Anda di halaman 1dari 44

HALANGAN-HALANGAN PERKAWINAN

Oleh Dr. Asrot Purba


PERKAWINAN KATOLIK MENJADI SAH
JIKALAU TERPENUHI:

Syarat I Syarat II Syarat III


Bebas dari
Halangan yang Dirayakan
Menggagalkan Janji Nikah
Perkawinan menurut Tata
Jumlah halangan: yang Sah Perayaan Katolik
12 (umum)/15 (terperinci)
4 HALANGAN BERSIFAT ILAHI/KODRATI:
TIDAK BOLEH

1. Ikatan perkawinan sah yang sebelumnya


2. Impotensi
3. Hubungan darah garis lurus dan menyamping
tingkat II
4. Orang yang belum mencapai usia kematangan fisik
dan psikis
3 HALANGAN YANG HANYA DAPAT DIDISPENSASI
OLEH
TAHTA SUCI (PAUS DAN KURIA ROMA)

1. Pembunuhan Pasangan
2. Kewajiban selibat dari tahbisan suci
(diakonat, presbiterat dan episkopat)
3. Kaul kemurnian kekal publik pada
tarekat religius berbadan kepausan
8 HALANGAN YANG DAPAT DIDISPENSASI
OLEH ORDINARIS WILAYAH (USKUP
DIOSESAN, VIKJEN DAN VIKEP)
1. Usia kanonik: 14 5. Semenda
(wanita) dan 16 (lk) 6. Kaul kemurnian kekal
2. Adopsi publik pada tarekat religius
3. Kelayakan publik berbadan diosesan
4. Hubungan darah garis 7. Penculikan
8. Beda agama
menyamping tingkat III-IV
1. IKATAN PERKAWINAN SEBELUMNYA
(KAN. 1085)
Orang yang terikat pada perkawinan sah terhalang untuk
menikah lagi secara sah

Perceraian secara adat atau perceraian sipil (kantor catatan


sipil) tidak berpengaruh terhadap status perkawinan secara
katolik; sekalipun orang telah bercerai secara adat atau sipil,
perkawinan itu tetaplah sah bagi Gereja
1. IKATAN PERKAWINAN SEBELUMNYA
(KAN. 1085)

Halangan ini berasal dari prinsip unitas sebagai ciri


khas perkawinan dan secara tidak langsung dari
ketidak-dapat-ceraiaan. Halangan ini merupakan
bagian dari hukum natural dan diteguhkan oleh
hukum ilahi (cf. Kej 2: 24; Mat 19: 3-9; Mrk 10: 2-12;
Luk 16, 18; 1 Kor 7: 4, 10 dan 39; Ef 5: 32; Rm 7: 3)
1. IKATAN PERKAWINAN SEBELUMNYA
(KAN. 1085)

Konsekuensi yuridis:
Mengena pada semua perkawinan sah dan
seluruh manusia, baik baptis maupun tidak
baptis.
1. IKATAN PERKAWINAN SAH SEBELUMNYA
(KAN. 1085)
Perkawinan sah:
1. Perkawinan dua orang katolik secara katolik
2. Perkawinan seorang katolik dengan protestan secara
katolik
3. Perkawinan dua orang protestan menurut aturan
protestan
4. Perkawinan dua orang tidak baptis menurut agamanya
1. IKATAN PERKAWINAN SEBELUMNYA
(KAN. 1085)

Ikatan perkawinan sah dapat putus dengan:


1. Kematian salah satu pasangan
2. Dispensasi/pemutusan ikatan perkawinan (kan.
1142): ratum non consummatum dan beda agama
3. Privilegi paulinum (cf. cann. 1143-1150)
2. IMPOTENSI (KAN. 1084)

Arti:
ketidakmampuan untuk melakukan persetubuhan secara normal dan
manusiawi
1. Sebelum perkawinan atau pada saat perjanjian nikah diucapkan
2. Bersifat tetap (tidak tersembuhkan dengan cara yang biasa)
Tidak mempengaruhi keabsahan Perkawinan:
1. Kemandulan (sterilitas), yang merupakan ketidakmampuan memiliki anak
2. Impotensi yang terjadi sesudah janji nikah (akibat kecelakaan atau penyakit)
2. IMPOTENSI (KAN. 1084)

Kodrat perkawinan menuntut dari dirinya bahwa kedua pengantin mampu


untuk mewujudkan hubungan suami isteri. Tanpa kemampuan itu keduanya
tidak mampu mencapai dimensi kesatuan yang melaluinya keduanya menjadi
satu daging dan menandai secara eksklusif ikatan perkawinan.
2. IMPOTENSI (KAN. 1084)

Menurut kriteria yang berlaku aktual:


Laki-laki terkena impotensi jikalau dia tak mampu mengeluarkan sejenis cairan
di dalam vagina, walau hanya sebagian, tetapi dengan cara natural.
2. IMPOTENSI (KAN. 1084)

Pada Wanita terdapat impotensi jikalau dia sama sekali tidak memiliki vagina
atau sedemikian sempit sehingga tidak memungkinkan terjadinya penetrasi
(walaupun tak sempurna), dengan pengeluaran benih (walau sebagian), tetapi
alamiah, dari pihak laki-laki.
2. IMPOTENSI (KAN. 1084)

Impotensi yang membuat adanya halangan memiliki tiga karakteristik, yakni:


1) Sebelum perkawinan, atau harus ada sebelum atau pada saat pengucapan
janji nikah yang membentuk ikatan perkawinan;
2) Menetap, pada saat bersamaan harus ada dengan cara tak dapat diobati
dan disembuhkan melalui sarana biasa dan layak
3) Pasti secara moral, untuk menghindari keraguan
3. HUBUNGAN DARAH GARIS LURUS DAN
MENYAMPING TINGKAT II (KAN. 1091)
Hubungan darah adalah hubungan yang ada antara orang
yang mempunyai leluhur yang sama, melalui kelahiran, baik
di luar maupun di dalam perkawinan
Terhalang:
- hubungan darah garis lurus (contoh: ayah-anak-cucu)
- hubungan tingkat kedua garis menyamping (contoh: seorang
saudara dengan saudari kandungnya).
3. HUBUNGAN DARAH GARIS LURUS DAN
MENYAMPING TINGKAT II (KAN. 1091)
hukum ilahi memiliki dua Karakter :
1. Natural: disebut hukum natural, berasal dari tatanan yang ditulis Allah
dalam ciptaan dan menjadi kewajiban moral dan yuridis bagi
manusia. Gereja memandangnya sebagai hal yang berasal dari
Pencipta yang menciptakannya untuk seluruh manusia. Allah adalah
Pemberinya.
2. Positif: disebut hukum ilahi positif, adalah yang turun tidak hanya dari
hukum yang dibuat Allah dalam alam tetapi dapat dilihat dalam
pewahyuan ilahi. Cara pemberiannya adalah pewahyuan (kitab suci)
3. HUBUNGAN DARAH GARIS LURUS DAN
MENYAMPING TINGKAT II (KAN. 1091)

1. Natura yuridis halangan pernikahan akibat


hubungan darah garis lurus tingkat I (antara ayah
dengan putrinya, antara ibu dengan puteranya)
bersifat natural (T. D’Aquino, T. Sánchez, E. PIRHING
dan A. Reiffenstuel dan semua ahli modern)
3. HUBUNGAN DARAH GARIS LURUS DAN
MENYAMPING TINGKAT II (KAN. 1091)
2. Natura yuridis halangan pernikahan akibat hubungan darah garis lurus tingkat II (antara kakek
dengan cucu putri, antara nenek dengan cucu putera)
a. Hukum natural (E. PIRHING, A. REIFFENSTUEL,)
b. Mungkin tidak semua garis urus merupakan hukum natural (T. SÁNCHEZ, F.
SCHMALZGRUEBER)
Para ahli sebelum dan sesudah KHK 1917 dan KHK 1983:
a. Semua tingkat merupakan hukum natural (F.X. WERNZ – P. VIDAL, F.M. CAPPELLO, A. DE SMET,
D. SALACHAS, L. SABBARESE).
b. Meragukan apakah semua hukum natural (P. GASPARRI, J. PRADER, P.M. ANDREINI) atau
mungkin hukum natural (E.F. REGATILLO, L. CHIAPPETTA, J.I. BAÑARES, F.R. AZNAR GIL, P.
PELLEGRINO, Ang. D’AURIA).
c. Merupakan hukum gerejawi (S. SANTI)
3. HUBUNGAN DARAH GARIS LURUS DAN
MENYAMPING TINGKAT II (KAN. 1091)
2. Natura yuridis halangan pernikahan akibat hubungan darah garis menyamping tingkat II
(antara dua orang bersaudara kandng)

a. Beberapa menganggap bukan hukum natural ( F. SCHMALZGRUEBER);


b. Mungkin berdasar pada hukum natural (T. SÁNCHEZ, E. PIRHING,)
c. Merupakan hukum natural (A. REIFFENSTUEL
Para Ahli KHK 1917 dan KHK 1983:
a. Naturanya meragukan (P. GASPARRI, P.M. ANDREINI, P. PELLEGRINO, J. PRADER).
b. Mungkin bagian hukum natural (J.I. BAÑARES);
c. Merupakan hukum natural (F.X. WERNZ – P. VIDAL, A. DE SMET, D. SALACHAS).
d. Merupakan hukum natural sekunder, yang tidak menutup kekecualian (F.M. CAPPELLO, E.F.
REGATILLO, F.R. AZNAR GIL, L. CHIAPPETTA, L. SABBARESE, Ang. D’AURIA,).
3. HUBUNGAN DARAH GARIS LURUS DAN
MENYAMPING TINGKAT II (KAN. 1091)
Dengan prospektif itu dapat dipahami jawaban Sant’Ufficio (13 dicembre 1916): “Non esse
inquietandos” (tidak harus diganggu), pada pertanyaan: “Quid sentiendum de matrimonio
contracto in infidelitate a fratre cum sorore uterina, deinde ad fidem conversis”. “Apa yang
dirasakan tentang perkawinan yang dibuat dalam situasi Tale dicastero considera la questione
dubbia, ed applica la regola che possono essere lasciati convivere (cf. A. ABATE, Il matrimonio
nella nuova legislazione canonica, UUP, Roma – Paideia Editrice, Bari 1985, p. 124, nt. 28).

Si può comprendere, in tale prospettiva, anche il motivo per cui il Papa Paolo VI nel 21 gennaio
1977 emanò un rescritto nel quale può considerarsi l’impedimento in questione come «di diritto
ecclesiastico, non divino» (ibid., p. 125, nt. 25; LE V, n. 4488, col. 7288).
3. HUBUNGAN DARAH GARIS LURUS DAN
MENYAMPING TINGKAT II (KAN. 1091)
13 Desember 1916
Seorang laki-laki non baptis menikahi saudari kandungnya non baptis. Lalu mereka hendak
dibaptis. Ditanyakan kepada Kongregasi Ajaran Iman, apakah mereka harus dipisahkan?
Dijawab: dibiarkan dalam damai.
Alasannya:
Hak menikah adalah hukum natural; halangan menikah dengan saudara kandung

21 januari 1921
4. USIA KEMATANGAN FISIK DAN PSIKIS
5. SELIBAT TAHBISAN SUCI (KAN. 1087)

- Selibat adalah kewajiban untuk hidup murni di hadapan


Allah. Selibat bertentangan dengan perkawinan.
- kewajiban yang menjadi bagian dari sakramen Tahbisan
diakonat, imamat dan episkopat(kan. 277 § 1)
- Para diakon/imam/uskup terikat kewajiban untuk hidup
selibat/murni (kan. 277 § 1)
5. SELIBAT TAHBISAN SUCI (KAN. 1087)

La prassi precedente richiede che sia sufficiente una sola


delle seguenti condizioni:
1. la grande e provata utilità del ministero del diacono per la
diocesi di appartenenza;
2. la presenza di figli in tenera età, bisognosi di cura materna;
3. la presenza di genitori o suoceri anziani, bisognosi di
assistenza (cf. CCDDS, lett. circ. La dispensa dagli obblighi
sacerdotali o diaconali, 6 giugno 1997, n. 8, prot. 263/1997,
in EV 16/553, p. 453).
5. SELIBAT TAHBISAN SUCI (KAN. 1087)

Tuttavia, tale normativa viene modificata nella prassi attuale:


«Per i diaconi rimasti vedovi che intendono risposarsi, la
dispensa viene concessa solo “allorquando ricorrano
congiuntamente le seguenti condizioni:
1. grande utilità pastorale del ministero del diacono, attestata
dal Vescovo, e
2. la cura di figli minorenni”» (CCDDS, lett. circ. Ai Presidenti
delle Conferenze dei Vescovi e ai Superiori generali, 13
luglio 2005, prot. 1080/05».
6. KAUL KEKAL KEMURNIAN PUBLIK PADA
TAREKAT RELIGIUS KEPAUSAN (KAN. 1088)
- Kaul kemurnian para biarawan/biarawati bertentangan dengan pernikahan.
- Yang terkena halangan: para suster/bruder/frater berkaul kekal kemurnian
dari tarekat religius;
Tidak terkena halangan kanonik
1. Para suster/bruder/frater berkaul sementara dari tarekat religius
2. Anggota serikat hidup kerasulan
3. Anggota tarekat sekular
4. Eremit, para perawan yang membaktikan diri
7. PEMBUNUHAN PASANGAN (KAN. 1090)

Gereja menghalangi pernikahan orang yang terlibat


pembunuhan yang dilakukan sendiri atau orang
suruhan atas pasangan sendiri atau pasangan orang
lain yang ingin dinikahi; kematian si korban
disebabkan oleh pembunuhan yang dimaksudkan
untuk menikahi janda/duda si korban.
PEMBUNUHAN (KAN. 1090)

Termasuk:
- pembunuhan atas pasangan sendiri untuk dapat menikah dengan orang tertentu;
- pembunuhan atas seseorang untuk menikahi pasangan yang ditinggal mati (janda
korban).
- Sepasang bekerja sama membunuh pasangan seseorang agar dapat menikah di
antara mereka.
- Sepasang bekerja sama membunuh pasangan seseorang dengan motif lain, tetapi
kemudian hendak menikah sesama mereka.
Tidak termasuk:
• orang yang membunuh seseorang karena motif membela diri, benci, dendam,
• membunuh pasangan sendiri tanpa maksud mau menikah dengan orang tertentu.
8. USIA KANONIK (KAN. 1083)

- Batas minimum umur untuk menikah secara katolik:


genap 14 tahun bagi wanita dan 16 tahun bagi pria
- Praktek Gereja di Indonesia: 19 tahun untuk pria dan
16 tahun untuk wanita (bdk. Pasal 7, UU RI no. 1, tahun
1974, tentang perkawinan).
- Diganti oleh UU no 16 tahun 2019, 21 tahun untuk
kedua pihak.
USIA KANONIK (KAN. 1083)

Alasan:
Wanita di bawah 14 tahun dan pria di bawah 16
tahun belum matang secara fisik, psikis, moral,
sosial dan ekonomis untuk memikul tanggung
jawab hidup berkeluarga
9. HUBUNGAN DARAH
GARIS MENYAMPING TINGKAT III DAN IV
Alasan larangan:
- sudut moral: menghalangi hubungan antara orang yang hidup sebagai
saudara; melindungi martabat keluarga dengan menolak incest;
- sudut sosial, halangan ini memajukan hubungan persahabatan dan
memperkaya hidup sosial, dan kemajuan umat manusia; melawan
ketertutupan egoisme keluarga, melebarkan hubungan-hubungan sosial,
mengembangkan cinta kasih kristiani dalam keluarga.
- sudut kesehatan: ada bahaya bahwa anak dari perkawinan orang yang
masih bersaudara akan menderita suatu penyakit keturunan
HUBUNGAN DARAH GARIS MENYAMPINGH

Perkawinan antara orang yang mempunyai hubungan


darah menyamping sampai tingkat keempat
Contoh:
- seorang pemuda dengan saudari kandung ayahnya
- seorang putri dengan saudara laki-laki ibunya
- Seorang dengan pariban tangkas (sepupu; impal tuhu).
10. BEDA AGAMA (KAN. 1086)

- Orang katolik dilarang menikah dengan orang bukan


baptis
- tujuan: : melindungi iman dan kebebasan menjalankan
ibadat sesuai dengan iman dari pihak katolik, dengan
menyadari bahwa pihak bukan katolik bisa menjadi
penghambat; menjamin pendidikan iman katolik
kepada anak; menjamin keutuhan hidup keluarga
BEDA AGAMA (KAN. 1086)

Dispensasi:
Dengan alasan yang masuk akal, dan setelah
menandatangani surat pernyataan bahwa pihak katolik
berjanji akan mempertahankan imannya dan dengan
sekuat tenaga akan mendidik anak secara katolik,
Gereja dapat memberi dispensasi atas halangan ini
11. HUBUNGAN SEMENDA (KAN. 1092)

- Semenda adalah pertalian kekeluargaan karena perkawinan


yang sah; hubungan ini tetap ada, meskipun istri/suami
meninggal dunia
- Gereja menghalangi perkawinan orang yang mempunyai
hubungan semenda pada semua tingkat pada garis lurus.
(Misalnya, seorang pria dilarang menikah dengan mertua
perempuannya atau dengan putri isterinya dari pasangan
sebelumnya
HUBUNGAN SEMENDA (KAN. 1092)

Tidak termasuk halangan: perkawinan seorang


pria dengan adik/kakak isterinya yang
meninggal dan sebaliknya perkawinan seorang
wanita dengan adik/abang suaminya yang
meninggal
12. KELAYAKAN PUBLIK (KAN. 1093)

Ikatan yang timbul dari perkawinan yang tidak sah yang


diikuti oleh hidup bersama, atau dari
konkubinat/perselingkuhan yang diketahui oleh umum.
- Konkubinat adalah relasi antara seorang pria dan wanita
seperti layaknya sebuah keluarga di luar perkawinan, baik
tinggal serumah maupun terpisah (kumpul kebo).
12. KELAYAKAN PUBLIK (KAN. 1093)

Contoh:
- Seorang pria dilarang menikah dengan
putri/ibu dari wanita pasangan tidak sah
- seorang wanita dilarang menikah dengan
putra atau ayah pasangan tidak sah
13. ADOPSI (KAN. 1094)

- Gereja melarang pernikahan di antara orang-orang


yang mempunyai hubungan adopsi dalam garis
lurus (orang tua angkat dengan anak angkat) dan
garis menyamping tingkat kedua (saudara dengan
saudari angkat)
- Alasan: moral, etika dan sosial
14. PENCULIKAN (KAN. 1089)

Terjadi ketika seorang pria memaksa, baik melakukan sendiri


maupun memakai orang suruhan, seorang wanita yang tak mau, untuk
menikah dengannya, dengan cara memindahkan atau menempatkan
si wanita di suatu tempat atau menyanderanya.Penculikan harus
diwarnai oleh kekerasan.
- Oleh karena itu tidak boleh dikatakan penculikan jika si wanita
mengikuti si penculik dari kehendaknya sendiri, misalnya karena
dijanjikan sesuatu atau untuk menghindari biaya yang lebih besar
jika pernikahan diadakan seturut kebiasaan lokal.
14. PENCULIKAN (KAN. 1089)

Tujuan:
Gereja bertujuan untuk melindungi keputusan bebas si wanita untuk
menikah, martabat wanita dan kesucian sakramen perkawinan

Solusi:
Jika terjadi penculikan atau penyanderaan: si wanita harus
dibebaskan lebih dahulu secara psikis dan fisik dari penculiknya,
ditempatkan di tempat yang aman, terlepas dari kekuasaan
penculiknya, sehingga dapat dengan bebas memilih pernikahan.
15. KAUL KEKAL KEMURNIAN TAREKAT
RELIGIUS DIOSESAN (KAN. 1088)
- Kaul kemurnian para biarawan/biarawati bertentangan dengan
pernikahan.
- Yang terkena halangan: para suster/bruder/frater berkaul kekal dari
tarekat religius;
- yang tidak terkena halangan: para suster/bruder/frater berkaul
sementara dari tarekat religius, anggota serikat hidup kerasulan,
tarekat sekuler

Anda mungkin juga menyukai