Anda di halaman 1dari 9

Upaya Pencegahan Tindak Tawuran Pelajar

Muhamad Syaeful Aziz

20416241038

Pendidikan IPS, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta

Email : muhamadsyaeful.2020@student.uny.ac.id.

Abstrak

Tawuran adalah suatu tindak kekekerasan yang merupakan sebuah kenakalan remaja,
penyimpangan pada remaja yang berupa perkelahian antar kelompok pelajar dan antar
sekolah yang disebabkan oleh beberapa faktor misalnya tradisi sekolah, dendam antar sekolah
dan lain-lain. Tindakan tawuran identik dengan kekerasan seperti perkelahian yang dilakukan
oleh suatu kelompok terhadap kelompok lain. Oleh karena itu perlu upaya terencana oleh
setiap lapisan masyarakat, sehingga tindak tawuran tersebut dapat diminimalisir. Penelitian
ini berusaha menganalisis upaya mencegah tindak tawuran antar pelajar. Data penulis
dapatkan melalui kajian pustaka, dengan memanfaatkan sumber-sumber yang relevan.
Kemudian diolah melalui pendekatan deskriptif kualitatif, sehingga didapatkan analisis yang
sesuai. Berdasarkan hasil analisis penulis, didapatkan bahwa penyelesaian secara preventif
terhadap tawuran antar siswa lebih banyak dilakukan melalui pengendalian sosial atau upaya
pengendalian untuk mencegah atau juga mengurangi hal-hal yang tidak diinginkan. Tindakan
preventif ini dilakukan oleh orang-orang, baik secara individu maupun kelompok, dalam
rangka melindungi diri dari hal-hal buruk yang mungkin terjadi.

A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Tawuran adalah suatu tindak kekekerasan yang merupakan sebuah
kenakalan remaja, penyimpangan pada remaja yang berupa perkelahian antar
kelompok pelajar dan antar sekolah yang disebabkan oleh beberapa faktor
misalnya tradisi sekolah, dendam antar sekolah dan lain-lain (Delvira,2021).
Tindak kenakalan tawuran pelajar semakin meningkat dengan terbentuknya
gang-gang di sekolah. Perkelahian antar siswa ini umumnya hanya disebabkan
masalah sepele, seperti dendam akibat saling ejek bahkan hanya sekadar
permasalahan memperebutkan wanita. Kondisi psikologi dan emosi siswa
yang cenderung masih labil membuat mereka makin tertantang melakukan
tindak penyimpangan. Mereka tidak tidak merasa bahwa tindak tawuran
tersebut sebagai bentuk tindakan amoral, sebaliknya mereka merasa bangga
bisa melakukan tindakan tersebut karena mereka yakin dengan tindakan
tersebut sebagai bentuk kepahlawanan dalam kelompok mereka. Seorang
siswa yang dibekali ilmu semestinya tidak melakukan tindakan penyimpangan
yang justru akan merugikan bagi diri mereka sendiri.

Tindakan tawuran identik dengan kekerasan seperti perkelahian yang


dilakukan oleh suatu kelompok terhadap kelompok lain. Di Indonesia sendiri
tawuran antar pelajar pasti terjadi tiap tahunnya, tindakan kekerasan ini tidak
hanya menyebabkan kerusakan sarana dan prasarana ditempat kejadian,
namun juga menimbulkan korban jiwa. Tak elak terkadang terdapat siswa
yang harus kehilangan nyawa akibat tawuran tersebut. Seperti yang dilansir
dalam Tempo.com pada Januari 2022, seorang pelajar tewas akibat tawuran
pelajar di Tangerang, Banten.

Kejadian ini perlu menjadi perhatian bersama, baik itu masyarakat,


sekolah, maupun keluarga . Sehingga, kejadian serupa tidak terulang kembali.
Dewasa ini perkembangan teknologi juga menjadi faktor remaja bertindak
anarkis, kurangnya pengawasan orang tua menjadikan anak salah dalam
memilih informasi dan bergaul. Akibatnya, banyak anak-anak yang malah
terjerumus dalam tindak kriminal. Sekolah sebagai agen pembentuk karakter
bangsa yang beradab juga seolah diam, mereka hanya menganggap bahwa
tugas mereka hanya sekadar agen pengetahuan. Sehingga, anak-anak didiknya
kurang terpantau dalam pembentukan karakter mereka. Thomas Lickona,
mengemukakan bahwa maraknya tindak kekerasan, salah satunya adalah kasus
tawuran di kalangan pelajar Indonesia, merupakan salah satu indikator menuju
kehancuran sebuah bangsa. Oleh karena itu perlu upaya terencana oleh setiap
lapisan masyarakat, sehingga tindak tawuran tersebut dapat diminimalisir.
2. Metode Penelitian
a) Metode pengumpulan data
Metode pengumpulan data adalah tahap penelitian. Penulis
membutuhkan data yang faktual,sehingga penelitian dapat berjalan
sesuai perumusan masalah yang sudah ditentukan. Penulis
menggunakan metode pengumpulan data yaitu studi pustaka.
Menurut Umi Nariwati, studi pustaka merupakan kegiatan menelaah
dan mengkaji catatan/ laporan serta dokumen-dokumen yang relevan
dengan masalah yang diteliti. Melalui teknik pengumpulan data ini,
penulis menggunakan berbagai sumber literatur yang relevan, seperti
jurnal ilmiah, artikel, buku, serta bahan pustaka lainnya.
b) Pendekatan Penelitian
Ditinjau dari jenis datanya, penelitian ini menggunakan pendekatan
penelitian kualitatif. Peneltian kualitatif sendiri ialah suatu penelitian
yang berusaha mempelajari suatu fenomena yang dialami subjek
secara holistik, dan penyampaiannya secara deskriptif melalui kata-
kata dan bahasa, pada satu konteks khusus alamiah dengan
menggunakan metode penelitian ilmiah (Moleong, 2007;6) Jenis
penelitian deskripstif kualitatif ini digunakan untuk memperoleh
informasi mengenai upaya pencehagan tindak tawuran pelajar secara
mendalam dan komprehensif.
B. Pembahasan
1. Tawuran Pelajar
Tawuran identik dengan suatu tindakan perkelahian atau tindak kekerasan
yang
dilakukan oleh kelompok atau suatu rumpun masyarakat. Di indonesia sendiri
kegiatan tawuran antarpelajar hampir terjadi setiap tahunnya, yang mana
tindakan tersebut bukan hanya menimbulkan kerusakan sarana dan prasarana
umum, namun juga menimbulkan korban luka hingga korban jiwa.

Aprilia dan Herdina (2014) menyebutkan 2 faktor yang mempengaruhi


terjadinya tawuran, terdapat faktor internal
dan faktor eksternal,  yaitu:
a) Faktor internal. Faktor internal mencangkup realisasi frustasi negatif,
gangguan pengamatan dan tanggapan pada diri remaja, dan gagguan
emosional/perasaan pada diri remaja.
b) Faktor ekternal. Selain faktor internal, yang dapat menyebabkan tawuran
juga ada beberapa faktor dari luar (eksternal), yaitu: lingkungan keluarga,
pertemanan, masyarakat, dan lingkungan sekolah yang tidak
menguntungkan.
Musofa (1998) mengolongkan jenis-jenis tawuran, diantaranya:
a) Tawuran pelajar antar dua kelompok pelajar dari sekolah yang berbeda
yang
memiliki rasa benci secara turun-temurun/ bersifat tradisional.
b) Tawuran pelajar antar dua kelompok pelajar. Satu kelompok berasal dari
sekolah sedangkan yang lainya berasal dari suatu perguruan yang di
dalamnya tergabung beberapa jenis sekolah.
c) Tawuran pelajar antar dua kelompok pelajar dari sekolah yang berbeda
yang bersifat insidential (waktu tertentu). Pemicu Perkelahian jenis ini
biasanya dikarenakan situasi dan kondisi tertentu. Misalnya satu kelompok
pelajar yang sedang menaiki bus secara kebetulan berpapasan dengan
kelompok pelajar yang lain selanjutnya terjadi saling ejek–ejekan sampai
terjadi tawuran.
2. Faktor tawuran dalam sudut pandang psikologis
Dalam pandangan psikologi, setiap perilaku merupakan interaksi
antara kecenderungan dalam diri individu dan kondisi eksternal. Begitu pula
dalam hal tawuran pelajar. Setiawan(2015) menjabarkan, terdapat sedikitnya 4
faktor psikologis mengapa seorang remaja terlibat perkelahian pelajar, yaitu:
a) Faktor internal.
Remaja yang suka berkelahi cenderung kurang mampu beradaptasi
dengan situasi lingkungan yang kompleks. kompleks, artinya di sini
terdapat keragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi dan segala
rangsangan dari lingkungan yang terus berubah dan banyak. Situasi
ini biasanya menempatkan semua orang di bawah tekanan. Tetapi
dengan remaja yang berkelahi, mereka kurang mampu mengatasi,
apalagi memanfaatkan situasi untuk pengembangan diri. Mereka
biasanya mudah putus asa, lari dari masalah, menyalahkan
orang/pihak orang lain untuk setiap masalah dan memilih cara
terpendek untuk memecahkan masalah. Remaja yang sering
berkelahi ternyata mengalami konflik internal, mudah frustrasi,
emosional tidak stabil, tidak peka terhadap perasaan orang lain dan
rasa rendah diri yang kuat. Mereka biasanya sangat membutuhkan
pengakuan.
b) Faktor keluarga.
Kekerasan keluarga (baik antara orang tua atau anak-anak mereka)
memiliki dampak yang jelas pada anak-anak. Anak-anak, yang
tumbuh pada masa remaja, juga belajar menggunakan kekerasan. Di
sisi lain, orang tua yang terlalu protektif terhadap anaknya saat
remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak
berani mengembangkan identitas uniknya. Begitu dia bergabung
dengan teman-temannya, dia akan sepenuhnya menyerah pada
kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dia bangun.
Pengasuhan yang sangat otoriter atau terlalu otoriter, antagonisme,
penolakan, dan komunikasi yang buruk di rumah dikaitkan dengan
ketertarikan teman sebaya remaja karena mereka terkait dengan
harga diri negatif remaja dan penyesuaian emosional yang tidak
memadai.

c) Faktor sekolah.
Pertama, sekolah tidak dilihat sebagai institusi yang harus mendidik
siswanya menjadi sesuatu. Tetapi sekolah harus dinilai dari kualitas
pendidikannya. Akibatnya, lingkungan sekolah yang tidak
mendorong siswa untuk belajar (misalnya, suasana kelas yang
monoton, aturan mengajar yang tidak penting, kurangnya fasilitas
praktis, dll) akan membuat siswa lebih memilih kegiatan
ekstrakurikuler dengan teman-temannya. Baru kemudian pendidikan
muncul untuk diskusi, di mana guru jelas memainkan peran yang
paling penting. Sayangnya, guru lebih banyak berperan sebagai
penghukum dan penegak aturan, tetapi juga sebagai sosok otoriter
yang justru menggunakan kekerasan (meskipun dalam bentuk yang
berbeda) dalam pendidikan anak didiknya.

d) Faktor lingkungan.
Lingkungan antara rumah dan sekolah yang dialami remaja sehari-
hari juga mempengaruhi perkembangan pertengkaran. Misalnya,
lingkungan rumah yang sempit dan sunyi serta tetangga yang
berperilaku buruk (misalnya narkoba, program televisi kekerasan
yang ditonton hampir setiap hari). Begitu juga dengan sarana
transportasi umum yang kerap menghitung pelajar. Juga lingkungan
kota yang penuh kekerasan seperti yang kita lihat dalam pertunjukan
bus, penyergapan, patroli dll. Semua ini dapat merangsang remaja
untuk belajar sesuatu dari lingkungan mereka dan kemudian
mengembangkan respons emosional yang mendukung tampilan
perilaku agresif. Apalagi untuk tindakan antisosial dan kekerasan
seperti yang sering muncul di TV. Misalnya: film full action, WCW,
UFC, PFC, Death Math atau yang lebih realistis seperti: Buser, Patrol
atau TKP. Semua ini, secara sadar atau tidak sadar, dapat mengarah
pada kekerasan terhadap kaum muda. Solidaritas kelompok tinggi
antar siswa SMA terjadi tidak hanya ketika mereka senang, tetapi
juga ketika mereka sedih, ada ancaman, kesulitan, dll.
3. Dampak
Siswa belajar bahwa kekerasan adalah cara paling efektif untuk memecahkan
masalah ini, sehingga mereka memutuskan untuk melakukan yang terbaik
untuk mencapai tujuan mereka. Pertengkaran pelajar atau tawuran pelajar jelas
tidak menguntungkan banyak pihak. Setidaknya ada empat kategori efek
negatif
bentrokan siswa.
a) Siswa dan keluarganya yang sering berkelahi mengalami dampak
negatif pertama ketika mereka terluka, cacat permanen, atau
bahkan terbunuh.
b) Kerusakan di fasilitas umum seperti taman kota, trotoar, bus,
terminal dan fasilitas lainnya, serta kerusakan fasilitas pribadi
seperti kendaraan.
c) Terganggunya proses pembelajaran di sekolah.
d) Menurunkan nilai-nilai toleransi, kedamaian, dan nilai-nilai
kehidupan orang lain pada siswa. Yang terakhir ini memiliki
konsekuensi jangka panjang bagi kelangsungan hidup masyarakat
Indonesia.
e) Penurunan moral siswa. Secara fisik, perkelahian dapat
menyebabkan kematian siswa dan cedera serius. Cedera serius
pada kendaraan dan jendela di gedung atau rumah yang dilapisi
batu. Di aspek mental, pertengkaran bisa membuat trauma siswa,
merusak pola pikir generasi muda dan menurunkan kualitas
pendidikan di Indonesia.
4. Upaya
Penyelesaian secara preventif terhadap tawuran antar siswa lebih
banyak dilakukan melalui pengendalian sosial atau upaya pengendalian untuk
mencegah atau juga mengurangi hal-hal yang tidak diinginkan. Tindakan
preventif ini dilakukan oleh orang-orang, baik secara individu maupun
kelompok, dalam rangka melindungi diri dari hal-hal buruk yang mungkin
terjadi. Upaya preventif ini jika dilakukan dengan baik dan benar memiliki
prediksi keberhasilan yang sangat baik karena merupakan upaya yang bersifat
preventif sebelum terjadi ketidaksesuaian (Ibeng, 2019). Menyelesaikan
pertengkaran sekolah secara preventif dengan melakukan kegiatan atau praktik
untuk mencegah keterlibatan siswa dalam pertengkaran masing-masing
dengan cara bergantian jam pulang dan sekolah dengan sekolah lain terutama
dengan sekolah terdekat agar tidak terjadi benturan. Ada pendampingan atau
panggilan yang dilakukan guru kepada siswa sepulang sekolah atau sepulang
sekolah agar siswa langsung pulang, pengajian dilaksanakan setiap hari Jumat
sepulang sekolah (Aswari dan Salle, 2018).
Upaya preventif lain untuk menghindari tawuran antar siswa adalah
kebijakan sekolah yang bertujuan untuk memaksimalkan jumlah pelajaran,
kegiatan non-akademik terkait siswa, menjaga disiplin guru, dan kolaborasi
guru-orang tua (Rahmat, Budi, & Fitriani, 2018). Upaya pelibatan pemangku
kepentingan sekolah dan keluarga merupakan salah satu bentuk koordinasi
yang dapat mencegah terjadinya perselisihan. Selain itu, pendekatan
psikologis dapat menjadi alternatif pencegahan konflik (Setiawan, 2015).
Dalam konteks ini, peran guru BK menjadi penting dalam mendampingi
siswa. Berkelahi harus dipahami secara psikologis, yaitu perilaku yang tidak
terpuji, yang berakar pada pemahaman bahwa tidak ada sisi positif dari
berkelahi. Untuk itu, sekolah harus membekali siswa dengan pendidikan moral
dan etika (Gultom, 2016).
Selain itu, sekolah berinisiatif, terutama yang melibatkan guru, untuk
menyediakan bentuk-bentuk kegiatan dan pendidikan yang menjawab
kebutuhan anak muda masa kini dan keterkaitannya dengan pengembangan
bakat dan potensi anak muda. Selain orang tua dan sekolah, polisi juga
memiliki peran penting dalam menyelesaikan konflik siswa. Pengawasan dan
peran guru KB dalam mengatasi konflik siswa Peran guru KB (Bimbingan
Konsultasi) harus diaktifkan dalam rangka pembinaan mental siswa,
membantu mencarikan solusi bagi siswa bermasalah, sehingga permasalahan
siswa dalam masa lalu bisa. dihindari. Guru, orang tua dan masyarakat tentu
tidak bisa selalu hadir terus memantau atau membimbing kaum muda.
C. Kesimpulan
Tawuran adalah suatu tindak kekekerasan yang merupakan sebuah kenakalan
remaja, penyimpangan pada remaja yang berupa perkelahian antar kelompok pelajar
dan antar sekolah yang disebabkan oleh beberapa faktor misalnya tradisi sekolah,
dendam antar sekolah dan lain-lain. Tindakan tawuran identik dengan kekerasan
seperti perkelahian yang dilakukan oleh suatu kelompok terhadap kelompok lain.
Oleh karena itu perlu upaya terencana oleh setiap lapisan masyarakat, sehingga tindak
tawuran tersebut dapat diminimalisir. Penyelesaian secara preventif terhadap tawuran
antar siswa lebih banyak dilakukan melalui pengendalian sosial atau upaya
pengendalian untuk mencegah atau juga mengurangi hal-hal yang tidak diinginkan.
Tindakan preventif ini dilakukan oleh orang-orang, baik secara individu maupun
kelompok, dalam rangka melindungi diri dari hal-hal buruk yang mungkin terjadi.

D. Daftar Pustaka
Delvira, Nesya., Achmad Husen., Asep Rudi Casmana. 2021. Penyelesaian Tawuran
Pelajar di Tingkat Sekolah Menengah Kejuruan. Jurnal penelitian ilmu humaniora,
1(1), p.14-20.

Clara Maria Tjandra Dewi H. 2022. Satu Tewas dalam Tawuran Pelajar di
Tangerang, Dua Siswa SMK Ditangkap Polisi.
https://www.google.com/amp/s/metro.tempo.co/amp/1550122/satu-tewas-dalam-
tawuran-pelajar-di-tangerang-dua-siswa-smk-ditangkap-polisi. Diakses pada 17 Maret
2022.

Thomas Lickona, Educating for Character, How Our Schools Can Teach Respect and
Responsibility, (New York: Bantam Books, 1992), hlm. 14
M. Mustofa, “Perkelahian Massal Pelajar Antar Sekolah di DKI Jakarta Studi Kasus
Berganda, Rekonstruksi Berdasarkan Paradigma Konstruksivisme, Depok, 1998: UI.

Nuri Aprilia dan Herdina Indrijati, “Hubungan antara Kecerdasan Emosi dengan
Perilaku Tawuran pada Remaja Laki-laki yang Pernah Terlibat Tawuran di SMK 'B'
Jakarta”, Dalam Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan . Vol. 3 No.01.
Tahun 2014.

Setiawan, Eko. 2015. Peran guru bimbingan konseling dalam mengatasi tawuran
pelajar. Jurnal Psikologi Islam. Vol. 12. No. 2. Tahun 2015

Aswari, A., & Salle. (2018). Serangkai Potensi Aksi Tawuran Antar Siswa. Prosiding
Seminar Nasional Pendidikan.

Gultom, A. F. (2016). Iman dengan akal dan etika menurut Thomas Aquinas. JPAK:
Jurnal Pendidikan Agama Katolik, 16(8), 44-54.

Ibeng, P. (2019). Pengertian Preventif dan Represif, Contoh, Beserta Tujuan:


https://pendidikan.co.id/preventif-dan- represif/#forward

Rahmat, Budi; Fitriati. (2019). Kajian Kriminologi Terhadap Tawuran yang Bepotensi
Tindak Pidana Oleh Pelajar di Kota Padang. Unes Law Review, 2(1).

Setiawan, E. (2015). Peran Guru Bimbingan Konseling dalam MengatasiTawuran


Pelajar. Jurnal
Psikoislamika, 12(2).

Anda mungkin juga menyukai