Anda di halaman 1dari 14

MANAJEMEN NYERI DENGAN KOMBINASI TEHNIK RELAKSASI

NAPAS DALAM DAN PEMBERIAN ANALGETIK DALAM


MENURUNKAN NYERI PADA CEDERA KEPALA RINGAN

Defriansyah Syafiq Pakpahan

2114201006

Abstrak

Latar Belakang

Trauma adalah luka, khususnya yang disebabkan oleh cedera fisik yang tiba-tiba. Nyeri
merupakan masalah yang serius yang harus direspons dan di intervensi dengan
memberikan rasa nyaman, aman dan bahkan membebaskan nyeri tersebut. Manajemen
nyeri adalah satu bagian dari disiplin ilmu medis yang berkaitan dengan upaya-upaya
menghilangkan nyeri. Penanganan nyeri bisa dilakukan secara farmakologi yaitu dengan
pemberian analgesik. Sedangkan secara non farmakologi melalui distraksi, relaksasi,
kompres hangat atau dingin, aromaterapi, hypnotis, dll. Pengkombinasian antara teknik
non farmakologi dan teknik farmakologi adalah cara yang efektif untuk menghilangkan
nyeri terutama nyeri yang sangat hebat yang berlangsung berjam-jam atau bahkan
berhari-hari. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis Manajemen Nyeri dalam
Menurunkan Nyeri pada Asuhan Keperawatan Trauma : Cedera Kepala Ringan (CKR)

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan studi kasus. Sampel
dalam penulisan ini Ny. S, sedangkan proses pengumpulan datanya adalah dengan
metode observasi dan pemeriksaan, wawancara, metode pengukuran serta dokumentasi.
Intervensi studi kasus adalah manajemen nyeri.
Hasil Penelitian

Diagnosis utama adalah nyeri akut. Terdapat perubahan penurunan nyeri sebelum dan
sesudah pemberian manajemen nyeri, dimana sebelum dilakukan manajemen nyeri
didapatkan skala nyeri 5 dan setelah dilakukan intervensi didapatkan skala nyeri 3.

Simpulan

Manajemen nyeri dengan menggunakan kombinasi tehnik napas dalam dan pemberian
analgetik dapat menurunkan nyeri pada pasien Cedera Kepala Ringan (CKR).

Kata Kunci : Cedera Kepala Ringan, Manajemen Nyeri, Nyeri

PENDAHULUAN

Trauma menurut American Heritage Dictionary cit Morton et al (2012) adalah luka,
khususnya yang disebabkan oleh cedera fisik yang tiba-tiba. Sedangkan cedera menurut
definisi National Committee for Injury Prevention and Control cit Morton et al (2012),
adalah kerusakan yang tidak disengaja atau disengaja pada tubuh yang disebabkan oleh
pejanan akut terhadap tenaga panas, mekanis, listrik, atau kimia atau akibat tidak adanya
kebutuhan esensial seperti panas atau oksigen.

Kejadian cedera kepala di Amerika Serikat setiap tahunnya diperkirakan mencapai


500.000 kasus, yang terdiri dari cedera kepala ringan sebanyak (59,3%), cidera kepala
sedang sebanyak (20,17%) dan cidera kepala berat sebanyak (20,4%). Dari sejumlah
kasus tersebut 10% penderitanya meninggal sebelum tiba di Rumah Sakit (Haddad cit
Hariyani, 2012).

Angka kejadian cedera di provinsi Jawa Tengah adalah 7,7% (Kemenkes, 2013). Angka
kejadian cedera kepala ringan di RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen tahun 2017
sebanyak 364 kasus, dan pada Januari 2018 sebanyak 24 kasus (Rekam Medis RSUD dr.
Soehadi Prijonegoro Sragen, 2017, 2018).

Mubarak et al, (2015) mengatakan pada trauma mekanik rasa nyeri timbul akibat ujung-
ujung saraf bebas mengalami kerusakan, misalnya akibat benturan, gesekan, luka, dan
lain-lain. Pada trauma termal nyeri timbul karena ujung saraf reseptor mendapat
rangsangan akibat panas dan dingin, misal karena api dan air. Terjadinya nyeri pada
trauma dikarenakan pada saat sel saraf rusak maka terbentuklah zat-zat kimia seperti
bradikinin, serotonin dan enzim proteotik. Kemudian zat-zat tersebut merangsang dan
merusak ujung saraf reseptor nyeri dan rangsangan tersebut akan dihantarkan ke
hypothalamus melalui saraf asenden. Sedangkan di korteks nyeri akan di persiapkan
sehingga individu mengalami nyeri. Selain dihantarkan ke hypothalamus nyeri dapat
menurunkan stimulasi terhadap reseptor mekanin sensitive pada termosensitif sehingga
dapat juga menyebabkan atau mengalami nyeri.

Perry dan Potter cit Syamsiah dan Endang (2015) menyatakan bahwa nyeri seringkali
merupakan tanda yang menyatakan ada sesuatu yang secara fisiologis terganggu yang
menyebabkan seseorang meminta pertolongan. Nyeri juga merupakan masalah yang
serius yang harus direspons dan di intervensi dengan memberikan rasa nyaman, aman dan
bahkan membebaskan nyeri tersebut. Nyeri adalah salah satu alasan paling umum bagi
pasien untuk mencari bantuan medis dan merupakan salah satu keluhan yang paling
umum (Syamsiah dan Endang, 2015).

Black dan Hawk cit Syamsiah dan Endang (2015) mengatakan perawat sebagai
komponen tim kesehatan berperan penting untuk mengatasi nyeri pasien. Perawat
berkolaborasi dengan dokter ketika melakukan intervensi untuk mengatasi nyeri,
mengevaluasi keefektifan obat dan berperan sebagai advocate pasien ketika intervensi
untuk mengatasi nyeri menjadi tidak efektif atau ketika pasien tidak dapat berfungsi
secara adekuat. Mereka juga mengemukakan bahwa mendengarkan dengan penuh
perhatian, mengkaji intensitas nyeri dan distress, merencanakan perawatan, memberikan
edukasi tentang nyeri, meningkatkan penggunaan teknik nyeri nonfarmakologi dan
mengevaluasi hasil yang dicapai adalah tanggung jawab perawat.

Manajemen nyeri atau pain management adalah satu bagian dari disiplin ilmu medis yang
berkaitan dengan upaya-upaya menghilangkan nyeri atau pain relief (Potter dan Perry cit
Syamsiah dan Endang, 2015). Penanganan nyeri bisa dilakukan secara farmakologi yaitu
dengan pemberian analgesik dan penenang. Sedangkan secara non farmakologi melalui
distraksi, relaksasi, kompres hangat atau dingin, aromaterapi, hypnotis, dll (Rezkiyah cit
Yusrizal et al 2012). Pengkombinasian antara teknik non farmakologi dan teknik
farmakologi adalah cara yang efektif untuk menghilangkan nyeri terutama nyeri yang
sangat hebat yang berlangsung berjam-jam atau bahkan berhari-hari (Smeltzer dan Bare
cit Yusrizal, 2012). Pemberian analgesik narkotik seperti morfin dan kodein dapat
memberikan efek penurunan nyeri dan kegembiraan karena obat ini membuat ikatan
dengan reseptor opiat dan mengaktifkan penekan nyeri endogen pada susunan saraf pusat.
Analgesik nonnarkotik seperti aspirin, asetaminofen, dan ibuprofen selain memiliki efek
antiinflamasi dan antipiretik. Obat golongan ini menyebabkan penurunan nyeri dengan
menghambat produksi prostaglandin dari jaringan yang mengalami trauma atau inflamasi
(Smeltzer dan Bare cit Mubarak et al, 2015).

Selain penanganan secara farmakologi, cara lain adalah dengan manajemen nyeri non
farmakologi dengan melakukan teknik relaksasi, yang merupakan tindakan eksternal
yang mempengaruhi respon internal individu terhadap nyeri. Manajemen nyeri dengan
tindakan relaksasi mencakup relaksasi otot, nafas dalam, masase, meditasi dan perilaku.
Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan keperawatan, yang dalam
hal ini perawat mengajarkan kepada klien bagaimana cara melakukan nafas dalam, nafas
lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana mengembuskan nafas secara
perlahan. Selain dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi nafas dalam juga
dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi darah (Smeltzer & Bare
cit Yusrizal, 2012). Massase didefinisikan sebagai tindakan penekanan oleh tangan pada
jaringan lunak, biasanya otot tendon atau ligamen tanpa menyebabkan pergeseran atau
perubahan posisi sendi guna menurunkan nyeri, menghasilkan relaksasi, dan atau
meningkatkan sirkulasi (Henderson, dikutip dari Yunita cit Yusrizal, 2012).

Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Urip Rahayu et al (2010) menunjukkan
keefektifan intervensi keperawatan dari aplikasi Guide Imagery Relaxation dimana 15
pasien yang mengalami cedera kepala ringan diberikan teknik Guide Imagery Relaxation
dan didapatkan perubahan hasil rerata skala sebelum dilakukan teknik Guide Imagery
Relaxation yaitu 8,66 kemudian setelah dilakukan teknik Guide Imagery Relaxation
didapatkan hasil rerata yaitu 7,66. Walaupun pasien belum terbebas dari rasa nyeri namun
teknik Guide Imagery Relaxation dapat membantu mengontrol nyeri yang dialami pasien
dan akan efektif jika dilakukan secara terus menerus (Kusumo, 2015).

Berdasarkan uraian tersebut, tujuan dilakukan Studi Kasus yaitu untuk menganalisis
Manajemen Nyeri dalam Menurunkan Nyeri pada Asuhan Keperawatan Trauma : Cedera
Kepala Ringan (CKR).

METODE PENELITIAN

Desain penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan case study research (Studi
kasus) yang meliputi pengkajian, diagnosis keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan
evaluasi. Penelitian studi kasus ini dilakukan di Ruang Instalasi Gawat Darurat RSUD dr.
Soehadi Prijonegoro Sragen.
Subjek studi kasus ini adalah pasien yang dirawat di Ruang Instalasi Gawat Darurat
sejumlah 1 orang , dengan kriteria: bersedia menjadi partisipan, pasien mengeluhkan
nyeri atau menunjukkan tanda objektif nyeri.

Metode pengumpulan data yang dipakai yaitu meliputi: observasi dan pemeriksaan,
wawancara, metode pengukuran, metode dokumentasi sedangkan instrumen yang
digunakan dalam studi kasus yaitu meliputi: lembar asuhan keperawatan Gadar, lembar
observasi/lembar perkembangan pasien nyeri dan SOP (standar operasional prosedur).

HASIL PENELITIAN

Hasil pengkajian didapatkan: pasien mengatakan nyeri kepala setelah kecelakaan dengan
nyeri saat bergerak, nyeri seperti tertusuk-tusuk, nyeri pada bagian kepala, skala nyeri 5,
nyeri hilang timbul. Dari hasil observasi, pasien tampak menyeringai kesakitan dan
pasien tampak memegangi kepala.

Berdasarkan dari data tersebut, diagnosis yang muncul pada Ny. S yaitu nyeri akut
berhubungan dengan agens cedera fisik (trauma). Perencanaan keperawatan terhadap Ny.
S yaitu dengan pemberian manajemen nyeri. Tujuan ditetapakan sesuai NOC yaitu
tingkat nyeri dengan diharapkan keparahaan dari nyeri yang diamati dan dilaporkan dapat
berkurang dengan kriteria hasil: Nyeri yang dilaporkan ringan (skala nyeri 1-3) dan
ekspresi nyeri wajah tidak ada.

Aktifitas-aktifitas pada manajemen nyeri yang dapat dilakukan antara lain : a. Lakukan
pengkajian nyeri komprehensif yang meliputi lokasi, karakteristik, onset/durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas atau beratnya nyeri dan faktor pencetus, b. Pilih dan
implementasikan tindakan yang beragam (misalnya., farmakologi, nonfarmakologi) untuk
memfasilitasi penurunan nyeri, sesuai dengan kebutuhan, c. Ajarkan penggunaan teknik
non farmakologi (seperti, biofeedback, TENS, hypnosis, relaksasi, bimbingan antisipatif,
terapi musik, terapi bermain, terapi aktivitas, akupressur, aplikasi panas/dingin dan
pijatan, sebelum, sesudah dan jika memungkinkan, ketika melakukan aktivitas yang
menimbulkan nyeri; sebelum nyeri terjadi atau meningkat; dan bersamaan dengan
tindakan penurun rasa nyeri lainnya). Implementasi/ tindakan keperawatan pada Ny. S
yang dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Implementasi keperawatan

HARI, TANGGAL IMPLEMENTASI RESPON PASIEN TERHADAP


JAM TINDAKAN
Selasa, 15/05/2018 Melakukan pengkajian
14.00 WIB keadaan umum pasien

PRE INTERVENSI I

Selasa, 15/05/2018 Melakukan pengkajian S:


14.05 WIB nyeri secara komprehensif - Pasien mengatakan nyeri kepala
(PQRST) setelah kecelakaan dengan :
P : Nyeri saat bergerak
Q : Nyeri tertusuk-tusuk
R : Kepala
S : Skala nyeri 5
T : Hilang timbul
O:
- Pasien tampak menyeringai kesakitan
- Pasien tampak memegangi kepala

INTERVENSI I

Selasa, 15/05/2018 Memberikan injeksi S:


14.30 WIB Ketorolac 30 mg / 8 jam Pasien mengatakan bagian tangan yang
disuntik terasa agak nyeri
O:
Tidak ada tanda-tanda alergi obat
PRE INTERVENSI II

Selasa, 15/05/2018 Melakukan pengkajian S:


15.12 WIB nyeri secara komprehensif - Pasien mengatakan nyeri kepala
(PQRST) dengan :
P : Nyeri saat bergerak
Q : Nyeri tertusuk-tusuk
R : Kepala
S : Skala nyeri 5

T : Hilang timbul
O:
− Pasien tampak memegangi kepala
− Pasien tampak menahan sakit

INTERVENSI II

Selasa, 15/05/2018 Mengajarkan teknik nafas S:


15.15 WIB dalam untuk mengurangi - Pasien mengatakan merasa agak lebih
nyeri rileks setelah diajarkan teknik nafas
dalam walaupun masih merasakan nyeri

O:
- Pasien tampak lebih rileks setelah
diajarkan teknik nafas dalam

POST INTERVENSI II

Selasa, 15/05/2018 Memonitor keefektifan S:


15.20 WIB teknik nafas dalam untuk - Pasien mengatakan agak lebih rileks
nyeri pasien setelah diajarkan teknik nafas dalam
P : Nyeri saat bergerak
Q : Nyeri tertusuk-tusuk
R : Kepala
S : Skala nyeri 4
T :Hilang timbul
O:
Pasien tampak lebih rileks
POST INTERVENSI I & II

Selasa, 15/05/2018 Melakukan pengkajian S:


16.20 WIB nyeri secara komprehensif Pasien mengatakan masih merasakan
(PQRST) setelah diberikan nyeri kepala setelah kecelakaan dengan :
injeksi analgetik dan P : Nyeri saat bergerak
latihan teknik nafas dalam Q: Nyeri tertusuk-tusuk
R: Kepala
S : Skala nyeri 4
T: Hilang timbul
O:
Pasien tampak menyeringai kesakitan saat
bergerak

POST INTERVENSI I & II

Selasa, 15/05/2018 - Melakukan S:


17.40 WIB pemeriksaan ttv Pasien mengatakan nyeri kepala setelah
- Melakukan kecelakaan berkurang dengan :
pengkajian nyeri P : Nyeri saat bergerak
secara Q: Nyeri tertusuk-tusuk
komprehensif R: Kepala
(PQRST) setelah S : Skala nyeri 3
diberikan injeksi T: Hilang timbul
analgetik dan O : Ekspresi wajah pasien tampak lebih
latihan teknik nafas rileks
dalam
- Menganjurkan TTV :
untuk - Tekanan darah : 120/80 mmHg
menggunakan - Frekuensi nafas: 20x/menit
teknik nafas dalam - Nadi: 88x/menit
apabila nyeri - Suhu : 36,8°C
muncul kembali.
Berdasarkan tabel 1, didapatkan hasil bahwa setelah dilakukan tindakan manajemen nyeri
pada Ny. S terdapat perubahan nyeri, yaitu pasien mengatakan nyeri kepala setelah
kecelakaan berkurang saat bergerak dan skala nyeri berkurang dari skala 5 menjadi skala
3. Secara objektif ekspresi wajah pasien tampak lebih rileks, hasil pemeriksaan tanda-
tanda vital yaitu tekanan darah : 120/80 mmHg, frekuensi nafas 20x/menit, nadi:
88x/menit, suhu : 36,8°C. Hal ini menunjukkan bahwa manajemen nyeri pada cedera
kepala dapat menurunkan nyeri.

PEMBAHASAN
Cedera kepala ringan adalah trauma kepala dengan GCS 14-15 (sadar penuh) tidak ada
kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala, hematoma, laserasi dan abrasi
(Mansjoer cit Trisnanto, 2014). Manifestasi klinis dari cedera kepala tergantung dari
berat ringannya cedera kepala, secara umum tanda dan gejala dari pasien cedera kepala
adalah perubahan tingkat kesadaran serta peningkatan tekanan intrakranial (TIK).
Peningkatan TIK ditandai nyeri kepala, muntah, kejang, papil edem (Iskandar cit Afrianti
et al, 2015). Tanda gejala cedera kepala berupa nyeri kepala ditemukan pada kasus Ny. S
pada saat pengkajian dimana Ny. S mengeluhkan nyeri kepala setelah kecelakaan.

Manifestasi nyeri kepala setelah cedera kepala dapat berupa jenisnya seperti tegang,
migren, neuralgia oksipital, atau sefalgia disotonomik tramautik, dan yang paling sering
ditemukan adalah nyeri kepala tipe tegang yang bersifat terus menerus, nyeri seperti
memakai ikat kepala yang terlalu kencang, tanpa adanya gejala neurologis yang objektif,
dapat disertai keluhan lain berupa vertigo, sempoyongan, kecemasan, letih, lesu, lemah
(Mansjoer cit Trisnanto, 2014).

Pada kasus Ny. S, keluhan nyeri kepala terasa seperti tertusuk-tusuk dan hilang timbul.
Hal ini dapat terjadi, karena seperti yang diketahui bahwa nyeri adalah sensori subjektif
dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan
aktual maupun potensial, atau menggambarkan bahwa ia merasa nyeri (Internasional
Association for Study of Pain (IASP) cit Mubarak et al, 2015). Sehingga nyeri yang
dirasakan setiap orang bisa berbeda-beda jenisnya, intensitas maupun waktunya.

Menurut Gutman dalam Japardi cit Trisnanto (2014) nyeri kepala terdapat lebih banyak
pada minggu-minggu pertama sesudah cedera kepala ringan. Pada kasus yang dialami
Ny. S, keluhan nyeri kepala timbul <24 jam setelah kejadian kecelakaan.
Nyeri merupakan sensasi yang mengindikasikan bahwa tubuh sedang mengalami
kerusakan jaringan, inflamasi, atau kelainan yang lebih berat seperti disfungsi sistem
saraf. Oleh karena itu nyeri sering disebut sebagai alarm untuk melindungi tubuh dari
kerusakan jaringan yang lebih parah. Rasa nyeri seringkali menyebabkan rasa tidak
nyaman seperti rasa tertusuk, rasa terbakar, rasa kesetrum, dan lainnya sehingga
menggangu kualitas hidup pasien atau orang yang mengalami nyeri (Ferdianto cit
Chandra et al, 2016).

Pada kasus Ny. S ditemukan data subyektif bahwa Ny. S mengalami kecelakaan dan
mengeluhkan nyeri kepala setelah kecelakaan dengan nyeri saat bergerak, nyeri seperti
tertusuk-tusuk, nyeri pada bagian kepala, skala nyeri 5, nyeri hilang timbul. Ditemukan
pula data objektif berupa Ny. S yang tampak menyeringai kesakitan dan Ny. S yang
tampak memegangi kepala. Hal ini menjdi dasar pemilihan nyeri sebagai masalah pada
Ny. S.

Berdasarkan dari masalah keperawatan yang dialami Ny. S yaitu nyeri akut, penulis
memilih salah satu tujuan yang disarankan pada diagnosis nyeri akut yaitu tingkat nyeri.
Definisi dari tujuan tingkat nyeri adalah keparahan dari nyeri yang diamati atau
dilaporkan.

Berdasarkan dari masalah keperawatan yang dialami Ny. S yaitu nyeri akut, penulis
memilih salah satu intervensi pada diagnosis nyeri akut yaitu manajemen nyeri.
Manajemen nyeri adalah pengurangan atau reduksi nyeri sampai pada tingkat
kenyamanan yang dapat diterima oleh pasien, sedangkan pemberian analgetik adalah
penggunaan agen farmakologi untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri (Bulecheck
et al, 2013). Aktivitas-aktivitas intervensi yang terdapat pada manajemen nyeri beragam,
diantaranya dengan pemberian tindakan farmakologi dan nonfarmakologi untuk
memfasilitasi penurunan nyeri.

Cara yang paling efektif untuk mengurangi nyeri adalah dengan menggabungkan
intervensi farmakologi dengan nonfarmakologi. Intervensi farmakologi dapat berupa
pemberian analgetik, sedangkan intervensi nonfarmakologi meliputi masase, terapi es dan
panas, teknik relaksasi, distraksi, hipnosis, guided imagery and music (GIM) (Smeltzer et
al cit Suarilah et al, 2013)

Intervensi keperawatan pemberian analgetik juga merupakan salah satu tindakan yang
direkomendasikan dalam mengurangi nyeri pada pasien cedera dimana rangsangan nyeri
dapat memicu peningkatan TIK dan harus ditangani, pada pasien cedera otak terjadi
peningkatan kadar prostaglandin dimana prostaglandin berperan dalam proses rasa nyeri.
NSAID seperti ketorolac, metamizol dan ketoprofen bermanfaat mengurangi nyeri
dengan menghambat sintesa prostaglandin melalui blokade enzim Cyclooxigenase (COX)
(Bajamal et al, 2014).
Menurut Burke et al cit Widodo (2011), ketorolac dimetabolisme terutama oleh sitokrom
P450 kemudian dikonjugasi asam glukoronat. Pada pemberian dosis tunggal intravena
waktu paruh 5,2 jam, puncak analgetik dicapai dalam 2 jam. Lama analgetik 4-6 jam.

Intervensi nonfarmakologi yang dapat dilakukan adalah teknik nafas dalam. Menurut
Huges cit Jona et al (2016) Teknik relaksasi nafas dalam merupakan salah satu tindakan
yang mampu merangsang tubuh untuk mengeluarkan opoid endogen yaitu endorphin dan
enkefalin, yang mana kedua zat tersebut memiliki sifat yang sama seperti morfin dengan
efek analgetik yang membentuk suatu sistem penekan nyeri yang akhirnya akan
menyebabkan ada perbedaan penurunan intensitas nyeri sebelum dan sesudah dilakukan
teknik relaksasi nafas dalam, dimana setelah dilakukan teknik relaksasi nafas dalam
terjadi penurunan intensitas nyeri.

Teknik relaksasi nafas dalam yang dilakukan secara berulang-ulang akan menimbulkan
rasa nyaman. Adanya rasa nyaman inilah yang akhirnya akan meningkatkan toleransi
terhadap nyeri. Orang yang memiliki toleransi terhadap nyeri yang baik akan mampu
beradaptasi terhadap nyeri dan akan memiliki mekanisme koping yang baik pula. Selain
meningkatkan toleransi nyeri, rasa nyaman yang dirasakan setelah melakukan teknik
relaksasi nafas dalam juga dapat meningkatkan ambang nyeri sehingga dengan
meningkatnya ambang nyeri, maka nyeri yang sebelumnya pada skala sedang menjadi
skala ringan setelah diberikan teknik relaksasi nafas dalam (Kozier cit Jona et al, 2016).

Implementasi yang dilakukan adalah manajemen nyeri dengan mengkombinasikan


pemberian analgetik dan pemberian teknik nafas dalam. Hasil pengkajian yang dilakukan
penulis sebelum dilakukan pemberian analgetik, pasien mengeluh nyeri skala 5. Setelah
dilakukan pemberian analgetik, pasien tidak langsung dilakukan pengkajian apakah nyeri
yang dirasakan sudah berkurang atau belum skalanya dikarenakan menurut Burke et al cit
Widodo (2011), puncak analgetik dicapai dalam 2 jam. Sehingga sembari menunggu
kerja analgetik, penulis memberikan latihan teknik nafas dalam. Pemberian intervensi
teknik relaksasi dalam mengontrol nyeri dimaksudkan untuk melengkapi atau
mendukung pemberian terapi analgetik agar pengendalian nyeri menjadi efektif (Black &
Hawk cit Mustikarani et al, 2017).

Setelah pasien diberikan latihan teknik nafas dalam, pasien langsung dilakukan
pengkajian nyeri apakah nyeri yang dirasakan sudah berkurang atau belum. Pada saat
dilakukan pengkajian nyeri setelah diberikan latihan nafas dalam pasien mengatakan
merasa lebih rileks dan skala nyeri berkurang menjadi skala 4. Penelitian yang dilakukan
Tarwoto (2012) pun menunjukkan bahwa pasien nyeri kepala akut pada cedera kepala
ringan yang diberikan latihan relaksasi Slow Deep Breathing selama tiga kali pada hari
pertama dan satu kali pada hari kedua dengan durasi setiap latihan 15 menit
memperlihatkan perbedaan yang bermakna rata-rata intensitas nyeri kepala sebelum dan
sesudah latihan Slow Deep Breathing.
Setelah 2 jam pemberian analgetik dilakukan pengkajian nyeri terhadap intervensi
pemberian analgetik dan pemberian teknik nafas dalam yaitu pasien mengatakan masih
merasakan nyeri kepala dengan skala nyeri 4. Kemudian sebelum pasien dipindah ke
ruangan, dilakukan pengkajian akhir tentang nyeri pasien dengan hasil pasien
mengatakan nyeri kepala setelah kecelakaan berkurang dengan nyeri skala 3 dengan data
objektif ekspresi wajah pasien tampak lebih rileks.

Penelitian yang dilakukan Meriwijanti pun menunjukkan bahwa ketorolak 30 mg IV


memiliki efektifitas analgesik lebih baik dibanding dengan ketoprofen 100 mg IV dalam
mengatasi nyeri pasca tonsilektomi (Ekawati et al, 2015).

KESIMPULAN

Pemberian analgetik dan teknik relaksasi nafas dapat menurunkan nyeri pada pasien
cedera kepala ringan dengan data nyeri Ny. S berkurang dari skala 5 menjadi skala 3.
Diharapkan bagi Rumah Sakit karya tulis ini dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam memberikan perawatan langsung kepada pasien dengan cedera
kepala yang mengalami nyeri, khususnya dalam tindakan memberikan latihan teknik
nafas dalam.

DAFTAR PUSTAKA

Afrianti, Gamya Tri Utami dan Sri Utami. 2015. Efektifitas Mendengarkan Asmaul Husna Terhadap
Penurunan Nyeri Kepala Pada Pasien Cedera Kepala. Universitas Riau.
https://media.neliti.om/media/publiations/184848-ID-efektifitas-mendengarkan-asmaul-husna-te.pdf.
(Diakses pada tanggal 18 Mei 2018).

Bajamal, Abdul Hafid, Nancy Margarita Rahatta, M. Arifin Parenrengi, Agus Turchan,
Hamzah__________, Wisnu Baskoro. 2014. Pedoman Tatalaksana Cedera Otak (Guidline in
Management of Traumatic Brain Injury). Edisi kedua. RSUD dr. Soetomo, Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga. Surabaya

Bulechek, G.M, Howard, K. Butcher, Joanne M. Dochterman, Cheryl M. Wagner. 2013. Nursing
Interventions Classification (NIC). Edisi ke 6. Diterjemahkan oleh: Nurjannah Intansari dan Roxsana
D. Tumanggor. CV.Mocomedia. Yogyakarta.

Chandra, Chrysario, Heedy Tjitrosantoso, Widya Astuty Lolo. 2016. Studi Penggunaan Obat
Analgesik Pada Pasien Cedera Kepala (Concussion). Di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado
Periode Januari-Desember 2014. Jurnal Ilmiah Farmasi-UNSRAT. 5(2). Mei.
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=432433&val=1015&title. (Diakses pada tanggal
18 Mei 2018).
Ekawati, Kiki, Diana Lalenoh, Lucky Kumaat. 2015. Profil Nyeri Dan Perubahan Hemodinamik
Pasca Bedah Perut Bawah Dengan Ketorolak 30 mg Intravena. Jurnal e-linic (eCl). 3(1). Januari-
April. http://download.portalgaruda.org/article. (Diakses pada tanggal 26 Mei 2018).

Hariyani, Vitri. 2012. Asuhan Keperawatan Pada Ny.C Dengan Cidera Kepala Berat (CKB) Di
Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Karya Tulis Ilmiah. Program Profesi
Ners. Universitas Muhammadiyah Surakarta. (Diakses pada tanggal 31 Desember 2017).

Jona, Nirmala Resa, Sri Widodo dan Shobirun. 2016. Perbedaan Efektivitas Teknik Relaksasi
NafasDalam Dan Terapi Musik Klasik Terhadap Intensitas Nyeri Pada Pasien Yang Mengalami
Fraktur Dengan Nyeri Sedang. http://download.portalgaruda.org/artile.php?article. (Diakses pada
tanggal 17 Mei 2018).

Kusumo, Dwi Listyanto Hari. 2015. Pemberian Guide Imagery Relaxation untuk Menurunkan Nyeri
Pada Nn.I dengan Kepala Cedera Kepala Ringan Di Instalasi Gawat Darurat RS Dr. Moewardi
Surakarta. Karya Tulis Ilmiah. Program Studi DIII Keperawatan. Sekolah Tinggi Kesehatan Kusuma
Husada. (Diakses pada tanggal 28 Desember 2017).

Morton, Patricia Gonce, Dorrie Fontaine Carolyn M. Hudak, Barbara M. Gallo. 2012. Critical Care
Nursing : A Holistic Approach. Edisi ke 8. Diterjemahkan oleh : Nike Budhi Subekti dkk. EGC.
Jakarta.

Mubarak, Wahit Iqbal, Lilis Indrawati dan Joko Susanto. 2015. Buku Ajar Ilmu Keperawatan Dasar.
Salemba Medika. Jakarta.

Mustikarani, Innez Karunia, Yunita Wulandari, Zeni Dwi Setyowati dan Nur Rakhmawati. 2017.
Kombinasi Guided ImageryAnd Music (GIM) Dan Relaksasi Autogenik Terhadap Nyeri Pada
Cedera Kepala. Adi Husada Nursing Journal. 3(2). Desember.
http://akper-adihusasa.ac.id/repository/jurnal/ahnj322017/322017.8.pdf. (Diakses pada tanggal 22
Mei 2018).

Rekam Medis RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen, 2017, 2018.

Suarilah, Ira, Erna Dwi Wahyuni dan Ryan Reza Falupi. 2013. Guided Imagery And Music (GIM)
Menurunkan Intensitas Nyeri Pasien Post Sectio Caesarea Berbasis Adaptasi Roy. Program Studi
Pendidikan Ners Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga. http://journal.unair.ac.id/download-
fullpapers-pmnjf449cf97a9full.doc. (Diakses pada tanggal 18 Mei 2018).

Syamsiah, Nita, dan Endang Muslihat. 2015. Pengaruh Terapi Relaksasi Autogenik Terhadap
Tingkat Nyeri Akut Pada Pasien Abdominal Pain di IGD RSUD Karawang 2014. Jurnal Ilmu
Keperawatan. http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jk/article/view/148 . III(I).. (Diakses pada
tanggal 15 November 2017).
Tarwoto. 2012. Pengaruh Latihan Slow Deep Breathing Terhadap Intensitas Nyeri Kepala Akut Pada
Pasien Cedera Kepala Ringan. Jurnal Health Quality. 2(4) : 201.
https://www.poltekkesjakarta1.ac.id/file/dokumen/212_Tarwoto_211.docx. (Diakses pada tanggal 18
Mei 2018).

Trisnanto. 2014. Pengaruh Pemakaian Bantal Pada Leher Terhadap Penurunan Skala Nyeri Kepala
Pada Pasien Cedera Kepala Ringan di Ruang Bougenvile RSUD Kertosono. Jurnal Kesehatan Stikes
Satriya Bhakti Nganjuk. 1(1). https://adysetiadi.files.wordpress.com/2012/03/jurnal-stikes-nganjuk-
terbit-juni-2014.pdf. (Diakses pada tangga 25 Mei 2018).

Widodo, Dimas Sigit. 2011. Perbandingan Efektivitas Antara Ketorolak Dan Petidin Sebagai Obat
Anti Nyeri PascaOperasi. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

Yusrizal, Zarni Zamzahar, dan Eliza Anas. 2012. Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam dan
Masase Terhadap Penurunan Skala Nyeri Pasien Pasca Apendiktomi di Ruang Bedah RSUD Dr. M.
Zein Painan. Ners Jurnal Keperawatan. 8 (2) : 138-146.
http://ners.fkep.unand.ac.id/index.php/ners/article/view/77. (Diakses pada tanggal 20 November)

Anda mungkin juga menyukai