Anda di halaman 1dari 62

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/317488602

Peroksidase Daun Tomat dan Aplikasinya untuk Antibakteri

Book · December 2016

CITATIONS READS

0 4,497

1 author:

Ahmad Nimatullah Al-Baarri


Universitas Diponegoro
115 PUBLICATIONS   177 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Undip Untidar Project View project

Departemen Pertanian FPP Undip View project

All content following this page was uploaded by Ahmad Nimatullah Al-Baarri on 10 June 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


ISBN 978-602-71169-8-6

1
PEROKSIDASE DAUN TOMAT DAN APLIKASINYA UNTUK
ANTIBAKTERI
© Penerbit Indonesian Food Technologists

Desain Sampul: Irene Raras Nawangsasi


Cetakan Pertama, Desember 2016

Tim Editor

Disusun Oleh:
Ketua Tim Editor:
Ahmad Ni’matullah Al-Baarri

Anggota Tim Editor:


Anang Mohamad Legowo
Risa Fazriyati Siregar
Tri Utami
Cornel Wahyu Candra Adi
Adrian Rachmantyo
Fauzan Lanang Pradhana

Diterbitkan oleh penerbit Indonesian Food Technologists


Gedung Laboratorium Terpadu Lantai 3
Jl. Prof. Soedarto, Tembalang, Semarang
Telp. (024) 40123123, (024) 40040080
E-mail: redaksi@ift.or.id

ISBN: 978-602-71169-8-6

Hak cipta dilindungi Undang-undang. Dilarang mengutip atau


memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku, tanpa izin tertulis tertulis dari
penulis & penerbit.

Percetakan Indonesian Food Technologists.


Isi diluar tanggung jawab percetakan.

ii

KATA PENGANTAR

Tomat merupakan produk pertanian unggulan Indonesia


yang produksinya hampir mencapai 1 juta ton per tahun, setara
dengan produksi bawang merah. Berbeda dengan produk
unggulan lain, buah tomat ini menghasilkan agricultural waste
product berupa daun tomat yang mencapai lebih dari 200 ribu
ton per tahun yang selalu dibuang begitu saja. Hingga saat ini
belum ada upaya pemanfaatannya.
Buku ini menjelaskan tentang teknik pengambilan
peroksidase dari daun tomat dengan menggunakan prinsip ion
exchange chromatography dan pengaplikasian peroksidase
sebagai agen antibakteri dan antifungal. Buku ini menjelaskan
cara memfraksinasi peroksidase dengan menggunakan dua
macam resin, cara analisis perkiraan protein dari fraksi-fraksi
yang diperoleh, cara menganalisis kemurniannya, serta cara
aplikasinya sebagai bahan antibakteri dan antifungal. Buku ini
sangat diperlukan sebagai tambahan informasi bagi peneliti di
bidang enzim dan aplikasiannya. Penjelasan dalam buku ini
disertai dengan gambar dan tabel yang dapat memberikan
gambaran yang lebih jelas kepada pembaca.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada para asisten tim
penelitian dan teknisi laboratorium yang telah membantu untuk
mendapatkan data dan penjelasan tambahan dalam buku ini.
Penulis menyadari buku ini masih memiliki kekurangan
baik dari pengolahan kata dan bahasa, materi, dan
penyusunannya, sehingga saran, kritik dan koreksi sangat
dibutuhkan oleh penulis untuk menjadikan buku ini lebih baik.
Akhirnya penulis berharap agar buku ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak.

Semarang, Desember 2016


Penulis

iii

DAFTAR ISI

Hal.

KATA PENGANTAR .................................................................... iii


DAFTAR ISI ................................................................................... iv
PEROKSIDASE DALAM BIDANG PENELITIAN DAN
INDUSTRI ....................................................................................... 1
Peroksidase ................................................................................... 2
Tanaman Tomat ............................................................................ 4
Purifikasi Pertukaran Ion ............................................................... 5
Pengambilan dan pengujian peroksidase dengan menggunakan
resin SP-Sepharose Fast Flow dan DEAE Sepharose ...................... 6
PENETAPAN INHIBITORY ACTIVITY PEROKSIDASE DARI
EKSTRAK DAUN TOMAT OLEH GULA D-PSIKOSA DAN L-
PSIKOSA ....................................................................................... 14
D-psikosa dan L-psikosa .............................................................. 14
Kinetika Enzim ............................................................................. 16
Pengujian Aktivitas Enzim dengan Inhibitor D-psikosa dan L-
psikosa dan Perhitungan Kinetika Enzim Dari Ekstraksi Daun
Tomat .......................................................................................... 18
Perhitungan Kinetika Enzim ........................................................ 19
Jumlah Substrat Ekstrak Daun Tomat yang terkonversi Menjadi
Produk ......................................................................................... 20
Kurva Michaelis-Menten dan Kurva Lineweaver-Burk plot Enzim
Peroksidase Daun Tomat dengan Inhibitor Gula D-psikosa dan L-
Psikosa ......................................................................................... 20
PENGOPTIMALAN H2O2 DAN KIO3 SEBAGAI AKTIVITAS
PEROKSIDASE DAUN TOMAT DALAM MENGHASILKAN
SENYAWA HYPOIODOUS ACID (HIO) ................................... 27

iv

Peroksidase Sistem (POS) ............................................................ 27
Pengukuran Residu H2O2 Peroksidase Dari Ekstraksi Daun Tomat
..................................................................................................... 31
Hasil Pengukuran Residu H2O2 Peroksidase dari Ekstrak Daun
Tomat .......................................................................................... 32
EFEK HYPOIODOUS DARI EKSTRAK DAUN TOMAT
TERHADAP AKTIVITAS BAKTERI Escherichia coli ............ 38
Escherichia coli ............................................................................ 38
Metode Pembiakan E. coli dan Aplikasi Aktivitas Antimikroba ... 40
Aktivitas Antibakteri Hypoiodous Terhadap E. Coli ..................... 42
EFEK SENYAWA ANTIMIKROBIA HYPOIODOUS (HIO)
DARI SISTEM PEROKSIDASE DAUN TOMAT TERHADAP
Saccharomycaes cerevisiae ............................................................ 46
Saccharomyces cerevisiae ........................................................... 46
Metode Peremajaan dan Aplikasi HIO pada Jamur Saccharomyces
cerevisiae ..................................................................................... 47
Aplikasi HIO pada Jamur Saccharomyces cerevisiae ................... 48
DAFTAR PUSTAKA .................................................................... 50
INDEKS ISTILAH ........................................................................ 55

PEROKSIDASE DALAM BIDANG PENELITIAN DAN


INDUSTRI

Enzim peroksidase merupakan enzim yang unik karena


memilik banyak varian dan terdapat pada banyak sumber, mulai
dari tanaman, hewan, maupun dalam tubuh manusia. Selain itu,
enzim ini dapat mengaktivasi pembentukan produk baru yang
sangat berperan dalam sistem pertahanan terhadap bakteri dan
jamur pada metabolisme hidup. Namun demikian, dalam
menghasilkan produk, enzim ini harus melibatkan dua substrat
dan tanpa kehadiran salah satu substrat maka enzim ini tidak
akan berfungsi sebagai katalisator untuk menghasilkan produk
antibakteri tersebut.
Peroksidase merupakan senyawa protein yang dapat
mengkatalisis reaksi kimia dalam sistem biologis makhluk
hidup secara aman tanpa merusak sel atau merusak metabolisme
yang ada. Oleh karena fungsinya, maka peroksidase dapat
dimanfaatkan sebagai pengawet dalam bidang pangan. Enzim
peroksidase ini telah terbukti dapat memperpanjang masa
simpan bahan pangan seperti susu, keju, kaldu, daging, ikan,
serta mampu meningkatkan kandungan antioksidan pada teh.
Penelitian mengenai pemanfaatan enzim peroksidase telah
digunakan dalam berbagai bidang baik industri, kesehatan, dan
maupun pangan. Aplikasi di bidang industri telah berhasil
memanfaatkan enzim peroksidase untuk mereduksi air limbah
dari senyawa fenolik, mensintesis senyawa aromatik dan
mengurangi peroksida dari limbah industri. Aplikasi analitis
bidang kesehatan digunakan untuk kuantifikasi asam urat,
glukosa dan kolesterol. Dalam bidang nano industri, enzim ini
mampu digunakan sebagai detektor senyawa dalam ukuran
nano.

1

Peroksidase

Enzim peroksidase merupakan salah enzim yang termasuk


ke dalam kelas enzim oksidoreduktase yaitu enzim yang mampu
mengkatalisis reaksi oksidasi atau reduksi suatu bahan.
Golongan oksidoreduktase dibagi lagi menjadi 2 sub golongan
yaitu enzim oksidase dan dehydrogenase dan peroksidase
termasuk enzim oksidase yaitu enzim yang dapat mengkatalisis
reaksi antara substrat dengan molekul oksigen. Enzim ini
mengkatalisis transfer atom H, atom O atau elektron dari satu
substrat ke lainnya.

AH2 A + 2e- + 2H+


H2O2 + 2e- + 2H+ 2H2O
H2O2 + AH2 2H2O + A

Ilustrasi 1. Peroksidase termasuk golongan enzim oksidoreduktase


ditunjukkan sebagai AH2.

OH
Enzim + H2O2 Enzim --- H2O2 Enzim
OH
OH
Enzim + AH2 Enzim + A +2H2O
OH

Ilustrasi 2. Mekanisme kerja enzim peroksidase.

Peroksidase juga merupakan protein yang mengandung


“heme” yang dapat mengkatalisis reaksi oksidasi dari berbagai
senyawa organik ataupun senyawa anorganik dengan adanya
H2O2 sebagai aseptor elektron dan juga memiliki sifat spesifik
(spesifitas enzim) yaitu kemampuan suatu enzim untuk
membedakan substratnya berdasarkan perbedaan afinitas (Km)
substrat-substratnya untuk dapat mengaktifkan enzim. Substrat
dari enzim peroksidase adalah hidrogen peroksida (H2O2).
Peroksidase mengkatalis hidrogen peroksida menjadi H2O dan
O-. Penelitian Al-Baarri et al., (2015) menunjukkan bahwa
2

peroksidase jika dikombinasikan dengan H2O2 dan SCN- akan
menghasilkan senyawa Hypothiocyanite (OSCN-). Senyawa ini
dapat digunakan sebagai antimikroba alami yang dapat
digunakan sebagai pengawet bahan pangan.
Enzim peroksidase umumnya berada dalam sel hewan
maupun tanaman. Pada tanaman, dapat ditemukan pada kedelai,
kentang, tomat, wortel, pisang, strawberry, dan lain-lain.
Peroksidase pada tumbuhan mengandung dua ion kalsium
(Ca2+) yang sangat penting untuk stabilitas struktural dan
stabilitas termal dari enzim agar sama seperti aktivasi in vitro
ketika analisis. Peroksidase dalam tanaman memiliki
karakteristik yang sangat unik. Di antaranya karena aktivitas
peroksidase akan meningkat jika suatu tanaman mengalami
perlakuan yang mengakibatkan stress. Beberapa hal yang dapat
mengakibatkan stress pada tanaman di antaranya adalah
senyawa beracun, kerusakan mekanik dan organisme parasit.
Namun tidak berarti jika suatu tanaman diberi banyak (lebih dari
satu) perlakuan yang mengakibatkan stress akan meningkatkan
aktivitas peroksidase. Hal tersebut telah dibuktikan oleh
penelitian Miteva et al. (2005) yang mengatakan bahwa
perlakuan kombinasi dengan memberikan virus Cucumbar
mosaic virus dan senyawa beracun arsenik pada tanaman tomat,
tidak menghasilkan aktivitas peroksidase yang lebih tinggi
dibanding satu perlakuan saja.
Enzim peroksidase juga memiliki peranan dalam proses
lignifikasi, cross linking struktur protein pada dinding sel,
katabolisme auksin, dan pertahanan diri terhadap patogen. Hal
ini dikarenakan peroksidase berperan sebagai katalisator dalam
reaksi yang menghasilkan senyawa antibakteri. Enzim
laktoperoksidase bersama dengan thiocyanate (SCN-) akan
menghasilkan OSCN- yang bersifat antimikroba. Hal itu dapat
terjadi karena OSCN- mengoksidasi sulfidril dari protein
essensial mikroorganisme. Setelah proses oksidasi tersebut akan
terjadi perubahan fungsi sel mikroorganisme. Perubahan fungsi

3

sel itulah yang menghambat pertumbuhan atau bahkan dapat
mematikan mikroorganisme.

Tanaman Tomat

Tomat (Lycopersicon esculentum Mill) merupakan


tanaman yang tumbuh di Amerika Tengah, Amerika Selatan,
Eropa dan Asia dan sebagian sentra penanaman tomat berada di
daerah dengan kisaran ketinggian 1.000-1.250 meter di atas
permukaan laut. Daun tomat memiliki ciri-ciri berbentuk oval
dengan panjang 20-30 cm. Tepi daun bergerigi dan membentuk
celah-celah yang menyirip. Di antara daun-daun yang menyirip
besar terdapat sirip kecil dan ada pula yang bersirip besar lagi.
Umumnya, daun tomat tumbuh di dekat ujung dahan atau
cabang yang memiliki warna hijau, dan berbulu.

Ilustrasi 3. Daun Tomat

Menurut klasifikasi tomat secara taksonomi adalah:


Kingdom = Plantae
Divisi = Spermatophyta
Subdivisi = Angiospermae
Klas = Dicotylodenae
Ordo = Tubiflorae
Sub ordo = Myrtales
Famili =Solanaceae
Genus = Lycopersium
Spesies = Lycopersicon esculentum Mill
Tomat juga merupakan salah satu buah yang kaya akan
kandungan mineral. Beberapa kandungan mineral yang terdapat

4

di dalam tomat di antaranya adalah nitrogen, potasium,
phosphorus, kalsium, magnesium, zink, dan lainnya. Selain kaya
akan mineral, tomat juga mengandung peroksidase. Peroksida
pada daun tanaman biasanya terdapat di bagian tonoplas dan
membran plasma, di dalam dan di luar dinding sel.
Pengembangan terakhir, daun tomat digunakan sebagai
pestisida pada tanaman karena mengandung senyawa fungisida
yang mampu mengatasi serangan jamur pada tanaman. Selain
mengandung senyawa fungisida, daun tomat juga mengandung
enzim peroksidase dan hidrogen peroksida (H2O2), dimana
senyawa tersebut dapat diubah menjadi hipotiosianat (OSCN-)
yang mempunyai aktivitas antimikrobia. Penelitian Al-Baarri et
al., (2015) menyatakan bahwa senyawa antimikroba (OSCN-)
dari enzim peroksidase susu, yang disebut Lactose Peroxide
System mampu dengan efektif melawan mikroorganisme yang
ditemukan dalam jus sayuran. Peroksidase dalam tomat bisa
diperoleh dari buah, daun dan jaringan batang. Tetapi meskipun
demikian, peroksidase yang terdapat pada daun tomat bersifat
mudah hilang. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
banyaknya peroksidase pada daun tomat, diantaranya adalah
umur daun, kondisi daun dan cara penanganan daun setelah
diambil.

Purifikasi Pertukaran Ion

Purifikasi pertukaran ion (ion excange chormatography)


merupakan suatu metode pemisahan kuantitatif yang dinilai
efektif karena dapat memisahkan komponen yang sangat
spesifik. Resin merupakan zat yang dapat digunakan sebagai
agen penukar ion yang merupakan polimer berbobot molekul
tinggi yang terangkai silang dan mengandung gugus-gugus
sulfonat, karboksilat, fenolat. Kromatografi pertukaran ion
terdiri dari kromatografi pertukaran kation dan anion.
Kromatografi pertukaran kation yaitu molekul bermuatan positif
tertarik terhadap resin yang bermuatan negatif dan sebaliknya

5

kromatografi pertukaraan anion yaitu molekul bermuatan
negatif tertarik terhadap resin yang bermuatan positif.
Pengikatan protein dengan metode ini dijelaskan sebagai
berikut: jika protein memiliki muatan negatif maka dapat
ditukarkan dengan ion klorida, demikian pula jika protein
memiliki muatan positif, maka dapat ditukakan dengan ion
natrium. Cara kerja pengikatan protein yang memiliki muatan
negatif adalah gugus fungsional pada resin yang bermuatan
negatif mengikat ion yang terkandung di dalam buffer (Misal
Na+). Selanjutnya pada saat sampel dimasukkan dalam kolom,
maka protein yang bermuatan positif akan menggantikan ion
Na+ sehingga hanya protein yang bermuatan positif yang dapat
terikat dan protein yang bermuatan negatif atau netral tidak akan
terikat. Protein yang tidak terikat dibilas dengan menggunakan
larutan buffer. Proses selanjutnya adalah melepaskan ikatan
protein yang terikat gugus fungsional resin dengan cara
membilas kolom menggunakan buffer yang mengandung NaCl
atau KCl dengan konsentrasi yang lebih tinggi dari yang
sebelumnya digunakan. Pembilasan tersebut dilakukan dengan
meningkatkan konsentrasi NaCl atau KCl secara linier atau
bertahap sehingga protein yang memiliki ikatan lemah dengan
matrik akan terlepas terlebih dahulu dan diikuti oleh protein
yang memiliki ikatan lebih kuat.

Pengambilan dan pengujian peroksidase dengan


menggunakan resin SP-Sepharose Fast Flow dan DEAE
Sepharose

Pengambilan peroksidase dilakukan dalam tiga tahap yang


saling berkaitan yaitu tahap pertama ekstraksi daun tomat yang
menghasilkan komponen supernatan dari hasil ekstraksi, selanjutnya
hasil supernata digunakan untuk proses tahap kedua, yaitu pengaliran
supernatan ke dalam kolom kromatografi yang telah berisi SP-
Sepharose Fast Flow dan DEAE Sepharose dan tahap ketiga yaitu
pengamatan kualitas peroksidase yaitu kadar protein dengan
menggunakan alat spektofotometer UV – VIS dengan panjang

6

gelombang 280 nm, aktivitas enzim peroksidase dengan metode
ABTS, dan analisis profil protein denagn menggunakan metode SDS
– PAGE.

Tabel 1. Materi dan metode proses ekstraksi untuk mengambil peroksidse


daun tomat
Jenis Sepharose
Parameter SP Sepharose Fast DEAE
Flow Sepharose
Jumlah daun tomat (gram) 400 400
Jumlah ammonium sulfat 300 300
(ml)
Lama sentrifugasi (menit) 20 20
Kecepatan sentrifugasi (rpm) 6000 6000
Jumlah resin yang digunakan 60 60
(gram)
Suhu saat pelaksanaan (˚C) 4 4

Purifikasi peroksidase daun tomat menggunakan dua


macam resin, yaitu jenis DEAE dan SP-Sepharose yang
keduanya merupakan resin dengan kategori ion exchange karena
keduanya masing-masing berfungsi sebagai anion dan kation
exchange. Anion exchange lebih bersifat positif sehingga akan
mengikat protein yang bermuatan negatif, sedangkan kation
exchange lebih bersifat negatif, sehingga akan mengikat protein
yang bermuatan positif. Peroksidase dari daun tomat dinyatakan
sebagai dua golongan protein, yaitu yang bermuatan positif dan
negatif.
Hasil dari pengamatan parameter visual terhadap masing-
masing elusi selama proses purifikasi dapat dilihat pada Tabel 2.
Dapat diketahui adanya perbedaan secara visual terhadap
tingkat kejernihan elusi dan bau yang masih terdeteksi pada elusi
yaitu berbau daun tomat. Berdasarkan kecepatan alir proses
purifikasi ini, SP-Sepharose Fast Flow terdeteksi lebih cepat
yaitu 0,65 ml/menit dibandingkan dengan DEAE Sepharose
yang mengalir dengan kecepatan 0,50 ml/menit. Dengan kata
lain, kolom dengan DEAE membutuhkan waktu yang lebih lama
untuk menyelesaikan proses purifikasi. Perbedaan kecepatan

7

alir ini diduga karena adanya perbedaan karakteristik dari kedua
jenis resin tersebut, yaitu diameter DEAE yang terkesan lebih
besar daripada SP-Sepharose.

Tabel 2. Parameter visual elusi hasil dari proses purifikasi pertukaran


ion untuk mengambil enzim peroksidse dari daun tomat
Jenis Sepharose
Parameter SP Sepharose Fast DEAE
Flow Sepharose
Kecepatan alir purifikasi 0,65 0,50
(ml/menit)
Jumlah fraksi berwarna hijau 35 19
pekat (tube)
Jumlah fraksi berwarna hijau 20 9
(tube)
Jumlah fraksi berwarna jernih 29 55
(tube)
Kejernihan larutan Tidak jernih Tidak jernih
supernatan pra dilusi ke
dalam kolom
Bau yang ditimbulkan pada Berbau daun Berbau daun
elusi

Pengukuran kadar protein kualitatif pada setiap fraksi


dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer dengan
panjang gelombang 280 nm. Hasil pengamatan dengan
menggunakan spektrofotometer pada setiap fraksi yang dapat
dilihat pada Ilustrasi 4. Panjang gelombang 280 nm digunakan
untuk mengetahui jumlah protein pada hasil sampel purifikasi
protein, protein yang terlarut akan menyerap sinar UV dengan
baik dan pada panjang gelombang 280 nm asam amino akan
terserap dengan baik.

0.350
A 0.300
b 0.250
s
0.200
o s
0.150
r i
0.100
b
0.050
a
0.000
n
0 20 40 60 80 100
FF
Fraksi DEAE
Ilustrasi 4. Nilai Absorbansi 280 nm pada fraksi hasil elusi dari kolom DEAE
dan SP-Sepharose Fast Flow.

Berdasarkan nilai absorbansi pada panjang gelombang


280 nm pada kedua jenis resin, terlihat puncak-puncak nilai
tertinggi dari setiap fraksi. Nilai absorbansi fraksi hasil elusi
dengan menggunakan resin SP Sepharose Fast Flow dapat
dilihat pada Ilustrasi 4.
Berdasarkan hasil tersebut dengan nilai absorbansi
tertinggi maka dipilih fraksi-fraksi nomor 1, 2, 4, 5, 6, 7, 52, 53,
54 dari resin SP-Sepharose Fast Flow dan nomor 6, 7, 8, 9, 10,
37, 38, 40 dari resin DEAE Sepharose sebagai fraksi yang akan
diuji tahap berikutnya. Nilai absorbansi dari fraksi yang terpilih
memiliki absorbnsi tinggi namun belum tentu memiliki tingkat
aktivitas enzim yang tinggi dan tingkat kemurnian protein yang
tinggi pula, oleh karena itu pada tahap penelitian selanjutnya
dilakukan analisis protein dengan menghitung aktivitas enzim
dan profil protein dengan SDS-PAGE.
Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa nilai absorbansi
tertinggi pada jenis resin SP Sepharose Fast Flow terdapat pada
Fraksi 1 dengan nilai absorbansi mencapai 0,272 nm atau
dengan prediksi kadar protein sebesar 0,181 %, artinya bahwa
Fraksi 1 mempunyai konsentrasi protein yang tertinggi
dibandingkan dengan fraksi lainnya. Pada jenis resin DEAE
9

Sepharose nilai absorbansi tertinggi terdapat pada fraksi 10
dengan nilai 0,291 dengan prediksi kadar protein sebesar 0,194
%.
Tabel 3. Nilai absorbansi 280 nm dan perkiraan jumlah protein yang
terkandung dalam fraksi hasil elusi dari kolom DEAE dan SP-Sepharose.
SP Sepharose Fast Flow DEAE Sepharose
Prediksi
Nama Nama Prediksi
Nilai Kadar Nilai
Fraksi Fraksi Kadar
Absorbansi Protein Absorbansi
Protein (%)
(%)
Fraksi 1 0,272 0,181 Fraksi 6 0,162 0,108
Fraksi 2 0,194 0,129 Fraksi 7 0,202 0,135
Fraksi 4 0,200 0,133 Fraksi 8 0,273 0,182
Fraksi 5 0,200 0,133 Fraksi 9 0,230 0,153
Fraksi 6 0,183 0,122 Fraksi 10 0,291 0,194
Fraksi 7 0,157 0,105 Fraksi 37 0,193 0,129
Fraksi 52 0,228 0,152 Fraksi 38 0,155 0,103
Fraksi 53 0,220 0,147 Fraksi 39 0,150 0,100
Fraksi 54 0,197 0,131 Fraksi 40 0,134 0,089

Uji aktivitas enzim peroksidase dilakukan dengan


menggunakan spektrofotometer UV-VIS dengan panjang
gelombang 412 nm dan menggunakan ABTS sebagai substrat.
Uji aktivitas enzim ini menggunakan H2O2untuk mengaktifkan
enzim peroksidase. ABTS digunakan sebagai indikator karena
mudah mengalami perubahan menjadi bentuk radikal menjadi
ABTS.
Berdasarkan Tabel 4 bahwa fraksi yang didapat dari SP
Sepharose Fast Flow memiliki nilai aktivitas enzim yaitu sekitar
1,56–5,46 U/ml. Aktivitas tertinggi terdapat pada fraksi 1 yaitu
sebesar 5,46 U/ml dan nilai terendah adalah pada fraksi 6. Jika
dibandingkan dengan hasil fraksi yang diperoleh dengan
menggunakan resin DEAE maka pada resin SP Sepharose Fast
Flow masih sangat rendah, karena pada resin DEAE memiliki
nilai aktivitas enzim antara 2,44–8,27 U/ml. Nilai aktivitas
enzim peroksidase tertinggi terdapat pada fraksi 6 dengan nilai
8,27 U/ml. Berdasarkan perbedaan yang didapat dapat diketahui
bahwa kemampuan dalam mengambil enzim peroksidase dari

10

daun tomat dinilai lebih efektif dengan menggunakan resin
DEAE.

Tabel 4. Nilai aktivitas enzim peroksidase (unit/ml)


Nama Fraksi SP Sepharose Fast Nama DEAE
Flow Fraksi Sepharose
Fraksi 1 5,46 Fraksi 6 8,27
Fraksi 2 5,41 Fraksi 7 7,21
Fraksi 4 2,02 Fraksi 8 6,95
Fraksi 5 1,80 Fraksi 9 6,79
Fraksi 6 1,59 Fraksi 10 7,58
Fraksi 7 2,86 Fraksi 37 5,46
Fraksi 52 1,96 Fraksi 38 3,24
Fraksi 53 2,12 Fraksi 39 3,50
Fraksi 54 2,28 Fraksi 40 2,44

Hasil SDS-PAGE dapat dilihat pada Ilustrasi 5 yang


merupakan fraksi yang dihasilkan dari elusi melalui resin DEAE
dan resin SP-Sepharose Fast Flow. Lane yang paling kiri
merupakan protein standar (marker protein) yang digunakan
untuk menentukan berat molekul di setiap lane yang berada di
sebelah kanan. Band peroksidase terlihat jelas pada lane
disebelah kanan dari lane standar yang menunjukkan bahwa
dalam fraksi-fraksi yang dianalisis, terdapat protein baik tunggal
maupun non-tunggal.
Berdasarkan pada pengamatan band pada fraksi hasil
elusi dengan DEAE, menunjukkan adanya band dengan berat
molekul di sekitar 78 kDa pada empat fraksi yang paling kanan,
yaitu fraksi 7, 8, 9 10 hal ini dikarenakan band terlihat tunggal
sehingga disimpulkan bahwa protein yang ada dalam fraksi-
fraksi tersebut merupakan fraksi dengan kandungan protein
tunggal, yaitu peroksidase. Lima fraksi yang berada di sebelah
kanan dari lane standar menunjukkan banyak band yang terlihat,
hal ini menunjukkan banyak protein yang ikut serta dalam
fraksi-fraksi tersebut.

11

Ilustrasi 5. Hasil elektroforesis profil protein melalui kolom DEAE dan SP-
Sepharose Fast Slow.
Keterangan: Lane A = Standar Marker Lane B = Fraksi 6
Lane C = Fraksi 7 Lane D = Fraksi 8
Lane E = Fraksi 9 Lane F = Fraksi 10
Lane G = Fraksi 37 Lane H = Fraksi 38
Lane I = Fraksi 39 Lane J = Fraksi 40

Lane paling kiri merupakan lane standar dan band yang


berada di sebelah kanan lane standar merupakan profil dari
sembilan fraksi yang tertinggi nilai absorbansi 280 nm. Band
tunggal dapat terlihat pada empat fraksi yaitu 37, 38, 39, 40.
Fraksi tersebut dapat digunakan untuk aplikasi ke tahap
penelitian aplikatif seperti antibakteri, antifungal, ataupun
deteksi komponen minor yang penting, misalnya pada limbah
dan jaringan.

12

Pemurnian enzim peroksidase dari daun tomat
menggunakan metode kromatografi pertukaran ion dengan
menggunakan dua resin, yaitu SP Sepharose Fast Flow dan
DEAE Sepharose telah berhasil dilakukan. Pengambilan enzim
peroksidase dari daun tomat lebih tepat menggunakan DEAE
Sepharose untuk hasil yang lebih baik. Hal ini dikarenakan
Kandungan protein nilai tertinggi terdapat pada fraksi 6 yang
didapat dari hasil elusi dengan menggunakan resin DEAE, yaitu
sebesar 8,27 U/ml.

13

PENETAPAN INHIBITORY ACTIVITY PEROKSIDASE
DARI EKSTRAK DAUN TOMAT OLEH GULA D-
PSIKOSA DAN L-PSIKOSA

Gula merupakan salah satu bahan tambahan pangan yang


paling umum digunakan di dunia. Produk gula yang akhir-akhir
ini banyak diteliti dan dikembangkan adalah rare sugar. Psicose
salah satu jenis rare sugar yang paling banyak diproduksi oleh
industri. Penggunaan psikosa pada industri dikarenakan
mempunyai karakteristik yang mirip dengan gula konvesional
namun dengan kandungan kalori yang sangat rendah.
Berdasarkan strukur kimianya, gula Psikosa dibagi menjadi dua
jenis yaitu D-psikosa dan L-psikosa. Kedua jenis gula ini
meskipun hampir mirip namun memiliki efek dan karakteristik
yang berbeda.

D-psikosa dan L-psikosa

Enzim memiliki ciri khas yang unik dimana hanya dapat


bereaksi dengan substrat tertentu. Beberapa substrat dapat
mengganggu jalannya reaksi kimia dalam enzim atau biasa
disebut dengan inhibitor. Gula merupakan salah satu substrat
yang dapat menjadi inhibitor dalam reaksi enzim. Menurut Al-
Baarri et al. (2011) dalam penelitiannya tentang aktivitas
antimikrobia pada LPO sistem, monosakarida dan disakarida
dengan jelas menghambat aktivitas antimikrobia LPO sistem
terhadap Salmonella Enteridis. Hasil ini menunjukan bahwa
molekul gula berinteraksi dengan rongga heme yang secara fisik
menutup bagian ikatan substrat, yang kemudian akan mencegah
interaksi enzim dengan substratnya yaitu hidrogen peroksida.
Gula merupakan karbohidrat dan turunannya yang
mempunyai fungsi sebagai bahan tambahan pangan.
Penggunaan gula pada produk makanan merupakan hal yang
penting bahkan wajib tersedia untuk memperkuat nilai
organoleptik produk. Namun seiring dengan gaya hidup

14

masyarakat yang mengkonsumsi makanan berbasis gula secara
berlebihan (overconsumption) dan tidak seimbang, muncul
berbagai macam penyakit yang menyertai, salah satunya adalah
Diabetes Melitus. Penyakit tersebut adalah salah satu penyakit
penyebab kematian terbesar di dunia. Pada penderita Diabetes
Melitus kondisi persentase kadar gula dalam darah terlalu tinggi
dan tubuh tidak mampu untuk mensekresi insulin. Berdasarkan
alasan ini dikembangkan produk rare sugar oleh para peneliti di
Universitas Kagawa, Jepang.
Rare sugar merupakan monosakarida dan turunannya
yang jarang ditemukan di alam bebas. Rare Sugar selain sebagai
bahan tambahan pangan, produk ini juga mempunyai fungsi
yang spesifik untuk mencegah seperti Diabetes Melitus tipe 2
dan Kanker. Terdapat berbagai macam jenis rare sugar, salah
satu yang sering digunakan pada industri pangan adalah Psikosa.
Psikosa sendiri mempunyai dua jenis yang berbeda yaitu D-
psikosa dan L-psikosa. Perbedaan kedua jenis ini didasarkan
pada struktur gula itu sendiri, tetapi walaupn D-psikosa dan L-
psikosa memiliki struktur yang hampir sama, kedua gula ini
mempunyai karakteristik yang berbeda jika direaksikan dengan
zat lain. Ilustrasi struktur D-psikosa dan L-psikosa dapat dilihat
pada Ilustrasi 6 dan Ilustrasi 7.

Ilustrasi 6. Rumus bangun D-psikosa (Li et al., 2013)

15

Ilustrasi 7. Rumus bangun L-psikosa (Li et al., 2013)

Kinetika Enzim

Proses katalisasi suatu substrat oleh enzim dipengaruhi


oleh konsentrasi enzim, suhu, pH dan konsentrasi substrat.
Kecepatan reaksi katalisasi pada suatu konsentrasi substrat
tertentu akan meningkat seiring bertambahnya konsentrasi
enzim. Konsentrasi enzim dinyatakan dalam satuan unit (U).
Semakin tinggi suhu maka semakin cepat laju reaksi kimia,
namun semakin tinggi suhu juga meningkatkan inaktivasi enzim
yang bekerja karena enzim merupakan protein yang mudah
terdenaturasi oleh suhu tinggi. Nilai pH optimum enzim untuk
bekerja adalah 4,5-8,0 sehingga diperlukan buffer untuk
menjaga stabilitas enzim. Pada konsentrasi substrat yang rendah
kecepatan reaksi juga akan rendah, namun akan bertambah
seiring dengan penambahan konsentrasi substrat. Kecepatan
reaksi awal akan meningkat dengan nilai yang semakin kecil
seiring dengan penambahan konsentrasi substrat. Pada akhirnya
kecepatan reaksi akan meningkat dengan sedemikian kecil
hingga mendekati garis maksimum (Vmax) seiring dengan
penambahan konsentrasi.
Nilai Km atau tetapan Michaelis-Menten adalah
konsentrasi substrat tertentu pada saat enzim mencapai setengah
kecepatan maksimumnya. Persamaan Michaelis-Menten
merupakan dasar bagi aspek kinetika enzim, jika nilai Km dan
Vmax dapat diketahui, kecepatan reaksi suatu enzim pada setiap
konsentrasi dapat dihitung. Berikut ini adalah rumus dasar
Michaelis-Menten untuk mengetahui aktivitas kinetik enzim:

16

Keterangan :
Ѵo = kecepatan awal pada konsentrasi substrat[S]
Ѵmax = kecepatan maksimum pada reaksi enzim
Km = tetapan Michaelis-Menten bagi substrat tertentu

Reaksi enzimatis yang terjadi antara enzim dan substrat


menganut sistem lock and key. Sistem lock and key adalah
mekanisme reaksi enzim dengan substrat dimana sisi aktif enzim
akan menempel dengan sisi substrat sehingga reaksi katalis
dapat terjadi. Reaksi enzimatis tidak selamanya berjalan dengan
baik, terkadang terdapat berbagai substrat yang dapat
mengganggu terjadinya reaksi atau biasa disebut dengan
substrat inhibitor. Hal ini terjadi karena sisi aktif pada enzim
tertutup oleh substrat pengganggu sehingga substrat yang
seharusnya bereaksi dengan enzim tidak dapat bekerja secara
maksimal.
Terdapat 3 jenis Inhibitor enzim yaitu inhibitor kompetitif,
inhibitor non-kompetitif dan inhibitor uncompetitive. Inhibitor
kompetitif adalah zat pengganggu yang secara tipikal mirip
dengan substrat asli dan dapat langsung berikatan dengan sisi
aktif enzim. Ketika berikatan inhibitor jenis ini mencegah
berikatannya sisi aktif enzim dengan substrat. Mekanisme
inhibitor kompetitif dapat dilihat pada Ilustrasi 4. Inhibitor non-
kompetitif adalah zat pengganggu yang tidak berkompetisi
dengan sisi aktif enzim, terlepas sisi aktif enzim berikatan
dengan substrat ataupun tidak. Inhibitor tipe non-kompetitif ini
berikatan dengan sisi lain enzim (allosteric) yang berbeda
dengan sisi aktif enzim saat berikatan dengan substrat.
Mekanisme inhibitor kompetitif dapat dilihat pada Ilustrasi 8.
Inhibitor uncompetitive merupakan zat pengganggu yang akan
berikatan dengan sisi allosteric, dimana sisi ini akan muncul

17

ketika reaksi antara sisi aktif enzim dan substrat telah terjadi.
Enzim akan berubah bentuk sehingga inhibitor dapat mengikat
enzim pada kompleks enzim-substrat dan menghambat
aktivitasnya. Mekanisme inhibitor uncompetitive dapat dilihat
pada Ilustrasi 8.

Ilustrasi 8. Mekanisme inhibitor Competitive, Non-competitive dan


Uncompetitive (Lin dan Lu, 1998)

Pengujian Aktivitas Enzim dengan Inhibitor D-psikosa dan


L-psikosa dan Perhitungan Kinetika Enzim Dari Ekstraksi
Daun Tomat

Langkah-langkah untuk pengujian ini dilakukan 3 tahap


yaitu tahap pertama: melakukan ektraksi daun tomat dan
purifikasi peroksidase daun tomat. Tahap kedua yaitu
melakukan pengujian kualitas protein, uji profil protein
Elektroforesis Gel Poliakrilamida-Sodium Dodesil Sulfat (SDS
PAGE) dan uji total ptotein bradford. Tahap ketiga yaitu
pengujian aktivitas enzim dengan Inhibitor D-psikosa dan L-
psikosa dan perhitungan kinetika enzim.

18

Pengujian aktivitas enzim dengan inhibitor D-psikosa dan
L-psikosa dilakukan berdasarkan penelitian Al-Baarri et al.,
(2011). Enzim diujikan dengan berbagai jenis gula dengan
berbagai konsentrasi. Gula yang digunakan adalah gula D-
psikosa dan L-psikosa. Masing-masing gula dibuat dengan
konsentrasi 0; 0,1; dan 0,4% direaksikan dengan H2O2 dengan
konsentrasi 0,1; 0,2; 0,3; 0,4 dan 0,5 mM. Campuran gula dan
H2O2 sebanyak 45 µl di reaksikan dengan peroksidase daun
tomat 10 µl dan ABTS 45 µl. Pengujian menggunakan alat plate
reader dengan panjang gelombang 412 nm. Nilai absorbansi
yang dihasilkan mencerminkan jumlah H2O2 sisa setelah reaksi
enzim yang dihasilkan. Data tersebut dapat digunakan untuk
metode selanjutnya yaitu perhitungan kinetika enzim.

Perhitungan Kinetika Enzim

Perhitungan Kinetika Enzim dilakukan berdasarkan


penelitian Al-Baarri et al., (2011) yang diawali dengan
pengkonversian data absorbansi yang diperoleh ke dalam rumus
kurva standar H2O2 yang telah ditentukan sebelumnya. Nilai
yang didapatkan kemudian diubah menjadi kurva polinomial
untuk mengetahui pengaruh penambahan gula D-psikosa dan L-
psikosa.
Penentuan nilai Km dan Vmax diawali dengan reciprocal
nilai hasil konversi dengan rumus kurva standar H2O2 untuk
mencari rumus kurva linier dari masing-masing konsentrasi
pada setiap gula. Rumus linier yang didapatkan digunakan untuk
mencari nilai x = 0 dan y = 0 pada kurva Lineweaver-Burk plot.
Setelah didapatkan kurva Lineweaver-Burk plot, maka nilai Km
dan Vmax pada masing-masing konsentrasi gula dapat diketahui.
Setelah nilai Km dan Vmax diketahui dilakukan penentuan nilai
Ki pada enzim peroksidase daun tomat pada D-psikosa dan L-
psikosa. Penentuan nilai Ki menggunakan rumus sebagai
berikut:

19

1 1 " [I] %
= $1+ '
Vmax' Vmax # KI&

dan rumus tersebut dapat dimodifikasi menjadi :


€ Vmax [I]
Vmax' = KI =
 [I]   Vmax 
1 +   −1
 KI  atau  Vmax' 

Keterangan : Vmax = Kecepatan reaksi maksimum tanpa penambahan


inhibitor
€ Vmax€
’= Kecepatan reaksi maksimum dengan penambahan
inhibitor
[I] = Konsentrasi inhibitor (mM)

Tabel 5. Presentase Substrat H2O2 yang Terkonversi Menjadi Produk pada


Peroksidase Daun Tomat dengan Inhibitor D-psikosa dan L-psikosa.
Konsentrasi Jumlah H2O2 yang digunakan(mM)
Inhibitor 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5
100,00±0,00 78,67±0, 51,75±0, 51,60±
0% 100,00±0,019
8 015 008 0,011
100,00±0,01 72,67±0, 54,75±0, 44,00±
D-psikosa 0,1 % 86,50±0,019
3 011 012 0,016

100,00±0,01 64,33±0, 50,00±0, 42,20±


D-psikosa 0,4 % 82,00±0,041
3 015 027 0,011

100,00±0,04 66,67±0, 44,25±0, 44,00±


L-psikosa 0,1 % 93,00±0,031
5 026 017 0,023
100,00±0,01 48,67±0, 52,25±0, 40,40±
L-psikosa 0,4 % 99,00±0,015
5 029 035 0,045

Jumlah Substrat Ekstrak Daun Tomat yang terkonversi


Menjadi Produk

Berdasarkan pengujian inhibisi enzim peroksidase dengan


inhibitor D-psikosa dan L-psikosa diperoleh hasil sebagai pada
Tabel 5. Berdasarkan Tabel 5 disimpulkan bahwa dengan
penambahan inhibitor gula (D-psikosa dan L-psikosa)
mempengaruhi jumlah produk yang dihasilkan enzim

20

peroksidase. Hal ini menunjukkan bahwa reaksi enzimatis
dipengaruhi oleh adanya inhibitor. Semakin tinggi konsentrasi
inhibitor, kinerja enzim akan semakin menurun dan produk yang
dihasilkan semakin rendah. Hasil ini menandakan adanya
penurunan produk pada reaksi laktoperoksidase ketika
ditambahkan gula inhibitor.

Kurva Michaelis-Menten dan Kurva Lineweaver-Burk plot


Enzim Peroksidase Daun Tomat dengan Inhibitor Gula D-
psikosa dan L-Psikosa

Aktivitas inhibisi D-psikosa dan L-psikosa pada enzim


peroksidase daun tomat ditampil pada Ilustrasi 9 dan Ilustrasi
10.

0.140 Vmax
0.120
0.100
Vo (mM/menit)

0.080 D-psikosa 0%
0.060
D-psikosa 0,1%
0.040
Km D-psikosa 0,4%
0.020
0.000
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5
H2O2 (mM)

Ilustrasi 9.Grafik Michaelis-Menten Enzim Peroksidase Daun Tomat dengan


Inhibitor gula D-psikosa

21

0.160 Vmax
0.140
0.120
Vo (mM/menit)

0.100
0.080 L-psikosa 0,1%
0.060 L-psikosa 0,4%
0.040
0.020
Km L-psikosa 0%
0.000
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5
H2O2 (mM)

Ilustrasi 10. Grafik Michaelis-Menten pada Peroksidase Daun Tomat dengan


Inhibitor gula L-psikosa.

Berdasarkan Ilustrasi 9 dan Ilustrasi 10 diketahui kurva


berbentuk parabola (polinomial) dimana nilai Vo akan semakin
bertambah seiring dengan kenaikan konsentrasi substrat H2O2
namun cenderung konstan pada penambahan konsentrasi 0,4
dan 0,5 mM. Hal ini dikarenakan enzim telah mencapai aktivitas
maksimum pada titik 0,4 dan 0,5 mM. Titik ini biasa disebut
dengan kecepatan maksimum reaksi (Vmax). Pada kurva
Michaelis-Menten enzim peroksidase daun tomat tanpa
penambahan inhibitor berada pada posisi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kurva Michaelis-Menten penambahan
inhibitor D-psikosa dan L-psikosa. Hal ini menandakan semakin
tinggi konsentrasi inhibitor dapat menghambat laju kerja enzim
dalam bereaksi. Penurunan kurva polinomial pada penambahan
kadar gula disebabkan oleh inhibisi substrat gula. Semakin
tinggi penambahan kadar gula, penurunan kurva polinomial
enzim akan semakin signifikan. Pada saat inhibitor tersedia
dalam campuran substrat dan enzim, inhibitor akan menempel
pada sisi allosteric enzim. Enzim masih tetap dapat berikatan
dengan substrat tetapi tidak bereaksi dan tidak menghasilkan
produk. Hal ini dikarenakan sisi aktif enzim berubah dengan

22

adanya inhibitor enzim yang menempel pada sisi allosteric
enzim
Berdasarkan Ilustrasi 9 dan 10 dapat dilihat bahwa nilai
Km substrat D-psikosa maupun L-psikosa pada konsentrasi 0%,
0,1% dan 0,4% cenderung konstan. Nilai Km yang konstan pada
kurva D-psikosa dan L-psikosa dapat dilihat dari titik Km pada
kurva Michaelis-Menten yang bertemu pada titik yang sama.
Nilai Km merupakan titik yang menandakan grafik masuk pada
percepatan reaksi maksimum (½Vmax) dan sesaat sebelum
terjadi penurunan kurva menuju kecepatan maksimum (Vmax).
Kurva Lineweaver-Burk plot merupakan metode yang
menjelaskan antara reciprocal plot Ѵ reaksi enzim (garis y)
terhadap reciprocal plot konsentrasi substrat H2O2 (garis x)
dimana garis miring lurus yang memotong pada sumbu x
merupakan reciprocal plot Km (tetapan Michaelis-Menten) dan
yang memotong pada sumbu y adalah kecepatan maksimum
(Vmax). Kurva ini menjelaskan secara kuantitatif nilai kinetik
mulai dari Km, Vmax dan Ki, selain itu jenis inhibisi dari suatu
inhibitor juga dapat diketahui berdasarkan perpotongan
reciprocal plot pada masing-masing inhibitor. Berdasarkan
perhitungan Lineweaver-Burk plot pada D-psikosa dan L-
psikosa diperoleh hasil yang terdapat pada Tabel 6 dan Tabel 7
berikut.
Tabel 6. Data Kinetik Enzim Peroksidase Daun Tomat.
Jenis Inhibitor
D-psikosa L-psikosa
Km 0,0184±0,00006 mM 0,0177±0,0007 mM
Vmax 9,267±0,942 mM 9,82±1,2871 mM

Berdasarkan Tabel 6 Nilai Km D-psikosa lebih tinggi


dibandingkan L-psikosa. Hal ini menunjukan bahwa pada
inhibitor D-psikosa mempunyai daya hambat yang lebih rendah
dari pada inhibitor L-psikosa. Hal tersebut terjadi karena enzim
peroksidase daun tomat pada inhibitor D-psikosa lebih cepat
dalam menuju titik Vmax dibandingkan inhibitor L-psikosa.

23

14

12

y = 0.1901x + 10.273 10
y = 0.1669x + 9.0938
8 D-psikosa 0%
y = 0.1551x + 8.4099
6
D-psikosa 0,1%
4

2 D-psikosa 0,4%

0
-10 -8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10

Ilustrasi 11. Kurva Lineweaver-Burk plot D-psikosa

16

14

12
y = 0.1851x + 10.914 10
y = 0.1811x + 10.154 8 L-psikosa 0%
y = 0.1551x + 8.4099
6
L-psikosa 0,1%
4

2 L-psikosa 0,4 %
0
-10 -5 0 5 10

Ilustrasi 12. Kurva Lineweaver-Burk plot L-psikosa

24

14

12

10

8 D-psikosa 0%
y = 0.1901x + 10.273
y = 0.1669x + 9.0938 6
D-Psikose 0,1%
y = 0.1551x + 8.4099 4
-1/Km
2
D-Psikose 0,4%
0
-60 -40 -20 0 20
-2

Ilustrasi 13. Kurva Lineweaver-Burk plot D-psikosa


18
16
14
L-psikosa 0 %
12
10
y = 0.1851x + 10.914 8 L-psikosa 0,1%
y = 0.1811x + 10.154 6
y = 0.1551x + 8.4099 4
L-psikosa 0,4%
2
-1/Km 0
-80 -60 -40 -20 -2 0 20

Ilustrasi 14. Kurva Lineweaver-Burk plot L-psikosa

Berdasarkan Ilustrasi 11 dan 13 diketahui bahwa pada


enzim peroksidase tanpa penambahan inhibitor mempunyai nilai
Km yang tidak jauh berbeda dari nilai Km pada enzim daun tomat
dengan penambahan D-psikosa 0,1 % dan D-psikosa 0,4 %.
Kurva Lineweaver-Burk plot menunjukkan bahwa ketiga kurva
yang mewakili masing-masing konsentrasi bertemu pada titik (-
1/Km) yang sama ataupun mendekati pada garis x.
Pada Ilustrasi 12 dan 14 enzim peroksidase tanpa
penambahan inhibitor mempunyai nilai Km yang tidak jauh
berbeda (bertemu pada titik yang mendekati) dari nilai pada

25

peroksidase daun tomat dengan penambahan L-psikosa 0,1%
dan L-psikosa 0,4 %. Hal ini menunjukan bahwa substrat D-
psikosa dan L-psikosa pada enzim peroksidase merupakan
inhibitor non kompetitif karena inhibitor tersebut menempel
pada sisi aktif lain enzim (allosteric) sehingga tidak
mempengaruhi nilai Km. Hal ini juga menandakan affinitas
(daya tarik substrat terhadap sisi aktif enzim) substrat terhadap
sisi aktif tidak berubah dengan adanya penambahan inhibitor D-
psikosa dan L-psikosa.

Tabel 7. Data aktivitas inhibisi D-psikosa dan L-psikosa pada enzim


peroksidase daun tomat.
Jenis Inhibitor
D-psikosa L-psikosa
Ki 0,809±0,244 mM 0,499±0,313 mM
Jenis Inhibisi Non-kompetitif Non-kompetitif

Pada Tabel 7 menjelaskan nilai konstanta inhibisi yang


rendah menunjukan kuatnya inhibitor tersebut untuk
menginhibisi reaksi enzim. Hal ini menunjukkan bahwa inhibisi
L-psikosa terhadap peroksidase daun tomat lebih tinggi dari
pada inhibisi D-psikosa.
Berdasarkan fenomena diatas, inhibisi L-psikosa lebih
tinggi dibandingkan D-psikosa. Kedua inhibitor tersebut dapat
dinyatakan mampu menginhibisi enzim peroksidase daun tomat
dengan jenis inhibisi non-kompetitif. Jenis inhibitor ini
merupakan inhibitor yang berikatan dengan sisi allosteric enzim
dan mengubah struktur sisi aktif yang seharusnya bekerja untuk
mengkatalisis substrat. Berdasarkan hasil kurva Lineweaver-
Burk plot bahwa nilai Km pada D-psikosa lebih tinggi
dibandingkan L-psikosa sehingga lebih cepat mencapai Vmax.
Nilai Ki D-psikosa lebih tinggi daripada L-psikosa sehingga D-
psikosa lebih lemah dalam menghambat aktivitas enzim
peroksidase.

26

PENGOPTIMALAN H2O2 DAN KIO3 SEBAGAI
AKTIVITAS PEROKSIDASE DAUN TOMAT DALAM
MENGHASILKAN SENYAWA HYPOIODOUS ACID
(HIO)

Senyawa antibakteri merupakan senyawa yang dapat


dimanfaatkan sebagai bahan pengawetan pangan. Salah satu
contoh senyawa antibakteri adalah hypoiodous (HIO) yang
dihasilkan dari reaksi katalis oleh enzim peroksidase. Enzim
peroksidase berperan sebagai katalisator dalam reaksi
pembentukan senyawa antibakteri. Senyawa antibakteri yang
sudah lazim diteliti adalah hypothiocyanite (OSCN-). Senyawa
kimia I atau iodium salah satu senyawa yang sering ditemukan
dalam bentuk anion halida atau (X-), yaitu IO-3, sehingga dalam
aplikasinya peroksidase juga dapat mengkatalis kombinasi
antara hidrogen peroksida (H2O2) dan kalium iodat (KIO3) untuk
menghasilkan hypoiodite (OI-) atau hypoiodous acid (HIO).
Hypoiodous adalah oxyacids hasil dari kombinasi antara H2O2
dan KIO3 yang memiliki sifat antibaketri. Dalam hal ini optimasi
H2O2 dan KIO3 sangat penting dalam rangka menghasilkan HIO
melalui peroksidase sistem. Sehingga hal ini berkaitan dengan
kemampuan maksimal peroksidase daun tomat dalam
mengkatalis reaksi oksidasi KIO3 oleh H2O2. Laktoperoksidase
akan aktif secara optimal saat berada dalam keadaan kecukupan
ion halida atau pseudohalida. Bahkan peroksidase dapat menjadi
tidak aktif saat berada dalam keadaan kekurangan ion halida
(atau pseudohalida) dan kelebihan H2O2.

Peroksidase Sistem (POS)

Penggunaan H2O2 sebagai oksidator dalam reaksi redoks


peroksidase system terdapat kekhawatiran karena H2O2
memiliki sifat racun bagi sel mamalia. Tetapi sel mamalia dapat
terlindungi dari sifat racun saat H2O2 berada dalam keadaan
bersama dengan peroksidase dan ion halida (atau pseudohalida).

27

Pada dasarnya H2O2 sudah digunakan secara luas dalam industri
pangan sebagai salah satu bahan antibakteri dalam bentuk cair.
Antibakteri tersebut telah direkomendasikan penggunaannya
untuk penyemprotan, pencucian, pembilasan, pendinginan dan
pemanasan pada daging unggas, daging sapi, buah dan sayuran.
Penggunaannya dalam bidang pangan juga dibatasi, yaitu berada
di antara konsentrasi 100 - 800 ppm.
Penggunaan agen antibakteri hypothiocyanite (OSCN-)
dalam pengawetan makanan sudah sangat luas. Agen antibakteri
tersebut dihasilkan dari suatu sistem peroksidase. Seperti yang
dikatakan oleh Hayashi et al. (2012) dalam penelitian tentang
aktivitas peroksidase dalam susu, bahwa laktoperoksidase
sistem akan menghasilkan OSCN- dan residu SCN-. Sistem
peroksidase diawali dengan aktivasi enzim peroksidase oleh
hidrogen peroksida atau H2O2. Saat sudah aktif, enzim
peroksidase inilah yang akan berperan dalam proses oksidasi
pseudo-halide thiocyanate (SCN-) menjadi OSCN- yang
nantinya digunakan sebagai agen antibakteri.
Peroksidase sistem itu sendiri merupakan suatu reaksi
kombinasi antara substrat (H2O2 dan ion-ion halida) dengan
peroksidase. Mekanisme reaksi tersebut diawali dengan
pengaktifan peroksidase. Pengaktifan tersebut terjadi saat
peroksidase (mengandung Fe3+) diubah oleh H2O2 menjadi
peroksidase yang mengandung Fe2+ (ground state) + HO2. Pada
kenyataannya reaksi pengaktifan peroksidase memicu
terjadinya reaksi-reaksi lain. Terbentuknya superoksidase
radikal (HO2) bertanggung jawab atas terhentinya reaksi
katalitik yang dilakukan oleh peroksidase. Reaksi-reaksi lain
yang dimaksud dapat dilihat pada Ilustrasi 15.
Reaksi-reaksi ini berawal dari reaksi perubahan
peroksidase dari bentuk ground state menjadi bentuk yang
dinamakan Compound I, saat ditambahkan H2O2. Compound I
inilah yang selanjutnya berperan sebagai oksidan (bukan lagi
H2O2) untuk mengoksidasi SCN-. Dalam keadaan kekurangan
ion-ion halida atau pseudo-halida (≤ 3µM), Compound I akan

28

beraksi bersama H2O2 dengan donor satu elektron yang mungkin
ada (seperti protein, peptida dan lain-lainnya) hingga
menghasilkan bentuk Compound II. Secara perlahan Compound
II akan tereduksi dan kembali lagi menjadi ground state.
sedangkan dalam keadaan H2O2 yang berlebih (≥ 0,5 mM),
Compound II akan bereaksi bersama H2O2 untuk membentuk
Compound III yang mengakibatkan terjadinya adisi terhadap
ferrilaktoperoksidase (LPO-Fe4+). Selain itu, Compound III juga
terlibat dalam reaksi metabolik yang menyebabkan terjadinya
irreversibel inaktivasi laktoperoksidase.

Ilustrasi 15. Alur mekanisme reaksi katalitik dalam peroksidase sistem


(Seifu et al., 2005)

Beberapa hal yang dapat diketahui dari Ilustrasi 15, yaitu:


1) Keberadaan ion halida atau pseudohalida dalam jumlah
yang tepat sebagai donor 2-elektron untuk Compound I,
akan mengaktifkan peroksidase secara optimal.
2) Keadaan ion halida atau pseudohalida dalam jumlah yang
tidak cukup, akan mendominasi donor 1-elektron terhadap

29

Compound II serta akan terjadi reversibel inaktivasi
peroksidase.
3) Keadaan H2O2 dalam jumlah yang berlebihan akan
langsung mengakibatkan terjadinya ireversibel inaktivasi
peroksidase, yang akhirnya membentuk Compound III.

Hal itu juga yang terjadi pada KIO3 saat mengalami


oksidasi. IO3 yang teroksidasi akan berubah menjadi hypoiodite
(OI-) atau hypoiodous (HIO) acid. Hyphoiodous acid merupakan
senyawa antibakteri alamiah yang muncul di dalam tubuh
sebagai akibat adanya reaksi enzimatik yang melibatkan
myeloperoxidase dari saliva. Peroksidase sistem yang
berlangsung untuk menghasilkan HIO sama seperti peroksidase
sistem yang menghasilkan OSCN-. Satu hal yang membedakan
adalah ion halida (atau pseudohalida) yang digunakan. Oleh
karena itu, senyawa ini mempunyai potensi sebagai agen
antibakteri sama seperti OSCN-. Reaksi pembentukan HIO
melalui oksidasi iodida oleh H2O2 yang dikatalis PO dapat
dilihat pada Ilustrasi 2.
I- + H 2 O 2 PO
HIO + OH
HIO H+ + IO-

Ilustrasi 16. Reaksi Pembentukan HIO (O’Brien, 2000).


Keterangan: I = Iodium
H2O2 = hidrogen peroksida
PO = enzim peroksidase
HIO = hypoiodous
OH = hidroksida
H = hydrogen
IO = hypoiodite

30

Pengukuran Residu H2O2 Peroksidase Dari Ekstraksi Daun
Tomat

Langkah-langkah pengujian residu H2O2 peroksidase


dilakukan 3 tahap yaitu tahap pertama: melakukan ektraksi daun
tomat dan purifikasi peroksidase daun tomat. Tahap kedua yaitu
melakukan pengujian kualitas protein, uji profil protein
Elektroforesis Gel Poliakrilamida-Sodium Dodesil Sulfat (SDS
PAGE) dan uji total ptotein bradford. Tahap ketiga yaitu
pengujian residu H2O2.
Langkah awal pengujian residu H2O2 adalah larutan POS
dibuat dan dibagi ke dalam tiga grup berdasarkan konsentrasi
dari komposisi POS. Larutan POS adalah larutan yang memiliki
komposisi H2O2, KIO3 dan PO dengan nilai aktivitas 8 U/ml
(Unit per milliliter) untuk grup 1 dan 2 serta 9 U/ml untuk grup
3. Komposisi larutan POS tersebut, masing-masing adalah 45%
H2O2, 45% KIO3 dan 10% enzim peroksidase dari volume total
POS yang ingin dibuat yaitu 1 ml. Pengelompokkan dilakukan
dengan cara membagi POS ke dalam tiga grup menurut
konsentrasi H2O2 dan KIO3 yang terkandung. Grup pertama
adalah POS dengan konsentrasi H2O2 dan KIO3 yang sama yaitu
0,1; 0,2; 0,3; 0,4; dan 0,5 mM. Grup kedua adalah POS dengan
konsentrasi H2O2 dan KIO3 berturut-turut adalah 0,1 dan 0,5
mM; 0,2 dan 0,4 mM; 0,3 dan 0,3 mM; 0,4 dan 0,2 mM; serta
0,5 dan 0,1 mM. Grup ketiga adalah POS dengan konsentrasi
H2O2 dan KIO3 berturut-turut adalah 0,5 dan 0,1 mM; 0,4 dan
0,2 mM; 0,3 dan 0,3 mM; 0,2 dan 0,4 mM; serta 0,1 dan 0,5 mM.
Setelah semua larutan POS sudah selesai dibuat, langkah
berikutnya adalah setiap larutan POS tersebut diinkubasi pada
suhu 25°C selama 60 menit. Segera setelah inkubasi selesai
dilakukan pengukuran residu H2O2.
Pengukuran residu H2O2 dilakukan dengan mengacu pada
Touch et al. (2004) di dalam Al-Baarri et al. (2011). Melalui
hasil absorbansi 412 nm dari setiap POS yang sudah dibuat,
selanjutnya dapat ditentukan nilai residu H2O2 yang terkandung
di dalamnya. Cara pengukuran residu yang dilakukan adalah
31

setiap POS sebanyak 450 µl diambil dan dipanaskan pada suhu
60ºC selama 10 menit, lalu ditambahkan 450 µl ABTS dan 300
µl enzim peroksidase. Setelah itu pengukuran absorbansi
dilakukan dengan spektrofotometer. Nilai residu H2O2
ditentukan berdasarkan kurva standar H2O2 yang telah dibuat
sebelumnya.

Hasil Pengukuran Residu H2O2 Peroksidase dari Ekstrak


Daun Tomat

Pengukuran residu H2O2 dilakukan sebagai indikator


untuk memberi gambaran jumlah senyawa antibakteri HIO yang
terbentuk. Jumlah H2O2 yang masih terkandung di dalam larutan
POS setelah proses inkubasi adalah sisa H2O2 yang tidak ikut
bereaksi bersama KIO3 dan PO untuk menjadi HIO. Residu
diukur melalui nilai absorbansi larutan POS yang sudah
ditambahkan ABTS. Penambahan tersebut bertujuan untuk
menghasilkan warna hijau dari reaksi antara sisa H2O2 dan
ABTS. Semakin pekat warna hijau yang dihasilkan, maka nilai
absorbansi akan semakin tinggi. Keselarasan tersebut
menandakan HIO yang terbentuk semakin sedikit dan begitu
pula sebaliknya.
Hasil dari pengukuran residu H2O2 dari Grup 1 dapat
dilihat pada Ilustrasi 17. Grup 1 terdiri dari 5 jenis POS yang
dibuat dengan komposisi 45% H2O2, 45% KIO3 dan 10% enzim
peroksidase dari volume total POS yang dibuat yaitu 1 ml.
Enzim yang digunakan adalah enzim dengan nilai aktivitas
sebesar 8 U/ml. Semakin rendah nilai residu H2O2 menandakan
semakin banyaknya HIO yang terbentuk. Sehingga dengan
menurunnya nilai konsentrasi hidrogen peroksida dan ion halida
(pseudohalida) yang digunakan dalam peroksidase sistem,
seiring dengan munculnya senyawa antibakteri yang dihasilkan.

32

Ilustrasi 17. Jumlah residu H2O2 (mM) dari Komposisi POS Grup 1.
Keterangan: titik nol dari perpotongan sumbu Z dan Y berada di sudut yang
berlawanan dengan titik nol dari perpotongan sumbu X dan Y. Sumbu X, Y dan Z
tersebut adalah:
Sumbu X = H2O2 yang digunak digunakan (mM)
Sumbu Y = Residu H2O2 (mM)
Sumbu Z = KIO3 yang digunakan (mM)

Pada Ilustrasi 17 terlihat nilai residu H2O2 mulai


meningkat saat POS mengandung 0,30 mM H2O2 dan KIO3.
Bahkan, peningkatan terjadi semakin drastis dari POS yang
mengandung konsentrasi 0,40 mM H2O2 dan 0,40 mM KIO3
serta 0,50 mM H2O2 dan 0,50 mM KIO3. Peningkatan tersebut
menunjukkan batas maksimal kemampuan peroksidase (8 U/ml)
dalam mengkatalis proses oksidasi KIO3 oleh H2O2 serta
kemampuan residu peroksidase yang lebih lemah dibandingkan
H2 O2 .
Ilustrasi 18 menampilkan hasil residu H2O2 dari POS yang
ada pada Grup 2. Di dalam grup ini digunakan komposisi POS
dan peroksidase dengan nilai aktivitas yang sama seperti Grup
1. Perbedaan terletak pada kombinasi konsentrasi H2O2 dan
KIO3. Rata-rata residu yang dihasilkan memiliki nilai yang

33

cukup tinggi, yaitu berkisar antara 0,28 mM hingga 0,34 mM.
Nilai residu dari kelima POS itu pun tidak jauh berbeda. Nilai
residu tertinggi diperoleh dari POS yang mengandung 0,40 mM
H2O2 dan 0,20 mM KIO3 serta dari POS yang mengandung 0,10
mM H2O2 dan 0,50 mM KIO3 yaitu sebesar 0,34 mM ± 0,03 dan
0,34 mM ± 0,02. Nilai residu terendah didapat dari POS yang
mengandung 0,10 mM KIO3 dan 0,50 mM H2O2 yaitu sebesar
0,28 mM ± 0,09.

Ilustrasi 18. Jumlah Residu H2O2 (mM) dari Komposisi POS Grup 2.
Keterangan: titik nol dari perpotongan sumbu Z dan Y berada di sudut yang
berlawanan dengan titik nol dari perpotongan sumbu X dan Y. Sumbu X, Y
dan Z tersebut adalah:
Sumbu X = H2O2 yang digunakan (mM)
Sumbu Y = Residu H2O2 (mM)
Sumbu Z = KIO3 yang digunakan (mM)

Data yang diperoleh dari Grup 2 ini semakin memperkaya


fenomena peroksidase. Terutama dalam perannya mengkatalis
reaksi oksidasi KIO3 oleh H2O2. Pada Ilustrasi 18 dapat dilihat
nilai residu dari POS yang mengandung 0,20 mM KIO3 dan 0,40
mM H2O2 lebih tinggi dibandingkan dengan nilai residu dari

34

POS yang mengandung 0,40 mM KIO3 dan 0,20 mM H2O2. Hal
ini menunjukkan bahwa konsentrasi H2O2 yang lebih tinggi dari
konsentrasi KIO3 belum tentu dapat menghasilkan nilai residu
H2O2 yang lebih rendah. Berdasarkan Ilustrasi 18 juga diketahui
bahwa kemunculan paling banyak ada pada POS yang memiliki
nilai residu terendah yaitu 0,28 mM. POS dengan nilai residu
tertinggi (0,34 mM) menggambarkan kemunculan HIO yang
paling sedikit.
Fenomena tersebut sangat menarik dan memunculkan
fakta baru dari enzim peroksidase daun tomat dalam
mengkatalis proses oksidasi KIO3 oleh H2O2. Keberadaan
substrat yang melimpah ternyata tidak mampu dimanfaatkan
seluruhnya dalam menghasilkan HIO. Hal tersebut terjadi
karena dipengaruhi oleh standar kemampuan reduksi dari enzim
peroksidase yang digunakan. Reaksi redoks yang ada di dalam
peroksidase sistem hanya dapat terjadi jika kemampuan reduksi
dari enzim tidak lebih lemah dibandingkan kemampuan reduksi
dari substrat yang digunakan.
Ilustrasi 19 mengungkapkan hal yang berlawanan dengan
Ilustrasi 18. Jika dilihat dari nilai residu H2O2 yang ada pada
Ilustrasi 19, diketahui bahwa rata-rata POS di dalam Grup 3
menghasilkan residu dengan nilai yang rendah. Walaupun
kombinasi konsentrasi H2O2 dan KIO3 di dalam setiap POS
hampir sama dengan yang ada di Grup 2. Perbedaan komposisi
dengan POS yang ada di Grup 2 hanya terletak pada nilai
aktivitas dari peroksidase yang digunakan. Peroksidase yang
digunakan dalam pembuatan POS dari Grup 3 memiliki nilai
aktivitas lebih tinggi yaitu 9 U/ml. Hal tersebut menandakan
bahwa peroksidase yang digunakan dalam Grup 3 memiliki
kemampuan reduksi yang lebih unggul dibandingkan substrat
yang digunakan (KIO3).
Hasil dari pengukuran nilai residu yang ada pada Ilustrasi
19, menggambarkan bahwa pembentukan senyawa antibakteri
HIO terjadi paling optimal dari POS yang ada dalam Grup 3.
Pembentukan OSCN- dari reaksi oksidasi SCN- oleh H2O2 yang

35

dikatalis enzim laktoperoksidase, yaitu semakin rendah
konsentrasi residu H2O2 yang dihasilkan maka semakin banyak
senyawa antibakteri OSCN-yang terbentuk. Peroksidase dengan
nilai aktivitas sebesar 9 U/ml berperan besar terhadap nilai
residu yang dihasilkan dari setiap POS dalam Grup 3.
Kemampuan reduksi yang dimiliki PO berkaitan terhadap
kejadian tersebut. Semakin tinggi aktivitas enzim maka
kemampuan reduksinya semakin baik. Saat ada H2O2 enzim
tersebut menjadi lebih aktif menerima -2e untuk menjadi
Compound I yang mengoksidasi SCN- dan meghasilkan produk
berupa senyawa antibakteri HIO.

Ilustrasi 19. Jumlah Residu H2O2 (mM) dari Komposisi POS Grup 3.
Keterangan: titik nol dari perpotongan sumbu Z dan Y berada di sudut yang
berlawanan dengan titik nol dari perpotongan sumbu X dan Y. Sumbu X, Y
dan Z tersebut adalah:
Sumbu X = H2O2 yang digunakan (mM)
Sumbu Y = Residu H2O2 (mM)
Sumbu Z = KIO3 yang digunakan (mM)

Berdasarkan nilai residu digambarkan bahwa HIO


dihasilkan maksimal saat peroksidase (8 U/ml) dikombinasikan
bersama 0,2 mM H2O2 dan 0,2 KIO3. Selain itu digambarkan
pula bahwa HIO terbanyak dihasilkan saat peroksidase dengan

36

nilai aktivitas 9 U/ml digunakan dalam POS. Terutama saat
dikombinasikan bersama 0,5 mM H2O2 dan 0,1 mM KIO3.

37

EFEK HYPOIODOUS DARI EKSTRAK DAUN TOMAT
TERHADAP AKTIVITAS BAKTERI Escherichia coli

Dewasa ini masalah foodborne disease terus menjadi


perhatian utama bagi industri pangan, pemerintah, bahkan
hingga konsumen. Foodborne disease adalah penyakit yang
disebabkan karena mengkonsumsi makanan yang
terkontaminasi mikroorganisme patogen, bakteri, dan racun
nonbakteri serta substansi lain yang berbahaya. Foodborne
disease dikelompokkan menjadi dua, yaitu food intoxication dan
food infection. Foodborne disease dipengaruhi oleh banyak
faktor, tetapi salah satu faktor yang paling bertanggung jawab
adalah bakteri E. coli.
Dikarenakan banyaknya kasus keracunan pangan yang
sering terjadi maka, hingga saat ini banyak strategi untuk
menemukan agen antimikroba sebagai salah satu terobosan
dalam menanggulangi masalah keamanan pangan ini. Salah satu
agen antimikroba yang belum banyak dikembangkan namun
mempunyai potensi yang baik untuk dikembangkan adalah agen
yang berbasis peroksidase. Enzim peroksidase tersebut memiliki
fungsi yang sama dengan enzim laktoperoksidase yang dapat
dimanfaatkan untuk menghasilkan senyawa antimikroba yaitu
asam hypoiodous (HIO). Senyawa HIO ini adalah senyawa yang
bertanggung jawab untuk mematikan bakteri, bahkan jamur dan
virus.

Escherichia coli

Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif


berbentuk batang pendek yang memiliki panjang sekitar 2 µm,
diameter 0,7 µm, lebar 0,4 - 0,7 µm dan bersifat anaerob
fakultatif. E. coli membentuk koloni yang bundar, cembung, dan
halus dengan tepi yang nyata. Suhu optimum bakteri tersebut
adalah 37 °C dan dapat tumbuh pada media biakan yang
sederhana dan pada media sintetik. E. coli termasuk ke dalam
bakteri heterotrof yang memperoleh makanan berupa zat oganik
38

dari lingkungannya karena tidak dapat menyusun sendiri zat
organik yang dibutuhkannya. Zat organik diperoleh dari sisa
organisme lain. Bakteri ini menguraikan zat organik dalam
makanan menjadi zat anorganik, yaitu CO2, H2O, energi, dan
mineral.
Escherichia coli berdasarkan sifatnya dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu bersifat non patogen dan patogen. E. coli
yang bersifat non patogen adalah anggota flora normal usus. E.
coli berperan penting dalam sintesis vitamin K, konversi
pigmen-pigmen empedu, asam-asam empedu dan penyerapan
zat-zat makanan.
Menurut Brooks et al. (2005) E. coli yang bersifat patogen
dibedakan menjadi 5 jenis yaitu:
(1) E. coli Enteropathogenic (EPEC)
Penyebab penting diare pada bayi, khususnya di negara
berkembang. EPEC menempel pada mukosa usus halus.
Faktor yang diperantarai oleh kromosom meningkatkan
perlekatan. Terdapat kehilangan mikrovili (penumpulan),
pembentukan tumpuan filamen aktin atau struktur mirip
mangkuk, dan kadang-kadang EPEC masuk ke dalam sel
mukosa.
(2) E. coli Enteroinvasive (EIEC)
Menyebabkan penyakit yang sangat mirip dengan
shigellosis. EIEC menimbulkan penyakit melalui invasinya
ke sel epitel mukosa usus
(3) E. coli Enterotoxigenic (ETEC)
Penyebab yang paling sering dari “diare wisatawan” dan
juga merupakan faktor penting dalam menyebabkan diare
pada bayi di negara berkembang. Faktor kolonisasi ETEC
yang spesifik untuk manusia yang menimbulkan perlekatan
ETEC pada sel epitel usus kecil. Lumen usus teregang oleh
cairan dan mengakibatkan hipermotilitas serta diare, dan
berlangsung selama beberapa hari.
(4) E. coli Enteroaggregative (EAEC)

39

EAEC adalah patogen yang dikenal sebagai penyebab
penyakit Travelers diarrhea. Bakteri ini dapat menyebabkan
diare akut atau kronis yang tidak berdarah tanpa menginvasi
atau memicu reaksi inflamasi.
(5) E. coli Enterohemorrhagic (EHEC)
EHEC menghasilkan sitotoksin yang dapat menyebabkan
kolitis hemoragik, bentuk diare yang berat, dan sindroma
uremik hemolitik yaitu suatu penyakit akibat gagal ginjal
akut, anemina hemolitik mikroangiopatik, dan
trombositopenia.
Terdapat salah satu jenis strain bakteri E. coli yang paling
berbahaya yaitu E. coli 0157:H7 yang sering mengakibatkan
kematian. Bakteri ini menghasilkan enterotoksin yang dapat
merusak sel mukosa. Toksin ini juga mempengaruhi transfer air,
glukosa, dan elektrolit selama proses kolonisasi dan
pertumbuhannya dalam alat pencernaan manusia.

Metode Pembiakan E. coli dan Aplikasi Aktivitas


Antimikroba

Langkah-langkah untuk pengujian ini dilakukan 4 tahap


yaitu tahap pertama: melakukan ektraksi daun tomat dan
purifikasi peroksidase daun tomat. Tahap kedua yaitu
melakukan pengujian kualitas protein, uji profil protein
Elektroforesis Gel Poliakrilamida-Sodium Dodesil Sulfat (SDS
PAGE) dan uji total ptotein bradford. Tahap ketiga yaitu
pengambilan senyawa Hypoiodous Acid (HIO) dari ekstrak daun
tomat dan tahap keempat yaitu pembiakan E. coli dan aplikasi
aktivitas antimikroba.
Bakteri yang digunakan untuk pembiakan yaitu kultur
bakteri E. coli FNCC 0009 yang disimpan dengan metode agar
miring. Peremajaan bakteri dilakukan dengan metode sphread
yaitu diawali dengan proses pelarutan agar miring yang berisi E.
coli dengan menggunakan phosphat buffer (PB) steril. Proses
selanjutnya yaitu pengambilan sampel biakan dengan
menggunakan jarum ose yang kemudian dilakukan proses
40

sphread ke dalam agar miring yang berisi media DHL agar
steril. Agar miring yang berisi E. coli kemudian diinkubasi
selama 24 jam pada suhu 30°C (F1). Proses peremajaan seperti
di atas dilakukan kembali untuk mendapatkan baktei E. coli (F2)
yang nantinya akan digunakan untuk pengaplikasian terhadap
hypoiodous. Populasi bakteri E. coli yang nantinya digunakan
sebagai kepadatan populasi awal diukur dengan metode
pencawanan hingga tujuh pengenceran.
Aplikasi aktivitas antimikroba HIO dilakukan dengan
menggunakan metode buffer. Biakan bakteri E. coli yang telah
disimpan di media agar miring dilarutkan dengan menggunakan
PB NaCl sebanyak 2 ml, kemudian dilakukan pengenceran
bakteri sebanyak 10.000 kali dan diambil 100 µl. Bersamaan
dengan itu juga menyiapkan campuran komposisi HIO yang
akan digunakan. Komposisi HIO dan modifikasinya yang akan
dibuat dapat dilihat pada tabel 8.

Tabel 8. Komposisi HIO yang Digunakan


Komposisi
Substrat
1 2 3 4 5
Enzim POD 300 µl - - - -
H 2O 2 300 µl 300 µl 300 µl - -
KIO3 300 µl 300 µl - 300 µl -
Air - 300 µl 600 µl 600 µl 900 µl

Masing-masing komposisi dibuat dengan volume


sebanyak 900 µl dan kemudian dimasukkan ke dalam tube yang
sudah berisi 100 µl biakan bakteri E. coli. Sebagai pembanding
juga membuat komposisi yang sama tetapi dengan mengganti
100 µl larutan biakan bakteri E. coli dengan 100 µl larutan PB
NaCl steril. Kemudian masing-masing tube diinkubasi pada
suhu 30 °C selama 4 jam dan dilanjutkan dengan menghitung
absorbansi dengan spektrofotometer pada panjang gelombang
600 nm. Perhitungan jumlah mikroba dihitung dengan
menggunakan formula kurva standar yang sebelumnya telah
ditentukan yang merupakan kurva hyperbolic antara populasi

41

bakteri dan absorbansi 600 nm. Perhitungan ini dilakukan untuk
menentukan jumlah mikroba dari 0 – 1.000.000 CFU/ml.

Aktivitas Antibakteri Hypoiodous Terhadap E. Coli

Enzim peroksidase diketahui sebagai agen antimikroba,


karena kemampuannya dalam menghambat bakteri melalui
reaksi oksidasi yang melibatkan senyawa iodida dan hidrogen
peroksida. Berdasarkan hasil pengujian absorbansi aktivitas
antimikroba hypoiodous pada panjang gelombang 600 nm
diperoleh nilai absorbansi pada Tabel 9.
Tabel 9. Hasil Absorbansi Aktivitas Antimikroba 5 Sampel
Sampel Absorbansi 600 nm
Bakteri + Air 0,013
Bakteri + Enzim Peroksidase + H2O2 + KIO3 0,006
Bakteri + H2O2 + KIO3 0,013
Bakteri + H2O2 0,012
Bakteri + KIO3 0,015

Tabel 10. Presentase Penurunan Jumlah Bakteri E. coli


Sampel Log CFU/ml

Bakteri + Enzim Peroksidase + H2O2 3,401±0,0031


+ KIO3
Bakteri + H2O2 + KIO3 5,362±0,0020
Bakteri + H2O2 5,166±0,0005
Bakteri + KIO3 5,634±0,0036

Berdasarkan Tabel 9. sampel bakteri yang ditambahkan


enzim peroksidase, H2O2, KIO3 dengan nilai absorbansinya
paling rendah, yang berarti bahwa jumlah bakteri telah
berkurang dari jumlah awalnya. Sedangkan nilai absorbansi
yang cenderung sama terlihat pada sampel bakteri yang tanpa
adanya penambahan enzim peroksidase. Nilai absorbansi
menunjukkan kecenderunan hasil yang tetap, yang berarti
bahwa jumlah bakteri tidak banyak berubah dari jumlah awal.

42

Untuk membuktikan jumlah penurunan bakteri yang
terjadi secara kuantitatif maka perlu adanya konversi ke log unit
yang akan disajikan pada Tabel 10.
Mengacu pada tabel 10. presentase penurunan jumlah
bakteri terbesar terlihat pada sampel yang ditambahkan enzim
peroksidase + H2O2 + KIO3 yaitu sebesar 99% dari jumlah
bakteri awal yaitu 2,7 x 106 CFU/ml. Efek bakteriosidal
dilakukan oleh senyawa asam hypoiodous (HIO) dalam
membunuh bakteri dengan cara merusak gugus sulfhidrill (-SH)
protein dari membran sitoplasma bakteri, sehingga akan
menghambat proses respirasi bakteri. Besarnya aktivitas
antibakteri asam hypoiodous terhadap jumlah bakteri akhir E.
coli dapat dilihat pada Ilustrasi 20.

3
Penurunan Jumlah Bakteri E. coli (Log CFU/ml)

2.599 Penurunan Jumlah Bakteri E. coli

2.5

1.5

1 0.763 0.834
0.638

0.5 0.366

0
Bakteri + Air Bakteri + Bakteri + Bakteri + Bakteri +
(kontrol) Enzim POD H2O2 + H2O2 KIO3
+ H2O2 + KIO3
KIO3

Ilustrasi 20. Profil aktivitas antibakteri asam Hypoiodous terhadap


penurunan jumlah bakteri E. coli selama inkubasi 4 jam

Ilustrasi 20. menunjukkan semua sampel terjadi


penurunan jumlah bakteri E. coli. Penurunan jumlah bakteri
terbesar terdapat pada sampel bakteri yang ditambahkan
komposisi enzim peroksidase + H2O2 + KIO3. Hal ini

43

dikarenakan penambahan enzim peroksidase terbukti dapat
meningkatkan aktivitas pembentukan senyawa asam
hypoiodous (HIO) yang dapat menurunkan aktivitas bakteri.
Komponen ini mematikan mikroorganisme dengan
mengoksidasi kelompok sulfhidrill dari enzim mikroba,
sehingga menyebabkan gangguan fungsional pada protein yang
menyebabkan kematian pada mikroba. Adanya penambahan
H2O2 dan KIO3 pada sampel bakteri juga mempengaruhi
penurunan jumlah bakteri E. coli. Tetapi penurunan yang terjadi
tidak begitu signifikan dan tergolong rendah. Hal ini terjadi
dikarenakan tidak adanya penambahan enzim peroksidase yang
berfungsi sebagai katalisator yang menyebabkan aktivitas
pembentukan senyawa asam hypoiodous (HIO) menjadi tidak
maksimal.
Penurunan jumlah bakteri E. coli juga terjadi pada sampel
yang ditambahkan H2O2, tetapi penurunan yang terjadi tidak
signifikan dan tergolong rendah. Penurunan ini pada dasarnya
dapat terjadi karena sifat H2O2 yang dikenal sebagai antibakteri.
H2O2 menunjukan aktivitas antimikroba dengan menurunkan
bakteri vegetatif, spora bakteri, jamur, bahkan juga virus. Sama
halnya dengan H2O2, penambahan KIO3 juga mempengaruhi
penurunan jumlah bakteri E. coli dalam jumlah yang rendah. Hal
ini karena adanya unsur iodium yang merupakan agen
antimikroba. Tidak adanya substrat membuat kalium iodat
(KIO3) tidak bisa melakukan proses oksidasi sehingga senyawa
antimikroba seperti asam hypoiodous (HIO) tidak dapat
terbentuk.
Penambahan enzim peroksidase berbasis daun tomat
memiliki efek yang baik terhadap sistem peroksidase (PODS).
Efek bakteriosidal tertinggi dapat terlihat pada sampel yang
ditambahakan enzim peroksidase, H2O2 dan KIO3 karena
terbentuknya senyawa asam hypoiodous (HIO) yang
menyebabkan penurunan jumlah bakteri E. coli sebesar 99%.
Penurunan yang terjadi sangat baik karena dapat menurunkan

44

aktivitas bakteri E. coli yang merupakan bakteri patogen
penyebab berbagai kasus penyakit.

45

EFEK SENYAWA ANTIMIKROBIA HYPOIODOUS
(HIO) DARI SISTEM PEROKSIDASE DAUN TOMAT
TERHADAP Saccharomycaes cerevisiae
Penelitian tentang enzim peroksidase untuk menguji
efeknya terhadap aktivitas antibakteri sudah banyak dilakukan
terutama pada bakteri E. coli. Namun peroksidase belum banyak
diujikan pada jamur terutama jamur Saccharomyces cerevisiae.
Jamur ini sering disebut dengan ragi yang banyak digunakan
untuk pembuatan roti sehingga perlu diketahui apakah enzim
peroksidase berbahan dasar daun tomat ini mempunyai efek
terhadap pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae. Harapannya
aplikasi HIO pada jamur Saccharomyces cerevisiae ini tidak
menghambat pertumbuhan jamur.

Saccharomyces cerevisiae

Saccharomyces cerevisiae merupakan jamur (yeast) yang


tergolong eukariot. Secara morflogi berbentuk bulat lonjong,
silindris, oval atau bulat telur yang dipengaruhi oleh strainnya.
Berkembang biak dengan cara membelah diri melalui “budding
cell”. Reproduksinya dapat dipengaruhi oleh keadaan
lingkungan serta jumlah nutrient yang tersedia bagi
pertumbuhan sel. Taksonomi Saccharomyces adalah:

Kingdom = eukaryota, Phylum fungi, Subphylum ascomyta.


Class = Saccharomycetes
Order = Saccharomyceteles
Family = Saccharomyceteceae
Genus = Saccharomyces
Species = Saccharomyces cerevisiae

Saccharomyces adalah genus dalam kerajaan jamur yang


mencakup banyak jenis ragi. Banyak anggota dari genus ini
dianggap sangat penting dalam produksi makanan. Salah satu
contoh adalah Saccharomyces cerevisiae, yang digunakan

46

dalam pembuatan anggur, roti, dan bir. Jamur Saccharomyces
cerevisiae ini merupakan jamur yang banyak digunakan pada
pembuatan roti. Jamur ini mudah untuk ditumbuhkan,
membutuhkan nutrisi yang sederhana, laju pertumbuhan yang
cepat, sangat stabil dan aman untuk digunakan. Dengan
karakteristik tersebut jamur Saccharomyces cerevisiae ini lebih
banyak digunakan dalam pembuatan roti dibandingkan dengan
penggunaan jenis khamir yang lain.
Saccharomyces memiliki karakteristik yang khas yaitu
ketidakmampuan untuk memanfaatkan nitrat dan kemampuan
untuk berbagai fermentasi karbohidrat. Jamur Saccharomyces
cerevisiae, atau di Indonesia lebih dikenal dengan nama jamur
ragi juga masuk dalam bahan pangan Generally Recognized as
Safe yaitu bahan pangan yang aman untuk dikonsumsi.

Metode Peremajaan dan Aplikasi HIO pada Jamur


Saccharomyces cerevisiae

Langkah-langkah untuk pengujian ini dilakukan 4 tahap


yaitu tahap pertama: melakukan ektraksi daun tomat dan
purifikasi peroksidase daun tomat. Tahap kedua yaitu
melakukan pengujian kualitas protein, uji profil protein
Elektroforesis Gel Poliakrilamida-Sodium Dodesil Sulfat (SDS
PAGE) dan uji total ptotein bradford. Tahap ketiga yaitu
pengambilan senyawa Hypoiodous Acid (HIO) dari ekstrak daun
tomat dan tahap keempat yaitu permajaan Saccharomyces
cerevisiae dan aplikasi HIO.
Jamur yang digunakan yaitu Saccharomyces cerevisiae
yang disimpan dengan metode agar miring. Metode
pengeremajaan menggunakan metode sphread yang diawali
dengan proses pelarutan agar miring yang berisi jamur
Saccharomyces cerevisiae menggunakan phospat buffer (PB)
steril yang dilanjutkan dengan pengambilan sampel biakan
menggunakan jarum ose yang dimasukkan ke dalam tube yang
berisi 15 ml natrium broth steril dan diinkubasi pada suhu 30°C
selama 1 hari kemudian didapatkan F1. Proses peremajaan seperti
47

di atas dilakukan kembali untuk mendapatkan F2 yang nantinya akan
digunakan untuk pengaplikasian terhadap hypoiodous.
Proses aplikasi HIO pada jamur Saccharomyces cerevisiae
ini mengacu berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan oleh
Al-Baarri (2011) metode yang dilakukan yaitu dengan
pencampuran 100 µl jamur ke dalam masing-masing HIO yang
telah dibuat per konsentrasi sebanyak100; 200 dan 300 µl HIO
di dalam tube, kemudian diinkubasi selama 3 jam dan diteteskan
sebanyak 100 µl pada media Potato Dextrose Agar (PDA) steril.
Cawan diinkubasi selama 2 hari.

Aplikasi HIO pada Jamur Saccharomyces cerevisiae

Hasil pengujian HIO pada jamur Saccharomyces


cerevisiae dapat dilihat pada Ilustrasi 21.

Ilustrasi 21. Data hasil Uji HIO pada jamur Saccharomyces cerevisiae.
Keterangan: Blangko = Aquades
T1 =100 µl HIO
T2 =200 µl HIO
T3 =300 µl HIO
Pada Ilustrasi 21. menunjukan bahwa tidak terjadi
perubahan yang signifikan antara blangko, 100; 200 dan 300 µl
HIO dan hal ini mengindikasikan bahwa enzim peroksidase dari
daun tomat tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan jamur
Saccharomyces cerevisiae.

48

Ilustrasi 22. Hasil Pengamatan HIO Pada Jamur Saccharomyces cerevisiae.

Tidak adanya perbedaan nyata pemberian HIO terhadap


pertumbuhan jamur Saccharomyces cerevisiae ini dikarena
beberapa factor yaitu konsentrasi volume HIO yang digunakan
yang masih kurang sehingga konsentrasi volume yang
digunakan tidak berpengaruh terhadap pertumbuhanan jamur
Saccharomyces cerevisiae dan juga jumlah unit peroksidase
yang terkandung juga sangat berpengaruh untuk membunuh
jamur atau tidak. Sehingga aplikasi HIO pada kisaran dosis 100;
200 dan 300 µl menunjukan hasil yang tidak berpengaruh
terhadap pertumbuhan jamur Saccharomyces cerevisiae.

49

DAFTAR PUSTAKA

Al-Baarri, A. N., M. Ogawa, and S. Hayakawa. 2010. Scale-up


studies on immobilization of lactoperoxidase using milk
whey for producing antimikrobial agent. Jurnal
Indonesian Tropical Animal Agriculture, 35 (3): 185-191.

Al-Baarri, A. N., M. Hayashi, M. Ogawa, and S. Hayakawa.


2011. Effects of mono- and disaccharides on the
antimicrobial activity of bovine lactoperoxidase system.
Journal of Food Protection, 74(1): 134-139.
Al-baarri, A. N., A.M. Legowo, S. Hayakawa and M. Ogawa.
2015. Enhancement antimicrobial activity of
hyphothiocyanite using carrot against Staphylococcus
Aureus and Escherichia Coli. Italian Oral Surgery. 3: 473–
478.

Atasever, A., H. Ozdemir, I. Gulcin, and I. Kufrevioglu. 2013.


One-step purification of lactoperoxidase from bovine milk
by affinity chromatography. Food Chemistry, 136: 864-
870.

Bafort, F., O. Parisi, J.P. Perraudin and M.H. Jijakli. 2014. Mode
of action of lactoperoxidase as related to its antimicrobial
activity: A Review. Enzyme Research. 2014: 1–13.
Bashan, Y., Y. Okon and Y. Henis. 1985. Peroxidase,
polyphenoloxidase and phenols in relation to resistance
against Pseudomonas syringae pv. tomato in Tomato
Plants. Journal of Botani. 65: 366–372.
Bodalo, A., J. L. Gomez, E. Gomez, J. Bastida, M. F. Maximo.
2006. Comparison of commercial peroxidase for
removing phenol from water solutions. Chemosphere.
63(4): 626-632.

50

Botella, M. A., M.A. Quesadab, M.I. Medina, F. Pliegob and V.
Valpuesta. 1994. Induction of a tomato peroxidase gene in
vascular tissue. FEBS Letters. 347: 195–198.

Brooks, G. F., J. S. Butel, and S. A. Morse. 2005. Mikrobiologi


Kedokteran. Penerbit Salemba Medika, Jakarta.

Cahyana, A. H., R. Handayani, dan F.D. Ardiyanti. 2006.


Pemanfaatan enzim peroksidase dari brokoli (Brassica
oleacea L.) untuk meningkatkan kapasitas antioksidan teh
hijau (Camelia Sinensis). Jurnal Ilmu dan Teknologi
Pangan, 4(1): 1-12.

Chandler, J. D. and B. J. Day. 2012. Thiocyanate: A potentially


useful therapeutic agent with host defense and antioxidant
properties. Biochemical Pharmacology, 84 (11): 1381–
1387.

Dinnarwika, S. N. 2012. Uji Potensi Ekstrak Etanol Daun Tomat


(solanum lycopersicon linn.) Sebagai Insektisida
Terhadap Nyamuk Culex sp. dengan Metode Elektrik.
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya,
Malang.
Hazman. 2010. Whey Protein Fractionation Based on Sp-
Sepharose Cation Exchange Chromatography. Thesis.
Faculty of Chemical & Natural Resources Engineering,
Pahang University. Malaysia.
Hayashi, M., S. Naknukool, S. Hayakawa, M. Ogawa, and A. N.
Al-Baarri. 2012. Enhancement of antimicrobial activity of
a lactoperoxidase system by carrot extract and β-carotene.
Food Chemistry, 130 (3): 541–546.

51

Hill, K. J., M. Kaszuba, J.E. Creeth and M.N. Jones. 1997.
Reactive liposomes encapsulating a glucose oxidase-
peroxidase system with antibacterial activity. Biochimica
et Biophysica Acta - Biomembranes. 1326: 37–46.
Hiraga, S., K. Sasaki, H. Ito, Y. Ohashi, H. Matsui. 2001. A
large family of class III plant peroxidase. Cell Physiology.
42(5): 462-468.
Hossain A., F. Yamaguchi, T. Matsuo, I. Tsukamoto, Y.
Toyoda, M. Ogawa, Y. Nagata and M. Tokuda. 2015.
Rare sugar d-allulose: potential role and therapeutic
monitoring in maintaining obesity and type 2 diabetes
mellitus. J. Pharmthera, 8(4): 1-45.
Isobe, N., H. Kubota, A. Yamasaki and Y. Yoshimura. 2011.
Lactoperoxidase activity in milk is correlated with somatic
cell count in dairy cows. Journal of Dairy Science. 94 (8):
3868–3874.

Karlina, C. Y., M. Ibrahim, dan G. Trimulyono. 2005. Aktivitas


antibakteri ekstrak herba krokot (Portulaca oleracea L.)
terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli.
LenteraBio, 2 (1): 87–93.

Kumar, P., M. Kamle, J. Singh and D.P. Rao. 2008. Isolation


and characterization of peroxidase from the leaves of
Ricinus communis. Biotechnology and Biochemistry. 4
(4): 283–292.
Letavayova, L., D. Vlasakov, J. E. Spallholz, J. Brozmanova,
dan M. Chovanec. 2007. Toxicity and mutagenicity of
selenium compounds in Saccharomyces cerevisiae.
Mutation Research 638 (2008) 1–10.

52

Li Z., Y. Gao, H. Nakanishi, X. Gao and L. Cai. 2013.
Biosynthesis of rare hexoses using microorganism and
related enzymes. Beilstein J. Org. Chem. 9: 2434-2445.
Lin H. J. and A.Y.H. Lu. 1998. Inhibition and induction
cytochrome p450 and the clicnical implication. Clin
Pharmacokine 35 (5): 361-390.
Manu, B. T. and U. J. S. Prasada Rao. 2002. Calcium modulated
activity enhancement and thermal stability study of a
cationic peroxidase purified from wheat bran. Food
Chemistry. 114: 66-71.
Martinovic, T., U. Andjelkovic, M. S. Gajdosik, D. Resetar, and
D. Josic. 2016. Foodborne pathogens and their toxins.
Journal of Proteomics, 16: 233-271.
Miteva, E., D. Hristova, V. Nenova and S. Maneva. 2005.
Arsenic as a factor affecting virus infection in tomato
plants: changes in plant growth, peroxidase activity and
chloroplast pigments. Scientia Horticulturae. 105: 343–
358.
Mudjajanto, S. dan L.N. Yulianti. 2004. Membuat Aneka Roti.
Swadaya. Jakarta.
Passam, H.C., I. C. Karapanos, P. J. Bebeli And D. Savvas.
2007. A Review of recent research on tomato nutrition,
breeding and post-harvest technology with reference to
fruit quality. The European Journal of Plant Science and
Biotechnology. 1(1):1-21.
Pelczar M. J. dan E. C. S. Chan. 2007. Dasar-Dasar
Mikrobiologi Jilid 2. Penerbit Universitas Indonesia,
Jakarta.

53

Purich, D.L. 2010. Enzyme Kinetics Catalysis Control: A
Reference of Theory and Best-Practice Methods.
Elseiver Inc., United Kingdom.
Rahardjo, R. 2004. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Rauwald, H., J. Flemmig, D. Rusch and M.E. Czerwin. 2014.
Components of a standardised olive leaf dry extract
(Ph.Eur.) promote hypothiocyanite production by
lactoperoxidase. Archives of Biochemistry and
Biophysics. 549: 17–25.

Sartika, R. A. D., Y. M. Indrawani, dan T. Sudiarti. 2005.


Analisis mikrobiologi Escherichia coli O157:H7 pada
hasil olahan hewan sapi dalam proses produksinya. Jurnal
Mikrobiologi, 9 (1): 23–28.

Seifu, E., E.M. Buys and E.F. Donkin. 2005. Significance of the
lactoperoxidase system in the dairy industry and its
potential applications: A review. Trends in Food Science
and Technology. 16 (4): 137–154.
Vetal M. D. And V. K. Rathod. 2015. Three phase partitioning
a novel technique for purification of peroxidase
from orange peels (Citrus Sinenses). Food and Bioproduct
Processing. 94:284-289.
Yasa, I.N.D., I.P. Sudiarta, I.G.N.A.S. Wirya, K. Sumiarta,
I.M.S. Utama, G.C. Luther dan J. Mariyono. 2012.
Kajian ketahan terhadap penyakit busuk daun
(Phytophthora Infestans) pada beberapa dalur tomat. E-
Journal Agroekoteknologi Tropika, 1(2): 2301-6515.

54

INDEKS ISTILAH

Aktivitas peroksidase: 3, 27, 28


Antifungal: 13
Antimikroba: 2, 5, 38, 41, 42, 44
Daun tomat: 4, 5, 6, 7, 8, 11, 13, 14, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24,
25, 26, 27, 31, 32, 35, 37, 40, 44, 46, 47, 49
DEAE: 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13
E. coli: 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 45
Enzim: 1, 2, 3, 4, 6, 7, 9, 10, 11, 13, 14, 16, 17, 18, 19, 20, 21,
22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 30, 31,32, 35, 36, 38, 41, 42,
43, 44, 46, 48, 50
Hypothiocyanite: 2, 27, 28
Kromatografi: 5, 6, 13
Membran sitoplasma: 43
Saccharomyces cerevisiae: 46, 47, 48, 49
SDS-PAGE: 9, 11
Sp-Sepharose Fast Flow: 6, 7, 9, 11
Peroksidase: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 11, 12, 13, 14, 18, 19, 20, 21, 22,
23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35,
36, 37, 38, 40, 42, 43, 44, 46, 47, 48, 49
Pseudo-halide thiocyanate: 28
Purifikasi: 5, 7, 8, 18, 31, 40, 47

55

56

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai