Anda di halaman 1dari 317
& eEDISI TERBARU®e OTONOMI & MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH Good Governance Decentralization and Democratization Productivity and Competitiveness Human Capital Development and Economic Inclusiveness Prof. Dr. Mardiasmo, MBA., Ak., CA. OTONOMI & MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH Terbaru 1: Prof. Dr. Mardiasmo, MBA., Ak., CA. Hak Cipta ©2002, 2004, 2018 pada penulis, Editor Mardiasmo Setting Virgo Napitupulu Desain Cover: Dany Nofiyanto Korektor Hananto Widhiatmoko, Yudhistira, Ilham Rahmansyah, Danis Ardyanto Hak Cipta dilindungi undang-undang, Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun, baik secara elektronis maupun mekanis, termasuk memfotokopi, merekam atau dengan sistem penyimpanan lainnya, tanpa izin tertulis dari penulis. Diterbitkan oleh Penerbit ANDI (Anggota IKAPI) JI. Beo 38-40, telp (0274) 561881, Fax (0274) 588282 Yogyakarta 55281 Percetakan CV, ANDI OFFSET 41, Beo 38-40, telp (0274) 561881, Fax (0274) 588282 Yogyakarta 55281 Mardiasmo OTONOMI & MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH - Edisi Terbaru/ Mardiasmo ~ Ed. Il. - Yogyakarta: ANDI 27-26-25 ~24-23-22-21-20-19-18 him wovi + 380 ; 16x23 cm. lo 9 8 7 6 5 4 3 2 21 ISBN: 978 - 979 - 29 - 7056 - 2 1 Judul 1. Financial Management DDC'23 : 657.835 Bagian pertama buku ini membahas paradigma baru pengelola- an sektor publik dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Pembahasan dibagi dalam tiga bab, yang meliputi Pentingnya Otonomi Daerah (Bab 1), Reinventing Government: Menciptakan Model Pemerintah Daerah Masa Depan (Bab 2), dan Paradigma Baru Pengelolaan Keuangan Sektor Publik dalam Mewujudkan Good Governance (Bab 3). Desentralisasi menjadi alternatif jawaban atas tuntutan otonomi daerah. Desentralisasi mengemban misi utama berupa pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah yang lebih rendah, dan mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Upaya itu seyogyanya juga diikuti dengan reformasi kelembagaan dan pemerintah daerah agar memiliki jiwa wirausaha (enterpreneurship) dan penyehatan birokrasi. Dengan kata lain, pemerintah daerah atau sektor publik pada umumnya harus melakukan reinventing government. Tahapan berikutnya adalah melakukan reformasi pada manajemen keuangan sektor publik dengan menerapkan paradigma yang baru. Bahan dengan hak cipia Bab 1 Pentingnya Otonomi Daerah A. Pendahuluan Krisis ekonomi dan kepercayaan yang melanda Indonesia pada tahun 1998 memberikan dampak positif dan dampak negatif bagi upaya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Di satu sisi, krisis tersebut telah membawa dampak yang luar biasa pada tingkat kemiskinan. Namun di sisi lain, krisis tersebut dapat juga memberi “berkah tersembunyi" (blessing in disguise) bagi upaya peningkatan taraf hidup seluruh rakyat Indonesia. Krisis ekonomi dan kepercayaan yang dialami tersebut telah membuka jalan bagi munculnya reformasi total di seluruh aspek kehidupan bangsa Indonesia. Tema sentral reformasi total tersebut adalah mewujudkan masyarakat adil dan makmur, terciptanya good governance, dan mengembangkan model pembangunan yang berkeadilan. Di samping itu, reformasi ini juga telah memunculkan sikap keterbukaan dan fleksibilitas sistem politik dan kelembagaan sosial sehingga mempermudah proses pengembangan dan modernisasi lingkungan legal dan regulasi untuk pembaruan paradigma di berbagai bidang kehidupan. B. Mengapa Desentralisasi? Salah satu unsur reformasi total tersebut adalah tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah kabupaten dan kota. Tuntutan seperti ini adalah wajar, paling tidak untuk dua alasan: Pertama, intervensi pemerintah pusat yang terlalu besar di masa lalu telah menimbulkan masalah rendahnya kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah dalam mendorong proses pembangunan dan kehidupan demokrasi di daerah (Mardiasmo, 1999). Arahan dan statutory requirement yang terlalu besar dari pemerintah pusat tersebut menyebabkan inisiatif dan prakarsa daerah cenderung mati atau tidak berkembang sehingga pemerintah daerah sering kali menjadikan pemenuhan peraturan sebagai tujuan, bukan sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Besarnya arahan dari pemerintah pusat pada waktu itu didasarkan pada dua alasan utama, yaitu untuk menjamin stabilitas nasional dan karena kondisi sumber daya manusia daerah yang dirasa masih relatif lemah. Berdasarkan dua alasan ini, sentralisasi otoritas dipandang sebagai prasyarat untuk menciptakan persatuan dan kesatuan nasional serta mendorong pertumbuhan ekonomi. Pada awalnya, pandangan itu terbukti benar. Sepanjang tahun 1970- an dan 1980-an, misalnya, Indonesia mengalami_ pertumbuhan yang berkelanjutan dan stabilites politik yang mantap (Shah, et al, 1994). Namun, dalam jangka panjang sentralisasi seperti itu telah memunculkan masalah rendahnya akuntabilitas, menghambat pembangunan infrastruktur sosial, rendahnya tingkat pengembalian proyek-proyek publik, serta menghambat pengembangan ke- lembagaan sosial ekonomi di daerah (Bastin dan Smoke, 1992, dalam Shah et al, 1994). Kedua, tuntutan pemberian otonomi itu juga muncul sebagai Jjawaban untuk memasuki era new game yang membawa new rules pada semua aspek kehidupan masyarakat Indonesia pada saat itu. Pada era globalization cascade sudah semakin meluas, pemerintah akan semakin kehilangan kendali pada banyak persoalan, seperti pada perdagangan internasional, informasi dan ide, serta transaksi 6 ‘Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah keuangan. Di masa depan, pemerintah sudah terlalu besar untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan kecil, tetapi terlalu kecil untuk dapat menyelesaikan semua masalah yang dihadapi oleh masyarakat (Shah, 1997). Untuk menghadapi era new game yang penuh dengan new rules tersebut, dibutuhkan new strategy. Berbagai ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) yang telah dihasilkan melalui Sidang Istimewa merupakan new strategy kita untuk keluar dari krisis ekonomi dan kepercayaan serta menghadapi globalization cascade pada saat itu. Salah satu ketetapan MPR tersebut adalah Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tap MPR tersebut merupakan landasan hukum keluarnya Undang- Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang membawa angin segar bagi pengembangan otonomi daerah. Kedua undang-undang ini telah membawa perubahan mendasar pada pola pembagian dan hubungan kewenangan antarpemerintahan dan keuangan antara pusat dan daerah. Sampai dengan saat ini, kedua UU tersebut telah mengalami beberapa kali pergantian. UU Nomor 22 Tahun 1999 terakhir diganti dengan UU Nomor 9 Tahun 2015, sedangkan UU Nomor 25 Tahun 1999 terakhir diganti dengan UU Nomor 33 Tahun 2004. Misi utama kedua undang-undang tersebut adalah desentralisasi. Desentralisasi_ mengemban misi utama berupa pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah yang lebih rendah, dan mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Pemerintah pada berbagai tingkatan harus bisa Pentingnya Otonomi Daerah 7 image not available prakarsa, dan kreativitas masyarakat dalam pembangunan, serta mendorong pemerataan hasil-hasil pembangunan (keadilan) di seluruh daerah dengan memanfaatkan sumber daya dan potensi yang tersedia di masing-masing daerah. Kedua, memperbaiki alokasi sumber daya produktif melalui pergeseran peran pengambilan keputusan publik ke tingkat pemerintah yang paling rendah yang memiliki informasi yang paling lengkap. Bahkan saat ini, alokasi sumber daya telah didistribusikan sampai kepada level pemerintah desa melalui Dana Desa. Pada tataran empiris, desentralisasi terbukti_ berhubungan positif dengan kualitas pemerintahan. Perhatikan hasil penelitian Huther dan Shah (1998) di 80 negara yang disajikan dalam Tabel 1.1 berikut ini. Tabel 1.1 Korelasi antara Indeks Desentralisasi dengan Kualitas Pemerintahan KOEFISIEN NOMOR KOMPONEN KORELASI PEARSON 1 CITIZEN PARTICIPATION Political Freedom 0.5999** Political Stability 0.604"* 2 GOVERNMENT ORIENTATION “Judicial Efficiency 0.544" “© Bureaucratic Efficiency 0.540% + Absence of Corruption 0.532 3 SOCIAL DEVELOPMENT Human Development Index 0.369" “ Egolitarianism in income Distribution 0.373* (Inverse of Gini Coefficient) image not available image not available image not available publik, tetapi juga terlihat pada besarnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan keuangan daerah. 2. Kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah pada umumnya dan anggaran daerah pada khususnya. 3. Desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran para partisipan yang terkait dalam pengelolaan anggaran, seperti DPRD, kepala daerah, sekretaris daerah, dan perangkat daerah lainnya. 4. Kerangka hukum dan administrasi bagi pembiayaan atau pendanaan, investasi, dan pengelolaan uang daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar, value for money, transparansi, dan akuntabilitas. 5. Kejelasan tentang kedudukan keuangan DPRD, kepala daerah, dan PNS Daerah, baik rasio maupun dasar pertimbangannya. 6. Ketentuan tentang bentuk dan struktur anggaran, anggaran kinerja, dan anggaran tahun jamak (multiyear budget) 7. Prinsip pengadaan dan pengelolaan barang daerah yang lebih profesional. 8. Prinsip akuntansi pemerintah daerah, laporan keuangan, peran DPRD, dan auditor/pemeriksa dalam pengawasan, pemberian opini atas laporan keuangan dan peringkat kinerja anggaran, dan transparansi informasi anggaran kepada publik. 9. Aspek pembinaan dan pengawasan yang meliputi batasan pembinaan, peran asosiasi, dan peran anggota masyarakat guna pengembangan profesionalisme aparatur pemerintah daerah 10. Pengembangan sistem —_informasi_—-keuangan_—_daerah untuk menyediakan informasi anggaran yang akurat dan pengembangan komitmen pemerintah daerah_terhadap penyebarluasan informasi sehingga memudahkan pelaporan dan pengendalian, serta mempermudah mendapatkan informasi. Pentingnya Otonomi Daerah B image not available image not available image not available Momentum desentralisasi dan otonomi daerah hendaknya dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pemerintah daerah untuk mengoptimalkan pembangunan daerahnya. Untuk itu, hal yang pertama kali periu dilakukan oleh pemerintah daerah adalah melakukan perbaikan lembaga (institutional reform), perbaikan sistem manajemen keuangan publik, dan reformasi manajemen sektor publik. Oleh karena itu, untuk dapat membangun landasan perubahan yang kuat, pemerintah perlu melakukan perenungan kembali (rethinking government) yang kemudian diikuti_ dengan reinventing government untuk mewujudkan pemerintahan baru yang lebih baik. B. Era New Public Management Sejak pertengahan tahun 1980-an di Eropa dan Amerika terjadi perubahan manajemen sektor publik yang cukup drastis, dari sistem manajemen tradisional yang terkesan kaku, birokratis, dan hierarkis menjadi model manajemen sektor publik yang fleksibel dan lebih mengakomodasi pasar. Perubahan tersebut telah mengubah peran pemerintah, terutama dalam hal hubungan antara pemerintah dengan masyarakat. Paradigma baru manajemen sektor publik tersebut kemudian dikenal dengan New Public Management. Model New Public Management mulai dikenal pada tahun 1980-an dan kembali populer pada tahun 1990-an, yang mengalami beberapa bentuk inkarnasi, misalnya munculnya konsep “managerialism" (Pollitt, 1993), “market-based public administration" (Lan dan Rosenbloom, 1992), “post-bureaucratic paradigm" (Barzelay, 1992), dan “entrepreneurial government’ (Osborne dan Gaebler, 1992). New Public Management berfokus pada manajemen, penilaian kinerja, dan efisiensi, bukan berorientasi pada kebijakan. Penggunaan paradigma New Public Management tersebut Reinventing Government. WT Menciptakan Model Pemerintah Daerah Masa Depan image not available image not available image not available pembangunan. Akhirnya, birokrasi dicemooh di sana-sini. Keadaan tersebut dapat dipandang sebagai kegagalan birokrasi itu sendiri, karena tujuan birokrasi pada awalnya adalah untuk menciptakan efisiensi organisasi dan memfasilitasi pembangunan. Bagi para pendukung teori birokrasi, mereka berkeyakinan bahwa pembangunan tidak dapat dilakukan tanpa_birokrasi. Alokasi sumber daya publik tidak mungkin dilakukan tanpa adanya birokrasi. Beberapa pihak berbeda pendapat mengenai_perlu tidaknya birokrasi untuk menjalankan mesin pemerintahan. Masalah utama yang terkait dengan birokrasi adalah masalah efisiensi dan profesionalisme birokrasi. Masalah efisiensi dan profesionalisme birokrasi tersebut muncul justru ketika birokrasi semakin besar dan kuat. E. Kegagalan Birokrasi Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa_birokrasi pada awalnya dimaksudkan untuk memfasilitasi pembangunan dengan menciptakan efisiensi organisasi secara maksimum. Selama tahun 1930-an hingga 1960-an birokrasi memainkan peran utama dalam pembangunan. Namun, birokrasi yang semakin kuat tersebut kemudian menunjukkan kecenderungan-kecenderungan yang kurang baik, di antaranya birokrasi menjadi sangat sulit ditembus, sentralistis, top-down, dan hierarki yang sangat panjang. Birokrasi justru menyebabkan kelambanan, terlalu bertele-tele, dan mematikan kreativitas, Birokrasijuga dipandang mengganggu mekanisme pasar karena menciptakan distorsi ekonomi. Pada akhimya, birokrasi justru menyebabkan inefisiensi organisasi. Dalam era seperti sekarang ini, ketika dunia dihadapkan pada ketidakpastian (turbulence and uncertainty), teknologi informasi yang semakin canggih, masyarakat yang semakin menuntut, dan Reinventing Government. 21 Menciptakan Model Pemerintah Daerah Masa Depan image not available image not available image not available produksi pelayanan publik diserahkan pada pihak swasta dan/ atau sektor ketiga (LSM dan lembaga nirlaba lainnya). Produksi pelayanan publik oleh pemerintah daerah harus dijadikan se- bagai pengecualian, dan bukan keharusan. Pemerintah daerah hanya memproduksi pelayanan publik yang belum dapat dilakukan oleh pihak nonpemerintah. Pada saat ini, banyak pelayanan publik yang dapat diproduksi oleh sektor swasta dan sektor ketiga (LSM). Bahkan, pada beberapa negara, penagihan pajak dan retribusi sudah lama dikelola oleh pihak nonpemerintah. 2. Pemerintah Milik Masyarakat: memberi wewenang pada masyarakat daripada melayani Pemerintah daerah sebaiknya memberi wewenang kepada masyarakat sehingga mereka mampu menjadi masyarakat yang dapat menolong dirinya sendiri (community self- help). Sebagai contch, masalah keselamatan umum adalah juga merupakan tanggung jawab masyarakat, tidak hanya kepolisian. Oleh karenanya, kepolisian semestinya tidak hanya memperbanyak polisi untuk menanggapi peristiwa kriminal, tetapi juga membantu warga untuk memecahkan masalah yang menyebabkan timbulnya tindak kriminal. Contoh lainnya, untuk dapat lebih mengembangkan usaha kecil, berikanlah wewenang yang optimal pada asosiasi pengusaha kecil untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi. 3. Pemerintah yang Kompetitif: menyuntikkan semangat kompe- tisi dalam pemberian pelayanan publik Kompetisi adalah cara untuk menghemat biaya sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan. Dengan kompetisi, banyak pelayanan publik yang dapat ditingkatkan kualitasnya tanpa harus memperbesar biaya. Perhatikan pelayanan pos negara. Akibat kompetisi yang semakin keras, pelayanantitipan kilat yang Reinventing Government. 25 Menciptakan Model Pemerintah Daerah Masa Depan image not available image not available image not available sangat_ maju, kebutuhan/keinginan masyarakat_ dan_bisnis sudah semakin kompleks, dan staf pemerintah daerah sudah banyak yang berpendidikan tinggi. Sekarang ini, pengambilan keputusan harus digeser ke tangan masyarakat, asosiasi-asosiasi, pelanggan, dan LSM. 10. Pemerintah yang Berorientasi pada (Mekanisme) Pasar: mengadakan perubahan dengan mekanisme pasar (sistem insentif) dan bukan dengan mekanisme administratif (sistem prosedur dan pemaksaan). Ada dua cara alokasi sumber daya, yaitu mekanisme pasar dan mekanisme administratif, Dari keduanya, mekanisme pasar terbukti sebagai yang terbaik dalam mengalokasi sumber daya. Pemerintah daerah tradisional menggunakan mekanisme administratif, sedangkan pemerintah daerah yang berorientasi pada (mekanisme) pasar menggunakan mekanisme pasar. Dalam mekanisme administratif, pemerintah daerah tradisional menggunakan perintah dan pengendalian, mengeluarkan prosedur dan definisi baku dan kemudian memerintahkan orang untuk melaksanakannya (sesuai dengan prosedur tersebut). Dalam mekenisme pasar, pemerintah daerah yang berorientasi pada (mekanisme) pasar tidak memerintahkan dan mengawasi, tetapi mengembangkan dan menggunakan sistem insentif agar orang tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang merugikan masyarakat. Konsep reinventing government ini muncul sebagai kritik atas kinerja. pemerintahan tradisional dan sebagai antisipasi atas berbagai perubahan yang akan terjadi. Konsep reinventing government menawarkan sepuluh prinsip dasar bagi sebuah model baru pemerintahan yang modern. Reinventing government memang merupakan konsep yang monumental, akan tetapi tanpa Reinventing Government. 29 Menciptakan Model Pemerintah Daerah Masa Depan image not available image not available image not available + Equity. setiap masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan dan keadilan + Efficiency and Effectiveness: pengelolaan sumber daya publik dilakukan secara berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif) + Accountability: pertanggungjawaban kepada publik atas setiap aktivitas yang dilakukan. + Strategic vision: penyelenggara pemerintahan dan masyarakat harus memiliki visi jauh ke depan. Dari kesembilan karakteristik tersebut, paling tidak terdapat tiga hal yang dapat diperankan oleh akuntansi sektor publik, yaitu transparansi, akuntabilitas publik, dan value for money (economy, efficiency, dan effectiveness). Sementara itu, Council of Europe (2008) mendefinisikan good governance sebagai perilaku dalam hal urusan publik dan manajemen sumber daya publik yang bertanggung jawab. Council of Europe merumuskan sejumlah prinsip, yang disebut 12 (dua belas) Prinsip Pemerintahan yang Baik, yang tercantum dalam Strategy on Innovation and Good Governance at Local Level. Keduabelas prinsip tersebut mencakup berbagai area, antara lain etika perilaku, aturan hukum, efisiensi dan efektivitas, transparansi, manajemen keuangan yang baik, dan akuntabilitas. Lebih lengkapnya, keduabelas Prinsip Pemerintahan yang Baik tersebut adalah sebagai berikut. Paradigma Baru Pengelolaan Keuangan Sektor Publik = 33. dalam Mewujudkan Good Governance image not available image not available image not available Prinsip Penjelasan Metode dan prosedur praktis disusun dan digunakan untuk mengubah keahlian menjadi kemampuan dan memberikan hasil yang lebih baik. Prinsip 8 Solusi baru dan efisien untuk Inovasi dan menyelesaikan masalah terus Keterbukaan dikembangkan, dan memanfaatkan tethadap metode pelayanan yang modern. Perubahan Terdapat kesiapan untuk memulai dan mencoba program baru dan belajar dari pengalaman orang lain. Ikim yang memungkinkan penciptaan perubahan dengan tujuan mencapai hasil yang lebih baik. Prinsip 9 Kebutuhan dari generasi mendatang Keberlanjutan dan Orientasi Jangka Panjang harus sudah diperhitungkan dalam kebijakan saat ini, Keberlanjutan masyarakat daerah harus terus diperhitungkan. Dampak atas semua keputusan atau kebijakan diupayakan untuk dapat dipertanggungjawabkan pemerintahan saat ini, serta tidak memindahkan masalah dan tekanan, baik dalam hal lingkungan, struktural, keuangan, ekonomi, atau sosial, kepada generasi mendateng. Paradigma Baru Pengelolaan Keuangan Sektor Publik dalam Mewujudkan Good Governance 37 image not available image not available image not available langkah strategis yang harus dilakukan pemerintah secara bersungguh-sungguh. Pemberian otonomi daerah tidak berarti permasalahan bangsa akan selesai dengan sendirinya. Otonomi daerah tersebut harus dilakukan dengan serangkaian reformasi di sektor publik. Dimensi reformasi sektor publik tersebut tidak saja sekedar perubahan format lembaga, tetapi mencakup pembaruan alat-alat yang digunakan untuk mendukung berjalannya lembaga- lembaga publik tersebut secara ekonomis, efisien, efektif, transparan, dan akuntabel sehingga cita-cita reformasi, yaitu menciptakan good governance, benar-benar tercapai. Untuk mewujudkan good governance diperlukan reformasi kelembagaan (institutional reform) dan reformasi manajemen sektor publik (public management reform). Reformasi kelembagaan menyangkut pembenahan seluruh alat pemerintahan di daerah, baik struktur maupun infrastrukturnya. Kunci reformasi kelembagaan tersebut adalah pemberdayaan masing-masing elemen di daerah, yaitu_masyarakat umum sebagai stakeholder, pemerintah daerah sebagai eksekutif, dan DPRD sebagai shareholder. Reformasi manajemen sektor publik terkait dengan perlunya digunakan model manajemen pemerintahan yang baru yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman, karena perubahan tidaklah sekadar perubahan paradigma, tetapi juga perubahan manajemen. Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya, manajemen sektor publik telah mengalami perkembangan pesat sejak dikenalkannya konsep New Public Management dengan berfokus pada manajemen sektor publik yang berorientasi pada kinerja, bukan berorientasi pada kebijakan. Reformasi manajemen sektor publik juga didasarkan pada tuntutan masyarakat pada abad ke-21 di mana masyarakat tidak lagi sekedar percaya bahwa pemerintah akan memanfaatkan uang publik secara optimal, tetapi mereka ingin melihat bukti (outcomes) bahwa uang publik dimanfaatkan dengan baik (Barber, 2015). Paradigma Baru Pengelolaan Keuangan Sektor Publik ==]. dalam Mewujudkan Good Governance image not available image not available image not available Selain reformasi kelembagaan dan reformasi manajemen sektor publik, untuk mendukung terciptanya good governance maka diperlukan serangkaian reformasi lanjutan, terutama yang terkait dengan sistem pengelolaan keuangan pemerintah daerah, yaitu Reformasi Sistem Pembiayaan (financing reform); Reformasi Sistem Penganggaran (budgeting reform); Reformasi Sistem Akuntansi (accounting reform); Reformasi Sistem Pemeriksaan (audit reform); dan Reformasi Sistem Manajemen Keuangan Daerah (financial management reform). yen Tuntutan pembaruan sistem keuangan tersebut adalah agar pengelolaan uang rakyat (public money) dilakukan secera transparan dengan mendasarkan pada konsep value for money sehingga tercipta akuntabilitas publik (public accountability). C. Reformasi Sistem Pembiayaan Reformasi keuangan daerah berhubungan erat dengan perubahan sumber-sumber pembiayaan pemerintah daerah yang meliputi perubahan sumber-sumber penerimaan keuangan daerah. Dimensi reformasi keuangan daerah tersebut adalah: a) Perubahan kewenangan daereh dalam pemanfaatan dana yang berasal dari pemerintah pusat (perimbangan keuangan); b) Perubahan prinsip pengelolaan anggaran; ©) Perubahan prinsip penggunaan dana pinjaman dan deficit spending; dan d) Perubahan strategi pembiayaan. Paradigma Baru Pengelolaan Keuangan Sektor Publik 45 dalam Mewujudkan Good Governance image not available image not available image not available sehingga terwujud pemerintahan daerah yang bersih, efektit, akuntabel, dan responsif terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat. Pengendalian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) harus selalu dimonitor, yaitu dibandingkan antara yang ditargetkan dan dianggarkan dengan yang dicapai. Kemudian dilakukan analisis varians (selisih) terhadap pendepatan dan belanja daerah tersebut agar dapat sesegera mungkin dicari penyebab timbulnya varians serta dilakukan tindakan koreksi dan antisipasi ke depan. E. Reformasi Sistem Akuntansi 1. Tantangan Akuntansi Keuangan Sektor Publik dalam Mewujudkan Transparansi Pengelolaan Keuangan Daerah Transparansi berarti keterbukaan (openness) pemerintah dalam memberikan informasi yang terkait dengan aktivitas pengelolaan sumber daya publik kepada pihak-pihak yang membutuhkan informasi. Pemerintah berkewajiban untuk memberikan informasi keuangan dan informasi lainnya yang akan digunakan untuk pengambilan keputusan ekonomi, sosial, dan politik oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Untuk melakukan pengambilan keputusan ekonomi, sosial, dan politik tersebut diperlukan informasi akuntansi, yang salah satunya berupa laporan keuangan. Laporan keuangan diperlukan untuk mendukung pembuatan keputusan ekonomi, sosial, dan politik sebagai penyedia informasi yang dapat digunakan untuk (a) membandingkan kinerja keuangan aktual dengan yang dianggarkan, (b) menilai kondisi keuangan dan hasil-hasil operasi, (c) membantu menentukan tingkat kepatuhan Paradigma Baru Pengelolaan Keuangan Sektor Publik == «QQ dalam Mewujudkan Good Governance image not available image not available image not available masih sangat tertinggal. Pada saat itu, Pemerintah Indonesia belum memiliki Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) sebagai pedoman praktik akuntansi pemerintahannya, sistem pencatatan akuntansi yang digunakan oleh pemerintah pun masih menggunakan teknik single entry dengan basis kas. Bergulirnya Reformasi Manajemen Keuangan Negara yang ditandai dengan terbitnya paket undang-undang di bidang Keuangan Negara, yaitu Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, telah _mendorong terjadinya reformasi dalam bidang akuntansi pemerintahan. Sampai dengan saat ini, berbagai kemajuan dalam bidang akuntansi pemerintahan telah terjadi. Salah satu kemajuan besar tersebut adalah dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) sebagaimana telah diganti dengan PP Nomor 71 Tahun 2010. SAP telah mengadopsi (dengan beberapa penyesvaian) standar akuntansi sektor publik yang berlaku secara internasional, salah satunya penerapan basis akrual dalam akuntansi pemerintahan. Dengan adanya Standar Akuntansi Pemerintahan tersebut, baik pemerintah pusat maupun daerah memiliki pedoman dalam penyusunan laporan keuangan yang andal, relevan dan dapat diperbandingkan sehingga mampu mendorong peningkatan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara/ daerah. Sampai dengan saat ini, telah banyak pemerintah daerah yang memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Opini tersebut menunjukkan telah terjadi perbaikan dalam transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah. Paradigma Baru Pengelolaan Keuangan Sektor Publik = 53 dalam Mewujudkan Good Governance image not available image not available image not available keuangan secara relevan, andal, dapat dibandingkan dan dapat dipahami agar tidak terjadi kesalahan informasi dan/atau kesalahan persepsi penggunanya yang dapat mengakibatkan kesalahan dalam pengambilan keputusan. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, tantangan yang dihadapi oleh Pemerintah daerah adalah tuntutan untuk menyediakan informasi akuntabilitas pemerintah daerah yang meliputi akuntabilitas finansial (financial accountability), akuntabilitas manajerial (managerial accountability), akuntabilitas hukum (legal accountability), akuntabilitas politik (political accountability), dan akuntabilitas kebijakan (policy accountability). Akuntansi sektor publik memiliki peran penting untuk menyiapkan laporan keuangan sebagai salah satu bentuk pelaksanaan akuntabilitas publik. 6. Tujuan Penyajian Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Secara garis besar, tujuan umum penyajian laporan keuangan oleh pemerintah daerah adalah: 1. Untuk memberikan informasi yang digunakan dalam pembuatan keputusan ekonomi, sosial, dan politik, serta sebagai bukti pertanggungjawaban (accountabilility, dan pengelolaan (stewardship). 2. Untuk memberikan informasi yang digunakan untuk mengevaluasi kinerja manajerial dan organisasi Secara khusus, tujuan penyajian laporan keuangan oleh pe- merintah daerah adalah: a. Memberikan informasi keuangan untuk menentukan dan memprediksi aliran kas, saldo neraca, dan kebutuhan sumber daya finansial jangka pendek unit pemerintah; Paradigma Baru Pengelolaan Keuangan Sektor Publik =O, dalam Mewujudkan Good Governance image not available image not available image not available untuk menghindari dilakukannya investasi yang sebenarnya tidak layak secara ekonomi dan finansial atau bahkan dapat menimbulkan kerugian baik secara finansial maupun nonfinansial. Manajer daerah harus berhati-hati dalam melakukan investasi karena sumber daya yang digunakan adalah uang publik (public money) yang harus dipertanggungjawabkan penggunaannya. Dalam penilaian suatu investasi, faktor yang harus diperhatikan adalah tingkat diskonto, tingkat inflasi, tingkat risiko, faktor ketidakpastian, serta sumber pendanaan untuk investasi yang akan dilakukan. Akuntansi manajemen sektor publik diperlukan dalam penilaian investasi publik, terutama dalam analisis biaya-manfaat (cost-benefit analysis) dan analisis efektivitas biaya (cost-effectiveness analysis). d) Penganggaran Akuntansi manajemen memainkan peran yang vital dalam proses pemilihan program, penentuan biaya program, dan penganggaran. Akuntansi manajemen berbicara tentang perencanaan dan pengendalian, sedangkan salah satu fungsi anggaran adalah untuk alat perencanaan dan pengendalian. Dengen demikian, akuntansi manajemen sangat erat hubungannya dengan penganggaran. Akuntansi manajemen sektor publik berperan untuk memfasili- tasi terciptanya anggaran publik yang efektif. Terkait dengan tiga fungsi anggaran, yaitu sebagai alat alokasi sumber daya publik, alat distribusi, dan alat stabilisasi, maka akuntansi manajemen merupakan alat yang vital untuk proses mengalokasikan dan mendistribusikan sumber dana publik secara ekonomis, efisien, efektif, adil, dan merata. Untuk mencapai hal tersebut harus didukung dengan manajemen sumber daya manusia yang andal. Paradigma Baru Pengelolaan Keuangan Sektor Publik ==]. dalam Mewujudkan Good Governance image not available image not available image not available Uraian di atas menggambarkan paradigma baru pengelolaan keuangan daerah sebagai salah satu kunci untuk menghadapi era global, selain dengan mengembangkan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Selain itu, pemerintah daerah juga harus dapat mendayagunakan potensi sumber daya secara optimal. Dengan semakin berkurangnya tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat, meningkatnya profesionalisme aparatur pemerintah daerah, dan reformasi pengelolaan keuangan daerah, diharapkan akan mampu mendukung terwujudnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab, serta memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dalam menyongsong era perekonomian global, serta dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat. H. Tantangan dalam Mewujudkan Good Governance Good governance atau yang sering diartikan sebagai kepemerintahan yang baik, merupakan suatu kondisi ideal yang diharapkan dari seluruh pemerintahan di dunia agar mampu mencapai tujuan bernegara. Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia telah tertuang dalam pembukaan UUD 1945, yaitu (1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, (2) Memajukan kesejahteraan umum, (3) Mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) Ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keacilan sosial. Otonomi dareah dan desentralisasi fiskal merupakan suatu mekanisme yang diharapkan mampu mengakselerasi tujuan negara tersebut melalui partisipasi seluruh elemen bangsa. Namun demikian, otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia yang sudah berjalan selama hampir dua dekade dirasa masih belum mampu mengakselerasi pencapaian tujuan bernegara, khususnya dalam Paradigma Baru Pengelolaan Keuangan Sektor Publik == G5, dalam Mewujudkan Good Governance image not available image not available image not available image not available image not available image not available Bab 4 Manajemen Keuangan Daerah Krisis multidimensional yang pernah melanda bangsa Indonesia telah menyadarkan kita akan pentingnya menggagas kembali konsep desentralisasi dan otonomi daerah dalam arti yang sebenarnya. Gagasan penataan kembali sistem otonomi daerah_bertolak dari pemikiran untuk menjamin terjadinya efisiensi, efektivitas, transparansi, akuntabilitas, dan demokratisasi nilai-nilai kerakyatan dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sebelum masa reformasi, harapan yang besar dari pemerintah daerah untuk dapat membangun daerah berdasarkan kemampuan dan kehendak daerah sendiri ternyata dari tahun ke tahun dirasakan makin jauh dari kenyataan. Hal yang terjadi adalah ketergantungan fiskal dan subsidi serta bantuan pemerintah pusat sebagai wujud ketidakberdayaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Era reformasi saat ini memberikan peluang bagi perubahan paradigma pembangunan nasional dari paradigma pertumbuhan menuju paradigma pemerataan pembangunan secara lebih adil dan berimbang. Perubahan paradigma ini antara lain diwujudkan melalui kebijakan otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Kebijakan pemberian otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah merupakan langkah strategis dalam dua hal. Pertama, otonomi image not available image not available image not available Sementara itu, dari sisi internal terdapat tuntutan yang kuat dari masyarakat terhadap pelaksanaan akuntabilitas publik oleh lembaga publik yang ada, termasuk pemerintah pusat dan daerah. Pemberian otonomi daerah dan desentralisasi fiskal diharapkan dapat meningkatkan_ efisiensi, efektifitas, transparansi_ dan akuntabilitas sektor publik di Indonesia. Sebagai konsekuensi logis dari pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal tersebut adalah adanya pelimpahan wewenang dan tanggung jawab dalam menggunakan dana, baik yang berasal daripemerintah pusat maupun pemerintah daerah sendiri. Namun harus diperhatikan bahwa pelimpahan wewenang dan tanggung jawab dalam menggunakan dana tersebut harus diikuti dengan pemberian keleluasaan dan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menggunakan dana sesuai dengan prioritas dan aspirasi masyarakat daerah. Dengan otonomi, daerah dituntut untuk mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan tanpa mengurangi harapan masih adanya bantuan dan bagian (sharing) dari pemerintah pusat. Dengan kondisi seperti ini, peranan investasi swasta dan perusahaan milik daerah sangat diharapkan sebagai pemacu utama pertumbuhan dan pembangunan ekonomi (engine of growth). Dari sisi eksternal, daerah dituntut untuk menarik investasi asing dalam kerangka aturan yang ada agar bersama-sama swasta domestik mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah serta menimbulkan multiplier effect yang besat. Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat memberikan keleluasaan kepada daerah dalam pembangunan daerah melalui usaha-usaha yang sejauh mungkin mampu meningkatkan partisipasi aktif masyarakat, karena pada dasarnya terkandung 3 (tiga) misi utama sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal tersebut, yaitu: 1. Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah; Manajemen Keuangan Daerah 7 image not available image not available image not available f Meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum; g. Meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa guna mewujudkan masyarakat Desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional; h. ~Memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; dan Memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan. C. Manajemen Keuangan Daerah dalam Konteks Otonomi Daerah Perbedaan Konsep Otonomi Daerah Masa Lalu dan Saat ini Berdasarkan konsepsinya, pelaksanaan otonomi daerah pada masa lalu dipahami sebagai kewajiban. Artinya penyelenggaraan otonomi daerah lebih menitikberatkan pada peranen dan tanggung jawab pemerintah daerah kepada pemerintah pusat untuk menjalankan pembangunan nasional. Sebagai konsekuensinya, pemerintah daerah lebih mematuhi arahan dan instruksi pemerintah pusat daripada memperjuangkan aspirasi_ masyarakat daerah. Hal tersebut mudah dipahami karena pada waktu itu, tujuan penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan koordinasi dan integrasi nasional untuk memantapkan stabilitas dan pembangunan nasional. Penyelenggaraan otonomi daerah pada masa sekarang lebih dipahami sebagai hak, yaitu hak masyarakat daerah untuk mengatur dan mengelola kepentingannya sendiri serta mengembangkan potensi dan sumber daya daerah. Penyelenggaraan otonomi dimaksudkan agar dapat mendorong partisipasi_ masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, serta mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Manajemen Keuangan Daerah 81 image not available image not available image not available 5. Anggaran daerah harus mampu menumbuhkan profesionalisme kerja di setiap organisasi terkait; dan 6. Anggaran daerah harus dapat memberikan keleluasaan_ bagi para pelaksananya untuk memaksimalkan pengelolaan dananya dengan memerhatikan prinsip value for money. Perubahan Pendekatan Penganggaran Sektor Publik: Dari Traditional Budget Menuju New Public Management Sistem anggaran sektor publik dalam perkembangannya telah menjadi instrumen kebijakan multifungsi yang digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan organisasi. Hal tersebut terutama tercermin pada komposisi dan besarnya anggaran yang secara langsung merefleksikan arah dan tujuan pelayanan masyarakat yang diharapkan. Anggaran sebagai alet perencanaan kegiatan publik yang dinyatakan dalam satuan moneter sekaligus berfungsi sebagai alat pengendalian. Dengan demikian, agar fungsi perencanaan dan pengawasan dapat berjalan dengan baik maka sistem anggaran harus dilakukan dengan cermat dan sistematis. Sebagai sebuah sistem, perencanaan anggaran sektor publik telah mengalami banyak perkembangan. Sistem perencanaan publik berkembang dan berubah sesuai dengan dinamika perkembangan manajemen sektor publik dan perkembangan tuntutan yang muncul di masyarakat. Pada dasarnya terdapat beberapa jenis pendekatan dalam perencanaan dan penyusunan anggaran sektor publik. Secara garis besar terdapat dua pendekatan utama yang memiliki perbedaan mendasar. Kedua pendekatan tersebut adalah: (a) anggaran tradisional atau anggaran konvensional dan (b) pendekatan baru yang dikenal dengan pendekatan New Public Management. Terdapat dua ciri utama dalam pendekatan anggaran tradisional, yaitu: (a) struktur dan susunan anggaran yang bersifat line-item, dan (b) cara penyusunan anggaran yang didasarkan atas Manajemen Keuangan Daerah 85 image not available image not available image not available Pentingnya Anggaran Sektor Publik Anggaran sektor publik menjadi penting karena beberapa alasan, yaitu: a. Anggaran merupakan alat terpenting bagi pemerintah untuk mengarahkan pembangunan sosial ekonomi, menjamin kesinambungan, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat: b. Anggaran diperlukan karena adanya kebutuhan dan keinginan masyarakat yang tidak terbatas dan terus berkembang, sedangkan sumber daya yang ada terbatas. Anggaran diperlukan karena adanya masalah keterbatasan sumber daya (scarcity of resources), pilihan (choice), dan trade-offs; dan cc. Anggaran diperlukan untuk meyakinkan bahwa pemerintah telah bertanggung jawab terhadep rakyat Dalam hal ini anggaran publik merupakan instrumen pelaksanaan akuntabilitas publik oleh lembaga-lembaga publik yang ada. Anggaran sektor publik mempunyai beberapa fungsi utama, yaitu: (1) sebagai alat perencanaan, (2) alat pengendalian, (3) alat kebijakan fiskal, (4) alat politik, (5) alat koordinasi dan komunikasi, (6) alat penilaian kinerja, dan (7) alat motivasi. 1. Anggaran sebagai Alat Perencanaan (Planning Tool) Anggaran merupakan alat_perencanaan menajemen untuk mencapai tujuan organisasi. Anggaran sektor publik dibuat untuk merencanakan tindakan apa yang akan dilakukan oleh pemerintah, berapa biaya yang dibutuhkan, dan berapa hasil yang diperoleh dari belanja pemerintah tersebut. Manajemen Keuangan Daerah 89 image not available image not available image not available D. Prinsip-Prinsip Pokok dalam Penganggaran dan Manajemen Keuangan Daerah Prinsip-Prinsip Pokok Pada dasarnya apa pun bentuk organisasi, sektor swasta ataupun sektor publik, pasti akan melakukan penganggaran, yang pada dasarnya merupakan cetak biru bagi pencapaian visi dan misinya. Untuk itu, penganggaran dan manajemen keuangan dilaksanakan berdasarkan pada prinsip-prinsip pokok tertentu. Untuk pemerintah daerah, prinsip-prinsip pokok dalam penganggaran dan manajemen keuangan daerah antara lain sebagai berikut (World Bank, 1998): + Komprehensif dan Disiplin. Anggaran daerah adalah satu- satunya mekanisme yang akan menjamin terciptanya disiplin pengambilan keputusan. Oleh karenanya, anggaran daerah harus disusun secara komprehensif, yaitu menggunakan pendekatan yang holistik dalam diagnosis permasalahan yang dihadapi, analisis keterkaitan antarmasalah yang mungkin muncul, evaluasi kapasitas kelembagaan yang dipunyai, dan mencari cara-cara terbaik untuk memecahkannya. + Fleksibilitas. Sampai tingkat tertentu, pemerintah daerah harus diberi keleluasaan yang memadai sesuai dengan ketersediaan informasi-informasi relevan yang dimilikinya. Arahan dari pusat memang harus ada, tetapi harus diterapkan secara hati-hati, dalam arti tidak sampai mematikan inisiatif dan prakarsa daerah. + Terprediksi. Kebijakan yang terprediksi adalah faktor penting dalam peningkatan kualitas implementasi anggaran_daerah. Sebaliknya, bila kebijakan sering berubah-ubah, seperti metode pengalokasian Dana Alokasi Umum (DAU) yang tidak jelas misalnya, daerah akan menghadapi ketidakpastian (uncertainty) yang sangat besar sehingga prinsip efisiensi dan efektivitas pelaksanaan suatu program yang didanai oleh anggaran daerah cenderung terabaikan. Manajemen Keuangan Daerah 93 image not available image not available image not available harus memiliki antara lain political skill, dan coalition building yang memadai. Prinsip kunci dalam menghadapi persoalan ratifikasi ini adalah preparation and integrity yang tinggi dari manajer keuangan daerah. Adalah suatu yang krusial bahwa mereka harus mempunyai kemampuan untuk menjawab dan memberikan argumentasi yang rasional dan ilmiah atas segala pertanyaan dan bantahan dari pihak legislatif. Jawaban dan argumentasi yang dikemukakan haruslah akurat dan sempurna, serta harus ilmiah. Untuk tahap budget implementation, hal penting yang harus diperhatikan oleh manajer keuangan daerah adalah dimilikinya sistem informasi akuntansi dan sistem pengendalian manajemen. Dengan sistem akuntansi yang memadai diharapkan akan tercipta sistem pengendalian yang mumpuni atas pelaksanaan anggaran yang telah disepakati, dan bahkan dapat diandalkan untuk tahap penyusunan anggaran periode berikutnya. Agar sistem akuntansi dapat termonitor dengan baik, maka fungsi auditor internal (Inspektorat) untuk melaksanakan audit intemal harus berjalan dengan baik. Monitoring ini sekaligus digunakan sebagai indikator budget performance. Bila sistem akuntansi keuangan dan sistem pengendalian manajemen dapat mendisiplinkan tahap implementasi maka secara otomatis tahap budget reporting and evaluation tidak akan menghadapi banyak masalzh, sebab sistem akuntansi keuangan dan sistem pengendalian manajemen akan menjamin dihasilkannya laporan keuangan yang dapat dipertanggungjawabkan secara tepat waktu dan tepat mutu sehingga kegiatan evaluasi pun akan lebih mudah untuk dilaksanakan. Prinsip penting dalam evaluasi adalah harus jelas dan transparannya tolok ukur kinerja (performance indicator), baik untuk kepentingan pihak internal maupun eksternal. Dengan terpenuhinya prinsip-prinsip pokok dari proses dan siklus Manajemen Keuangan Daerah 7 image not available image not available image not available Bab 5 Manajemen Penerimaan Daerah dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah A. Pendahuluan Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal secara utuh yang dimulai sejak lahirnya UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomar 25 Tahun 1999 menimbulkan reaksi yang berbeda-beda bagi daerah. Pemerintah daerah yang memiliki sumber kekayaan alam yang besar menyambut otonomi daerah dengan penuh harapan, sebaliknya daerah yang miskin sumber daya alamnya menanggapinya dengan sedikit rasa khawatir dan was-was. Hal ini disebabkan karena sebagian besar pemerintah daerah masih mengandalkan sumber pendapatan dari hasil kekayaan alamnya. Kekhawatiran beberapa daerah tersebut bisa dipahami, karena pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal membawa konsekuensi bagi pemerintah daerah untuk lebih mandir, baik dari sistem pembiayaan maupun dalam menentukan arah pembangunan daerahsesuaidengen prioritasdan kepentingan masyarakat didaerah. Di samping itu, alasan klasik seperti kesiapan sumber daya manusia (SDM) di daerah, serta masih lemahnya struktur dan infrastruktur daerah memang merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri dialami oleh beberapa pemerintah daerah. Beberapa pihak bahkan image not available image not available image not available diperlukan metode penghitungan potensi PAD yang sistematis dan rasional. Upaya peningkatan kapasitas fiskal daerah (fiscal capacity) sebenarnya tidak hanya menyangkut peningkatan PAD. Peningkatan kapasitas fiskal pada dasarnya adalah optimalisasi sumber-sumber penerimaan daerah. Oleh karena itu, tidak perlu dibuat dikotomi antara Pendapatan Asli Daerah dengan Dana Perimbangan. Namun, juga perlu dipahami bahwa peningkatan kapasitas fiskal bukan berarti anggaran yang besar jumlahnya. Anggaran yang dibuat besar jumlahnya tetapi tidak dikelola dengan baik (tidak memenuhi prinsip value for money) justru akan menimbulkan masalah, misalnya kebocoran anggaran. Yang terpenting adalah optimalisasi anggaran, karena peran pemerintah daerah nantinya lebih bersifat sebagai fasilitator dan motivator dalam menggerakkan pembangunan di daerah (Osborne dan Gaebler, 1992). Masyarakat daerah sendiri (termasuk swasta, LSM, perguruan tinggi, dan sebagainya) yang akan banyak berperan membangun daerahnya sesuai dengan kepentingan dan prioritas mereka. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, pemerintah daerah sering kali dihadapkan dengan tantangan tingginya kebutuhan fiskal daerah (fiscal need) sementara kapasitas fiskal daerah tidak mencukupi sehingga terjadi kesenjangan fiskal (fiscal gap). Untuk itu, perlu dilakukan manajemen PAD terkait dengan upaya peningkatan kapasitas fiskal daerah. Beberapa strategi yang dapat dilakukan pemerintah daerah untuk menutupi kesenjangan fiskal melalui manajemen penerimaan daerah, antara lain: 1. Mempelajari kemungkinan meningkatkan pendapatan melalui charging for service (penjualan jasa publik); 2. Perlu dilakukan perbaikan administrasi penerimaan pendapatan daerah (revenue administration) untuk menjamin agar semua pendapatan dapat terkumpul dengan baik; Manajemen Penerimaan Daerah dalamRangkas—S~*=«dYCS Pelaksanaan Otonomi Daerah image not available Kebijakan untuk tidak menambah pungutan pajak dan meningkatkan retribusi didasarkan atas beberapa pertimbangan. Pertama, pungutan retribusi langsung berhubungan dengan masyarakat pengguna layanan publik (public service). Peningkatan retribusi secara otomatis akan mendorong peningkatan kualitas pelayanan publik karena masyarakat tentu tidak mau membayar lebih tinggi bila pelayanan yang diterima sama saja kualitas dan kuantitasnya. Dengan demikian, pemerintah daerah ditantang untuk meningkatkan kinerjanya dalam memberikan pelayanan publik. Kedua, investor akan lebih bergairah melakukan investasi di daerah apabila terdapat kemudahan sistem perpajakan di daerah. Penyederhanaan sistem perpajakan di daerah perlu dilakukan misalnya melalui penyederhanaan tarif dan jenis pajak daerah. Berdasarkan aturan baru, pemerintah daerah kabupaten/kota dimungkinkan untuk menambah jenis pajak lain di luar yang telah diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dengan Peraturan Daerah. Ketentuan baru tersebut dimaksudkan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah kabupaten/kota dalam mengantisipasi situasi dan kondisi serta perkembangan perekonomian daerah pada masa mendatang yang mengakibatkan perkembangan potensi pajak. Pajak baru tersebut harus memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Bersifat pajak dan bukan retribusi; b. Objek pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta hanya melayani masyarakat di wilayah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan; c. Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum; Manajemen Penerimaan Daerah dalamRangka=s—=~C~*~«dYC«T Pelaksanaan Otonomi Daerah Objek pajak bukan merupakan objek pajak provinsi dan/ atau objek pajak pusat; Potensinya memadai; Tidak memberikan dampak yang negatif terhadap perekonomian; Memperlihatkan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat; dan Menjaga kelestarian lingkungan. Sementara itu, Devas (1989) memberikan kriteria yang lebih rinci untuk menetapkan kelayakan suatu pajak. Sejumlah kriteria yang harus dipertimbangkan untuk menilai pajak daerah tersebut layak atau tidak, yaitu: 1. Hasil/perolehan pajak (tax yield): Hasil pajak cukup besar. Pajak yang memberikan hasil yang kecil justru akan menimbulkan inefisiensi dan menciptakan perlawanan pajak (taxpayer resistance); Hasilnya lebih pasti dan dapat diprediksi. Hasil pajak hendaknya relatif stabil, tidak berfluktuatif dari tahun ke tahun agar mudah dalam melakukan perencanaan belanja; Elastisitas hasil pajak terhadap inflasi, pertumbuhan pendudukan dan kenaikan pendapatan; dan Perbandingan antara biaya pungut (collection cost) dengan hasil pajak (tax yield) kecil. 2. Keadilan (equity): 108 Dasar pengenaan pajk (tax base) dan kewajiban wajib pajak harus jelas, tidak bersifat arbitrer; Horizontal equity. Pajak yang dilakukan harus menciptakan keadilan horizontal, yaitu mereka yang kondisi ekonominya sama memiliki beban pajak yang sama; ‘Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah + Vertical equity. Beban pajak harus disesuaikan dengan kemampuan masyarakat untuk membayar. Yang kaya harus membayar pajak lebih tinggi daripada yang miskin; dan + Benefit principle, mereka yang menikmati fasilitas publik secara lebih baik harus membayar pajak lebih tinggi. 3. Daya guna ekonomi (economic efficiency/economic neutrality). Pajak hendaknya mendorong penggunaan sumber daya secara produktif dan tidak mengganggu perekonomian. Sistem perpajakan hendaknya memberikan netralitas ekonomi sehingga mengurangi distorsi ekonomi. 4, Kemampuan melaksanakan (ability to implement): + Adanya political acceptability untuk menerapkan pajak. + Terdapat dukungan kapasitas administrasi dan skill aparat pajak yang memadai 5. Kecocokan sebagai sumber penerimaan daerah (suitability as a local revenue source): + Harus jelas pemerintah daerah mana yang harus menerima pajak. Sebagai contoh, pajak penghasilan seharusnya dibayarkan kepada pemerintah daerah tempat di mana orang tersebut bekerja atau tempat tinggal WP. + Kedudukan objek pajak jelas agar tidak mudah dihindari, dengan cara memindahkan objek pajak dari satu daerah ke daerah lain. 6. Masalah tarif pajak diferensial (the problem of differential tax rates). 7. Pengaruh tempat (lokasi) terhadap beban pajak (location responses to taxation). Jika jenis pajak atau tarif pajak berbeda- beda untuk tiap daerah maka pembayar pajak cenderung berusaha untuk mengurangi beban pajak (misalnya kantor pusat). Idealnya, pajak daerah dapat meminimalkan distorsi Manajemen Penerimaan Daerah dalamRangkas—s—=~«*Y«) Pelaksanaan Otonomi Daerah yang menyebabkan masyarakat dan pelaku bisnis meninggalkan suatu daerah. 8. Masalah keadilan antarwilayah (the problem of inter-regional equity). Beberapa pemerintah daerah memiliki potensi pajak daerah yang lebih besar dari yang lainnya. Pajak daerah hendaknya jangan mempertajam _ perbedaan-perbedaan antardaerah dari segi potensi masing-masing daerah. 9. Kapasitas untuk mengimplementasikan (capacity to implement). Selain itu, pemerintah dapat mengoptimalkan penerimaan pajak pusat yang dapat dibagi (sharing) dengan daerah (misalnya PPh Orang Pribadi dan BPHTB). Jika potensinya cukup besar maka pemerintah daerah dapat membantu mobilisasi penerimaan pajak pusat, sehingga bagian bagi hasil pajak untuk daerah tersebut tinggi Sebagai gambaran, jika pemerintah daerah dapat meningkatkan perolehan pajak atas PPh Orang Pribadi (termasuk PPh Pasal 21) di daerahnya maka bagian pajak untuk daerahnya akan tinggi Hal ini di samping menguntungkan pemerintah daerah juga akan menguntungkan pemerintah pusat. D. Memperbaiki Sistem Perpajakan Daerah Untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah, pemerintah daerah perlu memperbaiki sistem perpajakan daerah. Sebenarnya, jika pemerintah daerah memiliki sistem perpajakan daerah yang memadai maka daerah dapat menikmati pendapatan dari sektor pajak yang cukup besar. Untuk itu, upaya intensifikasi pajak daerah, serta penyuluhan dan pengawasan pajak perlu ditingkatkan. Karena sistem perpajakan di Indonesia menganut self-assessment system maka pemerintah daerah bersifat pasif, tetapi harus proaktif memberikan penyuluhan dan pengawasan pajak kepada mesyarakatnya, Untuk meningkatkan ketaatan pajak (tax compliance), pemerintah daerah 110 ‘Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah dapat bekerja sama dengan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) setempat untuk melakukan pengawasan pajak dan memberikan penghargaan kepada masyarakat yang taat membayar pajak. Pada prinsipnya, sistem perpajakan harus ekonomis, efisien, dan adil (economy, efficiency, and equity), serta sederhana dalam pengadministrasiannya. Beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah daerah untuk memperbaiki sistem perpajakan daerah antara lain: a Perlunya dilakukan perbaikan administrasi_penerimaan daerah (revenue administration) untuk menjamin agar semua pendapatan dapat terkumpul dengan baik. Untuk itu, pemerintah daerah perlu memiliki sistem akuntansi yang memadai sehingga dapat dipastikan bahwa uang yang dikumpulkan telah di-posting ke rekening pemerintah daerah secara benar, dan ada keamanan yang cukup dari bahaya pencurian, hilang, atau salah hitung; Checking system. Pada setiap tahap sangat perlu bahwa catatan-catatan tersebut di-cross-check, dan dilakukan pengecekan mendadak (spot check) oleh staf senior secara acak; Pelaporan hasil pengumpulan pajak dan retribusi daerah perlu dimonitor secara teratur dibandingkan dengan target dan potensi, dan hasilnya dilaporkan kepada staf senior yang memiliki kewenangan mengambil keputusan bila terjadi masalah; dan Metode menghitung potensi pajak dan retribusi daerah yang efektif, Manajemen PenerimaanDaerahdalamRangka——~«idC«SdzCdS Pelaksanaan Otonomi Daerah E. Optimalisasi Peran BUMD BUMD sebagai perusahaan milik daerah mulanya diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah. Sehubungan dengan adanya desentralisasi dan otonomi daerah, sebagai bagian dari daerah, BUMD juga diatur cukup detil pada UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Aturan yang lebih teknis terkait BUMN diatur melalui PP Nomor 54 Tahun 2017 tentang Badan Usaha Milik Daerah, Dalam PP Nomor 54 Tahun 2017, pemerintah daerah dapat mendirikan Badan Usaha Milik Daerah melalui Peraturan Daerah (Perda) dengan tujuan: 1. Memberikan manfaat bagi perkembangan perekonomian daerah; 2. Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu bagi pemenuhan hajat hidup masyarakat sesuai kondisi, karakteristik dan potensi daerah yang bersangkutan berdasarkan tata kelola perusahaan yang baik; dan 3. Memperoleh laba dan/atau keuantungan. Dengan demikian dapat diketahui bahwa harapan yang melekat pada sebuah BUMD adalah untuk menjadi penggerek perekonomian daerah (engine of growth), menjadi penyedia layanan umum, serta memberikan keuntungan kepada daerah dalam bentuk laba/deviden perusahaan. Melalui berbagai kegiatan usahanya, BUMD diharapkan mampu berkontribusi dalam memberikan nilai tambah terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) serta menyerap tenaga kerja sehingga perekonomian daerah dapat tumbuh dengan baik serta menimbulkan multiplier effect yang besar. Selain itu, BUMD juga berfungsi sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah yang berasal dari hasil pengelolean kekayaan daerah yang dipisahkan. PAD yang 112 ‘Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah bersumber dari BUMD dapat berupa deviden maupun pajak. Namun, saat ini banyak ditemukan kondisi dimana BUMD justru menjadi salah satu masalah keuangan daerah. Banyak BUMD yang tidak hanya gagal menjadi sumber penerimaan, bahkan justru menjadi beban keuangan daerah. Terdapat beberapa permasalahan yang menyebabkan BUMD tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai engine of growth sekaligus penyumbang pendapatan bagi daerah. Permasalahan yang dihadapi BUMD antara lain adalah kurangnya dukungan pemerintah daerah dan lemahnya kepemimpinan dalam BUMD. Sebagai badan usaha yang sebagian atau seluruh modalnya bersumber dari pemerintah daerah, BUMD sangat bergantung pada dukungan pemerintah daerah baik dari segi finansial maupun non finansial Dari segi finansial, pemerintah daerah harus memberikan dukungan sumber daya yang cukup sehingga BUMD dapat ber- operasi dan menjalankan usahanya dengan baik. Dukungan finansial pemerintah daerah kepada BUMD dalam bentuk Penanaman Modal Daerah (PMD) seringkali lebih dipenuhi dengan unsur politik dan kepentingan golongan daripada perhitungan bisnis yang matang. Dari segi non finansial, pemerintah daerah dapat mendukung BUMD melalui penugasan khusus atau regulasi yang memberikan afirmasi kepada BUMD untuk dapat bersaing. Tantangan yang lain adalah lemahnya kepemimpinan dalam BUMD. Hal ini disebabkan proses assessment dalam pengisian jabatan pimpinan BUMD belum berjalan dengan baik. Masih sering terjadi praktik-praktik kolusi dan nepotisme dalam pengisian jabatan, sehingga banyak jabatan yang diduduki oleh orang yang tidak atau kurang berkompeten. Kepemimpinan BUMD yang lemah menyebabkan BUMD tidak mampu bergerak progresif untuk menjalankan fungsi-fungsinya Untuk dapat berkontribusi pada perekonomian daerah dan PAD secara optimal, BUMD harus dikelola secara profesional, diberi Manajemen PenerimaanDaerahdalamRangkas—S—S~=«dC«SY'S Pelaksanaan Otonomi Daerah dukungan yang memadai dan tidak hanya dijadikan sebagai alat politik atau “sapi perahan’ semata. Selain itu, masyarakat di daerah harus diberi pemahaman yang memadai dan didorong untuk dapat memiliki rasa “handarbeni’ (ikut memiliki dan memelihara) terhadap keberadaan BUMD. Seringkali tindakan masyarakat sendiri sangat kontraproduktifdan cenderung destruktif yang dapat mengakibatkan BUMD mengalami kerugian. Pencurian aset BUMD oleh masyarakat sekitar dan ketidakpatuhan masyarakat atas kewajiban pembayaran layanan, merupakan beberapa contoh tindakan masyarakat yang sangat merugikan pengembangan BUMD. Sinergi yang baik antara pemerintah daerah, BUMD dan masyarakat akan mendorong BUMD untuk dapat lebih produktif dan kontributif bagi pembangunan daerah. F. Optimalisasi Peran BLUD Badan Layanan Umum (BLU) secara resmi diatur pertama kali dalam UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Dalam UU tersebut, disebutkan bahwa BLU adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Pola pengelolaan keuangan BLU diatur lebih lanjut dalam PP Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum yang terakhir diubah dengan PP Nomor 74 Tahun 2012. Khusus untuk pengelolaan keuangan BLU Daerah (BLUD), Menteri Dalam Negeri menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah 114 ‘Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah Sebagaimana pengertian BLU yang telah disebutkan di atas, dapat diketahui bahwa tujuan pembentukan BLU/BLUD adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan layanan umum yang ekonomis, efisien dan efektif serta berkualitas. Untuk dapat meningkatkan kualitas layanan, BLU/BLUD dapat memungut biaya kepada masyarakat sebagai imbalan atas barang/ jasa layanan yang diberikannya. Namun, fokus utamanya adalah pelayanan sehingga dalam memungut biaya, BLU/BLUD tidak boleh mendasarkan pada aspek keuntungan semata. Menurut PP Nomor 74 Tahun 2012, dalam menentukan tarif layanan BLU/BLUD harus mempertimbangkan aspek-aspek: a. Kontinuitas dan pengembangan layanan; b. Daya beli masyarakat; c. Asas keadilan dan kepatutan; dan d. Kompetisi yang sehat. Aspek-aspek di atas harus diperhitungkan secara cermat agar BLU/BLUD tidak menambah beban masyarakat yang pada ujungnya justru kontradiktif dengan tujuan pendiriannya. Dengan demikian BLU/BLUD diharapkan secara simultan dapat memberikan layanan yang berkualitas kepada masyarakat sekaligus memberikan sumber pendapatan bagi daerah. Untuk dapat menjalankan peran tersebut, BLU/BLUD memiliki bentuk yang spesifik dan menggunakan pola pengelolaan keuangan yang khusus. BLU/BLUD merupakan bagian perangkat pencapaian tujuan kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah dan karenanya status hukum BLU/BLUD tidak terpisahkan dari kementerian negara/ lembaga/pemerintah daerah sebagai instansi induk. Demikian pula dengan pengelolaan keuangan BLU/BLUD yang juga merupakan bagian dari keuangan negara/daerah yang tidak dipisahkan. Hal ini Manajemen Penerimaan Daerah dalamRangka—S=«Y:'S'S Pelaksanaan Otonomi Daerah berbeda dengan BUMN/BUMD yang mengelola bagian keuangan negara/daerah yang dipisahkan. Sebagai pengelola keuangan negara/daerah yang tidak dipisahkan, BLU/BLUD memiliki fleksibilitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan instansi pemerintah —konvensional. Fleksibilitas tersebut salah satunya terlihat dari kewenangan BLU/ BLUD yang dapat langsung menggunakan penerimaannya dalam rangka membiayai kegiatan operasionalnya untuk meningkatkan layanan kepada masyarakat. Kewenangan ini tidak ditemukan pada instansi pemerintahan konvensional. Dengan kewenangan seperti itu, BLU/BLUD dituntut untuk lebih profesional dan akuntabel dengan menerapkan prinsip-prinsip corporatization. Dalam Gambar 5.1 diilustrasikan transformasi BLU/BLU dari unit pemerintah yang konvensional. Gambar 5.1 Transformasi BLU/BLUD dari Instansi Pemerintah Konvensional Peery (Satker) cine BLUD Sumber: Mardiasmo (2017a), diolah Sebagai_ unit pemerintah yang —menerapkan __prinsip corporatization, BLU/BLUD juga harus melaksanakan tata kelola pemerintahan dan perusahaan yang baik (good public and 116 ‘Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah corporate governance) sekaligus secara harmonis. Selain itu, BLU/ BLUD juga harus menerapkan budaya clean BLU/BLUD. Budaya ini merupakan rangkaian upaya berkelanjutan dalam tubuh BLU/BLUD untuk membersihkan diri dari praktik-praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang dapat membuat BLU/BLUD menjadi tidak efisien dan efektif. Jika dikelola dengan baik sebagaimana dijelaskan di atas, BLU/BLUD dapat memberikan dampak positif bagi keuangan negara/daerah. Bagi keuangan daerah, BLUD diharapkan dapat memberikan kelonggaran fiskal dengan secara swadaya mampu membiayai dirinya sendiri dengan pendapatan atas tarif layanan. Selanjutnya, BLUD juga dapat berkontribusi terhadap PAD. Manajemen PenerimaanDaerahdalamRangka—S~*=«~d:«SY'T Pelaksanaan Otonomi Daerah eEDISI TERBARU® OTONOMI & MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH Good Ee Value :.. Money Prof. Dr. Mardiasmo, MBA., Ak., CA. Bahan dengan hak cipta Bab 6 Manajemen Pengeluaran Daerah dalam Upaya Pemantapan Otonomi Daerah A. Telaah Pengeluaran Daerah Krisis ekonomi telah menyebabkan terjadinya penurunan kapasitas fiskal daerah (local fiscal capacity). Penurunan kapasitas fiskal tersebut dikarenakan beberapa sumber penerimaan daerah, misalnya pajak daerah dan retribusi daerah cenderung menurun, baik jenisnya maupun nominalnya. Di sisi lain, kebutuhan fiskal (fiscal needs) daerah semakin meningkat, terutama untuk beberapa jenis pengeluaran yang terkena pengaruh langsung kenaikan laju inflasi. Kondisi tersebut berdampak pada semakin besarnya kesenjangan fiskal (fiscal gap) yang dihadapi daerah. Dengan demikian, tantangan krusial yang dihadapi oleh pemerintah daerah adalah bagaimana melakukan manajemen pengeluaran yang mampu menjadi stimulus perekonomian daerah dengan tetap memperhatikan kemampuan fiskal daerah. Selama ini kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah diresakan masih terlalu lemah. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa pada umumnya, unit kerja pemerintahan daerah belum menjalankan fungsi dan perannya secara efisien. Pemborosan adalah fenomena umum yang terjadi di berbagai unit kerja pemerintah daerah. Permasalahan sudah terjadi sejak proses perencanaan anggaran karena pendekatan yang digunakan dalam penentuan besar alokasi dana untuk tiap kegiatan umumnya adalah pendekatan incrementalism, yang didasarkan pada perubahan satu atau lebih variabel yang bersifat umum, seperti tingkat inflasi, jumlah penduduk, dan sebagainya. Bila tingkat inflasi dan jumlah penduduk meningkat maka besarnya alokasi dana untuk tiap kegiatan sudah tentu akan meningkat dari besarnya alokasi sebelumnya. Selain pendekatan incrementalism, pendekatan lain yang umum digunakan adalah line-item budget, yaitu perencanaan anggaran yang didasarkan atas “pos anggaran" yang telah ada sebelumnya. Pendekatan line-item budget tersebut tidak memungkinkan pemerintah daerah untuk menghilangkan satu atau lebih pos pengeluaran yang telah ada, meskipun keberadaan pos pengeluaran tersebut sebenarnya secara riil tidak dibutuhkan lagi oleh unit kerja yang bersangkutan. Sementara itu, analisis yang mendalam dan komprehensif untuk mengetahui struktur, komponen, dan tingkat biaya dari setiap kegiatan belum pernah dilakukan. Studi seperti ini perlu dilakukan untuk mengidentifikasi jumlah kebutuhan alokasi dana dari seluruh kegiatan secara lebih akurat sesuai dengan kebutuhan riil, baik yang bersifat rutin maupun pembangunan. Dari sudut pandang efektivitas, metode penentuan prioritas untuk tiap program atau kegiatan pemerintahan di daerah masih belum baik. Pemerintah daerah seperti ingin menyelesaikan semua masalah dalam satu malam sehingga tidak memiliki program prioritas, Hal ini menjadikan pemerintah daerah tidak fokus pada isu-isupenting tertentu, sehingga justru menyebabkan efek pembangunan kurang dirasakan oleh masyarakat. Lemahnya perencanaan program atau kegiatan_ tersebut mengakibatkan buruknya kualitas anggaran daerah, Kondisi tersebut akhirnya memunculkan kemungkinan underfinancing 120 ‘Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah atau overfinancing, yang kesemuanya memengaruhi_ tingkat efisiensi dan efektivitas unit-unit kerja pemerintahan daerah. Pada umumnya, masalah utama yang dihadapi unit kerja yang mengalami underfinancing adalah rendahnya kapabilitas program kerja untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan publik. Sedangkan untuk unit kerja yang menikmati overfinancing, masalah yang dihadapi adalah inefisiensi. Situasi seperti itu menyebabkan banyak layanan_publik dijalankan secara tidak efisien dan kurang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan publik, sementara dana pada anggaran daerah yang pada dasarnya merupakan dana publik (public money) habis dibelanjakan seluruhnya. Dalam jangka panjang, kondisi tersebut cenderung akan memperlemah peran pemerintah daerah sebagai stimulator, fasilitator, koordinator, dan entrepreneur (wirausaha) dalam proses pembangunan daerah. B. Kajian Belanja Rutin Penulis melakukan telaah kritis pada pengeluaran rutin atau belanja rutin pemerintah daerah untuk mendapatkan pemahaman implementasi desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Kajian belanja rutin tersebut dilakukan pada tahun 1999 menggunakan data antara periode tahun anggaran 1991/1992 sampai dengan 1995/1996. Hal ini untuk menunjukkan kondisi pengelolaan pengeluaran/belanja pemerintah daerah pada masa sebelum teformasi dan Indonesia belum menjalankan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal secara utuh. Pada waktu itu, kelemahan utama dalam manajemen pengeluaran atau belanja rutin daerah adalah tidak adanya ukuran kinerja yang dapat dijadikan acuan bagi pemerintah daerah dalam proses perencanaan, ratifikasi, implementasi, dan evaluasi Manajemen Pengeluaran Daerah dalam Upaya Pemantapan 121 Otonomi Daerah pengeluaran rutin daerah. Hal ini berdampak pada kecenderungan kurangnya perhatian para decision maker anggaran daerah terhadap konsep nilai uang (value for money). Satu-satunya ukuran kinerja yang ada pada waktu itu adalah ukuran kinerja yang ditentukan dari pemerintah pusat, yaitu aturan bahwa jumlah pengeluaran rutin yang tertera dalam anggaran daerah adalah jumlah maksimal yang dapat dibelanjakan untuk setiap pos pengeluaran rutin. Dengan aturan ini, kinerja pengeluaran rutin disebut baik apabila realisasinya sesuai dengan target, yaitu semua dana pengeluaran rutin dihabiskan pada tahun anggaran yang bersangkutan. Selain masalah ukuran kinerja tersebut, permasalahan lain yang ada dalam anggaran daerah pada waktu itu adalah bentuk dan struktur anggaran rutin yang diseragamkan dalam 10 pos pengeluaran rutin, yang di antaranya terdapat 3 (tiga) pos pengeluaran yang tidak jelas (pengeluaran miscellaneous), yaitu *belanja lain-lain’, "pengeluaran yang tidak termasuk dalam bagian lain", dan “pengeluaran yang tidak tersangka”. Tanpa adanya pe- ngawasan yang memadai, keberadaan ketiga pos pengeluaran tersebut cenderung memperbesar peluang pemerintah daerah untuk melakukan penyimpangan. 122 ‘Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah Tabel 6.1 Proporsi Pengeluaran Miscellaneous terhadap Total Pengeluaran Rutin dan Total Pengeluaran Rutin Nonbelanja Pegawai di Seluruh Pemerintah Daerah Tingkat Il berdasarkan Provinsi, 1991/92 ~ 1995/96 Proporsi pengeluaran | PFoPorsi pengeluaran angi miscellaneous ‘miscellaneous No.| Provinsi terhadap total terhadap total : pengeluaran rutin | Pengeluaran rutin nonbelanja pegawai 1_[DL Aceh 18.29 38.79 Zz Sumut 20.78 82.84 3 Sumbar 7.52 40.35 4 Riau 11.33 ALZL 5 [Jambi 7.86 39.83 6 Sumsel 10.13 43.27 7_ | Bengkulu 5.43 19.66 8 | Lampung 9.02 29.72 9 _ | Jabar 22.62 40.88 10_|[Jateng 20.01 40.90 a1_[o1y. 17.32 37.83 12_[Jatim 24.50 48.61 13 (| Bali 9.64 55.23 14 | NTB 5.81 45.63 15 [NTT 478 38.47 16 | Timtim 5.43 48.45 17_=‘| Kalbar 22.15 54.78 18_| Kalteng 2471 4781 19. | Kalsel 29.78 46.53 20_| Kaltim 31.94 49.87 za_|sutut 10.90 46.64 Mazajeran Paageluaian Distal Glam Upaya Pomantapen Otonomi Daerah

Anda mungkin juga menyukai