Anda di halaman 1dari 36

1

Kebijakan Dalam Pelayanan Kebidanan

“Peran Gender Dalam Kontruksi Sosial

Feminitas dan Maskulinitas’’

Disusun oleh : Kelompok 1

Karina Dwi Ratna

Sarah Caesar Anugrah

Selvia Agustari

DIV Kebidanan + Profesi (Tingkat 4)

Dosen Pembimbing : Wewet Savitri SST.,M,Keb

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLTEKKES KEMENKES BENGKULU

JURUSAN KEBIDANAN+PROFESI

TAHUN 2021-2022
2

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan


kesempatan pada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-
Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ Peran gender dalam
kontruksi sosial feminitas dan masklinitas” tepat waktu. Makalah ini disusun guna
memenuhi tugas pada Mata Kuliah Kebijakan dalam pelayanan kebidanan” Selain
itu, kami juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca.

Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada bunda


Wewet Savitri., SST,M,Keb selaku dosen mata kuliah. Karena tugas yang
telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan kami terkait
bidang yang ditekuni. Kami juga mengucapkan terima kasih pada semua
anggota kelompok yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.

Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami terima demi
kesempurnaan makalah ini.

Bengkulu, 17 juli 2022

Penyusun
3

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL COVER…………………………………………… i

KATA PENGANTAR……………………………………………………. 2

DAFTAR ISI………………………………………………………………. 3

DAFTAR TABLE………………………………………………………….ii

DAFTAR GAMBAR……………………………………………………… iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang………………………………………………………4
B. Rumusan Masalahl…………………………………………………..4
C. Tujuan Makalah……………………………………………………...4

BAB II PEMBAHASAN
A. Kebijakkan Dalam Kebidanan ……………………………………….5
1. Peran Gender Dalam Kontruksi Sosial,Feminitas dan Maskulinitas
2. Kekuasaan……………………………………………………..15
B. Konteks Social Politik dalam Siklus Reproduksi…………………….16
C. Evaluasi Pelayanan Kebidanan dalam Multiperspektif………………30

BAB III PENUTUP…………………………………………………………iv


A. Kesimpulan…………………………………………………………..34
B. Saran…………………………………………………………………34

DAFTAR PUSTAKA
4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peran Gender adalah perilaku yang dipelajari di dalam suatu


masyarakat/komunitas yang dikondisikan bahwa kegiatan, tugas-tugas atau
tanggung jawab patut diterima baik oleh laki-lakimaupun perempuan.
Peran gender dapat berubah, dan dipengaruhi oleh umur, kelas, ras, etnik,
agama dan lingkungan geografi, ekonomi dan politik. Baik perempuan
maupun laki-laki memiliki peran ganda di dalam masyarakat. Perempuan
kerap mempunyai peran dalam mengatur reproduksi, produksi dan
kemasyarakatan.Sedangkan Laki-laki lebih terfokus pada produksi dan
politik kemasyarakatan. Gender juga di definisikan dengan hubungan sosial
antara laki-laki dan perempuan. Gender merujuk pada hubungan antara
laki-laki dan perempuan, anak laki-laki dan anak perempuan, dan
bagaimana hubungan sosial ini dikonstruksikan. Peran gender bersifat
dinamis dan berubah antar waktu.

B. Rumusan Masalah
1. Memahami apa yang di maksud dengan Peran Gender Dalam
Kontruksi Sosial,Feminitas dan Maskulinitas?
2. Mengetahui Kekuasan?
3. Memahami Konteks Social Politik dalam Siklus Reproduksi?
4. Evaluasi Pelayanan Kebidanan dalam Multiperspektif ?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk membantu
mahasiswa mempelajari secara mandiri dan mengetahui apa itu peran
gender pada kebidanan dan memahami perbedaan kontruksi sosial
feminitas dan masklinitas kebidanan.
5

BAB II
PEMBAHASAN

A. Kebijakan Dalam Kebidanan

1. Peran Gender Dalam Kontruksi Sosial Feminitas

Menuru Menurut Bem (dalam Wathani 2009) Gender merupakan konstruksi


sosial yang membedakan identitas antara laki-laki dan perempuan dalam hal
ekonomi, politik, sosial, dan budaya dalam kehidupan keluarga, masyarakat,
dan bangsa. Konsepsi gender digunakan untuk menentukan posisi laki-laki dan
perempuan dalam keluarga dan masyarakat, yang meliputi; peran, kedudukan,
hubungan, dan tanggung jawab. Dalam perkembangan dan dinamika sosial,
gender sebagai konstruksi sosial dan kultural sering digunakan sebagai referensi
untuk melakukan spesialisasi dan kategorisasi bagi distribusi aktivitas dan
kegiatan produksi.

Dalam keluarga atau rumah tangga, konsep gender diterapkan dengan


melakukan pembagian kerja antara suami dan istri. Pembagian kerja dilakukan
atas dasar konsep keunggulan komparatif (comparative advantages) yang
dimiliki istri atau suami antara sektor publik dan sektor domestik dengan tujuan
untuk mencapai utilitas atau kesejahteraan maksimal. Suami dan istri akan
mencari perbandingan nilai yang relatif lebih tinggi untuk memutuskan antara
bekerja di rumah atau di luar rumah. Brigham (1986) dalam Naully (2003).

Umumnya, praktik pembagian kerja menghasilkan kondisi dimana istri


terspesialisasi untuk bekerja di dalam rumah dan suami terspesialisasi untuk
bekerja di luar rumah. Blau dan Ferber (1986) menyatakan salah satu dasarnya
adalah bahwa pada periode tahun 1970- an, tafsiran perilaku dan hubungan
antara pria dan wanita hanya ditekankan pada aspek. biologis saja. Menurutnya,
wanita dianggap lebih produkif untuk bekerja di rumah karena secara biologis
wanita melahirkan dan merawat anak. Kondisi ini juga menggambarkan sistem
6

patriarki yang telah banyak diimplementasikan dalam kehidupan berumah-


tangga feminine, Stewart & Lykes, dalam Saks dan Krupat, (1998).

Sebuah penelitian telah dilakukan oleh Abdullah dan Arimbawa (2012)


tentang jumlah tenaga kerja (jiwa) dan jumlah jam kerja (jam/hari) dalam
sebuah rumah tangga tani di Desa Tampabulu, Bombana, dengan jumlah
responden 27 wanita, yang menghasilkan temuan bahwa wanita akan jauh lebih
banyak bertanggung jawab terhadap perekerjaan domestik dibandingkan pria.
Indikator pekerjaan domestik yang digunakan antara lain: memasak, mencuci,
menimba air, membersihkan rumah, merapikan pakaian, dan mengasuh anak.
Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa meskimikian, suami tetap membantu
istri untuk menyelesaikan pekerjaan domestik pada indikator-indikator tertentu,
dengan perbandingan waktu kerja 1:8 lebih banyak istri.

Gambar 0.1 ilustrasi peran gender

Menurut Bem (dalam Wathani 2009), gender merupakan karakteristik


kepribadian, seseorang yang dipengaruhi oleh peran gender yang dimilikinya
dan dikelompokkan menjadi 4 klasifikasi yaitu maskulin, feminin, androgini
dan tak terbedakan. Konsep Gender dan peran gender merupakan dua konsep
yang berbeda, gender merupakan istilah biologis, orang-orang dilihat sebagai
pria atau wanita tergantung dari organ-organ dan gen-gen jenis kelamin mereka.
7

Sebaliknya menurut Basow (1992) dalam Wathani (2009), peran gender


merupakan istilah psikologis dan kultural, diartikan sebagai perasaan subjektif
seseorang mengenai ke-pria-an (maleness) atau kewanitaan (femaleness).

Brigham (1986) dalam Naully (2003) lebih menekankan terhadap konsep


stereotipe di dalam membahas mengenai peran gender, dan menyebutkan bahwa
peran gender merupakan karakteristik status, yang dapat digunakan untuk
mendukung diskriminasi sama seperti yang digunakan untuk mendukung
diskriminasi sama seperti yang digunakan terhadap status-status yang lain
seperti ras, kepercayaan, dan usia. Sementara peran gender sendiri sebagai
sebuah karakteristik memiliki determinan lingkungan yang kuat dan berkaitan
dengan dimensi maskulin versus feminine, Stewart & Lykes, dalam Saks dan
Krupat, (1998). Ketika berbicara mengenai gender, beberapa konsep berikut ini
turut terlibat di dalamnya :

a. Gender role (peran gender), merupakan definisi atau preskripsi yang


berakar pada kultur terhadap tingkah laku pria atau wanita.
b. Gender identity (identitas gender), yaitu bagaimana seseorang
mempersepsi dirinya sendiri dengan memperhatikan jenis kelamin dan
peran gender.
c. Serta sex role ideology (ideologi peran-jenis kelamin), termasuk di
antaranya stereotipe-stereotipe gender, sikap pemerintah dalam kaitan
antara kedua jenis kelamin dan status-status relatifnya, Segall, Dasen,
Berry, & Poortinga, dalam Wathani (2009).

A. Orientasi Peran Gender


Bem dalam Wathani (2009) menyatakan bahwa terdapat dua model orientasi
peran gender di dalam menjelaskan mengenai maskulintas dan feminitas, dalam
kaitannya dengan laki-laki dan perempuan, yaitu model tradisional dan model
non tradisional, Nauly (2003).
8

1. Model tradisional memandang feminitas dan maskulinitas sebagai suatu


dikotomi.

Model tradisonal menyebutkan bahwa maskulinitas dan feminitas


merupakan titiktitik yang berlawanan pada sebuah kontinum yang bipolar.
Pengukuran yang ditujukan untuk melihat maskulinitas dan feminitas
menyebabkan derajat yang tinggi dari maskulinitas yang menunjukkan derajat
yang rendah dari feminitas; begitu juga sebaliknya, derajat yang tinggi dari
feminitas menunjukkan derajat yang rendah dari maskulinitas (Nauly, 2003).
Menurut pandangan model tradisional ini, penyesuaian diri yang positif
dihubungkan dengan kesesuaian antara tipe peran gender dengan gender
seseorang. Seorang pria akan memiliki penyesuaian diri yang positif jika ia
menunjukkan maskulinitas yang tinggi dan feminitas yang rendah. Dan
sebaliknya, seorang wanita yang ,memiliki penyesuaian diri yang positif adalah
wanita yang menunjukkan feminitas yang tinggi serta maskulinitas yang rendah
(Nauly, 2003).

Model tradisional dengan pengukuran yang bersifat bipolar ini memiliki


konsekuensi, yaitu dimana individu-individu yang memiliki ciri-ciri
maskulinitas dan feminitas yang relatif seimbang tidak akan terukur, sehingga
menimbulkan reaksi dengan dikembangkannyamodel yang bersifat non
tradisional (Nauly, 2003). Model ini dapat digambarkan secara sederhana
melalui gambar di bawah ini yang menjelaskan konseptualisasi dari
maskulinitas-feminitas sebagai sebuah dimensi atau kontinum tunggal yang
memiliki ujung yang berlawanan.

Maskulinitas Feminitas

Gambar 0.2 model tradisional gender


9

2. Sedangkan pandangan nontradisonal menyatakan bahwa maskulinitas dan


feminitas lebih sesuai dikonseptualisasikan secara terpisah, dimana
masing-masing merupakan dimensi yang independen. Model yang kedua
ini memandang feminitas dan maskulinitas bukan merupakan sebuah
dikotomi, hal ini menyebabkan kemungkinan untuk adanya
pengelompokan yang lain, yaitu androgini, yaitu laki-laki atau perempuan
yang dapat memiliki ciriciri maskulinitas sekaligus ciri-ciri feminitas.
Model non tradisional ini dikembangkan sekitar tahun 1970-an oleh
sejumlah penulis, Bem (1974) dalam Wathani (2009) yang menyatakan
bahwa maskulinitas dan feminitas lebih sesuai dikonseptualisasikan secara
terpisah, karena masing-masing merupakan dimensi yang independen.
Model ini dapat dijelaskan secara sederhana melalui gambar di bawah ini.
Di sini dijelaskan bahwa konseptualisasi maskulinitas-feminitas
digambarkan sebagai dimensi yang terpisah.

Tipe feminitas Tipe Androgini

Maskulinitas Feminitas

Undifferentiated Tipe Maskulinitas

Gambar 0.3 Model non Tradisional

Berdasarkan model nontradisonal ini, terdapat semacam klasifikasi kepribadian


yang mulai banyak dibicarakan sebagai alternatif dari peran yang bertolak
belakang antara pria dan wanita, yaitu tipe androgini :
10

Maskulin

High Low
Feminim
High Androgini Feminim

Low Maskulin Undifferentiated

Table 0.1 : Pearson

2. Peran Gender Maskulinitas

teori tentang peran gender, dan teori tentang status yang disampaikan oleh Kate
Millett. Dari hasil analisis diketahui bahwa nilai-nilai femininitas yang dihadirkan
dalam Tiga Venus lebih banyak berpengaruh dalam kehidupan keluarga. Nilai-
nilai femininitas yang berkaitan dengan peran perempuan di ranah domestik
berpengaruh besar dalam menciptakan dan menjaga keharmonisan serta
ketentraman keluarga. Berbeda dengan femininitas, nilai-nilai maskulinitas justru
berpengaruh positif dalam kehidupan pribadi perempuan, yaitu dapat
meningkatkan status perempuan di masyarakat, memunculkan kebanggaan
pribadi, dan membuka peluang kepada perempuan untuk membuktikan bahwa ia
tidak tergantung kepada laki-laki dan mampu bersaing, terutama di ranah publik.
Selain hal di atas, dari hasil analisis juga diketahui bahwa temperament berupa
femininitas dan maskulinitas, peran gender, dan status perempuan, baik di ranah
domestik maupun di ranah publik, ternyata tidak lepas dari isu reproduksi. Isu
reproduksi menjadi alat yang dipakai oleh masyarakat patriarki untuk
mempertahankan kekuasaan dan dominasi kaum laki-laki, terutama terhadap
kaum perempuan. Patriarki dalam kehidupan pernikahan yang di dalamnya
terdapat pembagian kerja yang didasarkan pada fungsi reproduksi ternyata
berpengaruh dalam menekan temperament. Berdasarkan hasil analisis juga
11

diketahui bahwa setiap perempuan mempunyai kualitas femininitas dan


maskulinitas yang berbeda. (EKA SUSANTI, Dr. Juliasih K., S.U ).

Perbedaan tersebut berpengaruh dalam kehidupan setiap perempuan, baik di


ranah domestik maupun di ranah publik. Selain itu, femininitas dan maskulitas
setiap perempuan mempunyai pengaruh yang berbeda dalam kehidupan
perempuan lain sehingga untuk mengembangkan kualitas diri, setiap perempuan
dapat melihat dan berbagi pengalaman dengan perempuan lain. Terkait dengan hal
tersebut, kualitas femininitas dan maskulinitas dalam diri seorang perempuan
dipengaruhi oleh peran gender, relasi gender, dan pengalaman masa lalu.

Adapun pengertian dari masing-masing peran gender maskulin, feminin dan


androgini adalah sebagai berikut:

a. Peran Gender Maskulinitas Maskulin


Peran gender maskulinitas adalah ciri-ciri yang berkaitan dengan gender
yang lebihumum terdapat pada laki-laki, atau suatu peran atau trait maskulin
yang dibentuk oleh budaya. Dengan demikian maskulin adalah sifat yang
dipercaya dan dibentuk oleh budaya sebagai ciri-ciri yang ideal bagi laki-laki
(Nauly, 2003). Misalnya, asertif dan dominan dianggap sebagai trait
maskulin.
b. Peran Gender Feminitas
Peran Gender feminitas adalah ciri-ciri atau trait yang lebih sering atau
umum terdapat pada perempuan daripada lakilaki. Ketika dikombinasikan
dengan “stereotipikal”, maka ia mengacu ada trait yang diyakini lebih
berkaitan pada perempuan daripada laki-laki secara kultural pada budaya atau
subkultur tertentu. Berarti, feminin merupakan ciri-ciri atau trait yang
dipercaya dan dibentuk oleh budaya sebagai ideal bagi perempuan, Nauly
(2003).
c. Androgini
Sealin pemikiran tentang maskulinitas dan feminitas sebagai berada dalam
suatu garis kontinum, dimana lebih pada satu dimensi berarti kurang pada
dimensi yang lain, ada yang menyatakan bahwa individu-individu dapat
menunjukkan sikap ekspresif dan instrumental. Pemikiran ini memicu
perkembangan konsep androgini. Androgini adalah tingginya kehadiran
karakteristik maskulin dan feminin yang diinginkan pada satu individu pada
saat bersamaan, Bem; Spence & Helmrich, dalam Santrock, (2003) dalam
Wathani (2009). Individu yang androgini adalah seorang laki-laki yang asertif
(sifat maskulin) dan mengasihi (sifat feminin), atau seorang perempuan yang
12

dominan (sifat maskulin) dan sensitif terhadap perasaan orang lain (sifat
feminin).
Beberapa penelitian menemukan bahwa androgini berhubungan dengan
berbagai atribut yang sifatnya positif, seperti self-esteem yang tinggi,
kecemasan rendah kreatifitas, kemampuan parenting yang efektif (Bem,
Spence & Helmrich, dalam Hughes & Noppe, 1985 dalam Wathani 2009). d.
Undifferentiated Merupakan keadaan laki-laki atau perempuan dengan skor
maskulinitas dan feminitas rendah, sehingga tidak muncul kecenderungan
maskulinitas maupun sisi femininnya. Basow (1992).

1. Karakteristik Maskulin dan Karakteristik Feminin

Identitas peran gender terwujud dalam maskulin dan feminitas seseorang.


Maskulin mengacu pada konstelasi karakter-karakter yang dianggap sesuai dan
relevan dalam sebuah masyarakat dalam waktu tertentu, maskulin bagi laki-laki
dan feminin bagi perempuan. Salah satu pendekatan tentang hal ini yaitu bahwa
dikotomi karakteristik maskulin disebut dengan konsep instrumental. Instrumental
merupakan koordinasi dan adaptasi sistem kebutuhan kelompok dengan dunia
luar, mengandung orientasi tujuan dan kepekaan terhadap respon orang lain dari
perilaku seseorang, keterampilan yang diperlukan untuk fungsi instrumental
adalah karakteristik kemandirian dan mengandalkan diri sendiri. Sedangkan
dikotomi karakteristik feminitas merupakan konsep ekspresif. Ekspresif meliputi
pertahanan, regulasi kebutuhan emosional kelompok dan interaksi di dalamnya.
Ekspresif ialah sensitifitas terhadap respon orang lain dan peduli dengan
hubungan interpersonal. Keterampilan yang diperlukan untuk fungsi ekspresif
meliputi ekspresi pengasuhan dan emosional menurut Burns (1993)

memandang prinsip-prinsip kelaki-lakian dan kewanitaan masing-masing


terpisah sama pentingnya. Masing-masing orang mengandung unsur-unsur dari
kedua prinsip tersebut. Prinsip kelaki-lakian yang terungkap secara sadar pada
pria, tapi pada wanita hanya terungkap secara tidak sadar hal ini disebut dengan
animus. Sedangkan yang termasuk dalam prinsip kewanitaan yang terungkap
secara sadar pada kaum wanita, tetapi secara tidak sadar pada pria dan hal ini
disebut sebagai anima. Prinsip kelaki-lakian dan kewanitaan sebagaimana yang
tampak pada pria dan wanita mengacu pada sifat kesadaran yang dipunyai oleh
pria dan wanita. Segi-segi prinsip kelaki-lakian dan kewanitaan selanjutnya
susunannya pada individu tergantung pada faktor-faktor budaya dan psikologis
selama masa pertumbuhan Jung (1988) .

Dalam hubungannya dengan perilaku manusia hal ini berarti bahwa pria
cenderung analitis, merinci segala sesuatu untuk memeriksa bagian-bagian secara
13

teliti. Wanita memiliki gaya yang lebih menyeluruh dan lebih berorientasi pada
situasi. Bem (1974) mengungkapkan bahwa terdapat enam puluh sifat yang
dimiliki individu sebagai identitas gender mereka. Keenam puluh sifat tersebut
diambil berdasarkan karakteristik sifat yang mengacu pada, dimana keenam puluh
sifat ini terbagi menjadi tiga kategori karakteristik sifat yaitu sifat maskulin, sifat
feminin dan sifat netral. Sifat netral adalah sifat-sifat yang tidak terasosiasi dalam
sifat gender maskulin dan feminin. Dalam instrumen Bem tersebut sifat netral
digunakan untuk mengurangi kesan perbedaan karakteristik maskulin dan feminin
agar tidak terlalu mencolok Bem Sex Role Inventory (1974)

Pembagian Sifat Maskulin, Feminin dan Netral dalam BSRI

Maskulin Feminin Netral

Act as a leader Affectionate (Penyayang) Adaptable (Mudah


(Berperan sebagai Beradaptasi)
pemimpin)

Aggressive (Agresif) Cheerful (Periang) Concited (Sombong)

Ambitious (Ambisius) Childlike Conscientious (Teliti)


(Kekanakkanakan)

Analytical (Analitis) Compassionate (Mudah Conventional(Berfikir


terharu) Tradisional)

Assertive (Tegas) Does not use harsh Friendly (Ramah)


language (Berkata sopan)

Athletic (Atletis) Eager to soothe hurt Happy (Bahagia)


feelings (Suka menghibur)

Table 0.2

Feminine atau feminitas, merujuk pada sifat yang menunjukkan sifat


keperempuanan. Seperti: kelembutan, kesabaran, kebaikan, merawat, empati
dll. Sedangkan maskulin berasal dari kata muscle atau otot yaitu sifat-sifat yang
hanya mendasarkan pada kekuatan otot (fisik).

Karakter maskulin ini dicirikan dengan kecenderungan kompetitif, aktualisasi


diri, dan unjuk kekuatan. Sifat feminin dan maskulin ini dimiliki semua orang,
laki laki maupun perempuan. Seseorang yang hanya berkembang sifat
maskulinnya saja akan melihat orang lain bukan sebagai partner melainkan
14

pesaing bagi kepentingannya ataupun dianggap akan melunturkan rasa “harga


diri” nya ketika orang lain memiliki pandangan yang berbeda dengannya.

Maskulinitas (disebut juga kejantanan) adalah sejumlah atribut, perilaku, dan


peran yang terkait dengan anak laki-laki dan pria dewasa. Maskulinitas
didefinisikan secara sosial dan diciptakan secara biologis. Sifat maskulin
berbeda dengan jenis kelamin.[4][5] baik laki-laki maupun perempuan dapat
bersifat maskulin. Ciri-ciri yang melekat pada istilah maskulin adalah
keberanian, kemandirian dan ketegasan. ciri-ciri ini bervariasi dan dipengaruhi
oleh faktor sosial dan budaya. Karakteristik maskulin biasanya terdapat pada
anak laki-laki maupun pria dewasa. Pada laki-laki sering kali dibuat
perbandingan mengenai pria sangat maskulin, maskulin maupun tidak
maskulin. 

Konsep maskulinitas cukup bervariasi. Tergantung sejarah dan budayanya.


Pada abad ke 19, seseorang yang suka berdandan baik pria maupun wanita
dipandang bersifat masukin namun dalam standar modern disebut
feminim. Ronald F. Levant dalam bukunya Masculinity
Reconstructed menjelaskan bahwa terdapat sifat-sifat khas pada seseorang yang
dianggap maskulin diantaranya menghindari sifat kewanitaan, membatasi
emosi, ambisius, mandiri, kuat dan agresif. Sifat-sifat ini memperkuat peran
gender yang dikelompokkan menurut jenis kelamin pria maupun wanita karena

sebagian besar pria bersifat maskulin. Sebaliknya, sebagian besar wanita


bersifat feminim.
Gambar 0.4 Feminim
15

berbagai penelitian tentang maskulinitas dan pada akhirnya bidang ini berke
mbang lebih luas. Lahirnya teori-teori diskriminasi sosial, konstruksi sosial dan
perbedaan gender merupakan perkembangan dari bidang studi ini.
Namun perlu dicatat bahwa maskulinitas dan feminimitas bukanlah konsep d
engan dimensi kategori tunggal. Ada berbagai bentuk maskulinitas dan feminim
itas. Artinya konsep tersebut bervariasi antar masyarakat, kelas sosial, maupun t
ingkat peradaban. Dengan kata lain Maskulinitas dan Feminimitas adalah suatu
konstruksi sosial yang dapat diberi makna yang berbeda oleh setiap masyarakat.
Dengan menyadari maskulinitas sebagai konsep yang multi dimensi, terbuka ru
ang bagi kita untuk melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi konsep tersebut.
Laki-laki dan perempuan dapat menunjukkan ciri-ciri dan perilaku maskulin. Or
ang-orang yang mencampurkan karakteristik maskulin dan feminin dalam dirin
ya dianggap androgini.
Pada masa lalu, klasifikasi gender secara umum hanya maskulin dan feminin. N
amun dengan munculnya kajian androgini, para ahli feminisme berpendapat bah
wa defenisi gender tersebut telah mengaburkan klasifikasi gender.

3. Kekuasaan
Kekuasaan dan Pengambilan Keputusan Mempunyai akses ke dan kontrol
yang lebih besar atas sumber daya biasanya membuat laki-laki lebih berkuasa
daripada perempuan dalam kelompok sosial manapun. Hal ini dapat menjadi
kekuasaan kekuatan fisik, pengetahuan dan keterlampilan, kekayaan dan
pendapatan, atau kekuasaan untuk mengambil keputusan karena merekalah
yang memegang otoritas. Laki-laki kerap kali memiliki kekuasaan yang lebih
besar dalam membuat keputusan atas reproduksi dan seksualitas. Kekuasaan
laki-laki dan kontrol atas sumber daya dan keputusan diinstitusionalkan melalui
undang-undang dan kebijakan negara, serta melalui aturan dan peraturan
institusi sosial yang formal.
Hukum di berbagai negara di dunia memberi peluang kendali yang lebih
besar kepada laki-laki atas kekayaan dan hak dalam perkawinan, serta atas
anak-anak. Selama berabad-abad, lembaga keagamaan mengingkari hak
perempuan untuk menjadi lembaga keagamaan mengingkari hak perempuan
untuk menjadi pemimpin agama, dan sekolah sering kali bersikukuh bahwa
ayah si anak lah yang menjadi wali resmi, bukan sang ibu.
16

4. Konteks Sosial Politik Gender dalam Siklus Reproduksi


Sex adalah perbedaan secara biologis antara laki-laki dan perempuan-
perbedaan dalam sistem reproduksi seperti organ kelamin (penis, testis, dengan
vagina, rahim, dan payudara), hormon yang dominan dalam tubuh (estrogen
dengan testosteron), kemampuan untuk memproduksi sperma atau ovarium
(telur), kemampuan untuk melahirkan dan menyusui (IPAS, 2001).
Gender mengacu pada kesempatan dan atribut ekonomi, sosial dan kultural
yang diasosiasikan dengan peran laki-laki dan perempuan dalam situasi sosial
pada saat tertentu. Konstruksi sosial tentang seksualitas mengacu pada proses
pemikiran seksual, perilaku dan kondisi (misalnya keperawanan) yang
diinterpretasikan dan diberi makna konstruksi sosial ini mencakup keyakinan
kolektif dan individu tentang karakteristik tubuh, tentang apa yang dianggap
erotis atau menjijikan, serta hal apa dan dengan siapa sepantasnya laki-laki dan
perempuan melakukan atau berbicara tentang seksualitas.
Di beberapa budaya tertentu, ideologi  seksualitas menekan pada perlawanan
perempuan, agresi laki-laki, saling melawan atau menentang dalam aktivitas
seksual; dalam kebudayaan lain, penekanannya adalah saling bertukar
kesenangan.
Konstruksi sosial seksualitas menjelaskan bahwa tubuh laki-laki dan
perempuan memainkan peranan penting dalam seksualitas mereka. Konstruksi
sosial seksualitas juga melihat dengan seksama konteks historis khusus dan
budaya untuk memahami bagaimana pemikiran khusus dan keyakinan tentang
seksualitas dibentuk, disetujui, dan diadaptasi.
1. Pembagian pekerjaan berbasis Gender
Dalam masyarakat, perempuan dan laki-laki melakukan aktivitas yang
berbeda, walaupun karakteristik dan cakupan aktivitas tersebut berbeda
melintasi kelas dan komunitas. Aktivitas tersebut juga boleh berubah
sepanjang waktu. Perempuan biasanya bertanggung jawab dalam perawatan
17

anak dan pekerjaan rumah tangga atau sering disebut peran reproduksi, tetapi
mereka juga terlibat dalam produksi barang-barang untuk konsumsi rumah
tangga atau pasar atau yang dikenal dengan peran produktif. Laki-laki
biasanya bertanggung jawab memenuhi kebutuhan rumah tangga, makanan,
minuma dan sumber daya terutama peran produktif.
2. Peran Gender dan Norma
Dalam masyarakat, laki-laki dan perempuan diharapkan untuk berperilaku
sesuai dengan norma dan peran maskulin dan feminin. Mereka harus
berpakaian dengan cara yang berbeda, tertarik kepada isu atau topik yang
berbeda, tertarik kepada isu dan topik yang berbeda dan memiliki respon
yang tidak sama dalam segala situasi. Ada persepsi yang disepakati bersama
bahwa apa yang dilakukan oleh laki-laki baik dan lebih bernilai daripada
yang dilakukan perempuan.
Dampak dari peran gender yang dibentuk secara sosial. Perempuan
diharapkan membuat diri mereka menarik dari laki-laki, tetapi bersikap agak
pasif, menjaga keperewanan, tidak pernah memulai aktivitas seksual dan
melindungi diri dari hasrat seksual laki-laki yang tidak terkendali. Dalam
masyarakat tertentu, hal ini terjadi karena perempuan dianggap memiliki
dorongan seksual yang lebih rendah. Dalam masyarakat lain, cara perempuan
dikendalikan adalah berdasarkan pemikiran bahwa perempuan memiliki
dorongan seksual dan secara alami tidak dapat setia pada satu pasangan.
3. Kekuasaan dan Pengambilan Keputusan
Mempunyai akses ke dan kontrol yang lebih besar atas sumber daya
biasanya membuat laki-laki lebih berkuasa daripada perempuan dalam
kelompok sosial manapun. Hal ini dapat menjadi kekuasaan kekuatan fisik,
pengetahuan dan keterlampilan, kekayaan dan pendapatan, atau kekuasaan
untuk mengambil keputusan karena merekalah yang memegang otoritas.
Laki-laki kerap kali memiliki kekuasaan yang lebih besar dalam membuat
keputusan atas reproduksi dan seksualitas. Kekuasaan laki-laki dan kontrol
atas sumber daya dan keputusan diinstitusionalkan melalui undang-undang
dan kebijakan negara, serta melalui aturan dan peraturan institusi sosial yang
18

formal.
Hukum di berbagai negara di dunia memberi peluang kendali yang lebih
besar kepada laki-laki atas kekayaan dan hak dalam perkawinan, serta atas
anak-anak. Selama berabad-abad, lembaga keagamaan mengingkari hak
perempuan untuk menjadi lembaga keagamaan mengingkari hak perempuan
untuk menjadi pemimpin agama, dan sekolah sering kali bersikukuh bahwa
ayah si anak lah yang menjadi wali resmi, bukan sang ibu.
4.  Akses ke dan kontrol atas Sumber Daya
Perempuan dan laki-laki mempunyai akses ke dan kontrol yang tidak setara
atas sumber daya. Ketidaksetaraan ini merugikan perempuan.
Ketidaksetaraan berbasis gender dalam hubungannya dengan akses ke dan
kontrol atas sumber daya terjadi dalam kelas sosial, ras, atau kasta. Tetapi,
perempuan dan laki-laki dari raskelas sosial tertentu dapat saja memiliki
kekuasaan yang lebih besar dari laki-laki yang berasal dari kelas sosial yang
rendah.
   Akses adalah kemampuan memanfaatkan sumber daya.
  Kontrol adalah kemampuan untuk mendefinisikan dan mengambil
keputusan tentang kegunaan sumber daya.
Contohnya, perempuan dapat memiliki akses ke pelayanan kesehatan,
tetapi tidak memiliki kendali atas pelayanan apa saja yang tersedia dan kapan
menggunakan pelayanan tersebut. Contoh lain yang lebih umum adalah
perempuan memiliki akses untuk memiliki pendapatan atau harta benda,
tetapi tidak mempunyai kendali atas bagaiman pendapatan tersebut
dihabiskan atau bagaiman harta tersebut digunakan.
Perempuan memiliki akses dan kendali yang kurang atas banyak jenis
sumber daya yang berbeda.
Sumber daya ekonomi
 Pekerjaan, kredit, uang, makanan, keamanan sosial, asuransi kesehatan,
fasilitas perawatan anak, perumahan, fasilitas untuk melaksanakan tugas
sosial, transportasi, perlengkapan pelayanan kesehatan, teknologi dan
perkembangan ilmiah.
19

5. Kekuasaan dan Pengambilan Keputusan


Mempunyai akses ke dan kontrol yang lebih besar atas sumber daya
biasanya membuat laki-laki lebih berkuasa daripada perempuan dalam
kelompok sosial manapun. Hal ini dapat menjadi kekuasaan kekuatan fisik,
pengetahuan dan ketrampilan, kekayaan dan pendapatan, atau kekuasaan
untuk mengambil keputusan karena merekalah memegang otoritas. Laki-laki
kerap kali memiliki kekuasaan yang lebih besar dalam membuat keputusan
atas reproduksi dan seksualitas. Kekuasaan laki-laki dan kontrol atas sumber
daya dan keputusan diinstitusionalkan melalui undang-undang dan kebijakan
negara, serta melalui aturan dan peraturan institusi sosial yang formal.
Hukum di berbagai negara di dunia memberi peluang kendali yang lebih
besar kepada laki-laki atas kekayaan dan hak dalam perkawinan, serta atas
anak-anak. Selama berabad-abad, lembaga keagamaan mengingkari hak
perempuan untuk menjadi pemimpin agama, dan sekolah seringkali
bersikukuh bahwa ayah si anak lah yang menjadi wali resmi, bukan sang ibu.

A. Perbedaan Seks dan Gender


Adanya aturan ini menegaskan laki-laki dan perempuan mempunyai perbedaan
tugas.Perbedaan Seks dan Gender:
SEKS GENDER
Secara biologis, kita telah memilikinya Kita belum memilikinya pada saat lahir.
sejak lahir, yang selalu tidak berubah. Gender dibangun dari proses sosial,
Contoh: merupakan perilaku yang dipelajari dan
        Hanya perempuan yang bisa ditanamkan, dan bisa diubah.
melahirkan. Contoh:
        Hanya laki-laki yang memproduksi 1.               Perempuan hanya tinggal di
sperma. rumah dan mengurus anak,tetapi laki-
laki dapat pula tinggal di rumah dan
mengurus anak seperti halnya
perempuan.
2.               Salah satu jenis pekerjaan bagi
20

laki-laki adalah sopir taksi, tetapi


perempuan bisa juga mengemudi taksi
sebaik yang dilakukan oleh laki-laki.

B. Peran Gender ekonomi dan sosial


Peran ekonomi dan sosial yang dianggap sesuai untuk perempuan dan laki-laki.
Laki-laki biasanya diidentifikasi dengan peran produktif, sementara perempuan
mempunyai tiga peran: tanggung jawab domestik, pekerjaan produktif dan
kegiatan di masyarakatyang biasanya dilakukan secara stimultan. Peran dan
tanggung jawab gender berbeda antara satu budaya dengan budaya lainnya dan
dapat berubah sepanjang waktu. Hampir di semua masyarakat peran perempuan
cenderung tidak dihargai.
C. Hubungan Jenis Kelamin, Gender dan Kesehatan
Pola kesehatan dan penyakit pada laki-laki dan perempuan menunjukkan
perbedaan yang nyata. Perempuan sebagai kelompok cenderung mempunyai
angka harapan hidup yang lebih panjang daripada laki-laki, yang secara umum
dianggap sebagai faktor biologis. Namun dalam kehidupannya perempuan lebih
mengalami banyak kesakitan dan tekanan daripada laki-laki. Walaupun faktor
yang melatar-belakanginya berbeda-beda pada berbagai kelompok sosial, hal
tersebut, menggambarkan bahwa dalam menjalani kehidupannya perempuan
kurang sehat dibandingkan laki-laki.
Penjelasan terhadap paradoks ini berakar pada hubungan yang kompleks antara
faktor biologis jenis kelamin dan sosial (gender) yang berpengaruh terhadap
kesehatan. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa berbagai penyakit menyerang
laki-laki dan perempuan pada usia yang berbeda, misalnya penyakit
kardiovaskuler ditemukan pada usia yang lebih tua pada perempuan dibandingkan
laki-laki.
Beberapa penyakit, misalnya anemia, gangguan makan dan gangguan pada otot
serta tulang lebih banyak ditemukan pada perempuan daripada laki-laki. Berbagai
penyakit atau gangguan kesehatan yang berkaitan dengan kehamilan dan kanker
21

serviks; sementara itu hanya laki-laki yang dapat terkena kanker prostat. Kapasitas
perempuan untuk hamil dan melahirkan menunjukkan bahwa mereka memerlukan
pelayanan kesehatan reproduksi yang berbeda, baik dalam keadaan sakit maupun
sehat. Perempuan memerlukan kemampuan untuk mengendalikan fertilitas dan
melahirkan dengan selamat, sehingga akses terhadap pelayanan kesehatan
reproduksi yang berkualitas sepanjang siklus hidupnya sangat menentukan
kesejahteraan dirinya.
Kombinasi antara faktor jenis kelamin dan peran gender dalam kehidupan
sosial, ekonomi dan budaya seseorang dapat meningkatkan resiko terhadap
terjadinya beberapa penyakit, sementara di sisi lain memberikan perlindungan
terhadap penyakit lainnya. Perbedaan yang timbul dapat berupa keadaan sebagai
berikut:
1.         Perjalanan penyakit pada laki-laki dan perempuan.
2.         Sikap laki-laki dan perempuan dalam menghadapi suatu penyakit.
3.         Sikap masyarakat terhadap laki-laki dan perempuan yang sakit.
4.         Sikap laki-laki dan perempuan terhadap pengobatan dan akses pelayanan
kesehatan.
5.         Sikap petugas kesehatan dalam memperlakukan laki-laki dan perempuan.
Sebagai contoh, respon terhadap epidemi HIV/AIDS dimulai dengan pemberian
fokus pada kelompok resiko tinggi, termasuk pekerja seks komersial. Laki-laki
menggunakan kondom. Laki-laki dianjurkan untuk menjauhi pekerja seks
komersial atau memakai kondom Secara bertahap, fokus beralih pada perilaku
resiko tinggi, yang kemudian menekankan pentingnya laki-laki menggunakan
kondom.
Hal ini menghindari isu gender dalam hubungan seksual, karena perempuan
tidak menggunakan kondom tetapi bernegosiasi untuk penggunaannya oleh laki-
laki. Dimensi gender tersebut tidak dibahas, sampai pada saat jumlah ibu rumah
tangga biasa yang tertular penyakit menjadi banyak.
Dewasa ini, kerapuhan perempuan untuk tertular HIV/AIDS dianggap sebagai
akibat dari ketidaktahuan dan kurangnya akses terhadap informasi.
Ketergantungan ekonomi dan hubungan seksual yang dilakukan atas dasar
22

pemaksaan.
Terjadinya tindak kekerasan pada umumnya berkaitan dengan gender. Secara
umum pelaku kekerasan biasanya laki-laki, yang merefleksikan keinginan untuk
menunjukkan maskulinitas, dominasi, serta memaksakan kekuasaan dan
kendalinya terhadap perempuan, seperti terlihat pada kekerasan dalam rumah
tangga (domestik). Karena itu kekerasan terhadap perempuan sering disebut
sebagai “kekerasan berbasis gender”.

Akibat Kekerasan Berbasis Gender Terhadap Kesehatan

AKIBAT NONFATAL AKIBAT NONFATAL- AKIBAT FATAL


– FISIK MENTAL
Trauma fisik Stres HIV/AIDS
Nyeri kepala Depresi Bunuh diri
Gangguan saluran Cemas Pembunuhan
pencernaan
Dll.

1. Pengarustamaan Kesetaraan Gender Di Institusi Dan Hubungan Gender


Dengan Kesehatan
Pengarustamaan gender mengacu pada integrasi peduli gender dalam analisis,
formulasi dan pengawasan kebijakan, program dan proyek serta dalam organisasi
yang bertujuan untuk menyampaikan ketidakadilan gender dan ketidaksetaraan
antara laki-laki dan perempuan.
Kebutuhan praktis berbasis gender merupakan kebutuhan yang bersifat dasar
dan segera sering kali berkaitan dengan ketidaklayakan kondisi hidup, perawatan
kesehatan dan pekerjaan seperti pusat kesehatan, memastikan persediaan air
bersih dan menyediakan konsultasi keluarga berencana. Pemusatan terhadap
kebutuhan ini tidak merubah posisi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat.
Kebutuhan strategis berbasis gender berhubungan dengan pembagian gender
dalam bidang pekerjaan, kekuasaan dan pengawasan dan boleh jadi meliputi isu
23

sepertihak-hak hukum, kekerasan domestik , akses ke sumber daya, upah yang


adil dan kontrol perempuan atas tubuhnya. Pemusatan terhadap kebutuhan ini
membantu perempuan mencapai kesetaraan yang lebih baik dan menolak untuk
berada di bawah laki-laki.
Pengarustamaan bukanlah aktivitas yang singkat, tetapi merupakan proses yang
terus menerus. Hal ini berarti bahwa isu ketidaksetaraan gender disampaikan atau
diintegrasikan dalam setiap aspek struktur organisasi dan program daripada
sebagai aktivitas tambahan. Pengurustamaan gender aspek penting (WHO 2001)
yaitu (1) distribusi yang adil oleh laki-laki dan perempuan, kesempatan  dan
keuntungan dari proses pembangunan pengurustamaan (2) termasuk pengalaman
yang menarik dan visi perempuan dan laki-laki dalam menentukan permulaan
pembangunan, kebijakan, dan program serta menentukan agenda keseluruhan.
Dalam pengurustamaan gender, kebutuhan strategis dan praktis berbasis gender
perempuan sebaiknya dipertimbangkan. Kebutuhan praktis berbasis gender
merupakan kebutuhan yang bersifat dasar dan segera serta sering kali berkaitan
dengan ketidaklayakan kondisi hidup, perawatan kesehatan dan pekerjaan seperti
perbaikan pusat kesehatan, memastikan persediaan air bersih dan menyediakan
konsultasi keluarga berencana. Pemusatan terhadap kebutuhan ini tidak merubah
posisi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat.
Kebutuhan strategis berbasis gender berhubungan dengan pembagian gender
dalam bidang pekerjaan, kekuasaan, dan pengawasan dan boleh jadi meliputi isu
seperti hak-hak hukum, kekerasan domestik, akses ke sumber daya, upah yang
adil dan kontrol perempuan atas tubuhnya. Pemusatan terhadap kebutuhan ini
membantu perempuan mencapai kesetaraan yang lebih baik dan menolak untuk
berada dibawah laki-laki.

2. Hubungan antara Gender dan Kesehatan


Dalam masyarakat, perempuan dan laki-laki berbeda karena tugas dan
aktivitasnya, ruang fisik yang mereka tempati dan orang-orang yang
berhubungan dengan mereka. Namun, perempuan memiliki akses ked an
control yang kurang atas sumber daya daripada laki-laki, khususnya akses ke
24

pendidikan dan fasilitas pelatihan yang terbatas.


Konsep analisis gender penting sekali di bidang kesehatan karena perbedaan
berbasis gender daalam peran dan tanggung jawab, pembagian pekerjaan, akses
ked an control atas sumber daya, dalam kekuasaan dan keputusan mempunyai
konsekuensi maskulinitas dan feminitas yang berbeda berdasarkan budaya, suku
dan kelas social. Sangat penting memilikin pemahaman yang baik tentang
konsep dan mengetahui karakteristik kelompok perempuan dan laki-laki yang
berhubungan dengan proses pembangunan.
Pada status kesehatan perempuan dan laki-laki. Konsekuensi boleh jadi
meliputi: “risiko yang berbeda dan kerawanan terhadap infeksi dan kondisi
kesehatan,” mebuat banyaknya pendapat tentang kebutuhan kesehatan tindakan
yang tepat, akses yang berbeda ke layanan kesehatan, yang diakibatkan oleh
penyakit dan konsekuensi social yang berbeda dari penyakit dan kesehatan.
WHO (2001) telah membuat daftar cara bagaimana dampak gender terhadap
status kesehatan:
  Pembongkaran, risiko atau kerawanan
  Sifat dasar, kekerasan dan frekuensi masalah kesehatan yang gejalanya
dapat dirasakan
  Perilaku mencari kesehatan
  Akses ke layanan kesehatan
  Konsekuensi social jangka panjang dan konsekuensi kesehatan

D. Seks, gender dan tindakan yang disarankan


Untuk memahami bagaimana seks dan gender dikaitkan dengan kesehatan,
perlu sekali meneliti kasus tentang tuberculosis.
Gender dan tuberculosis
Secara global, 8,4 juta penduduk diperkirakan mengidap penyakit tuberculosis
setiap tahun dan hamper 2 juta kematian penduduk disebabkan oleh penyakit ini.
Secara umum, sepertiga penduduk dunia saat ini terinfeksi oleh kuman
tuberculosis, lebih dari 90 persen terjadi di Negara berkembang.
Kebanyakan yang terinfeksi tuberculosis adalah penduduk miskin dari Negara
25

miskin. Mereka tidah hanya rentan terhadap penyakit ini karena kehidupan dan
kondisi kerja mereka, tetapi mereka juga terpuruk dalam kemiskinan akibat
tuberculosis. Orang yang mengidap TB kehilangan 20 sampai 30 persen
pendapatan rumah tangga pertahun karena penyakit ini.
Situasi ini memerlukan tindakan yang cepat untuk meberantas epidemic ini.
Meneliti dimensu gender pada TB penting sekali untuk mengatasi hambatan yang
ditemukan dalam pencegahan yang efektif, cakupan dan tindakan untuk
membasmi tuberculosis.
Timbulnya tuberculosis dan prevalensinya lebih tingggi pada laki-laki dewasa.
Di berbagai tempat, tingkat timbulnya tuberculosis lebih tinggi pada laki-laki
disegala usia kecuali pada masa kanak-kanak, ketika mereka lebih tinggi dari
perempuan. Hasil penelitian menyatakan bahwa perbedaan jenis kelamin dalam
tingkat prevalensi mulai muncul pada usia 10 dan 16 tahun dan semakin tinggi
pada laki-laki daripada perempuan. Penyebab timbulnya dan prevalensi yang
tinggi pada laki-laki adalah minimalnya pemahaman dan penelitian lebih lanjut
untuk mengidentifikasi faktor-faktor risiko yang berhubungan.
Laporan tentang tingkat timbulnya TB boleh jadi di bawah gambaran
perempuan. Norma penyaringan yang standar dapat menyebabkan lebih banyak
perempuan yang mengidap TB tidak terdeteksi daripada laki-laki. Gejala yang
muncul pada perempuan tidak seperti pada laki-laki yaitu batuk, mengeluarkan
dahak, atau hasil tes yang positif pada mikroskopi dahak.
Tingkat pemberitahuan yang rendah boleh jadi merupakan konsekuensi dari
proporsi perempuan yang lebih kecil daripada laki-laki dalam kunjungan ke
fasilitas kesehatan dan pemberian contoh dahak untuk diperiksa.
Ada beberapa perbedaan seks dalam perkembangan dan akibat tuberculosis.
Sekali terinfeksi TB, perempuan di usia produktif lebih mudah jatuh sakit
daripada laki-laki dan juga meninggal karena TB tersebut. Pada perempuan hamil,
perbedaan ini belum terbukti.
Daya tahan tubuh orang muda yang terinfeksi HIV dan terkena tuberculosis
dapat melemah dan orang yang menderita HIV positif dan menderita tuberculosis
penyakitnya akan menjadi lebih aktif dibandingkan dengan orang terinfeksi TB
26

tetapi tidak mengidap HIV. Karena perempuan yang lebih muda lebih beresiko
terkena HIV daripada laki-laki di usia yang sama, dibeberapa bagian di Afrika
yang banyak ditemukan HIV, perempuan yang menderita TB lebih banyak
daripada laki-laki.
Tuberculosis yang diidap oleh perempuan hamil dapat mengakibatkan buruknya
kehamilan. Studi kasus di Meksiko dan India menyatakan bahwa TB paru-paru
pada ibu meningkatkan risiko kelahiran premature dan bayi yang lahir dengan
berat yang rendah menjadi dua kali lipat dan risiko kematian menjelang atau satu
bulan setelah kelahiran bayi meningkat antara tiga sampai enam kali lipat.
Perempuan hamil yang menderita tuberculosis paru-paru, tetapi terlambat di
diagnosa penyakit yang berkaitan dengan kandungan meningkat menjadi enam
kali lipat, menurut ulasan terakhir pada tuberculosis dan kehamilan. Ulasan
tersebut juga melaporkan risiko lain, yakni keguguran, toksemi dan komplikasi
pada proses persalinan.

E. Ketidaksetaraan Gender dalam Kesehatan


Status perempuan begitu rendah karena akibat ketidaksetaraan gender yang
dibiarkan terus berlangsung. Dengan potret buram yang sudah dijelaskan
sebelumnya, perhatian yang lebih besar mestinya diberikan kepada perempuan.
Bukan berarti laki-laki terlupakan. Tetapi perhatian terhadap perempuan menjadi
lebih utama sebab perempuan sedemikian tertinggalnya dan teramat lama
terabaikan nasibnya.
Berikut ini beberapa contoh pengaruh ketidaksetaraan gender terhadap
kesehatan baik laki-laki maupun perempuan sejak lahir hingga lanjut usia.

NO KETIDAKSETARAAN KETIDAKSETARAAN
GENDER (PEREMPUAN) GENDER (LAKI-LAKI)
1 Rata-rata perempuan di pedesaan Laki-laki bekerja 20% lebih
bekerja 20% lebih lama daripada pendek.
laki-laki.
2 Perempuan mempunyai akses Laki-laki menikmati akses sumber
27

yang terbatas terhadap daya ekonomi yang lebih besar.


sumberdaya ekonomi.
3 Perempuan tidak mempunyai Laki-laki mempunyai akses yang
akses yang setara terhadap lebih baik terhadap sumberdaya
sumberdaya pendidikan dan pendidikan dan pelatihan.
pelatihan.

4 Perempuan tidak mempunyai Laki-laki mempunyai akses yang


akses yang setara terhadap mudah terhadap kekuasaan dan
kekuasaan dan pengambilan pengambilan keputusan di semua
keputusan disemua lapisan lapisan masyarakat.
masyarakat.
5 Perempuan menderita dan Laki-laki tidak mengalami tingkat
mengalami kekerasan dalam kekerasan yang sama dengan
rumah tangga dengan kadar yang perempuan.
sangat tinggi.

Kesetaraan gender dalam hak, yaitu adanya kesetaraan hak dalam peran
dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan dalam bidang kesehatan.
 Kesetaraan hak dalam rumah tangga yaitu perempuan dan laki-laki
mempunyai hak yang sama dalam kesehatan, misalnya menentukan jumlah
anak, jenis persalinan, pemilihan alat kontrasepsi, dll.
 Kesetaraan hak dalam ekonomi/keuangan yaitu perempuan dan laki-laki
mempunyai hak yang sama dalam memilih alat kontrasepsi.

 Kesetaraan hak dalam masyarakat yaitu adanya budaya di beberapa daerah
yang mengharuskan masyarakat mengikuti budaya tersebut sehingga tidak
terjadi kesehatan yang responsif gender. Selain itu, perempuan dan laki-laki
mempunyai hak yang sama dalam berpolitik dan dalam pengambilan
keputusan.
 Kesetaraan gender dalam sumber daya, yaitu adanya kewenangan dalam
28

penggunaan sumber daya terhadap kesehatan.


 Di tingkat rumah tangga,  perempuan dan laki-laki mempunyai alokasi yang
sama untuk mengakses pelayanan kesehatan.
 Di tingkat ekonomi, perempuan dan laki-laki mempunyai kemampuan yang
sama untuk membelanjakan uang untuk keperluan kesehatan. Selain itu, 
perempuan dan laki-laki mempunyai kesempatan yang sama dalam
membelanjakan pendapatannya untuk kesehatan.
 Di tingkat masyarakat, tidak tersedianya sarana dan pra-sarana publik yang
responsif gender,  seperti tidak adanya tempat untuk menyusui, tempat ganti
popok bayi.
 Kesetaraan gender dalam menyuarakan pendapat, yaitu ekspresi terhadap
kebutuhan akan kesehatan dan laki-laki tidak lagi mendominasi pendapat
dalam kesehatan.
 Di tingkat rumah tangga, perempuan dan laki-laki mempunyai kesempatan
yang sama untuk mengekspresikan rujukan kesehatan yang diharapkan, sesuai
tingkat pendidikannya, kesempatan untuk memberikan umpan balik atas
pelayanan yang diterimanya.
 Di bidang ekonomi, pengetahuan ibu untuk memilih tempat rujukan yang
tepat tidak didukung oleh kemampuan ekonomi suami. Perempuan dan laki-
laki mempunyai kesempatan yang sama dalam menyampaikan keluhan atau
komplainterhadap kepuasan pelayanan.
 Di tingkat masyarakat, pendapat tentang memiliki anak yang sehat
didukung dengan ajaran agama yang diyakini.
 Masalah gender meliputi berbagai aspek yang memerlukan penanganan
oleh berbagai sektor termasuk sektor kesehatan.
 Kebijakan publik merupakan pedoman dalam pelaksanaan publik,
termasuk kebijakan bidang kesehatan. Kebijakan kesehatan menjadi acuan
dalam pelayanan kesehatan di sarana kesehatan. Kebijakan terbagi dalam
tiga strata, yaitu:
 Kebijakan strategis yang mencakup kebijakan pada tingkat tertinggi
seperti Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah.
29

 Kebijakan manajerial yang mencakup kebijakan pada tingkat menengah


seperti Keputusan Menteri.
 Kebijakan teknis yang mencakup kebijakan pada tingkat pelaksanaan
seperti Keputusan Direktur Jenderal Departemen.
 Kebijakan publik ditetapkan pemerintah dengan dalil lebih mengetahui
kepentingan rakyat publik (public interest). Setelah suatu kebijakan
ditetapkan, kelemahan paling utama adalah kemampuan pelaksanaan
(policy implentation). Pelaksanaan kebijakan ini juga menjadi kendala
dalam implementasi kebijakan makro dan mikro dari pengurustamaan
gender di Indonesia.
F. Pengertian HAM Gender palayanan kesehatan
HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia, sesuai dengan
kodratnya (Kaelan: 2002).Menurut pendapat Jan Materson (dari komisi HAM
PBB), dalam Teaching Human Rights, United Nations sebagaimana dikutip
Baharuddin Lopa menegaskan bahwa HAM adalah hak-hak yang melekat pada
setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.
John Locke menyatakan bahwa HAM adalah hak-hak yang diberikan
langsungoleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. (Mansyur
Effendi,1994).
Dalam pasal 1 UU No39 tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa “Hak
Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan meruapak
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungu oleh
negara, hokum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia”.

G. HAM yang Terkait dengan Kesehatan Reproduksi


 UU No. 7 Tahun 1984 (Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap
Wanita):
 Jaminan persamaan hak atas jaminan kesehatan dan keselamatan kerja,
termasuk usaha perlindungan terhadap fungsi melanjutkan keturunan
30

(Pasal 11 ayat 1 f).


 Jaminan hak efektif untuk bekerja tanpa diskriminasi atas dasar
perkawinan atau kehamilan (Pasal 11 ayat 2).
 Penghapusan diskriminasi di bidang pemeliharaan kesehatan dan jaminan
pelayanan kesehatan termasuk  pelayanan KB (Pasal 12).
 Jaminan hak kebebasan wanita pedesaan untuk memperoleh fasilitas
pemeliharaan kesehatan yang memadai, termasuk  penerangan,
penyuluhan dan pelayanan KB (Pasal 14  ayat 2 b).
 Penghapusan diskriminasi  yang berhubungan dengan perkawinan dan
hubungan kekeluargaan atas dasar persamaan antara pria dan wanita (Pasal
16 ayat 1).
 Tap. No. XVII/MPR/1998 tentang HAM
 Hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah (Pasal 2).
 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
 Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan
keturunan  melalui perkawinan yang sah  (Pasal 10).
 Setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh
dan berkembang secara layak (Pasal 11).
 Setiap orang berhak atas  rasa aman dan tenteram serta perlindungan
terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
(Pasal 30).
 Hak wanita dalam UU HAM sebagai hak  asasi manusia (Pasal 45).
 Wanita berhak  untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam
pelaksanaan pekerjaan / profesinya terhadap hal-hal yang dapat
mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi
reproduksi wanita (Pasal 49 ayat 2).
 Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi
reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum (Pasal 49 ayat 3).
 Hak dan tanggungjawab yang sama  antara isteri dan suaminya dalam
ikatan perkawinan (Pasal 51 ).
31

4.   Evaluasi pelayanan bidan dalam multiperspektif


Secara kodrati, perempuan dan laki-laki adalah dua jenis kelamin yang
berbeda. Perbedaan yang bersifat universal tersebut, sayangnya banyak disalah
artikan sebagai sebuah sekat yang membentengi ruang gerak. Dalam
perkembangannya kemudian, jenis kelamin perempuan lebih banyak menerima
tekanan, hanya karena secara kodrati perempuan dianggap lemah dan tak
berdaya.
Yulfita Rahardjo dari Pusat Studi Kependudukan dan Pemberdayaan
Manusia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan, persepsi
yang bias tersebut pada akhirnya menyulitkan perempuan untuk mendapatkan
akses pada berbagai segi kehidupan, utamanya bidang kesehatan yang
menentukan kehidupan dan kematian perempuan
Secara biologis, perempuan melahirkan, menstruasi dan menyusui, sementara
pria tidak. Perempuan memiliki payudara yang berfungsi untuk menyusui, laki-
laki tidak punya. Demikian juga jakun dan testikel yang dimiliki pria, tidak
dimiliki kaum hawa.
Jenis kelamin memang bersifat kodrati, seperti melahirkan dan menyusui
bagi perempuan. Tapi gender yang mengacu pada peran, perilaku dan kegiatan
serta atribut lainnya yang dianggap oleh suatu masyarakat budaya tertentu
sebagai sesuatu yang pantas untuk perempuan atau pantas untuk laki-laki, masih
bisa dirubah.
Di beberapa wilayah dengan adat istiadat dan budaya tertentu, isu gender
memang sangat membedakan aktivitas yang boleh dilakukan antara pria dan
wanita. Pada masyarakat Jawa dari strata tertentu misalnya, merokok dianggap
pantas untuk laki-laki, tapi tidak untuk perempuan.
Demikian dengan profesi bidan, yang sebagian besar disandang perempuan.
Sementara dokter kandungan didominasi laki-laki. Bahkan pernah dalam satu
masa, dokter kandungan tidak boleh dilakoni kaum hawa. Juga mitos gender
seputar hubungan seksual, dimana isteri tabu meminta suaminya untuk pakai
kondom. Jadi yang ber-KB adalah kaum perempuan. Dalam masalah ini bidan
32

berperan untuk member penyuluhan kepada pasangan suami istri bahwa tidak
hanya kaum wanita yang diharuskan memakai KB namun kaum laki-laki pun
perlu memakai KB bila ingin meminimalisir kehamilan dan persalinan.
Data terakhir, Indonesia masih menempati urutan tertinggi dengan Angka
Kematian Ibu (AKI) mencapai 307/100 ribu kelahiran dan Angka Kematian
Bayi (AKB) mencapai 45/1000 kelahiran hidup. Tak pelak lagi, perempuan
seringkali menghadapi hambatan untuk mendapatkan akses terhadap pelayanan
kesehatan. Hal itu disebabkan tiga hal, yakni jarak geografis, jarak sosial
budaya serta jarak ekonomi.
Perempuan biasanya tidak boleh bepergian jauh. Jadi kalau rumah sakit atau
puskesmas letaknya jauh, sulit juga perempuan mendapatkan pelayanan
kesehatan. Dalam masalah ini bidan desa atau bidan yang berada di daerah
terpencil sangat berperan penting untuk memberikan pelayanan kesehatan yang
layak kepada para wanita ataupun pria yang menduduki tempat terpencil.
Hambatan lainnya adalah jarak sosial budaya. Selama ini, ada keengganan
kaum ibu jika mendapatkan pelayanan kesehatan dari petugas kesehatan laki-
laki. Mereka, kaum ibu di pedesaan ini, lebih nyaman kalau melahirkan di
rumah dan ditemani mertua dan anak-anak. Akibatnya, apabila terjadi
perdarahan dalam proses persalinan, sulit sekali mendapatkan layanan dadurat
dengan segera. Bidan pun berperan dalam member penyuluhan tentang bahaya
melahirkan dirumah tanpa bantuan tenaga medis. Itu semua dilakukan untuk
meminimalisir Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angkan Kematian Bayi (AKB)
yang saat ini semakin berkembang setiap tahunnya.
Yang paling penting menjadi hambatan adalah masalah ekonomi. Banyak
keluarga yang kurang mampu, sehingga harus berpikir dua kali untuk menuju
rumah sakit atau rumah bersalin. Sebagai seorang bidan, jangan melihat klien
berdasarkan status ekonominya karena bidan berperan sebagai penolong bagi
semua kliennnya dan tidak membedakan status ekonominya.
Selain menimpa perempuan, bias gender juga bisa menimpa kaum pria. Di
bidang kesehatan, lebih banyak perempuan menerima program pelayanan dan
informasi kesehatan, khususnya yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi
33

dan anak ketimbang laki-laki. Hal itu bisa jadi ada kaitannya dengan stereotip
gender yang melabelkan urusan hamil, melahirkan, mengasuh anak dan
kesehatan pada umumnya sebagai urusan perempuan. Dari beberapa contoh
diatas memperlihatkan bagaimana norma dan nilai gender serta perilaku yang
berdampak negatif terhadap kesehatan.
Untuk itu, tugas bidan adalah meningkatkan kesadaran mengenai gender
dalam meurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi
(AKB).

H. Fungsi Bidan dalam HAM


Dalam konsep Hak Asasi Manusia (HAM), bidan memiliki beberapa fungsi,
diantaranya:
 Memberikan hak kepada semua pasangan dan individual untuk
memutuskan dan bertanggung jawab terhadap jumlah, jeda dan waktu
untuk mempunyai anak serta hak atas informasi yang berkaitan dengan hal
tersebut. Contohnya bidan memberikan informasi selengkap-lengkapnya
kepada klien saat klien tersebut ingin menggunakan jasa KB (Keluarga
Berencana) dan bidan memberi hak kepada klien untuk mengambil
keputusan sesuai keinginan kliennya.
 Memberikan hak kepada masyarakat untuk mendapatkan kehidupan
seksual dan kesehatan reproduksi yang terbaik serta memberikan hak
untuk mendapatkan pelayanan dan informasi agar hal tersebut dapat
terwujud. Misalnya, bidan membrikan penyuluhan tentang kehidupan
seksual dan kesehatan reproduksi kepada masyarakat dan memberikan
pelayanan serta informasi selengkap-lengkapnya kepada masyarakat agar
masyarakat mendapatkan kehidupan seksual dan kesehatan reproduksi
yang terbaik.
 Memberikan hak untuk membuat keputusan yang berkenaan dengan
reproduksi yang bebas dari diskriminasi, pemaksaan dan kekerasan. Hak-
hak reproduksi merupakan hak asasi manusia. Baik ICPD 1994 di Kairo
34

maupun FWCW 1995 di Beijing mengakui hak-hak reproduksi sebagai


bagian yang tak terpisahkan dan mendasar dari kesehatan reproduksi dan
seksual. Contohnya setelah bidan memberikan informasi kepada klien,
bidan tidak boleh memaksakan klien atau menekan klien untuk mengambil
keputusan secepatnya.
 Memberikan hak privasi kepada klien.
 Memberikan hak pelayanan dan proteksi kesehatan.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Peran Gender adalah perilaku yang dipelajari di dalam suatu


masyarakat/komunitas yang dikondisikan bahwa kegiatan, tugas-tugas atau
tanggung jawab patut diterima baik oleh laki-lakimaupun perempuan.
Peran gender dapat berubah, dan dipengaruhi oleh umur, kelas, ras, etnik,
agama dan lingkungan geografi, ekonomi dan politik. Baik perempuan
maupun laki-laki memiliki peran ganda di dalam masyarakat. Perempuan
kerap mempunyai peran dalam mengatur reproduksi, produksi dan
kemasyarakatan.Sedangkan Laki-laki lebih terfokus pada produksi dan
politik kemasyarakatan. Gender juga di definisikan dengan hubungan sosial
antara laki-laki dan perempuan.

B. Saran
Semoga dengan adanya makalah ini diharapkan agar pembaca mampu
mendapatkan ilmu pengetahuan tentang pengembanggan gender feminim
35

dan diharapkan para pembaca dapat mengambil manfaat dalam makalah ini
untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
36

DAFTAR PUSTAKA

 Jurnal Soepardan ,Suryani. 2007, Konsep Kebidanan. Jakarta;EGC.


 peran-fungsi-dan-kompetensi-bidan.html
jurnsal Harkat media komunikasi gender – 2020. Kekuasaan

Ebook- Menuru Menurut Bem (dalam Wathani 2009) konteks sosial politik

Jurnal Brigham (1986) dalam Naully (2003). Evaluasi pelayanan gender

Anda mungkin juga menyukai