebih murah
• Lapisan Tanah Dasar (subgrade)
Tanah dasar adalah permukaan tanah asli, atau permukaan tanah galian atau
permukaan tanah timbunan yang dipadatkan, dan merupakan permukaan dasar
untuk perlengkapan bagian-bagian perkerasan lainnya, kekuatan, dan keawetan
konstruksi perkerasan jalan tergantung dari sifat-sifat daya dukung tanah dasar.
Berdasarkan kelas jalan dan volume lalu lintas harian rata-rata, maka ketebalan
jalan yang digunakan adalah sebagai berikut ;
• Surface Course (Lapisan Permukaan) = 0,15 m
• Base Course (lapisan Pondasi Atas) = 0,25 m
• Subbase Course (Lapisan Pondasi Bawah) = 0,30 m
5.2 Perhitungan Kebutuhan Material Perkerasan Jalan
• Volume Surface Course (Lapisan Permaban)
o Panjang jalan = 19456,675 m
o Tebal Lapisan = 0,15 m
o Lebar Jalan =7m
Volume = 19456,675x 0,15 x 7
= 20429,50875 m3
• Volume Base Course (Lapisan Pondasi Atas)
o Panjang jalan = 19456,675m
o Tebal Lapisan = 0,25 m
o Lebar Jalan =7m
Volume = 19456,675 x 0,25 x 7
= 3049,18125 m3
• Volume Subbase Course (Lapisan Pondasi Bawah)
o Panjang jalan = 19456,675m
o Tebal Lapisan = 0,3 m
o Lebar Jalan =7m
Volume = 1915,7495 x 0,3 x 7
= 40859.0175 m3
Total volume material perkerasan jalan yang dibutuhkan adalah
Jumlah = 20429,50875 + 3049,18125 + 40859.0175
= 64337,7075 m3
5.3 Perhitungan Volume Galian dan Timbunan

Gambar 5. 2 Rumus Ilustrasi Perhitungan Volume Galian dan Timbunan Sumber :


https://slideplayer.com/amp/4635647/

• Volume Galian dan Timbunan (Stationing 25+020)


o ETA Kiri Stationing 25+000 = +192,61
o ETA Kiri Stationing 25+020 = +190,09
o Elevasi Tanah Dasar = +190,9685
o Jarak Antar Stationing = 20 m
o Volume = ((190-190,9685)+(190-190,3084))*(40-20)/2
= 12,769 m3 (Galian)
Jadi,
Volume Galian Total = 2624,861 meter3
Volume Timbunan Total = 190,264 meter3
Maka, perbandingan volume galian dan timbunan adalah = 56,998 : 43,001
BAB VI

DRAINASE JALAN

▪ Dasar Perencanaan
a. Fungsi Drainase
i) Membuang air di permukaan struktur jalan
Air yang berada di permukaan perkerasan akan membuat licin saat
basah. Jika air masuk ke dalam perkerasan melalui retakan atau
sambungan maka akar akan tumbuh dan melemahkan daya dukung
pondasi dan tanah dasar. Air yang tinggal di area bahu jalan juga akan
dapat merembes ke bagian bawah yang dapat menimbulkan kelunakan
pada bahu jalan dan tanah dasar.
Dibuatnya drainase di atas permukaan jalan akan menambah keawetan
struktur perkerasan jalan. Untuk melancarkan pembuangan air dari
perkerasan , digunakan sistem drainase dengan arah memanjang dan
melintang, beigut juga dengan kemiringan bahu jalan. Hal tersebut
dilakukan untuk melancarkan aliran permukaan dan untuk mengumpulkan
air limpasan di permukaan ke sisi jalan yang kemudian dibuang ke saluran
drainase di sekitarnya. Masuknya air ke tanah dasar harus dipindahkan
dengan cara membuat sistem drainase jalan yag dipasang pada bagian
tertentu.
ii) Menurunkan muka air tanah
Air tanah yang naik ke atas struktur perkerasan akan melemahkan tanah
dasar dan lapis pondasi sehingga diperlukan struktur drainase yang dapat
mencegah masuknya air tanah ke bagian atas. Drainase yang memiliki
fungsi menurunkan muka air tanah tentu dapat mencegah pengumpulan
air di struktur perkerasan, yaitu dengan mengeleminasi pengumpulan air
dalam bentuk aksi uap air atau kapiler. Drainase juga mengurangi
penguapan air di dalam tanah dasar sehingga walau musim panas, kadar
air tidak terlalu banyak berubah.
iii) Mereduksi Tekanan Hidrostatis
Untuk mengatasi masalah hidrostatis, drainase tentu dibutuhkan untuk
memotong rembesan serta mengalirkannya menuju drainase bawah
perubahan. Dengan adanya saluran drainase di kaki lereng galian maka muka
air tanah di bawah zona perkerasan akan dapat diturunkan sehingga
perkerasan tidak terganggu air tanah.
iv) Pencegahan Erosi
Lereng galian atau timbunan untuk jalan seharusnya tidak teraliri
limpasan air hujan. Kemiringan lereng yang tinggi dapat menyebabkan
kecepatan air mengalir menjadi besar. Aliran air dengan kecepatan tinggi di
permukaan lereng akan mengangkut partikel-partikel tanah dan
mengakibatkan erosi. Ukuran partikel yang dipindah oleh aliran permukaan
bergantung pada kecepaan aliran. Semakin tinggi kecepatan air, semakin
besar pula diameter yang dapat terangkut.

b) Bentuk dan Posisi Drainase pada Jalan


Beberapa bentuk saluran drainase yang sering digunakan :

Gambar 6.1 Bentuk Drainase

Posisi drainase juga dapat dilihat pada potongan melintang jalan sebagai
berikut:

Gambar 6.2 Potongan Melintang Jalan

Selain itu, perlu juga diketahui macam-macam drainase jalan :


• Drainase Permukaan (Surface Drainage)
Drainase permukaan dibuat untuk mengalirkan atau membuang air yang
ada di permukaan tanh daerah jalan. Perencanaan drainase permukaan
dipengaruhi oleh keadaan topografi. Macam-macam drainase permukaan :
a. Drainase Memanjang (dide-ditch), yaitu drainase permukaan yang
terletak di samping dan memanjang arah jalan.
b. Drainase Melintang (cross drainage), yaitu drainase permukaan yang
melintang arah jalan raya.
Data yang diperlukan untuk perencanaan dan perancangan drainase
permukaan adalah curah hujan, topografi tanah, jenis tanah, tata guna lahan
setempat, dan lainnya.
Kecepatan aliran pembuangan air (v) tidak boleh terlalu besar untuk
mencegah erosi dan juga tidak boleh terlalu lambat untuk mencegah
terjadinya pengendapan kecepatan aliran ini dipengaruhi oleh bahan
pembentuk saluran.
Tabel 6.1 Kecepatan aliran air yang diizinkan berdasarkan jenis material (Bina
Marga)

Kecepatan Aliran Air


Jenis Bahan
yang Diizinkan (m/detik)
Pasir Halus 0,45
Lempung Kepasiran 0,5
Lanau Kepasiran 0,6
Kerikil Halus 0,75
Lempung Kokoh 0,75
Lempung padat 1,10
Kerikil Kasar 1,20
Batu-batu Besar 1,50
Pasangan Batu 1,50
Beton 1,50
Beton Bertulang 1,50

• Drainase Bawah Permukaan


Drainase baawah permukaan lebih dimaksudkan untuk menjaga agar
elevasi muka air tanah tidak mendekati permukaan tanah tubuh jalan yang
harus dilindungi, sehingga konsistensi dan kepadatan tubuh jalan di bawah
perkerasan kondisinya tetap baik.
Elevasi muka air tanah dapat naik ke permukaan tanah tubuh jalan secara:
• Kapilaritas
• Rembesan dari aliran air yang datang dari samping tubuh jalan.
Data yang diperlukan untuk perencanaan drainase bawah permukaan
diantaranya:
o Letak elevasi muka air tanah saat musim hujan
o Angka koefisien permeabiltas
o Elevasi dan kemiringan lapisan kedap air
Data-data tersebut dapat diperoleh bersama dengan data penyelidikan bawah
tanah.
• Drainase Lereng
Drainase lereng dimaksudkan untuk:
• Mencegah agar air permukaan yang berasal dari punggung lereng tidak
mengalir secara deras sehingga menggerus permukaan kaki lereng.
• Mencegah terjadinya aliran rembesan di dalam tubuh lereng tanah, diama
hal in dapat mengakibatkan lereng bisa longsor secara mendadak.

1) Ketentuan Perancangan
Secara umum, perhitungan kecepatan menggunakan rumus manning :
1 2/3
𝑉= . 𝑅 . √𝐼
𝑛
Tabel 6.2 Koefisien Manning
Bahan Koefisien Manning (n)
Besi tuang lapis 0,014
Kaca 0,010
Saluran beton 0,013
Bata di lapis mortar 0,015
Pasangan batu disemen 0,025
Saluran tanah bersih 0,022
Saluran tanah 0,030
Saluran dengan dasar batu 0,040
dan tebing rumput
Saluran pada galian baru 0,040

2) Koefisien yang digunakan


Dalam merancang saluran drainase, parameter-parameter yang digunakan sebagai
berikut:
• Bentuk saluran drainase : U-ditch
• Bahan tampang saluran drainase : Beton (n=0,013)
• Dimensi penampang : B = 0,6 m
H = 1,0 m

Gambar 6.3 Dimensi penampang saluran drainase

• Tinggi jagaan
W = √0,5 x hair = √0,5 x 1 = 0,707 m
• Tinggi total saluran
Htotal = hair + W = 1 + 0,707+0,2 = 1,907m
• Luas penampang basah
A = b x hair = 0,6 x 1 = 0,6 m2
• Keliling penampang basah
P = b + 2 x hair = 0,6 + 2 x 1 = 2,6 m
• Jari-jari hidraulik
A 0,6
R= = = 0,2307 m
P 2,6

• Kemiringan saluran
v2 1,52
S= 4 = 4 = 0,0031155
R3⁄n2 0,23073⁄0,0142

▪ Hitungan
2
1 ∆𝑦
𝑉 = 𝑛 . 𝑅3 . √𝐼 ,dengan 𝐼 = ∆𝑥

𝑉 .𝑛 2
∆𝑦 = ( ) . ∆𝑥
𝑅2/3

1. Segmen I (Δx = 100 m)


𝑉 .𝑛 2 1,5 × 0,014 2
∆𝑦 = (𝑅2/3 ) . ∆𝑥 = ( 2 ) × 100 = 0.3129 𝑚
(0,230)3

2. Segmen II (Δx = 160 m)


𝑉 .𝑛 2 1,5 × 0,014 2
∆𝑦 = (𝑅2/3 ) . ∆𝑥 = ( 2 ) × 160 = 0.5007 m
(0,230)3

3. Segmen II (Δx = 94,132 m)


𝑉 .𝑛 2 1,5 × 0,014 2
∆𝑦 = ( 2/3
) . ∆𝑥 = ( 2 ) × 94,132 = 0.2945 𝑚
𝑅
(0,230)3

4. Segmen III (Δx = 95,868 m)


𝑉 .𝑛 2 1,5 × 0,014 2
∆𝑦 = ( 2/3
) . ∆𝑥 = ( 2 ) × 95,868 = 0.30001 𝑚
𝑅
(0,230)3

5. Segmen III (Δx = 100 m)


𝑉 .𝑛 2 1,5 × 0,014 2
∆𝑦 = ( 2/3 ) . ∆𝑥 = ( 2 ) × 100 = 0.3129 𝑚
𝑅
(0,230)3

6. Segmen IV (Δx = 100 m)


𝑉 .𝑛 2 1,5 × 0,014 2
∆𝑦 = ( 2/3 ) . ∆𝑥 = ( 2 ) × 100 = 0.3129 𝑚
𝑅
(0,230)3

7. Segmen IV (Δx = 100 m)


𝑉 .𝑛 2 1,5 × 0,014 2
∆𝑦 = ( ) . ∆𝑥 = ( 2 ) × 100 = 0.3129 𝑚
𝑅2/3
(0,230)3

8. Segmen V (Δx = 100 m)


𝑉 .𝑛 2 1,5 × 0,014 2
∆𝑦 = ( 2/3
) . ∆𝑥 = ( 2 ) × 100 = 0.3129 𝑚
𝑅
(0,230)3

9. Segmen V (Δx = 100 m)


𝑉 .𝑛 2 1,5 × 0,014 2
∆𝑦 = ( 2/3 ) . ∆𝑥 = ( 2 ) × 100 = 0.3129 𝑚
𝑅
(0,230)3

10. Segmen VI (Δx = 50 m)


𝑉 .𝑛 2 1,5 × 0,014 2
∆𝑦 = ( ) . ∆𝑥 = ( 2 ) × 50 = 0.1564 𝑚
𝑅2/3
(0,230)3

11. Segmen VI (Δx = 100 m)


2 2
𝑉 .𝑛 1,5 × 0,014
∆𝑦 = ( 2 ) . ∆𝑥 = ( 2 ) × 100 = 0.3129 𝑚
𝑅3 (0,230)3
BAB VII
RAMBU, MARKA, DAN PERLENGKAPAN LAINNYA
7.1 Rambu

Rambu adalah salah bagian perlengkapan yang berupa lambang, huruf,


angka, kalimat dan/atau perpaduan diantaranya yang digunakan untuk
memberikan peringatan, larangan, perintah, dan petunjuk bagi pengguna jalan.

Terdapat 3 (tiga) bentuk informasi yang masing – masing memiliki arti dan
makna tersendiri, antara lain :

• Makna perintah dan larangan merupakan informasi yang harus dipatuhi


dan ditaati.
• Peringatan merupakan informasi terhadap suatu kondisi di lingkungan lalu
lintas, seperti suatu kondisi jalan yang rawan, bahaya dll.
• Petunjuk merupakan informasi lokasi, tempat, arah, jarak, fasilitas –
fasilitas dll.

Rambu yang efektif harus memenuhi hal-hal berikut:

• Memenuhi kebutuhan.

• Menarik perhatian dan mendapat respek pengguna jalan.

• Memberikan pesan yang sederhana dan mudah dimengerti.

• Menyediakan waktu cukup kepada pengguna jalan dalam memberikan


respon.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, pertimbangan-pertimbangan yang harus
dipertimbangkan dalam perencanaan dan pemasangan rambu adalah :
• Keseragaman bentuk dan ukuran rambu

Keseragaman dalam penerapan bentuk dan ukuran rambu dapat


membantu sebagai alat kontrol lalu lintas memudahkan tugas pengemudi
untuk mengenal, memahami, dan memberikan respon.
• Desain Rambu

Desain rabu dalam warna, bentuk, ukuran, dan tingkat retrorefleksi


yang memenuhi standar akan menarik perhatian pengguna jalan, mudah
dipahami dan memberikan waktu yang cukup bagi pengemudi dalam
memberikanrespon.
• Lokasi Rambu
Lokasi rambu berhubungan dengan pengemudi sehingga pengemudi
yang berjalan dengan kecepatan normal dapat memiliki waktu yang
cukup memberikan respon.
• Operasi Rambu

Rambu yang benar pada lokasi yang tepat harus memenuhi kebutuhan
lalu lintas dan diberikan pelayanan yang konsisten dengan memasang
rambu yang sesuai kebutuhan.
• Pemeliharaan Rambu

Rambu perlu dirawat dan dilakukan pemeliharaan secara berkala dalam


bentuk fisik yang baik agar tetap berfungsi dengan baik.

Berdasarkan jenis pesan yang disampaikan, rambu dapat dikelompokkan sebagai


berikut :

1. Rambu peringatan
Digunakan untuk menyatakan peringatan bahaya atau tempat
berbahaya pada jalan di depan pemakai jalan
2. Rambu petunjuk
Digunakan untuk menyatukan petunjuk mengenal jurusan jalan,
situasi kota, tempat, pengetahuan, fasilitas, dan lain-lain
3. Rambu larangan
Digunakan untuk menyatakan perbuatan yang dilarang dilakukan oleh
pemakai jalan.
4. Rambu perintah
Digunakan untuk menyatakan perintah yang wajib dilakukan oleh
pemakai jalan
Dasar-dasar penempatan rambu pada jalan dapat dilihat pada lampiran “Panduan
Penempatan Fasilitas Perlengkapan Jalan”. Berdasarkan jalan rencana dari titik A
ke titik B, rambu yang akan digunakan adalah sebagai berikut:
1. Batas Kecepatan
Untuk memberitahu pengemudi batas kecepatan pada jalan tersebut
2. Tikungan ke kiri
Untuk memberitahu pengemudi akan ada tikungan ke kiri di depan
3. Tikungan ke kanan
Untuk memberitahu pengemudi akan ada tikungan ke kanan di
depan
4. Jalan Menurun
Untuk memberitahu pengemudi bahwa akan ada jalan menurun
5. Jalan Menanjak
Untuk memberitahu pengemudi bahwa akan ada jalan menanjak
6. Persimpangan Sebidang dengan Empat Lengan
Untuk memberitahu pengemudi bahwa akan ada persimpangan
7. Lampu Lalu Lintas
Untuk memberitahu pengemudi bahwa akan ada lampu lalu lintas
8. Jembatan
Untuk memberitahu pengemudi bahwa akan ada Jembatan
9. Lajur Pendakian (Penambahan Lajur Kiri)
Untuk memberitahu pengemudi bahwa akan ada lajur pendakian di
depan, yaitu penambahan lajur pada lajur kiri
10. Peringatan Pengurangan Lajur Kiri
Untuk memberitahu pengemudi bahwa akan ada penyempitan pada
lajur kiri karena lajur pendakian sudah selesai
11. Petunjuk Awal Terowongan
Untuk memberi tahu pengemudi bahwa pengemudi akan ada
terowongan di depan
12. Petunjuk Akhir Terowongan
Untuk memberi tahu pengemudi bahwa pengemudi sudah hampir
sampai di akhir terowongan
13. Dilarang Menyiap
Untuk memberi tahu pengemudi bahwa di jalan tersebut tidak
boleh menyiap kendaraan lain karena berbahaya
14. Batas Akhir Larangan Kecepatan
Untuk memberi tahu pengemudi bahwa pengemudi sudah beranda
di luar batas jalan dengan batas kecepatan
15. Pengarah Tikungan ke kiri
Untuk memberi arahan pada pengumudi saat berada di tikungan ke
kiri
16. Pengarah Tikungan Ke Kanan
Untuk memberi arahan pada pengemudi pada saat berada ditikungan
ke kanan

7.2 Marka Jalan

Marka jalan adalah suatu tanda yang berada di permukaan jalan atau diatas
permukaan jalan yang meliputi peralatan atau tanda yang berbentuk garis
membaur, garis melengkung, garis serong, serta lambang yang lainnya yang
berfungsi untuk mengatur lalu lintas di jalan dan membatasi daerah kepentingan
lalu lintas.

Pemasangan marka jalan pada jalan mempunyai fungsi penting dalam


menyediakan petunjuk dan informasi terhadap pengguna jalan. Pada beberapa
kasus, marka digunakan sebagai tambahan alat lalu lintas, dan marka-marka
yang lain. Maka pada jalan secara tersendiri digunakan secara efektif dalam
menyampaikan peraturan, petunjuk, atau peringatan yang tidak disampaikan
oleh alat koontrol lain.

1. Jenis-jenis maka pada jalan membujur


a. Marka membujur garis utuh
Marka ini berfungsi sebagai larangan bagi kendaraan melintas garis
tersebut. Marka membujur berupa satu garis juga digunakan untuk
menandakan tepi jalur lalu lintas. Marka membujur garis utuh harus
digunakan pada lokasi.
• Menjelang persimpangan sebagai pengganti garis putus-putus
pemisah arah lajur (garis utuh harus didahului dengan garis
putus-putus sebagai peringatan)
• Pada jalan yang jarak pandangnya terbatas seperti di tikungan
atau lereng bukit atau bagian jalan yang sempit, maka garis utuh
berfungsi untuk melarang kendaraan menyiap kendaraan lain.
b. Marka membujur garis putus-putus
Marka ini berfungsi untuk mengarahkan lalu lintas dan untuk
memperingatkan akan ada marka membujur berupa garis utuh di depan
dan pembatas jalan pada jalan 2 arah.
c. Marka membujur garis ganda
Marka membujur berupa garis ganda yang terdiri dari garis utuh dan
garis putus-putus memiliki arti :
• Lalu lintas yang berada pada sisi garis putus dapat melintasi
garis ganda tersebut
• Lalu lintas yang berada pada sisi garis utuh dilarang melintas
garis ganda tersebut.

2. Marka melintang
a. Marka melintang garis utuh
Marka ini menyatakan batas berhenti kendaraan yang di wajibkan
oleh alat pemberi isyarat lalu lintas atau rambu lalu lintas lain. Marka
melintang ditempatkan bersama dengan rambu larangan wajib berhenti
sesaat, dan/atau alat pemberi isyarat lalu lintas yang akan datang dari
cabang persimpangan lain (dapat juga dilengkapi dengan garis
membujur atau tulisan “STOP” pada permukaan jalan.
b. Marka melintang garis ganda putus-putus
Marka ini menyalakan batas berhenti kendaraan mendahulukan
kendaraan lain. Pada saat mendekati persimpangan, permukaan jalan
dapat dilengkapi dengan garis putus-putus dan tanda panah untuk
menunjukkan arah yang ditempuh.
3. Marka serong
Marka serong berupa garis utuh dilarang dilintasi kendaraan. Marka
serong yang dibatasi dengan rangka garis utuh digunakan untuk
menyatakan :
• Daerah yang tidak boleh dimasuki kendaraan
• Pemberitahuan awal sudah mendekati pulau lalu lintas
Marka serong juga digunakan untuk menyalakan pemberitahuan
awal atau akhir pemisah jalan, pengaruh lalu lintas, dan pulau lalu
lintas

4. Marka lambang
a. Marka lambang berupa panah, segitiga, atau tulisandigunakan untuk
mengulangi maksud rambu-rambu lalu lintas atau untuk memberi tahu
pengguna jalan yang tidak dinyatakan dengan rambu lalu lintas jalan.
b. Marka lambang untuk menyatakan tempat pemberitahuan mobil bus,
untuk menaikkan dan menuturkan penumpang
c. Marka lambang untuk menyatakan pemisahan arus lalu lintas sebelum
mendekati persimpangan yang tanda lambangnya berbentuk panah.
d. Marka peringatan mendekati perlintasan sebidang dengan kereta api.
Apabila mendekati jalan kereta api, yang tidak menggunakan pintu
perlintasan harus diberi marka melintang berupa garis dan marka
lambang berupa tanda di permukaan jalan.
e. Daerah tepi jalan dengan marka berupa garis-garis berliku-berliku
berwarna kuning pada sisi jalur lalu lintas menyatan dilarang parkir di
area tersebut.
f. Marka berupa garis utuh berwarna kuning dan bingkai jalan
menyatakan dilarang berhenti pada daerah tersebut. Paku jalan, yang
berfungsi sebagai reflektor marka jalan khususnya pada cuaca gelap
atau malam hari. Paku jalan dengan pemantul cahaya berwarna kuning
digunakanuntuk pemisah jalur atau lajur lalu lintas, sedangkan paku
jalan dengan pemantul cahaya berwarna merah ditempatkan pada garis
batas di sisi jalan, dan paku jalan dengan pemantul cahaya berwarna
putih ditempatkan pada garis batas sisi kanan jalan.

Paku jalan dapat ditempatkan pada :


• Batas tepi jalur lalu lintas
• Marka membujur berupa garis putus-putus sebagai tanda peringatan
• Sumbu jalan sebgai pemisah jalur
• Marka membujur garis utuh sebgai pemisah lajur bus
• Marka lambang berupa chevton
• Pulau lalu lintas
Marka yang digunakan pada jalan rencana adalah sebagai berikut :
• Marka membujur garis utuh
Digunakan pada daerah tikungan dan jembatan, serta pada tepi kanan
dan kiri jalan untuk menandakan tepi jalur lalu lintas, dan juga
ditempatkan menyilang persimpangan
• Marka membujur garis putus-putus
Digunakan pada jalan lurus dan daerah yang dianggap aman atau
tidak rawan kecelakaan.
• Marka melintang garis utuh
Digunakan pada daerah persimpangan dengan jalan eksisting
untuk menyatakan batas berhenti kendaraan

7.3 Perlengkapan Jalan

Fasilitas perlengkapan jalan terdiri dari:

1. Alat pemberi isyarat lalu lintas

a. Jenisnya yaitu :
à Lampu 3 warna (untuk mengatur kendaraan)
• Terdiri dari warna merah, kuning, dan hijau
• Dipasang dalam posisi vertikal atau horizontal
• Susunan lampu dari atas ke bawah (vertikal) dan dari kiri ke
kanan (horizontal) dengan urutan merah, kuning,hijau
• Dapat dilengkapi dengan lampu warna merah dan/atau hijau
yang memancarkan cahaya berupa tanda panah
à Lampu 2 warna (mengatur kendaraan dan/atau pejalan kaki)

• Terdiri dari warna merah dan hijau


• Dipasang dalam posisi vertikal atau horizontal
• Susunan lampu dari atas ke bawah (vertikal) dan dari kiri ke
kanan (horizontal) dengan urutan merah,hijau
à Lampu 1 warna (memberikan peringatan bahaya kepada pemakai
jalan)

• Berwarna kuning atau merah


b. Penempatan alas pemberi isyarat lalu lintas
• Dilakukan sedemikian rupa sehingga mudah dilihat dengan jelas
oleh pengemudi, pejalan kaki, dan tidak mengganggu lalu lintas
kendaraan.
• Alat pemberi isyarat lalu lintas yang ditempatkan pada bagia paling
bawah sekurang kurangnya 3 meter dari permukaan jalan
• Alat pemberi isyarat lalu lintas pada persimpangan ditempatkan
pada sisi kanan jalur lalu lintas menghadap arah datangnya lalu
lintas dan dapat diulangi pada sisi kanan atau diatas jalur lalu lintas.
• Alat pemberi isyaratan lalu lintas pada persimpangan sebidang
dengan jalan kereta api ditempatkan pada sisi kiri jalur lalu lintas
mengahdap arah datangnya lalu lintas dan dapat diulangi pada sisi
kanan jalur lalu lintas
• Alat pemberi isyarat lalu lintas pada tempat penyebrangan pejalan
kaklu ditempatkan pada sisi kiri dan/atau kanan jalur lalu lintas
menghadap ke arah pejalan kaki yang dilengkapi dengan tambal
permintaan uuntuk menyebrang
• Bila alat pemberi isyarat lalu lintas ditempatkan diatas permukaan
jalan, tinggi lampu bagian paling bawah sekurang-sekurangnya 5,5
meter dari permukaan jalan.
2. Alat pengendali dan pengaman pemakai jalan
Alat pengendali pemakai jalan yang digunakan untuk pengendalian
atau pembatasan terhadap kecepatan, ukuran muatan kendaraan pada ruas-
ruas jalan tertentu terdiri dari :
• Alat pembatas kecepatan
• Alat pembatas tinggi dan lebar
Alat pengaman pemakai jalan yang digunakan untuk pengamanan
terhadap pemakai jalan terdiri dari :

• Pagar pengaman
• Cermin tikungan
• Pulau lalu lintas
• Delinator
• Pita
3. Alat pengawasan dan pengamanan jalan
Alat pengawasan dan pengamanan jalan berfungsi untuk melakukan
pengawasan terhadap berat kendaraan berserta muatasnnya, berupa alat
penimbangan.
4. Fasilitas pendukung
Fasilitas pendukung meliputi :
• Fasilitas pejalan kaki, trotoar, dan tempat penyeberangan
• Parkir pada bahu jalan
• Halte
• Tempat istirahat
• Penerangan jalan

No Rambu Peraturan Stationing


• Merupakan Jenis Rambu
1 Dari A ke B
Larangan
• Memiliki Arti Larangan 25
Menjalankan Kendaraan
25 + 340
dengan Kecepatan Lebih dari
60km/jam 25 + 850

• Rambu larangan ditempatkan 26 + 20


sedekat mungkin pada awal
Dari B ke A
bagian jalan dimulainya rambu
larangan. ( PANDUAN 26 + 440
PENEMPATAN FASILITAS
26 + 20
PERLENGKAPAN JALAN
DEPARTEMEN 25 + 780
PERHUBUNGAN )
26+964,75
• Rambu larangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(2) ditempatkan pada awal
bagian jalan dimulainya larangan
(PERATURAN MENTERI
PERHUBUNGAN REPUBLIK
INDONESIA NOMOR PM 13
TAHUN 2014 TENTANG
RAMBU LALU LINTAS)

• Merupakan Jenis Rambu


2 Dari A ke B
Larangan
• Memiliki Arti Larangan 25+580
Menyalip Kendaraan Lain 26+80
• Rambu larangan ditempatkan
sedekat mungkin pada awal 26+440

bagian jalan dimulainya rambu Dari B ke A


larangan. ( PANDUAN
26+540
PENEMPATAN FASILITAS
PERLENGKAPAN JALAN 26+320
DEPARTEMEN
25+780
PERHUBUNGAN )
• Rambu larangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(2) ditempatkan pada awal
bagian jalan dimulainya
larangan
(PERATURAN MENTERI
PERHUBUNGAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PM 13 TAHUN
2014 TENTANG RAMBU

LALU LINTAS)

3 • Merupakan Jenis Rambu Dari A ke B


Peringatan
26
• Untuk memberitahu Dari B ke A
pengemudi akan ada tikungan
25 + 800
ke kiri di depan

• Penematan rambu peringatan


sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) memperhatikan
kondisi lalu lintas, cuaca, dan
faktor geografis, geometrik,
permukaan jalan, dan
kecepatan rencana jalan
(PERATURAN MENTERI
PERHUBUNGAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PM 13 TAHUN 2014
TENTANG RAMBU LALU
LINTAS)

• Rambu peringatan ditempatkan


pada sisi jalan sebelum tempat
atau bagian jalan yang
berbahaya dengan jarak
minimum 50 meter (Vr = 60
km/jam) (Panduan Penempatan
Fasilitas Perlengkapan Jalan
DEPARTEMEN
PERHUBUNGAN
DIREKTORAT JENDERAL
PERHUBUNGAN DARAT
DIREKTORAT BINA
SISTEM TRANSPORTASI
PERKOTAAN)
• Merupakan Jenis Rambu
4 Dari A ke B
Peringatan
• Untuk memberitahu 25+580
pengemudi akan ada tikungan
Dari B ke A
ke kanan di depan
• Penempatan rambu peringatan 26 + 340
sebagaimana dimaksud padaayat
(1) memperhatikan kondisi lalu
lintas, cuaca dan faktor
geografis, geometrik, permukaan
jalan, dan kecepatan rencana
jalan. (PERATURAN MENTERI
PERHUBUNGAN REPUBLIK
INDONESIANOMOR PM 13
• TAHUN 2014
TENTANGRAMBU LALU
LINTAS)
• Rambu peringatan ditempatkan
pada sisi jalan sebelum tempat
atau bagian jalan yang berbahaya
dengan jarak minimum 50 meter
(Vr = 60 km/jam)
• (Panduan Penempatan Fasilitas
Perlengkapan Jalan
DEPARTEMEN
PERHUBUNGAN
DIREKTORAT JENDERAL
PERHUBUNGAN DARAT
DIREKTORAT BINA SISTEM
TRANSPORTASI
• PERKOTAAN)

5 • Merupakan Jenis Rambu Dari A ke B


Peringatan 25 +520
• Memiliki Arti Bahwa Akan Dari B ke A
ada Tanjakan Landai
25 + 250
didepan
26 + 460
• Penempatan rambu
peringatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
memperhatikan kondisi lalu
lintas, cuaca dan faktor
geografis, geometrik,
permukaan jalan, dan
kecepatan rencana jalan.n
(PERATURAN MENTERI
PERHUBUNGAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PM 13 TAHUN
2014 TENTANG RAMBU
LALU LINTAS
6 Merupakan Jenis Rambu Dari A ke B
Peringatan • Memiliki Arti
25+180
Bahwa Aka nada Turunan
25+300
Landai didepan •
Penempatan rambu Dari B ke A
peringatan sebagaimana
26+600
dimaksud pada ayat (1)
memperhatikan kondisi lalu
lintas, cuaca dan faktor
geografis, geometrik,
permukaan jalan, dan
kecepatan rencana jalan.
(PERATURAN MENTERI
PERHUBUNGAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PM 13 TAHUN
2014 TENTANG RAMBU
LALU LINTAS)

7 • Merupakan Jenis Rambu Dari A ke B


Peringatan • Memiliki Arti
25+340
Pengemudi akan melewati
Dari B ke A
Simpang Empat Prioritas •
Penempatan rambu 25+540
peringatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
memperhatikan kondisi lalu
lintas, cuaca dan faktor
geografis, geometrik,
permukaan jalan, dan
kecepatan rencana jalan.
(PERATURAN MENTERI
PERHUBUNGAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PM 13 TAHUN
2014 TENTANG RAMBU
LALU LINTAS)

• Merupakan Jenis Rambu Dari A ke B


Peringatan
25+400
• Memiliki Arti Bahwa
Dari B ke A
Akan Ada APILL di depan
25+500
• Penempatan rambu
peringatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
memperhatikan kondisi lalu
lintas, cuaca dan faktor
geografis, geometrik,
permukaan jalan, dan
kecepatan rencana jalan.
(PERATURAN MENTERI
PERHUBUNGAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PM 13 TAHUN
2014 TENTANG RAMBU
LALU LINTAS)

9 • Merupakan Jenis Rambu Dari A ke B


Peringatan
26+80
• Memiliki Arti Untuk
26+100
memberi arahan pada
26+120
pengumudi saat berada di
tikungan ke kiri 26+140

• Penempatan rambu
peringatan sebagaimana
Dari B ke A
dimaksud pada ayat (1)
25+780
memperhatikan kondisi lalu
lintas, cuaca dan faktor
25+800
geografis, geometrik,
25+820
permukaan jalan, dan
kecepatan rencana jalan. 25+840
(PERATURAN MENTERI
PERHUBUNGAN
REPUBLIK
INDONESIANOMOR PM
13 TAHUN 2014
TENTANGRAMBU
LALU LINTAS)

• apabila tikungan
mengarah ke kiri, rambu
pengarah tikungan dipasang
disebelah kanan arah lalu
lintas (PERATURAN
MENTERI
PERHUBUNGAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PM 13 TAHUN
2014 TENTANG RAMBU
LALU LINTAS)

10 • Merupakan Jenis Rambu Dari A ke B


Peringatan
25+580
• Memiliki Arti Untuk 25+600
memberi arahan pada
25+620
pengumudi saat berada di
tikungan ke kanan 25+640

• Penempatan rambu
peringatan sebagaimana Dari B ke A
dimaksud pada ayat (1)
26+280
memperhatikan kondisi lalu
lintas, cuaca dan faktor
26+300
geografis, geometrik,
26+320
permukaan jalan, dan
kecepatan rencana jalan. 26+340
(PERATURAN MENTERI
PERHUBUNGAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PM 13 TAHUN
2014 TENTANG RAMBU
LALU LINTAS)

• apabila tikungan mengarah ke


kanan, rambu pengarah
tikungan dipasang disebelah
kiri arah lalu lintas
(PERATURAN MENTERI
PERHUBUNGAN
REPUBLIK
INDONESIANOMOR PM
13 TAHUN 2014
TENTANGRAMBU LALU
LINTAS)

11 •Merupakan Jenis Rambu Dari A ke B


Larangan
26+540
•Memiliki Arti Batas Akhir
26+320
Larangan Dilarang Menyiap
25+780
•Rambu larangan ditempatkan
Dari B ke A
sedekat mungkin pada awal
25+580
bagian jalan dimulainya rambu
26+80
larangan. ( PANDUAN
26+440
PENEMPATAN FASILITAS

PERLENGKAPAN JALAN

DEPARTEMEN

PERHUBUNGAN )

•Rambu larangan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 11 ayat

(2) ditempatkan pada awal

bagian jalan dimulainya

larangan (PERATURAN

MENTERI PERHUBUNGAN

REPUBLIK INDONESIA

NOMOR PM 13 TAHUN 2014

TENTANG RAMBU LALU

LINTAS)

12 •Merupakan Jenis Rambu Dari A ke B


Larangan 26+964,75

•Memiliki Arti Batas Akhir Dari B ke A


Larangan Menjalankan
25
Kendaraan dengan Kecepatan
Lebih dari 60km/jam

•Rambu larangan ditempatkan

sedekat mungkin pada awal

bagian jalan dimulainya rambu

larangan. ( PANDUAN

PENEMPATAN FASILITAS

PERLENGKAPAN JALAN
DEPARTEMEN

PERHUBUNGAN )

•Rambu larangan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 11 ayat

(2) ditempatkan pada awal

bagian jalan dimulainya

larangan (PERATURAN

MENTERI PERHUBUNGAN

REPUBLIK INDONESIA

NOMOR PM 13 TAHUN 2014

TENTANG RAMBU LALU

LINTAS)

13 • Merupakan Jenis Rambu Dari A ke B


Petunjuk Awal Terowongan
25 +910
• Memiliki Arti Untuk Dari B ke A
memberi petunjuk jika akan
25 +970
ada terowongan.

• Penempatan rambu petunjuk


sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) memperhatikan
kondisi lalu lintas, cuaca dan
faktor geografis, geometrik,
permukaan jalan, dan
kecepatan rencana jalan.
(PERATURAN MENTERI
PERHUBUNGAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PM 13 TAHUN
2014 TENTANG RAMBU
LALU LINTAS)

14 • Merupakan Jenis Rambu Dari A ke B


Petunjuk Akhir Terowongan 25 +970
• Memiliki Arti Untuk Dari B ke A
memberi petunjuk jika akan
25 +910
ada akhir terowongan.

• Penempatan rambu petunjuk


sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) memperhatikan
kondisi lalu lintas, cuaca dan
faktor geografis, geometrik,
permukaan jalan, dan
kecepatan rencana jalan.
(PERATURAN MENTERI
PERHUBUNGAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PM 13 TAHUN
2014 TENTANG RAMBU
LALU LINTAS)

• Merupakan Jenis Rambu


15 Dari A ke B
Larangan
• Memiliki Arti Larangan 25 +910
Larangan Masuk bagi Dari B ke A
Kendaraan dengan Ukuran
Lebar Melebihi 2.500 (dua 25 +970
ribu lima ratus)milimeter,
Ukuran Panjang
melebihi18.000 (delapan
belas ribu) milimeter,
Ukuran Paling Tinggi
4.200 (empatribu dua
ratus) milimeter, dan
Muatan sumbu terberat 10
(sepuluh) ton
• Rambu larangan ditempatkan
sedekat mungkin pada awal
bagian jalan dimulainya rambu
larangan. ( PANDUAN
PENEMPATAN FASILITAS
PERLENGKAPAN JALAN
DEPARTEMEN
PERHUBUNGAN )
• Rambu larangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(2) ditempatkan pada awal
bagian jalan dimulainya
larangan

(PERATURAN MENTERI
PERHUBUNGAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PM 13 TAHUN
2014 TENTANG RAMBU

LALU LINTAS)

Anda mungkin juga menyukai