Anda di halaman 1dari 11

REKONSTRUKSI PARADIGMA GERAKAN BERBASIS MASLAHAH

Muhamad Mustaqim

Institut Agama Islam negeri Kudus


Jl. Conge Ngembalrejo Bae kudus
Email : muhamadmustaqim10@gmail.com

Abstract: The movement paradigm used by the Pergerakan mahasiswa Islam


Indonesia (PMII) has tended to be temporal and normative. The paradigm will
experience anomalies when facing situations and realities that are different from
the context of the paradigm when it is formulated. It takes a universal movement
paradigm that can be implemented in empirical realities in each field. This paper
examines the paradigm patterns that have been used by PMII and their relevance
in responding to change. The method used is content analysis of the paradigm that
has been implemented, then making comparisons and critical analysis of the
paradigm's tendencies. The result is a more universal and implementative
movement paradigm, namely: maslahah-based paradigm. This paradigm takes the
value of qowaid fiqih and Islamic intellectual treasures ala ahlussunnah wal
jamaah. The implication is that as a movement organization, PMII will be able to
carry out movements based on the principles of maqhasid sharia
Keywords: paradigm, maslahah, maqhasid sharia.

Abstrak: Paradigma Gerakan yang digunakan oleh Pergerakan mahasiswa Islam


Indonesia (PMII) selama ini cenderung temporal dan normatif. Hal ini akan
mengalami anomali ketika menghadapi situasi dan realitas yang berbeda dengan
konteks paradigma tersebut ketika dirumuskan. Dibutuhkan sebuah paradigma
gerakan yang uniuversal dan mampu diimplementasikan pada realitas empirik di
masing-masing medan. Tulisan ini mengkaji tentang pola paradigma yang selama
ini digunakan oleh PMII serta relevansinya dalam merespon perubahan. Metode
yang digunakan adalah analisis isi terhadap paradigma yang telah
diimplementasikan, kemudian melakukan komparasi dan analisis kritis terhadap
kecenderungan paradigma tersebut. Hasilnya, sebuah tawaran paradigma
gerakan yang lebih universal dan implementatif, yakni: paradigma berbasis
maslahah. Paradigma ini mengambil nilai dari qowaid fiqih dan khazanah
intelaktual Islam ala ahlussunnah wal jamaah. Implikasinya, sebagai organisasi
Gerakan, PMII akan mampu melakukan gerakan yang senantiasa sesuai dengan
prinsip maqhasid Syariah.
Kata kunci: paradigma, maslahah, maqhasid syariah.

PENDAHULUAN
Keberadaan paradigma bagi organisasi merupakan persoalan yang krusial.
Bagi PMII, Paradigma adalah landasan gerak yang akan mewarnai arah gerakan.
Paradigma juga merupakan alat analisis, bagaimana organisasi harus bergerak.
Meskipun secara historis, penggunaan paradigma secara resmi ini baru berlaku
sekitar tahun 1997, namun paradigma secara implisit sudah mewarnai arah gerak
PMII pada masa sebelumnya.
| REKONSTRUKSI PARADIGMA GERAKAN BERBASIS MASLAHAH

Istilah paradigma secara ilmiah diperkenalkan oleh Thomas S Khun. Menurut


Khun, ilmu (sains) dibangun oleh sebuah paradigma yang melatarbelakanginya.
Dan ilmu berkembang sesuai dengan ”setting” paradigma tersebut. Pada awalnya,
ilmu terbangun dari sifat ilmu yang normal. Namun pada perjalanannya akan
mengalami anomali, krisis dan akhirnya harus di revolusi. Untuk merevolusi
menjadi ilmu yang normal (kembali) diperlukan sebuah paradigma (Kuhn,
2002:43). Dari Khun inilah paradigma kemudian diadopsi ke dimensi ilmu yang
lain, khususnya dalam konteks memandang realitas.
Paradigma sangat diperlukan dalam memandang sebuah kenyataan yang ada.
Realitas ini, dalam domain PMII adalah medan pergerakan, dimana ilmu dan bakti
diberikan. Pandangan terhadap realitas ini tentunya akan mempengaruhi
persepsi dan simpulan, yang secara praksis juga akan mewarnai pilihan gerakan
yang ditentukan. Ibarat kacamata, paradigma akan mempengarui pencitraan
seseorang terhadap obyek pandang. Jika kacamata tersebut merupakan kacamata
min, maka akan sangat menentukan ukuran obyek yang dicitrakan. Jika kacamata
tersebut berwarna, maka juga akan sangat menentukan hasil pengindraan warna.
Dan jika kacamata itu gelap, maka akan melahirkan persepsi bahwa lingkungan
sekeliling si pemakai adalah gelap. Sampai sini, paradigma kemudian mencapai
titik urgensi yang sangat tinggi.
Tawaran reorientasi paradigma ini juga ramai dibicaran di media internet.
Kristeva misalnya, mengusulkan untuk mengakhiri perdebatan tentang
paradigma dan menguatkan kembali paradigma kritis. Paradigma kritis
Transformtif di PMII berupaya menegakkan sikap kritis dalam berkehidupan
dengan menjadikan ajaran agama sebagai inspirasi yang hidup dan dinamis. Hal
ini didasarkan karena beberapa alasan, pertama, paradigma krirtis berupaya
menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan dari berbagai belenggu yang
diakibatkan oleh proses sosial yang bersifat profan. Kedua, paradigma kritis
melawan segala bentuk dominasi dan penindasan. Ketiga, paradigma kritis
membuka tabir dan selubung pengetahuan yang munafik dan hegemonic. Semua
ini adalah semangat yang dikandung oleh Islam. Oleh karenanya, pokok-pokok
pikiran inilah yang dapat diterima sebagai titik pijak paradigma kritis
transformatif di kalangan warga PMII (Kristeva, 2020).
Beberapa catatan tentang pentingnya paradigma ini telah banyak dilakukan.
Zainuddin dalam sebuah opininya mengatakan bahwa orientasi gerakan
mahasiswa sudah saatnya berubah menuju paradigma baru yang mencerahkan.
Pengaderan dilakukan untuk menyiapkan para pemimpin ke depan. Dalam hal ini,
PMII harus mengubah paradigma pengaderan dari normatif ke transformatif,
pengaderan harus mampu mengubah perilaku dan pola pikir sektarianisme
menuju pluralisme (Zainuddin, 2020). Selain itu, dalam kontek keislaman,
wawasan islam keindonesiaan yang tetap mampu memelihara khazanah dan
budaya bangsa dan merumuskan paradigma baru yang lebih baik (Syamsul &
Zainuddin, 2015). Demikian juga dengan Mulyadin Permana yang mengusulkan
paradigma partisipasi progresif (Permana, 2018).

162
Muhamad Mustaqim |

PEMBAHASAN
Lintasan Sejarah paradigma PMII
Dalam kilasan sejarah, PMII telah beberapa kali menggunakan paradigma
gerakan. Pergantian paradigma dalam hal ini dipengerahui oleh konteks ruang
waktu dan kepentingan yang melatarbelakangi PMII dalam berkiprah. Sehingga
paradigma akan menentukan pilihan gerakan yang menjadi kebijakan organisasi.
Berikut beberapa paradigma gerakan yang pernah dipakai oleh PMII.
Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran.
Istilah paradigma secara organisasional pertama kali dikenal pada era
Sahabat Muhaimin Iskandar (periode 1994-1997). Waktu itu, gerakan mahasiswa
yang sudah dikekang oleh pemerintah orde baru melalui kebijakan NKK/BKK
dihadapkan pada kenyataan otoritarianis Soeharto. Banyak terjadi pelanggaran
HAM, penindasan, penggusuran, pemilu yang tidak demokratis dan merajalelanya
KKN, telah membuka mata mahasiswa untuk bergerak melakukan perlawanan
demi perubahan. Sosok KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang waktu itu
menjabat Ketua Umum PBNU dan tokoh Forum Demokrasi (Fordem) yang
berseberangan dengan Soeharto menjadi lokomotif gerakan demokratisasi dan
civil society.
Perlawanan terhadap Negara menjadi ciri khas paradigma ini. secara
praksis, paradigma ini kemudian melahirkan dua kecenderungan. Pertama, apa
yang disebut dengan fre market of ideas (pasar bebas pemikiran). Kecenderungan
ini adalah bagian dari upaya mengenal pemikiran secara luas di tengah hegemoni
pengetahuan yang ditancapkan oleh Orde baru. Pada tataran inilah PMII secara
bebas berkenalan dengan ide-ide dan pemikiran kritis yang lebih bercorak
Marxian. Gagasan tentang kiri islam, teologi pembebasan, kritis wacana agama,
antroposentrisme teologis, sampai pada post tradisionalisme menjadi
kecenderungan yang ramai dikaji kader PMII. Sehingga tak heran label “liberal”
kerap disematkan pada komunitas pemikiran di kalangan anak muda ini.
Orientasi dari Free Market Idea adalah terjadinya transaksi gagasan yang sehat
dan dilakukan oleh individu-individu yang bebas, kreatif sebagai hasil dari proses
liberasi dan independensi.
Kedua, gerakan advokasi. Pembelaan terhadap masyarakat tertindas
(mustadl’afin) dan masyarakat pinggiran (marginal) juga menjadi konsen dari
paradigma ini. secara umum, gerakan advokasi ini dilakukan melalui beberapa
cara, diantaranya sosialisasi wacana, penyadaran dan pemberdayaan, serta
pendampingan. Relasi Negara-civil society yang tidak seimbang, menjadikan
paradigma arus masyarakat pinggiran ini menemukan titik relevansinya. Cita-cita
besar advokasi ialah sebagai bagian dari pendidikan politik masyarakat untuk
mencapai angan-angan terwujudnya civil society.

Paradigma Kritis Transformatif (PKT)


Paradigma ini diperkenalkan pada periode sahabat Saiful Bahri Anshari
(1997-2000). Pada hakikatnya, prinsip-prinsip dasar paradigma ini tidak jauh
berbeda dengan paradigma Arus Balik. Titik bedanya terletak pada kedalaman
teoritik serta pengambilan eksemplar-eksemplar teori kritis madzhab Frankfurt
serta kritisisme intelektual muslim seperti, Hasan Hanafi, Ali Asghar Enginer,
Muhammad Arkoun dll. Pemosisian diri yang jelas terhadap Negara masih tetap
ditonjolkan pada paradigma ini.
163
| REKONSTRUKSI PARADIGMA GERAKAN BERBASIS MASLAHAH

Namun PKT ini mendapat ujian pada masa Gus Dur menjadi Presiden RI.
Ada semacam kegagapan dalam melakukan konsistensi terhadap paradigma ini.
di satu sisi, PMII harus tetap bersikap kritis terhadap pemerintah, sebagaimana
pilihan paradigma gerakannya. Di sisi lain, figure Gus Dur sebagai mascot dan ikon
demokrasi, sekaligus “bapak” kaum nahdhiyin melahirkan sikap “pekewuh”
tatkala menggunakan paradigma kritis tersebut. Kegagapan paradigma ini
tentunya menjadi persoalan yang krusial, karena paradigma telah melahirkan
kegamangan gerakan, yang ini keluar dari tujuan paradigma yang sesungguhnya.

Paradigma Menggiring Arus/Berbasis Realitas


Dalam Konggres di Bogor, terjadi perdebatan wacana untuk mengganti
paradigma PKT yang dirasa sudah tidak relevan lagi. Berbagai tawaran paradigma
pun bermunculan, seperti Paradigma Relasional (ada yang menyebut Paradigma
Berbasis Realitas atau Paradigma Menggiring Arus) yang ditawarkan oleh Sahabat
Hery Haryanto Azumi yang pada Kongres PMII ke-15 di Bogor tahun 2005 terpilih
sebagai Ketua Umum. Paradigma Relasional ini ingin lebih realistis dalam
memandang kenyataan dan menggaulinya secara strategis, tidak asal
menjebakkan diri dalam oposisi binner. Paradigma terakhir ini oleh pihak yang
kurang bersepakat dinilai pragmatis atau realistis.
Maka paradigma ini ingin menegaskan bahwa demi mencapai cita-cita PMII
dan kejayaan nusantara, kita harus membangun gerakan berbasis keindonesiaan
(karena disitulah medan pertaruhan PMII yang sesungguhnya). Karena Indonesia
adalah bagian dari habitus global, maka PMII harus siap bergaul dengan berbagai
pihak dalam konstelasi global, khususnya pasca Perang Dingin, antara Blok Barat
dan Blok Timur. Perubahan geo politik dunia pasca perang dingin yang begitu
cepat hendaknya dilihat sebagai kenyataan dan tantangan hari ini yang jauh lebih
berat ketimbang era sebelumnya. Medan pertempuran geo politik dunia yang
multi polar menuntut kita untuk tidak mudah terjebak dalam nalar binner, hitam-
putih, benar-salah, atau vis a vis. Namun lebih mampu berpikir secara kompleks,
dengan membaca relasi yang saling terkait antar fenomena. Sehingga slogan yang
kemudian muncul adalah, think global act local, berfikir global, bertindak lokal.
Dalam buku Multilevel strategi, ada pengakuan akan patahan kedua
paradigma (ABMP dan PKT), meskipun sebenarnya paradigma menggiring arus
juga mengalami hal yang sama. Alasannya adalah sebagai berikut. Pertama,
paradigma tersebut didesain hanya untuk melakukan resistensi terhadap
otoritarianisme tanpa kompleksitas aktor di level nasional yang selalu terkait
dengan perubahan di tingkat global dan siklus politik-ekonomi yang terjadi.
Sebagai contoh maraknya LSM pro demokrasi dan gencarnya isu anti militerisme
pada dekade 1990-an adalah akibat dari runtuhnya Uni Soviet sebagai rival USA
dalam kompetisi hegemoni dunia.
Kedua, paradigma tersebut hanya menjadi bunyi-bunyian yang tidak
pernah secara real menjadi habitus atau laku di PMII. Akibatnya, bentuk resistensi
yang muncul adalah resisten tanpa tujuan, yang penting melawan. Sehingga ketika
perlawanan itu berhasil menjatuhkan Soeharto terlepas ada aktor utama yang
bermain, PMII dan organ-organ pro demokrasi lainnya tidak tahu harus berbuat
apa. Dari sini, dapat di baca bahwa paradigma itu tidak disertai dengan semacam
contingency plan yang dapat menyelamatkan organisasi dalam situasi apapun.

164
Muhamad Mustaqim |

Ketiga, pilihan paradigma ini tidak didorong oleh strategi (not strategy-
driven paradigma) sehingga paradigmanya dianggap sebagai suatu yang baku.
Mustinya, ketika medan pertempurannya telah berganti, maka strateginyapun
harus berbeda. Ketika medan pertempuran melawan otoritarianisme orde baru
telah dikalahkan, PMII masih berpikir normatif dengan mempertahankan nalar
paradigma lama. Ini membuktikan bahwa PMII tidak berpikir strategis (Wahid, M.
Hasanudin & Amanullah Naeni, 2006).
Dari sinilah kemudian kiranya diperlukan paradigma baru yang kiranya
mampu menjadi pijakan gerakan yang jelas dan terarah. Ada beberapa sebagai
prasyarat paradigma tersebut. Pertama, bersifat universal. Artinya yang mampu
diaplikasikan pada ruang waktu di mana satuan organisasi dan individu PMII
berada. Sehingga tidak terjadi benturan kepentingan antara satuan organisasi
atau individu yang satu dengan yang lainnya. Karena setiap ruang, daerah
memiliki relasi kuasa, pengetahuan, kepentingan dan silaturahmi yang berbeda.
Sebagai contoh, instruksi demonstrasi anti korupsi yang disampaikan PB, akan
mempunyai implikasi organisasi yang berbeda di setiap cabang. Sehingga
penyikapannya pun akan sangat berbeda sekali. Kedua, paradigma tersebut harus
mempunyai akar pengetahuan keislaman yang kuat. Sudah selayaknya
pembangunan paradigma PMII harus berakar pada hazanah keislaman yang
sudah membudaya dalam tradisi masyarakat. Sehingga penggunaan paradigma
yang digali dari akar tradisi islam, akan mampu merepresentasikan kehadiran
islam, NDP dan citra diri Ulul Albab sebagai bagian tak terpisahkan dari norma
“suci” PMII.
Ketiga, paradigma tersebut berdasar pada prinsip yang jelas, sebagai dasar
gerakan. Prinsip gerakan adalah sebuah keniscayaan dalam memandu gerak
langkah organisasi. Sehingga, keberadaan paradigma, disamping sebagai cara
pandang, juga sebagai landasan gerak yang akan mewarnai kiprah PMII.
Nah sampai sini, ada tawaran paradigma baru yang setidaknya
merepresentasikan ketiga prasyarat tersebut. Paradigma ini disebut dengan
Paradigma Berbasis Maslahah. Dimana maslahah merupakan prinsip dasar yang
menjadi pijakan gerakan, yang bersumber dari maqashid syariat islam. Selain itu,
paradigma berbasis maslahah bersifat meruang waktu, karena berpijak pada
prinsip maslahah yang akan sangat relevan untuk diimplementasikan pada setiap
ruang dan waktu.
Paradigma Berbasis Maslahah (PBM) ini juga mendasarkan prinsip dasar
gerakan pada bangunan qawaid fiqih. Qawaid fiqih merupakan prinsip-prinsip
yang mendasari munculnya hukum fiqih. Dan sebagaimana kita ketahui, fiqih
merupakan salah satu ilmu yang mempelajari tentang hukum-hukum syara’, yang
menjadi acuan bagi setiap muslim. Melalui PBM ini, akan dibangun sebuah
landasan fikir, dari qawaid fiqhiyah menjadi qawaid harakah. Sehingga PBM ini
dibangun pada pondasi qawaid fiqhiyah yang selama ini menjadi tradisi
pesantren.

Konsepsi Maslahah dalam Islam


Pada hakekatnya, Islam diturunkan ke dunia ini tidak lain adalah untuk
memberikan tuntunan kebahagian bagi umat manusia. Islam merupakan agama
pamungkas, yang dibawa oleh Nabi Muhammad sebagai penyempurna agama
“Islam” terdahulu. Berbeda dengan ajaran “Islam” terdahulu, ajaran Islam
165
| REKONSTRUKSI PARADIGMA GERAKAN BERBASIS MASLAHAH

Muhammad lebih berwatak humanis dan apresiatif terhadap hak-hak


kemanusiaan. Sehingga Islam yang terakhir inilah, yang diharapkan mampu
menjadi “lampu penerang” bagi umat manusia. Di sini, eksistesi Islam adalah
rahmatan li al-alamin, penebar kedamaian bagi semesta alam. Yang secara
teologis kemudian kita pahami sebagai tujuan risalah Islam.
Tanpa bermaksud untuk melakukan simplifikasi, beberapa konsep rahmat
yang tersebut diatas, kalau kita coba sederhanakan, tertampung dalam istilah
yang sering digunakan dalam ushul fiqih sebagai maslahah. Dalam hal ini
maslahah lebih dipahami sebagai “sistem nilai” yang menjadi kerangka dasar
dalam prilaku keberagamaan (Misrawi, 2010). Kemaslahatan merupakan inti
ajaran, dimana setiap segmentasi prilaku umatnya harus diorientasikan pada
prinsip kemaslahatan ini.
Tujuan risalah ini pada dasarnya juga bermakna dengan tujuan
pemberlakuan syariah, atau yang sering dikenal Maqashid al-Syari’ah. Melalui
Maqashid al-syari’ah, tujuan risalah tersebut kemudian dimanifestasikan pada
tataran yang lebih praktis dan empiris. Dengan kata lain rahmat bagi semesta
alam dalam kaitan ini kemudian dirinci secara indikatorik ke dalam maqashid al-
syari’ah. Maqashid al-syari’ah dapat dipahami sebagai sekumpulan maksud
Ilahiyah dan konsep-konsep moral yang menjadi dasar hukum Islam, yang
mempresentasikan hubungan antara hukum syariah dengani de-ide terkini
tentang hak-hak asasi manusia, pembangunan dan keadaban (Auda, 2015).
Adalah al-Sathibi (Al-Syatibi, n.d.) yang menjelaskan maqashsid al-syari’ah
kedalam sebuah rumusan praktis yang disebut al-kuliyah al-khoms (lima prinsip
dasar). Yakni, hifdhu al-din (memelihara agama), hifdhu al-nafs (memelihara jiwa),
hifdhu al-mal (memelihari harta), hifdhu al-nasl (memelihara keturunan) dan
hifdhu al-aql (memelihara akal) .
Dan hal ini kemudian banyak diamini oleh para ahli fiqih, meskipun dengan
redaksi yang berbeda dalam hal hirarkhi urgensitasnya. Lima prinsip dasar inilah
yang kemudian menjadi medan pertaruhan dan pertarungan Islam. Mengingat
karakteristik manusia yang sering kali anarkhis (yufsidu fiha) dan suka berkelahi,
berpolitik (yusfiku al-dima’), seperti apa yang pernah diprediksikan malaikat,
dalam “drama” penciptaan manusia (Nabi Adam AS). Islam turun ke dunia
berkomitmen untuk melindungi lima prinsip dasar tersebut, demi terciptanya
kondisi alam semesta yang penuh rahmat, sebagaimana yang tersirat dalam
tujuan risalah Islam.
Kerangka ini kemudian melahirkan sebuah kerangka konseptual baru, di
mana terdapat dua kondisi, antara terpenuhinya lima prinsip tersebut dengan
tidak terpenuhinya lima prinsip tersebut. Adapun kondisi dimana lima prinsip
dasar tersebut mampu terpenuhi dengan baik sehingga mempunyai peluang
besar terhadap terwujudnya tujuan risalah disebut dengan maslahah. Sebaliknya,
kondisi dimana pencapaian tujuan risalah terancam karena
ketidakterlaksanaannya lima prinsip tersebut, kemudian disebut dengan
mafsadah.
Usaha dimana orang beriman (manusia) mencoba untuk mencapai
kemaslahatan melahirkan sebuah kaidah yang disebut jalbu al-mashalih (mencari
kemaslahatan). Dan sedapat mungkin, orang beriman harus senantiasa
menghindarkan diri dari terjadinya mafsadah, kondisi dimana kuliyah al-khoms
tidak terwujud. Usaha untuk menghindarkan diri dari mafsadah ini melahirkan
166
Muhamad Mustaqim |

sebuah kaidah yang disebut dar’u al-mafasid (menghindarkan kerusakan). Dua


kaidah dasar ini merupakan prinsip universal dalam kehidupan, mengingat
keberadaan dua prinsip ini merupakan pengejawantahan dari maqashid al-
syari’ah dan tujuan risalah. Jika kedua prinsip ini terjadi pada kondisi yang
bersamaan, maka prinsip mana yang harus di dahulukan?. Dalam hal ini para ahli
fiqih bersepakat untuk lebih mendahulukan dar’u al-mafasid ketimbang
melaksanakan jalbu al-masholih, sehingga tercipta kaidah dar’u al-mafasid
muqoddamun ‘ala jalbu al-mashalih.
Berangkat dari sini, mashlahah merupakan inti dari ajaran Islam. Dengan
prinsip mashlahah, misi Islam akan mampu untuk ditunaikan. Sebaliknya jika
kemaslahan mulai ditinggalkan, maka tujuan risalah Islam dalam hal ini terancam
mengalami kegagalan. Hal ini senada dengan apa yang pernah diutarakan oleh al-
Khawarizmi sebagaimana dikutip oleh Wahbah Zuhari, bahwa maslahah adalah
memelihara tujuan hukum Islam dengan menolak atau menghindarkan bencana
(kerusakan, hal-hal yang merugikan) dari makhluk atau manusia (Zuhaili, 1986).
Hujjah al-Islam, Imam al-Ghazali juga menyatakan pendapat yang hampir sama
dengan hal ini. Maslahah dalam hal ini dimaksudkan untuk memelihara tujuan
syara’ atau ajaran islam, sekalipun bertentangan dengan tujuan manusia. Karena
kemaslahatan manusia tidak selamanya didasarkan kepada kehendak syara’,
tetapi sering didasarkan pada hawa nafsu (Al-Ghazali, 1980). Tujuan syara’
tersebut sebagaimana yang dikonsepkan oleh al-Syathibi, yakni terpeliharanya
lima prinsip dasar. Setiap hal yang meniadakan kondisi ini disebut mafsadah.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan disini, bahwa maslahah merupakan kondisi
terpenuhinya tujuan syariat Islam, yang merupakan manifestasi dari tujuan
risalah.

Paradigma Maslahah, menimba dari Qawaid fiqh


Qawaid fiqih, sebagai prinsip dasar dalam ushul fiqih tampaknya cukup
relevan untuk menjadi “spirit” dalam melakukan rekonstruksi fiqih. Artinya,
qawaid (kaidah/prinsip/dasar) dalam ushul fiqih ini merupakan referensi yang
akan membimbing seseorang dalam melahirkan hukum fiqih. Karena qawaid fiqih
lebih berorientasi pada prinsip dasar ajaran serta sistem nilai kepercayaan, yang
telah digali melalui ushul fiqih. Betapapun kemudian, ada juga kaidah yang
berpeluang tidak relevan dalam konteks kekinian. Salah satu kaidah yang
diharapkan menjadi prinsip dasar sekaligus sistem kepercayaan atau sistem nilai
yang universal adalah konsep maslahah. Karena maslahah adalah prinsip utama
yang senantiasa konsisten pada misi risalah islam, rahmatan li al-alamin.
Dalam tradisi pesantren, kitab “faraid al bahiyyah” (mutiara yang indah)
karangan Syekh Abu Bakar al-Ahdal, banyak menjadi rujukan utama dalam hal
qawaid fiqih. Kitab ini merupakan intisari dari kitab qawaid fiqih Syafi’iyah yang
masyhur, “Asybah wa al-nadhoir”, karangan Imam Jalaluddin Abdurrahman al-
Suyuti, yang lebih dikenal degan Imam Suyuti (Bisri, 1977). Di tengah sakralisasi
fiqih dalam arus pemikiran tradisional, sebenarnya qawaid fiqih syafi’iyah telah
memberikan rumusan yang berorientasi pada prinsip-prinsip universal yang
berbasis pada tujuan risalah. Salah satunya adalah prinsip maslahah. Sehingga
prinsip maslahah, nantinya bukan hanya menjadi qawaid al-fiqhiyyah, tapi juga
menjadi qawaid al-harakah.

167
| REKONSTRUKSI PARADIGMA GERAKAN BERBASIS MASLAHAH

Dalam kitab tersebut, ada 5 kaidah dasar qawaid al fiqh yang merupakan
kaidah yang paling utama, yang kemudian dikenal dengan qawaid al khoms.
Karena bab ini merupakan kaidah-kaidah inti yang merupakan rujukan utama
dalam hukum fiqih. Artinya setiap produk fiqih, harus didasarkan pada kaidah ini.
Dengan pengertian lain, kaidah-kaidah ini adalah ruh dalam pengambilan produk
hukum fiqih. Berikut akan dipaparkan secara singkat kelima kaidah tersebut.
a. Al-Umur bi maqoshidiha (Segala sesuatu berdasar pada tujuannya)
Kaidah ini berdasar pada Hadits shahih yang berbunyi “innama al-
a’malu bi al-niyyat, wa innama likulli imriin ma nawa”, yang artinya segala
sesuatu itu bergantung pada niatnya, dan setiap persoalan itu berdasar pada
apa yang diniatinya”. Setiap tindakan maupun perbuatan itu sesuai dengan
niat. Disini niat mempunyai urgensi yang sangat mendasar. Karena melalui
niat, akan teridentifikasi, mana perbuatan atau tindakan yang baik dan mana
yang tidak.
Dalam dimensi fiqih, niat berfungsi untuk membedakan mana amal
(perbuatan) yang termasuk ibadah dan mana yang adat (kebiasaan), juga
untuk membedakan antara amalan yang wajib dengan yang wajib pula.
Antara yang wajib dengan yang sunnah, dan yang sunnah dengan yang
sunnah lainnya, bahkan yang mubah. Dalam hal ini, suatu amalan mungkin
mempunyai tampilan dan praktek yang sama dengan amalan lainnya, tapi
karena perbedaan niat, amalan tersebut menjadi berbeda.
b. Al-Yaqin la yuzalu bi al-syak (keyakinan itu tidak bisa dihilangkan dengan
keragu-raguan)
Dasar kaidah ini adalah Hadits shahih yang bebunyi “izda wajada
ahadukum fi bathnihi syaian Faasykala alaihi akhroja minhu syaiun am la fala
yahrujanna minal masjidi hatta yasma’a shautan au yajida rihan” yang artinya
“apabila seseorang diantara kamu menemukan seseuatu di dalam perutnya,
lalu ia ragu, adakah sesuatu yang keluar darinya, atau tidak, maka janganlah
keluar dari masjid sampai ia mendengar suara atau menemukan bau”.
Maksud dari kaidah ini adalah bahwa keyakinan akan sesuatu itu
tidak bisa dibatalkan oleh keraguan yang ada. Jikalau sudah yakin akan apa
yang sudah dilakukan itu benar, maka keyakinan tersebut tidak bisa
dihilangkan oleh keraguan yang datang. Yakin dalam hal ini merupakan
kemampuan rasa dan akal untuk menangkap sebuah gejala dengan derajat
yang akurat. Kaidah ini mempunyai beberapa kaidah-kaidah cabang,
diantaranya:
1) Al-ashlu baqou ma kana ala ma kana (Dasar dari sesuatu adalah awal
permulaan)
2) Al-ashlu baroartu al-dzimah (Yang jadi dasar adalah tidak adanya
tanggungan).
3) Man syakka hal fa’ala syaian au la, fal ashlu annahu lam yaf’alu. (Jika
seseorang ragu, apakah sudah melakukan sesuatu atau belum, maka yang
menjadi dasr adalah belum mengerjakan)
4) Man tayaqqona al-fi’la wa syakka fi al-qolil au al-katsir humila ‘ala al-qolil
(Jika seseorang telah yakin berbuat sesuatu, tetapi ia ragu tentang banyak
sedikitnya, maka yang dihitung adalah yang sedikit)
5) Al-ashlu al-adamu (asal sesuatu itu tidak ada).

168
Muhamad Mustaqim |

6) Al-ashlu fi kulli haditsin taqdiruhu bi aqroba zaman (asal pada tiap-tiap


sesuatu yang baru itu harus diperkirakan kepada masa yang paling
dekat).
7) Al-ashlu fi al-syai’ al-ibahah, hatta yadullu al-dalil ‘ala tahrimi (asal segala
suatu itu boleh, kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya).
8) Al-ashlu fi al-kalam haqiqah (asal dalam ucapan adalah hakekat).
c. Al-masyaqqotu tajlibu bi al-taisyir (Keberatan itu bisa membawa pada
kemudahan)
Sesuatu yang berat dan sulit dilakukan itu bisa membawa pada
sesuatu yang lebih mudah dan ringan. Karena, manusia pada dasarnya adalah
makhluk yang lemah, yang mempunyai banyak keterbatasan. Sehingga suatu
saat, manusia tidak mampu untuk melakukan sesuatu yang sulit. Untuk itu,
Islam mempunyai prinsip kemudahan, sehingga semua ummat islam mampu
melaksanakan sesuatu (syariat) secara mudah.
Kaidah ini berdasar pada beberapa ayat al-Qur’an dan Hadist,
diantaranya yang berbunyi : “wama ja’ala ‘alaikum fi al-dini min haraj” yang
artinya tidaklah Allah menjadikan dalam beragama itu sempit bagi kalian.
Atau firman Allah “yuridu Allah bikum al-yusra wala yuridu bikum al-‘usra“,
Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidaklah Allah menghendaki
kesukaran. Kedua ayat ini memberikan pemahaman bahwa Allah itu
menjadikan agama (Islam) sebagai kemudahan. Karena hanya dengan
kemudahan orang akan mampu melaksanakan kehidupan dengan tenang.
Sehingga setiap sesuatu yang memberatkan harus mampu dirubah menjadi
sesuatu yang memudahkan. Selain itu ada beberapa Hadits yang menjadi
dasar kaidah ini, yakni “Buitstu bi hanifiyati samhati sahlati“, aku diutus
untuk membawa agama yang dicenderungi, yang murah dan mudah. Artinya,
Islam diturunkan ke dunia ini dengan tampilan yang mudah dan murah bagi
umat manusia. Sehingga Islam tidak memberatkan bagi umatnya.
Di antara sebab-sebab yang bisa mengantarkan pada kemudaan
adalah: al-akrah (terpaksa), al-nisyan (lupa), al-jahlu (tidak tahu), al-‘usru
(sukar), safar (bepergian), maradl (sakit) dan naqshun (kurang). Ketujuh hal
ini merupakan prasyarat yang harus ada salah satunya, untuk bisa
menjadikan pada perubahan hukum menjadi mudah atau ringan. Dalam hal
ini, perubahan tersebut bisa mengacu kepada hal yang wajib, misalnya
makan bangkai hukumnya haram, namun dalam kondisi dimana jika tidak
makan bangkai akan mengancam jiwa, maka makan bangkai menjadi wajib
hukumnya. Juga pada hal yang sunnah, mubah maupun yang makruh..
d. Al-dhoruru yuzalu (Kemadhorotan itu harus dihilangkan).
Maksud kaidah ini adalah bahwasanya segala bentuk kemadharatan
itu harus dihilangkan. Dasar kaidah ini adalah Hadits Nabi yang berbunyi “la
dlarara wala dhirara”, yang artinya tidak ada kemadharatan dan tidak boleh
berbuat madharat. Maksudnya, tidak boleh berbuat madharat (bahaya)
terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain. Ada beberapa qaidah yang
berhubungan dengan kaidah ini, diantaranya :
1) Al-dhoruru tubihu al-mahdhurat (madharat itu dapat memperbolehkan
hal yang dilarang)
2) Al-dhoruru la yuzalu bi al-dhoruri (madharat itu tidak bisa dihilangkan
dengan madharat
169
| REKONSTRUKSI PARADIGMA GERAKAN BERBASIS MASLAHAH

3) Daru al-mafasid muqoddamun ala jalbu al-mashalih (menolak kerusakan


itu harus didahulukan dari pada mencari kebaikan).
e. Al-‘adatu muhakkamah (Adat kebiasaan itu bisa menjadi ketetapan)
Maksud kaidah ini adalah bahwa kebiasaan itu bisa dijadikan sebagai
pedoman atau hukum. Kaidah ini berangkat dari sebuah sabda Nabi yang
berbunyi: apa yang menurut kaum muslim itu baik, maka bagi Allah adalah
baik. Sehingga apa yang menjadi kesepatan umat Islam, yang kemudian
dilakukan secara kontinyu maka dapat dijadikan sebagai hukum, sepanjang
kebiasaan tersebut tidak bertentangan dengan nash.
Prinsip maslahah banyak menjadi sandaran dalam kaidah-kaidah
yang ada didalamnya, khususnya pada qawaid al-khoms. Kaidah yang
pertama, lebih menekankan pada dimensi spiritual-intuitif, dimana hati
menjadi “panglima” dalam amalan manusia, baik dalam ibadah maupun yang
lainnya. Kaidah kedua, lebih berorientasi pada dimensi rasional-intuitif,
bahwa prinsip keyakinan merupakan sesuatu yang mutlak dalam perbuatan.
Disini keyakinan mampu menghilangkan segala bentuk keraguan yang ada,
yang itu harus didasari pada prinsip-prinsip rasional.
Kaidah ketiga, lebih berorientasi pada nilai humanis. Tabiat
kemanusian yang menyatakan bahwa manusia itu makhluk yang lemah
sangat dihargai disini. Sehingga tawaran pada kemudahan, sudah barang
pasti sangat dibutuhkan. Bahkan kemudahan mampu merubah suatu produk
hukum yang ada, jika hukum tersebut dalam kondisi yang bertentangan
dengan tabiat kemanusian, yakni prinsip yang lima sebagaimana tersebut di
atas. Hampir senada dengan kaidah ketiga, kaidah keempat juga sangat
bernuansa humanis. Segala sesuatu yang membahayakan tabiat
kemanusiaan, dapat dihapuskan. Hal ini sejalan dengan prinsip mashlahat,
yang berbasis pada pencapaian tujuan risalah.
Sedangkan kaidah kelima, menekankan pada kebebasan manusia
dalam berbudaya. Disini perilaku manusia yang berulang-ulang, yang
kemudian disebut adat sangat dihargai. Bahkan dalam koneks ini, bisa
menjadi sebuh produk hukum islam. Selama adat (tradisi) yang ada tidak
bertentangan dengan maqashid al-syari’ah dan sistem nilai Islam yang sudah
ada. Dari kelima kaidah di atas, terlihat secar jelas, bagaimana prinsip
maslahah sangat ditonjolkan. Maslalah merupakan sandaran dari lima kaidah
ini.
Demikian juga dengan qawaid al-kulliyah, tampak sekali
mengutamakan prinsip maslaha. Sekedar menyebut contoh, pada kaidah
kelima, yakni “tasharrafu al-imam ‘ala al-raiyyati manuthun bi al-
mashlahati”. Kaidah ini secara jelas menyebut term maslahah. Selain itu
prinsip maslahah dalam hal ini menjadi acuan bagi kebijakan seorang
pemimpin -dalam berbagai level tentunya. Proses decition making
(pengambilan keputusan) dalam hal ini harus mempertimbangkan
kemaslahahan, khususunya jika hal ini berkenaan dengan yang dipimpin atau
bawahan. Kaidah-kaidah yang lainpun hampir senafas dengan hal ini.

KESIMPULAN
Maslahah merupakan prinsip dasar yang menjadi pijakan gerakan, yang
bersumber dari maqashid syariat islam. Paradigma berbasis maslahah bersifat
170
Muhamad Mustaqim |

meruang waktu, karena berpijak pada prinsip maslahah yang akan sangat relevan
untuk diimplementasikan pada setiap ruang dan waktu. Melalui Paradigma
Berbasis Maslahah, akan dibangun sebuah landasan fikir, dari qawaid fiqhiyah
menjadi qawaid harakah.
Tawaran paradigma gerakan ini bersifat universal dan implementatif
karena mengambil nilai dari qowaid fiqih dan khazanah intelaktual Islam ala
ahlussunnah wal jamaah. Implikasinya, sebagai organisasi Gerakan, PMII akan
mampu melakukan gerakan yang senantiasa sesuai dengan prinsip maqhasid
syariah.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, A. H. (1980). Al-Mustashfa min Ilmi mal-Ushul. Dar al-Kutub al-
Ilmiyah.
Al-Syatibi. (n.d.). Al-Muwafaqat fi Usul al-syari’ah. Mustafa Muhammad.
Auda, J. (2015). Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah.
Mizan.
Bisri, M. A. (1977). Terjemah al Faraidul Bahiyyah : Risalah Qawaid Fiqh.
Menara Kudus.
Kristeva, N. S. S. (2020). Perdebatan Paradigma PMII. Beritapmii.Com.
Kuhn, T. S. (2002). Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains. Remaja
Rosdakarya.
Misrawi, Z. (2010). Al-Qur’an Kitab Toleransi (Tafsir Tematik Islam
Rahmatan Lil Alamin). Pustaka Oasis.
Permana, M. (2018). Beralih ke Paradigma Partisipasi Progresif.
Mulyadinpermana.Wordpress.Com.
Syamsul, M., & Zainuddin, dkk. (2015). Nalar Pergerakan. Naila Pustaka.
Wahid, M. Hasanudin & Amanullah Naeni, D. (2006). Multi Level Strategi
Gerakan PMII. PB PMII.
Zainuddin, M. (2020, April 17). Reorientasi Arah Gerakan Mahasiswa. Jawa
Pos.
Zuhaili, W. (1986). Ushul al-Fiqh al-Islamy. Dar al-Fikry.

171

Anda mungkin juga menyukai