Anda di halaman 1dari 2

Kesalahan dalam penangkapan mempunyai konsekuensi yang cukup

besar
karena kekeliruan tersebut bila tidak segera diperbaiki akan terus
berlanjut
pada tahap-tahap selanjutnya.

Namun, pada proses penangkapan yang dilakukan penyidik polri


terhadap
tersangka yang diduga kuat melakukan suatu tindak pidana bisa saja
mengalami kekeliruan atau kesalahan yang bersumber pada human
error.
Dalam melaksanakan tugasnya, penyidik atau penyelidik atau
polri selain mengacu pada KUHP dan KUHAP, juga harus mengacu dan
mematuhi peraturan Perundang-undangan lainnya seperti Peraturan

Pemerintah No. 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota

Kepolisian Negara Republik Indonesia, Peraturan Kepala Kepolisian


Negara Republik Indonesia No. 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi
Kepolisian Negara RI, dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia No. 8 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi
Kode Etik Kepolisian Negara RI.

Pertanggung jawaban penyidik kepolisian dalam kasus salah tangkap terhadap tersangka
secara individu atau non individu dengan memberikan jalan untuk korban mengajukan
praperadilan ke pengadilan agar diketahui dimanakah letak kekeliruan salah tangkap.
Pertanggungjawaban penyidikan secara kode etik berupa penurunan pangkat jabatan, bahkan
pemecatan apabila melakukan tindakan berat yang bertentangan dengan kode etik kepolisian
Indonesia. Namun, pertanggungjawaban penyidikan polri apabila terjadi salah tangkap atau error
in persona dalam melakukan tugas kepolisian tidaklah dapat dipidanakan atau dituntut sesuai
penyalahgunaan wewenang kepolisian. Penyidik juga tidak berkewajiban untuk menyatakan
penyesalan atau meminta maaf secara tertutup atau secara terbuka.
Berdasarkan amanat Undang-undang tersebut, Polri seharusnya
mempunyai hubungan yang baik dengan masyarakat dalam rangka
pengabdian diri. Akan tetapi, terjadinya kasus salah tangkap menunjukkan
ketidakcermatan Polri dalam menjalankan tugasnya.

Perlindungan hukum terhadap korban salah tangkap dalam peradilan


pidana diatur di dalam Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu dalam bentuk Ganti
Kerugian dan Rehabilitasi. Ketentuan mengenai ganti kerugian meliputi
tindakan penangkapan, penahanan, penuntutan, atau pengadilan atau karena
dikenakan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang,
atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.
Pengajuan ganti kerugian atas putusan yang telah diajukan sampai dalam
tahap pengadilan diselesaikan oleh Pengadilan Negeri. Proses pengajuan ganti
kerugian diawali dahulu dengan pengajuan permohonan peninjauan kembali.
Tujuannya adalah untuk dapat membatalkan putusan yang sebelumnya.
Setelah permohonan peninjauan kembali, maka kemudian terpidana dapat
mengajukan tuntutan ganti kerugian kepada Pengadilan Negeri. Sedangkan
rehabilitasi dapat diperoleh oleh seseorang yang diputus bebas atau diputus
lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah memiliki kekuatan
hukum tetap. Rehabilitasi diberikan dan diajukan sekaligus dalam amar
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Anda mungkin juga menyukai