Anda di halaman 1dari 4

Materi Ahli Waris Dzawil Arham :

A. Pengertian Dzaul Arham


Arham adalah bentuk jamak dari kata rahmun/rahim, yang asalnya dalam bahasa Arab
berarti 'tempat pembentukan/menyimpan janin dalam perut ibu'. Kemudian
dikembangkan menjadi 'kerabat', baik datangnya dari pihak ayah ataupun dari pihak ibu.
Pengertian ini tentu saja disandarkan karena adanya rahim yang menyatukan asal mereka.
Dengan demikian, lafazh rahim tersebut umum digunakan dengan makna kerabat, baik
dalam bahasa Arab ataupun dalam istilah syariat Islam. Adapun yang dimaksud dengan
dzawil arham adalah setiap kerabat pewaris yang tidak termasuk ashhabul furudh dan
ashabah, misalnya bibi (saudara perempuan ayah atau ibu) (5), paman dari pihak ibu
(saudara laki-laki ibu), keponakan laki-laki dari saudara perempuan, cucu laki-laki dari
anak perempuan, dan sebagainya.

B. Pendapat Beberapa Imam tentang Dzawul Arham


Para imam mujtahid berbeda pendapat dalam masalah hak waris dzawil
arham, sama halnya dengan perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan para
sahabat Rasulullah saw. Dalam hal ini ada dua pendapat : (6)

1. Golongan pertama berpendapat bahwa dzawil arham atau para kerabat tidak
berhak mendapat waris. Mereka mengatakan bahwa bila harta waris tidak
ada ashhabul furudh atau ashabah yang mengambilnya, maka harta warisan
dilimpahkan kepada baitulmal kaum muslimin untuk disalurkan demi
kepentingan masyarakat Islam pada umumnya. Dengan demikian, tidak
dibenarkan jika harta tersebut diberikan kepada dzawil arham. Di antara
mereka yang berpendapat demikian ialah Zaid bin Tsabit r.a. dan Ibnu
Abbas r.a. dalam sebagian riwayat darinya, dan juga merupakan pendapat
dua imam, yaitu Malik dan Syafi'i rahimahumullah.

2. Golongan kedua berpendapat bahwa dzawil arham (kerabat) berhak


mendapat waris, bila tidak ada ashhabul furudh, ataupun ashabah yang
menerima harta pewaris. Mereka berpendapat bahwa dzawil arham lebih
berhak untuk menerima harta waris dibandingkan baitulmaal, sebab dzawil
arham memiliki kekerabatan dengan pewaris. Pendapat ini merupakan
jumhur ulama, di antaranya Umar bin Khathab, Ibnu Mas'ud, dan Ali bin
Abi Thalib. Juga merupakan pendapat Imam Abu Hanifah dan Ahmad bin
Hambal rahimahumullah.

footnote :
5.Al Hafizh Ibn Hajar Al- Asqalani, Terjemah Bulughul Maram, terj.Moh. Machfuddin
aladip, (Semarang: Toha Putra. 2010), h. 479.
6.Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), cet. ke-3, h. 23.
C. Cara Pembagian Waris untuk Dzawil Arham
Di antara ulama fiqh terjadi perbedaan pendapat mengenai tata cara
memberikan hak waris kepada para kerabat, dan dalam hal ini terbagi menjadi
tiga kelompok pendapat sebagai berikut: (7)

1. Menurut Ahlur-Rahmi

Mengenai cara pembagian hak waris para kerabat, ahlur-rahmi menyatakan bahwa semua
kerabat berhak mendapat waris secara rata, tanpa membedakan jauh-dekatnya
kekerabatan, dan tanpa membeda-bedakan antara laki-laki dengan perempuan. Misalnya,
seseorang wafat dan meninggalkan seorang cucu perempuan keturunan anak perempuan,
seorang keponakan perempuan dari saudara perempuan, bibi dari pihak ayah (saudara
perempuan ayah), bibi dari pihak ibu (saudara perempuan ibu), dan keponakan laki-laki
keturunan saudara laki-laki seibu. Maka dalam hal ini mereka mendapatkan bagian waris
secara rata, tanpa melebihkan atau mengurangi salah seorang dari ahli waris yang ada.
Mazhab ini dikenal dengan sebutan ahlur-rahmi disebabkan orang-orang yang menganut
pendapat ini tidak mau membedakan antara satu ahli waris dengan ahli waris yang lain
dalam hal pembagian, mereka juga tidak menganggap kuat serta lemahnya kekerabatan
seseorang. Yang menjadi landasan mereka ialah bahwa seluruh ahli waris menyatu
haknya karena adanya ikatan kekerabatan. Mazhab ini tidak masyhur, bahkan dhaif dan
tertolak. Karenanya tidak ada satu pun dari ulama atau para imam mujtahid vang
mengakuinya apalagi mengikuti pendapat ini dengan alasan telah sangat nyata
bertentangan dengan kaidah syar'iyah yang masyhur dalam disiplin ilmu mawarits.

footnote :
7. Thaha Abul Ela Khalifah, Hukum Waris: Pembagian Warisan Berdasarkan Syariat
Islam, h.
438.

2. Menurut Ahlut Tanzil


Golongan ini disebut ahlut-tanzil dikarenakan mereka mendudukkan keturunan ahli waris
pada kedudukan pokok (induk) ahli waris asalnya. Mereka tidak memperhitungkan ahli
waris yang ada (yang masih hidup), tetapi melihat pada yang lebih dekat dari ashhabul
furudh dan para ashabahnya. Dengan demikian, mereka akan membagikan hak ahli waris
yang ada sesuai dengan bagian ahli waris yang lebih dekat, yakni pokoknya. Inilah
pendapat mazhab Imam Ahmad bin Hambal, juga merupakan pendapat para ulama
mutakhir dari kalangan Maliki dan Syafi'i.

3. Menurut Ahlul Qarabah


Mazhab ini merupakan pendapat Ali bin Abi Thalib r.a. dan diikuti oleh para ulama
mazhab Hanafi. Menurut Ahlul Qarabah, hak waris para dzawil arham
ditentukan dengan melihat derajat kekerabatan mereka kepada pewaris. Hal ini,
menurut mereka, dilakukan dengan mengqiyaskannya pada hak para ashabah,
berarti yang paling berhak diantara mereka (para ashabah) adalah yang paling
dekat kepada pewaris dari segi dekat dan kuatnya kekerabatan.
Sebagaimana telah diungkapkan, dalam hal melaksanakan pembagian
waris untuk dzawil arham, mazhab ini membaginya secara kelompok. Dalam
prakteknya sama seperti membagi hak waris para ashabah, yaitu melihat siapa
yang paling dekat hubungan kekerabatannya dengan pewaris, kemudian barulah
yang lebih kuat di antara kerabat yang ada. Selain itu, pelaksanaannya tetap
mengikuti kaidah umum pembagian waris, yakni bagian laki-laki adalah dua kali
bagian wanita.

D. Syarat-syarat Pemberian Hak Waris bagi Dzawil Arham

1. Tidak ada ashhabul furudh. Sebab, jika ada ashhabul furudh, mereka tidak
sekadar mengambil bagiannya, tetapi sisanya pun akan mereka ambil karena
merupakan hak mereka secara radd. Sedangkan kita ketahui bahwa
kedudukan ahli waris secara ar-radd dalam penerimaan waris lebih
didahulukan dibandingkan dzawil arham.
2. Tidak ada ashabah. Sebab ashabah akan mengambil seluruh hak waris yang
ada, bila ternyata tidak ada ashhabul furudh. Dan bila ada ashhabul furudh,
maka para ashabahakan menerima sisa harta waris yang ada, setelah diambil
hak para ashhabul furudh.
3. Apabila ashhabul furudh hanya terdiri dari suami atau istri saja, maka ia
akan menerima hak warisnya secara fardh, dan sisanya diberikan kepada
dzawil arham. Sebab kedudukan hak suami atau istri secara radd itu sesudah
kedudukan dzawil arham. Dengan demikian, sisa harta waris akan diberikan
kepada dzawil arham.

Apabila dzawil arham (baik laki-laki maupun perempuan) seorang diri


menjadi ahli waris, maka ia akan menerima seluruh harta waris. Sedangkan jika
dia berbarengan dengan salah satu dari suami atau istri, maka ia akan menerima
sisanya. Dan bila bersamaan dengan ahli waris lain, maka pembagiannya sebagai
berikut (13) :

1. Mengutamakan dekatnya kekerabatan. Misalnya, pewaris meninggalkan ahli


waris cucu perempuan dari keturunan anak perempuan, dengan anak cucu
perempuan dari keturunan anak perempuan, maka yang didahulukan adalah
cucu perempuan dari anak perempuan. Begitu seterusnya.
2. Apabila ada kesamaan pada kedekatan derajat kekerabatan, maka yang lebih
berhak untuk dintamakan adalah yang paling dekat dengan pewaris lewat
ashhabul furudh atau ashabah. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan
cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, dan cucu laki-laki dari keturunan anak
perempuan, maka yang lebih didahulukan adalah cucu perempuan dari keturunan anak
laki-laki. Dalam contoh ini, tampak ada kesamaan derajat di antara kedua ahli waris,
keduanya memiliki hubungan kekerabatan dengan pewaris sama-sama sebagai cucu.
Hanya saja, cucu perempuan keturunan anak laki-laki bernasab kepada pewaris lewat
jalur ashhabul furudh, sedangkan cucu laki-laki dari keturunan anak perempuan melalui
dzawil arham.
keturunan anak perempuan, maka yang lebih didahulukan adalah cucu
perempuan dari keturunan anak laki-laki. Dalam contoh ini, tampak ada
kesamaan derajat di antara kedua ahli waris, keduanya memiliki hubungan
kekerabatan dengan pewaris sama-sama sebagai cucu. Hanya saja, cucu
perempuan keturunan anak laki-laki bernasab kepada pewaris lewat jalur
ashhabul furudh, sedangkan cucu laki-laki dari keturunan anak perempuan
melalui dzawil arham.
3. Apabila segi derajat dan kedekatannya kepada pewaris sama, maka haruslah
mengutamakan mana yang lebih kuat kedekatan kekerabatannya. Misalnya,
seseorang wafat dan meninggalkan anak perempuan dari saudara laki-laki
sekandung (yakni keponakan sekandung) dengan anak perempuan dari
saudara laki-laki seayah (keponakan bukan sekandung), maka dalam keadaan
seperti ini kita harus mengutamakan keponakan kandung, dan berarti
seluruh harta waris menjadi haknya. Yang demikian itu disebabkan
keponakan kandung lebih kuat kekerabatannya. Begitulah seterusnya.
4. Apabila dalam suatu keadaan terjadi persamaan, maka pembagiannya
dilakukan secara merata. Artinya, semua ahli waris dari dzawil arham berhak
menerima bagian. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang
anak perempuan dari anak paman kandung, seorang anak perempuan dari
anak paman yang lain (sekandung), dan seorang anak perempuan dari anak
paman kandung yang lain. Atau dengan redaksi lain, orang yang wafat ini
meninggalkan tiga putri keturunan anak paman kandung. Maka harta
warisnya dibagi secara merata di antara mereka, karena ketiganya memiliki
derajat yang sama dari segi kekerabatan.
5. Aturan pemberian hak waris terhadap para dzawil arham adalah bagian lakilaki dua
kali lipat bagian perempuan, sama seperti dalam pembagian para
ashabah untuk anak laki-laki dan anak perempuan, sekalipun dzawil arham
itu keturunan saudara laki-laki atau saudara perempuan seibu.

footnote:
13. Usman, Op.Cit.,h. 184.

Anda mungkin juga menyukai