Anda di halaman 1dari 29

BAGIAN ILMU THT-KL REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN Juni 2022


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

FRAKTUR NASAL

OLEH:
Farah Syifa Khumaira
105101101220

PEMBIMBING:
Dr. dr. Nani I. Djufri,, Sp.THT-KL (K),FICS

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2022
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Farah Syifa Khumaira


NIM : 105101101220
Judul Referat : Fraktur Nasal

Telah menyelesaikan Referat dalam rangka Kepanitraan Klinik di Bagian Ilmu


THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Juni 2022


Pembimbing,

Dr. dr. Nani I. Djufri,, Sp.THT-KL (K),FICS

ii
KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Wr. Wb.


Dengan mengucapkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena atas
rahmat, hidayah, kesehatan dan kesempatan-Nya sehingga referat dengan judul
“Fraktur Nasal” ini dapat terselesaikan. Salam dan shalawat senantiasa tercurah
kepada baginda Rasulullah SAW, sang pembelajar sejati yang memberikan
pedoman hidup yang sesungguhnya. Pada kesempatan ini, secara khusus penulis
mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada
dosen pembimbing Dr. dr. Nani I. Djufri,, Sp.THT-KL (K),FICS, yang telah
memberikan petunjuk, arahan dan nasehat yang sangat berharga dalam
penyusunan sampai dengan selesainya referat
ini.
Penulis menyadari sepenuhnya masih banyak terdapat kelemahan dan
kekurangan dalam penyusunan referat ini, baik dari isi maupun penulisannya.
Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak senantiasa penulis harapkan demi
penyempurnaan referat ini.
Demikian, semoga referat ini bermanfaat bagi pembaca secara umum dan
penulis secara khususnya.

Wassalamu Alaikum Wr.Wb.

Makassar, Juni 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ...................................................... ii

KATA PENGANTAR ....................................................................................... iii

DAFTAR ISI ..................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 2

Anatomi .............................................................................................................. 2

Fisiologi .............................................................................................................. 7

Definisi .............................................................................................................. 9

Epidemiologi ...................................................................................................... 9

Etiologi ............................................................................................................... 9

Patofisiologi ....................................................................................................... 10

Klasifikasi........................................................................................................... 11

Diagnosis ........................................................................................................... 14

Diagnosis Banding............................................................................................. 18

Tatalaksana ....................................................................................................... 18

Komplikasi ........................................................................................................ 22

Prognosis .......................................................................................................... 23

BAB III KESIMPULAN ................................................................................. 24

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 25

iv
BAB 1 PENDAHULUAN

Fraktur hidung adalah salah satu fraktur wajah yang paling umum pada
populasi orang dewasa dan telah dilaporkan menjadi yang ketiga fraktur tubuh
yang paling umum setelah klavikula dan pergelangan tangan. Itu etiologi
bervariasi tetapi sebagian besar karena jatuh, perkelahian dan kendaraan bermotor
tabrakan. Insiden puncak adalah antara usia 15 hingga 25 tahun tahun. Di Inggris
Raya, kejadiannya terus meningkat meningkat, terutama pada wanita dan mungkin
sebagian dikaitkan dengan peningkatan budaya 'ladette'.1

Fraktur tulang hidung sangat umum terjadi pada trauma berupa fraktur
sederhana, tetapi komunitif dan dapat disertai dengan luka terbuka pada kulit luar
hidung. Hidung merupakan unsur estetika wajah karena terletak pada pusat wajah
dan menonjol pada bidang sagital wajah serta sedikit mengandung tulang.2
Akibatnya hidung menjadi struktur wajah yang paling lemah dan paling rentan
terhadap cedera karena proyeksi, menonjol, dan sifat tipis tulang hidung. Fraktur
ini paling sering terjadi pada laki-laki dalam dekade ke-2 dan ke-3 kehidupan
mereka, tetapi mereka juga merupakan 30% dari fraktur wajah pediatrik.3

Fraktur hidung sering hadir dengan berbagai gejala, biasanya epistaksis,


deformitas atau deviasi, nyeri tekan, ekimosis dan bengkak. Mayoritas pasien
awalnya akan datang fasilitas kesehatan terdekat mereka. Beberapa patah tulang
mungkin tidak terdiagnosis pada pasien yang relatif asimtomatik atau tidak
peduli.1 Namun, Jika tidak diobati, patah tulang ini dapat menyebabkan obstruksi
hidung termasuk kolaps katup hidung, deformitas kosmetik dan panjang tambahan
gejala sisa termasuk sinusitis kronis dan retardasi pertumbuhan hidung pada anak-
anak, serta masalah estetika. Cedera septum bersamaan dapat menyebabkan
destabilisasi lebih lanjut dari hidung, saluran napas hidung obstruksi, deviasi
ujung hidung lateral, dan penurunan fungsi.2

1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Hidung4
Hidung Luar
Menonjol pada garis tengah di antara pipi dengan bibir atas; struktur hidung luar
dapat dibedakan atas tiga bagian: yang paling atas, kubah tulang, yang tak dapat
digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan;
dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Belahan
bawah apertura piriformis hanya kerangka tulangnya saja, memisahkan hidung luar
dengan hidung dalam. Di sebelah superior, struktur tulang hidung luar berupa
prosesus maksila yang berjalan ke atas dan kedua tulang hidung, semuanya disokong
oleh prosesus nasalis tulang frontalis clan suatu bagian lamina perpendikularis
lulang etmoidalis. Spina nasalis anterior merupakan bagian dari prosesus maksilaris
medial embrio yang meliputi premaksila anterior, dapat pula dianggap sebagai
bagian dari hidung luar. Bagian berikutnya, yaitu kubah kartilago yang sedikit dapat
digerakkan, dibcntuk oleh kartilago lateralis superior yang saling berfusi di garis
tengah serta bcrfusi pula dengan tepi alas kartilago septum kuadrangularis. Sepertiga
bawah hidung luar atau lobulus hidung, dipertahankan bentuknya oleh kartilago
lateralis inferior. Lobulus menutup vestibulum nasi dan dibatasi di sebelah medial
oleh kolumela, di lateral oleh ala nasi, dan anterosuperior oleh ujung hidung.
Mobilitas lobulus hidung penting untuk ekspresi wajah, gerakan mengendus, dan
bersin. Otot ekspresi wąjah yang terletak subkutan di atas tulang hidung, pipi
anterior, dan bibir atas menjamin mobilitas lobulus. Jaringan ikat subkutan dan kulit
juga ikut menyokong hidung luar. Jaringan lunak di antara hidung luar dan dalam
dibatasi di sebelah inferior oleh krista piriformis dengan kulit penutupnya, di medial
oleh septum nasi, dan tepi bawah kartilago lateralis superior sebagai batas superior
dan lateral. Struktur tcrsempit dari seluruh saluran pernapasan atas adalah apa yang
disebut sebagai limen nasi atau os internum oleh ahli anatomi, atau sebagai katup
hidung Mink oleh ahli faal. Istilah ”katup" dianggap tepat karena struktur ini
bergerak bersama, dan ikut mengatur pernapasan.

2
Gambar 1. Bagian Luar Hidung.4

Hidung Dalam

Struktur ini membentang dari os internum di sebelah anterior hingga koana di


posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Septum nasi merupakan
struktur tulang di garis tengah, secara anatomi mcmbagi organ menjadi dua hidung.
Selanjutnya, pada dinding lateral hidung terdapat pula konka dengan rongga udara
yang tak teratur di antaranya meatus superior, media dan inferior (Gambar 2).
Sementara kerangka tulang tampaknya menentukan diameter yang pasti dari rongga
udara, struktur jaringan lunak yang menutupi hidung dalam cenderung bervariasi
tebalnya, juga mengubah resistensi, dan akibatnya tekanan dan volume aliran udara
inspirasi dan ekspirasi. Diameter yang berbeda-bcda disebabkan oleh kongesti dan
dekongcsti mukosa, perubahan badan vaskular yang dapat mcngembang pada konka
dan septum atas, dan dari krusta dan deposit atau sekret mukosa.

Duktus nasolakrimalis bermuara pada meatus inferior di bagian anterior. Hiatus


semilunaris dari meatus media merupakan muara sinus frontalis, etmoidalis anterior
dan sinus maksilaris. Sel- sel sinus etmoidalis posterior bermuara pada meatus
superior, sedangkan sinus sfenoidalis bermuara pada resesus sfenoetmoidalis
(Gambar 3).

3
Ujung-ujung saraf olfaktorius menempati daerah kecil pada bagian medial dan
lateral dinding hidung dalam dan ke atas hingga kubah hidung. Deformitas struktur
demikian pula penebalan atau edema mukosa berlebihan dapat menccgah aliran
udara untuk mcncapai daerah olfaktorius, dan, dengan demikian dapat sangat
mengganggu penghiduan.
Bagian tulang dari septum terdiri dari kartilago septum (kuadrangularis) di
sebelah anterior, lamina perpendikularis tulang etmoidalis di sebelah alas, vomcr
dan rostrum sfenoid di posterior dan suatu krista di sebclah bawah, terdiri dari krista
maksial dan krista palatina (Gambar 4). Krista dan tonjolan yang terkadang perlu
diangkat, tidak jarang ditemukan. Pembengkokan septum yang dapat terjadi karena
faktor-faktor pertumbuhan ataupun trauma dapat sedemikian hcbatnya schingga
mengganggu aliran udara dan perlu dikoreksi secara bedah. Konka di dekatnya
umumnya dapat mengkompensasi kelainan septum (bila tidak terlalu berat), dengan
memperbesar ukurannya pada Sisi yang konkaf dan mengecil pada Sisi lainnya,
sedemikian rupa agar dapat mempertahankan lebar rongga udara yang optimum.
Jadi, meskipun septum nasi aliran udara masih akan ada dan masih normal. Daerah
jaringan erektil pada kedua Sisi septum berfungsi mengatur ketebalan dalam
berbagai kondisi atmosfer yang berbeda.

Gambar 2. Struktur anatomi dinding lateral hidung.4

4
Gambar 3. Dinding lateral diperhatikan tanpa konka. Muara sinus paranasalis,
demikian pula ductus lakrimalis dapat lihat membuka pada meatus yang bersesuaian.4

Gambar 4. Septum nasi dan struktur di dekatnya.4

Suplai Darah

Cabang sfenopalatina dari arteri maksilaris interna menyuplai konka, mealus,


dan septum. Cabang etmoidalis anterior dan posterior dari arteri oftalmika
menyuplai sinus frontalis dan etmoidalis dan atap hidung (Gambar 5). Sedangkan
sinus maksilaris diperdarahi oleh suatu cabang arteri labialis superior dan cabang
infraorbitalis serta alveolaris dari arteri maksilaris intema, dan cabang faringcalis
dari arteri maksilaris interna disebarkan ke dalam sinus sfenoidalis. Vena-vena
membcntuk suatu pleksus kavernosus Yang rapat di bawah membrana mukosa.
Pleksus ini terlihat nyata di atas konka media dan inferior, serta bagian bawah
5
septum di mana ia membentuk jaringan erektil. Drainase vena terutama melalu vena
oftalmika, fasialis anterior dan sfenopalatina.

Gambar 5. Suplai darah dinding lateral hidung. Arteri etmoidalis merupakan


cabang-cabang arteri oftalmica yang berasal dari arteri karotis interna. Sedangkan arteri
sfenopalatina dan palatina mayor merupakan cabang terminal dari arteri karotis eksterna.4

Gambar 6.Suplai darah septum nasi. Disamping pembuluh darah yang menyuplai
dinding lateral hidung, cabang-cabang arteri labialis superior dan arteri palatina juga
mencapai septum. Pleksus Kiesselbach merupakan daerah yang sangat umum mengalami
epistaksis.4

6
Suplai Saraf

Yang terlibat langsung adalah saraf kranial pertama untuk penghiduan, divisi
oftalmikus dan maksilaris dari saraf trigeminus untuk impuls aferen sensorik lainnya,
saraf fasialis untuk gerakan otot-otot pcrnapasan pada hidung luar, dan sistem saraf
otonom. Yang terakhir ini terutama melalui ganglion sfenopalatina, guna mengontrol
diameter Vena dan arteri hidung, dan juga produksi mukus, dengan demikian dapat
mcngubah pengaturan hantaran, suhu dan kelembaban aliran udara.

Gambar 7 . Suplai saraf hidung. Penghiduan diperantarai oleh saraf olfaktorius yang
terletak tinggi pada kubah hidung. Kontrol otonom dari fisiologi hidung terutama
lewat serabut simpatis dan parasimpatis yang mencapai hidung melalui ganglion
sfenopalatinum. Sensai dihantarkan oleh cabang etmoidalis dari divisi oftalmikus
serta divisi maksilaris dari saraf kranial kelima.4

B. Fisiologi Penghidu5
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi
fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah :
a) Fungsi respirasi : untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring
udara, humidifikasi dan penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan

7
mekanisme imunologik lokal. Udara inspirasi masuk ke hidung menuju
system respirasi melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media
dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring. Aliran udara di hidung ini
berbentuk lengkungan atau arkus. Udara yang dihirup akan mengalami
humidifikasi oleh palut lendir. Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh
uap air sehingga terjadi sedikit penguapan udara inspirasi oleh palut lendir
sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya. Suhu udara yang
melalui hidung diatur sehingga berkisar 37 derajat Celcius. Fungsi pengatur
suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan
adanya permukaan konka dan septum yang luas. Partikel debu, virus, bakteri
dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring di hidung oleh rambut
(vibrissae) pada vestibulum nasi, silia dan palut lendir.
b) Fungsi penghidu : organ penghidu yang sejati terdapat dibagian atas septum
nasi dan dinding lateral hidung pada setiap sisi. Mukosa penghidu tersebut
memiliki sel reseptor yang aksonnya membentuk fila olfaktoria yang menuju
ke pusat penghidu di sistem saraf pusat. Sel-sel sensorik tersebut menangkap
sensasi penghidu dan bergantung pada pasokan udara. Bila terdapat sumbatan,
fungsi organ penghidu juga sangat terhambat yang secara klinis biasanya juga
menimbulkan gangguan pengecapan.
c) Fungsi fonetik : bentuk dan fungsi hidung membentuk karakteristik setiap
orang. Hidung termasuk dalam komponen kaku saluran yang membentuk
suara dan artikulasi. Bila hidung tersumbat, banyak sekret dan gangguan
lainnya, kualitas suara akan berubah dan suara menjadi sengau
d) Refleks nasal : mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan
dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Iritasi mukosa hidung
akan menyebabkan refleks bersin dan nafas berhenti. Rangsang bau tertentu
akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.
e) Fungsi statik dan mekanik : untuk meringankan beban kepala dan proteksi
terhadap trauma dan pelindung panas. Terekam dengan elektroda di daerah

8
foramen rotundum atau di daerah saraf auditori, memiliki frekuensi tinggi dan
onset yang cepat.
C. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis
dan luasnya. Fraktur hidung adalah setiap retakan atau patah yang terjadi pada
bagian tulang. Fraktur hidung merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh
trauma pada wajah, ditandai dengan patahnya tulang hidung baik sederhana maupun
komunitif dan sering menyebabkan sumbatan hidung.4
Fraktur adalah suatu diskontinuitas susunan tulang yang disebabkan oleh
trauma atau keadaan patologis. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan
tulang dan atau rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa.13
D. Epidemiologi
Fraktur hidung menduduki peringkat ketiga tersering dalam semua insiden
fraktur. Diperkirakan rata-rata sebesar 51-200 fraktur nasal per tahun terjadi di
Amerika. Namun angka ini dapat jauh lebih besar karena banyak penderita tidak
datang untuk berobat atau kasusnya tidak dilaporkan. Insiden di Amerika Serikat
sekitar 39-45% pada fraktur wajah. Insidens fraktur nasal sangat tinggi, dan
meningkat seiring bertambahnya usia. Jarang terjadi pada anak usia kurang dari 5
tahun. Kasus yang dilaporkan pada dewasa sekitar 39-45% sedangkan pada remaja
sekitar 45%. Insidens fraktur nasal pada pria 2-3 kali lebih banyak dibandingkan
pada wanita. Puncak insidens fraktur nasal terjadi pada usia dekade kedua sampai
tiga. Prevalensi laki-laki dua kali lebih banyak dibanding perempuan.6

E. Etiologi
Fraktur tulang hidung adalah jenis fraktur wajah yang paling umum, mewakili
40% hingga 50% kasus. Pada laki-laki dikaitkan dengan trauma dan lebih umum
terjadi pada usia 12-25 tahun sedangkan pada perempuan yang sering terjadi
kecelakaan pribadi akibat jatuh pada pasien diatas usia 60 tahun. Insiden meningkat
pada umur 15-30 tahun disebabkan oleh perkelahian 34%, kecelakaan lalu lintas
28% atau cedera akibat olahraga 23%. Fraktur hidung paling sering dikaitkan
dengan pertengkaran fisik, jatuh, cedera olahraga, dan kecelakaan kendaraan
9
bermotor. Trauma tulang hidung dapat muncul sebagai cedera yang terisolasi atau
terjadi dalam kombinasi dengan cedera jaringan lunak dan tulang wajah lainnya.
Fraktur hidung dua kali lebih sering terjadi pada pria daripada Wanita. Kasus fraktur
nasal pada anak disebabkan karena terjatuh saat bermain atau kasus penyiksaan
anak.

F. Patofisiologi2

Tipe dan berat-ringannya fraktur nasal tergantung pada kekuatan, arah, jenis
dan mekanisme trauma. Objek yang kecil dengan kecepatan tinggi akan
menimbulkan kerusakan yang hebat dibandingkan dengan objek besar tapi
kecepatan rendah. Mekanisme terjadinya fraktur nasal harus dipahami dengan benar
agar penatalaksaannya dapat dilakukan dengan tepat. Pada penderita dewasa muda
cenderung lebih mudah terjadi dislokasi, pada orang tua cenderung terjadi fraktur
komunitif sedangkan pada anak umumnya terjadi terjadi fraktur greenstick. Hal ini
disebabkan karena tulang hidung anak masih banyak terdapat tulang rawan, dan
berisiko terjadi hematom septum.
Avulsi dan dislokasi kartilago nasalis lateralis superior os nasal dan septum
akan menyebabkan cekungan pada pertengahan dorsum nasi. Hal tersebut dapat
mengakibatkan robekan arteri yang keluar antara os. nasal dan kartilago sehingga
dapat terjadi hematom dorsum nasi. Fraktur nasal sering disertai cedera septum.
Cedera septum nasi dapat berupa fraktur sederhana, dislokasi atau fraktur komunitif
yang dapat menyebabkan deformitas dan disfungsi hidung berupa obstruksi jalan
napas. Bagian tipis septum yang cenderung mudah terjadi fraktur adalah kartilago
quadrangularis dan lamina perpendikularis os etmoid. Fraktur inkomplet pada
septum menyebabkan lepasnya artikulasi kartilago sehingga kelak dapat
menimbulkan gangguan pada pusat pertumbuhan dan menyebabkan deformitas.

Trauma lateral menyebabkan fraktur depresi ipsilateral, deformitas dorsum nasi


bentuk C atau S, fraktur dinding medial os maksila dan deformitas septum. Trauma
anterior menyebabkan fraktur apeks nasi, dorsum nasi menjadi rata dan melebar
disebut saddle nose dan deformitas septum. Saddle nose diklasifikasikan atas dua
10
yaitu anterior, bila yang terlibat adalah bagian kartilago, posterior bila yang terkena
bagian tulang.
Karakteristik saddle nose adalah berkurangnya tinggi dorsum nasi, istilah
lainnya adalah pug nose atau boxers nose. Saddle nose menyebabkan berbagai
derajat sumbatan hidung. Trauma inferior menyebabkan pola fraktur yang lebih
kompleks disertai faktur dan dislokasi septum. Tipe fraktur nasal antara lain berupa
tipe fraktur depresi yaitu apabila kekuatan trauma dari frontal cukup besar sehingga
menyebabkan open book fracture dimana septum menjadi kolaps dan os. nasal
melebar. Bahkan pada kekuatan trauma yang lebih kuat dapat menyebabkan fraktur
komunitif os. nasal dan pros. frontalis os maksila menjadi rata dan dorsum nasi
menjadi lebar, tipe fraktur angulasi atau fraktur bilateral yaitu trauma dari arah
lateral yang dapat menyebabkan fraktur depresi unilateral sisi trauma atau dapat juga
pada kedua sisi os. nasal dan deviasi septum serta fraktur greenstick yang banyak
terjadi pada anak.

Gambar 8. Fraktur Nasal.2

G. Klasifikasi

Kriteria modifikasi Murray et al menggambarkan klasifikasi fraktur nasal


berdasarkan kriteria penemuan klinis:7

11
Tipe Deskripsi
Tipe I Perlukaan terbatas pada jaringan lunak
Tipe II a Fraktur tanpa pergeseran sederhana, unilateral
Tipe II b Fraktur tanpa pergeseran sederhana, bilateral
Tipe III Fraktur sederhana, bergeser
Tipe IV Fraktur kominutif tertutup
Tipe V Fraktur kominutif terbuka atau fraktur dengan komplikasi
Tabel 1. Klasifikasi Trauma Nasal.7

Gambar 9. Klasifikasi Murray7

a) Fraktur tipe I (Simple Straight), biasa disebut dengan fraktur sederhana (lurus).
Merupakan fraktur yang terjadi unilateral atau bilateral tanpa disertai deviasi
dari garis tengah hidung.8

Gambar 10. Fraktur Tipe 1 (simple straight).8


b) Fraktur tipe Il (Simple Deviated), disebut dengan fraktur deviasi sederhana.
Merupakan fraktur yang terjadi unilateral atau bilateral dengan menimbulkan
deviasi dari garis tengah hidung.8
12
Gambar 11. Fraktur Tipe II (simple deviated).8
c) Fraktur tipe Ill (Comminution of nasal bones). Pada tipe ini terdapat fraktur
kominutif, berupa pecahan-pecahan pada tulang hidung yang terjadi bilateral
dan hal ini menyebabkan septum ikut bergeser namun tetap berada pada garis
tengah hidung, septum tidak mengalami deviasi yang berarti dengan adanya
pengurangan tulang.8

Gambar 12. Fraktur Tipe III (comminution of nasal bone).8


d) Fraktur tipe IV (Severely deviated nasal and septal fractures), disebut juga
sebagai fraktur deviasi nasal dan septal berat adalah fraktur yang terjadi
unilateral atau bilateral yang menimbulkan deviasi yang berat atau
terganggunya nasal midline (garis tengah hidung), berupa fraktur septum yang
berat atau terjadinya dislokasi septum. Hal ini disebabkan oleh adanya fraktur
kominutif pada tulang hidung dan septum.8

Gambar 13. Fraktur Tipe IV (severely deviated nasal and septal fractures).8

13
e) Fraktur tipe V (Complex nasal and nasalfractures), berupa adanya fraktur yang
berat pada hidung, tulang hidung dan septum mengalami fraktur yang parah
disertai Iuka dan trauma jaringan lunak, saddling akut hidung, Iuka terbuka,
dan avulsi jaringan.8

Gambar 14. Fraktur Tipe V (complex nasal and nasal fractures).8

H. Diagnosis

Anamnesis

Tanda-tanda fraktur hidung yang lazim adalah depresi atau pergeseran tulang -
tulang hidung, edema hidung, epistaksis, dan fraktur dari kartilago septum disertai
pergeseran ataupun dapat digerakkan. Diagnosis yang tepat pada fraktur tulang
hidung ditegakkan berdasarkan riwayat trauma dan pemerikasaan fisik secara
menyeluruh. Riwayat trauma yang meliputi : (1) kekuatan, arah dan mekanisme
terjadinya trauma; (2) adanya epistaksis atau kebocoran cairan serebrospinalis; (3)
riwayat trauma atau operasi sebelum terjadi fraktur hidung; (4) adanya sumbatan
atau deformitas pada hidung setelah trauma. 9

Memahami mekanisme terjadinya trauma akan sangat membantu dalam


menentukan perluasan dari trauma. Hal tersebut berguna untuk mengetahui
penyebab trauma, arah datangnya trauma serta besarnya kekuatan trauma yang
diterima oleh hidung. Setiap benturan keras yang mengenai hidung harus dicurigai
terdapatnya fraktur pada tulang hidung. Adanya deformitas pada hidung
menunjukan bahwa telah terjadi fraktur pada tulang hidung. Akan tetapi kadang-
kadang epiktaksis mungkin merupakan satu-satunya gejala klinis yang ditemukan
tanpa disertai adanya deformitas yang jelas pada hidung.9

14
Objek trauma yang berbeda menyebabkan pola patologis yang timbul berbeda
pula. Misalnya pukulan akibat perkelahian umumnya dari arah lateral dengan
energi rendah dapat menyebabkan fraktur depresi pada dinding ipsilateral, out
fracture pada sisi kontralateral dan sering menyebabkan deformitas septum. Arah
trauma dari frontal yang disebabkan karena kecelakaan bermotor umumnya
melibatkan kekuatan energi tinggi, sehingga menyebabkan cedera yang lebih berat
berupa fraktur komunitif dan deformitas septum. Waktu terjadinya cedera, penting
untuk ditanyakan. Hal ini berkaitan dengan prosedur penatalaksanaan dan prognosis
hasil pengobatan. Bila cedera baru saja terjadi, udem masih belum banyak sehingga
pemeriksaan fisik dan manipulasi mudah dikerjakan, teknik reduksi tertutup adalah
prosedur yang paling ideal dikerjakan. Sedangkan bila datang terlambat dimana
udim sudah banyak terjadi maka pemeriksaan fisik menjadi lebih terbatas. Dalam
hal inireposisi sebaiknya ditunda 3-5 hari sampai udem berkurang sehingga evaluasi
dapat dilakukan secara lebih detail. Perlu ditanyakan juga riwayat medis
sebelumnya apakah pernah mengalami fraktur sebelumnya atau pernah menjalani
operasi hidung sebelumnya. Alkohol sering berhubungan dengan fraktur nasal
maka dapat pula ditanyakan perihal konsumsi alkohol sebelum cedera.2

Pemeriksaan Fisik

Setelah memastikan kondisi pasien stabil, airway bebas dan ventilasi adekuat
maka pemeriksaan fisik dapat dilakukan. Pemeriksaan fisik paling akurat dilakukan
sebelum timbul udem yaitu sekitar 2-3 jam setelah cedera. Pemeriksaan tidak boleh
terfokus hanya pada hidung saja, terutama apabila penyebab traumanya hebat
seperti pada kecelakaan bermotor. Hal ini disebabkan karena pada trauma hebat,
fraktur nasal sering disertai cedera kepala-leher yang dapat membahayakan patensi
trakea. Oleh karena itu sebelum melakukan pemeriksaan fisik harus dipastikan betul
airway dan ventilasi dalam keadaan adekuat. Trauma pada midface kemungkinan
dapat juga disertai dengan fraktur struktur hidung lainnya seperti mandibula, arkus
zigoma, dan gigi. Pemeriksaan fisik meliputi inspeksi dan palpasi dan harus
dilakukan secara hati-hati. Inspeksi untuk melihat adakah laserasi mukosa nasal,
adakah kartilago atau tulang yang terekspose, udem dan deformitas hidung,
15
perubahan patologis warna kulit, kesimetrisan dan gerakan bola mata. Palpasi untuk
mencari iregularitas tulang, dan pergerakan fragmen fraktur atau krepitasi.2

Pemeriksaan intranasal dapat dengan rinoskopi anterior apabila tidak


mempunyai fasilitas endoskopi. Evaluasi mukosa cavum nasi, posisi septum nasi
dan mencari adakah hematom septum. Pemeriksaan dapat dimulai dari distal ke
proksimal. Fraktur nasal dapat disertai epistaksis, nyeri, udem, buntu hidung dan
perdarahan subkonjungtiva, sedangkan tanda yang lebih spesifik adalah
ditemukannya krepitasi, laserasi mukosa hidung, fraktur atau dislokasi septum.
Adanya krepitasi pada jaringan lunak menunjukan bahwa cedera lebih berat,
sedangkan adanya matirasa menunjukan telah terjadi cedera pada n. infraorbitalis.
Bentuk hidung sebelum cedera dapat membantu memperkirakan seberapa berat
cedera yang terjadi. Foto nasal sebelum cedera dapat diperoleh dari kartu identitas
atau kartu izin mengemudi pasien. Dokumentasi pada fraktur nasal sangat penting
dengan tujuan untuk legalitas hukum dan untuk menilai hasil pengobatan Pada
fraktur nasal apabila penderita datang setelah timbul udim maka pemeriksaan dan
reposisi ditunda dulu. Untuk sementara penderita dapat diberikan analgesik dan
berobat jalan sambil diinstruksikan agar beristirahat, kompres es dan menjaga
elevasi kepala. Follow-up, evaluasi, dan penanganan baru dapat dilakukan setelah
udim berkurang, umumnya terjadi dalam 3-5 hari. Reposisi harus segera dilakukan
dalam waktu 5-10 hari setelah cedera. Bila reposisi tidak memungkinkan dalam 10
hari pertama, maka fragmen fraktur mulai terbentuk kalus dan setelah lebih dari 2
minggu fraktur menjadi tidak lagi mudah digerakan sehingga manipulasi menjadi
lebih sulit lagi. Penyembuhan sempurna harus ditunda beberapa bulan sebelum
dapat dikerjakan rinoplasti korektif.2
Apabila setelah cedera, penderita mengeluh buntu hidung berat atau total,
maka hal tersebut kemungkinan dapat disebabkan karena adanya hematom septum
Hematom septum ini sering dikaitkan dengan cedera septum nasi walaupun tidak
selalu. Adanya hematom septum tampak pada inspeksi yaitu daerah yang fluktuatif
berwarna sedikit kemerahan atau keunguan sepanjang salah satu atau kedua dinding
septum.2
16
Hematom septum menyebabkan terpisahnya perikondrium dari kartilago
septum, tetapi tidak menimbulkan robekan mukosa. Ruang potensial tersebut berisi
darah dari robekan vena kecil yang mensuplai perikondrium. Apabila tidak
ditangani hematom septum akan mudah terinfeksi dan kartilago septum menjadi
nekrosis dan dapat menyebabkan deformitas berbentuk saddle nose. Pada anak
dalam jangka panjang dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan dan menjadi
faktor predisposisi terjadinya deeformitas atau cacat pada wajah. Pemeriksaan
intranasal memerlukan beberapa peralatan antara lain suksion, nasal sprai untuk
anastesi dan vasokontriksi, spekulum hidung dan lampu kepala. Sebelum
melakukan pemeriksaan intranasal dilakukan anestesi dan vasikontriksi
dekongestan. Obat topikal dapat berupa solusio kokain 5-10% yang sangat efektif
sebagai anestesi dan vasokontriksi kuat, alternatif lain dapat berupa lidokain,
bupivakaine dan pantokaine spray. Vasokontriksi topikal seperti oxymetazoline dan
phenylephrine hydrochloride dapat berfungsi juga untuk mengontrol perdarahan dan
mengurangi udem intranasal.2
Campuran antara oxymetazoline atau phenylephrine dan lidokain 4% dengan
perbandingan 1:1 mempunyai efek yang sama efektifnya dengan kokain. Penderita
diperiksa dalam posisi duduk senyaman mungkin. Hidung diposisikan seoptimal
mungkin sehingga dapat terlihat cavum nasi dari segala sudut. Kelainan yang
didapat harus dicatat dan bila terjadi epistaksis dan seberapa banyak harus dicatat
juga. Adanya rinorea CSF dapat merupakan indikasi trauma intra kranial, dan
fraktur sudah meluas sampai lamina kribosa, sinus frontalis, dan komplek
nasoethmoid. Stabilitas prosesus ini dinilai dengan palpasi secara bimanual yaitu
dengan memakai klemp Kelly dibagian dalam dan jari dibagian luar hidung.2
Radiologi
Penggunaan foto polos nasal memiliki sensitifitas hingga 80% deteksi terbaik
untuk tampak lateral. Posisi waters berguna untuk menilai lengkungan pada
hidung.10 Foto polos nasal juga tidak dapat mendeteksi adanya cedera tulang rawan
yang banyak terjadi pada anak. CT Scan memiliki sensitifitas dan spesifitas lebih
besar untuk diagnosis fraktur nasal hingga 100%.2,10. Biaya relatif lebih mahal,

17
mempunyai efek samping radiasi yang lebih besar dan tidak begitu besar perannya
dalam penatalaksanaan fraktur nasal. Untuk fraktur nasal saja, penggunaan CT Scan
tidak dianjurkan kecuali ada kecurigaan fraktur maksilofasial. CT Scan digunakan
untuk menilai sejauh mana cedera tulang yang terjadi. Potongan CT Scan yang
paling tepat untuk mengevaluasi midfacial, orbital dan sinus frontalis adalah
potongan koronal dan aksial. Untuk cedera yang lebih luas yang melibatkan
nasoorbitoetmoid kombinasi potongan koronal dan aksial serta penggunaan CT Scan
tiga dimensi sangat direkomendasikan untuk mengetahui lokasi fraktur dan
pergeseran fragmen fraktur.2

I. Diagnosis Banding

Fraktur nasal sederhana tanpa komplikasi adalah fraktur yang paling sering
terjadi diantara semua fraktur tulang wajah, tetapi tetap harus dibedakan dengan
fraktur maksilofacial dan fraktur nasoethmoid. Fraktur nasoetmoid adalah fraktur
yang terjadi pada kompleks nasoethmoid yang sering menyebabkan robeknya
duramater dan terjadi rhinorea CSF. Fraktur zigoma umumnya menyababkan
deformitas berbentuk V dengan tiga bagian yang terpisah pada arkus zigoma. Pada
pemeriksaan fisik terjadi trismus otot temporalis dalam berbagai derajat. Tripod atau
fraktur zigomatikomasilaris umumnya disebabkan karena benturan keras pada pipi
melibatkan satu atau lebih sendi yang menghubungkan antara zigoma, os nasal dan
maksila dengan lantai dasar orbita. Kadang juga dijumpai parastesia ipsilateral
sepanjang n infraorbita dan cabang n fasialis. Benturan keras pada inferior maksila
dapat menyebabkan fraktur alveolar yang ditemukan pada daerah batas superior gigi
sehingga menyebabkan gigi lepas atau ekimosis gingiva.2

J. Tatalaksana
Terapi fraktur nasal sangat tergantung pada beberapa faktor antara lain usia
pasien, waktu terjadinya cedera, waktu reposisi, pilihan anestesi dan teknik reposisi.
Diperlukan kehatihatian dalam menentukan klasifikasi fraktur nasal karena untuk

18
menentukan prosedur teknik yang nantinya akan dipilih. Fraktur sederhana tanpa
perpindahan fraktur tidak memerlukan penanganan khusus, sedangkan pada kasus
lain mungkin diperlukan reposisi baik tertutup atau terbuka.2

Gambar 15. Prosedur penatalaksanaan fraktur nasal.2


Reposisi nasal pada anak atau orang tua perlu mendapat perhatian khusus. Hal
ini disebabkan karena pada orang tua tulang hidung cenderung lebih rapuh, lebih
pendek, dan proses penyembuhannya memakan waktu lebih lama. Oleh karena itu
perlu ditekankan kepada penderita usia tua akan hasil akhir yang dicapai dan sering
penanganan hanya berupa konservatif. Rinoplasti pada penderita anak harus
dikerjakan dengan penuh ketelitian mengingat variasi anatomi pada anak berbeda
dengan dewasa. Harus dihindari kerusakan pada daerah pusat pertumbuhan nasal
karena dapat menyebabkan deformitas wajah. Pembedahan septum pada anak
dilakukan setelah anak tersebut berusia 13-14 tahun karena dianggap pada usia
tersebut pertumbuhan septum sudah lengkap.2
Waktu terbaik untuk melakukan reposisi adalah segera setelah cedera atau 1-3
jam pertama setelah cedera. Hal ini disebabkan karena belum banyak timbul udim
sehingga mudah dalam melakukan evaluasi dan manipulasi. Pada penderita fraktur
nasal tanpa komplikasi yang kooperatif dan datang saat awal cedera dapat segera
dilakukan reposisi tertutup. Namun apabila pasien dating terlambat dimana udem
sudah banyak terjadi maka reposisi dapat ditunda dalam waktu 3-5 hari sampai
udem berkurang dan dilakukan evaluasi ulang. Pada dewasa reposisi tertutup harus
19
dilakukan 5-10 hari setelah cedera sebelum terbentuk kalus. Reposisi nasal 2-3
minggu setelah cedera menjadi lebih sulit lagi karena deformitas menjadi permanen.
Pada anak proses tersebut berlangsung lebih cepat sehingga fraktur nasal pada anak
harus segera ditangani dengan benar. Karena apabila tidak sering kali memerlukan
tindakan osteotomi dan rekonstruksi tulang.2
Reposisi Tertutup
Pada umumnya fraktur nasal baik itu fraktur depresi atau deviasi septum dapat
dikerjakan dalam waktu 3 jam pertama setelah cedera sebelum timbul udem atau
antara 3-10 hari sesudah udem berkurang dan sebelum terbentuk kalus.2

Anestesi lokal dapat diberikan oleh kedua topikal dan agen infiltratif.
Campuran 1:1 dari lidokain topikal 4% dan oxymetazoline dapat diterapkan secara
intranasal untuk dekongesti mukosa, vasokonstriksi, dan anestesi topikal. Anestesi
infiltratif dengan lidokain 1% dengan 1:100.000 epinefrin dapat diberikan baik
secara eksternal maupun internal. Blok infiltratif juga dapat diterapkan ke saraf
hidung infraorbital dan dorsal meskipun infiltrasi umum dorsum eksternal telah
ditemukan secara signifikan kurang menyakitkan untuk pasien.11 Setelah anestesi,
reduksi tertutup tipikal dimulai dengan penilaian piramida hidung tulang. Gaya yang
berlawanan dengan vektor trauma harus diterapkan untuk mencapai pengurangan
fraktur. Elevator boies biasanya digunakan secara intranasal untuk mengangkat
tulang hidung yang tertekan saat menggunakan teknik bimanual untuk meraba
bagian luar dan menilai gerakan tulang. Forsep Walsham atau Asch dapat membantu
dalam pengurangan tulang hidung yang terkena dan tertekan. Sering, dan terdengar
dan teraba "pop" akan diamati sebagai fraktur tulang yang berkurang. Perhatian pada
septum hidung sangat penting, karena deformitas tulang hidung kemungkinan akan
kambuh jika cedera septum tidak ditangani secara memadai. Pengurangan septum
hidung yang retak dicapai dengan merelokasi septum kembali ke garis tengah dan
ke dalam alur vomerine. Ini dapat dilakukan dengan lift Boies atau forsep Asch
dengan menerapkan tekanan tumpul berlawanan dengan arah deviasi dengan elevasi
bersamaan dari piramida hidung. Hidung kemudian diperiksa kembali untuk koreksi

20
penyimpangan dan deformitas, dengan manipulasi lebih lanjut dilakukan sampai
pengurangan yang memadai tercapai.11

Reposisi Terbuka11

Reduksi terbuka diindikasikan pada fraktur luas di mana piramida hidung


penyimpangan melebihi setengah lebar jembatan hidung (keterlibatan septum
tulang), dislokasi fraktur caudal septum, cedera septum parah atau kompleks yang
meluas ke posterior melintasi pelat tegak lurus ethmoid, dan patahan yang tidak
dapat direduksi dengan teknik tertutup. Teknik reduksi terbuka meliputi septoplasti,
osteotomi, dan septorhinoplasty penuh. Septum paling sering didekati melalui
hemitransfixion atau sayatan Killian di sisi dislokasi. Reseksi dan rekonstruksi
septum inferior dan posterior terbatas dapat dilakukan untuk meluruskan kembali
septum. Dislokasi septum ekor dapat diatasi secara tertutup menggunakan
transfiksasi penuh sayatan dengan jahitan fiksasi ke garis tengah tulang belakang
hidung menggunakan jahitan angka delapan. Fraktur-dislokasi septum caudal yang
lebih parah dapat terjadi memerlukan septorhinoplasty terbuka terbatas dengan
pencangkokan tulang rawan struktural. Elevasi radikal dan reseksi tulang rawan atau
tulang dihindari jika mungkin untuk mempertahankan dan dalam pertimbangan yang
matang dari potensi rinoplasti sekunder di masa depan.

Osteotomi terbatas mungkin berguna untuk memobilisasi hidung tulang,


terutama pada pasien yang memiliki greenstick atau fraktur impaksi. Jika dorsum
tetap menyimpang, lepaskan tulang rusuk lateral atas kartilago dari septum dapat
membantu dalam melepaskan dan meluruskan kembali kubah tengah. Karena
beberapa derajat stabilisasi eksternal dan internal adalah disokong oleh kulit-
jaringan lunak dan periosteal dan mukosa dari kerangka hidung, kerusakan
berlebihan umumnya dihindari untuk membatasi destabilisasi lebih lanjut. Dalam
kebanyakan kasus, formal penuh septorhinoplasty juga biasanya tertunda setidaknya
selama beberapa bulan potensi penyembuhan tak terduga dalam fase akut.

K. Komplikasi

21
Komplikasi medis setelah trauma hidung dan patah tulang hidung perbaikan
termasuk epistaksis, hematoma septum, perforasi septum, sinekia intranasal, dan
kebocoran cairan serebrospinal. Komplikasi yang paling umum, bagaimanapun,
adalah pengurangan yang buruk dengan deformitas persisten dan/ atau sumbatan
hidung. Insiden deformitas hidung pasca-pengurangan membutuhkan operasi
hidung atau septorhinoplasty berikutnya diperkirakan antara 14% dan 50%. Pilihan
yang tepat dan bijaksana dari teknik reduksi, terutama yang berkaitan dengan septum
hidung, dapat meminimalkan kebutuhan untuk operasi ulang. Meskipun demikian,
kepuasan pasien tingkat setelah perbaikan patah tulang hidung tetap relatif tinggi,
berkisar antara 68% dan 87% untuk kosmetik hidung dan 64% dan 86% untuk
hidung pernafasan.11. Komplikasi lain jika nasal pyramid rusak karena tekanan atau
pukulan dengan beban berat akan meimbulkan fraktur hebat pada tulang hidung,
lakrimal, etmoid, maksila dan frontal sehingga akan terjadi fraktur nasoethmoid,
fraktur nasomaksila dan fraktur nasoorbita. Fraktur ini dapat menimbulkan
komplikasi atau sequele di kemudian hari. Komplikasi yang terjadi tersebut
adalah:12

a. Komplikasi neurologic:
1. robeknya duramater
2. keluarnya cairan serebrospinal dengan kemungkinan timbulnya
meningitis
3. pneumoensefal
4. laserasi otak
5. avulsi dari nervus olfaktorius
6. hematoma epidural atau subdural
7. kontusio otak dan nekrosis jaringan otak
b. Komplikasi pada mata:
1. telekantus traumatika
2. hematoma pada mata
3. kerusakan nervus optikus yang memungkinkan menyebabkan
kebutaan
22
4. epifora
5. ptosis
6. kerusakan bola mata
c. Komplikasi pada hidung:
1. perubahan bentuk hidung
2. obstruksi rongga hidung yang disebabkan oleh fraktur, dislokasi atau
hematoma pada septum
3. gangguan penciuman (hyposmia atau anosmia)
4. epistaksis posterior yang hebat disebabkan karena robeknya arteri
etmoidalis
5. kerusakan ductus nasofrontalis dengan menimbulkan sinusitis frontal
atau mukokel

L. Prognosis
Secara umum prognosis fraktur nasal sederhana tanpa komplikasi adalah
baik dan dapat sembuh dalam waktu 2 sampai 3 minggu dengan memberikan
hasil kosmetik dan fungsi hidung yang cukup baik. Komplikasi kosmetik
jangka panjang dapat terjadi sesudah reposisi tertutup atau terbuka.
Komplikasi kosmetik ini juga dapat disebabkan karena hematom septum
yang tidak ditangani dengan baik. Apabila terjadi malunion atau deformitas
dapat dilakukan reduksi atau rekontruksi lebih lanjut bergantung berat
ringannya cedera dan faktor kesulitannya. Septorinoplasti merupakan
prosedur standart yang dilakukan pada kasus reposisi fraktur nasal yang gagal
atau yang terlambat ditangani.2

23
BAB III

KESIMPULAN

Fraktur hidung adalah salah satu fraktur wajah yang paling umum pada
populasi orang dewasa dan telah dilaporkan menjadi yang ketiga fraktur tubuh
yang paling umum setelah klavikula dan pergelangan tangan. Itu etiologi
bervariasi tetapi sebagian besar karena jatuh, perkelahian dan kendaraan bermotor
tabrakan. Insiden puncak adalah antara usia 15 hingga 25 tahun tahun.
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis
dan luasnya. Fraktur hidung adalah setiap retakan atau patah yang terjadi pada
bagian tulang. Kriteria modifikasi Murray et al menggambarkan klasifikasi fraktur
nasal berdasarkan kriteria penemuan klinis terbagi atas tipe I, II a, II b, III, IV, V.
Terapi fraktur nasal sangat tergantung pada beberapa faktor antara lain usia pasien,
waktu terjadinya cedera, waktu reposisi, pilihan anestesi dan teknik reposisi.
Tatalaksana fraktur nasal dapat dilakukan reduksi tertutup atau tebuka. Adapun
Komplikasi medis setelah trauma hidung dan patah tulang hidung perbaikan
termasuk epistaksis, hematoma septum, perforasi septum, sinekia intranasal, dan
kebocoran cairan serebrospinal.
Secara umum prognosis fraktur nasal sederhana tanpa komplikasi adalah baik
dan dapat sembuh dalam waktu 2 sampai 3 minggu dengan memberikan hasil
kosmetik dan fungsi hidung yang cukup baik. Komplikasi kosmetik jangka panjang
dapat terjadi sesudah reposisi tertutup atau terbuka.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Chawla R, Perry M. Imaging in Simple Nasal Trauma. Is Current Practice Uniform


Worldwide A Survet of Global Practices. Journal Of Otolaryngology and Rhinology.
Irish Publisher LLC. February 2019.
2. Chandra A, Santoso B. Penatalaksanaan Fraktur Nasal. Departemen Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga.
3. Westfall E, Nelson B, Vernon D. Nasal Bone Fracture and The Use of Radiographic
Imaging:An Otolaryngologist Perspective. American Journal of Otolaryngology. 2019.
4. Higler PA. Hidung : anatomi dan fisiologi terapan. Dalam: Adam GL, Boies LR, Higler
PA, penyunting. Buku ajar penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta: EGC.
5. Saputra K. Fisiologi hidung. Dalam: ENT Update Publikasi Ilmiah Program Studi
THT-KL FK Udayana. Vol 02 No 2, 2018.
6. Sniegel JH. Nasal Trauma. In:Lalwani AK, ed. Current diagnosis and treatment
otolaryngology head and neck surgry. 3thed. New York: The McGraw-Hill;2011.
7. Kelley BP, Downey CR, Sta; S. Evaluation and reduction of nasal trauma. Volume 4.
Semin Plast Surg. New York 2010;24:339-347.
8. Ondik MP et al. The treatment of nasal fractures, 2009 Arch Facial Plast
Surgery,11(5):296-302.
9. Yussy A. Trauma Maksilofasial. Dalam : Buku THT-KL. Departemen Ilmu Kesehatan
THT-KL:147-148.
10. Niknejad MT. Nasal Bone Fracture In Radiopaedia. 2021.
https://radiopaedia.org/articles/nasal-bone-fracture#nav_treatment-and-prognosis
11. Kim L, Huddle MG, Smith R. Nasal Fractures. In facial trauma surgery from primary
repair to reconstruction 2020:122-128.
12. Munir M, Widiarni D, Trimartani. Trauma Muka. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke-7. Hal 182-183.
13. Sjamsuhidajat R, de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-7. Jakarta: EGC 2007. Hal
1039.

25

Anda mungkin juga menyukai