Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

Pembelajaran Matematika SD

“Menelaah Teori Pembelajaran Menurut Bruner, Van Heile, dan Dienes”

Oleh Kelompok 1

Muhammad Fadhil (21129249)

Puji Mustika Yetti (21129453)

Rahmania Yuni Ardeliani (21129100)

Syahanaz Nazira (21129125)

Yola agustinasari (21129141)

Dosen Pembimbing: Drs. Syafri Ahmad, P. hD

JURUSAN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karuniaNya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah untuk melengkapi tugas mata kuliah
Pembelajaran Matematika SD yang berjudul “Menelaah Teori Pembelajaran Menurut Bruner,
Van Heile, dan Dienes”

Shalawat beriring salam tak lupa kami sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW yang
telah menerangi semua umat di muka bumi ini dengan cahaya kebenaran. Saya juga
mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah ikut membantu dalam penyelesaian
penyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat berbagai kekurangan dan
kesalahan, baik dari segi isi maupun dari segi bahasa. Untuk itu, kami mengharapkan kritik
dan saran dari pembaca yang bersifat konstruktif untuk penyempurnaan makalah ini. Kami
berharap agar makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi pembaca. Aamiin.

Padang, September 2022

Kelompok 5

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................................ i


KATA PENGANTAR ..................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Teori Pemelajaran Menurut Bruner ................................................................... 2
B. Teori Pemelajaran Menurut Van Haile .............................................................. 6
C. Teori Pemelajaran Menurut Dienes ................................................................... 9
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................................ 16
B. Kritik dan Saran................................................................................................. 18
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 19

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada hakekatnya, belajar merupakan proses yang kompleks dan terjadi pada
semua orang serta berlangsung seumur hidup. Kompleksitas belajar tersebut
melahirkan banyak teori-teori yang berkembang dan berusaha untuk menjelaskan
bagaimana proses belajar tersebut dapat dijelaskan secara ilmiah. Tiap teori belajar
menitikberatkan pada tumpuan yang berbeda-beda, adayang lebih mementingkan
proses belajar, pada hasil belajar, pada isi atau konten bahan ajar, ada pula yang
mengutamakan kepada pembentukan atau mengkonstruksi pengetahuan, sikap atau
keterampilannya sendiri
Kegiatan pembelajaran tidak dapat dilakukan sembarangan, tetapi harus
berlandaskan peda teori-terori dan prinsip-prinsip belajar tertentu agar bisa bertindak
secara tepat. Artinya teori-teori belajar ini diharapkan dapatmengarahkan dalam
merancang dan mealksanakan kegiatan pembelajaran. Walaupun teori belajar tidak
dapat diharapkan menentukanlangkah demi langkah dalam kegiatan pembelajaran,
namun akan dapat memberikan arah prioritas dalam kegiatan pembelajaran. Oleh
karena itu para pelaku pembelajaran baik guru, perancang pembelajaran dan para
pengembang program pembelajaran yang profesional harus dapat memilih teori
belajar yang tepat untuk digunakan dalam desain pembelajaran yang akan
dikembangkannya.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai beberapa teori
belajar yang dikemukakan oleh Bruner, Van Heile, dan Dienes.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konsep Pembelajaran Menurut Bruner?
2. Bagaimana Konsep Pembelajaran Menurut Van Heile?
3. Bagaimana Konsep Pembelajaran Menurut Dienes?

C. Rumusan Masalah
1. Mengetahui Konsep Pembelajaran Menurut Bruner
2. Mengetahui Konsep Pembelajaran Menurut Van Heile
3. Mengetahui Konsep Pembelajaran Menurut Dienes
1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Pembelajaran Menurut Bruner


Teori belajar Bruner merupakan salah satu teori yang memberikan pengaruh
besar terhadap bidang pendidikan, khususnya dalam pembelajaran matematika dan
pemikirannya yang kemudian mencetuskan pembelajaran discovery learning.

1. Biografi Bruner
Jerome Seymour Bruner dilahirkan pada tanggal 1 Oktober 1915 di New York
City. Ia dilahirkan buta dan tidak dapat melihat hingga dioperasi katarak ketika masih
bayi. Bruner adalah lulusan program studi Psikologi di Duke University pada tahun
1937. Selanjutnya, ia juga berhasil mendapatkan gelar masternya (S2) pada tahun
1939 dan Ph.D pada tahun 1941 di Harvard University.
Selama perang Dunia II, Bruner bertugas di bawah Jenderal Eiseenhower
dalam Psychological Warfare divisi Supreme markas bersekutu Expeditionary Force
Eropa. Setelah perang ia bekerja di Harvard University pada tahun 1945. Saat ia
bekerja di Hardvard-lah Bruner mulai secara aktif menghasilkan berbagai penelitian
mengenai cara berpikir seseorang.
Bruner bertemu dengan banyak ahli psikologi di Harvard, dan kebanyakan dari
mereka menganut paham behaviorisme yang memandang setiap tingkah laku yang
dilakukan oleh manusia adalah respons dari stimulus yang diberikan oleh
lingkungannya. Namun demikian, Bruner tidak sepenuhnya setuju dengan teori
tersebut. Hingga akhirnya ia bersama dengan Leopos mengadakan rangkaian
percobaan yang menghasilkan teori persepsi baru yang disebut dengan “New Look”.
The new look mengatakan bahwa persepsi adalah bukan sesuatu yang terjadi
segera, seperti yang telah diasumsikan dalam teori lama. Sebaliknya, persepsi adalah
bentuk informasi pengolahan dan interpretasi yang melibatkan pilihan. Pandangannya
adalah bahwa psikologi itu sendiri harus peduli dengan bagaimana orang melihat dan
menafsirkan dunia, serta bagaimana mereka menanggapi stimulus.
Pada tahun 1960, Bruner dan George Miller mendirikan pusat penelitian
kognitif di Harvard. Keduanya bersama-sama dengan keyakinan bahwa psikologi
harus prihatin dengan proses kognitif yang berbeda bentuk manusia dan cara pikiran
2
tersebut akan disusun dalam sintaks logis. Hal ini selanjutnya menelurkan kontribusi
terkemuka Bruner, yakni memelopori aliran psikologi kognitif yang memberi
dorongan agar pendidikan memberikan perhatian pada pentingnya pengembangan
berpikir.

2. Teori Belajar Bruner


Bruner banyak memberikan pandangan mengenai perkembangan kognitif
manusia, bagaimana manusia belajar, atau memperoleh pengetahuan dan
mentransformasi pengetahuan. Dasar pemikiran teorinya memandang bahwa manusia
sebagai pemroses, pemikir dan pencipta informasi. Menurut Bruner, belajar
merupakan suatu proses aktif yang memungkinkan manusia untuk menemukan hal-
hal baru di luar informasi yang diberikan kepada dirinya. Teori Bruner tentang
kegiatan belajar manusia tidak terkait dengan umur atau tahap perkembangan.
Pendekatan Bruner terhadap belajar didasarkan pada dua asumsi. Asumsi pertama
ialah perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interaktif, dan asumsi kedua
ialah orang mengonstruksi pengetahuannya dengan menghubungkan informasi yang
masuk dengan informasi yang disimpan yang diperoleh sebelumnya (Dahar, 2011,
hlm. 75).
Bruner mengemukakan empat tema pendidikan. Tema pertama mengemukakan
pentingnya arti struktur pengetahuan, tema kedua tentang kesiapan belajar, tema yang
ketiga menekankan nilai intuisi dalam proses pendidikan, dan tema yang keempat
tentang motivasi atau keinginan untuk belajar dan cara-cara yang tersedia pada para
guru untuk merangsang motivasi itu.

3. Discovery Learning
Dalam teorinya yang diberi judul “Teori Perkembangan Belajar”, Bruner
menekankan pada proses belajar menggunakan metode mental, yaitu individu yang
belajar mengalami sendiri apa yang dipelajarinya agar proses tersebut dapat direkam
dalam pikirannya dengan caranya sendiri (Amir & Risnawati, 2016, hlm. 70).
Selanjutnya, teori belajar ini diadaptasi menjadi model pembelajaran discovery
learning yang mendorong siswa untuk belajar mandiri dengan cara menemukannya
sendiri.
Di dalam discovery learning, siswa belajar melalui keterlibatan aktif dengan konsep-
konsep dan prinsip-prinsip dalam memecahkan masalah, dan guru mendorong siswa

3
untuk mendapatkan pengalaman dengan melakukan kegiatan yang memungkinkan
siswa menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri. Pembelajaran ini
membangkitkan keingintahuan siswa, memotivasi siswa untuk terus bekerja dan
berinteraksi dengan ilngkungan sekitarnya hingga menemukan jawaban.

4. Tahapan Belajar Bruner


Adanya interaksi antara siswa dengan lingkungan akan memberikan kesempatan
baginya untuk melaksanakan penemuan. Sehubungan dengan pengalaman fisik ini,
menuru Bruner (dalam Amir, 2016, hlm. 186) dalam proses belajarnya anak akan
melewati tiga tahapan, yakni sebagai berikut.
1. Tahap enaktif (enactive)
Dalam tahap ini anak secara langsung terlibat dalam memanipulasi
(mengotak-atik) suatu benda. Sebagai contoh, kita ingin mengenalkan konsep
bilangan pecahan kita dapat menggunakan sebuah apel yang dibagi dua sama
besar.
2. Tahap ikonik (iconic).
Dalam tahap ini kegiatan yang dilakukan anak sudah behubungan
dengan mental, yang merupakan gambaran dri objek/benda yang
dimanipulasinya. Anak tidak langsung memanipulasi objek seperti yang
dilakukan pada tahap enaktif. Misalnya dengan menunjukkan pada sajian yang
berupa gambar atau grafik.
3. Tahap simbolik (symbolic)
Dalam tahap ini anak tidak lagi terikat dengan objek pada tahap
sebelumnya. Anak pada tahap ini sudah mampu mengggunakan notasi atau
simbol tanpa ketergantungan terhadap objek real.

Dalam kaitannya dengan proses belajar yang terjadi pada tahapan belajar,
Bruner mengemukakan bahwa belajar melibatkan tiga proses yang berlangsung
hampir bersamaan. Ketiga proses tersebut adalah:
1) memperoleh informasi baru;
2) transformasi informasi;
3) menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan (Mimi Haryani dan Mely
Andriani, 2013, hlm. 31).

4
5. Pembelajaran Matematika Bruner
Bruner merupakan tokoh pendidikan yang banyak bergerak di bidang
matematika sebagai materi yang diujikannya. Menurut Bruner, pembelajaran
matematika akan lebih berhasil jika proses pengajaran diarahkan pada konsep-konsep
dan struktur-struktur yang terbuat dalam pokok bahasan yang diajarkan, di samping
hubungan yang terkait antara konsep-konsep dan struktur-struktur. Dengan mengenal
konsep dan struktur yang tercakup dalam bahan yang sedang dibicarakan, anak akan
memahami materi yang harus dikuasainya.
Menurut Bruner, terdapat empat prinsip-prinsip tentang cara belajar dan mengajar
matematika yang disebut dalil atau teorama. Dalil-dalil (teorema) yang berkaitan
dengan pembelajaran matematika menurut Bruner dan Kenvey berdasarkan percobaan
dan pengalamannya adalah sebagai berikut.
a. Dalil penyusunan
Dalil penyusunan menyatakan bahwa siswa selalu mempunyai
kemampuan mengusai definisi, teorema, konsep, dan kemampuan matematis
lainnya, oleh karena itu cara terbaik bagi siswa untuk memulai belajar konsep
dan prinsip dalam matematika adalah dengan mengkonstruksi sendiri konsep
dan prinsip yang dipelajari itu.
b. Dalil notasi
Dalil notasi menyatakan bahwa notasi matematika yang digunakan
harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan mental anak (enaktif, ikonik,
dan simbolik).
c. Dalil pengkontrasan dan keaneragaman (variasi)
Dalil pengkontrasan dan keanekaragaman (variasi) menyatakan bahwa
suatu konsep harus dikontraskan dengan konsep lain dan harus disajikan
dengan contoh-contoh yang bervariasi. Misalnya, untuk memahami konsep
bilangan 2, siswa diberi kegiatan untuk membuat kelompok benda yang
beranggotakan 2. Selain itu juga diberi kegiatan untuk membuat kelompok
benda yang tidak beranggotakan 2.Bisa juga memilih kelompok-kelompok
mana yang merupakan kelompok 2 benda, dan kelompok-kelompok mana
yang bukan 2 benda.
d. Dalil pengaitan
Dalil pengaitan menyatakan bahwa antara konsep matematika yang
satu dengan konsep yang lain mempunyai kaitan yang erat, baik dari segi isi
5
maupun dari segi penggunaan rumus-rumus. Misalnya rumus luas persegi
panjang merupakan materi prasyarat untuk penemuan rumus luas jajargenjang
yang diturunkan dari rumus persegi panjang (Amir & Risnawati, 2016, hlm.
72).

B. Konsep Pembelajaran Menurut Van Haile


Teori van Hiele yang dikembangkan oleh Pierre Marie van Hiele dan Dina van
Hiele-Geldof sekitar tahun 1950-an. Piere Van hiele dan Dina Van hiele Geldof,
memperhatikan kesulitan yang dialami siswa mereka ketika mempelajari geometri.
Pengamatan ini mengarahkan mereka untuk meneliti dan mengembangkan teori yang
melibatkan tingkat-tingkat pemikiran dalam geometri yang dilewati siswa ketika maju
dari sekadar pengenalan sebuah gambar hingga menjadi mampu menulis bukti
geometrik formal.
Teori mereka menjelaskan kenapa banyak siswa mengalami kesulitan dalam
pelajaran geometri, terutama dengan bukti formal. Van Hiele yakin bahwa penulisan
bukti memerlukan pemikiran pada tingkat yang relatif tinggi, dan bahwa banyak siswa
perlu mempunyai lebih banyak pengalaman dalam pemikiran pada tingkat-tingkat
yang lebih rendah sebelum mempelajari konsep-konsep geometrik formal. Penelitian
yang dilakukan Van Hiele melahirkan beberapa kesimpulan mengenai tahap-tahap
perkembangan kognitif anak dalam memahami geometri.
Van Hiele (dalam Ismail, 1998) menyatakan bahwa terdapat 5 tahap
pemahaman geometri yaitu: Tahap pengenalan, analisis, pengurutan, deduksi, dan
keakuratan.
1. Tahap 0 (Visualisasi)
Menurut Clement dan Batista (Chairani, 2013: 22), tahap visualisasi adalah tahap
pengenalan konsep-konsep geometri dalam matematika yang di dasarkan pada
karakteristik visual atau penampakan bentuknya. Van de Walle (2008: 151)
mengemukakan bahwa objek-objek pikiran pada tahap ini berupa bentuk-bentuk dan
bagaimana rupa mereka. Siswa-siswa pada tingkatan awal ini mengenal dan
menamakan bentuk-bentuk berdasarkan pada karakteristik luas dan tampilan dari
bentuk-bentuk tersebut. Dalam hal ini penalaran siswa masih didominasi oleh
persepsinya. Pemahaman siswa terhadap bangunbangun geometri masih berdasarkan
pada kesamaan bentuk dari apa yang dilihatnya. Pada tahap ini siswa dapat
6
membedakan suatu bangun dengan lainnya tanpa harus menyebutkan sifat-sifat
masing-masing bangun tersebut. Kemampuan berpikir siswa masih berdasarkan pada
kesamaan bentuk secara visual. Pada tahap ini siswa belum dapat menentukan sifat-
sifat dan karakteristik bangun geometri yang ditunjukkan. Siswa yang berada pada
tahap ini biasanya dari tingkat TK sampai kelas 2 SD.

2. Tahap 1 (Analisis)
Tahap ini juga dikenal sebagai tahap deskriptif. Pada tahap ini, siswa dapat
menyebutkan sifatsifat yang dimiliki suatu bangun. Dengan kata lain, pada tingkat ini
siswa sudah terbiasa menganalisis bagian-bagian yang ada pada suatu bangun dan
mengamati sifat-sifat yang dimiliki oleh unsur-unsur tersebut. Sebagai contoh, pada
tahap ini siswa sudah biasa mengatakan bahwa suatu bangun merupakan persegi
panjang karena bangun itu “mempunyai empat sisi, sisi-sisi yang berhadapan sejajar,
dan semua sudutnya siku-siku”. Pada tahap ini juga siswa sudah mulai mampu
menyebutkan keteraturan yang terdapat pada benda geometri itu. Misalnya, disaat ia
mengamati persegi panjang, ia telah mengetahui bahwa terdapat 2 pasang sisi yang
berhadapan, dan kedua pasang sisi tersebut saling sejajar (Huzaifah, 2011: 27).

3. Tahap 2 (Deduksi Informal)


Tingkat ini disebut juga tingkat pengurutan atau tingkat relasional. Pada tingkat
ini, selain siswa sudah mengenal bentuk-bentuk geometri dan memahami sifat-
sifatnya, siswa juga sudah bisa mengurutkan bentuk-bentuk geometri yang satu sama
lain berhubungan (Ruseffendi, 1991: 162). Contohnya adalah siswa sudah bisa
mengatakan bahwa jika pada suatu segiempat, sisi-sisi yang berhadapan sejajar, maka
sisi-sisi yang berhadapan itu sama panjang. Di samping itu, pada tingkat ini siswa
sudah memahami perlunya definisi untuk tiap-tiap bangun. Pada tingkat ini siswa juga
sudah bisa memahami hubungan antara bangun yang satu dengan bangun yang lain.
Misalnya pada tingkat ini siswa sudah bisa memahami bahwa setiap persegi adalah
persegi panjang, karena persegi juga memiliki ciri-ciri persegi panjang (Prabowo,
2011: 76-77). Walaupun demikian, siswa pada tahap ini kemampuan berpikir secara
deduktifnya masih belum berkembang. Siswa SMP kelas menengah ke atas, secara
umum telah sampai pada tahap ini.

4. Tahap 3 (Deduksi)
7
Menurut Clements & Batista (Chairani, 2013: 23) tahap ini juga dikenal dengan
tahap deduksi formal. Pada tingkat ini siswa sudah memahami peranan
pengertianpengertian, definisi-definisi, aksiomaaksioma dan teorema-teorema pada
geometri. Pada tingkat ini siswa sudah mulai mampu menyusun bukti-bukti secara
formal. Ini berarti bahwa pada tingkat ini siswa sudah memahami proses berpikir yang
bersifat deduktif-aksiomatis dan mampu menggunakan proses berpikir tersebut.
Seperti kita ketahui bahwa matematika adalah ilmu deduktif karena pengambilan
kesimpulan, pembuktian teorema, dan lain-lain dilakukan secara deduktif. Sebagai
contoh, untuk membuktikan bahwa jumlah sudut-sudut sebuah sigitiga adalah 180
derajat secara deduktif dibuktikan dengan menggunakan prinsip kesejajaran.

5. Tahap 4 (Rigor)
Pada tingkat ini anak sudah mulai memahami pentingnya ketepatan dari prinsip
dasar dalam suatu pembuktian. Tingkat berpikir ini sudah terkategori kepada tingkat
berpikir yang tinggi, rumit, dan kompleks (Safrina dkk., 2014: 11). Pada tahap ini siwa
sudah dapat memahami bahwa adanya ketepatan (presisi) dari apa-apa yang mendasar
itu penting (Ruseffendi, 1991: 163). Misalnya, ketepatan aksioma yang menyebabkan
terjadi geometri Euclid, seperti aksioma: memuat berapa buah titik paling sedikit
sebuah gais itu, bila ada dua buah titik berapa buah garis bisa ditarik, bila ada toga
buah titik berapa buah bidang dapat dibuat, dan aksioma-aksioma lainnya yang
menyebabkan sistem geometri Euclid itu lengkap.

Selain terdapat lima tingkat pemahaman geometri, Nur’aeni (2010, hlm. 32)
menyatakan bahwa dalam teori Van Hiele terdapat lima tahap belajar geometri, yaitu
tahap 1 informasi (information), tahap 2 orientasi terarah/terpadu (guided orientation),
tahap 3 eksplisitasi (explicitation), tahap 4 orientasi bebas (free orientation), dantahap
5 integrasi (integration)
1) Tahap Inquiri/ Tahap informasi
Tahap ini merupakan tahap awal yang diisi dengan kegiatan tanya
jawab antara guru Dan siswa mengenai objek-objek yang dipelajari pada
tingkat analisis. Misalnya guru Mengajukan pertanyaan apakah persegi itu?,
mengapa kamu mengatakan itu persegi?, apakah Persegi itu adalah persegi
panjang?, dan sebagainya.

8
2) Tahap Orientasi terarah
Tahap ini merupakan tahap kedua yang dilakukan dalam pembelajaran
berbasis teori van Hiele. Pada tahap ini, guru mengarahkan siswa mengamati
karakteristik khusus dari objekobjek yang dipelajari melalui tugas yang
diberikan guru.

3) Tahap penjelasan
Tahap ini merupakan lanjutan dari tahap sebelumnya. Pada tahap ini,
siswa diarahkan agar dapat menyatakan pandangan mereka yang muncul
mengenai hubungan konsep-konsep geometri yang telah dikaji dengan bahasa
mereka sendiri (misalnya mengenai sifat-sifat dari bangun geometri yang
diamati).

4) Tahap Orientasi Bebas


Pada tahap ini siswa dihadapkan pada tugas-tugas yang lebih kompleks
berupa tugas yang dapat diselesaikan dengan banyak cara dan memerlukan
banyak langkah. Misalnya siswa ditugaskan untuk membuat bangun-bangun
yang berbeda dari berbagai potongan bangun yang disediakan.

5) Tahap Integrasi
Pada tahap ini siswa meringkas dan menyimpulkan apa yang telah
mereka pelajari dengan membuat hubungan antara objek-objek geometri yang
diamati. Pada tahap ini siswa diharapkan dapat membuat jaringan objek yang
telah dipelajari dan hubungan antar objek secara ringkas.

C. Konsep Pembelajaran Menurut Dienes


Zoltan P. Dienes adalah seorang matematikawan yang memusatkan
perhatiannya pada cara-cara pengajaran terhadap siswa-siswa. Dasar teorinya
bertumpu pada Piaget, dan pengembangannya diorientasikan pada siswa-siswa,
sedemikian rupa sehingga sistem yang dikembangkannya itu menarik bagi siswa yang
mempelajarinya.
Teori belajar Dienes ini sangat terkait dengan teori belajar yang dikemukakan
oleh Piaget, yaitu mengenai teori perkembangan intelektual. Jean Piaget berpendapat

9
bahwa proses berpikir manusia sebagai suatu perkembangan yang bertahap dari
berpikir intelektual konkret ke abstrak berurutan melalui empat periode. Urutan
periode itu tetap bagi setiap orang, namun usia atau kronologis pada setiap orang yang
memasuki setiap periode berpikir yang lebih tinggi berbeda-beda tergantung kepada
masing-masing individu.
a. Konsep Dasar Teori Belajar Dienes
Menurut Dienes, permainan matematika sangat penting sebab operasi matematika
dalam permainan tersebut menunjukkan aturan secara konkret dan lebih
membimbing dan menajamkan pengertian matematika pada anak didik. Dapat
dikatakan bahwa objek-objek konkret dalam bentuk permainan mempunyai
peranan sangat penting dalam pembelajaran matematika jika dimanipulasi dengan
baik. Menurut Dienes, konsep-konsep matematika akan berhasil jika dipelajari
dalam tahap-tahap tertentu. Dienes membagi tahap- tahap belajar menjadi 6
tahap(Bell, dalam Ratumanan,2004), yaitu.
1) Permainan Bebas (Free Play).
Permaianan bebas merupakan tahap belajar konsep yang aktivitasnya tidak
berstruktur dan tidak diarahkan. Aktivitas ini memungkinkan anak mengadakan
percobaan dan mengotak-atik (memanipulasi) bendabenda konkret dan abstrak
dan unsur-unsur yang dipelajarinya itu. Dalam tahap permainan bebas anak-anak
berhadapan dengan unsur-unsur dalam interaksinya dengan lingkungan belajarnya
atau alam sekitar. Dalam tahap ini anak tidak hanya belajar membentuk struktur
mental, namun juga belajar membentuk struktur sikap untuk mempersiapkan diri
dalam pemahaman konsep. Penggunaan alat peraga matematika anak-anak dapat
dihadapkan pada balokbalok logic yang dapat membantu anak-anak dalam
mempelajari konsep-konseo abstrak. Dalam kegiatan belajar dengan menggunkan
alat peraga ini anak-anak belajar mengenal warna, tebal tipisnya benda, yang
merupakan ciri atau sifat dari benda yang dimanipulasinya itu.

2) Permainan yang Menggunakan Aturan ( Games )


Pada tahap ini, siswa mulai mengamati pola dan keteraturan yang terdapat
pada konsep. Siswa memperhatikan bahwa ada aturan tertentu yang terdapat pada
konsep (kejadian-kejadian). Aturanaturan tersebut adakalanya berlaku untuk suatu
konsep, namun tidak berlaku untuk konsep lain. Segera setelah siswa menemukan
aturan dan sifat yang menentukan kejadian, mereka siap melakukan permainan

10
dan eksperimen dengan mengganti aturan dari guru menjadi aturan yang mereka
buat sendiri.

3) Kesamaan Sifat (Searching for communalities)


Dalam mencari kesamaan sifat anak-anak mulai diarahkan dalam kegiatan
menentukan sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti. Untuk
melatih anak-anak dalam mencari kesamaan sifatsifat ini, guru perlu mengarahkan
mereka dengan mentranslasikan kesamaan struktur dan bentuk permainan yang
satu ke bentuk permainan lainnya. Translasi ini tentu tidak boleh mengubah
sifatsifat abstrak yang ada dalam permainan semula.

4) Penyajian / Representasi ( Representations)


Penyajian adalah tahap pengambilan kesamaan sifat dari beberapa situasi yang
sejenis. Setelah siswa mengamati elemen-elemen bersama pada setiap contoh
konsep, mereka perlu mengembangkan suatu penyajian tunggal dari konsep, yang
mencakup semua elemen bersama yang terdapat pada setiap konsep. Penyajian
tunggal ini dapat dilakukan dengan menggunakan diagram atau secara verbal.
Penyajian konsep biasanya akan lebih abstrak daripada contohcontoh, dan akan
membawa siswa lebih memahami struktur abstrak matematika.

5) Simbolisasi ( Symbolizations )
Pada tahap ini, siswa menghasilkan symbol-simbol matematika yang cocok
untuk menyatakan konsep. Adalah hal yang sangat baik, jika siswa dapat
menghasilkan symbol mereka sendiri dari setiap konsep.

6) Formalisasi ( Formalizations )
Formalisasi merupakan tahap belajar konsep yang terakhir. Dalam tahap ini
siswa-siswa dituntut untuk mengurutkan sifat-sifat konsep dan kemudian
merumuskan sifat-sifat baru konsep tersebut, sebagai contoh siswa yang telah
mengenal dasar-dasar dalam struktur matematika seperti aksioma, harus mampu
merumuskan teorema dalam arti membuktikan teorema tersebut.

11
Dienes menyatakan bahwa proses pemahaman (abstracton) berlangsung selama
belajar. Untuk pengajaran konsep matematika yang lebih sulit perlu dikembangkan
materi matematika secara konkret agar konsep matematika dapat dipahami dengan
tepat. Dienes berpendapat bahwa materi harus dinyatakan dalam berbagai penyajian
(multiple embodiment), sehingga anak-anak dapat bermain dengan bermacam-macam
material yang dapat mengembangkan minat anak didik. Berbagai penyajian materi
(multiple embodinent) dapat mempermudah proses pengklasifikasian abstraksi
konsep.
Menurut Dienes, variasi sajian hendaknya tampak berbeda antara satu dan lainya
sesuai dengan prinsip variabilitas perseptual (perseptual variability), sehingga anak
didik dapat melihat struktur dari berbagai pandangan yang berbeda-beda dan
memperkaya imajinasinya terhadap setiap konsep matematika yang disajikan. Dengan
demikian, semakin banyak bentuk-bentuk berlainan yang diberikan dalam konsep
tertentu, semakin jelas bagi anak dalam memahami konsep tersebut. Langkah
selanjutnya, menurut Dienes, adalah memotivasi anak didik untuk mengabstraksikan
pelajaran tanda material konkret dengan gambar yang sederhana, grafik, peta dan
akhirnya memadukan simbol-simbol dengan konsep tersebut.
Langkah-langkah ini merupakan suatu cara untuk memberi kesempatan kepada
anak didik ikut berpartisipasi dalam proses penemuan dan formalisasi melalui
percobaan matematika. Anak didik pada masa kini bermain dengan simbol dan aturan
dengan bentuk-bentuk konkret dan mereka memanipulasi untuk mengatur serta
mengelompokkan aturan-aturan. Pada jaman ini anak didik menggunakan simbol-
simbol sebagai objek manipulasi dan mengarah kepada struktur pemikiran-pemikiran
matematika yang lebih tiggi. Anak harus mampu mengubah fase manipulasi konkret,
agar pada suatu waktu simbol tetap terkait dengan pengalaman konkretnya.
a. Prinsip-prinsip Belajar Matematika
Teori Dienes mengariskan beberapa prinsip bagaimana anakanak mempelajari
matematik yaitu:
Prinsip Konstruktiviti: Pelajar haruslah memahami konsep sebelum
memahaminya dengan analisa yang logik.
1. Prinsip Perubahan Perspeptual: Anak-anak diperkenalkan berbagai keadaan agar
dapat memaksimakan konsep Matematik.
2. Prinsip Dinamik: Anak-anak mempelajari sesuatu melalui perkenalan dan
eksperimen untuk membentuk satu konsep.
12
3. Prinsip variabilitas matematika: Konsep yang menyertakan variabel yang diajarkan
melalui pengalaman dan menyertakan jumlah kemungkinan variabel yang paling
besar.

Contoh Penerapan:
Berikut ini adalah salah satu contoh belajar konsep matematika dalam belajar
menjumlah dan mengurang, dengan menerapkan keenam tahap belajar Dienes.
1. Permainan Bebas (Free Play) :
Dalam belajar menjumlahkan ataupun mengurang dengan permainan bebas,
siswa diberikan kebebasan untuk bermain dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar
meraka. Misalnya anakanak dibagi dalam beberapa kelompok, kemudian setiap
kelompok diberikan berbagai macam benda atau makanan, misalnya , bunga, permen
atau balok-balok, dan sebagainya. Hal yang mungkin dilakukan anak-anak adalah
bertanya kepada teman mereka, seperti ini:
a. ada berapa bunga yang warnanya merah?
b. saya ingin mengambil 2 permen, dan sisanya bisa kamu ambil!

2. Permainan dengan Menggunakan Aturan ( Games):


Games 1 : Bermain dalam Ruang Kesenian
Anak-anak dibawa dalam ruang kesenian. Aturannya, ruang kesenian tersebut hanya
boleh diisi paling banyak sepuluh anak untuk latihan menari, dan anak-anak boleh
keluar dan masuk kapan saja.Dari aturan tersebut akan menimbulkan banyak
pertanyaan, dan anak- anak menjawab pertanyan, misalnya:
a. Jika dalam ruangan kesenian tersebut terdapat tujuh anak yang sedang latihan
menari, berapa orang anak kah yang harus masuk untuk mencukupi?
b. Jika anak-anak yang latihan menari semuanya sudah datang, dan ada dua orang
anak meminta ijin keluar untuk minum, berapa anak yang berada di dalam ruang
kesenian?

Games 2 : Bermain mencari harta karun


Anak-anak dibawa ke sebuah taman sekolah, dan bermain dengan mengikuti
pola berikut: Caca dkk, sedang berburu harta karun dimulai dari pulau A dan pulau
yang dituju adalah pulau E, meraka harus membawa BUNGA untuk sampai di sana.
Di setiap pulau mereka boleh mengambil bunga, dan di setiap jembatan mereka boleh

13
membuang bunga tapi untuk sampai di pulau E mereka harus membawa delapan
bunga. Sekarang bantulah Caca dkk, untuk sampai di pulau tersebut dengan melewati
pulau A, pulau B, pulau C, pulau F, pulau D kemudian kembali ke pulau B dan terakhir
sampailah ke pulau E. Ingat di pulau A terdapat dua bunga, pulau B terdapat empat
bunga, pulau C tidak ada bunga, pulau D terdapat tujuh bunga, dan pulau F ada satu
bunga

Dari aturan di atas akan memunculkan banyak pertanyaan, misalnya:


a. ada berapa bunga yang dibawa Caca, dkk untuk sampai di pulau C, jika mereka
tidak membuang bunga di jembatan?
b. Pada saat sampai di jembatan antara pulau F dan pulau D, Caca, dkk membuang
dua bunga, ada berapa sisa bunga mereka?

3. Kesamaan Sifat (Searching for communalities)


Dari aktivitas pada games 1 dan games 2, anak-anak mungkin akan
menemukan kesamaan sifat seperti ini:
Games 1 Games 2
Masuk dalam rungan Mengambil bunga di pulau
Keluar dari ruangan Membuang bunga di jembatan

4. Penyajian / Representasi (Representations)


Dari games –games dan situasi yang telah diberikan diharapkan siswa dapat
menyajikan secara abstrak apa yang mereka telah temukan. Misalnya:

14
5. Simbolisasi (Symbolizations)
Pada permainan dengan simbolisasi, anak-anak dapat menggunakan tanda
tambah dan tanda kurang, ketika disebutkan kata-kata ”masuk”, ”keluar”,
”mengambil”, ataupun :membuang”. Dan simbol-simbol angka ketika disebut ”lima”,
”enam”, dsb.
Sebagai contoh :
Dari 10 orang anak yang ada di ruang kesenian, dua orang keluar minum.
Ini dapat ditulis menjadi : 10 – 2 = 8

6. Formalisasi ( Formalizations)
Tahap yang terakhir formalisasi. Pada tahap 6, dari gamesgames yang telah
diberikan mungkin saja anak-anak memperoleh 2 + 3 = 5, 3 + 2 = 5, ataupun 0 + 3 =
3, 3 + 0 = 3. Dari sini, anak- anak akan bisa melihat sifat dari konsep tersebut, misalnya
2 + 3 = 3 + 2 = 5, kemudian 0 +3 = 3 + 0 = 3, dan sebaginya.

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Konsep Pembelajaran Menurut Bruner
Teori belajar Bruner merupakan salah satu teori yang memberikan pengaruh
besar terhadap bidang pendidikan, khususnya dalam pembelajaran matematika dan
pemikirannya yang kemudian mencetuskan pembelajaran discovery learning.
Tahapan Belajat Bruner (dalam Amir, 2016, hlm. 186), yaitu :
1. Tahap enaktif (enactive)
2. Tahap ikonik (iconic)
3. Tahap simbolik (symbolic)

Bruner mengemukakan bahwa belajar melibatkan tiga proses yang


berlangsung hampir bersamaan. Ketiga proses tersebut adalah:

1. memperoleh informasi baru;


2. transformasi informasi;
3. menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan

Menurut Bruner, terdapat empat prinsip-prinsip tentang cara belajar dan


mengajar matematika yang disebut dalil atau teorama. Dalil-dalil (teorema) yang
berkaitan dengan pembelajaran matematika menurut Bruner dan Kenvey berdasarkan
percobaan dan pengalamannya adalah

1. Dalil penyusunan
2. Dalil notasi
3. Dalil pengkontrasan dan keaneragaman (variasi)
4. Dalil pengaitan

2. Konsep Pembelajaran Menurut Van Hiele


Teori van Hiele yang dikembangkan oleh Pierre Marie van Hiele dan Dina van
Hiele-Geldof sekitar tahun 1950-an. Piere Van hiele dan Dina Van hiele Geldof,
memperhatikan kesulitan yang dialami siswa mereka ketika mempelajari geometri.

16
Van Hiele (dalam Ismail, 1998) menyatakan bahwa terdapat 5 tahap
pemahaman geometri yaitu: Tahap pengenalan, analisis, pengurutan, deduksi, dan
keakuratan.
Selain terdapat lima tingkat pemahaman geometri, Nur’aeni (2010, hlm. 32)
menyatakan bahwa dalam teori Van Hiele terdapat lima tahap belajar geometri, yaitu
tahap 1 informasi (information), tahap 2 orientasi terarah/terpadu (guided orientation),
tahap 3 eksplisitasi (explicitation), tahap 4 orientasi bebas (free orientation), dantahap
5 integrasi (integration).

3. Konsep Pembelajaran Matematika Menurut Dienes


Zoltan P. Dienes adalah seorang matematikawan yang memusatkan
perhatiannya pada cara-cara pengajaran terhadap siswa-siswa. Dasar teorinya
bertumpu pada Piaget, dan pengembangannya diorientasikan pada siswa-siswa,
sedemikian rupa sehingga sistem yang dikembangkannya itu menarik bagi siswa yang
mempelajarinya.Teori belajar Dienes ini sangat terkait dengan teori belajar yang
dikemukakan oleh Piaget, yaitu mengenai teori perkembangan intelektual.
Menurut Dienes, konsep-konsep matematika akan berhasil jika dipelajari
dalam tahap-tahap tertentu. Dienes membagi tahap- tahap belajar menjadi 6
tahap(Bell, dalam Ratumanan,2004), yaitu.
1. Permainan Bebas (Free Play)
2. Permainan yang Menggunakan Aturan ( Games )
3. Permainan yang Menggunakan Aturan ( Games )
4. Penyajian / Representasi ( Representations)
5. Simbolisasi ( Symbolizations )
6. Formalisasi ( Formalizations)

Teori Dienes mengariskan beberapa prinsip bagaimana anakanak mempelajari


matematik yaitu:
1. Prinsip Konstruktiviti
2. Prinsip Perubahan Perspeptual
3. Prinsip Dinamik
4. Prinsip variabilitas matematika.

17
B. Kritik dan Saran
Penulis mengucapakan Alhamdulillah karena dapat menyelesaikan tugas ini
dengan tepat waktu dan sebisa penulis. Apabila terjadi kesalahan dalam pengetikan
bahasa, huruf ataupun kata-kata, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Untuk
itu,penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar nantinya penulis bisa
memperbaiki kesalahan tersebut. Penulis akan bersenang hati apabila pembaca mau
berpartisipasi memberikan kritik dan saran mengenai makalah ini.

18
DAFTAR PUSTAKA

Abrar, Andi Ika Prasasti. (2013). Belajar Dienes. Al-Khwarizmi: Jurnal Pendidikan
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Vol.1(1). DOI:
https://doi.org/10.24256/jpmipa.v1i1.52

Amir, Z., Risnawati. (2016). Psikologi pembelajaran matematika. Yogyakarta: Aswaja


Pressindo.

Avyani, T., Epon, N., & Oyon H P. (2018). PENGGUNAAN TEORI VAN HIELE UNTUK
MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI JARING-JARING
KUBUS DAN BALOK. Jurnal Siliwangi, 4 (1), 5-9.

Budiningsih, C. Asri. 2012. Belajar & Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Dahar, R.W. (2011). Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Haryani & Andriani. (2013). Pembelajaran Matematika SD/MI. Pekanbaru: Benteng Media.

Safrina, H., Ikhsan, M., &Anizar, A. (2014). Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah
Geometri Melalui Pembelajaran Kooperatif Berbasis Teori Van Hiele. Jurnal Didaktik
Matematika, 1 (1), 9-20.
Unaenah, E., Indah, A A., et al. (2020). TEORI VAN HIELE DALAM PEMBELAJARAN
BANGUN DATAR. Jurnal Pendidikan Dan Ilmu Sosial, 2 (2), 365-374.

19

Anda mungkin juga menyukai