SEROLOGI IMUNOLOGI
“HIPERSENSITIVITAS”
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 3
1.Ayu komala sari 19011043
2. Clara Alta Fanta 19011034
3. Destria Nipe 19011163
4. Fitrah Khairani Ependri 19011020
5. Annisa Rahma 19011027
6. Anisa Hulfa 19011025
7. Eni Widiawati 19011030
8. Gian Suhardana 19011046
9. Ghina Rahmawati 19011022
KELAS : 2019A
NAMA DOSEN : Apt. FITRATUL WAHYUNI, M.Farm
SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI
PADANG
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hipersensitivitas merupakan peningkatan sensitivitas terhadap antigen yang
pernah terpapar sebelumnya (Baratawidjaja & Rengganis, 2009).
Hipersensitivitas tipe 1 atau dikenal juga dengan istilah alergi adalah reaksi
berlebihan sistem imun terhadap suatu zat yang melibatkan aktivitas
Imunoglobulin E (IgE). Respon imun ini menyebabkan kerusakan di jaringan
yang manifestasinya sesuai dengan target organ yang dikenainya (Abbas &
Lichtman, 2009).
Alergi merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah utama
kesehatan di dunia. World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa 20%
penduduk dunia mengalami alergi yang diperantarai IgE, seperti asma, rhinitis
alergi, konjungtivitis alergi, eksema, dan anafilaksis. Prevalensi alergi di dunia
meningkat pesat baik itu di negara maju ataupun di negara berkembang.
Peningkatan ini terjadi dalam dua dekade terakhir dan menjadi masalah terutama
pada anak-anak (Pawankar et al, 2012). Alergi terjadi ketika seseorang terpapar
dengan alergen. Beberapa jenis allergen adalah serbuk sari, tungau debu rumah,
bulu binatang, makanan, dan bahan kimia seperti antibiotik. Salah satu alergen
yang terbukti bisa menstimulasi alergi adalah ovalbumin. Ovalbumin merupakan
bagian dari protein yang ada di dalam putih telur yang mempunyai tingkat
alergenisitas 100% (Flaherty, 2012).
Reaksi alergi terjadi jika individu dengan faktor predisposisi alergi yang telah
tersensitisasi terpapar ulang dengan alergen yang sama. Pada fase sensitisasi,
alergen yang masuk ke dalam tubuh akan diproses oleh Antigen Presenting Cell
(APC), kemudian APC akan menginduksi aktivasi limfosit T. Limfosit T
kemudian mengaktivasi Sel T Helper 2 (Th2) untuk menghasilkan IL-4 dan IL-13
yang akan menginduksi limfosit B untuk menghasilkan IgE. Ketika terpapar
ulang dengan alergen yang sama, maka alergen tersebut berinteraksi dengan IgE
yang terikat di permukaan sel mast dan akan menyebabkan sel mast teraktivas.
Selanjutnya sel mast akan berdegranulasi dan mengeluarkan mediator kimia.
Salah satunya adalah histamin yang menyebabkan terjadinya peningkatan
permeabilitas pembuluh darah dan diikuti dengan ekstravasasi cairan. Hal ini
menimbulkan inflamasi alergi dengan manifestasi klinis berupa gatal, bengkak,
dan merah pada kulit (Fujita et al., 2012; Owen et al., 2013).
Mediator inflamasi lainnya yang dihasilkan oleh sel mast adalah sitokin
kemoatraktan (IL-5, IL-8,Tumor Necrosis Factor ) yang menyebabkan infiltrasi
sel-sel inflamasi berupa eosinofil, neutrofil, dan basofil pada jaringan kulit. Selain
itu, sel mast juga melepas faktor kemotaktik seperti Eosinophil Chemotactic
Factor (ECF) dan Neutrophil Chemotactic Factor (NCF) yang ikut menyebabkan
terjadinya infitrasi sel eosinofil dan neutrofil dalam kurun waktu 2-8 jam setelah
pemaparan alergen. Dari pemeriksaan histopatologi pada urtikaria, didapatkan
gambaran edema dermis dan infiltrasi dari sel-sel radang yang terutama
didominasi oleh eosinofil (Baskoro et al. dalam IPD, 2014; Subowo, 2013).
Manifetasi alergi bisa ditemukan di seluruh tubuh. Alergi bisa mengenai
berbagai organ seperti paru-paru, hidung, saluran pencernaan, dan kulit. Kulit
merupakan organ paling luas yang sering menampakkan manifestasi dari alergi.
Kelainan yang tampak pada kulit dapat dibangkitkan oleh berbagai tipe allergen
diantaranya ingestan, inhalan, injektan dan kontaktan (Subowo, 2013).
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan hipersensitivitas?
2. Etiologi penyakit hipersensitivitas?
3. Patofisiologi penyakit hipersensitivitas?
4. Berapa klasifikasi penyakit hipersensitivitas?
5. Apa tanda dan gejala penyakit hipersensitivitas?
6. Bagaimana penanganan atau terapi penyakit hipersensitivitas?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definsi Hipersensitivitas
Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh
seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-
bahan yang umumnya non imunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi
berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing
atau berbahaya. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut
alergen.
Reaksi alergi terjadi ketika tubuh salah mengartikan zat yang masuk sebagai zat
yang berbahaya. Sejalan dengan definisi ini, alergi makanan merupakan reaksi sistem
kekebalan yang terjadi segera setelah mengonsumsi makanan tertentu. Bahkan
sejumlah kecil makanan penyebab alergi dapat memicu tanda dan gejala seperti
masalah pencernaan, gatal-gatal atau bengkak saluran udara.
Pada beberapa orang, alergi makanan dapat menyebabkan gejala parah atau
bahkan reaksi yang mengancam nyawa yang dikenal sebagai anafilaksis. Kadang,
alergi makanan disalah artikan dengan kondisi yang lebih umum terjadi, yaitu
intoleransi terhadap makanan. Intoleransi terhadap makanan kondisinya lebih ringan
dari alergi karena tidak melibatkan sistem kekebalan tubuh.
B. Etiologi
Faktor yang berperan dalam alergi yaitu :
1. Faktor Internal
Secara imunologik sIgA pada permukaan mukosa dan limfosit pada lamina
propia dapat menangkal allergen masuk ke dalam tubuh. Pada usus imatur system
pertahanan tubuh tersebut masih lemah dan gagal berfungsi, sehingga
memudahkan alergen masuk ke dalam tubuh.
b. Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin
sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma
kehidupan setempat. Alergi dapat diturunkan dari orang tua atau kakek/nenek
pada penderita. Bila ada orang tua, keluarga atau kakek/nenek yang menederita
alergi kita harus mewaspadai tanda alergi pada anak sejak dini. Bila ada salah
satu orang tua yang menderita gejala alergi, maka dapat menurunkan resiko pada
anak sekitar 17 – 40%, Bila ke dua orang tua alergi maka resiko pada anak
meningkat menjadi 53 – 70%.
2. Fakor Eksternal
a. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih, stress)
atau beban latihan (lari, olah raga).
c. Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat
menimbulkan reaksi alergi.
3. Faktor Risiko
c. Alergi lain. Jika sudah alergi terhadap satu makanan, mungkin mempunyai
risiko alergi terhadap makanan lainnya. Demikian juga, jika memiliki jenis reaksi
alergi yang lain,seperti demam atau eksim, risiko mengalami alergi makanan
lebih besar.
d. Usia. Alergi makanan yang paling umum terjadi pada anak-anak, terutama
balita dan bayi. Ketika bertambah tua, tubuh cenderung untuk menyerap
komponen makanan atau makanan yang memicu alergi. Untungnya, anak-anak
biasanya dapat mengatasi alergi terhadap susu, gandum kedelai, dan
telur.Alergi parah dan alergi terhadap kacang-kacangan dan kerang mungkin
dapat diderita seumur hidup.
1. Tahap Sensitisasi
2. Tahap Elisitasi
Fase elisitasi terjadi jika terdapat pajanan ulang. Ketika terpajan dengan
makanan (penyebab alergi) yang sama, protein akan mengikat molekul di sel
mediator (sel basofil dan sel mast). Tahap elisitasi ini menyebabkan tubuh
mengeluarkan molekul yang menyebabkan inflamasi (seperti leukotrien dan
histamin). Efek yang timbul serta keparahan alergi dipengaruhi oleh konsentrasi
dan tipe alergen, rute pajanan, dan sistem organ yang terlibat (misalnya kulit,
saluran cerna, saluran pernapasan, dan darah).
Antibodi melampirkan ke bentuk sel darah yang disebut sel mast. Sel Mast
dapat ditemukan di saluran udara, di usus, dan di tempat lain. Kehadiran sel mast
dalam saluran udara dan saluran pencernaan membuat daerah ini lebih rentan
terhadap paparan alergen. Mengikat alergen ke IgE, yang melekat pada sel mast.
Hal ini menyebabkan sel mast untuk melepaskan berbagai bahan kimia ke dalam
darah. Histamin, senyawa kimia utama, menyebabkan sebagian besar gejala
reaksi alergi.
D. Klasifikasi Hipersensitivitas
1. Hipersensitifitas tipe I
2. Hipersensitifitas tipe II
Patogenesis kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks imun
karena kelebihan antigen dan kompleks imun karena kelebihan antibodi.
Kelebihan antigen kronis akan menimbulkan sakit serum (serum sickness) yang
dapat memicu terjadinya artritis atau glomerulonefritis. Kompleks imun karena
kelebihan antibodi disebut juga sebagai reaksi Arthus, diakibatkan oleh paparan
antigen dalam dosis rendah yang terjadi dalam waktu lama sehingga menginduksi
timbulnya kompleks dan kelebihan antibodi. Beberapa contoh sakit yang
diakibatkan reaksi Arthus adalah spora Aspergillus clavatus dan A. fumigatus
yang menimbulkan sakit pada paru-paru pekerja lahan gandum (malt) dan spora
Penicillium casei pada paru-paru pembuat keju.
4.Hipersensitifitas tipe IV
1. Hives atau welts, ruam, blisters, atau masalah kulit disebut eksim. Ini
3. demam
dengan kulit necrolysis, dan dapat membawa maut jika tidak dirawat.
F.Terapi Hipersensitivitas
Penanganan gangguan alergi berlandaskan pada empat dasar:
1. Menghindari allergen
2. Terapi farmakologis
a. Adrenergik
b. Antihistamin
Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan histamin pada
reseptor di berbagai jaringan. Karena antihistamin berperan sebagai
antagonis kompetitif mereka lebih efektif dalam mencegah daripada
melawan kerja histamine.
c. Kromolin Sodium
d. Kortikosteroid
3. Imunoterapi
4. Profilaksis
PENUTUP
A. Kesimpulan
Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana
tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi
terhadap bahan-bahan yang umumnya non imunogenik. Mekanisme
terjadinya alergi terdiri dari fase sensitasi dan fase elisitasi. Klasifikasi dari
hipersensitivitas terdiri dari empat tipe yaitu tipe I, Tipe II. Tipe III dan Tipe
IV. Jdan macamnya terdiri dari alergi oleh karena debu, suhu udara,
makanan, obata-obatan dan oleh bahan kimia lainnya yang dapat
berpengaruh. Untuk terapi alergi dapat dilakukan dengan menghindari
allergen dan melakukan terapi farmakologis.
B. Saran
Untuk mencegah alergi ini kembali,. Merubah pola hidup menjadi dasar
perbaikan seluruh kondisi alergi. Prinsip utama dalam menangani reaksi
alergi adalah menghindari pencetusnya, dan bukan memberinya obat-obatan.
Jadi, perhatikan faktor lingkungan di sekitarnya
DAFTAR PUSTAKA
Jalal, E. A. 1998. Mast cell konsep baru tentang ciri morfologik dan fungsinya. Jurnal
Kedokteran Yarsi. 6 ( 3 ): 28 – 40.
Jeren, M. 1995. Tinjauan pustaka patogenesis dan mediator kimia pada rinitis alergi.
Maj. Kedokter Diponegoro. 1 & 2 : 119 – 27.