Anda di halaman 1dari 8

Emansipasi Wanita Di Era Globalisasi

Oleh : Wilda Fitriya

Sosok Kartini tidak dapat terlepas dari emansipasi wanita yang gaungnya sudah terdengar
lebih dari satu abad silam. Kartini adalah pendobrak tembok kultur patriarki pada masa silam
yang membatasi gerak kaum perempuan. Pada masa itu, perempuan tidak lebih hanya sebagai
pelengkap kehidupan kaum laki-laki. Segala gerak-geriknya serba dibatasi. Aktivitas
perempuan dewasa yang sudah bersuami hanya sebatas melayani suami, mengurus anak, dan
harus patuh memenuhi segala keinginan suaminya. Perempuan yang sudah berusia remaja
tidak diperbolehkan melanjutkan pendidikan. Ia wajib menjadi gadis pingitan menanti calon
suami pilihan orang tuanya. Sungguh ironis sekali nasib perempuan pada masa itu dan bisa
dikatakan hidup mereka hanyalah sebatas tembok rumah, tidak lebih. Kenyataan inilah yang
membuat Kartini prihatin dan berupaya melepaskan kaumnya dari kultur yang sangat
merugikan kaum perempuan tersebut.Diawali dengan hadirnya buku dengan judul “Habis
Gelap Terbitlah Terang” yang merupakan kumpulan surat-surat Raden Ajeng
Kartini kepada sahabatnya Abendanon, nasib perempuan berubah secara perlahan atas
perjuangan beliau. Perjuangan Kartini di antaranya adalah membebaskan perempuan dari
diskriminasi  yang membatasi gerak perempuan pada masa itu. Selain itu, Kartini juga
berjuang membebaskan kaum perempuan dari perbudakkan. Atas dasar perjuangan Kartini
inilah sehingga kita sekarang mengenal  istilah emansipasi perempuan. Emansipasi juga
dapat dikatakan sebagai suatu gerakan yang dilakukan oleh kaum perempuan untuk
meningkatkan harkat dan martabatnya dari kesenjangan dari kaum laki-laki sehingga dapat
mencapai kesetaraan. Dengan kata lain, emansipasi perempuan adalah gerakan kaum wanita
untuk mensejajarkan diri dengan kaum laki-laki.Seiring dengan perkembangan zaman,
melalui gerakan emansipasi ini, perempuan Indonesia akhirnya dapat mensejajarkan diri
dengan kaum pria dalam berbagai bidang kehidupan, baik di bidang politik, ekonomi maupun
sosial.
Di era globalisasi ini, perempuan tidak hanya bekerja di lingkungan rumah ataupun
melayani suami walaupun hal tersebut adalah salah satu kewajiban perempuan mengikuti
kodratnya. Akan tetapi, perempuan juga dapat berperan untuk bangsa di ranah politik,
ekonomi dan sosial. Bukti nyata dari hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 65 ayat 1 UU
(Undang-Undang)  Nomor 12 Tahun 18 Februari 2003 yang berbunyi “Setiap partai politik
peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), DPRD
(Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) provinsi dan DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah)
kabupaten/kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan
perempuan sekurang-kurangnya 30%”. Ketentuan dari UU (Undang-Undang) di atas
merupakan tindak lanjut dari konvensi PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa), yaitu persoalan yang
menyangkut penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Selain itu, Uni
Antar Parlemen (Inter Parliamentary Union) pada tahun 1997 di New Delhi mendeklarasikan
“Hak politik perempuan harus dianggapi sebagai satu kesatuan dengan hak asasi manusia.
Oleh karena itu, hak politik perempuan tidak dapat dipisahkan dari hak asasi manusia”. UU
(Undang-Undang) dan konvensi PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) tersebut menandakan
bahwa dalam ranah politik peran perempuan sudah mulai diakui dan diperhitungkan. Sosok
Kartini tidak dapat terlepas dari emansipasi wanita yang gaungnya sudah terdengar lebih dari
satu abad silam. Kartini adalah pendobrak tembok kultur patriarki pada masa silam yang
membatasi gerak kaum perempuan. Pada masa itu, perempuan tidak lebih hanya sebagai
pelengkap kehidupan kaum laki-laki. Segala gerak-geriknya serba dibatasi. Aktivitas
perempuan dewasa yang sudah bersuami hanya sebatas melayani suami, mengurus anak, dan
harus patuh memenuhi segala keinginan suaminya. Perempuan yang sudah berusia remaja
tidak diperbolehkan melanjutkan pendidikan. Ia wajib menjadi gadis pingitan menanti calon
suami pilihan orang tuanya. Sungguh ironis sekali nasib perempuan pada masa itu dan bisa
dikatakan hidup mereka hanyalah sebatas tembok rumah, tidak lebih. Kenyataan inilah yang
membuat Kartini prihatin dan berupaya melepaskan kaumnya dari kultur yang sangat
merugikan kaum perempuan tersebut.
Diawali dengan hadirnya buku dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang
merupakan kumpulan surat-surat Raden Ajeng Kartini kepada sahabatnya Abendanon,
nasib perempuan berubah secara perlahan atas perjuangan beliau. Perjuangan Kartini di
antaranya adalah membebaskan perempuan dari  diskriminasi  yang membatasi gerak
perempuan pada masa itu. Selain itu, Kartini juga berjuang membebaskan kaum perempuan
dari perbudakkan. Atas dasar perjuangan Kartini inilah sehingga kita sekarang mengenal
istilah emansipasi perempuan.Emansipasi perempuan merupakan proses pembebasan kaum
perempuan dari status sosial ekonomi yang rendah atau dari pengekangan hukum yang
membatasi kemungkinan untuk berkembang dan untuk maju. Emansipasi juga dapat
dikatakan sebagai suatu gerakan yang dilakukan oleh kaum perempuan untuk meningkatkan
harkat dan martabatnya dari kesenjangan dari kaum laki-laki sehingga dapat mencapai
kesetaraan. Dengan kata lain, emansipasi perempuan adalah gerakan kaum wanita untuk
mensejajarkan diri dengan kaum laki-laki.Seiring dengan perkembangan zaman, melalui
gerakan emansipasi ini, perempuan Indonesia akhirnya dapat mensejajarkan diri dengan
kaum pria dalam berbagai bidang kehidupan, baik di bidang politik, ekonomi maupun sosial.
Perempuan sudah dapat men-duduki posisi-posisi penting di bidang birokrasi. Perempuan
juga sudah dapat berkiprah di bidang politik. Selain itu, perempuan juga sudah banyak yang
sukses di bidang sosial dan ekonomi.
Di era globalisasi ini, perempuan tidak hanya bekerja di lingkungan rumah ataupun
melayani suami walaupun hal tersebut adalah salah satu kewajiban perempuan mengikuti
kodratnya. Akan tetapi, perempuan juga dapat berperan untuk bangsa di ranah politik,
ekonomi dan sosial. Bukti nyata dari hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 65 ayat 1 UU
(Undang-Undang)  Nomor 12 Tahun 18 Februari 2003 yang berbunyi “Setiap partai politik
peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), DPRD
(Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) provinsi dan DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah)
kabupaten/kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan
perempuan sekurang-kurangnya 30%”. Ketentuan dari UU (Undang-Undang) di atas
merupakan tindak lanjut dari konvensi PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa), yaitu persoalan yang
menyangkut penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Selain itu, Uni
Antar Parlemen (Inter Parliamentary Union) pada tahun 1997 di New Delhi mendeklarasikan
“Hak politik perempuan harus dianggapi sebagai satu kesatuan dengan hak asasi manusia.
Oleh karena itu, hak politik perempuan tidak dapat dipisahkan dari hak asasi manusia”. UU
(Undang-Undang) dan konvensi PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) tersebut menandakan
bahwa dalam ranah politik peran perempuan sudah mulai diakui dan diperhitungkan.
Di bidang ekonomi, tidak sedikit perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga atau
membantu  suami bekerja. Bahkan, ada beberapa perempuan yang mengerjakan pekerja-an
laki-laki sebagai supir bus. Hal ini terlihat pada Perusahaan Transjakarta Busway   yang
memiliki 80 pengemudi perempuan.
Dalam bidang sosial, perempuan yang dulu lekat dengan stigma kasur, sumur, dan dapur
sekarang telah mampu bangkit dan menggeser stigma kasar tersebut. Bahkan, dalam bidang
sosial ini kaum perempuan telah memiliki benteng untuk melindungi diri dari pengaruh
globalisasi dalam bidang sosial ini. Kaum perempuan telah dilindungi oleh UU (Undang-
Undang) pornografi dan pornoaksi yang banyak menyita perhatian khalayak. Pada hakikatnya
UU (Undang-Undang) tersebut adalah sebuah bentuk perlindungan kehormatan perempuan
yang dijadikan bahan eksploitasi oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Beberapa perempuan Indonesia sudah membuktikan kepada bangsa bahwa mereka mampu
memegang peran penting dalam membangun bangsa. Salah satu dari mereka adalah  Mari
Elka Pangestu seorang ekonom Indonesia kelas dunia. Kita juga mengenal Susi
Susanti yang sudah mengharumkan nama Indonesia dalam bidang olahraga (bulu tangkis),
beliau adalah peraih piala emas Olimpiade Bercelona pada tahun 2002. Sosok yang masih
tergambar jelas di hati rakyat adalah mantan presiden kelima kita yaitu Megawati
Soekarnoputri, wanita pertama yang pernah memerintah negara ini. Mereka semua adalah
pelaku emansipasi perempuan. Mereka memanfaatkan jasa Raden Ajeng Kartini tersebut
untuk membekali diri mereka sendiri dengan keahlian, pengetahuan, dan wawasan berfikir
yang luas. Mereka mencari dan menggali potensi mereka tanpa menuntut selalu
diistimewakan sebagai perempuan. Ibu kita Kartini pasti bangga pada mereka.

Emansipasi ialah istilah yang digunakan untuk menjelaskan sejumlah usaha untuk
mendapatkan hak politik maupun persamaan derajat, sering bagi kelompok yang tak diberi
hak secara spesifik, atau secara lebih umum dalam pembahasan masalah seperti itu.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia emansipasi ialah pembebasan dari perbudakan,
persamaan hak dl berbagai aspek kehidupan masyarakat
Emansipasi wanita ialah proses pelesapan diri para wanita dari kedudukan sosial ekonomi
yang rendah atau dari pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan untuk berkembang
dan untuk maju.
Dan bicara emansipasi wanita, maka pasti membicarakan Kartini, seorang wanita priyayi
Jawa yang memiliki pemikiran maju di masanya yang kemudian diangkat namanya menjadi
penggerak emansipasi wanita Indonesia, berkat surat-surat2 korespondennya pada sahabat
Belandanya yang kemudian diangkat menjadi sebuah buku berjudul ‘Habis Terang Terbitlah
Terang’.
Jadi bila disimpulkan arti Emansipasi dan apa yang dimaksudkan oleh Kartini adalah agar
wanita mendapatkan hak  untuk mendapatkan pendidikan, seluas-luasnya, setinggitingginya.
Agar wanita juga di akui kecerdasannya dan diberi kesempatan yang sama untuk
mengaplikasikan keilmuan yang dimilikinya dan Agar wanita tidak merendahkan dan di
rendahkan derajatnya di mata pria.
Dalam hal ini tidak ada perkara yang menyatakan bahwa wanita menginginkan kesamaan hak
keseluruhan dari pria, karena pada hakikatnya pria dan wanita memliki kelebihannya masing-
masing.
Lantas sekarang, emansipasi dijadikan kedok ‘kebebasan’ para wanita.  Jadi akan menjadi
sangat miris bila pengertian emansipasi wanita ini lantas di anggap sebagai pemberontakan
wanita dari kodrat kewanitaannya. Dimana wanita melupakan ‘kewanitaannya’ dan lebih
menunjukkan keperkasaannya secara fisik, yang notabene bukan ‘lahannya’ namun
memaksakan agar ‘diakui’. Saat wanita lupa bahwa selain cerdas di luar sana juga harus
cerdas didalam rumahnya.
Dan emansipasi wanitapun dijadikan kedok untuk memperdagangkan diri dalam balutan
kontes putri dan ratu dengan tameng menguji kecerdasan kontestannya.Apakah hubungannya
kecerdasan yang dinilai dalam balutan baju seksi dan wajah mempesona?? Dan ada juga yang
menjual kecantikan untuk memperoleh ‘nilai’ lebih dalam hal pendidikan, pekerjaan bahkan
status sosial, suatu bentuk pelacuran terselubung yang malah menghancurkan derajat wanita
dimata pria.
Lantas di mana letak kebanggaan seorang wanita?? Jadi apa arti emansipasi bila akhirnya
hanya menjadi olok-olokan??
‘Jika Kartini sekarang masih hidup, dia pasti akan menyerang pengertian emansipasi yang
ada seperti sekarang ini. Kartini akan menyerang kontes ratu-ratuan yang mengumbar
aurat, Kartini akan menyerang keinginan perempuan untuk menjadi seperti pria yang
sebenarnya berangkat dari perasaan rendah diri dan pengakuan jika pria lebih unggul,
sebab menurut Kartini, perempuan dan laki-laki itu memiliki keunggulan dan juga
kelemahannya masing-masing yang unik, sebab itu mereka memerlukan satu dengan yang
lainnya, saling melengkapi‘
     Kebebasan dari emansipasi adalah kebebasan dari perbudakan, persamaaan hak dalam
berbagai aspek kehidupan masyarakat, misal : persamaan hak, seperti kaum wanita dengan
kaum pria. Di zaman modern seperti sekarang ini banyak kaum wanita menganggap bahwa
emansipasi menunjukkan tidak ada lagi diferensiasi antara kaum wanita dengan kaum pria
dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat.
    
 Dengan adanya masalah-masalah yang terjadi, sudah dapat disimpulkan bahwa emansipasi,
awalnya memang sebuah kemajuan tetapi di akhir berbanding terbalik, yaitu kemunduran
yang didapatkan mungkin itu semua didasari karena masalah intern, misal : terlalu
dibebaskan pergaulan kita oleh orang tuanya, tidak diperhatikan keluarganya atau ditinggal
bekerja orang tuanya, jadi emansipasi disini termasuk kebebasan yang kebablasan.
Jadi sebaiknya para orang tua harus hati-hati menjaga anak-anaknya, khususnya anak
perempuan khususnya dalam bidang pergaulan. Apalagi anak-anak remaja perempuan
sekarang mudah sekali untuk dirayu, dibujuk dan dipengaruhi, jadi jangan sampai orang tua
membebaskan anak-anak perempuanya dalam pergaulan karena akan cepat merubah
perkembangannya dan itu adalah perkembangan yang negative. Dan bagi perempuan-
perempuan dewasa yang dianggap sudah bisa mengatur diri sendiri harus tetap diawasi dalam
pergaulan, misal : hal pacaran, orang tua harus tetap membatasinya, karena jika terlalu
dibebaskan mungkin hanya akan mengakibatkan penyesalan bagi semua oran terutama orang
tua.
Seiring dengan perkembangan zaman, melalui gerakan emansipasi ini, perempuan
Indonesia akhirnya dapat mensejajarkan diri dengan kaum pria dalam berbagai bidang
kehidupan, baik di bidang politik, ekonomi maupun sosial. Perempuan sudah dapat men-
duduki posisi-posisi penting di bidang birokrasi. Perempuan juga sudah dapat berkiprah di
bidang politik. Selain itu, perempuan juga sudah banyak yang sukses di bidang sosial dan
ekonomi..
Di bidang ekonomi, tidak sedikit perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga
atau membantu  suami bekerja. Bahkan, ada beberapa perempuan yang mengerjakan pekerja-
an laki-laki sebagai supir bus. Hal ini terlihat pada Perusahaan Transjakarta Busway   yang
memiliki 80 pengemudi perempuan. Dalam bidang sosial, perempuan yang dulu lekat dengan
stigma kasur, sumur, dan dapur sekarang telah mampu bangkit dan menggeser stigma kasar
tersebut. Bahkan, dalam bidang sosial ini kaum perempuan telah memiliki benteng untuk
melindungi diri dari pengaruh globalisasi dalam bidang sosial ini. Kaum perempuan telah
dilindungi oleh UU (Undang-Undang) pornografi dan pornoaksi yang banyak menyita
perhatian khalayak. Pada hakikatnya UU (Undang-Undang) tersebut adalah sebuah bentuk
perlindungan kehormatan perempuan yang dijadikan bahan eksploitasi oleh pihak-pihak yang
berkepentingan.
Beberapa perempuan Indonesia sudah membuktikan kepada bangsa bahwa mereka
mampu memegang peran penting dalam membangun bangsa. Salah satu dari mereka
adalah  Mari Elka Pangestu seorang ekonom Indonesia kelas dunia. Kita juga
mengenal Susi Susanti yang sudah mengharumkan nama Indonesia dalam bidang olahraga
(bulu tangkis), beliau adalah peraih piala emas Olimpiade Bercelona pada tahun 2002. Sosok
yang masih tergambar jelas di hati rakyat adalah mantan presiden kelima kita
yaitu Megawati Soekarnoputri, wanita pertama yang pernah memerintah negara ini. Mereka
semua adalah pelaku emansipasi perempuan. Mereka memanfaatkan jasa Raden Ajeng
Kartini tersebut untuk membekali diri mereka sendiri dengan keahlian, pengetahuan, dan
wawasan berfikir yang luas. Mereka mencari dan menggali potensi mereka tanpa menuntut
selalu diistimewakan sebagai perempuan. Ibu kita Kartini pasti bangga pada mereka.
Lain halnya dengan generasi sekarang, perempuan generasi muda sekarang sudah
telah banyak terlena dan terombang-ambing oleh arus globalisasi yang semakin mewarnai
dan meracuni bangsa. Tidak sedikit efek dari era globalisasi ini berpengaruh negatif sehingga
tidak menutup kemungkinan partisipasi perempuan dalam pembangunan bangsa pada masa
mendatang tidak dapat berjalan, sehingga tidak ada lagi pembuktian bahwa perempuan
mampu berdiri membangun bangsa. Bahkan, persoalan ini apabila dibiarkan dan tidak ada
usaha untuk melakukan perbaikan akan dapat menciptakan generasi muda yang bimbang dan
tidak memiliki masa depan yang pasti.Dewasa ini emansipasi seringkali disala artikan.
Emansipasi sering kali menjadi alasan yang dicari bagi kaum perempuan, khususnya remaja
putri untuk mendapatkan kebebasan seluas-luasnya, dan seringkali berlebihan kadarnya. Kita
bisa melihat fakta-fakta yang terjadi di era ini, seperti riset yang dilakukan yang menyatakan
bahwa dari data yang dihimpun dari 100 remaja, terdapat 51 remaja perempuannya sudah
tidak lagi perawan. Hasil Riset ini disampaikan oleh Sugiri kepada sejumlah media dalam
Grand Final Kontes Rap dalam memperingati Hari AIDS sedunia di lapangan parkir IRTI
Monas, Minggu (28/ 11/2010). Sugiri juga merincikan bahwa di Surabaya perempuan yang
sudah tidak perawan lagi mencapai 54%,  di Medan 52%, serta Bandung mencapai 47% dan
data ini dikumpulkan selama kurun waktu 2010 saja. Selain itu, lebih ekstrim lagi jika kita
membicarakan pelacur-an anak gadis di bawah umur. Wajah lugu dan pikiran yang masih
polos diracuni oleh paham-paham hidup senang secara praktis. Sungguh mengerikan, karena
paham itu ditanamkan orang tua mereka sendiri. Akibatnya, tidak jarang kita temui orang tua
yang tega menjual anaknya demi materi. Selebihnya dilakukan sendiri oleh si perempuan
muda tersebut  dengan alasan  untuk mendapatkan hidup yang lebih layak dan untuk
menghidupi orangtuanya di rumah. Perbuatan ini tanpa mereka sadari telah menjatuhkan
harga diri perempuan secara global.
Permasalahan di atas menyebabkan status perempuan semakin tenggelam dalam
kekelaman masa. Harapan, angan-angan untuk maju telah ternoda dengan kenyataan tersebut.
Akibat dari permasalahan tersebut, perempuan semakin direndahkan. Tidak ada lagi rasa
nasionalisme mengingat jasa pahlawan yang sudah memperjuangkan emansipasi. Harga diri
wanita yang semakin rendah dengan perbuatan keji seperti itu jelas-jelas Raden Ajeng
Kartini kecewa. Kecewa dengan kaum penerusnya yang menyalahgunakan perjuangannya
untuk meningkatkan harkat perempuan. Pembebasan atas diskriminasi pada perempuan
seharusnya dimanfaatkan untuk mengembangkan dan membangkitkan eksistensi kaum
perempuan secara terhormat, bukan menginjak dan menurunkan harga diri kaum perempuan
itu sendiri.
Di zaman yang semakin maju dan semakin pesat ini apakah emansipasi perempuan
akan dibiarkan seperti ini? Mengingat perjuangan para pahlawan yang mengabdikan dirinya
hanya untuk bangsa tercinta ini. Sedikit pun mereka tidak mau menurunkan harga diri meski
harus kehilangan nyawa.Masih rendahnya keterlibatan dan partisipasi perempuan khususnya
generasi muda di dalam pembangunan ekonomi, sosial, politik dan bidang lainnya yang
bersifat membangun bangsa ditambah lagi oleh efek negatif globalisasi yang mempengaruhi
pikiran-pikiran gene-rasi muda (perempuan) bangsa harus menjadi musuh bersama kita,
dalam rangka menyukses-kan pembangunan menyeluruh di negeri ini.Demi membangun
bangsa ini agar menjadi lebih baik lagi, kaum perempuan tidak boleh melupakan hakikatnya
sebagai seseorang perempuan yang mempunyai sumber ke-lembutan. Sudah selayaknya
kaum perempuan perlu menyadari akan kodratnya. Perempuan diharapkan bisa menjadi
pendidik pertama dan utama bagi anak-anak yang dilahirkannya. Menjadi Ibu yang dapat
membimbing mereka menjadi anak yang kuat, cerdas, dan mem-punyai etika yang baik agar
dapat berguna bagi bangsa, negara, dan agama. Itulah sebenarnya peran wanita yang utama
selain berbagai peran di ketiga bidang kehidupan ekonomi, politik dan sosial. Wanita dituntut
untuk menjalani kehidupan sesuai perannya masing-masing. Wanita telah menjadi sosok
yang harus di hormati dan dilindungi dari berbagai kekerasan dan penganiayaan. Namun,
wanita juga harus sadar akan tugas utamanya. Tugas ini mampu untuk menyadarkan
perempuan generasi muda untuk menjadi perempuan yang terhormat, berharga dan sebagai
kebanggaan bangsa.
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah dan jasa-jasa
pahlawannya yang berjuang hanya untuk bangsa tercinta ini” ujar Ir. Soekarno. Kita
seharusnya dapat meman-faatkan emansipasi perempuan yang sudah diperjuangkan Kartini
dengan sebaik-baiknya, yaitu membekali diri untuk berpartisipasi membangun bangsa ini,
mengharumkan nama kaum perempuan, membuat bangga bangsa dan tidak menjadi
seseorang yang menjatuhkan martabatnya sebagai seorang perempuan. Emansipasi
perempuan ini seharusnya dapat men-jadikan generasi muda perempuan yang cerdas bukan
menjadi lemah. Jadikan perempuan sebagai subjek bagi bangsa ini dan tidak hanya menjadi
objek. Sekaranglah saatnya generasi muda perempuan mencatatkan dirinya sebagai pelaku
emansipasi yang mampu berdiri meng-ambil peran penting untuk membangun bangsa yang
tercinta ini.

Anda mungkin juga menyukai