20-File Utama Naskah-39-1-10-20210723
20-File Utama Naskah-39-1-10-20210723
Muhamad Mustaqim
PENDAHULUAN
Keberadaan paradigma bagi organisasi merupakan persoalan yang krusial.
Bagi PMII, Paradigma adalah landasan gerak yang akan mewarnai arah gerakan.
Paradigma juga merupakan alat analisis, bagaimana organisasi harus bergerak.
Meskipun secara historis, penggunaan paradigma secara resmi ini baru berlaku
sekitar tahun 1997, namun paradigma secara implisit sudah mewarnai arah gerak
PMII pada masa sebelumnya.
| REKONSTRUKSI PARADIGMA GERAKAN BERBASIS MASLAHAH
162
Muhamad Mustaqim |
PEMBAHASAN
Lintasan Sejarah paradigma PMII
Dalam kilasan sejarah, PMII telah beberapa kali menggunakan paradigma
gerakan. Pergantian paradigma dalam hal ini dipengerahui oleh konteks ruang
waktu dan kepentingan yang melatarbelakangi PMII dalam berkiprah. Sehingga
paradigma akan menentukan pilihan gerakan yang menjadi kebijakan organisasi.
Berikut beberapa paradigma gerakan yang pernah dipakai oleh PMII.
Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran.
Istilah paradigma secara organisasional pertama kali dikenal pada era
Sahabat Muhaimin Iskandar (periode 1994-1997). Waktu itu, gerakan mahasiswa
yang sudah dikekang oleh pemerintah orde baru melalui kebijakan NKK/BKK
dihadapkan pada kenyataan otoritarianis Soeharto. Banyak terjadi pelanggaran
HAM, penindasan, penggusuran, pemilu yang tidak demokratis dan merajalelanya
KKN, telah membuka mata mahasiswa untuk bergerak melakukan perlawanan
demi perubahan. Sosok KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang waktu itu
menjabat Ketua Umum PBNU dan tokoh Forum Demokrasi (Fordem) yang
berseberangan dengan Soeharto menjadi lokomotif gerakan demokratisasi dan
civil society.
Perlawanan terhadap Negara menjadi ciri khas paradigma ini. secara
praksis, paradigma ini kemudian melahirkan dua kecenderungan. Pertama, apa
yang disebut dengan fre market of ideas (pasar bebas pemikiran). Kecenderungan
ini adalah bagian dari upaya mengenal pemikiran secara luas di tengah hegemoni
pengetahuan yang ditancapkan oleh Orde baru. Pada tataran inilah PMII secara
bebas berkenalan dengan ide-ide dan pemikiran kritis yang lebih bercorak
Marxian. Gagasan tentang kiri islam, teologi pembebasan, kritis wacana agama,
antroposentrisme teologis, sampai pada post tradisionalisme menjadi
kecenderungan yang ramai dikaji kader PMII. Sehingga tak heran label “liberal”
kerap disematkan pada komunitas pemikiran di kalangan anak muda ini.
Orientasi dari Free Market Idea adalah terjadinya transaksi gagasan yang sehat
dan dilakukan oleh individu-individu yang bebas, kreatif sebagai hasil dari proses
liberasi dan independensi.
Kedua, gerakan advokasi. Pembelaan terhadap masyarakat tertindas
(mustadl’afin) dan masyarakat pinggiran (marginal) juga menjadi konsen dari
paradigma ini. secara umum, gerakan advokasi ini dilakukan melalui beberapa
cara, diantaranya sosialisasi wacana, penyadaran dan pemberdayaan, serta
pendampingan. Relasi Negara-civil society yang tidak seimbang, menjadikan
paradigma arus masyarakat pinggiran ini menemukan titik relevansinya. Cita-cita
besar advokasi ialah sebagai bagian dari pendidikan politik masyarakat untuk
mencapai angan-angan terwujudnya civil society.
Namun PKT ini mendapat ujian pada masa Gus Dur menjadi Presiden RI.
Ada semacam kegagapan dalam melakukan konsistensi terhadap paradigma ini.
di satu sisi, PMII harus tetap bersikap kritis terhadap pemerintah, sebagaimana
pilihan paradigma gerakannya. Di sisi lain, figure Gus Dur sebagai mascot dan ikon
demokrasi, sekaligus “bapak” kaum nahdhiyin melahirkan sikap “pekewuh”
tatkala menggunakan paradigma kritis tersebut. Kegagapan paradigma ini
tentunya menjadi persoalan yang krusial, karena paradigma telah melahirkan
kegamangan gerakan, yang ini keluar dari tujuan paradigma yang sesungguhnya.
164
Muhamad Mustaqim |
Ketiga, pilihan paradigma ini tidak didorong oleh strategi (not strategy-
driven paradigma) sehingga paradigmanya dianggap sebagai suatu yang baku.
Mustinya, ketika medan pertempurannya telah berganti, maka strateginyapun
harus berbeda. Ketika medan pertempuran melawan otoritarianisme orde baru
telah dikalahkan, PMII masih berpikir normatif dengan mempertahankan nalar
paradigma lama. Ini membuktikan bahwa PMII tidak berpikir strategis (Wahid, M.
Hasanudin & Amanullah Naeni, 2006).
Dari sinilah kemudian kiranya diperlukan paradigma baru yang kiranya
mampu menjadi pijakan gerakan yang jelas dan terarah. Ada beberapa sebagai
prasyarat paradigma tersebut. Pertama, bersifat universal. Artinya yang mampu
diaplikasikan pada ruang waktu di mana satuan organisasi dan individu PMII
berada. Sehingga tidak terjadi benturan kepentingan antara satuan organisasi
atau individu yang satu dengan yang lainnya. Karena setiap ruang, daerah
memiliki relasi kuasa, pengetahuan, kepentingan dan silaturahmi yang berbeda.
Sebagai contoh, instruksi demonstrasi anti korupsi yang disampaikan PB, akan
mempunyai implikasi organisasi yang berbeda di setiap cabang. Sehingga
penyikapannya pun akan sangat berbeda sekali. Kedua, paradigma tersebut harus
mempunyai akar pengetahuan keislaman yang kuat. Sudah selayaknya
pembangunan paradigma PMII harus berakar pada hazanah keislaman yang
sudah membudaya dalam tradisi masyarakat. Sehingga penggunaan paradigma
yang digali dari akar tradisi islam, akan mampu merepresentasikan kehadiran
islam, NDP dan citra diri Ulul Albab sebagai bagian tak terpisahkan dari norma
“suci” PMII.
Ketiga, paradigma tersebut berdasar pada prinsip yang jelas, sebagai dasar
gerakan. Prinsip gerakan adalah sebuah keniscayaan dalam memandu gerak
langkah organisasi. Sehingga, keberadaan paradigma, disamping sebagai cara
pandang, juga sebagai landasan gerak yang akan mewarnai kiprah PMII.
Nah sampai sini, ada tawaran paradigma baru yang setidaknya
merepresentasikan ketiga prasyarat tersebut. Paradigma ini disebut dengan
Paradigma Berbasis Maslahah. Dimana maslahah merupakan prinsip dasar yang
menjadi pijakan gerakan, yang bersumber dari maqashid syariat islam. Selain itu,
paradigma berbasis maslahah bersifat meruang waktu, karena berpijak pada
prinsip maslahah yang akan sangat relevan untuk diimplementasikan pada setiap
ruang dan waktu.
Paradigma Berbasis Maslahah (PBM) ini juga mendasarkan prinsip dasar
gerakan pada bangunan qawaid fiqih. Qawaid fiqih merupakan prinsip-prinsip
yang mendasari munculnya hukum fiqih. Dan sebagaimana kita ketahui, fiqih
merupakan salah satu ilmu yang mempelajari tentang hukum-hukum syara’, yang
menjadi acuan bagi setiap muslim. Melalui PBM ini, akan dibangun sebuah
landasan fikir, dari qawaid fiqhiyah menjadi qawaid harakah. Sehingga PBM ini
dibangun pada pondasi qawaid fiqhiyah yang selama ini menjadi tradisi
pesantren.
167
| REKONSTRUKSI PARADIGMA GERAKAN BERBASIS MASLAHAH
Dalam kitab tersebut, ada 5 kaidah dasar qawaid al fiqh yang merupakan
kaidah yang paling utama, yang kemudian dikenal dengan qawaid al khoms.
Karena bab ini merupakan kaidah-kaidah inti yang merupakan rujukan utama
dalam hukum fiqih. Artinya setiap produk fiqih, harus didasarkan pada kaidah ini.
Dengan pengertian lain, kaidah-kaidah ini adalah ruh dalam pengambilan produk
hukum fiqih. Berikut akan dipaparkan secara singkat kelima kaidah tersebut.
a. Al-Umur bi maqoshidiha (Segala sesuatu berdasar pada tujuannya)
Kaidah ini berdasar pada Hadits shahih yang berbunyi “innama al-
a’malu bi al-niyyat, wa innama likulli imriin ma nawa”, yang artinya segala
sesuatu itu bergantung pada niatnya, dan setiap persoalan itu berdasar pada
apa yang diniatinya”. Setiap tindakan maupun perbuatan itu sesuai dengan
niat. Disini niat mempunyai urgensi yang sangat mendasar. Karena melalui
niat, akan teridentifikasi, mana perbuatan atau tindakan yang baik dan mana
yang tidak.
Dalam dimensi fiqih, niat berfungsi untuk membedakan mana amal
(perbuatan) yang termasuk ibadah dan mana yang adat (kebiasaan), juga
untuk membedakan antara amalan yang wajib dengan yang wajib pula.
Antara yang wajib dengan yang sunnah, dan yang sunnah dengan yang
sunnah lainnya, bahkan yang mubah. Dalam hal ini, suatu amalan mungkin
mempunyai tampilan dan praktek yang sama dengan amalan lainnya, tapi
karena perbedaan niat, amalan tersebut menjadi berbeda.
b. Al-Yaqin la yuzalu bi al-syak (keyakinan itu tidak bisa dihilangkan dengan
keragu-raguan)
Dasar kaidah ini adalah Hadits shahih yang bebunyi “izda wajada
ahadukum fi bathnihi syaian Faasykala alaihi akhroja minhu syaiun am la fala
yahrujanna minal masjidi hatta yasma’a shautan au yajida rihan” yang artinya
“apabila seseorang diantara kamu menemukan seseuatu di dalam perutnya,
lalu ia ragu, adakah sesuatu yang keluar darinya, atau tidak, maka janganlah
keluar dari masjid sampai ia mendengar suara atau menemukan bau”.
Maksud dari kaidah ini adalah bahwa keyakinan akan sesuatu itu
tidak bisa dibatalkan oleh keraguan yang ada. Jikalau sudah yakin akan apa
yang sudah dilakukan itu benar, maka keyakinan tersebut tidak bisa
dihilangkan oleh keraguan yang datang. Yakin dalam hal ini merupakan
kemampuan rasa dan akal untuk menangkap sebuah gejala dengan derajat
yang akurat. Kaidah ini mempunyai beberapa kaidah-kaidah cabang,
diantaranya:
1) Al-ashlu baqou ma kana ala ma kana (Dasar dari sesuatu adalah awal
permulaan)
2) Al-ashlu baroartu al-dzimah (Yang jadi dasar adalah tidak adanya
tanggungan).
3) Man syakka hal fa’ala syaian au la, fal ashlu annahu lam yaf’alu. (Jika
seseorang ragu, apakah sudah melakukan sesuatu atau belum, maka yang
menjadi dasr adalah belum mengerjakan)
4) Man tayaqqona al-fi’la wa syakka fi al-qolil au al-katsir humila ‘ala al-qolil
(Jika seseorang telah yakin berbuat sesuatu, tetapi ia ragu tentang banyak
sedikitnya, maka yang dihitung adalah yang sedikit)
5) Al-ashlu al-adamu (asal sesuatu itu tidak ada).
168
Muhamad Mustaqim |
KESIMPULAN
Maslahah merupakan prinsip dasar yang menjadi pijakan gerakan, yang
bersumber dari maqashid syariat islam. Paradigma berbasis maslahah bersifat
170
Muhamad Mustaqim |
meruang waktu, karena berpijak pada prinsip maslahah yang akan sangat relevan
untuk diimplementasikan pada setiap ruang dan waktu. Melalui Paradigma
Berbasis Maslahah, akan dibangun sebuah landasan fikir, dari qawaid fiqhiyah
menjadi qawaid harakah.
Tawaran paradigma gerakan ini bersifat universal dan implementatif
karena mengambil nilai dari qowaid fiqih dan khazanah intelaktual Islam ala
ahlussunnah wal jamaah. Implikasinya, sebagai organisasi Gerakan, PMII akan
mampu melakukan gerakan yang senantiasa sesuai dengan prinsip maqhasid
syariah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, A. H. (1980). Al-Mustashfa min Ilmi mal-Ushul. Dar al-Kutub al-
Ilmiyah.
Al-Syatibi. (n.d.). Al-Muwafaqat fi Usul al-syari’ah. Mustafa Muhammad.
Auda, J. (2015). Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah.
Mizan.
Bisri, M. A. (1977). Terjemah al Faraidul Bahiyyah : Risalah Qawaid Fiqh.
Menara Kudus.
Kristeva, N. S. S. (2020). Perdebatan Paradigma PMII. Beritapmii.Com.
Kuhn, T. S. (2002). Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains. Remaja
Rosdakarya.
Misrawi, Z. (2010). Al-Qur’an Kitab Toleransi (Tafsir Tematik Islam
Rahmatan Lil Alamin). Pustaka Oasis.
Permana, M. (2018). Beralih ke Paradigma Partisipasi Progresif.
Mulyadinpermana.Wordpress.Com.
Syamsul, M., & Zainuddin, dkk. (2015). Nalar Pergerakan. Naila Pustaka.
Wahid, M. Hasanudin & Amanullah Naeni, D. (2006). Multi Level Strategi
Gerakan PMII. PB PMII.
Zainuddin, M. (2020, April 17). Reorientasi Arah Gerakan Mahasiswa. Jawa
Pos.
Zuhaili, W. (1986). Ushul al-Fiqh al-Islamy. Dar al-Fikry.
171