Anda di halaman 1dari 14

SEMINAR NASIONAL RISET INOVATIF II, TAHUN 2014

ISSN : 2339-1553

IN/FIDELITY CRITICISM:
MENUJU KAJIAN ADAPTASI YANG LEBIH KRITIS DAN TERBUKA
Ni Komang Arie Suwastini
Department of English Education
Ganesha University Singaraja, Bali – Indonesia
ariesuwastini_101004@yahoo.co.uk

Abstrak
Penelitian ini mengkaji masalah hirarki yang terbentuk di dalam hubungan antara kajian susastra
dan kajian adaptasi dan di antara kajian film dengan kajian adaptasi. Pada kedua hubungan
tersebut, kajian adaptasi selalu dimariginalisasi. Dengan membatasi pembahasan pada adaptasi
dari novel ke dalam bentuk film, kajian ini menelusuri kembali hubungan yang saling
menguntungkan dalam perkembangan awal kajian film dan kajian adaptasi, memaparkan keunikan
dari film adaptasi, menjelaskan perkembangan kajian adaptasi, dan mencermati dominasi kritik
kesetiaan dalam enam konsep adaprasi yang diajukan oleh Kamilla Elliott (2004). Dari
pembahasan tersebut, ditunjukkan bahwa film adaptasi adalah genre film tersendiri yang berbeda
baik dari novel sumbernya maupuan dari film yang diproduksi dari naskah orisinil, di mana unsur-
unsur dari novel sumbernya selalu terasa dan diperkaya oleh unsur-unsur sinematografis film
sebagai medianya. Dengan demikian, kajian adaptasi seharusnya tidak boleh dibahas terbatas
pada apa yang hilang dari novel sumbernya, tetapi bagaimana novel ini diadaptasikan ke dalam
bentuk baru, perubahan apa yang muncul, bagaimana, dan apa akibatnya. Berdasarkan
pertimbangan tersebut, penelitian ini kemudian merumuskan sebuah model hubungan sinergis
antara kajian susastra, kajian film, dan kajian adaptasi yang membuktikan bahwa kajian adaptasi
berada pada posisi sejajar dengan kedua kajian lainnya karena kajian adaptasi juga berkontribusi
kepada kedua kajian lainnya.

Kata Kunci: kajian adaptasi, kajian film, kajian susastra, kritik kesetiaan, model sinergis.

Abstract
The essayadvocates for the undermining of the Literary Studies/Adaptation Studies and Film
Studies/Adaptation Studies hierarchies which place adaptation studies and film adaptations in
subordinate positions, much in the same line with the position of translation and translation studies.
Limiting itself to the adaptation of literary works (especially novel) into films, the paper reviews the
mutual relationship of Adaptation Studies and Film Studies in their early establishments in USA and
UK, elaborates the unique characteristics of film adaptations, explores the development of
adaptation criticism, and observes the persistence of fidelity criticism in adaptation studies through
the six concepts of adaptation proposed by Kamilla Elliott (2004). It is argued that film adaptation is
a distinct genre, different from the novel source and from film from original script, where some
elements of the source novel are always traceable in various degrees, enriched by the
cinematographic elements of film as its new media. Adaptation Studies, then, should not be
confined to see what is amiss from the novel, but how it is adapted into the new form, what changes
occur, how, and to what effects, without aiming to judge the quality of the film from its resemblance
with the novel source. Taking these matters into account, the paper then develops a synergic model
of the relationship between Literary Studies, Film Studies and Adaptation Studies, since Adaptation
studies, along with film adaptations, also contribute to the development of the other two.

Key words: adaptation studies, film adaptation, fidelity criticism, synergic model.

1. Pendahuluan memperkirakan bahwa sekitar 85% film yang


Film adaptasi merupakan fenomena pernah diproduksi merupakan adaptasi dari
yang tak pernah surut dari industri perfilman, karya sastra atau dari drama. Sejalan dengan
hingga Welsh dan Lev (2007: xiii) berani Welsh dan Lev, Kranz dan Mellerski (2008:

829
SEMINAR NASIONAL RISET INOVATIF II, TAHUN 2014
ISSN : 2339-1553

1) mengutip bahwa dua per tiga produksi sebuah genre yang khas yang memiliki
Hollywood sejauh ini merupakan adaptasi pijakan pada dua bidang sekaligus: film dan
sedangkan hampir seluruh film box-office58 novel (sastra).
dari Hollywood merupakan adaptasi. Makalah ini akan ditujukan untuk
Berbagai alasan melandasi munculnya mencermati perkembangan kajian adaptasi
adaptasi. Pada awalnya, adaptasi dari karya dari dominasi kajian kesetiaan (atau fidelity
sastra dilakukan untuk meningkatkan criticism) hingga ke arah yang lebih terbuka
popularitas film sebagai seni yang baru dan plural yang dapat dipayungi dengan
muncul, adaptasi menjadi perwujudan istilah kritik ketidaksetiaan (atau infidelity
kebutuhan akan keabadian karya yang criticism) dengan meminjam istilah dari Kranz
diadaptasi, dan adaptasi tak lepas dari dan Mellerski (2008: 5). Pertama, akan
masalah keuntungan finansial yang ditelusuri sejarah kajian adaptasi yang
didatangkan (Kranz dan Mellerski, 2008). dikaitkan dengan kemunculan kritik kesetiaan
Untuk novel-novel klasik yang sudah berada serta hirarkisasi kajian adaptasi sebagai
di “public domain” (yakni sudah tidak terikat subordinat terhadap kajian sastra dan kajian
hak cipta), maka adaptasi akan dimudahkan film. Kemudian dijelaskan secara ringkas
dari dua segi. Pertama, proses adaptasi
dapat menekan biaya produksi karena tidak
perlu membayar hak cipta kepada penulis
novelnya. Kedua, adaptasi dapat melakukan
perubahan apa saja yang sesuai dengan
tujuan adaptasinya tanpa khawatir untuk
menuai protes dari penulisnya (Parill 2002,
Barcsay 2008, Donaldson-Evans, 2009).
Seiring dengan bertahannya film
adaptasi dalam industri perfilman, isu
kesetiaan yang mencermati kesesuaian
sebuah adaptasi terhadap novel sumbernya
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
kajian adaptasi. Pada perkembangannya,
karena kritik kesetiaan dianggap telah
membangun dan mengajegkan hirarki yang
menempatkan film adaptasi sebagai
subordinat, berbagai alternatif kemudian
ditawarkan untuk melakukan kajian yang
lebih kritis terhadap film adaptasi, seperti
pertukaran dialogis, intertekstualitas,
dekonstruksi, kontekstual, kajian historis, dan
adopsi teori polisistem dari kajian
penerjemahan untuk menjelaskan bagaimana
dan untuk tujuan apa perubahan dalam film
adaptasi dilakukan. Dari berbagai
pendekatan tersebut, ada satu hal dari kritik
kesetiaan yang tetap menjadi bahan
perdebatan, yakni mengenai persamaan dan
perbedaan novel dengan film adaptasinya,
seperti yang dicermati oleh Kranz dan
Mellerski (2008), meski tujuannya kini bukan
lagi untuk “mengutuk” film adaptasi karena
telah “mengkhianati” novel sumbernya. Hal ini
dapat dipahami karena film adaptasi sebagai

58
Film yang mencapai kesuksesan komersial
tinggi karena mampu meraup keuntungan tinggi
pada enam minggu pertama pemasarannya di
bioskop di seluruh dunia (Kerrigan, 2010).

830
SEMINAR NASIONAL RISET INOVATIF II, TAHUN 2014
ISSN : 2339-1553

mengenai kekhasan film adaptasi film, kajian sastra, dan kajian adaptasi pada
dan kategoriasinya. Langkah berikutnya posisi sinergis yang meruntuhkan oposisi
adalah pembahasan enam model adaptasi biner dan hirarkisasi yang berujung pada
dari Kamilla Elliott (2004) sebagai rangkuman marginalisasi kajian adaptasi.
pluralitas pendekatan yang digunakan Pembahasan ini diharapkan dapat
terhadap kajian adaptasi. Pembahasan ini mengembangkan model kajian adaptasi yang
diikuti dengan penjelasan mengenai lebih relevan untuk membaca adaptasi yang
kontinuumkajian kesetiaan-kajian diproduksi pada masa yang menjunjung
ketidaksetiaan sebagai model kajian adaptasi proses dialog antara teks dan pembaca dan
berpegang pada kekhasan film adaptasi menolak konsep makna tunggal dari sebuah
sebagai genre yang berakar pada novel dan teks. Lebih jauh, pengembangan model kritik
film dengan tetap bersikap terbuka terhadap ketidaksetiaan yang menuju pada sinergi
perubahan dan interpretasi dalam film antara kajian film, kajian susastra, dan kajian
adaptasi. Model adaptasi ini akan adaptasi ini diharapkan dapat menjadi
digandengkan dengan pembahasan sumbangan bagi pengembangan kajian
mengenai interaksi timbal balik antara kajian adaptasi sebagai bidang kajian yang khas
film, kajian sastra dan kajian adaptasi yang dan terlepas dari hirarkisasi yang
dimungkinkan melalui pengakuan terhadap memarginalkannya terhadap kajian susastra
film adaptasi sebagai genre yang khas. dan kajian film.
Model interaksi ini akan menempatkan kajian

2.
Sejarah Kajian Adaptasi, Kritik Kesetiaan, film yang mengalihwahanakan novel atau
dan Hirarkisasi dalam Kajian karya sastra lainnya ke media film, Aragay
Adaptasi melihat bahwa kajian adaptasi merupakan
Para kritikus adaptation studies kajian yang membidangi interseksi yang
sepakat bahwa film studies dan adaptation dibentuk oleh kajian sastra dan kajian film
studies muncul sebagai bagian dari Jurusan dalam pembahasan terhadap film adaptasi
Bahasa dan Sastra Inggris di berbagai (2005: 18). Jika diilustrasikan, Diagram 1
universitas di Amerika Serikat dan Inggris berikut tampaknya menunjukkan wilayah
sejak pertengahan abad keduapuluh (Murray, interseksi yang menjadi bidang kajian
2008; Aragay, 2005; dan Andrew, adaptasi ini.
1984).Sebagai kajian yang membahas film-

Diagram 1: Model Posisi Kajian Susastra, Kajian Film, dan Kajian Adaptasi

Literary Adaptation Film Studies


Studies Studies

membahas film-film yang dialihmediakan dari


Diagram di atas mengilustrasikan karya sastra ke dalam media film, maka
hubungan antara kajian susastra, kajian film, kajian adaptasi memiliki dua kaki yang
dan kajian adaptasi. Sebagai kajian yang

berpijak pada dua bidang yang menjadi titik tumpuannya. Dalam hal ini,
berbeda, yakni kajian susastra dan kajian pemahaman terhadap novel dan film sebagai
film. Dengan demikian, kajian adaptasi dua media representasi yang berlainan
seharusnya memperlakukan film adaptasi (dengan persamaan dan perbedaan tertentu)
sesuai dengan kekhasannya, yakni sangat diperlukan untuk dapat
memperhitungkan kedua bidang yang memperlakukan sebuah film adaptasi secara

831
SEMINAR NASIONAL RISET INOVATIF II, TAHUN 2014
ISSN : 2339-1553

adil sesuai dengan kekhasannya: tetap posisi subordinat kajian adaptasi dan film
melihat film tersebut terkait novel sumbernya adaptasi terhadap kajian susastra dan karya
dan kekhasasan media film, serta berbagai sastra kanon. Dari sudut pandang kajian film
masalah khas dalam proses produksi itu sendiri, film adaptasi dianggap memiliki
adaptasi itu sendiri. kualitas yang lebih rendah karena tidak
Hal lain yang harus dicatat mengenai kreatif dan hanya bisa mencuri dari karya
perkembangan kajian adaptasi di bawah sastra. Menurut McFarlan, anggapan
Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris adalah inimerupakan refleksi dari lemahnya
dominasi pendekatan sastra “New Criticism” pemahaman kritikus film mengenai sastra
dalam kajian susastra pada tahun 1950an (2007: 5). Penyataan Cartmell dan Whelehan
dan 1960an. Pendekatan New (2007, dalam Barcsay, 2008: 13), bahwa
Criticismmenempatkan teks sastra sebagai “literature on screen was too literary for film
kesatuan yang lengkap dengan makna studies and too film-based for literary studies”
tunggal yang akan dipahami oleh pembaca rupanya cukup untuk merangkum
yang pasif (Aragay 2005: 11). Dalam “kecanggungan” posisi kajian adaptasi di
paradigms seperti ini, film adaptasi dibahas antara kajian film dan kajian susastra.
sebagai tiruan karya sastra yang harus selalu Jadi, dapat dikatakan bahwa dalam
dicurigai kesetiannya terhadap novel perkembangannya, kedua pijakan film
sumbernya. Robert Stam dalam adaptasi dan adaptation studies telah
BeyondFidelity (2000, dikutip dalam menempatkan bidang kajian ini dalam posisi
Donaldson-Evans, 2009: 26) menyebutkan subordinat sehingga Murray (2008: 4)
senioritas, ikonofobia, dan logofilia sebagai menyebutkan bahwa kajian adaptasi sering
tiga praduga yang mendasari kritik kesetiaan dianggap sebagai “bastard offspring of
untuk memarginalkan film adaptasi karena literary studies and film studies” atau anak
posisinya sebagai bentuk seni yang paling haram dari perselingkuhan antara kajian
muda, medianya yang mengandalkan seni susastra dengan kajian film. Dengan
visual bersifat inferior dibandingkan seni demikian, diagram 1 yang menunjukkan
sastra, dan bahwa kata-kata dan novel selalu interseksi kajian film dan kajian sastra
lebih baik dari filmnya. sebagai wilayah kajian film adaptasi telah
Sementara itu, kenyataan bahwa film berubah ke dalam bentuk hirarki, yang
studies menggunakan film adaptasi dari kurang lebih dapat diilustrasikan sebagai
novel-novel klasik untuk meningkatkan status berikut.
akademiknya mau tidak mau mengajegkan

Diagram 2: Hirarkisasi Kajian Susastra, Kajian Film dan Kajian Adaptasi

Kajian Susastra Kajian Film

Kajian Adaptasi

Hirarkisasi seperti yang ditunjukkan oleh karakteristik film adaptasi yang menjadi
Diagram 2 di atas jelas bukan kondisi yang wilayah persinggungan antara kajian film dan
menguntungkan bagi bidang kajian adaptasi. kajian susastra sehingga untuk memahami
Penilaian sepihak terhadap kajian adaptasi sebuah film adaptasi dan melakukan kajian
dan film adaptasi ini terjadi karena terhadap adaptasi diperlukan pengalaman
pemahaman yang tidak lengkap mengenai yang cukup mengenai film dan pengalaman

832
SEMINAR NASIONAL RISET INOVATIF II, TAHUN 2014
ISSN : 2339-1553

yang memadai dalam hal sastra (McFarlan, 2007: 3).

3.
Film Adaptasi: Kekhasan dan perkembangannya, film adaptasi memiliki
Kategorisasinya kekhasan yang dapat ditarik dari kedua
Andrew (1984:97) mendefinisikan wilayah yang menaunginya, yakni novel
adaptasi sebagai apropriasi suatu makna dari sumbernya dan aspek sinematik yang
sebuah novel sumber. Menurut Andrew menjadi media ekspresinya.
(1984), kekhasan film adaptasi terletak pada Persamaan pertama yang ditarik dari
penyelarasan sistem tanda sinematik dari film novel dan film, terutama film naratif, dari
sebagai media barunya untuk menyampaikan sudut pandang ilmu susastra adalah adanya
makna dari novel sumbernya sehingga. Jadi, unsur tokoh, alur, latar tempat dan latar
tak jauh dari sejarah kemunculan dan

waktu, meski kedua media antara novel dan film. Menurut Elliott (2004),
menyampaikannya dengan cara-cara yang dikotomi-dokotomi ini telah mengabaikan
berbeda. Persamaan ini akan menjadi lebih kenyataan bahwa novel juga memiliki ilustrasi
menyolok dalam film adaptasi, di mana novel visual dan film juga melibatkan banyak dialog
dan film adaptasinya akan berbagi unsur- dan komentar verbal. Bahkan Elliott
unsur yang kurang lebih sama: alur pokok menyebut film sebagai “hybrid verbal-visual
yang kurang lebih sama, tokoh utama yang art” (2004: 3), sehingga sebagian
sama, dan “milieu”atau nuansa yang sama karakteristik novel juga ada pada film.
jika latar tempat dan waktunya diubah. Dari Dari segi proses pembuatannya, film
sinilah muncul salah satu kekhasan film adaptasi menghadirkan kekhasan lain yang
adaptasi, di mana pengalaman menonton film dipicu oleh perbedaan media representasi
adaptasi memerlukan “some degree of yang dimiliki novel dan film. Donaldson-
familiarity with the source material” atau Evans (2009: 29-32) menyebutkan ada
semacam informasi awal mengenai novel setidaknya tujuh hal yang menjadi masalah
sumbernya (Barcsay, 2008: 12). Karena itu, dalam proses adaptasi. Pertama adalah
film adaptasi memiliki resiko tinggi untuk untuk menyesuaikan persepsi pembaca
mendapat cercaan dari kritik kesetiaan yang mengenai citraan tokoh dalam novel dengan
mencari-cari apa yang hilang dari sebuah konsepsi terhadap pemeran yang akan
novel dalam adaptasinya oleh penoton. melakonkan tokoh tersebut. Masalah kedua
Sementara seorang penonton yang tidak adalah masalah konkretisisasi yang berkaitan
mengetahui bahwa film yang ditontonnya dengan merealisasikan detail-detail citraan
adalah sebuah adaptasi tersebut mungkin yang tidak lengkap dalam novelnya terutama
dapat menjadi “penonton sempurna” yang untuk karakter-karakter datar dan insiden-
tidak akan pernah merendahkan film insiden minor yang hanya disebutkan sekilas
tersebut, namun pengalaman yang dalam novelnya. Konkretisasi ini penting
didapatkan penonton ini tidak akan menjadi sebab dalam film penonton melihat langsung
pengalaman menonton film adaptasi. citraan tersebut, sehingga ketika seorang
Sebagai dua medium yang berbeda, pelayan hanya disebutkan dalam novel
perbedaaan novel dan film sering dihadirkan Persuasionkarya Jane Austen, misalnya,
dalam oposisi biner literary/visual, sutradara harus memutuskan bahwa pelayan
linguisitic/visual, verbal/visual, linear/spatial, itu akan tampil dengan pakaian yang seperti
konseptual/perseptual, dan seterusnya apa, bersikap dan berbicara dengan cara
((Donaldson-Evans, 2009: 28; Elliott, 2004: tertentu, yang sesuai dengan setting waktu
2). Linda Hutcheon (dikutip dalam dan tempat yang telah diputuskan
Donaldson-Evans, 2009: 29) menegaskan sebelumnya.
bahwa “each genre has its own means of Masalah yang ketiga berkaitan
expression, it own plusses and minuses.” dengan kekhasan media film, yakni
Dikotomi-dikotomi ini jelas meruapakn penyuntingan yang dilakukan semaksimal
sebuah penyederhanaan yang mengkotak- mungkin untuk mendukung pembangunan
kotakkan novel dan filma daptasi dalam dua alur utama dan tokoh-tokoh yang dipilih untuk
kardus terpisaj seolah-olah tidak ada menjadi fokus film. Penyuntingan sangat
hubungan atau persamaan sama sekali di berkaitan dengan keterbatasan waktu tayang

833
SEMINAR NASIONAL RISET INOVATIF II, TAHUN 2014
ISSN : 2339-1553

yang dimiliki film, terutama theatre release gambar peristiwa besar seperti perang atau
atau film yang dibuat untuk ditayangkan di kebakaran mungkin mendukung adaptasi,
bioskop yang umumnya hanya berlangsung tapi dapat menelan biaya besar. Sebaliknya,
sekitar dua jam. Berikutnya adalah masalah jika peristiwa tersebut vital bagi
eksternalisasi pikiran para tokohnya, yang perkembangan plot, menghilangkannya
tentunya memiliki ruang dan media verbal (dengan hanya menyebutkannya, misalnya)
yang tak terbatas dalam novelnya. Terkait produser dapat menghemat biaya namun
dengan hal ini adalah masalah adaptasi akan terasa ada yang “hilang” dalam filmnya.
“side-shadowing” yang berkaitan dengan Kedua, target untuk mencapai profit membuat
kemampuan novel untuk membuat membaca film adaptasi cenderung menyesuaikan
membayangkan terjadinya kejadian-kejadian naratifnya agar berterima dengan penonton
yang tidak pernah disebutkan dalam yang ditujunya. Bluestone, misalnya, melihat
novelnya (Donaldson-Evans, 2009: 32). bahwa dari 24 film yang dicermatinya, 40%
Dalam hal ini, sebuah film adaptasi harus diantaranya mengubah akhir ceritanya
memutuskan apakah hal tersebut akan menjadi “happy ending” untuk menarik
dicakup secara diagesis atau akan simpati penonton (dikutip dalam Barcsay,
disebutkan saja, misalnya. Masih terkait 2008: 11).
dengan masalah ini adalah representasi Penyesuaian naratif film dengan
masa lalu di dalam film dan masalah selera pasar ini sering menyebabkan
representasi irony yang merupakan “by dilibatkannya anakronisme dalam film
product of the narrative itself “(hlm. 33). adaptasi. Misalnya saja, filmSense and
Ketujuh masalah di atas belum mencakup Sensibility 1995 yang dipasarkan untuk
masalah-masalah khusus yang dihadapi perempuan postfeminis pada tahun 1990an
dalam proses adaptasi dari novel yang ini harus menyesuaiakn muatan feminis dari
memiliki kekhasan tersendiri. Namun dari film adaptasinya dengan trend postfeminis
semua masalah yang dicatat di atas, penonton perempuannya. Untuk itu, Emma
Donaldson-Evans menegaskan Thompson selaku penulis skenario film ini
bahwasannya tidak ada aturan khusus membuat tokoh Elinor Dashwood
mengenai bagaimana mengadaptasi novel menyebutkan “we can’t even earn our own”
menjadi film, karena banyaknya mode terkait lemahnya posisi perempuan dalam
adaptasi yang mungkin dilakukan sehingga masyarakanya yang belum memungkinkan
karakteristik hubungan antara novel dan film perempuan dengan status sosial menengah
adaptasinya “is anything but stable”(2009: seperti Elinor untuk bekerja dan
23). menghasilkan pendapatan sendiri
Adapun faktor-faktor yang (Thompson, 1995). Pernyataan Elinor di atas
mempengaruhi proses adaptasi sebuah novel merupakan sebuah anakronisme karena
menurut Donaldson-Evans (2009: 35-37) pada peralihan abad ke-19 yang menjadi
adalah masalah teknologi yang tersedia, latar waktu film adaptasi ini, perempuan kelas
faktor ekonomi, dan faktor sensor. Menurut menengah belum memperjuangkan masalah
Donaldson-Evans, teknologi yang tersedia kesetaraan finansial (Jenainati dan Groves,
mempengaruhi pilihan-pilihan teknik 2007). Isu feminis ini baru mencuat pada
sinematik yang tersedia dalam melakukan tahun 1970an pada feminisme gelombang
adaptasi. Konsekuensinya, adaptasi yang kedua (Fenton, 2006).
dibuat pada jaman film bisu, hitam putih, Faktor sensor mempengaruhi apa
masuknya warna dan suara, dan jaman yang boleh dan tidak ditampilkan dalam film
animasi komputer seperti saat ini (Donaldson-Evans, 2009: 36). Sensor ini
memberikan rentangan pilihan yang berbeda berkaitan dengan kekuasaan pemerintah
bagi suatu proses adaptasi. Faktor ekonomi yang membatasi ideologi-ideologi yang boleh
berkaitan erat dengan masalah keuntungan dimasukkan ke dalam film dan dengan cara
finansial yang tak pernah lepas dari institusi apa. Begitu pula dengan standar moral yang
industri perfilman. Faktor ini memengaruhi berlaku saat itu turut membatasi apa yang
film adaptasi dari dua segi. Pertama, boleh ditampilkan dan yang tidak. Sensor,
anggaran yang tersedia menentukan adegan menurut Donaldson-Evans mencerminkan
atau setting dan kejadian apa saja yang idelogi-ideologi dominan yang berlaku saat
dapat ditampilkan (Donaldson-Evans, 2009: sebuah adaptasi dilakukan (2009: 37). Pada
35). Misalnya saja, stagingatau pengambilan tataran ini pertanyaan mengenai ideologiyang

834
SEMINAR NASIONAL RISET INOVATIF II, TAHUN 2014
ISSN : 2339-1553

memengaruhi sebuah adaptasi di suatu memberikan kategorisasi yang menuntut


tempat pada waktu tertentu menjadi perbandingan antara novel sumbernya
pertanyaan penting dalam melakukan kajian dengan film adaptasinya. Hal ini
adaptasi. menunjukkan bahwa kritik kestiaan
Dalam hubungannya dengan novel merupakan bagian yang tidak dapat
yang diapropriasi, berbagai kategorisasi dipisahkan dari kajian adaptasi mengingat
diajukan oleh ahli kajian adaptasi. Geoffrey film adaptasi memangmenggunakan novel
Wagner (1975)membedakan tiga ketegori sastra sebagai sumbernya, terlepas dari
adaptasi, yakni transposition, commentary, seberapa ekstensif novel tersebut digunakan.
dan analogy. Dalam sebuah transposisi Seperti yang telah disebutkan dalam
dalam kategori Wagner, “a novel is directly pendahuluan, berbagai pendekatan telah
given on the screen with minimum apparent dilakukan untuk menafikkan kritik kesetiaan
interference.“ Sementara sebuah dari kajian adaptasi, namun tampaknya kritik
commentary mengambil dan mengubah kesetiaan ini tetap menjadi bagian dalam
beberapa aspek dari novel sumbernya, dan pembahasan mengenai pendekatan terhadap
sebuah analogy menjadikan sebuah novel film adaptasi.
sebagai “point of departure.” Menurut Aragay
(2005), ketiga kategori dari Wagner (1975) ini 4. Enam Konsep Adaptasi menurut
juga masih terjebak dalam kritik Kamilla Elliott (2004): Bukan Anti-
kesetiaanterkait dengan seberapa jauh film fidelity Criticism
adaptasinya “melenceng” dari novel Menanggapi perkembangan berbagai
sumbernya. pendekatan terhadap kajian adaptasi, Kamilla
Andrew (1984: 98) mengajukan tiga Elliott mengelompokkan berbagai pendekatan
kategori adaptasi, yakni “borrowing, tersebut menjadi enam konsep adaptasi:
intersecting, and transforming the source.” psychic, ventriloquist, genetic,
Borrowing terjadi jika seorang pembuat film de(re)composing, incarnational, dan
menggunakan materi, ide, atau bentuk dari trumping. Menurut Elliott, keenam konsep
novel yang umumnya sudah sukses. iniawalnya diarahkan sebagai “anti-fidelity”
Tindakan ini mengharapkan kesusksesan criticism(kritik anti-kesetiaan) di mana
dari pinjaman judul atau tema novel keenam pendekatan ini mendukung argumen
sumbernya dan berusaha mengubah atau bahwa ada semacam “isi” yang dapat
menambahkan beberapa hal untuk dipindahkan ke dalam “bentuk” yang lain,
menjadikan filmnya berbeda dari sumbernya. atau dengan kata lugasnya, semua novel
Menurut Andrew, kesuksesan jenis adaptasi dapat diadaptasikan ke dalam bentuk film.
ini terletak pada “fertility” atau kesuburan, dan Konsep ini melawan argumen “kemustahilan
bukan pada “fidelity” atau kesetiaannya adaptasi” dari George Bluestone59 yang
(1984: 99). Intersecting merupakan mode tampaknya tidak pernah terbukti secara
adaptasi yang secara sadar mutlak dalam kajian adaptasi.
mempertahankan keunikan novel sumbernya Konsep adaptasi psychic(atau
di dalam film adaptasinya. Dalam proses cenayang) Elliott berpedoman pada adanya
intersecting terjadi tarik ulur dialektis antara “spirit” atau “roh” dari sebuah teksyang harus
bentuk-bentuk estetik dari satu jaman di dipertahankan dalam proses adaptasi.
novel sumbernya dengan bentuk-bentuk Sebuah adaptasi yang bagus dalam konsep
sinematik pada jaman film adaptasinya ini akan mempertahankan roh ini dan secara
diproduksi (andrew, 1984: 100). Sementara kreatif menciptakan bentuk baru untuk
itu, transformation merupakan mode adaptasi menampung roh ini (hlm, 222). Dalam konsep
yang mengasumsikan reproduksi esensi dari ini, kreativitas pembuat filmnya tampaknya
novel sumbernya. Menurut Andrew, kritik
59
kesetiaan umumnya muncul dari jenis George Bluestone merupakan salah satu pionir
adaptasi yang seperti ini, dimana kualitas film kritik adaptasi yang melihat hubungan antara
adaptasinya dinilai dari kemampuannya novel dan film sebagai antitesis dan adaptasi
mempertahankan “spirit” novelnya. sebagai kemustahilan dalam bukunya Novels into
Baik Wagner (1975) maupun Andrew Film (1957) yang sangat berpengaruh (Aragay,
(1984) dalam kedua kategorisasi di atas 2005: 13). Argumen Bluestone menjadi salah satu
berusaha menjauhkan film adaptasi dari kritik
argument inti yang mendasari hirarkisasi
kesetiaan, namun secara konstan keduanya
novel/film dalam kritik kesetiaan.

835
SEMINAR NASIONAL RISET INOVATIF II, TAHUN 2014
ISSN : 2339-1553

mendapat persetujuan sepanjang roh tertentu dalam alur yang kemungkinan akan
novelnya dapat dipertahankan. Namun membawa perubahan bagi struktur dasar
konsep ini masih menyisakan masalah alurnya.
mengingat penentuan roh sebuah teks selalu Konsep de(re)composing
melibatkan interpretasi, yang tentunya akan menerapkan dekonstruksi dalam proses
selalu berbeda dari orang ke orang dan dari adaptasinya. Konsep ini membuat adaptasi
waktu ke waktu. dan novel sumbernya menjadi campuran
Konsep ventriloquist menggunakan yang sulit dibedakan yang mana berasal dari
konsep metalanguageatau metabahasa dari novelnya dan yang mana ditambahkan oleh
Barthes yang melihat novel sebagai sistem adaptasinya, dimana unsur dari keduanya
tanda pertama yang kemudian menjadi akan menjadi “unsur hara” yang bergabung
“bentuk” kosong yang akan diisi oleh “isi” dari dalam kesadaran penonton (hlm. 233).
sistem tanda kedua (Elliott, 2004: 226). Dalam konsep ini, “adaptation must subvert
Dalam konsep ini, sebuah adaptasi tidak its original, perform a double and paradoxical
hanya menghilangkan bagian-bagian dalam job of masking and unveiling its source,
novelnya, tapi juga melengkapinya dengan redistribute the formative materials of the
menambahkan gambar, music, latar original and set them askew” (Keith Cohen
belakang, arsitektur, kostum, dialog yang 1977, dikutip oleh Elliott, 2004: 233). Menurut
terdengar, dan sebagainya, yang sangat kaya Elliott, adaptasi dengan konsep ini akan
akan tanda yang sarat dengan cerminan berada pada titik tidak setia dalam kritik
budaya dan simbolik. Konsep adaptasi ini kesetiaan karena kritik kesetiaan hanya
memberikan lampu hijau paling terang bagi membaca satu arah, dari novel ke film dan
perbedaan dalam proses adaptasi. melihat bahwa film adaptasinya telah banyak
Konsekuensinya, kritik kesetiaan umumnya membuat perubahan (2004: 234). Tapi,
akan berusaha mencari apa yang hilang dari tambah Elliott, jika film dan novelnya dibaca
novelnya, atau apa yang disebut sebagai dari dua arah, Elliott yakin bahwa
“articulation of loss” oleh Erica Sheen (2000, pembaca/kritikus akan melihat bahwa
dikutip dalam Aragay 2005: 20). novelnya pun banyak melibatkan “infidelity”
Konsep adaptasi genetic atau penyimpangan-penyimpangan dari
menerapkan naratologi dalam adaptasi yang kekhasan novel konvensional – sebuah
melihat adanya “deep structure” yang dapat argument yang harus dibarengi oleh
bermanifestasi di dalam film adaptasinya pemahaman bahwa konsep ini berusaha
(Elliott, 2004: 230). Dalam hal ini, novel mengaburkan novel atau film sebagai sumber
menjadi “raw material” bagi filmnya. Dalam adaptasinya.
pendekatan naratologi terhadap kajian Konsep incarnational menganggap
adaptasi, McFarlan (2007) membedakan hal- bahwa adaptasi merupakan proses inkarnasi
hal yang dapat ditransfer langsung dari dari tanda yang lebih abstrak menjadi tanda
novelnya dari aspek-aspek yang harus yang tidak begitu abstrak (Elliott, 2004: 235).
mengalami “adaptation proper”. Aspek yang Konsep adaptasi ini berkaitan dengan
“transferrable” ini merupakan “narrative kebutuhan akan konkretisasi dari imajinasi
kernels” atau “cardinal functions”, atau “hinge pembaca agar dapat menonton bagaimana
pints of narratives” yang merupakan “inti perwujudan imajinasi mereka. Menurut Elliot,
cerita” atau “kejadian-kejadian penentu” retorika inkarnasi, materialisasi, dan realisasi
dalam plot sebuah novel. Sementara itu, mendominasi praktik adaptasi di abad
“adaptation proper” berkaitan dengan cara keduapuluh ini (2004: 235). Yang menjadi
film menggunakan tiga aspek narasinya kritik dari kubu kesetiaan biasanya adalah
(mise-en-scène, penyuntingan, dan jika materialisasi yang dilakukan sutradara
soundtrack) untuk menyajikan “narrative dan para pemeran ternyata tidak sesuai
events” yang telah “ditransfer” dari novelnya. dengan harapan pembaca, baik dari segi
Menurut McFarlan, pembahasan mengenai karakterisasi ataupun pemilihan/konstruksi
cara kerja “adaptation proper” dalam sebuah latar dan kostum, terutama untuk film-film
adaptasi jauh lebih penting daripada “heritage” (atau film yang secara total
pembahasan apa yang sudah ditransfer dari mempertahankan keseusian detail film
novelnya (2007: 7). Hanya saja, kritik dengan latar waktu dan tempat yang dipilih
kesetiaan tentunya akan tetap menyinggung film), seperti adaptasi dari novel-novel Jane
hilangnya atau ditambahkannya kejadian Austen.

836
SEMINAR NASIONAL RISET INOVATIF II, TAHUN 2014
ISSN : 2339-1553

Konsep adaptasi terakhir dari Elliott Jadi, kritik anti-kesetiaan yang berusaha
adalah trumping yang berfokus pada untuk membahas film adaptasi sebagai karya
pencarian media yang lebih baik untuk tersendiri yang terlepas dari novel sumbernya
menyampaikan “isi” yang diadaptasi (2004: (Kranz dan Mellerski 2008: 5) sama sekali
237). Menurut Elliott, kritik dalam konsep ini tampaknya belum diperlukan dalam kajian
akan berusaha mencari “apa yang salah adaptasi.
dengan novel sumbernya” dan bukannya
mencari “apa yang salah dengan 5. In/fidelity Criticism: Berpedoman pada
adaptasinya”. Dalam konsep adaptasi ini, Karakteristik Fim Adaptasi
film adaptasi harus menunjukkan apa yang Dari pembahasan yang telah
seharusnya dicakup dalam novelnya (tapi dilakukan sejauh ini, dapat dilihat bahwa
karena suatu dan lain hal, tidak dicakup). kajian adaptasi telah didekati dengan
Elliott mengambil adaptasi Patricia Rozema berbagai konsep yang membuat dominasi
terhadap Mansfield Park pada 1999 sebagai kritik kesetiaan dipinggirkan meski tidak
contoh konsep adaptasi trumping ini, di mana pernah hilang sama sekali. Yang terbentuk
Rozema melihat bahwa isu perbudakan justru sebuah kontinuum pendekatan
seharusnya menjadi bagian dari argumen terhadap film adaptasi yang terentang dari
dalam novel Mansfield Park. Sementara itu, titik kritik kesetiaan menuju titik kritik
kritik Windschuttle terhadap Rozema yang ketidaksetiaan. Perkembangan ini
melihat Rozema telah mengkhianati dimungkinkan, diantaranya, oleh adanya
“quintessence” dari novel Jane Austen yang pemahaman yang lebih menyeluruh
menjunjung ketenangan dalam kehidupan mengenai kekhasan yang dimiliki oleh film
domsestik melalui pencetusan isu adaptasi. Sementara itu, Kranz dan Mellerski
perbudakan oleh Rozema dalam Mansfield (2008: 2) melihat perkembangan sikap ini
Park 1999 (Aragay, 2003) dapat dilihat utamanya disebabkan oleh meningkatnya
sebagai contoh kritik dari kubu kesetiaan. status kajian sinema secara akademik dan
Sejauh ini, dengan menggunakan adanya perubahan filosofis di kalangan
rangkuman Kamilla Elliott (2004) mengenai akademisi karena masuknya teori sastra
berbagai pendekatan yang sudah pernah post-struktural.
dikembangkan untuk melakukan kajian Model kontinuumkesetiaan-
terhadap film adaptasi, bagian ini sudah ketidaksetiaan berkembang karena dorongan
memaparkan berbagai perkembangan kritik dan tarikan dari kedua ujung kontinuum itu
adaptasi dan bagaimana kritik kesetiaan sendiri. Seperti yang telah dibahas
selalu menjadi bagian dari perkembangan itu. sebelumnya, dominasi kritik kesetiaan yang
Dari keenam konsep yang diajukan Elliot di dilakukan dengan sudut pandang yang
atas, konsep de(re)composing merupakan memarginalkan film adaptasi telah
konsep adaptasi yang paling liberal, yang mendorong munculnya kritik adaptasi yang
bahkan berusaha mengacaukan oposisi biner membahas bukan persamaan-persamaan
sumber/turunan, model/tiruan yang biasanya yang dimiliki novel dan film adaptasinya, tapi
memarginalkan film adaptasi sebagai tiruan perbedaan-perbedaan yang dimunculkan
dan turunan. Namun konsep ini pun masih adaptasinya. Trend “sociological turn” seperti
memperhitungkan keberadaan novel yang disebutkan Andrew (1984) turut
sumbernya. mendorong perkembangan kajian adaptasi ke
Satu tendensi utama yang harus arah yang meminimalkan perbandingan
didukung dari bertahannya kritik kesetiaan langsung antara film adaptasi dengan novel
dari perkembangan teori adaptasi ini adalah sumbernya. Namun dari enam konsep
bahwa kritik kesetiaan ini tidak lagi adaptasi yang dirangkum Elliott dari
difokuskan untuk menghakimi suatu adaptasi, perkembangan kajian adaptasi ini (lihat
tapi lebih pada usaha untuk membahas dan kembali bagian 4 sebelumnya), perpisahan
membandingkan adaptasi dengan novel total antara film adaptasi dengan novel
sumbernya. Yang mana, perbandingan ini sumbernya tidak pernah berhasil dilakukan.
merupakan hal yang tidak mungkin Yang terjadi adalah negosiasi antara kubu
dipisahkan dari studi adaptasi mengingat kesetiaan dan kubu anti-kesetiaan yang
objek studinya sendiri memang menghasilkan model-model adaptasi yang
mengharuskan pemahaman terhadap kedua menghargai perbedaan antara novel dan film
bentuk karyanya: film dan novel sumbernya. adaptasinya namun tetap membahas filmnya

837
SEMINAR NASIONAL RISET INOVATIF II, TAHUN 2014
ISSN : 2339-1553

sebagai sebuah adaptasi yang tak pernah yang paling kuat, di mana isu yang “menarik”
sepenuhnya lepas dari novel sumbernya. bagi penonton dapat membawa
Berikut adalah karakteristik-karakteristik yang kesuksesan/keuntungan finansial bagi
mendasari model kajian adaptasi dalam produser filmnya. Namun trend isu yang
kontinuum kesetiaan-ketidaksetiaan tersebut. berkembang di masyarakat dan dunia
Seperti yang telah disinggung akademik juga tak kurang mempengaruhi
sebelumnya, novel dan film memiliki pemilihan isu ini. Sense and Sensiblity 1995,
perbedaan media ekspresi. Perbedaan ini misalnya, memilih untuk menonjolkan isu
akan menimbulkan perubahan pada cara postfeminis (Samuelian, 2001) sekaligus
membangun pencitraan tokoh, latar tempat menambahkan kesan romantis pada alurnya
dan waktu, serta perkembangan alur untuk menarik minat penonton tahun 1990an
(Donaldson- Evans, 2009: 24). Seiring (Kaplan, 2001).
dengan pilihan isu yang ingin ditonjolkan, Adaptasi sebagai proses pembacaan
latar yang dipilih dan cara “staging”nya akan dan interpretasi (Neill Sinyard dalam
dipengaruhi pula. Begitu pula tokoh yang Donaldson-Evans, 2009: 24) akan melibatkan
diikutkan/dihilangkan dan sisi mana dari pembuat film untuk memahami setiap detail
karakter tokoh-tokoh tersebut yang dari novelnya, termasuk konteks waktu,
ditonjolkan. Sebuah film adaptasi akan tempat dan peristiwa yang disinggung di
memiliki keunggulan dalam hal visualisasi dalam novel tersebut. Konteks waktu, tempat
dan komposisi mise-en-scène serta aspek dan peristiwa yang disinggung secara
sinematigrafis yang dapat dipilih/dirancang sepintas ini adalah kumpulan gunung es
sedemikian rupa untuk menonjolkan dalam samudra novel yang luas. Dan ibarat
pencitraan tersebut (Donaldson-Evans, 2009: sebuah perahu yang berlayar di samudra ini,
25). Apa yang disebut sebagai “articulation of kelemahan dalam pemahaman terhadap
loss” tidak akan dapat dihindari secara total bagian tersembunyi gunung es ini dapat
dalam film adaptasi, terutama dengan ruang menenggelamkan wahana ini: kegagalan
yang tersedia dalam film feature untuk mencermati sebuah isu besar yang
ditayangkan di bioskop. Namun pilihan- tersembunyi di dalam sebuah novel akan
pilihan (baca: pemotongan dan membuat sebuah adaptasi menjadi sumir.
penghilangan) yang dilakukan dalam proses Irvine (2005: 166), misalnya, melihat bahwa
adaptasi akan ditutupi oleh alur yang lebih Jane Austen sebagai penulis yang tidak mau
padat, suspensi yang lebih tegang, dan secara terang-terangan mendukung suatu
klimaks yang lebih menentukan, terutama gerakan feminis awal sedang gencar-
untuk novel-novel panjang dan beralur datar gencarnya pada masanya menulis. Sebagai
seperti novel-novel Jane Austen. solusi, Jane Austen memilih untuk
Perbedaan ketersediaan ruang menyamarkan isu tersebut melalui potensi
antara novel dan film akan memaksa sebuah yang muncul dalam pencitraan tokoh
film adaptasi untuk memilih isu yang ingin perempuannya. Salah satu usaha untuk
ditonjolkan. Pilihan ini akan berakibat pada menghindari kesumiran ini adalah
melemahnya isu-isu lain dan mencuatnya mencermati intertekstualitas yang menjadi
sebuah isu yang menjadi benang merah jejaring tempat novel tersebut tersangkut.
dalam film adaptasi. Pemilihan isu ini selalu Argumen ini tampaknya menjadi dasar bagi
dibarengi interpretasi yang dilakukan oleh Patricia Rozema untuk menonjolkan isu
penulis skenario dan/atau sutradara dalam ablolisionisme dalam adaptasi Mansfield Park
membaca novel sumbernya untuk 1999.
menentukan isu apa saja yang ada dalam Intertekstualitas yang mengiringi
novel tersebut dan yang mana yang dinilai pembacaan sebuah novel akan menjadi
paling menonjol, atau dalam istilah Elliott salah satu tombak kreativitas sebuah
(2004), isu yang menjadi “roh” novel adaptasi dan memberi warna baru bagi setiap
tersebut. Proses interpretasi ini dapat dilihat adaptasi dari satu novel yang sama, seperti
sebagai sebuah dialog antra novel dan film yang terjadi dalam adaptasi novel-novel Jane
dalam konsep dialogic exchange dengan Austen, yang masing-masing sudah pernah
meminjam istilah Bhaktin (dalam Donaldson- diadaptasi minimal sebanyak dua kali hingga
Evans, 2009: 37). Berbagai alasan dapat tahun 2009 ini. Intertexualitas memungkinkan
menjadi latar dan tujuan pemilihan isu ini. para pembuat film untuk menginterpretasikan
Faktor finansial adalah salah satu alasan sebuah novel yang menjadi ikon budaya dan

838
SEMINAR NASIONAL RISET INOVATIF II, TAHUN 2014
ISSN : 2339-1553

membuat film adaptasinya sesuai dengan menunjukkan bahwa film adaptasi sudah
tujuan dan ideologi para pembuat filmnya mulai diterima sebagai bentuk film yang khas
sendiri (Donaldson-Evans, 2009: 17). Lebih yang selalu mengaitkan dua bidang
jauh, Casetti (2004: 82) melihat adaptasi kepakaran sekaligus – novel dan film- dalam
sebagai “reappearance” atau kemunculan kajiannya. Jadi, kenyataan bahwa film
kembali suatu wacana sehingga analisis adaptasi berakar dari dua bidang seni dan
terhadap suatu adaptasi tidak hanya kajian adaptasi berakar dari dua bidang
membandingkan satu film dengan novel kajian tidak serta merta menunjukkan bahwa
sumbernya, tapi juga melihat konteks waktu film adaptasi dan kajian adaptasi layak
dan tempat munculnya film adaptas tersebut. ditempatkan sebagai subordinat bagi kajian
Dalam konsep Casetti, sebuah adaptasi film ataupun kajian susastra. Bagian ini akan
merupakan sebuah “recontextualization” dari membahas interaksi yang timbal balik antara
sebuah teks sehingga seluruh kon-teksyang kajian film, kajian adaptasi dan kajian
menyertai kemunculan sebuah adaptasi juga susastra untuk mendukung argumen
harus diperhitungkan dalam pembahasannya. tersebut.
Dari elaborasi di atas, dapat dilihat Sebagai sebuah pembacaan kembali
bahwa ada dinamika dalam hubungan antara sebuah novel, film adaptasi memberikan
novel dan film adaptasinya. Sebuah adaptasi sumbangan yang amat besar bagi
dapat menghilangkan beberapa bagian “keabadian” sebuah karya sastra (Kranz dan
novelnya dan menggantikannya “kehilangan” Mellerski: 2008: 2). Sudah menjadi argument
ini dengan berbagai cara yang unik: umum jika sebuah karya sastra akan selalu
penonjolan tokoh, insidien, atau isu tertentu hidup bila karya tersebut terus dibaca dan
yang jika dikombinasikan dengan dibahas. Dalam hal ini, film adaptasi
penggunaan aspek mise-en-scène, memberikan sumbangan setidaknya dengan
penyuntingan, dan soundtrack yang tepat tiga cara. Pertama, adaptasi sebagai sebuah
akan menghasilkan film yang menjanjikan interpretasi secara langsung membuat novel
untuk ditonton. Sebuah adaptasi juga dapat sumbernya “dihidupkan” kembali. Dalam
memunculkan isu yang disamarkan oleh proses adaptasi ini, mulai dari munculnya ide
novelnya sehingga apa yang enggan untuk membuat adaptasi dari novel tertentu,
disampaikan penulisnya secara terang- pemilihan penulis skenarion dan penulisan
terangan dapat terdengar jelas dalam film skenario, tahap produksi, penyuntingan,
adaptasinya. Dinamika ini merupakan proses hingga pemasaran dan keikutsertaannya di
yang khas bagi film adaptasi sehingga dalam festival film, akan selalu menjadikan
“originalitas” seharusnya tidak lagi dijadikan novel sumbernya jantung dari semua aktivitas
alasan oleh kajian film untuk memarginalkan tersebut. Tanpa novelnya, rangkaian aktivitas
film adaptasi sebagai tiruan novel. Dari segi ini tidak akan terjadi.
kreativitas, film adaptasi juga memiliki Kedua, pada tahap pasca produksi,
kualitas tersendiri. Media yang digunakan penonton dan akademisi akan memberikan
dalam film adaptasi mungkin sama dengan respon kepada hasil adaptasi tersebut, yang
media dengan film yang tidak adaptasi akan hampir selalu mengaitkan film dengan
(hingga dinilai lebih original dan lebih kreatif) novel sumbernya. Tanggapan positif dan
tapi film adaptasi memiliki metodologi yang negatif dan perdebatan mengenai kualitas
khas dalam membangun narasinya: dialog dan berbagai isu dalam film adaptasinya
antara novelis dan penulis, dialog antara akan menjadikan novel sumbernya bagian
penulis, tokoh, dan aktor, serta dialog antara yang tak terpisahkan. Hal ini akan berkaitan
novelis dengan sutradara, perancang latar, langsung dengan point ketiga dan keempat,
kostum, dan tata rias. Titik kreativitas ada dimana pembahasan mengenai film adaptasi,
pada dialog antara intensi novelis dan apalagi yang mengarah pada kubu kesetiaan,
kekhasan media film yang harus dijembatani akan mengangkat novelnya dan membuka
oleh ide kreatif dari para pembuat filmnya. pembacaan kembali kepada novel itu, dan
konsekuensinya peningkatan minat terhadap
6. Model Sinergi antara Kajian Susastra, bidang sastra itu sendiri. Contoh nyata dari
Kajian Film, dan Kajian Adaptasi argumen ini adalah meningkatnya penjualan
Sejauh ini, pembahasan mengenai novel-novel Jane Austen pasca produksi film
kekhasan film adaptasi dan perkembangan adaptasinya, terutama setelah Pride and
sikap para akademisi mengenai film adaptasi Prejudice 1995, Sense and Sensibility 1995,

839
SEMINAR NASIONAL RISET INOVATIF II, TAHUN 2014
ISSN : 2339-1553

dan Pride and Prejudice 2005 yangdiproduksi terlibat langsung dalam recknstruksi yang
dengan kesadaran “heritage film” yang tinggi dilakukan kajian film dimana kajian film juga
(Parill, 2002). memahami dirinya sebagai praktik sosial
Di luar keempat sumbangan di atas, yang berurusan dengan penggambaran dan
konsep “camera-stylo”yang bekembang di penggambaran kembali film, masyarakat, dan
Perancis pada tahun 1960 merupakan contoh seni. Lebih jauh, Andrew memaparkan bahwa
dinamika timbal balik yang nyata dalam pilihan-pilihan yang dibuat saat melakukan
hubungan antara film dan sastra, terutama adaptasi turut merefleksikan peran sinema
film adaptasi dan novel. Seperti yang dicatat dari waktu ke waktu. Dengan analogi yang
oleh Artanti (2002: 4) di Perancis awalnya sama, strategi-strategi sinematografis yang
film-film dibuat berdasarkan novel-novel yang khas yang diambil dalam mengadaptasi
sudah ada, kemudian novel-novel ditulis agar sebuah novel menjadi film dapat
dapat difilmkan, di samping bahwa penyajian mempengaruhi trend “film style” pada suatu
naratif dalam film mencontoh penyajian dan periode (Andrew, 1984: 105).
unsur-unsur naratif novel. Di Perancis, Dari pemaparan di atas, dapat dilihat
penulis novel kemudian banyak terjun bahwa hirarki yang dibebankan pada film
langsung ke dunia film baik sebagai penulis adaptasi dan kajian adaptasi sudah
novel sumber, penulis skenario, pemain, menafikkan sumbangan yang diberikan film
kritikus, teroretikus maupun kombinasi dari adaptasi dan kajian adaptasi kepada kedua
hal-hal tersebut. Konsep camera/stylo ini bidang tersebut. Hirarki ini menafikkan
menegaskan bahwa pada hakekatnya apa dinamika yang sebenarnya telah terbangun
yang diceritakan dalam novel sebenarnya antara kajian film, kajian adaptasi, dan kajian
dapat diceritakan kembali dalam film dengan susastra sejak awal kemunculan kajian film di
bantuan kamera dan sebaliknya, apa yang dunia akademik pada tahun 1960an.
disampaikan dalam film dapat diceritakan Seharusnya tidak dilupakan bahwa
kembali ke dalam novel. Dalam konsep kemunculan kajian film menyelamatkan
camera/stylo ini, kamera (dalam produksi Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris yang sepi
film) dan pena (dalam produksi karya peminat pada masa itu (Andrew, 1984: 5).
susastra) tak hanya dianggap setara, tapi Begitu pula dengan kenyataan bahwa film
juga dianggap saling meniru sekaligus saling adaptasi telah menyumbang bagi
mendukung dalam proses yang peningkatan prestise sinema sebagai bentuk
berkesinambungan. seni terakhir melalui adaptasi berbagai karya
Dari sudut kajian film, Andrew (1984: sastra kanon (Kanz dan Melerski, 2008: 1).
17) melihat bahwa film adaptasi juga turut Karena itu, model hirarkisasi pada diagram
memberikan sumbangan bagi kajian film. dua di atas seharusnya sudah tidak berlaku
Menurut Andrew, dalam setiap proses lagi. Hubungan antara kajian film, kajian
adaptasi, perdebatan mengenai hakikat adaptasi, dan kajian susastra lebih tepat jika
sinema turut muncul kembali. Andrew melihat digambarkan melalui model sinergis seperti
bahwa film adaptasi turut berperan dalam yang ditunjukkan oleh Diagram 3 berikut.
perkembangan teori film karena filmadaptasi

Diagram 3: Sinergi Perkembangan Kajian susastra, Kajian film dan Kajian


adaptasi

840
SEMINAR NASIONAL RISET INOVATIF II, TAHUN 2014
ISSN : 2339-1553

Literary
Studies

Adaptation
Film Studies
Studies

Harus diingat bahwa diagram di atas ideologidalam kajian mengenai adaptasi yang
harus dilihat sebagai suatu hubungan yang secara bersamaan memperbaharui kritik
sejajar, di mana posisi atas dan bawah tidak kesetiaan untuk tidak lagi terpaku pada
berlaku. Karenanya, baik kajian film maupun dikotomi verbal/visual, novel/film yang
kajian adaptasi tidak bertindak sebagai memarginalkan film adaptasi. Efek langsung
subordinat bagi kajian susastra. Sementara dari perkembangan yang menggembirakan
itu, panah dua arah yang menghubungkan ini adalah terpupuknya interaksi timbal balik
ketiga bidang kajian ini diharapkan dapat yang dinamis antara bidang kajian adaptasi
menunjukkan “dynamic exchange” atau dengan dua bidang kajian yang menjadi
pertukaran dinamis yang secara simultan dan akarnya: kajian sastra dan kajian film.
terus menerus terjadi di antara ketiganya. Pemahaman terhadap dinamika timbal balik
ini akan semakin menguatkan posisi film
7. Kesimpulan adaptasi sebagai genre yang khas yang
Berdasarkan pembahasan di atas, bukan sekedar tiruan atau turunan yang tidak
dapat dilihat bahwa pendekatan terhadap kreatif. Kondisi ini akan berpengaruh
kajian adaptasi telah berkembang dalam langsung bagi posisi kajian adaptasi sebagai
rentangan esetiaan-letidaksetiaan yang satu bidang kajian yang khas yang
sudah lebih terbuka bagi masuknya membidangi wilayah dan genre yang khas
pembahasan konteks, interteks, dan pula.
Mengingat model rentangan Daftar Pustaka
kesetiaan-ketidaksetiaan serta model sinergi Andrew, Dudley.1984. Concepts in Film Theory.
antara kajian film, kajian adaptasi dan kajian Oxford: Oxford University Press
susastra ini masih berada pada fase dini, Aragay, Mireia. 2003. “Processing Jane Austen:
keduanya perlu dielaborasi lebih jauh Fidelity, Authorship, and Patricia Rozema’s
terutama dengan penekanan yang lebih berat Mansfield Park (1999) dalam Literary/Film
dari sudut pandang kajian film untuk Quarterly; 2003; 31, 3; Academic
menyeimbangkan penekanan yang lebih Research Library, hlm. 177 – 185.
______. 2005. “Introduction. Reflection to
pada kajian susastra dalam makalah ini.
Refraction: Adaptation Studies then and
Kedua model ini diharapkan dapat menjadi Now” dalam Books in Motion: Adaptation,
cikal bakal model pendekatan terhadap film Intertextuality, Authorship. Editor: Meireia
adaptasi yang akan digunakan dalam Aragay. Amsterdam dan New York:
penelitian mengenai perbandingan muatan Rodopi.
ideologis dalam film-film adaptasi Jane Barcsay, Katherine Eva. “Profit and Production:
Austen pada dekade 1990an dan kurun Jane Austen’s Pride and Prejudice on
waktu tahun 2000an. Film. Tesis Magister, the Faculty of
Graduate Studies, University of British
Columbia, Vancouver. Diunduh dari
https://circle.ubc.ca/bitstream/handle/2429/
5152/ubc_2008_fall_barcsay_katherine_ev
a.pdf?sequence=1, 19 April 2010.

841
SEMINAR NASIONAL RISET INOVATIF II, TAHUN 2014
ISSN : 2339-1553

Donaldson-Evans, Mary. 2009. Madame Bovary at


the Movies: Adaptation, Ideology, Context.
Amsterdam dan New York: Rodopi
Elliott, Kamilla. 2004. “Novels, Films, nd the
Word/Image Wars” dalam A Companion to
Literature and Film. Editor Robert Stam
dan Alessandro Raengo. Victoria:
Blackwell Publishing. Hlm. 1-22
______. 2004. “Literary Film Adaptation and the
Form/Content Dilemma” dalam Narratives
Across Media: The Languages of
Storytelling. Editor Marie-Laure Ryan.
Lincoln and London: University of
Nebraska Press.
Irvine, Robert P. 2005. Jane Austen. London dan
New York: Routledge.
Jenainati, Cathia dan Judy Groves. Introducing
Feminism. Cambridge: Icon Books, Ltd.
Kaplan, Deborah. 2001. “Mass Marketing Jane
Austen: Men, Women, and Courtship in
Two Films” dalam Jane Austen in
Hollywood, editor Linda Troost dan Sayre
Greenfield, Lexington: UP of Kentucky,
2001.
Kerrigan, Finnola. 2010. Film Marketing. Oxford:
Elsevier.
Kranz, David L. dan Nancy C. Mellerski (ed). 2008.
In/Fidelity: Essays on Film Adaptation.
Newcastle: Cambridge Scholars
Publishing
McFarlan, Brian. 2007. “It Wasn’t Like That in the
Book…” dalam The Literature/Film
Reader: Issues of Adaptation. Editor:
James M. Wlesh dan Peter Lev. Maryland:
Scarecrow Press, Inc. Hlm. 3 – 14.
Ekstrak, diunduh dari http://www.c-s-
p.org/Flyers/9781847184023-sample.pdf,
19 April 2010
Murray, Simone. 2008. “Materializing Adaptation
Theory: The Adaptation Industry”, dalam
Literary/Film Quarterly; 2008; 36, 1;
Academic Research Library. Hlm. 4 – 19.
Parill, Sue. 2002. Jane Austen on Film and
Television: A Critical Study of the
Adaptation. North Carolina: McFarlan
Samuelian, Kristin L. 2001. “Piracy is Our Only
Option: Postfeminist Intervention in Sense
and Sensibility” dalam Jane Austen in
Hollywood, editor Linda Troost dan Sayre
Greenfield, Lexington: UP of Kentucky,
2001.
Thompson, Emma. 1995. The Sense and
Sensibility Screenplay and Diaries. New
York: Newmarket Press
Welsh, James M. dan Peter Lev. “Introduction”
dalam The Literature/Film Reader: Issues
of Adaptation. Editor: James M. Wlesh dan
Peter Lev. Maryland: Scarecrow Press,
Inc.

842

Anda mungkin juga menyukai