Anda di halaman 1dari 13

Tugas Mata Kuliah Hukum Kepailitan (2022)

Memahami Hukum Kepailitan


Nama Mahasiswa : Azmy Sahara Sitorus
NIM : 1903101010001

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala


Jl. Putro Phang No. 1 Kopelma Darussalam, Banda Aceh 23111
email: azmysaharaa@gmail.com

INFORMASI ARTIKEL ABSTRAK


Kata kunci : Pailit dan kepailitan berawal dari ketidakmampuan
Hukum,kepailitan
membayar namun dalam praktiknya sering menjadi
ketidakmauan debitor untuk membayar utangutangnya yang
telah jatuh waktu tempo dan dapat ditagih. Jika debitor
berada dalam kondisi demikian, maka debitor, kreditor
ataupun pihak lain yang ditentukan didalam peraturan
perundang-undangan dapat mengajukan permohonan pailit
ke pengadilan. Pernyataan pailit ini haruslah dengan
putusan pengadilan. Dan pengadilan yang berwenang ialah
Pengadilan Niaga untuk tingkat pertama dan Mahkamah
Agung untuk tingkat kasasi

1. Pendahuluan
Adalah suatu kenyataan bahwa kegiatan usaha pada era global seperti pada saat ini tidak mungkin
terpisahkan dari masalah-masalah lain. Suatu perusahaan yang dinyatakan pailit pada saat ini akan
mempunyai dampak imbas dan pengaruh buruk bukan hanya kepada perusahaan itu saja melainkan
berakibat global. Sebagai contoh, ketika dirutyamaichi securities pada 1 Desember 1995
mengumumkan kebangkrutan perusahannya pada suatu konferensi pers di Tokyo, jepang laksana
diguncang bom atom lagi. Bahkan dampaknya bersifat mengglobal. Dari kasus ini dapat dilihat
banyak pihak yang menjadi korban bila perusahaannya dinyatakan pailit.
Oleh karena itu, lembaga kepailitan merupakan salah satu kebutuhan pokok di dalam aktivitas
bisnis karena adanya status pailit merupakan salah satu sebab pelaku bisnis keluar dari pasar. Begitu
memasuki pasar pelaku bisnis bermain di dalam pasar. Apabila pelaku bisnis sudah tidak mampu lagi
untuk bermain di arena pasar, maka dapat keluar dari pasar atau terpaksa bahkan mungkin dipaksa
keluar dari pasar. Dalam hal seperti inilah kemudian lembaga kepailitan itu berperan.
Pandangan seperti itu bisa diterima secara ekonomis, bila dikemas di dalam peraturan hukum
maka peraturan itu secara tepat merefleksikan kepentingan yang dilihat dari sudut pandang ekonomis.
Namun hal seperti ini jelas tidak sesuai dengan era global seperti sekarang ini.
Menurut peter (1979), aturan main dalam bentuk perangkat peraturan hukum di dalam kegiatan
bisnis meliputi 3 hal yaitu :
1.aturan hukum yang memberi landasan hukum bagi keberadaan lembag-lembaga yang mewadai para
bisnis dala arena pasar (substantive legal rules).
2.aturan hukum yang mengatur perilaku (behavior) para pelaku bisnis dalam melaksanakan setiap
transaksi bisnis dan
3.aturan hukum yang memungkinkan pelaku keluar dari pasar.

1
2. Pembahasan
Kepailitan merupakan status hukum yang disandang oleh debitor akibat putusan pailit lembaga
peradilan. Akibat dari putusan pailit, harta kekayaan debitor diletakkan di bawah sita umum
(mengalami keadaan automatic stay) yang mana menyebabkan debitor tidak lagi dapat menguasai
harta kekayaannya. Hal tersebut terjadi hingga pemberesan harta pailit selesai dilaksanakan oleh
administrator harta pailit (dalam Undang-Undang Kepilitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang disebut sebagai kurator).
Putusan pailit dapat dijatuhkan kepada debitor apabila tidak mampu membayar satu atau lebih
utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Jumlah kreditor dari si debitor sendiri minimal
dua orang dan bisa lebih. Apabila jumlah kreditor hanya satu orang dan kemudian terjadi sengketa,
maka sengketa perjanjian utang-piutang tersebut dapat diselesaikan dengan gugatan wanprestasi
terhadap debitor melalui jalur peradilan. Hal tersebut yang membedakan antara gugatan wanprestasi
dan permohonan pailit.

2.1. Pengertian, tujuan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang

- Pengertian kepailitan
secara etimologi, istilah kepailitan berasal dari kata pailit.selanjutnya istilah pailit berasal dari
kata belanda faillet yang mempunyai arti kata ganda yaitu sebagai kata benda dan kata sifat. Istilah
faillet sendiri berasal dari perancis yaitu Faillete yang berarti pemogokan atau kemacetan
pembayaran, sedangkan orang yang mogok atau berhenti membayar dalam bahasa perancis disebut Le
failli.Kata kerja failir berarti gagal dalam bahasa Inggris dikenal dengankata to fail yang mempunyai
arti sama dalam bahasa latin yaitu failure. Di negara-negara yang berbahasa Inggris untuk pengertian
pailit dan kepailitan mempergunakan istilah-istilah bankrupt dan bankruptcy
Dalam undang-undang kepailitan Nomor 37 tahun 2004, pasal 1 butir 1menyebutkan defeinisi
dari kepailitan yaitu (sita umum atas semua kekayaan Debitor pailit yang pengurusan dan
pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim pengawas sebagaimana diatur
dalam undang-undang ini.Diantara beberapa sarjana ditentukan adanya pendapat yang berbeda
tentang pengertian kepailitan. Kepailitan adalah suatu usaha bersama untuk mendapatkan pembayaran
semua piutang secara adil. pendapat yang lain menyebutkan bahwa kepailitan merupakan penyitaan
umum atas kekayaan si pailit bagi kepentingan semua penagihannya sehingga lalai Harta
peninggalanlah yang ditugaskan dengan pemeliharaan serta pemberesan budel dari orang yang pailit.
Adapula yang menyebutkan bahwa kepailitan adalah suatu sitaandan eksekusi atas seluruh kekayaan
si debitor untuk kepentingan seluruh kreditornya bersama-sama, yang pada waktu kreditor dinyatakan
pailit mempunyai piutang dan untuk jumlah piutang yang masing-masing kreditor miliki pada saat itu.

Berdasarkan beberapa definisi atau pengertian yang diberikan oleh beberapa sarjana tersebut dapat
ditarik suatu kesimpulan bahwa kepailitan mempunyai unsur-unsur:
1. Adanya sita dan eksekusi atas seluruh kekayaan debitor.
2. Sita itu semata-mata mengenai harta kekayaan.
3. Sita dan eksekusi tersebut untuk kepentingan para kreditornya
secara bersama-sama.

2
Pengertian kepailitan menurut beberapa ahli :

1.Martias gelar Iman Radjo Mulano


mengemukakan pailit sebagaimana yang ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUH Pdt) yaitu seluruh harta dari kekayaan debitor menjadi jaminan untuk seluruh utang-
utangnya.Pailit merupakan penyitaan umum atas seluruh kekayaan debitor untuk kepentingan kreditor
secara bersama-sama.

2.Siti Soemarti Hartono


mengartikan dengan lebih sederhana yaitu pailit berarti mogok melakukan pembayaran.

3.Kartono
mengartikan kepailitan sebagai suatu sitaan umum dan eksekusi atas seluruh kekayaan debitor untuk
kepentingan semua kreditornya.

- Tujuan Kepailitan
Tujuan utama kepailitan adalah untuk melakukan pembagian antara para kreditur atas kekayaan
debitur oleh kurator. Kepailitan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah atau
eksekusi terpisah oleh kreditur dan menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama sehingga
kekayaan debitur dapat dibagikan kepada semua kreditur sesuai dengan hak masing-masing.
Lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai dua fungsi sekaligus:
1. kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada kreditur bahwa debitur tidak akan berbuat
curang, dan tetap bertanggung jawab terhadap semua hutang-hutangnya kepada semua kreditur.
2. kepailitan sebagai lembaga yang juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap
kemungkinan eksekusi massal oleh kreditur-krediturnya.

Tujuan Kepailitan Menurut Sutan Remy Sjahdeini :


 Melindungi para Kreditor konkuren untuk memperoleh hak mereka sehubungan dengan
berlakunya asas jaminan, bahwa "semua harta kekayaan Debitor baik yang bergerak maupun
yangtidak bergerak, baik yang telah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari,
menjadi jaminan bagi perikatan Debitor", yaitu dengan cara memberikan fasilitas dan
prosedur untuk mereka dapat memenuhi tagihan-tagihannya terhadap debitor.
 Menjamin agar pembagian harta kekayaan Debitor di antara para Kreditor sesuai dengan asas
pari passu (membagi secara pro-porsional harta kekayaan Debitor kepada para Kreditor
konkuren atau unsecured creditors berdasarkan perimbangan besarnya tagihan masing-masing
Kreditor tersebut).
 Mencegah agar Debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan
kepentingan para Kreditor.
 Pada hukum kepailitan Amerika Serikat, hukum kepailitan memberikan perlindungan kepada
Debitor yang beritikad baik dari para Kreditornya, dengan cara memperoleh pembebasan
utang.
 Menghukum Pengurus yang karena kesalahannya telah mengakibatkan perusahaan
mengalami keadaan keuangan yang buruk sehingga perusahaan mengalami keadaan
insolvensi dan kemudian dinyatakan pailit oleh pengadilan.
 Memberikan kesempatan kepada Debitor dan para Kreditornya untuk berunding dan membuat
kesepakatan mengenai restrukturisasi utang-utang Debitor.

3
- Penundaan kewajiban membayar hutang
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam bahsa Belanda disebut surseance van betaling
dan dalam Bahasa Inggris dinamakan suspension of payment. Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang berasal dari hukum Germania lama dan hanya diberikan dalam hal luar biasa oleh pengadilan.
Ketentuan yang berkaitan dengan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diatur pada Bab
ketiga Pasal 222 sampai Pasal 294. Ketentuan tersebut menyebutkan bahwa keberadaan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang sebagai suatu tawaran pembayaran utang bagi debitor kepada kreditor
baik dibayarkan sebagian atau seluruh utangnya untuk dapat menyelesaikan sengketa kepailitan. Oleh
sebab itu Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang memiliki tujuan yang berbeda dengan kepailitan.
Menurut Kartini Mulyadi pengertian dari Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah
pemberian kesempatan pada debitor untuk melakukan restrukturisasi utang-utangnya baik yang
meliputi pembayaran seluruh utang atau sebagian utangnya kepada kreditor konkuren.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tidak menyatakan secara jelastentang pengertian
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dalam Undang undang tersebut pada Pasal 222 ayat (2)
dan (3) hanya menjelaskan mengenai pengajuan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang
berbunyi:
1. Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan pembayaran utang-
utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran
pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor.
2. Kreditor yang memperkirakan bahwa debitor tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang
sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon agar kepada debitor diberi Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, untuk memungkinkan debitor mengajukan rencana perdamaian yang
meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditornya.
Tujuan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yaitu :
1. Menghindari pailit.
2. Memberikan kesempatan kepada Debitor melanjutkan usahanya, tanpa
ada desakan untuk melunasi utang-utangnya.
3. Menyehatkan usahanya.
Fred B.G Tumbuan berpendapat bahwa tujuan dari Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
yaitu untuk memperbaiki keadaan ekonomis dan kemampuan debitor untuk membuat laba dengan
maksud agar debitor terjaga dari likuidasi.

2.2. Sejarah dan pengaturan hukum kepailitan


Peraturan kepailitan di Indonesia mengalami perkembangan dari mulai ketika pemerintahan
penjajahan Belanda sampai dengan Pemerintahan Republik Indonesia Pada saat penyusunan wetboek
van Koophandel (Wvk) di Negeri Belanda, telah terjadi dualisme peraturan kepailitan, yaitu dengan
berlakunya:

- Buku III yang berjudul Van de Voorzinigen in geval van onvermogen van Kooplieden, yang
diatur dari Pasal 749 s/d Pasal 910 WvK. Peraturan ini hanya berlaku bagi para pedagang.
- Di samping itu, terdapat pula Buku III Titel 8 Wetboek van Burgerlijke Rechtsvordering
(BRV) yang mengatur kepailitan bukan untuk pedagang.

Adanya dualisme pengaturan kepailitan tersebut menimbulkan kesulitan dalam praktek antara
lain seperti yang diungkapkan Molengraaf sebagai berikut :

4
- WvK pada waktu itu dianggap hanya berlaku untuk kaum pedagang saja, sedangkan yang
dapat dinyatakan pailit bukan hanya pedagang tetapi setiap orang;
- WVK hanya berisi hukum materiel saja, sedangkan peraturan tentang kepailitan berisi baik
hukum formal maupun hukum materiel.
- Dengan adanya dua peraturan tentang kepailitan menimbulkan kesulitan, keruwetan, waktu
penyelesaian yang lama sehingga menimbulkan biaya yang besar

Pada tahun 1887 Molengraaf berhasil membuat naskah kepailitan dalam buku tersendiri dan
baru berlaku pada tahun 1896. Peraturan tersebut sekaligus mencabut Buku III WvK dan Buku III
Titel 8 BRV. Untuk Indonesia kedua peraturan tersebut dihapuskan dengan KB tgl 19 November 1904
no. 46 LN 1905 No. 217 jo. LN 1906 448. penghapusan tersebut dilakukan dengan Stb. 1906 No. 348;
Kemudian dengan Stb. 1905 No. 217 dinyatakan berlaku peraturan kepailitan yang baru, yaitu
Faillisementsverordening (FV)di Indonesia yang hanya berlaku bagi orang-orang yang tunduk pada
Hukum Perdata Barat, dan bagi bagi orang-orang yang tidak tunduk kepada Hukum Perdata Barat
berlaku hukum adatnya. Tetapi dengan lembaga penundukan diri secara sukarela dapat juga
diberlakukan bagi golongan Bumi Putra dan Golongan Timur Asing.

Faillisements Verordening (FV) terdiri dari 279 Pasal, dan terdiri dari dua bab, yaitu :

- Bab I tentang Kepailitan (van Faillisement) Pasal 1 s/d 211;


- Bab II tentang Penundaan Pembayaran (Surseance van Betaling) Pasal 212 s/d 279.

Beberapa Kelemahan Faillisement Verordening :

- FV dipergunakan untuk kepailitan perusahaan perorangan


- Time Frame tidak ada
- BHP sebagai satu-satunya kurator
- Hanya mengatur hukum materil saja
- Diberlakukan bagi golongan Eropah
- Dengan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 FV tetap diberlakukan setelah
Indonesia merdeka
- Dengan terjadinya krisis moneter di Indonesia pada tahun 1998 memberikan dampak yang
cukup penting terhadap keberadaan peraturan kepailitan, di mana pemerintah kemudian
menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) No. 1 Tahun 1998
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan. PERPU tersebut tidak
mencabut FV tetapi hanya merubah dan menambahnya saja

Kemudian pada tanggal 9 September 1998 dengan UU No. 4 Tahun 1998 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang, ditingkatkan PERPU No. 1 tahun
1998 menjadi undang-undang No. 4 Tahun 1998. Dalam UU Kepailitan baru ini, kepailitan diatur
dalam 289 Pasal, yang terdiri dari 3 Bab :

- Bab I tentang Kepailitan, mulai pasal 1 s/d Pasal 211.


- Bab II tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 212 s/d 279;
- Bab III tentang Pengadilan Niaga, Pasal 280 s/d 289.

5
2.3. Hubungan hukum perdata, hukum dagang, dan hukum kepailitan

Hukum Kepailitan memiliki hubungan yang erat dengan Hukum Perdata dan Hukum Dagang.
- Hukum Perdata dalam arti luas adalah Hukum Perdata yang diatur dalam KUHPerdata dan
Hukum Dagang yang diatur dalam KUHD.
- Hukum Perdata dalam arti sempit hanya Hukum Perdata yang diatur dalam KUHPerdata saja.
- Hukum Perdata dalam arti luas meliputi semua “hukum materiil” yang meliputi hukum pokok
yang mengatur kepentingan perorangan.

Menurut Subekti:
Hukum Perdata didefinisikan sebagai “hukum yang mengatur hubungan pribadi antara manusia
dan manusia sebagai subyek-subyek hukum karena bersamaan hidup dalam suatu masyarakat.

Pada KUH Perdata Buku III tentang Perikatan Bab XIX tentang Piutang Dengan Hak Mendahulukan
Bagian 1 tentang Piutang dengan Hak Didahulukan pada Umumnya di mulai dari Pasal 1131 dan
1132.

Keterkaitan Pasal 1131 & 1132 KUH Perdata DenganUUKPKPU.


- Kedua aturan mengenai Kepailitan ini sama-sama digunakan sebagai dasar hukum dilakukan
penyitaan terhadap harta benda kekayaan debitur pailit.
- Apabila ditilik dari sejarah lahirnya, jelas bahwa KUH Perdata lebih dahulu lahir
dibandingkan UUKPKPU.
- Pada KUH Perdata berisi pasal-pasal umum mengenai suatu perbuatan perdata termasuk
utang-piutang.
- Oleh sebab KUH Perdata berisi pasal-pasal umum mengenai utang-piutang, KUH Perdata
belum mengatur mengenai teknis lebih lanjut, seperti proses kepailitan.

Secara singkat dapat dipahami bahwa hukum kepailitan merupakan aturan khusus dalam hukum
dagang yang mengatur tentang sita umum kekayaan debitur beserta cara dan prinsip pembagiannya
kepada para kreditur melalui kurator, hal ini terjadi karena situasi bankrupt atau pailit yang dialami
oleh debitur.
Pasal 1 KUHD yang mengatur bahwa:
“KUHPerdata, seberapa jauh daripadanya dalam Kitab ini tidak khusus diadakan penyimpangan-
penyimpangan, berlaku juga terhadap hal-hal yang dibicarakan dalam Kitab ini.

2.4. Para Pihak Terkait dengan Kepailitan

- Debitor
Pasal 1 angka 3 UU Nomor 37 Tahun 2004 menentukan bahwa Debitor adalah orang yang
mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka
pengadilan.
Debitor ini dapat bersifat perseorangan maupun badan hukum seperti Perseroan
Terbatas/Yayasan/Asosiasi maupun Perkongsian/Partner.Kemudian apabila pihak yang mengajukan
pailit adalah Debitor dan kemudian oleh Hakim Pengadilan Niaga permohonan tersebut dikabulkan,
pemohon pailit tersebut berubah menjadi Debitor Pailit.

6
- Kreditor
Pasal 1 angka 2 UU Nomor 37 Tahun 2004 menentukan Kreditor adalah orang yang mempunyai
piutang karena perjanjian atau Undang-Undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.
Kreditor dalam perkara Kepailitan dan PKPU terbagi menjadi 3 tingkatan yaitu:
- Kreditor Konkuren
Kreditor konkuren atau kreditor bersaing adalah kreditor yang tidak mempunyai keistimewaan
sehingga kedudukannya satu sama lain sama.
- Kreditor Separatis
Kreditor yang dapat melaksanakan haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Termasuk kreditor
seperti misalnya pemegang gadai, pemegang jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik, agunan
kebendaan lainnya.
- Kreditor Preferent
Kreditor Preferent atau kreditor dengan hak istimewa adalah kreditor seperti yang diatur dalam
Pasal 1139 KUHPerdata dan Pasal 1149 KUHPerdata.

- Kurator
Dalam putusan pernyataan pailit harus diangkat kurator dan seorang hakim pengawas yang
ditunjuk dari hakim pengadilan.Kurator adalah pihak yang bertugas untuk melakukan pengurusan
dan/atau pemberesan harta pailit (Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang).
Dalam melaksanakan tugasnya kurator (baik BHP maupun orang perseorangan) harus:
- Kurator yang diangkat harus independen
- Tidak mempunyai benturan kepentingan dengan Debitor atau Kreditor;
- Tidak sedang menangani perkara kepailitan dan PKPU lebih dari 3 (tiga) perkara.

- Hakim pengawas
Hakim pengawas adalah hakim yang ditunjuk oleh pengadilan dalam putusan pailit atau putusan
penundaan kewajiban pembayaran utang (Pasal 1 angka 8 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang)
Dalam putusan pernyataan pailit, selain curator, harus juga diangkat seorang hakim pengawas
yang ditunjuk oleh hakim pengadilan(Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang)
Berdasarkan Pasal 65 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang tugas dari hakim pengawas adalah mengawasi pengurusan dan
pemberesan harta pailit.

- Advokat/Pengacara
Dalam pengajuan permohonan perkara kepailitan diharuskan menggunakan jasa advokat atau
pengacara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 UU K-PKPU:
“Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 43, Pasal
56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 68, Pasal 161, Pasal 171, Pasal 207, dan Pasal 212 harus diajukan oleh
seorang advokat.”

Namun adapun pengecualian dari pemberlakukan Pasal 7 yang mengharuskan pengajuan


permohonan perkara kepailitan dengan Advokat tersebut yaitu:
“Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal permohonan diajukan
oleh kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, dan Menteri Keuangan”.

7
- Panitera
Panitera bertugas menyelenggarakan administrasi perkara; membantu Hakim Pengawas dengan
mengikuti dan mencatat jalannya persidangan; membuat daftar perkara perkara kepailitan yang
diterima di kepaniteraan; dan membuat salinan putusan menurut ketentuan undang-undang yang
berlaku.

2.5. Persyaratan dalam Permohonan Kepailitan

.................................................................. .......................................................... .......... ..........


............... ............................... ............................................................ ................................ ...............
. ........................ .................................

2.6. Subyek Pernyataan Pailit


.................................................................. .......................................................... .......... ..........
. .............. ............................... ............................................................ ................................... ...........
... ......... .............. .................................

2.7. Oligopsoni
.................................................................. .......................................................... ................... .
............... ............................... ............................................................ ......................... ......................
.. ........... ............ .................................

2.8. Prosedur Permohonan Pailit


.................................................................. .......................................................... .................. ..
....... ........ ............................... ............................................................ .................... ....................... ..
........................... .................................

3. Kesimpulan
……………………………………………………………………………. ………………… ……
… …… …………… …………………………………… …………………. ……………………….
……… …. ……………….

Daftar Pustaka

Buku :
Syamsudin M. Sinaga, Op.Cit., hlm. 255-256.

Kartini Muljadi, Restrukturisasi Utang, Kepailitan Dalam Hubungannya Dengan Perseroan Terbatas, Makalah Disampaikan Pada Seminar
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sebagai Sarana Menangkis Kepailitan Dan Restrukturisasi Perusahaan, Kantor Advokat Yan
Apul & Rekan, Jakarta, 2000, hlm. 20 dikutip dalam Umar Haris Sanjaya, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Dalam Hukum Kepail-
itan, NFP Publishing, Yogyakarta, 2014,hlm. 26)

Sunarmi, Hukum Kepailitan, (Jakarta, Softmedia, 2010)

Sunarmi, Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, (Jakarta : Softmedia, 2010).

Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan- Memahami Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, (Jakarta : Pustaka Utama
Grafiti, 2010)

Lilik Mulyadi, Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Teori dan Praktik, Alumni, Bandung, 2010, hlm.
130

8
Syamsudin M. Sinaga, Hukum Kepailitan Indonesia, Tatanusa, Jakarta, 2012, hlm. 16.)

9
10
11
12
13

Anda mungkin juga menyukai