Anda di halaman 1dari 11

Sejarah Indonesia (1950–1959)

Era Demokrasi Liberal (1950–1959) yang dikenal


pula dengan Era Demokrasi Parlementer adalah
era ketika Presiden Soekarno memerintah
menggunakan konstitusi Undang-Undang Dasar
Sementara Republik Indonesia 1950. Periode ini
berlangsung dari 17 Agustus 1950 (sejak
pembubaran Republik Indonesia Serikat) sampai 5
Juli 1959 (keluarnya Dekret Presiden). Pada masa
ini terjadi sejumlah peristiwa penting, seperti
Konferensi Asia–Afrika di Bandung, pemilihan
umum pertama di Indonesia dan pemilihan
Konstituante, serta periode ketidakstabilan politik
yang berkepanjangan, dengan tidak ada kabinet
yang bertahan selama dua tahun.

 Latar belakang

Seiring dengan berakhirnya perjuangan untuk


mengamankan kemerdekaan Indonesia,
perpecahan di kalangan masyarakat Indonesia
mulai muncul. Perbedaan antardaerah dalam hal
adat istiadat, moral, tradisi, agama, pengaruh
Marxisme, serta ketakutan akan dominasi politik
Jawa, semuanya berkontribusi pada perpecahan.
Sebagai negara baru, Indonesia memiliki masalah
kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah, dan
tradisi otoriter.[1] Berbagai gerakan separatis juga
muncul untuk menentang Republik Indonesia:
militan Darul Islam memproklamasikan "Negara
Islam Indonesia" dan bergerilya melawan Republik
Indonesia di Jawa Barat dari tahun 1948 hingga
1962; di Maluku, orang-orang Ambon yang
dulunya adalah Tentara Kerajaan Hindia Belanda
(KNIL) memproklamasikan kemerdekaan Republik
Maluku Selatan; ditambah dengan pemberontakan
di Sumatra dan Sulawesi antara tahun 1955 dan
1961.

 Mulainya Demokrasi Parlementer

Pada 17 Agustus 1950, Indonesia kembali menjadi


negara kesatuan. Pemerintahan Republik
Indonesia masih melanjutkan model demokrasi
parlementer yang liberal. Kabinet dipimpin oleh
seorang perdana menteri sebagai kepala
pemerintahan dan bertanggung jawab kepada
parlemen. Presiden hanya berkedudukan sebagai
kepala negara. Sementara itu, Undang-Undang
Dasar Sementara Republik Indonesia (UUDS) 1950
digunakan sebagai konstitusi berdasarkan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 tentang
Perubahan Konstitusi Sementara Republik
Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar
Sementara Republik Indonesia, dalam Sidang
Pertama Babak ke-3 Rapat ke-71 DPR RIS tanggal
14 Agustus 1950 di Jakarta. Konstitusi ini
dinamakan “sementara”, karena hanya bersifat
sementara, menunggu terpilihnya Konstituante
hasil pemilihan umum yang akan menyusun
konstitusi baru.

 Konstituante
Pada tahun 1955, Indonesia melaksanakan
pemilihan umum nasional yang pertama. Pada
bulan September, rakyat memilih wakil untuk
DPR, dan pada bulan Desember pemilih kembali
memilih wakil-wakil yang lebih banyak lagi
sebagai anggota Konstituante.

Konstituante, setelah dipilih pada tahun 1955,


mulai bersidang pada bulan November 1956 di
Bandung, ibu kota Jawa Barat, untuk membuat
UUD yang baru sesuai amanat UUDS 1950.
Perdebatan, permusyawaratan, dan penulisan
draf-draf UD berlangsung selama dua setengah
tahun. Perdebatan isu dasar negara (terutama
antara golongan yang mendukung Islam sebagai
dasar negara dan golongan yang mendukung
Pancasila) terjadi sangat sengit. Walaupun para
pimpinan Konstituante merasa sudah lebih dari
90% materi undang-undang dasar telah
disepakati, dan walaupun ada beberapa tokoh
 Berakhirnya Demokrasi Parlementer

Pemilihan Umum 1955 berhasil memilih


Konstituante secara demokratis, namun
Konstituante gagal membentuk konstitusi baru
sampai berlarut-larut. Presiden Soekarno lalu
menyampaikan konsep Demokrasi Terpimpin pada
DPR hasil pemilu yang berisi ide untuk kembali
pada UUD 1945. Pada tanggal 5 Juli 1959,
Soekarno mengeluarkan Dekret Presiden 5 Juli
1959, yang antara lain berisi pembubaran
Konstituante serta penggantian konstitusi dari
UUDS 1950 menjadi UUD 1945 kembali. Peristiwa
ini menandai berakhirnya Demokrasi Parlementer
dan mulainya Era Demokrasi Terpimpin.
Pemerintah kemudian membentuk lembaga-
lembaga MPRS dalam demokrasi terpimpin yang
menerapkan sistem politik keseimbangan. Pada
masa ini Soekarno merencanakan konsep
pentingnya persatuan antara kaum nasionalis,
agama, dan komunis.

 Kabinet-kabinet pada masa Demokrasi


Parlementer
Demokrasi Parlementer dengan banyak partai
justru menimbulkan ketidakstabilan politik.
Pada masa ini terjadi banyak pergantian
kabinet. Tercatat ada tujuh kabinet pada masa
ini. Kabinet jatuh bangun karena munculnya
mosi tidak percaya dari partai lawan. Di
samping itu, terjadi perdebatan dalam
Konstituante yang sering menimbulkan konflik
berkepanjangan.

 AFFAN GAFAR adalah tokoh yang


menyebutkan terdapat 5 indikator dalam
menilai apakah sebuah negara demokratis
atau tidak. 5 indikator tersebut adalah
akuntabilitas, rotasi kekuasaan, rekruitmen
politik sifatnya terbuka, pemilu dan
kebebasan menikmati hak dasar

 Penjelasan 5 indikator yang dikemukakan oleh


Afan Gaffar sebagai berikut:
AKUNTABILITAS, artinya bahwa pada negara
tersebut, setiap pemegang kekuasaan wajib
mempertanggungjawabkan kebijakan yang
akan atau telah dilaksanakan.
ROTASI KEKUASAAN, bahwa pada negara
tersebut harus terdapat perputaran
kekuasaan yang berlangsung dengan damai
dan teratur.

REKRUITMENT POLITIK TERBUKA, artinya


bahwa setiap warna negara yang memang
memenuhi syarat dalam mengisi jabatan bisa
mengajukan diri untuk dipilih oleh rakyat.

PEMILIHAN UMUM, kegiatan pemilihan secara


umum yang dilaksanakan dengan teratur
menandakan nehara tersebut betul-betul
demokratis.

MENIKMATI HAK DASAR, bahwa kebebasan


bagi warga dalam menikmati hak-hak dasar
adalah indikasi demokrasi pada suatu negara.
Hak-hak dasar ini seperti kebebasan
berpendapat, beragama, pendidikan dan lain
sebagainya.
 Ciri-ciri pemerintahan parlemen yaitu:

 Dikepalai oleh seorang perdana menteri


sebagai kepala pemerintahan sedangkan
kepala negara dikepalai oleh presiden/raja.
 Kekuasaan eksekutif presiden ditunjuk oleh
legislatif sedangkan raja diseleksi berdasarkan
undang-undang.

 Perdana menteri memiliki hak prerogratif (hak


istimewa) untuk mengangkat dan
memberhentikan menteri-menteri yang
memimpin departemen dan non-departemen.

 Menteri-menteri hanya bertanggung jawab


kepada kekuasaan legislatif.

 Kekuasaan eksekutif bertanggung jawab


kepada kekuasaan legislatif.

 Kekuasaan eksekutif dapat dijatuhkan oleh


legislatif.

 Parlemen sebagai pemegang kekuasaan di


negara tersebut.

 Kelebihan dan kelemahan sistem


parlementer

 Kelebihan Sistem Pemerintahan


Parlementer:
 Pembuat kebijakan dapat ditangani secara
cepat karena mudah terjadi penyesuaian
pendapat antara eksekutif dan legislatif.
Hal ini karena kekuasaan eksekutif dan
legislatif berada pada satu partai atau
koalisi partai.

 Garis tanggung jawab dalam pembuatan


dan pelaksanaan kebijakan publik jelas.

 Adanya pengawasan yang kuat dari


parlemen terhadap kabinet sehingga
kabinet menjadi berhati-hati dalam
menjalankan pemerintahan.

 Pembuatan keputusan memakan waktu


yang cepat.

 Kekurangan Sistem Pemerintahan


Parlementer:

 Kedudukan badan eksekutif atau kabinet


sangat tergantung pada mayoritas
dukungan parlemen sehingga sewaktu-
waktu kabinet dapat dijatuhkan oleh
parlemen.
 Kelangsungan kedudukan badan eksekutif
atau kabinet tidak bisa ditentukan
berakhir sesuai dengan masa jabatannya
karena sewaktu-waktu kabinet dapat
bubar.

 Masa pemilihan umum dapat berubah-


ubah dengan jangka waktu tertentu.

 Kabinet dapat mengendalikan parlemen.


Hal itu terjadi apabila para anggota
kabinet adalah anggota parlemen dan
berasal dari partai mayoritas. Karena
pengaruh mereka yang besar diparlemen
dan partai, anggota kabinet dapat
mengusai parlemen.

 Parlemen menjadi tempat kaderisasi bagi


jabatan-jabatan eksekutif. Pengalaman
mereka menjadi anggota parlemen
dimanfaatkan dan manjadi bekal penting
untuk menjadi menteri atau jabatan
eksekutif lainnya.
Sistem Parlementer :
Sistem parlementer adalah sebuah sistem
pemerintahan yang parlemennya memiliki
peranan penting dalam pemerintahan. Dalam hal
ini parlemen memiliki wewenang dalam
mengangkat perdana menteri dan parlemen pun
dapat menjatuhkan pemerintahan, yaitu dengan
cara mengeluarkan semacam mosi tidak percaya.

Anda mungkin juga menyukai