Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

SEROLOGI IMUNOLOGI
“HIPERSENSITIVITAS”

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 3
1.Ayu komala sari 19011043
2. Clara Alta Fanta 19011034
3. Destria Nipe 19011163
4. Fitrah Khairani Ependri 19011020
5. Annisa Rahma 19011027
6. Anisa Hulfa 19011025
7. Eni Widiawati 19011030
8. Gian Suhardana 19011046
9. Ghina Rahmawati 19011022
KELAS : 2019A
NAMA DOSEN : Apt. FITRATUL WAHYUNI, M.Farm
SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI
PADANG
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hipersensitivitas merupakan peningkatan sensitivitas terhadap antigen yang
pernah terpapar sebelumnya (Baratawidjaja & Rengganis, 2009).
Hipersensitivitas tipe 1 atau dikenal juga dengan istilah alergi adalah reaksi
berlebihan sistem imun terhadap suatu zat yang melibatkan aktivitas
Imunoglobulin E (IgE). Respon imun ini menyebabkan kerusakan di jaringan
yang manifestasinya sesuai dengan target organ yang dikenainya (Abbas &
Lichtman, 2009).
Alergi merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah utama
kesehatan di dunia. World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa 20%
penduduk dunia mengalami alergi yang diperantarai IgE, seperti asma, rhinitis
alergi, konjungtivitis alergi, eksema, dan anafilaksis. Prevalensi alergi di dunia
meningkat pesat baik itu di negara maju ataupun di negara berkembang.
Peningkatan ini terjadi dalam dua dekade terakhir dan menjadi masalah terutama
pada anak-anak (Pawankar et al, 2012). Alergi terjadi ketika seseorang terpapar
dengan alergen. Beberapa jenis allergen adalah serbuk sari, tungau debu rumah,
bulu binatang, makanan, dan bahan kimia seperti antibiotik. Salah satu alergen
yang terbukti bisa menstimulasi alergi adalah ovalbumin. Ovalbumin merupakan
bagian dari protein yang ada di dalam putih telur yang mempunyai tingkat
alergenisitas 100% (Flaherty, 2012).
Reaksi alergi terjadi jika individu dengan faktor predisposisi alergi yang telah
tersensitisasi terpapar ulang dengan alergen yang sama. Pada fase sensitisasi,
alergen yang masuk ke dalam tubuh akan diproses oleh Antigen Presenting Cell
(APC), kemudian APC akan menginduksi aktivasi limfosit T. Limfosit T
kemudian mengaktivasi Sel T Helper 2 (Th2) untuk menghasilkan IL-4 dan IL-13
yang akan menginduksi limfosit B untuk menghasilkan IgE. Ketika terpapar
ulang dengan alergen yang sama, maka alergen tersebut berinteraksi dengan IgE
yang terikat di permukaan sel mast dan akan menyebabkan sel mast teraktivas.
Selanjutnya sel mast akan berdegranulasi dan mengeluarkan mediator kimia.
Salah satunya adalah histamin yang menyebabkan terjadinya peningkatan
permeabilitas pembuluh darah dan diikuti dengan ekstravasasi cairan. Hal ini
menimbulkan inflamasi alergi dengan manifestasi klinis berupa gatal, bengkak,
dan merah pada kulit (Fujita et al., 2012; Owen et al., 2013).
Mediator inflamasi lainnya yang dihasilkan oleh sel mast adalah sitokin
kemoatraktan (IL-5, IL-8,Tumor Necrosis Factor ) yang menyebabkan infiltrasi
sel-sel inflamasi berupa eosinofil, neutrofil, dan basofil pada jaringan kulit. Selain
itu, sel mast juga melepas faktor kemotaktik seperti Eosinophil Chemotactic
Factor (ECF) dan Neutrophil Chemotactic Factor (NCF) yang ikut menyebabkan
terjadinya infitrasi sel eosinofil dan neutrofil dalam kurun waktu 2-8 jam setelah
pemaparan alergen. Dari pemeriksaan histopatologi pada urtikaria, didapatkan
gambaran edema dermis dan infiltrasi dari sel-sel radang yang terutama
didominasi oleh eosinofil (Baskoro et al. dalam IPD, 2014; Subowo, 2013).
Manifetasi alergi bisa ditemukan di seluruh tubuh. Alergi bisa mengenai
berbagai organ seperti paru-paru, hidung, saluran pencernaan, dan kulit. Kulit
merupakan organ paling luas yang sering menampakkan manifestasi dari alergi.
Kelainan yang tampak pada kulit dapat dibangkitkan oleh berbagai tipe allergen
diantaranya ingestan, inhalan, injektan dan kontaktan (Subowo, 2013).

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan hipersensitivitas?
2. Etiologi penyakit hipersensitivitas?
3. Patofisiologi penyakit hipersensitivitas?
4. Berapa klasifikasi penyakit hipersensitivitas?
5. Apa tanda dan gejala penyakit hipersensitivitas?
6. Bagaimana penanganan atau terapi penyakit hipersensitivitas?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definsi Hipersensitivitas
Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh
seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-
bahan yang umumnya non imunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi
berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing
atau berbahaya. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut
alergen.

Reaksi alergi terjadi ketika tubuh salah mengartikan zat yang masuk sebagai zat
yang berbahaya. Sejalan dengan definisi ini, alergi makanan merupakan reaksi sistem
kekebalan yang terjadi segera setelah mengonsumsi makanan tertentu. Bahkan
sejumlah kecil makanan penyebab alergi dapat memicu tanda dan gejala seperti
masalah pencernaan, gatal-gatal atau bengkak saluran udara.

Pada beberapa orang, alergi makanan dapat menyebabkan gejala parah atau
bahkan reaksi yang mengancam nyawa yang dikenal sebagai anafilaksis. Kadang,
alergi makanan disalah artikan dengan kondisi yang lebih umum terjadi, yaitu
intoleransi terhadap makanan. Intoleransi terhadap makanan kondisinya lebih ringan
dari alergi karena tidak melibatkan sistem kekebalan tubuh.

B. Etiologi
Faktor yang berperan dalam alergi yaitu :

1. Faktor Internal

a. Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam


lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi imunologis
(misalnya : IgA sekretorik) memudahkan penetrasi alergen makanan. Imaturitas
juga mengurangi kemampuan usus mentoleransi makanan tertentu. · Imaturitas
usus (Ketidakmatangan Usus) Secara mekanik integritas mukosa usus dan
peristaltik merupakan pelindung masuknya alergen ke dalam tubuh. Secara
kimiawi asam lambung dan enzim pencernaan menyebabkan denaturasi allergen.

Secara imunologik sIgA pada permukaan mukosa dan limfosit pada lamina
propia dapat menangkal allergen masuk ke dalam tubuh. Pada usus imatur system
pertahanan tubuh tersebut masih lemah dan gagal berfungsi, sehingga
memudahkan alergen masuk ke dalam tubuh.

b. Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin
sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma
kehidupan setempat. Alergi dapat diturunkan dari orang tua atau kakek/nenek
pada penderita. Bila ada orang tua, keluarga atau kakek/nenek yang menederita
alergi kita harus mewaspadai tanda alergi pada anak sejak dini. Bila ada salah
satu orang tua yang menderita gejala alergi, maka dapat menurunkan resiko pada
anak sekitar 17 – 40%, Bila ke dua orang tua alergi maka resiko pada anak
meningkat menjadi 53 – 70%.

c. Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan penyerapan


alergen bertambah.

2. Fakor Eksternal

a. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih, stress)
atau beban latihan (lari, olah raga).

b. Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut prevalensinya:


ikan 15,4%; telur 12,7%; susu 12,2%; kacang 5,3% dll.

c. Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat
menimbulkan reaksi alergi.

3. Faktor Risiko

a. Riwayat keluarga. Terdapat potensi menderita alergi makanan,jika banyak


keluarga yang mengalami gangguan ini.

b. Alergi makanan masa lalu. Pada masaanak-anak mungkin seseorang dapat


mengatasi gangguan alergi makanan, namun dalam beberapa kasus, gangguan ini
kembali di kemudian hari.

c. Alergi lain. Jika sudah alergi terhadap satu makanan, mungkin mempunyai
risiko alergi terhadap makanan lainnya. Demikian juga, jika memiliki jenis reaksi
alergi yang lain,seperti demam atau eksim, risiko mengalami alergi makanan
lebih besar.

d. Usia. Alergi makanan yang paling umum terjadi pada anak-anak, terutama
balita dan bayi. Ketika bertambah tua, tubuh cenderung untuk menyerap
komponen makanan atau makanan yang memicu alergi. Untungnya, anak-anak
biasanya dapat mengatasi alergi terhadap susu, gandum kedelai, dan
telur.Alergi parah dan alergi terhadap kacang-kacangan dan kerang mungkin
dapat diderita seumur hidup.

e. Asma. Asma dan alergi makanan biasanya terjadi bersama-sama. Ketika


terjadi, baik alergi makanan dan atau gejala asma, bisa menjadi lebih parah.
C. Patofisiologi
Seseorang dapat terpajan alergen dengan menghirup, menelan, atau
mendapatkan pada atau di bawah kulit. Setelah seseorang terkena alergi,
serangkaian kegiatan menciptakan reaksi alergi. Reaksi imunologis tubuh
mempengaruhi timbulnya alergi terhadap makanan. Reaksi ini melibatkan
imunoglobulin, yaitu protein yang membantu dalam respon kekebalan tubuh,
tepatnya Imonuglobulin E (IgE) yang membentuk respon imun tubuh. Respon
imun yang muncul dalam reaksi alergi melalui dua tahap, yaitu tahap sensitisasi
alergen dan tahap elisitasi.

1. Tahap Sensitisasi

Tahap sensitisasi muncul ketika tubuh memproduksi antibodi IgE yang


spesifik. Tahap sensitisasi ini juga disebut dengan tahap induksi, merupakan
kontak pertama dengan alergen (yaitu ketika mengkonsumsi makanan penyebab
alergi).

2. Tahap Elisitasi

Fase elisitasi terjadi jika terdapat pajanan ulang. Ketika terpajan dengan
makanan (penyebab alergi) yang sama, protein akan mengikat molekul di sel
mediator (sel basofil dan sel mast). Tahap elisitasi ini menyebabkan tubuh
mengeluarkan molekul yang menyebabkan inflamasi (seperti leukotrien dan
histamin). Efek yang timbul serta keparahan alergi dipengaruhi oleh konsentrasi
dan tipe alergen, rute pajanan, dan sistem organ yang terlibat (misalnya kulit,
saluran cerna, saluran pernapasan, dan darah).

Antibodi melampirkan ke bentuk sel darah yang disebut sel mast. Sel Mast
dapat ditemukan di saluran udara, di usus, dan di tempat lain. Kehadiran sel mast
dalam saluran udara dan saluran pencernaan membuat daerah ini lebih rentan
terhadap paparan alergen. Mengikat alergen ke IgE, yang melekat pada sel mast.
Hal ini menyebabkan sel mast untuk melepaskan berbagai bahan kimia ke dalam
darah. Histamin, senyawa kimia utama, menyebabkan sebagian besar gejala
reaksi alergi.
D. Klasifikasi Hipersensitivitas
1. Hipersensitifitas tipe I

Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau


anafilaktik. Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan
bronkopulmonari, dan saluran gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan
gejala yang beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu
reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah terpapar antigen, namun terkadang juga
dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam. Hipersensitivitas tipe I
diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama pada reaksi ini
adalah mastosit atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping
darah, neutrofil, dan eosinofil.

Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe


I adalah tes kulit (tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total
dan antibodi IgE spesifik untuk melawan alergen (antigen tertentu penyebab
alergi) yang dicurigai. Peningkatan kadar IgE merupakan salah satu penanda
terjadinya alergi akibat hipersensitivitas pada bagian yang tidak terpapar
langsung oleh alergen). Namun, peningkatan IgE juga dapat dikarenakan
beberapa penyakit non-atopik seperti infeksi cacing, mieloma, dll. Pengobatan
yang dapat ditempuh untuk mengatasi hipersensitivitas tipe I adalah
menggunakan anti-histamin untuk memblokir reseptor histamin, penggunaan
Imunoglobulin G (IgG), hyposensitization (imunoterapi atau desensitization)
untuk beberapa alergi tertentu.

2. Hipersensitifitas tipe II

Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G


(IgG) dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel
dan matriks ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau
jaringan yang langsung berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya,
antibodi yang langsung berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat
patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target sel.

Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang)


yang berikatan dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan
jaringan. Beberapa tipe dari hipersensitivitas tipe II adalah:

a.Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel q


epidermal)

b. Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat


menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk
produksi antibodi kemudian berikatan dengan permukaan sel darah merah dan
menyebabkan lisis sel darah merah), dan
c. Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan
glomerulus sehingga menyebabkan kerusakan ginjal).

3. Hipersensitifitas tipe III

Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun. Hal ini


disebabkan adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan
terlarut di dalam jaringan. Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau
peradangan. Pada kondisi normal, kompleks antigen-antibodi yang diproduksi
dalam jumlah besar dan seimbang akan dibersihkan dengan adanya fagosit.
Namun, kadang-kadang, kehadiran bakteri, virus, lingkungan, atau antigen (spora
fungi, bahan sayuran, atau hewan) yang persisten akan membuat tubuh secara
otomatis memproduksi antibodi terhadap senyawa asing tersebut sehingga terjadi
pengendapan kompleks antigen-antibodi secara terus-menerus. Hal ini juga
terjadi pada penderita penyakit autoimun. Pengendapan kompleks antigen-
antibodi tersebut akan menyebar pada membran sekresi aktif dan di dalam saluran
kecil sehingga dapat memengaruhi beberapa organ, seperti kulit, ginjal, paru-
paru, sendi, atau dalam bagian koroid pleksus otak.

Patogenesis kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks imun
karena kelebihan antigen dan kompleks imun karena kelebihan antibodi.
Kelebihan antigen kronis akan menimbulkan sakit serum (serum sickness) yang
dapat memicu terjadinya artritis atau glomerulonefritis. Kompleks imun karena
kelebihan antibodi disebut juga sebagai reaksi Arthus, diakibatkan oleh paparan
antigen dalam dosis rendah yang terjadi dalam waktu lama sehingga menginduksi
timbulnya kompleks dan kelebihan antibodi. Beberapa contoh sakit yang
diakibatkan reaksi Arthus adalah spora Aspergillus clavatus dan A. fumigatus
yang menimbulkan sakit pada paru-paru pekerja lahan gandum (malt) dan spora
Penicillium casei pada paru-paru pembuat keju.

4.Hipersensitifitas tipe IV

Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai


sel atau tipe lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan
jaringan oleh sel T dan makrofag. Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini
untuk aktivasi dan diferensiasi sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi
makrofag dan leukosit lain pada daerah yang terkena paparan. Beberapa contoh
umum dari hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas pneumonitis,
hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe
lambat kronis (delayed type hipersensitivity, DTH). Hipersensitivitas tipe IV
dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori berdasarkan waktu awal timbulnya
gejala, serta penampakan klinis dan histologis. Ketiga kategori tersebut dapat
dilihat pada table di bawah ini.

Tipe Waktu Penampakan Histologi Antigen dan situs


reaksi klinis

Kontak 48-72 jam Eksim Limfosit, Epidermal (senyawa


(ekzema) diikuti organic, logam
makrofag, berat, dll.)
edema
epidermis

Tuberculin 48-72 jam Pengerasan Limfosit, Intraderma


(indurasi) lokal monosit, (tuberculin,lepromin
makrofag dll.)

Granuloma 21-28 hari Pengerasan Makrofag, Antigen persisten


epitheoid atau senyawa asing
dan sel dalam tubuh
raksasa, ( tuberkolosis,
fibrosis kusta,etc)

Mekanisme berbagai gangguan yang diperantarai secara imunologis :

Tipe Mekanisme imun Gangguan prototipe

1 Tipe anafilaksis Allergen mengikat silang Anafilaksis beberapa


antibody igE  pelepasan bentuk asma bronchial
amino vasoaktif dan mediator
lain dari basophil dan sel mast
rektumen sel radang lain

2 Antibody igG atau igM berikatan Anemia hemolitik


terhadap antigen dengan antigen pada autoimun,
jaringan tertentu permukaan sel fagositosis sel eritroblastosis fetalis,
target oleh komplemen atau penyakit goodpasture,
sitosisitas yang diperantarai pemphigus vulgaris
oleh sel yang bergantung
antibody

3 Penyakit Kompleks antigen antibody Reaksi arthua, serum


kompleks imun mengaktifkan  komplemen sickness, lupus
menarik perhatiaan nenutrofil eritematosus sistemik,
menjadikan pelepasan enzim bentuk tertentu
lisosom, radikal bebas glumerulonefritis akut.
oksigen,dll.

4 Hipersensitivitas Limfosit T tersensifitasi Tuberkolosis dermatis


selular (lambat) pelepasan sitokin dan kontak, penolakan
sitoksisitas yang di perantarai transplant
oleh sel T

E.Tanda dan Gejala


Gejala alergi dapat mulai dari yang ringan hingga yang berat. Gejala alergi
yang ringan dapat berupa bersin – bersin, hidung meler, gatal – gatal baik
bersifat lokal atau seluruh tubuh, hidung mampet dan gejala alergi lainnya. Gejala
alergi dapat dapat terlihat pada kulit, mata, hidung, paru-paru dan perut,
tergantung pada jenis alerginya. Gejala-gejala alergi bisa mulai dari ringan ke
sangat serius adalah :

1. Hives atau welts, ruam, blisters, atau masalah kulit disebut eksim. Ini

adalah yang paling umum gejala alergi obat

2. Batuk, Hidung, dan kesulitan bernapas

3. demam

4. Kulit melepuh dan mengelupas. Masalah ini disebut racun berhubung

dengan kulit necrolysis, dan dapat membawa maut jika tidak dirawat.

5. Anaphylaxis, yang merupakan reaksi paling berbahaya.Dapat membawa


maut, dan Anda akan memerlukan perawatan darurat. Gejala, seperti hives
dan kesulitan bernapas, biasanya muncul dalam waktu 1 jam setelah
minum obat, reaksi cepat tanpa perawatan, Anda dapat masuk ke shock.

F.Terapi Hipersensitivitas
Penanganan gangguan alergi berlandaskan pada empat dasar:

1. Menghindari allergen

2. Terapi farmakologis

a. Adrenergik

Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin ( epinefrin,


isoetarin, isoproterenol, bitolterol ) dan nonkatelomin ( efedrin,
albuterol, metaproterenol, salmeterol, terbutalin, pributerol, prokaterol
dan fenoterol ). Inhalasi dosis tunggal salmeterol dapat menimbulkan
bronkodilatasi sedikitnya selam 12 jam, menghambat reaksi fase cepat
maupun lambat terhadap alergen inhalen, dan menghambat
hiperesponsivitas bronkial akibat alergen selama 34 jam. yang meliputi
pengurangan radang, edema, produksi mukus, permeabilitas vaskuler,
dan kadar Ig E mukosa.

b. Antihistamin

Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan histamin pada
reseptor di berbagai jaringan. Karena antihistamin berperan sebagai
antagonis kompetitif mereka lebih efektif dalam mencegah daripada
melawan kerja histamine.

c. Kromolin Sodium

Kromolin sodium adalah garam disodium 1,3-bis-2-hidroksipropan. Zat


ini merupakan analog kimia obat khellin yang mempunyai sifat
merelaksasikan otot polos. Obat ini tidak mempunyai sifat bronkodilator
karenanya obat ini tidak efektif unutk pengobatan asma akut. Kromolin
paling bermanfaat pada asma alergika atau ekstrinsik.

d. Kortikosteroid

Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk pengobatan


alergi. Beberapa pengaruh prednison nyata dalam 2 jam sesudah pemberian
peroral atau intravena yaitu penurunan eosinofil serta limfosit prrimer.
Steroid topikal mempunyai pengaruh lokal langsung yang meliputi
pengurangan radang, edema, produksi mukus, permeabilitas vaskuler, dan
kadar Ig E mukosa

3. Imunoterapi

Imunoterapi diindikasikan pada penderita rhinitis alergika, asma yang


diperantarai Ig E atau alergi terhadap serangga. Imunoterapi dapat
menghambat pelepasan histamin dari basofil pada tantangan dengan antigen
E ragweed in vitro. Leukosit individu yang diobati memerlukan pemaparan
terhadap jumlah antigen E yang lebih banyak dalam upaya melepaskan
histamin dalam jumlah yang sama seperti yang mereka lepaskan sebelum
terapi. Preparat leukosit dari beberapa penderita yang diobati bereaksi seolah-
olah mereka telah terdesensitisasisecara sempurna dan tidak melepaskan
histamin pada tantangan dengan antigen E ragweed pada kadar berapapun

4. Profilaksis

Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin inhibitor seperti


traneksamat, sering kali sangat efektif untuk urtikaria atau angioedema.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana
tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi
terhadap bahan-bahan yang umumnya non imunogenik. Mekanisme
terjadinya alergi terdiri dari fase sensitasi dan fase elisitasi. Klasifikasi dari
hipersensitivitas terdiri dari empat tipe yaitu tipe I, Tipe II. Tipe III dan Tipe
IV. Jdan macamnya terdiri dari alergi oleh karena debu, suhu udara,
makanan, obata-obatan dan oleh bahan kimia lainnya yang dapat
berpengaruh. Untuk terapi alergi dapat dilakukan dengan menghindari
allergen dan melakukan terapi farmakologis.

B. Saran
Untuk mencegah alergi ini kembali,. Merubah pola hidup menjadi dasar
perbaikan seluruh kondisi alergi. Prinsip utama dalam menangani reaksi
alergi adalah menghindari pencetusnya, dan bukan memberinya obat-obatan.
Jadi, perhatikan faktor lingkungan di sekitarnya
DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaja, K. 1993. Penyakit alergi. Yayasan Penerbit IDI. Jakarta. 2. Fawcett,


D.W. 1986. Connective tissue proper. A textbook of Histology. In: Bloom, W. and
Fawcett, D.W. WB Saunders Co. Japan. 11 th ed : 160 – 64. 3.

Gunawijaya, F. A. 1994. Jaringan penyambung. Buku Teks Histologi jilid I. Binarupa


Aksara. Jakarta. 169 – 70.

Jalal, E. A. 1998. Mast cell konsep baru tentang ciri morfologik dan fungsinya. Jurnal
Kedokteran Yarsi. 6 ( 3 ): 28 – 40.

Jeren, M. 1995. Tinjauan pustaka patogenesis dan mediator kimia pada rinitis alergi.
Maj. Kedokter Diponegoro. 1 & 2 : 119 – 27.

Juncqueira, L. , Carneiro, J. 1980. Connective tissue. Basic Histology. Lange. Canada.


3 rd ed : 100 – 03.

Konthen, P. G. 1998. Pandangan baru penatalaksanaan penyakit alergi berdasarkan


imunopatogenesis. Surabaya J.Int. Med. 24 (1) : 9– 13.

Leeson, C. R. , Leeson, T. S., Papparo, A. A. 1981. Connective tissue. Histology. WB


Saunders Co. 4 th ed. 123 – 25. 9.

Stevens, A. , Lowe, J. 1997. Blood cells. Human Histology. Mosby Co. U K. 2 nd


ed, : 105.

Anda mungkin juga menyukai