Anda di halaman 1dari 3

QUADRUPLEX REAL-TIME PCR FOR DIAGNOSIS OF DIPHTERIA

Penyakit difteri disebabkan oleh strain toksigenik dari Corynecacterium diphteria,


Corynebacterium ulcerans, dan Corynebacterium pseudotuberculosis. Dalam
menegakkan diagnosis difteri dibutuhkan identifikasi spesies dan deteksi strain
toksigenitas (toksin difteri (tox)-strain positif) yang biasanya dilakukan menggunakan
end-point PCR. Uji end-point PCR bekerja dengan menargetkan gen toksin (tox
gene), uji ini secara luas telah digunakan untuk mengetahui keberadaan strain yang
berpotensi toksigenik secara langsung dari sampel kilinik atau dari kultur bakteri.
Deteksi gen toksin (tox gene) juga dapat dikombinasikan dengan target identifikasi
spesies PCR dalam uji multipleks. Karena isolat pembawa gen toksin non-toksigenik
(NTTB) telah ada dijelaskan maka deteksi gen toksin hanya memberikan praduga
toksigenitas yang mana dapat dikonfirmasi dengan menggunakan Elek test. (1)

Gold standard untuk pemeriksaan toksigenitas C. diphteriae adalah Guinea pig, vero
cell cytotoxigenicity, dan Elek test.(2) Namun, saat ini penggunaan Guinea pig
banyak ditentang oleh pecinta hewan, sementara penggunaan vero cell
cytotoxigenicity memerlukan kelengkapan alat laboratorium dan keterampilan tenaga
yang cukup tinggi serta membutuhkan waktu lama.(3) Sedangkan standard tes fenotip
(Uji Elek) untuk identifikasi dan deteksi strain toksigenitas dari isolat dapat
mengambil waktu yang cukup lama sekitar 24 – 48 jam dari waktu penerimaan
sampel.
Alternatif untuk mempersingkat waktu ini adalah menggunakan metode PCR
konvensional, namun kelemahan dari metode ini adalah tidak semua gen toksin yang
terdeteksi dengan PCR konvensional dapat mengekpresikan fenotifnya sebagai
toksin. [3
Real-time PCR atau qPCR (quantitative PCR) menyediakan alternatif untuk
pengumpulan data yang lebih cepat dibandingkan dengan PCR konvensional, risiko
kontaminasi lebih rendah, dan sensitivitas yang tinggi. [1]
hasil deteksi dari qPCR
dapat diperoleh sekitar 3-4 jam setelah isolat diterima. Strain NTTB (PCR tox positif,
Elek negatif) adalah variabel perancu, itulah sebabnya setelah hasil PCR/qPCR tox
positif, ekpresi tokxin harus selalu dikonfirmasi kembali menggunakan Elek test
untuk memastikan gen toksin yang terdeteksi fenotifnya sebagai toksin atau bukan.(4)

Uji quadruplex qPCR yang telah dikembangkan oleh De Zoysa et al. mendeteksi gen
toksin dan mengidentifikasi C. diphtheriae  , C. ulcerans and C. pseudotuberculosis
dengan menargetkan sekuens gen RNA polymerase β-subunit (rpoB).(1) untuk
tujuan diagnostik PCR, dipertimbangkan untuk menyertakan kontrol proses yang
mampu mendeteksi ekstraksi dan penghambatan amplifikasi PCR, sementara metode
dari De Zoysa et al menggunakan amplifikasi gen protein hijau fluorescent (gfp) pada
kontrol DNA untuk hambatan PCR, tidak termasuk kontrol untuk kegagalan ekstraksi
(seperti mampu mendeteksi ada atau tidaknya DNA bakteri didalam uji PCR).(1)
kontrol proses internal dari gen gfp ini tidak dapat membedakan analisis spesies
selain C. diphtheriae , C. ulcerans dan C. pseudotuberculosis dan dapat terjadi hasil
negatif yang palsu karena kurangnya DNA target bakteri.

Badell et all. mencoba untuk mengatasi kekurangan ini dengan mengganti gen target
gfp dengan fragmen universal dari sekuens gen 16S rRNA (u-16S) untuk menjadi
kontrol proses internal. Dengan memiliki keunggulan mencakup berbagai macam
DNA bakteri, fragmen u-16S diharapkan dapat diperkuat jika ada DNA bakteri
didalam sampel sehingga menghindari kemungkinan hasil negatif yang palsu. Metode
baru ini diuji dengan menggunakan 36 isolat bakteri dan 17 sampel klinis dan juga
dilakukan uji ketahanan untuk variasi suhu dan konsentrasi reagen. Hasil akhir dari
penelitian tersebut adlaah metode baru ini memungkinkan untuk mendeteksi gen
toksin dan membedakan C. diphtheriae (termasuk spesies C. belfantii) dari spesies C.
ulcerans dan C. pseudotuberculosis dan telah divalidasi serta didukung penerapannya
dalam diagnosis biologis difteri. (1)
1. Badell E, Guillot S, Tulliez M, Pascal M, Panunzi LG, Rose S, et al. Improved
quadruplex real-time PCR assay for the diagnosis of diphtheria. J Med
Microbiol. 2019;68(10):1455–65.
2. Sunarno, Kambang Sariadji, Holly Arif Wibowo. Potensi Gen dtx dan dtxr
Sebagai Marker Untuk Deteksi Dan Pemeriksaan Toksigenisitas
Corynebacterium diphtheriae. Buletin Penelit Kesehat. 2013;41(1):1–10.
3. Sariadji K, Sunarno S. Toksigenitas Corynebacterium diphtheriae Pada Sampel
Kejadian Luar Biasa Difteri Tahun 2010 – 2015 Menggunakan Elektes. J
Kesehat Andalas. 2017;6(1):208.
4. De Zoysa A, Efstratiou A, Mann G, Harrison TG, Fry NK. Development,
validation and implementation of a quadruplex real-time PCR assay for
identification of potentially toxigenic corynebacteria. J Med Microbiol.
2016;65(12):1521–7.

Anda mungkin juga menyukai