David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen; Sejarah Teologi Misi Yang Mengubah dan
Berubah (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006. 849 hlm.
1
6. Era Oikumenis
Pada zaman kekristenan perdana, strategi misi berpindah dari pelayanan penginjilan
keliling karismatik/ pelayanan pembuat mukjizat dan penyembuh bergeser menjadi
pelayanan keteladanan dari orang-orang Kristen perdana. Jadi kehidupan orang-orang
Kristen perdana memiliki dimensi misioner yang mencolok sehingga keteladanan orang
Kristen, cinta kasih mereka, ketekunan, persekutuan dan kesukacitaan mereka merupakan
alat ampuh yang memikat banyak orang kepada Kristus.
Pada Periode Patristik, misi dilakukan oleh gereja dengan cara mewujudkan liturgy
ekaristi sebagai pancaran terang kasih dan penarik mereka yang masih dalam kegelapan
kepada gereja. Gereja dipahami sebagai tujuan misi dan bukan alat misi. Alat misi adalah
liturgy. Teks misi pada jaman ini adalah Yohanes 3 : 16.
Di Abad Pertengahan (600-1500M) keselamatan dipahami hanya ada di dalam gereja
(Katolik). Semua orang hanya dapat masuk ke surga bila ia menjadi warga gereja Katolik
sebelum ajal mereka. Gereja Kristus adalah satu kawanan dibawah satu gembala yang
agung. Oleh sebab itu ketika kaum Donatis mengkritisi gereja Katolik karena mulai duniawi,
Injil Lukas 14:23 “Paksalah mereka agar masuk” diberlakukan. Memaksa orang-orang untuk
menjadi Katolik kembali bukanlah penganiayaan tetapi sekedar disiplin kepada orang-
oreang yang tidak lagi Katolik. Dalam perkembangannya kemudian, teks Lukas 14:23
dikenakan juga untuk pertobatan paksa bagi orang-orang kafir dan Yahudi. Pada Abad
Pertengahan ini gereja telah menjadi organisasi yang besar dan berpengaruh. Ia beralih dari
sekte Yahudi menjadi penindas sekte-sekte.
Pada jaman Reformasi, pembenaran oleh iman menjadi titik tolak teologi. Ada jarak
tak terjembatani antara Allah dan manusia dan hanya karena kasih Allah semata (sola gratia)
Ia mengambil inisiatif mengampuni, membenarkan dan menyelamatkan manusia (Roma
1:16). Dengan mengedepankan pembenaran oleh iman, para Reformator menjadi kurang
gigih dalam melakukan misi (sepereti definisi misi yang dipahami teolog abad 19 yaitu
mencari jiwa-jiwa yang terhilang). Martin Luther percaya bahwa tanpa bantuan manusia
Allah mampu membuat seseorang percaya kepadaNya. Misi merupakan misi Allah dan
bukan misi manusia.
Pada awal jaman Pencerahan, rasionalitas telah menjadi raja. Semua hal diyakini
dapat dipecahkan dan dijelaskan secara ilmiah, termasuk agama. Segala yang tidak masuk
akal ditolak. Pada masa ini, gereja beralih dari pengutamaan penginjilan kepada
pengutamaan keterlibatan social seperti pendirian sekolah, rumah sakit-rumah sakit, klinik
dan panti asuhan menjadi trend misi Kristen. Dengan rasionalitas, sekularisme, humanisme
dan relativisme masuk ke gereja, hal ini mendorong banyak orang muda untuk bangkit dan
menggenggam erat “Amanat Agung” dari Matius 28:18-20. Teks ini menyemangati banyak
orang untuk kembali menginjili orang-orang yang belum mengenal Yesus.
Pada Era Oikumenis, Missio Dei dipahami sebagai misi Allah Bapa mengutus Yesus
Kristus, AnakNya ke dalam dunia. Sekaligus juga dipahami sebagai Allah Bapa dan Anak
mengutus Roh Kudus. Bahkan dalam perkembangannya, gagasan ini diperluas menjadi misi
Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus mengutus gereja ke dalam dunia. Pada Era Oikumenis
muncullah teologi-teologi kontekstual. Konteks budaya dihargai sedemikian rupa dan
masalah-masalah ketidakadilan menjadi titik tolak teologi. Teologi-teologi kontekstual
bertujuan agar injil dapat lebih berbicara dalam konteks masyarakatnya yang unik.
2
Dalam bagian akhir bukunya, David J. Bosch mengusulkan agar pemberian definisi
misi (yang masing-masing jaman memberikan definisinya sendiri) didasarkan pada “6
peristiwa keselamatan” utama dalam PB yaitu :
1. Penjelmaan Kristus.
Penjelmaan Kristus bukan sekedar berkisar pada asal usul Yesus tapi lebih
memperhatikan Yesus yang menjadi manusia dan menderita, tabah, setia, taat
danmenunjukkan belas kasihan kepada orang-orang marginal. Yesus bukan hanya
menawarkan keselamatan tapi juga menderita dan berdarah bersama-sama dengan para
korban penindasan.
2. Kematian Kristus
Yesus yang mati harus selalu dihubungkan dengan penyebab kematianNya. Yesus
mati karena karyaNya, pengajaranNYa dan perjuanganNya dalam menyelamatkan orang-
orang yang dikasihiNya.
3. Kebangkitan Kristus
Kebangkitan Yesus adalah kemenanganNya atas kuasa maut dan kehancuran.
Sehingga gereja milik Kristus harus hidup pada saat ini sebagai tanda kontradiksi atas kuasa
maut dan kehancuran.
4. Kenaikan Kristus ke Surga
Kenaikan Yesus adalah awal eskatologi yang sedang dimulai. Yesus telah
memerintah sebagai Raja sekarang. Pengikut Yesus seharusnya memberikan bukti /
mempresentasikan kehidupan yang penuh komitmen pada nilai-nilai kerajaan Allah.
5. Pencurahan Roh Kudus
Peristiwa Pentakosta adalah era di mana gereja diberi karunia keberanian oleh Roh
Kudus untuk bersaksi sehingga gereja hadirbukan untuk dirinya sendiri tetapi untuk dunia.
6. Parousia.
Kedatangan Yesus Kristus yang kedua kali memberikan semangat pengharapan bagi
gereja dalam menjalankan misinya.
Kesimpulan :
Buku ini memberikan informasi terlengkap dan terpadu tentang sejarah pekabaran
Injil di sepanjang sejarah gereja di seluruh dunia. Banyak pihak memandang buku ini
sebagai karya monumental sehingga buku ini menjadi textbook utama dalam kursus-kursus
misiologi yang diadakan dimana-mana termasuk sekolah-sekolah teologi terkenal diseluruh
dunia.
Bagi siapapun yang membacanya, buku ini akan memberi inspirasi dan motivasi
untuk masuk lebih jauh lagi, terlibat dalam misi Allah bagi dunia ini.