Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

PERMASALAHAN MASA TUA


Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Perkembangan
yang diampu oleh : Rahmawati, S.Psi., M.A

Disusun oleh :

Adila Rizqi Amalia Rivai (2285220006)

Ahmad Amar Salimas (2285220047)

Siti Destiana Maharani (2285220065)

Syifa Aulia Syafira (2285220061)

JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan YME, atas berkah dan rahmatnya makalah ini
bisa kami selesaikan tepat waktu tanpa adanya kendala yang berarti. Makalah ini
kami susun untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Psikologi Perkembangan yang
berpusat pada pembahasan mengenai Permasalahan Masa Tua. Adapun makalah
ini kami susun selain untuk menyelesaikan tugas, kami berharap semoga makalah
ini sesedikitnya bisa bermanfaat untuk para pembacanya.

Kami juga ingin berterimakasih kepada semua orang yang berkontribusi


dalam pembuatan makalah ini, termasuk ibu Rahmawati, S.Psi., M.A selaku dosen
terkait mata kuliah Psikologi Perkembangan yang telah membimbing kami dalam
menyusun makalah ini.

Terakhir, kami ingin meminta maaf apabila makalah ini masih belum
sesempurna yang seharusnya, baik itu terkait isi pembahasan, ataupun dari segi
penulisan dan kaidah bahasa yang mungkin masih belum sesuai dengan PUEBI
yang ada. Kami menerima segala kritik dan saran dari pembaca terkait makalah
ini. Dan semoga makalah ini tetap dapat bermanfaat dengan segala kekurangannya
untuk para pembaca, khususnya para calon guru BK seluruh Indonesia.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………..i

DAFTAR ISI…………………………………………………………ii

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………1

A. Latar Belakang…………………………………………….1
B. Rumusan
Masalah………………………………………....1
C. Tujuan……………………………………………………...1

BAB II PEMBAHASAN…………………………………………….2

A. Permasalahan Masa Tua Kesendirian…………………...2


B. Permasalahan Masa Tua Post Power Syndrome………..3
C. Masalah Psikologi Hadapi Pensiun………………………4
D. Adaptasi Kehadiran Anggota Keluarga Lain dalam
Keluarga(Menantu-Mertua)……………………………...5

BAB III PENUTUP…………………………………………………...

A. Kesimpulan………………………………………………….

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………
BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Usia tua adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu
periode di mana seseorang telah “beranjak jauh” dari periode terdahulu yang lebih
menyenangkan, atau beranjak dari waktu yang penuh dengan manfaat. Bila
seseorang yang sudah beranjak jauh dari periode hidupnya yang terdahulu, ia
sering melihat masa lalunya, biasanya dengan penuh penyesalan, dan cenderung
ingin hidup pada masa sekarang, mencoba mengabaikan masa depan sedapat
mungkin.

1.2 Rumusan Masalah

1. Permasalahan masa tua kesendirian?


2. Permasalahan masa tua post tower syndrome?
3. Masalah psikologi hadapi pensiun?
4. Adaptasi kehadiran anggota keluarga lain dalam keluarga(peran menantu
mertua)

1.3 Tujuan

 Untuk mengetahui tentang permasalahan masa tua kesendirian


 Untuk mengetahui permasalahan tua post power syndrome
 Untuk mengetahui masalah psikologi hadapi pensiun
 Untuk mengetahui hal yang ada pada adaptasi kehadiran anggota keluarga
lain dalam keluarga(peran menantu-mertua)
BAB II
PEMBAHASAN

A. Permasalahan Masa Tua Kesendirian


Kesendirian sering terjadi pada lansia dimana keterpisahan
menyebabkan permasalahan tersendiri bagi orang tua atau lansia.
Kesendirian akan meningkat ketika pasangan hidup dari lansia
meninggal dunia. Dan secara umum kehilangan yang paling sulit yang
dilalui adalah kehilangan pasangan hidup. Hal ini pun terjadi pada
lansia yang tinggal dalam panti jompo. Kebanyakan para lansia ini
sudah tidak mempunyai pasangan hidup lagi. Hal ini akan
mengakibatkan munculnya perasaan kesepian pada lansia tersebut.
Pendapat Burns(1988), kesepian terkait dengan harga diri juga
didukung dengan pernyataan bahwa individu yang kesepian cenderung
menilai dirinya sendiri tidak berguna dan tidak bernilai. Individu
merasa menjadi kurang berharga dan merasa harga dirinya kurang
optimal.
Masa tua adalah masa yang rentan dimana semua tekanan yang ada
pada masa tersebut berkumpul menjadi satu, dari yang dulu merasakan
kebersamaan dengan keluarga, anak-anak,suami atau istri yang selalu
mendampingi, masa-masa rentan yang terkadang tidak semua orang
dapat mampu menerimanya dan lebih disegani karena takut akan
kesendirian, kesepian dan merasa tidak dianggap oleh orang lain
karena menurunnya kemampuan fisik dan hanya merepotkan orang
lain. Kesendirian juga bisa timbul akibat kurang keyakinan akan
sesuatu yang dituju, kemampuan adaptasi dengan perubahan-
perubahan yang menua. Pola-pola pemikiran serta respon dan
tanggapan orang sekitar yang menjadikan beban tersendiri untuk
individu pada masa lansia.
Kesendirian juga bisa menyebabkan depresi dan kecemasan akibat
gangguan psikologis dan akan menimbulkan kepikunan. Kesendirian
juga menimbulkan satu perasaan kurang percaya dan perasaan
terlantar.
B. Permasalahan Masa Tua Post Tower Syndrome
Post Power Syndrome adalaha dimana keadaan yang menimbulkan
gangguan fisik, sosial dan spiritual pada usia lanjut saat memasuki
waktu pensiun sehingga dapat menghambat aktifitas dalam
menghadapi kehidupan sehari-hari. Usia lanjut sangat membutuhkan
peran seta dari keluarga dalam menghadapi masalah post power
syndrome tersebut.
Post Power Syndrome yang terjadi pada lansia akan mengakibatkan
dampak pada fisik, sosial dan spiritual. Dampak fisik yang terjadi pada
lansia yang mengalami Post Power Syndrome akan menyebabkan
aktifitas lansia terhambat. Dampak sosialnya akan menyebabkan lansia
kurang berpartisipasi dalam kegiatan sosial dilingkungan masyarakat.
Dan dampak spiritualnya akan menyebabkan lansia kurang aktif dalam
bidang keagamaan.
Post Power Syndrome banyak dialami oleh orang-orang yang baru saja
menjalani masa pensiun. Istilah tersebut muncul agak mereka yang
mengalami gangguan psikologis saat memasuki waktu pensiun. Stress,
depresi, tidak bahagia merasa kehilangan harga diri dan kehormatan
adalah beberapa faktor yang dialami oleh mereka yang terkena post
power syndrome.
Sebagaimana kebanyakan pengidap post power syndrome tidak dapat
menerima perubahan yang terjadi pada dirinya, contohnya pensiun.
Perubahan ini menyangkut beberapa aspek, tidak hanyak aktivitas saja,
tapi juga kekuasaan, harta, koneksi dan lain sebagainya.
Adapun faktor lain yang mendukung, antara lain:
 Hanya menguasai salah satu bidang pekerjaan, saat tidak dapat
bekerja pada bidang tersebut, mereka akan merasa kehilangan
mata pencaharian.
 Mempunyai jabatan yang penting dalam suatu perusahaan dan
merasa takut kehilangan pengakuan publik Ketika harus
berhenti bekerja.
 Ketika berhenti bekerja,mereka mengkhawatirkan masalah
keuangan untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
 Merasa takut akan pembalasan dendam orang yang bekerja saat
bawah pimpinannya, setelah melepaskan jabatan.
 Merasa khawatir akan keberhasilan yang selama ini mereka
bangun, akan mengalami kehancuran Setelah mereka berhenti
bekerja.

Post power syndrome juga sering kali menyerang orang dengan


kepribadian yang selalu menuntut keinginannya untuk terpenuhi,
senang dihormati dan sering mengatur orang lain, dan bangga akan
jabatannya.

C. Masalah Psikologi Hadapi Pensiun.


Pensiun selalu menyangkut perubahan peran, perubahan keinginan
dan perubahan nilai, serta perubahan secara keseluruhan terhadap pola
hidup setiap individu. Bagi mereka yang lebih suka dengan sikap
bekerja tetapi terpaksa keluar pada usia wajib pensiun sering kali
menunjukkan sikap kebencian dan akibatnya motivasi mereka untuk
melakukan suatu penyesuaian diri yang baik pada usia wajib pensiun,
cenderung mengalami kemunduran fisik dan psikologis.
Dampak yang sering terjadi pada masa pensiun adalah sebagai
akibat ketidaksiapan seseorang dalam menghadapi pensiun, misalnya
adanya gangguan psikologis dan ketidaksehatab dalam bentuk
kecemasan, stress, bahkan mungkin depresi. Kondisi ini juga biasanya
diikuti dengan adanya perubahan, dan kemunduran fisik misalnya
dalam bentuk munculnya berbagai gangguan penyakit, antara lain
hipertensi, diabetes, jantung dan lain-lain. Kondisi pensiunan akan
mengalami berbagai penurunan baik fungsi psikis, yang nantinya dapat
memepengaruhi mobilitas dan juga kontak sosial, dan salah satunya
adalaha rasa kesepian, terkucilkan, merasa tidak diperhatikan lagi,
kesepian atau yang lebih seriusnya lagi adalah depresi.
Sebagian besar pensiunan menunjukkan berbagai macam gejala atau
bentuk perilaku seperti sering menjadi pemurung yang disebabkan
karena tidak adanya teman untuk berkeluh kesah, sering merasa sakit-
sakitan disebabkan usia yang sudah lanjut karena mudah lelah setiap
selesai melakukan aktivitas, secara psikologis lebih tersinggung dan
menghindari interaksi dengan lingkungan sekitar.
Dengan demikian bahwa gejala stress yang dialami oleh pensiunan
dapat diakibatkan antara lain pada dirinya mengalami tekanan , beban,
konflik, kemurungan dan kehilangan daya. Pada diri seseorang akan
mengalami suatu kondisi seperti ketegangan yang menciptakan adanya
ketidakseimbangan fisik dan psikis, yang mempengaruhi emosi,dan
proses berfikir, Mereka juga sering menjadi mudah marahdan agresif,
tidak dapat rileks , atau dapat menunjukkan sikap yang tidak
kooperatif.

D. Adaptasi Kehadiran Anggota Keluarga Lain dalam Keluarga


(Peran Menantu-Mertua)
Di masa tua atau ketika umur seseorang masuk dalam fase orang
tua yang memiliki anak, kehadiran anggota keluarga lain yang datang
berasal dari keluarga yang sebelumnya tidak dikenal adalah sesuatu
yang banyak orang alami. Orang tersebut biasanya adalah seorang
menantu. Kehadiran menantu adalah sesuatu yang secara umum pasti
terjadi. Pada akhirnya keluarga yang memiliki anak suatu saat akan
memiliki istri atau suami yang menjadi anggota keluarga baru yang
sebelumnya tidak dikenal. Ini mengakibatkan problematika terhadap
adaptasi kepada orang yang tiba-tiba masuk ke dalam keluarga sebagai
anggota keluarga baru.
Namun, dalam banyak kasus, hubungan antara mertua dan menantu
yang biasanya bermasalah adalah hubungan yang terjadi antara mertua
ibu dan menantu istri. Permasalahan atau problematika antara mertua
ibu dan menantu istri lebih lumrah terjadi dibanding masalah antara
hubungan mertua dan menantu suami. Dalam riset yang dilakukan oleh
Apter (2010) yang ditulis olehnya dalam bukunya “What Do You Want
From Me?” menyatakan bahwa lebih dari 60% perempuan
mengatakan dirinya memiliki hubungan yang kurang harmonis dengan
mertuanya. Dua-per-tiga dari seluruh wanita yang diwawancarai oleh
Apter menyatakan bahwa mertua mereka merasa cemburu dengannya.

Hal ini terjadi dari kedua belah pihak, baik itu menantu dan mertua
keduanya memiliki andil dalam masalah ini jika kita lihat dari
beberapa contoh kasus. Misalnya dalam buku Apter, ia juga
mewawancarai seorang menantu yang bercerita bahwa calon ibu
mertuanya mengirimi dia email 2 bulan sebelum pernikahannya yang
berbunyi, “Apa kamu tidak sadar, anak laki-laki saya selalu
memikirkan saya setiap hari, setiap menit, bahkan setiap detik.”
Sebaliknya dari sisi mertua, salah satu orang yang diwawancarai oleh
Apter yang bernama Annie mengatakan bahwa menantu
perempuannya memiliki kecenderungan memperlihatkan sikap
cemburu ketika suaminya/anak dari Annie memperlakukannya dengan
baik. Annie berkata “Ia terlihat kurang berkenan ketika anak laki-laki
saya memberi perhatian dan menunjukkan pentingnya keterikatannya
dengan saya.”

Dari beberapa contoh itu kita sebenarnya bisa sedikit


menyimpulkan bahwa rata-rata problematika antara menantu dan
mertua erat kaitannya dengan kecemburuan dari masing-masing pihak
yang berkaitan dengan perlakuan antara suami/anak terhadap istri
dan/atau ibunya. Relasi yang kurang baik antara mertua ibu dan
menantu istri juga diperkuat oleh Apter dalam datanya yang telah ia
teliti selama 20 tahun mewawancarai ratusan keluarga di seluruh dunia
yang menghasilkan fakta bahwa 75% pasangan memiliki hubungan
yang kurang sehat dengan mertuanya.

"Ketika mereka berjuang untuk mencapai posisi yang sama dalam


keluarga sebagai perempuan utama, masing-masing mencoba untuk
membangun atau melindungi statusnya, dan di satu titik tertentu
masing-masing merasa terancam oleh yang lain. Kemudian muncul
pertanyaan rumit tentang siapakah "ibu" dalam keluarga tersebut," kata
Apter. Dalam pernyataannya, kedua belah pihak baik mertua ataupun
menantu seringkali secara psikologi saling memperebutkan peran ibu
dikeluarga mereka. Atau masalah ini juga erat kaitannya akan
perlombaan antara ibu mertua dan menantu perempuan dalam
mendapatkan perhatian anak/suaminya.

Beberapa sebab lain yang biasanya menjadi konflik antara ibu


mertua dan menantu perempuan diantaranya seperti pilihan pasangan
yang dipilih oleh anaknya bukan pilihan yang diinginkan oleh si ibu,
pernikahan yang tidak disetujui oleh mertua, gagalnya menantu untuk
menyesuaikan diri di rumah mertua, dan kematangan emosi yang
rendah baik itu si ibu mertua ataupun menantu perempuan.

Lantas seperti apa cara untuk mengatasi segala permasalahan ini?


Bagaimana caranya agar ketegangan antara ibu mertua dan menantu
perempuan dapat teratasi? Layaknya permasalahan lain, hal ini
sebetulnya dapat kita cegah sedari jauh-jauh hari sebelum ibu mertua
dan menantu perempuan mulai memiliki ikatan. Menurut Apostolou
(2008) “Jika Anda belum menikah, hubungan dekat dengan calon
mertua sebelum pernikahan adalah modal besar untuk memfasilitasi
hubungan yang lebih baik setelah pernikahan.” Menurutnya, menantu
seharusnya mampu meyakinkan bahwa ialah pasangan terbaik untuk
anak dari calon mertuanya.

Apostolou juga berpendapat bahwa, “Cara terbaik untuk mengatasi


konflik mertua dengan menantu adalah dengan meyakinkan mertua
Anda bahwa Anda adalah pasangan yang baik untuk anak mereka
dengan menunjukkan seberapa besar Anda merawat pasangan Anda.”
Hal itu dapat berlaku untuk mencegah hubungan buruk dengan calon
mertua, ataupun untuk memperbaiki hubungan yang buruk dengan
mertua.

Namun, tak semuanya harus diupayakan oleh menantu perempuan,


ibu mertua juga harus berupaya untuk mengatasi konflik ini. Untuk ibu
mertua, menurut Breslau (2012) "Jadilah temannya, bukan ibunya.
Pahamilah kenyataan bahwa dia adalah istri anak laki-laki Anda, dan
perlakukan dia bagaimana Anda menginginkan dia memperlakukan
Anda.”

Dari sini dapat kita simpulkan bahwa untuk membangun hubungan


yang harmonis antara mertua dan menantu tak luput dari peran masing-
masing keduanya. Selayaknya individu yang lain, kualitas hubungan
antar-individu ditentukan oleh seberapa baik kita mampu
berkomunikasi selama berinteraksi. Untuk membina komunikasi yang
baik, masing-masing individu harus bisa berempati dan saling
menyesuaikan diri. Hal yang sama berlaku juga pada hubungan ibu
mertua dan menantu.

Anda mungkin juga menyukai