Anda di halaman 1dari 11

GESTALT PLAY THERAPY UNTUK MENANGANI

MASALAH PENYESUAIAN SOSIAL: STUDI KASUS


PADA SISWA TAMAN KANAK-KANAK

Muhammad Ikhsan Fuadi


( 19122110039 )

Ahmad Samsul Muarif, S.Sos.

Prodi Bimbingan Dan Konseling Islam


Fakultas Dakwah Dan Komunikasi Islam
Institute Agama Islam Darussalam Blokagung

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan penyesuaian sosial pada anak usia dini di
Taman Kanak-kanak melalui penerapan Gestalt Play Therapy. Penelitian ini merupakan
jenis penelitian studi kasus dengan mengambil satu subjek penelitian, yaitu seorang anak
berusia 4,5 tahun yang mengalami masalah penyesuaian sosial di sebuah Taman Kanak-
kanak.Instrumen yang digunakan untuk melakukan diagnosis permasalahan subjek adalah
ceklist perilaku penyesuaian sosial dan dilengkapi dengan metode wawancara pada orang
tua dan guru.Gestalt Play Therapy dilaksanakan untuk membantu anak mengekspresikan
serta mengatasi perasaan tidak nyaman dan emosinya yang mempengaruhi penyesuaian
sosial.Gestalt Play Therapy dilaksanakan dalam beberapa kali pertemuan dengan
menggunakan metode yang berbeda-beda, seperti menggambar, bercerita dengan media
buku dan gambar ilustrasi situasi di sekolah, mengenal emosi melalui stiker emoticon,
bermain dengan playdough, dan mengumpulkan potongan puzzle. Metode intervensi
dengan terapi bermain dilakukan dengan melibatkan subjek, baik secara individual,
bersama dengan saudara, teman, guru, dan orang tua pada sesi-sesi tertentu. Hasil
penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan kemampuan penyesuaian sosial pada diri
anak yang dicermati dari hasil ceklist serta hasil wawancara dengan orang tua dan guru.
Perilaku yang menunjukkan peningkatan penyesuaian sosial pada subjek di antaranya
adalah kemampuan untuk menyampaikan keinginannya kepada guru di sekolah,
memberikan respon verbal pada stimulus-stimulus sosial yang diberikan oleh guru dan
teman di sekolah, serta mulai menunjukkan kemandirian di sekolah dengan tidak
ditunggui oleh orang tuanya saat bersekolah.

Kata Kunci: Gestalt Play Therapy, Penyesuaian sosial, Taman Kanak-Kanak.


Abstract
This study aimed to improve the social adjustment in early childhood in kindergarten
through the application of Gestalt Play Therapy. This research was a case study by taking
a subject of research, that is, a 4.5-year old child who experienced social adjustment
problems in a kindergarten. Instrument used to make diagnosis of the problem was the
social adjustment behavior checklist combined with interviews to parents and teachers.
Gestalt Play Therapy was implemented to help children in expressing and coping with
uncomfortable feelings and emotions that affected social adjustment. Gestalt Play
Therapy was held in several sessions by using different methods, such as drawing,
storytelling with media and picture book which illustrated the school situation,
recognizing emotions through emoticons stickers, playing with playdough, and collecting
puzzle pieces. Method of intervention with playing therapy was conducted by involving
subjects, individually, along with siblings, friends, teachers, and parents on specific
sessions. The results of this study showed an improvement in the ability of children social
adjustment which was observed from the results of the checklist and the results of
interviews with parents and teachers. Behaviors that indicated an improvement in social
adjustment on the subject wre as follows, the ability to convey his wishes to the teachers
at the school, to give a verbal response to social stimuli provided by teachers and friends
at school, as well as began to show independence in school with the absence of the
parents in school.

Keywords : Gestalt Play Therapy , Social Adjustment , Kindergarten .

A. Pendahuluan

Terapi bermain (play therapy) adalah suatu metode psikoterapi yang bertujuan
untuk membantu anak melepaskan tekanan emosinya melalui beragam materi yang
imajinatif dan ekspresif. Asumsi dalam terapi bermain adalah bahwa anak akan
mengekspresikan dan belajar mengatasi konflik emosinya dalam metafora suatu aktivitas
bermain.

Terapi bermain sebagai suatu teknik terapi paling sering digunakan pada anak-
anak.Saat anak-anak belum mampu untuk mengungkapkan perasaannya, terapis dapat
membantunya untuk mengekspresikan apa yang terjadi dengan melibatkan diri dengan
anak pada situasi bermain. Melalui terapi bermain, anak dapat menciptakan dunia yang
dapat ia kuasai, melatih keterampilan sosial, dan secara simbolis mengatasi perasaan dan
pengalaman yang dirasa menakutkan.

Terapi bermain Gestalt (Gestalt Play Therapy) mengacu pada teknik psikoterapi
yang menggunakan prinsip-prinsip dan teknik-teknik terapi Gestalt dalam penggunaan
terapi bermain dengan anak. Dengan mengembangkan hubungan terapeutik tersebut, anak
memperoleh kesempatan untuk mengekspresikan perasaannya, baik secara verbal ataupun
non-verbal, kemudian meningkatkan kepercayaan dirinya, yang merupakan langkah
penting untuk mengembangkan ekspresi emosi dan mencapai perkembangan yang optimal.
Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang
lain untuk berinteraksi. Setiap orang selayaknya mampu menyesuaikan diri terhadap
lingkungan, baik fisik maupun sosial.Salah satu kondisi penting dalam fase penting
kehidupan seorang individu yang sangat berkaitan dengan optimalisasi perkembangannya
adalah fase saat individu mulai mengenal lingkungan di luar keluarganya.Saat anak usia
dini memasuki tahapan jenjang pendidikan formal dengan mulai bersekolah di Taman
Kanak-kanak, anak mulai menemui dan mengenal dunia baru yang bisa jadi sangat
berbeda dengan lingkungan di rumahnya. Setiap anak melakukan penyesuaian diri dengan
situasi dan kondisi lingkungan sekolah tersebut.Tidak semua anak dengan mudah dapat
merasakan kesenangan dan menikmati rutinitasnya yang baru tersebut.Beberapa anak
sangat mungkin mengalami hambatan untuk melakukan penyesuaian, yang dapat dicermati
dari perilakunya.Perilaku yang ditunjukkan biasanya adalah perilaku menarik diri, tidak
mampu merespon stimulus dari lingkungan secara verbal, menunjukkan perilaku sedih
atau bahkan menangis, menunjukkan kelekatan dengan orang tua saat di sekolah, dan tidak
mampu mengikuti aktivitas belajar dan bermain dengan gembira.

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa anak belum berperilaku yang sesuai dengan
yang menjadi tuntutan dari lingkungannya.Anak menjadi kurang mampu diterima oleh
lingkungannya, seperti teman- teman di sekolah.Penyesuaian sosial dapat berlangsung
karena adanya dorongan manusia untuk memenuhi kebutuhan, dan pemenuhan kebutuhan
ini adalah untuk mencapai keseimbangan antara tuntutan sosial dengan harapan yang ada
dalam dirinya.Penyesuaian sosial di sekolah dapat diartikan sebagai kemampuan siswa
dalam beradaptasi dengan lingkungan sekolah sehingga siswa mampu berinteraksi secara
wajar dan interaksi yang terjalin dapat memberikan kepuasan bagi dirinya dan
lingkungannya.

Terapi bermain dalam hal ini merupakan metode psikoterapi yang sesuai untuk
dijalankan pada anak yang mengalami hambatan penyesuaian sosial di Taman Kanak-
kanak.Anak dilibatkan dalam situasi- situasi bermain dengan penggunaan beragam materi
yang menyenangkan. Melalui proses ini, terapis membantu anak untuk belajar
mengungkapkan emosinya, mengenal emosinya, dan belajar mengatasi situasi-situasi
yang dirasa mengancam dalam seting terapi yang menciptakan perasaan aman pada anak.

B. Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode studi kasus.Penelitian


kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata- kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus.Subjek dalam penelitian ini adalah
seorang anak laki-laki berusia empat tahun enam bulan yang mengalami masalah
penyesuaian sosial.

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi dan wawancara.Peneliti


melakukan observasi dengan menggunakan panduan beruapa ceklist perilaku sosial, yaitu
Frost Wortham Developmental Checklist, yang diadministrasikan sebelum dan
setelah intervensi terapi bermain.Peneliti juga melakukan wawancara terhadap guru dan
orang tua subjek untuk memperkaya data.

C. Teori

1. Penyesuaian Sosial
Schneiders (dalam Haeny, 2010) mengatakan bahwa penyesuaian diri (self-
adjustment) merupakan suatu proses yang melibatkan respon-respon mental dan perbuatan
individu dalam upaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan, dan mengatasi ketegangan,
frustrasi, dan konflik dengan memperhatikan norma atau tuntutan lingkungan di mana ia
hidup. Selanjutnya ia menjelaskan ciri orang yang well-adjusted, yaitu mampu merespon
(kebutuhan dan masalah) secara matang, efisien, puas, dan sehat (wholesome). Yang
dimaksud efisien adalah hasil yang diperoleh dengan tidak banyak membuang energi,
waktu, dan kekeliruan.Sementara wholesome adalah respon individu sesuai hakikat
kemanusiaannya, hubungan dengan yang lain, dan hubungannya dengan Tuhan.

Penyesuaian sosial dapat diidentifikasikan sebagai kemampuan seseorang dalam


menghayati norma- norma yang berlaku di dalam masyarakat dan memiliki konsep
mengenai diri sendiri yang berkembang melalui interaksi sosial dengan orang lain. Menurut
Cohen (dalam Susanti, 2008), penyesuaian sosial memiliki tujuan-tujuan, yaitu individu
harus diberi keterampilan yang dibutuhkan bagi hidupnya kelak di masyarakat, individu
harus mampu berkomunikasi secara efektif , efesien dan mengembangkan apa
kemampuannya dalam hal membaca, menulis, dan berbicara, dan setiap individu harus
dibiasakan dengan nilai- nilai dan norma-norma yang ada pada masyarakat.

Sunarto (dalam Haeny, 2010) penyesuaian (adjustment) secara positif dapat


diartikan sebagai berikut:
1. Penyesuaian berarti adaptasi; dapat mempertahankan eksistensinya dan
memperoleh kesejahteraan jasmaniah dan rohaniah, dan dapat mengadakan
relasi yang memuaskan dengan tuntutan sosial.
2. Penyesuaian sebagai konformitas, yang berarti menyesuaikan sesuatu dengan
standar atau prinsip.
3. Penyesuaian sebagai penguasaan, yaitu memiliki kemampuan untuk membuat
rencana dan respon- respon sedemikian rupa, sehingga bisa mengatasi segala
macam konflik, kesulitan, dan frustrasi secara efisien. Individu memiliki
kemampuan menghadapi realitas hidup dengan cara yang adekuat atau memenuhi
syarat.
4. Penyesuaian sebagai penguasaan dan kematangan emosional. Kematangan
emosional artinya individu secara positif memiliki respon emosional yang tepat
pada setiap situasi.

Sedangkan hambatan penyesuaian (Adjustment difficulties) merupakan setiap masalah


yang menghambat anak untuk menyesuaikan diri di rumah, sekolah, atau situasi kelas dan
lingkungan belajar. Anak yang mengalami hambatan penyesuaian diri dapat memiliki
kecemasan, depresi, kurang memperhatikan, malu, atau perilaku menarik diri, atau mungkin
mengalami perubahan dalam kehidupannya, seperti perceraian orang tua, memiliki saudara
yang baru, atau berpindah ke rumah yang berbeda (Rhine, 2000).

Penyesuaian diri ataupun sosial ada kaitannya dengan perilaku adaptif yang
digambarkan sebagai keefektifan individu dalam memenuhi standar kemandirian pribadi
dan tanggung jawab sosial yang diharapkan dari umurnya dan budaya setempat (Payne &
Patton, dalam Muhajirin, 2012).
Individu mampu mengatasi konflik dengan baik maka akan menghasilkan perilaku
yang sehat. Berdasarkan gambaran tersebut, Schneider menguraikan pola dasar
penyesuaian ke dalam tiga elemen, yaitu

1) motivasi, frustrasi, dan konflik,


2) munculnya respon yang bervariasi,
3) solusi atau reduksi ketegangan melalui bentuk respon tertentu.

Elemen pertama, yaitu motivasi internal, frustrasi, atau konflik, yang dialami akan
mendorong individu untuk mengembangkan sejumlah respon, yang dapat berupa reaksi
pertahanan, perilaku menghindar dan menarik diri, munculnya gangguan fisik, atau
perilaku agresi. Di antara berbagai respon tersebut, akan dipilih salah satu respon yang
paling memuaskan sebagai solusi. Solusi yang sehat memungkinkan individu untuk
mengekspresikan kebutuhan sehingga frustrasi dapat diminimalisir dengan cara yang dapat
diterima secara pribadi, sosial, maupun moral. Ekonomis berarti tidak menghabiskan
energi individu sampai titik yang membahayakan kepribadian, perilaku, dan kesehatan
mental. Respon yang mengintegrasikan pemenuhan tuntutan internal dan tuntutan eksternal
akan membantu individu untuk mencapai kesehatan mental dan ekspresi kepribadian yang
lebih utuh.

Kebutuhan akan rasa aman dapat dikategorikan dalam kebutuhan keselamatan,


keamanan, kemantapan, ketergantungan, perlindungan, bebas dari rasa takut, bebas dari
rasa cemas dan kekalutan, kebutuhan akan struktur, ketertiban, hukum, batas-batas, dan
sebagainya. Seorang anak menyukai konsistensi dan kerutinan sapai pada batas-batas
tertentu. Apabila unsur- unsur ini tidak terpenuhi, maka ia akan menjadi cemas dan merasa
tidak aman. Orang yang tidak aman memiliki kebutuhan akan keteraturan dan stabilitas
secara berlebihan serta akan berusaha menghindari hal-hal yang bersifat asing dan tidak
diharapkan yang akan merusak stabilitasnya, atau secara umum ingin kedudukan yang tetap
dan terlindungi. Pada sisi lain dalam upaya mencari keselamatan dan kemantapan adalah
adanya keinginan untuk menyukai hal-hal yang dikenal dari pada yang tidak dikenal, atau
hal-hal yang diketahui daripada yang tidak diketahui.

Perasaan tidak aman akan berpengaruh pada lingkungan sosial, menghilangkan


kesempatan untuk bermain dengan teman sebaya dan kemungkinan akan menghambat
perkembangan kompetensi sosial dengan orang-orang di lingkungannya. Rantai kejadian
berlanjut pada bentuk perilaku anak dalam melakukan penyesuaian diri. Apa Hambatan
penyesuaian diri dalam bentuk cara berinteraksi yang maladaptif memiliki kecenderungan
untuk menghasilkan konsekuensi berupa pemikiran anak bahwa ia gagal dalam
hubungannya dengan guru dan teman di sekolah, anak juga mengalami hambatan dalam
mengembangkan hubungan yang dekat dengan orang lain di luar rumah karena adanya
perasaan tidak aman, tidak percaya, dan persepsi bahwa dirinya tidak berkompeten secara
sosial, serta munculnya perilaku menarik diri dan pasif atau dengan reaksi agresif (Booth,
1994).

2. Gestalt Play Therapy

Terapi ini bertujuan untuk mendorong anak dapat berkomunikasi dalam situasi
yang menyenangkan bagi dirinya dengan tidak adanya tekanan untuk langsung berbicara
secara spontan, ekspresif, dan terbuka. Proses ini diharapkan membuat anak merasa
nyaman dan dapat mengekspresikan perasaannya melalui alat-alat permainan yang ada
dengan supervisi dari terapis. Dalam prosesnya, terapis harus tetap memperhatikan setiap
detil permainan yang digunakan dan melakukan verbalisasi dari permainan tersebut,
terutama permainan- permainan yang disukai dan dimainkan berulang kali oleh subjek.

Terapi bermain individual merupakan suatu hubungan interpersonal yang


dinamis antara anak dan terapis yang terlatih, yang menyediakan materi permainan terpilih
dan memfasilitasi berkembangnya hubungan yang aman bagi anak untuk dapat
sepenuhnya berekspresi dan menggali dirinya (perasaan, pikiran, pengalaman, dan
perilaku) melalui kegiatan bermain (Landreth, dalam Rennie, 2000).

Salah satu terapi bermain yang dapat digunakan adalah terapi bermain dengan
pendekatan Gestalt.Terapi bermain Gestalt adalah suatu bentuk psikoterapi di mana anak
dimotivasi untuk fokus pada masa sekarang (here and now). Terapi bermain Gestalt
bertujuan untuk membuat anak menyadari tentang apa yang dilakukannya, bagaimana ia
melakukannya, dan memberikan kesempatan bagi anak untuk memilih dengan cara
bagaimana ia ingin bereaksi. Hal ini menguatkan rasa tanggungjawab dan memberikan
anak kesempatan menguasai emosi dan tindakannya sendiri.Selama terapi bermain, terapis
menggunakan permainan, mainan, dan media lainnya yang berbeda-beda, seperti tanah
liat, pasir, cat air, boneka, dan lain sebagainya, untuk membantu anak mengekspresikan
mosinya.Anak memiliki kesempatan untuk mengatasi emosi-emosinya secara tepat dalam
lingkungan yang aman (Maree, 2007; Venter, 2006).

Oaklander (dalam Long, 2010) menjelaskan bagaimana teori Gestalt dapat


diintegrasikan ketika menangani anak.Terapi Gestalt merupakan terapi proses, sehingga
terapi bermain memfokuskan pada ‘apa’ dan ‘bagaimana’ perilaku individu, dibandingkan
dengan ‘mengapa’.Subjek didorong untuk menyadari perasaan dan perilakunya dan
bagaimana dampaknya terhadap lingkungan mereka.Hal mendasar yang ditangani dalam
terapi adalah bagaimana perilaku subjek yang menghindari kontak yang sesuai dengan
lingkungannya. Subjek didorong untuk fokus pada kesadaran bahwa ia merupakan bagian
dari suatu realitas sehingga dapat menghasilkan pemahaman yang baru pada diri subjek dan
dapat melakukan self-healing. Melalui terapi bermain ini, subjek dibantu untuk membangun
ulang pemikiran, perasaan, dan perilaku ke dalam suatu kesatuan yang saling
berkaitan.Terapi ini membantu anak untuk dapat berfungsi sepenuhnya dan dapat
memperoleh kesempatan untuk mencoba perilaku barunya yang lebih efektif. Terapi
bermain Gestalt bersifat direktif dan menyediakan tugas-tugas spesifik yang dapat
digunakan untuk ‘memandu fantasi’ yang direfleksikan dalam kegiatan bercerita,
menggambar, atau kotak pasir. Oaklander (dalam Venter, 2006) mengadaptasi terapi
bermain Gestalt untuk menangani anak yang sedang berduka cita. Terapi bermain Gestalt
merupakan proses terapi yang berpusat pada apa dan bagaimana perilaku individu di mana
terapis membantu klien lebih menyadari apa yang dilakukannya yang menyebabkan rasa
tidak nyaman. Pendekatan ini bersifat direktif dan terfokus sehingga sesuai untuk dilakukan
dengan pendekatan jangka pendek (short term).

Berkaitan dengan karakteristik dari terapi bermain Gestalt, Schoeman (dalam Long,
2010) mengemukakan empat fase penting dalam proses terapi bermain. Fase pertama
termasuk membangun relasi dengan anak, dengan menunjukkan sikap yang tulus dan
hormat pada anak.Fase kedua berkaitan dengan menggali bagaimana anak berpikir dan
bagaimana dunia dalam anak.Fase ketiga mendorong berkembangnya kesadaran di mana
anak belajar untuk bertanggungjawab terhadap pilihannya.Fase terakhir memungkinkan
terapis untuk mendorong anak dengan emampuannya yang baru.

Walaupun terapis mempersiapkan setiap kegiatan dalam setiap sesi dan menyuguhkan
kegiatannya, tidak terdapat harapan yang tertentu terhadap hasil.Setiap anak dipandang
sebagai individu yang unik dan terapis memegang esensi terapi Gestalt, yaitu apapun yang
akan terjadi maka akan terjadi. Dalam pendekatan jangka pendek ini, orang tua dilibatkan
dalam beberapa sesi jika dimungkinkan. Pendekatanini kebanyakan menggunakan
teknik permainan seperti menggambar,menggunakan playdough / plastisin,bercerita,
menggunakan pasir, musik, boneka, yang memungkinkan anak untuk membagi dan
mengatasi emosi-emosi yang dirasakan mengancam dalam cara yang tidak mengancam.
Peterlin dan Sloves (dalam Venter, 2006) melihat bahwa tujuan terapi bermain jangka
pendek dengan anak memungkinkan anak untuk mengembangkan teknik- teknik coping
yang lebih efektif dalam menghadapi konflik.

Rasmussen dan Cunningham (dalam Venter, 2006) menemukan adanya kombinasi


yang efektif dalam terapi bermain, di mana dilakukan penggabungan prinsip-prinsip non-
directive untuk membangun rapport terapeutik, yang kemudian diikuti oleh terapi bermain
yang direktif dan terstruktur yang menuju pada tujuan- tujuan spesifik yang menjadi fokus
intervensi.Menurut Hambridge (dalam Venter, 2006), terapis yang bekerja dengan anak
dalam terapi bermain bertujuan untuk memfokuskan perhatian, menstimulasi kegiatan
untuk selanjutnya, memberikan persetujuan, memperoleh informasi, menginterpretasi, dan
menentukan batasan.
Ia menjelaskan bahwa dengan menstrukturkan situasi bermain merupakan suatu
bentuk aktivitas yang dapat memfasilitasi fungsi-fungsi tersebut.Terapi bermain yang
terstruktur memiliki kelebihan di mana hal tersebut meningkatkan spesifikasi metode
tritmen pada psikoterapi yang bersifat langsung pada anak.Hal ini juga dapat menghemat
waktu dengan mengurangi berjam-jam aktivitas terapeutik yang tidak relevan dan
membingungkan.Pada pendekatan ini terapis kemudian hanya menggunakan bentuk-
bentuk permainan dan kegiatan yang dapat mengindikasikan problem yang telah
diidentifikasi dengn tujuan untuk memaksimalkan pertumbuhan dan pergerakan.
D. Hasil Dan Pembahasan
Gestalt Play Therapy sebagai intervensi dalam penelitian ini dilakukan dalam
beberapa kali pertemua (sesi) sebagai berikut:

SESI 1:
Pada awal sesi, subjek diberikan satu lembar kertas kosong dan dipersilakan untuk
menggambar hal yang disukai.Terapis bertanya mengenai mengapa menyukai hal yang
digambar tersebut (benda, binatang, mainan, dll), bagaimana jika ada orang lain yang
meminjam benda atau mainan tersebut, dan bagaimana caranya jika ia menginginkan
benda atau mainan tersebut bila sedang digunakan oleh orang lain. Terapis kemudian
menunjukkan gambar dua ekspresi emosi, yaitu senang dan sedih.Terapis meminta subjek
untuk memilih ekspresi yang mana yang sesuai dengan respon pertanyaan di atas.

SESI 2:
Terapis meminta subjek untuk memikirkan satu jenis binatang yang mereka
sukai.Setelah mereka menyebutkannya, terapis memberikan selembar kertas kosong dan
meminta mereka untuk menggambarkan jawaban mereka.Sambil menggambar, terapis
bertanya kepada mereka tentang sifat-sifat dari binatang yang mereka sukai tersebut.

SESI 3:
Sesi ini diisi dengan kegiatan bercerita menggunakan beberapa gambar peristiwa dan
kegiatan menempel stiker yang bergambar ekspresi emosi.Terapis menunjukkan sejumlah
gambar dan meminta subjek untuk menceritakan kejadian yang ada pada gambar sesuai
dengan pemahamannya.Subjek juga diminta untuk menyebutkan perasaan yang dirasakan
orang-orang pada gambar tersebut, apakah senang atau sedih dan alasannya.Terapis
memberikan sticker yang bergambar ekspresi emosi senang atau sedih dan subjek
menempelkannya pada kolom-kolom dibuku yang disediakan.Gambar-gambar yang
digunakan adalah gambar situasi bermain di sekolah, gambar anak dan ibunya, dan gambar
anak bermain bersama saudaranya.

SESI 4:
Terapis menunjukkan beberapa jenis perasaan dalam bentuk gambar dan subjek
diminta untuk mengidentifikasi perasaan pada gambar tersebut sesuai dengan
kemampuannya.Kemudian terapis menunjukkan beberapa kertas berbentuk lingkaran
dengan beberapa warna.Terapis menanyakan perasaan apa yang dapat dipasangkan dengan
warna tertentu.
Setelah semua perasaan dipasangkan dengan warna tertentu, terapis meminta subjek
memilih warna-warna yang ia rasakan dan menceritakan kejadian- kejadian yang berkaitan
dengan emosi tersebut. Terapis memberikan stimulus agar anak dapat menjelaskan setiap
perasaan dengan bentuk yang senyata mungkin.

SESI 5:
Terapis meminta anak untuk menyebutkan dan menceritakan kejadian- kejadian yang
menyenangkan dan kurang menyenangkan yang baru saja dialaminya.Perasaan yang
menyenangkan diwakili oleh sticker ekspresi senang, dan perasaan yang kurang
menyenangkan diwakili oleh sticker ekspresi sedih. Subjek menyebutkan kejadian-kejadian
yang menyenangkan dan kurang menyenangkan, kemudian terapis meminta subjek
menempelkan sticker ekspresi senang pada balon gas yang ringan dan sticker ekspresi sedih
pada buku besar yang berat.

Subjek kemudian meminta anak untuk merasakan bagaimana ketika memegang kedua
benda yang berbeda berat tersebut.Anak diminta untuk membawa secara bergantian benda-
benda tersebutkeliling ruangan.Terapis menunjukkan bahwa ketika memegang perasaan
dan pikiran yang negatif akan terasa berat, dan demikian sebaliknya.

SESI 6:
Terapis menunjukkan playdough pada subjek, kemudian meminta subjek menutup
matanya sambil menyentuh playdough tersebut.Terapis bertanya bagaimana rasanya ketika
menyentuh dan memegang playdough tersebut, apakah keras, lembut, halus, atau kasar.Saat
subjek membuka mata, terapis menunjukkan bahwa playdough dapat dibentuk sesuai
keinginan, seperti membuat bola atau ulat.Kemudian subjek diperbolehkan untuk membuat
bentuk apapun dari playdough tersebut. Setelah selesai membuat suatu bentuk, terapis
menawarkan pada subjek untuk mengubahnya menjadi bentuk yang lain dan menawarkan
untuk menggunakan warna yang lain pula pada bentuk yang baru.

SESI 7:
Sesi ini melibatkan ibu subjek dan guru kelas subjek.Terapis menunjukkan satu buah
gambar seekor dinosaurus kepada subjek dan memperbolehkan subjek untuk
menempelkannya pada kertas yang sudah disediakan. Kemudian terapis menawarkan pada
subjek bila ingin memiliki gambar dinosaurus yang lain untuk ditempelkannya. Terapis
mengatakan bahwa jika subjek ingin memiliki tiga buah gambar dinosaurus lagi maka
subjek harus memintanya secara langsung pada guru kelas subjek.Terapis sebelumnya telah
meminta agar guru kelas subjek menyimpan gambar-gambar dinosaurus yang lain dan
memberikannya pada subjek jika subjek berhasil memintanya kepada guru secara verbal.
Setelah memperoleh gambar-gambar tersebut subjek dapat menempelkannya pada kertas
bersama dengan gambar dinosaurus yang pertama.

Selama sesi-sesi tersebut dilaksanakan, peneliti beberapa kali melakukan observasi


terhadap perilaku penyesuaian sosial subjek di sekolahnya, serta melakukan wawancara
terhadap gru dan orang tua subjek. Dari hasil pengumpulan data dengan kedua metode
tersebut peneliti memperoleh kesimpulan bahwa subjek telah mampu
mengembangkankemampuan menyesuaikan diri dalam lingkungan sosialnya di sekolah.
Subjek mulai menunjukkan ketertarikan untuk bermain secara aktif dengan teman
sekelasnya, subjek beberapa kali mau memberikan respon verbal terhadap pertanyaan dan
ajakan dari guru di kelas, subjek mulai dapat melakukan aktivitas di sekolah tanpa selalu
ditunggui oleh orang tuanya, dan subjek sudah mampu memulai interaksi dengan teman,
terutama saat melakukan kegiatan bermain di luar kelas.
E. Kesimpulan

Hasil wawancara dengan guru dan orang tua juga mengungkap adanya
perkembangan yang baik dari perilaku subjek.Subjek menunjukkan ekspresi wajah yang
lebih ceria saat berada di sekolah, subjek mulai mau bercerita tentang kegiatannya di
sekolah saat ditanya oleh orang tuanya, dan subjek menunjukkan kemandirian saat
mengikuti kegiatan di sekolah.

Intervensi Gestalt Play Therapy yang dilakukan pada subjek terbukti dapat
membantu subjek lebih mengenal emosinya, kemudian belajar untuk bisa
mengekspresikannya dengan lebih tepat, serta menghasilkan perasaan nyaman dan aman
dalam situasi yang dulunya dianggap mengancam. Subjek sebagai seorang anak usia dini
mulai belajar untuk mengerti adanya tuntutan dari lingkungan sosialnya dan
menyeimbangkannya dengan kebutuhan internalnya sendiri.

F. Saran
Penyesuaian sosial, khususnya pada anak usia dini, merupakan suatu proses yang
panjang sehingga dibutuhkan penanganan yang berkelanjutan dan professional. Guru serta
orang tua dari seorang anak yang mengalami masalah penyesuaian sosial dapat
mengaplikasikan teknik terapi bermain untuk membantu anak mengatasi
permasalahannya. Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi bagi orang tua dan guru
untuk menghadapi dan membantu anak dengan masalah yang sama, ataupun pada anak-
anak yang mengalami masalah psikologis lainnya, seperti pada anak yang menjadi korban
kekerasan atau bencana alam. Jumlah pertemuan (sesi) dapat disesuaikan dengan
kebutuhan anak dan ditunjang dengan kreatifitas terapis dalam menggunakan materi-
materi yang menarik bagi anak.

Penelitian ini khususnya membahas tentang penggunaan terapi bermain dengan


pendekatan teori Gestalt, untuk itu, bagi para peneliti yang lain dapat memperluas
cakrawala pengetahuan dan keterampilannya dengan menggunakan
pendekatan-pendekatan lain, seperti Psikoanalisa atau Behavioral. Dengan demikian dapat
diperoleh suatu perspektif yang lebih kaya tentang aplikasi terapi bermain dalam
menangani permasalahan pada anak.
DAFTAR PUSTAKA

Booth. C.L. 1994. Predicting Social Adjustment in


Middle Childhood: The Role of Preschool Attachment Security and Maternal
Style. Research Report. University of Washington.

Haeny, I.N. 2010. Program Bimbingan Kelompok


untuk Mengembangkan Penyesuaian Diri Siswa: Studi Deskriptif di
SMP Negeri 1 Majasari Kabupaten Pandeglang, Tahun Pelajaran 2009-2010.
Tesis. Universitas Pendidikan Indonesia.

Maree, M. 2007.The Utilisation of Gestalt Play


Therapy in Occupational Therapy Intervention With Traumatised
Children.Thesis. University of South Africa.

Muhajirin, M. 2012.Strategi Bimbingan dan


Konseling untuk Meningkatkan Penyesuaian Diri di Sekolah Bagi Anak
Tunagrahita.Laporan Penelitian. Universitas Pendidikan
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai