Anda di halaman 1dari 1

WASPADA!

DAMPAK FATHERLESSNESS TERHADAP TUMBUH KEMBANG ANAK

JEJAK SULSEL -- Fatherless adalah suatu kondisi ketidakhadiran ayah baik secara fisik maupun
mental kepada anaknya. Retno Listyarti, Komisioner KPAI, mengatakan “Tanpa ayah diartikan
sebagai anak yang tumbuh tanpa kehadiran ayah, atau anak yang memiliki ayah tetapi ayahnya
tidak berperan maksimal dalam proses tumbuh kembang anak”.

Dilansir dari berbagai sumber, Indonesia masuk dalam daftar jajaran negara fatherlessness(tanpa
ayah) dan mendapat peringkat ke 3.

Indonesia sendiri merupakan salah satu negara patriarki dan bersumber dari banyak etos
budayanya. Sudah menjadi hal yang lumrah di masyarakat ketika pria diidentikkan untuk fokus
mencari uang di luar rumah sehingga mereka tidak “harus” terlibat langsung dalam pertumbuhan
anak-anak mereka di dalam rumah.

Dalam aturan formilnya, Indonesia memiliki banyak aturan dengan desain patriarki. Salah satunya
ada pada Pasal 93 ayat (4) huruf e Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Tertulis bahwa pegawai laki-laki di Indonesia hanya berhak untuk menerima cuti
selama 2 hari untuk menemani istrinya melahirkan.

Padahal rata-rata waktu yang dibutuhkan perempuan dalam proses melahirkan bayi adalah sekitar
3 hari untuk operasi normal dan 5 hari jika melalui operasi caesar. Dengan demikian, waktu cuti 2
hari bagi karyawan laki-laki dianggap sangat kurang.

Konsekuensi dari tidak maksimalnya peran ayah lebih besar dari yang terlihat. Berdasarkan
penelitian National Center for Fathering (NCF), anak-anak dari rumah tanpa ayah lebih cenderung
menjadi miskin.

Dari Biro Sensus A.S. pada tahun 2011, 44 persen anak-anak dalam keluarga pasangan yang hanya
ada ibu cenderung hidup dalam kemiskinan, dibandingkan dengan 12 persen anak-anak dalam
keluarga dengan orangtua yang lengkap.

Terus bagaimana dengan anak-anak yang tidak merasakan sosok ayah dalam hidupnya karena
suatu hal, baik itu karena perceraian orang tuanya atau bahkan kematian. Diharapkan Kakek,
paman, atau kakak laki-laki dalam suatu keluarga dapat mengisi peran kosong tersebut. Hal ini
dibutuhkan agar anak masih memiliki contoh panutan atau model dalam belajar berperilaku.

Singkat cerita, kewajiban dalam mengemban tanggung jawab sebagai orang tua tidak bisa terdesain
ke paradigma lama yang sarat akan nilai patriarki. Semua stakeholder baik pemerintah, keluarga
terdekat, dan masyarakat sekitar harus mengambil peran dalam mendukung agenda kesetaraan
dan keadilan gender. Hal sederhana ini bisa dimulai dengan memperbesar porsi keterilbatan ayah
atau laki-laki dalam pola asuh anak mereka.

Anda mungkin juga menyukai