Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN INDIVIDU

PRAKTIK KERJA LAPANGAN (PKL) UNGGAS


PT. SENTRA GEMILANG MULIA FARM
PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
GELOMBANG XXXVI KELOMPOK 3B
20 DESEMBER 2021 – 15 JANUARI 2022

Oleh :

BURHANUDIN
062023143083

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2022
Jadwal Kegiatan PKL

Tanggal Kegiatan

SPV unggas besar di kandang Saryanto B, Guntoyo, Giat A


20 Desember 2021 dan Kosim B

Vaksinasi Gumboro di kandang Wasidi A berjumlah 7600


21 Desember 2021
ekor umur 13 hari melalui cekok mulut

22 Desember 2021 Panen Pullet di kandang Kosim B sejumlah 1060 ekor

SPV unggas kecil di kandang Dwi, Irfan, Gunanto dan


23 Desember 2021 Saryanto

Chick in DOC pejantan di kandang Slamet berjumlah 6000


24 Desember 2021
ekor

25 Desember 2021 Diskusi rutin mingguan bersama Dokter Pramudya

SPV unggas besar di kandang Rudi, Guntoyo, Giat A dan


27 Desember 2021
Eko A

SPV unggas kecil di kandang Slamet, wasidi A, Martono dan


28 Desember 2021
Irfan

29 Desember 2021 Panen Pullet di kandang Kosim B sejumlah 1000 ekor

30 Desember 2021 Panen Pullet di kandang Kosim B sejumlah 2200 ekor

31 Desember 2021 Chick in di kandang Mardi D sejumlah 60 box

01 Januari 2022 Diskusi rutin mingguan bersama Dokter Pramudya

Vaksinasi ND-EDS-IB di kandang Kosim B sejumlah 1700


03 Januari 2022
ekor umur 16 minggu
Chick in DOC betina di kandang Jambidan sejumlah 8000
04 Januari 2022
ekor

05 Januari 2022 Vaksinasi ND-IB di kandang Saryanto B sejumlah 6500 ekor

SPV unggas besar di kandang junanto, saryanto A dan kosim


06 Januari 2022
A

Panen pullet di kandang Kosim B dan Eko B berjumlah 3450


07 Januari 2022
ekor
08 Januari 2022 Diskusi rutin mingguan bersama Dokter Pramudya

10 Januari 2022 Chick in DOC betina di kandang Waridi sejumlah 6500 ekor

Vaksinasi dan Grading pullet BB 1,2 Kg di kandang Giat A


11 Januari 2022
sejumlah 800 ekor

12 Januari 2022 Potong paruh di kandang susanto sejumlah 2960 ekor

13 Januari 2022 Pindah ayam di kandang Giat A dan Eko A sejumlah 600 ekor

SPV unggas besar di kandang Saryanto A, Susanto, Suyono


14 Januari 2022
dan Suparno

15 Januari 2022 Diskusi rutin mingguan bersama Dokter Pramudya


Kasus yang Ditemukan dari Hasil Nekropsi
1. Koksidiosis
Koksidiosis atau yang biasa dikenal dengan penyakit berak darah merupakan
penyakit yang disebabkan oleh protozoa yang menyerang saluran pencernaan bagian usus
halus dan sekum. Protozoa yang menyebabkan koksidiosis disebabkan oleh koksidia
yang berasal dari genus Eimeria, ada 7 spesies Eimeria spp. yang mampu menyebabkan
penyakit pada ayam, yaitu E. tenella, E. necatrix, E. acervulina, E. maxima, E. brunetti,
E. mitis, dan E. praecox. Setiap spesies Eimeria mempunya predileksi sendiri dalam
saluran peencernaan. E. tenella menyerang khusus di usus buntu (sekum), E. necatrix dan
E. maxima menyerang bagian tengah usus halus (jejunum) yang menyebabkan bintik
hitam atau putih disekitar permukaan usus, pada kasus yang parah dapat menyebabkan
penebalan dan penggelembungan dinding usus, disertai adanya lendir bercampur darah,
E. acervulina dan E. praecox menyerang usus halus bagian atas (duodenum), E. brunette
menyerang ileum, rektum, sekum dan kloaka. E. mitis menyerang semua bagian usus.
Feses ayam yang terjangkit koksidiosis akan mengeluarkan ookista, ookista yang
bersporulasi mampu bertahan di lingkungan dengan suhu 25-28oC sekitar 48 jam atau
lebih lama bergantung dari kondisi suhu, kelembaban, dan ketersediaan oksigen dalam
kandang. Jika suhu di dalam kandang rendah dan kelembabanya tinggi, atau kondisi litter
sangat lembab, maka ookista yang bersporulasi dapat bertahan di lingkungan luar hingga
berbulan- bulan. Kejadian koksidiosis di Indonesia dapat menyerang ayam di semua
umur, namun di ayam pedaging lebih sering menyerang di umur 2-3 minggu. Sedangkan
pada ayam petelur pada umur 0-8 minggu. Dampak dari penyakit ini antara lain
pertumbuhannya terhambat, penurunan efisiensi penggunaan ransum, dan kematian yang
dapat mencapai 80-90% (Retno dkk, 2015).
Koksidiosis juga akan menyebabkan efek imunosupresif yang menyebabkan
ayam lebih rentan terhadap serangan penyakit. Imunosupresif dapat terjadi karena pada
kasus koksidiosis jaringan usus mengalami kerusakan sehingga proses penyerapan dan
pencernaan nutrisi tidak optimal yang menyebabkan terganggunga pembentukan
antibodi, peyer’s patch dan caeca tonsil yang merupakan organ kekebalan saluran
pencernaan mengalami kerusakan, dan kerusakan mukosa yang terjadi di sepanjang usus
akan menyebabkan keluarnya plasma darah dan sel darah merah dalam jumlah banyak,
sehinga kadar IgA yang dihasilkan oleh organ limfoid dan terakumulasi dalam darah
mengalami penurunan.
Penyakit koksidiosis akan menular secara langsung dari ayam sakit ke ayam sehat.
Sesuai dengan siklus hidupnya, ayam yang menderita koksidiosis akan mengeluarkan
ookista melalui fesesnya. Pada litter yang lembab dan hangat, dalam jangka waktu 48 jam
ookista menjadi infektif. Ookista infektif kemudian akan masuk ke tubuh ayam melalui
ransum atau air minum yang telah terkontaminasi. Ayam yang memakan ookista akan
menujukkan gejala sakit setelah beberapa hari, tergantung spesies Eimeria yang
menginfeksi. Ayam yang baru terserang koksidiosis juga akan mengelurakan ookista
melalui feses, begitu seterusnya sehingga penularannya bisa terjadi secara cepat dalam
satu kandang. Jenis uji laboratorium untuk membantu penegakan diagnosa koksidiosis,
yaitu pemeriksaan mikroskopis dari sampel feses, serta scraping/ kerokan mukosa usus
dengan metode natif dan Mc. Master Chamber.
Diganosa banding pada koksidiosis antara lain, adanya perdarahan pada usus
halus dan sekum merupakan perubahan yang mirip dengan penyakit bacterial Necrotic
Enteritis (NE), pullorum, dan avian parathypoid. Pada kasus koksidiosis, sekum
mengalami perdarahan dan terdapat gumpalan darah di dalamnya. Sedangkan di bagian
usus halus jika diperhatikan lebih teliti akan ditemukan titik-titik berwarna putih
disepanjang permukaan usus.
1.1. Gejala klinis dan Patologi Anatomi
Gejala klinis yang ditimbulkan bervariasi tergantung umur ayam dan spesies
Eimeria yang menginfeksi. Ayam yang terserang koksidiosis awalnya akan
menampakkan gejala klinis seperti mengantuk, sayap terkulai kebawah, bulu kasar
(tidak mengkilat), nafsu makan rendah (anoreksia), dan anemia. Infeksi E. tenella
menyebabkan ayam mengalami berak darah yang diketahui dari adanya feses disertai
darah, berwarna merah atau oranye pada litter atau dibawah kandang. Sedangkan
infeksi E. maxima akan ditemukan feses kental berwarna kemerahan dan bercampur
bintik-bintik darah.
Hasil bedah ayam yang terindikasi koksidiosis menunjukkan adanya
perubahan organ pencernaan, jika penyebabnya E. tenella maka akan terjadi
perbesaran pada sekum 2-3 kali lipat, dindingnya menebal berwarna gelap, dan jika
disayat terdapat gumpalan darah didalamnya. Sedangkan jika terinfeksi oleh spesies
Eimeria yang lain maka akan terjadi penebalan dinding usus disertai peradangan
kataralis (bernanah) atau haemoragis (berdarah).
A B C

Gambar 1. (A) Sekum ayam mengalami pembengkakan dan berwarna merah


kehitaman (B) Terdapat gumpalan darah pada sekum setelah dibuka (C)
Mukosa usus tampak kemerahan (hiperemis).

1.2. Pengobatan dan Pengendalian penyakit


Adapun tata cara yang perlu diperhatikan ketikan melakukan pengobatan
terhadap koksidiosis,antara lain;
1. Tidak memberikan antikoksidia bersamaan dengan produk yang mengandung
vitamin B atau asam amino

2. Tidak memberikan vitamin B selama masa pengobatan. Vitamin B baru bisa


diberikan setelah pengobatan selesai atau tuntas.

3. Tidak berikan antikoksidia golongan sulfonamide pada kondisi gangguan ginjal


Langkah pengobatan yang dapat dilakukan untuk mengobati koksidiosis antara
lain;
a. Isolasi ayam yang sakit
b. Jika memungkinkan, buang feses bercamour darah yang ada pada litter untuk
menghindari ayam lain mematuknya
c. Berikan obat antikoksidia, saat ini sudah banyak antikoksidia yang diproduksi
mulai dari golongan sulfa/sulfonamide (Coxy, Sulfamix, Antikoksi, Duoko dan
Trimezyn), thiamine antagonist (Therapy dan Koksidex), maupun generasi baru
seperti toltrazuril (Tolradex). Sebaiknya lakukan rolling penggunaan
antikoksidia dari golongan yang berbeda setiap interval 3-4 kali pengobatan.
Pengendalian penyakit koksidiosis dapat dilakukan dengan cara pencegahan
dan pengobatan. Pencegahan terhadap koksidiosis dapat dilakukan dengan beberapa
cara, antara lain:
1. Memberantas ookista. Agar ookista tidak bersporulasi maka harus dilakukan
sanitasi dan desinfeksi sehingga ookista tidak mampu menginfeksi ayam yang
sehat.
2. Memperbaiki manajemen perkandangan. Manajemen kandang harus
memperhatikan suhu, kelembaban, ventilasi dan kepadatan kandang, kandang yang
terlalu lembab merupakan tempat yang cocok untuk ookista bersporulasi. Berikan
ransum dengan kandungan protein dan garam yang sesuai dengan kebutuhan ayam,
protein dan garam yang berlebihan dapat menyebabkan feses encer sehingga litter
menjadi cepat basah.
3. Menggunakan koksidiostat. Pemberian koksidiostat secara terus-menerus pada
ransum berfungsi untuk mengontrol dan menekan pertumbuhan koksidia sampai
level terendah.
4. Vaksinasi. Vaksinasi untuk pencegahan koksidiosis dapat dilakukan menggunakan
vaksin live oocysts.
2. ND (Newcastle Disease)
Newcastle Disease (ND) merupakan penyakit menular akut yang menyerang
ayam dan jenis unggas lainnya dengan gejala klinis berupa gangguan pernafasan,
pencernaan dan syaraf disertai mortalitas yang sangat tinggi. Di alam virus ND
menyerang unggas dan burung-burung. Ayam ras dan ayam kampung, baik piaraan
maupun yang liar sangat rentan. Ayam umur muda lebih rentan daripada ayam dewasa
dan mengakibatkan mortalitas yang tinggi. Jenis kelamin ayam tidak berpengaruh
terhadap kerentanan. Wabah ND umumnya terjadi karena perubahan lingkungan, seperti
kenaikan jumlah populasi yang tidak kebal, perubahan iklim yang menyebabkan stress,
perubahan musim kemarau ke musim hujan atau sebaliknya (musim pancaroba) dan
makanan kurang baik atau sanitasi dan tatalaksana yang kurang baik (Ditkeswan, 2014).
Berdasarkan atas predileksi dan gejala klinis yang ditimbulkan maka virus ND
dapat dikelompokkan menjadi 5 phatotype yaitu viscerotropic velogenic, neurotropic
velogenic, mesogenic, lentogenic dan asymptomatic enteric. ND tipe lentogenic
menunjukkan gejala klinis pada ternak ayam yang bersifat ringan atau tanpa gejala klinis,
virus ND tipe mesogenic dengan virulensi moderat (sedang) menunjukkan gejala klinis
gangguan sistem pernafasan tetapi gangguan sistem syaraf tidak selalu terlihat dan tingkat
mortalitas sekitar 25%, virus ND velogenic neurotropic adalah tipe yang sangat ganas
ditandai dengan penyakit yang bersifat akut dan kematian yang tinggi sampai 100% serta
memperlihatkan gejala gangguan syaraf dan pernafasan. Serta virus ND velogenik
viscerotropic merupakan suatu bentuk ND yang sangat patogen dimana lesi pendarahan
pada sistem pencernaan sering terlihat pada bentuk ini.
Diagnosa defenitif terhadap ND dapat dilakukan dengan cara isolasi dan
identifikasi virus menggunakan berbagai jenis kultur jaringan. Metode isolasi virus ND
yang paling praktis dan sering digunakan adalah pembiakan di dalam telur ayam bertunas
umur 9-11 hari. Uji Serologis HA dan HI, SN, ELISA serta uji Flourescent Antibody
Technique (FAT) dapat digunakan sebagai diagnosa penyakit ND. Newcastle Disease
sering dikelirukan dengan penyakit lain karena adanya kemiripan, baik terhadap gejala
klinis atau patologi anatomi. Beberapa penyakit tersebut antara lain, Infectious Bronchitis
(IB), Infectious Laryngo Tracheitis (ILT), Mycoplasmosis, Avian Encephalitis (AE) ,
Fowl Plaque, dan Infectious Coryza.
Penularan dari satu tempat ke tempat lain terjadi melalui alat transportasi, pekerja
kandang, burung dan hewan lain, debu kandang, angin, serangga, makanan dan karung
makanan yang tercemar. Dapat pula melalui transportasi dari karkas ayam yang tertular
virus ND dan ayam dalam masa inkubasi. Masa inkubasi ND antara 2 - 15 hari atau rata-
rata 6 hari. Ayam tertular virus ND akan mengeluarkan virus melalui alat pemafasan 1 -
2 hari setelah infeksi (Pudjiatmoko, et al, 2014). Penularan ND dari suatu hewan ke
hewan lainnya melalui kontak (persentuhan) dengan hewan sakit, sekresi, ekskresi dan
hewan sakit serta juga bangkai penderita tetelo. Jalan penularan melalui alat pencernaan
dan pernafasan. Virus yang tercampur lendir atau virus yang ada dalam faeces dan urine
tahan sampai 2 bulan, bahkan dalam keadaan kering tahan lebih lama lagi. Demikian pula
virus yang mencemari litter (jejabah) dan lain-lain perlengkapan kandang. Hal ini
merupakan sumber penularan yang penting.
2.1. Gejala Klinis dan Patologi Anatomi
Gejala klinis pada unggas penderita penyakit ND dapat dibedakan
berdasarkan phatotypenya. Akan tetapi ND secara murni gejala klinisnya antara lain,
tortikolis (kepala muntir), lesu, sesak napas, diare kehijauan, nafsu makan menurun.
Perubahan makroskopik yang ditemukan biasanya erat hubungan dengan galur tipe
patologik dari virus ND, pada VVND tersifat oleh adanya nekrosis dan hemoragik
pada saluran pencernaan, meliputi proventrikulus, ventrikulus dan berbagai bagian
usus, dimana lesi tersebut dapat dipakai untuk membedakan VVND dengan NVND.
Velogenik viserotropik ND menimbulkan merah dan bengkak pada konjungtiva,
nekrosis multifokal pada limpa, hemoragi pada mukosa proventrikulus, duodenum,
seka tonsil, atrofi bursa fabricious dan timus (Capua and Terregino, 2011).
B C

Gambar 2. (A) Terdapat ptechiae pada proventrikulus, (B) Perdarahan pada seka
tonsil, (C) Perdarahan dan Nekrosis pada usus.

2.2. Pengobatan dan Pencegahan


Pengobatan dapat dilakukan dengan membuat kondisi badan ayam cepat
membaik dan merangsang nafsu makannya. Pemberian vitamin seperti dapat
meningkatkatkan kondisi tubuh, mengatasi stres dan mempercepat penyembuhan.
Untuk mencegah infeksi sekunder pemberian antibiotik perlu dilakukan seperti
Zurilco dan Neometridil yang dapat digunakan sesuai kondisi di lapangan. Dapat
pula diberikan pemanasan tambahan pada kandang pada ayam kecil. Apabila terjadi
outbreak bisa dilakukan penyemprotan desinfektan (Vimekom) dan revaksinasi
ayam untuk mencegah penularan yang semakin masif. Pada pencegahan penyakit
ND dapat dilakukan dengan vaksinasi secara teratur, serta meningkatkan manjemen
pemeliharan seperti menjaga sanitasi kandang dan rutin melakukan desinfeksi
kandang.
3. Coryza
Kasus penyakit Coryza disebabkan oleh bakteri Haemophillus gallinarum.
Penyakit ini menyerang semua umur ayam terutama anak ayam. Penyakit ini banyak
ditemukan di daerah tropis dan biasanya muncul akibat dari perubahan iklim, hal tersebut
akan memengaruhi kesehatan ayam. Angka morbiditas yang ditimbulkan bervariasi
antara 1-30% sedangkan angka mortalitas yang ditimbulkan oleh penyakit ini mencapai
30%. Penyakit ini berpengaruh pada kondisi kekebalan dan daya tahan tubuh ayam.
Dengan melemahnya sistem kekebalan dan daya tahan tubuh ayam maka penyakit lain
pun akan lebih mudah untuk menginfeksi. Menurut Saepulloh dan Darminto (1998),
penularan penyakit Coryza dapat melalui kontak langsung dengan ayam yang sakit juga
dapat melalui udara, debu, pakan, air minum, petugas kandang, dan peralatan yang
digunakan. Kasus Coryza saat kegiatan PKL di PT Sentra Gemilang Mulia Farm
ditemukan di kandang Giat B, gejala yang terlihat yaitu adanya cairan yang keluar dari
mata dan hidung, terdapat peradangan di sekitar mata, ayam terlihat lemas seperti
mengantuk, ayam sukar bernapas atau mengorok, serta peternak pun melaporkan nafsu
makan ayam menurun.

Gambar 3. Ayam tampak seperti mengantuk (Kiri). Keluar cairan dari mata
dan hidung (Kanan)
Diagnosis banding dari penyakit Coryza adalah Chronic Respiratory Disease
(CRD) atau Infectious Laryngotracheitis (ILT). Terapi penyakit Coryza yaitu dengan
pemberian preparat sulfat seperti sulfadimethoxine atau dengan pemberian injeksi
intramuscular melalui dada ayam. Dapat pula dengan menggunakan Vetstrep ataupun
OTC yg dilarutkan dengan vitamin B kompleks dan diulang setelah 3-5 hari.
Pencegahan dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan kandang dan
lingkungan. Sirkulasi udara dalam kandang harus dipastikan lancar dan pastikan tingkat
amoniak serendah mungkin. Kandang harus dipastikan terkena sinar matahari langsung
sehingga mengurangi kelembaban karena kandang yang lembab dan basah memudahkan
timbulnya penyakit.

4. Aspergillosis
Aspergillosis merupakan penyakit gangguan pernapasan yang disebabkan oleh
jamur (Penyakit mikotik). Aspergillosis dikenal juga dengan brooder pneumonia, fungal
pneumonia, atau mycotic pneumonia. Kejadian Aspergillosis bersifat sistemik yang
berarti menyerang di dalam tubuh unggas dan dapat menyebar ke seluruh tubuh.
Aspergillosis disebabkan oleh jamur yang termasuk dalam genus Aspergillus, spesiesnya
adalah Aspergillus fumigatus dan Aspergillus flavus (Hastiono, 1986). Aspergillus sp.
termasuk kapang karena mempunyai hifa atau selium sejati, koloni seperti kapas, karpet
atau beludru. Struktur hifa Aspergillus sp berbentuk memanjang dan bercabang, bersekat,
dan bersepta. Dari hifa muncul tangkai spora dengan ujung yang membesar berbentuk
bulat atau lonjong. Pada permukaanya tertutupi sterigmata yang bentuknya seperti vas
bunga, sel spora berbentuk berbentuk bulat hingga lonjong terbentuk dibagian ujung dari
sterigmata dan membentuk rantai (Retno dkk, 2015). Aspergillus sp. hidup sebagai
saprofit dan sporanya dapat bertahan hingga bertahun-tahun. Jamur maupun spora yang
dihasilkan dapat berada di udara bebas, sekam, dan bahan baku ransum.
Jalur utama penularan aspergillosis adalah melalui pernapasan dengan menghirup
spora jamur, selain itu penularan bisa melalui telur, litter, peralatan kandang, ransum, dan
air minum yang terkontaminasi dengan spora Aspergillus sp. dapat puka menjadi media
penularan jamur. Pencemaran oleh spora jamur dapat terjadi di setter, hatchery, maupun
di ruang inkubator. Embrio ayam yang masih berada di inkubator memiliki resiko
terserang aspergillosis jika terkontaminasi oleh sporanya, dimana spora tersebut
terpenetrasi ke dalam telur melalui pori-pori kerabang kemudian berkembang di dalam
telur (Tabbu, 2000).
Diagnosa biasanya dilakukan dengan berdasarkan pada riwayat kasus, lesi
spesifik, dan pemeriksaan mikroskopik untuk membuktikan adanya hifa jamur
Aspergillus sp. Diagnosa akhir dilakukan dengan isolasi dan idetifikasi jamur di
laboratorium, isolasi dan identifikasi jamur dapat dilakukan di media Sabouraud Dextrose
Agar (SDA). Pemeriksaan serologis dapat dilakukan dengan uji Agar Gel Presipitat
(AGP) dan Enzime-linked Immunosorbent Assay (ELISA) untuk mengetahui adanya
antibodi terhadap Aspergillus sp. Pada kasus ayam yang mengalami dypsnoea seringkali
dikelirukan dengan penyakit Salmonellosis, Newcastle Disease, Chronic Respiratory
Disease, Infectious Coryza, dan Infectious Bronchitis.
4.1. Gejala klinis dan patologi anatomi
Aspergillosis lebih sering menyerang anak ayam, namun demikian juga tidak
menutup kemungkinan menyerang ayam dewasa. Kejadian aspergillosis pada ayam
muda bersifat akut, sedangkan ayam dewasa bersifat kronis. Aspergillosis tidak
hanya menyerang saluran pernapasan ayam, namun juga menyerang organ lainnya
yaitu mata (opthalmithis), kulit (dermatitis), tulang (osteomycosis), encephalitis dan
aspergillosis sistemik. Spora Aspergillus sp. yang memasuki selaput lendir mata akan
berkembang membentuk plak dibawah membran niktitan sehingga mengalami
peradangan dan mata tertutup cairan kental berwarna kuning.
Gejala klinis berbentuk akut yaitu ayam mengalami kesulitan bernapas
(dyspnoea), leher dijulurkan keatas karena bernapas melalui mulut, kenaikan
frekuensi napas, dan nafsu makan menurun. Jika infeksi yang terjadi bebarengan
dengan infeksi lain makan akan timbul suara ngorok. Pada aspergillosis bentuk
kronis akan muncul gejala kehilangan nafsu makan, lesu, bernapas melalui mulut,
kebiruan, kekurusan, dan dapat berlanjut pada kematian.
Perubahan patologi yang terjadi pada bentuk akut yaitu airsacculitis
granulomatosa dan pleuritis. Membran air sac mengalami penebalan dan terdapat
tonjolan kekuningan bersifat multifokal tersebar merata. Pulmo mengalami
pembesaran dilapisi lapisan tebal dan muncul lesi berupa nodul caseous (Retno dkk,
2015).

B C

Gambar 4. Nodul putih bersifat multifokal. (A) intestine, (B) cavum thorax dan
(C) pulmo ayam

4.2. Pengobatan
Beberapa obat yang digunakan sebagai antifungal antara lain nystatin,
amphotericin B, crystal violet, dan brilliant green. Dapat juga dilakukan pemberiam
cupri sulfat 1 gram/5 liter air minum selama 3 hari. Selain itu dilakukan pemberian
suplementasi vitamin dosis tinggi Fortevit dan memberikan antibiotik untuk
mengantisipasi adanya infeksi sekunder.

5. Collibacilosis
Colibacillosis adalah penyakit yang rentan menyerang ayam petelur muda (3-5
minggu). Penyakit ini disebabkan oleh bakteri E. coli. Serotipe-serotipe yang biasa
menyerang ayam antara lain OI, KI, 02, K1, KI, HS dan 078, K8. Infeksi dari bakteri ini
dapat menyebabkan Omphalitis, air sacculitis, peritonitis, dan salphingitis. Factor-faktor
predisposisi untuk timbulnya colibacillosis antara lain infeksi CRD, IB dan ND (Ditjen
PKH, 2014). Penyakit dapat berkembang cepat dengan derajat kematian yang tinggi.
Dampak dari infeksi E. coli adalah gangguan pertumbuhan, penurunan produksi,
peningkatan jumlah ayam afkir, penurunan kualitas karkas dan telur (Ditjen PKH, 2014).
Penularan dapat terjadi secara oral melalui pakan, minuman, debu atau feses yang
tercemar oleh E.coli. Sumber penularan lainnya adalah infeksi indung telur, kantong
kuning telur merupakan titik pusat infeksi pada unggas. Ayam umur muda lebih sensitif
dibandingkan ayam dewasa, faktor pendukung timbulnya Colibacillosis antara lain
adalah sanitasi atau desinfeksi yang kurang, air minum tercemar bakteri, sistem
perkandangan yang kurang memadai, dan adanya penyakit yang bersifat imunosupresif
seperti Gumboro (Ditjen PKH, 2014).
5.1. Gejala Klinis dan Patologi Anatomi
Gejala klinis tergantung dari umur ayam yang terserang, lamanya infeksi, dan
organ yang terserang. Biasanya ayam muda akan mati secara akut setelah timbul
gejala anoreksia dan lesu. Pada embrio sering ditemukan mati pada periode akhir
pengeraman. Pada anak ayam terjadi omphalitis, adanya oedema dan jaringan sekitar
pusar menjadi lembek seperti bubur. Pada unggas kelainan yang dapat ditemukan
ketika nekropsi adalah pericarditis berfibrin, penebalan dan penumpukan cairan
fibrin pada air sac, salphingitis, opthalmia, dan pada anak ayam ditemukan
omphalitis, enteritis serta synovitis (Ditjen PKH, 2014).
Pengamatan nekropsi dikandang ditemukan gejala yang mengindikasikan
adanya Colibacillosis pada ayam berumur 5 minggu deskripsi lesi: adanya air
sacculitis, terjadi bengkak pada bagian kepala ayam tersebut, dan dalam air sac juga
terdapat cairan fibrin. Akan tetapi lesi-lesi tersebut masih belum bias menegakkan
diagnosa dan perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut seperti, koleksi sample untuk
ditumbuhkan pada media.
Diagnosa pada kejadian colibacillosis tidak mudah, mengingat manifestasi
penyakitnya mirip dengan penyakit sepsis lain. Oleh karena itu, isolasi dan
identifikasi agen penyebab mutlak diperlukan. Colibacillosis dapat dikelirukan
dengan sepsis akut antara lain salmonellosis, pasteurellosis dan staphylococcosis
(Ditjen PKH, 2014).
Gambar 5. Gejala colibacillosis yang ditunjukan pada ayam
5.2. Pengobatan
Pengobatan colibacillosis dengan pemberian antiobiotik. Beberapa contoh
yang digunakan adalah kelompok aminoglikosida (neomisin, gentamisin), kelompok
aminosiklitol (spektinomisin), kelompok polipetida (kolistin, polimiksin), kelompok
tetrasiklin dan kelompok kuinolon. Pencegahan dapat dilakukan dengan
memperhatikan kualitas air dan pakan serta pencegahan penyakit yang bersifat
imonusupresif diprioritaskan. Pengedalian dan pemberantasan dengan cara
memperhatikan sertifikat bebas CRD dan IB sebelum membeli DOC dan desinfeksi
secara teratur serta meminimalkan stress pada ayam (Ditjen PKH, 2014).
DAFTAR PUSTAKA

Capua, I. dan Terregino, C. 2011.Clinical Traits and Pathology of Newcastle disease


Imfection and Guidelines for Farm Visit and Differential Diagnosa.Issue No. 36
Ditkeswan. 2014. Manual Penyakit Unggas. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan
Hewan Kementerian Pertanian Republik Indonesia, Jakarta. hal. 227
Hastiono, S. 1986. Hubungan Antara Tingginya Populasi Aspergillus spp. Patogenik Pada
Pakan dan Bahan-bahan Lainnya Dengan Tingkat Kejadian Aspergllosis pada
Unggas. Penyakit Hewan Vol. XVIII No. 31. Hal 49 – 53.
Retno D, F. Lestariningsih L, C. Purwanto, B. Hartono, S. 2015. Penyakit-Penyakit Penting
pada Ayam Edisi 2. Bandung: PT Medion Farma Jaya.

Saepulloh, M., dan Darminto. 1999. Epidemologi, Diagnosis, dan Kontrol Penyakit
Infectious Laryngotracheitis (ILT) Pada Ayam. Balai Penelitian Veteriner.
Wartazoa (8):1.

Tabbu C. R., 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Yayasan Kanisius. Yogyakarta.

Van T.T.H., Elshagmani, E., Gor, M.C., Anwar, A., Scott, P.C., Moore, R.J. 2017. Induction
of spotty liver disease in layer hens by infection with Campylobacter hepaticus.
Veterinary Microbiology 199: 85-90.
Van TTH, Lacey JA, Vezina B, Phung C, Anwar A, Scott PC. 2019. Survival mechanisms
of Campylobacter hepaticus identified by genomic analysis and comparative
transcriptomic analysis of in vivo and in vitro derived bacteria. Front Microbiol.
10:107.
Lampiran 1. Form Penilaian PKL Individu

Anda mungkin juga menyukai